Menu

Islam

Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.

Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.

Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.

Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.

Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?

Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?

Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:

“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.

“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’

“Nuli cahya aran Nur Mukammad”

“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.

Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.

Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).

Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).

Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.

Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).

Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).

Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.

Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.

Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.

Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.

Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).

Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim.  Sholawat dan salam untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas Pesantren, di kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal. Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Ishaq dari Blambangan.

Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66) menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen), Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan Ario Abdullah Palembang.

Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.

Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak kesarjanaan Tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam Jawa.

Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural kemasyarakatan, yang diletakkan para Wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya, terutama abad XVII-XIX.

Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal

Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada  sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16” (KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.

Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab itu.  Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.

Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya, adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal).  Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peranan.

Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut, karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di antaranya:

Mantingan

Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga  tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.

Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro  (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro,  Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.

Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.

Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).

Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).

Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud  (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.

Gunung Sembung/Giri Amparan Jati

Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.

Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.

Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan menjadi pusat pengiriman Santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.

Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.

Ampel Denta/Kembang Kuning

Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku Sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.

Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.

Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.

Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri, sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.

Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.

Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.

Kadilangu

Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.

. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.

Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru, yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai  Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.

Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana, mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang,  Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.

Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan Giri.  Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).

Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.

Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi

Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan dengan Abdul Kahfi  ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia (emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban 879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.

Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya  adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada  15 Syaban 827 H/1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di selatan Jawa.

Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.

Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu  baru membangun basis di Kebumen.

Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.

Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824, dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang  Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.

Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang, mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.

Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang pesat.

Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.

 

Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan

Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.

Dalam soal tasawuf,  diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan bahwa  “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan dan model syariat telah dipelajari sejak awal.

Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).

Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6 Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak (1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.

Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa, yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi.  Tentang kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini biasanya  merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537); yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.

Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986). Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang  Fiqh Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui  Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).

Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi (Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).

Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa,  juga diedit ulang Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.”

Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan  Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut “pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”

Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain, di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal dari itu)” (KKPT, 2009: 28).

Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23) disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB, 1988: 226).

Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan  Syeh Ibrahim, berdasarkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).

Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih. Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti (383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).

Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa, dan disalin  pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.

Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi” (SIN, 2015: 38).

Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi (Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail, berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan, 2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).

Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan  tahun 1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini disebutkan.

BTS pada bagian ke-10  yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).

Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin,  dan Usul 6 Bis, yang dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits. Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.

Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani, yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.

 

Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis

Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili  beberapa dasar dan konsep pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh, dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. 

Alfu Masail

Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.

Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali, atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa, seperti disebutkan di atas.

Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana. Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku tasawuf di Jawa.

Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:

Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi. Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.

Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama  dijawab, hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima;  Berapa banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada 104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?

Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh; Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam indalloh, kafir indan nas.

Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya, mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di nabi, waliyulloh dan orang beriman.

Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.

Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah khuldi? Apa pakaian Adam?

Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana, Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa (waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya? Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut dunia ini?

Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500 x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.

Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya?  Kenapa langit terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman tokid, marifat?

Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya, dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan semut?  Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala, tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?

Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi? Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.

Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10 perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa  diberi ganjaran ketika bersetubuh (dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang berpuasa Ramadhan?

Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng (dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa banyak kejadiannya?

Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang? Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya. Bagaimana makna Alloh yang sejati?  Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang disebut pembicaraan?

Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka, atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam? Apa maknanya kursi?

Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih? Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda (Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah? Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?

Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi Abdullah bin Salam.

Usul 6 Bis

Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan (Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ, 2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986: 143).

Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila laka”, demikian:

“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar baik dan buruknya dari Allah.”

“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha memberi rizki, pengatur, Raja,  dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan, dan tanpa penetang.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah: “Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah, yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu) tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”

“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam  ada 10 kitab;  dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah: “Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah (yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah syarat iman dan membenci mereka kufrun.”

“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah:  “Ada 6 orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”

“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”

Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang diangkat sebagai rasul.”

“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua, karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).

“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh, dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya. Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa tersebut , sekalipun hanya  sebgiannya, faqod kafara.”

“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allohlah pencipta  semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalaui janji dan ancamannya.”

“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi, karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”

“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk) Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”

“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul, kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya  yang berupa perintah, larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan sesuatu selain  tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”

“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”

“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan Allah, dan dia  ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”

 

Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali

Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam kajian tersendiri, di antaranya:

 

Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah

Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).

Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku yang membahas biografinya.

Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah        

Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah. Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya; dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH. Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:

“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut, selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang menjadi pegangan  bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….” (MKG, 2014: 312).

Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin, dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja, silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah, mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan memang tidak banyak diungkapkan.

Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:

Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah, dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai kepada Imam Ali; (2)  Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas (SST, 2007: 65-67).

Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).

Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).

Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal, dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.

Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah

Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara 1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.

Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa, Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa, Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam, Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).

Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah, dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru  Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui jalur Ammar al-Bidlisi.

Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya an-Nahrajuri), dari  Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.

Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui  silsilah Ismail al-Qashri ini, juga disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi  ketika disebut Syarif Hidayatullah disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh Kubrowiyah ini wafat pada tahun  1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi. Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466 Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).

Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas, Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah. Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.

Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan, mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6 orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).

Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat 1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan  tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian  orang banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).

Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan, Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru silsilah bersambung.  Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.

Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara barzakhilah yang terjadi.

Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang bagus, madzhab  Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin  (tauhid) menganut madzhab Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).

Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya; menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang dihubungkan dengan syaikh.

 

Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep

Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan dan masyarakat.

Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.

Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59): Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan Guntur Maliki.

Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini, karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka), dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid Agung Tuban; dan terletak di  di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban.

GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With  or Attributed to The Saints of Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan, dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk, Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.

Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:

Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait 22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”

Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)

Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan: “Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).

Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan kehendak”;  “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya, manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…” (SW, bait 72-73).

Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan  pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.” (SW, bait 11).

Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”

Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan Satpada memperlihatkan kepada cermin maka  dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.

Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon Bonang, disebutkan “Rujatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-Bari: e Rijal…! Tegesing rujat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”

Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-afal ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada makhluk)”

Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib, Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu), Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati), (Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).

Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan, bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas. Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren Giri oleh Sunan Giri.

Penyusunan Konsep-Konsep  Tasawuf, Sunan Kalijaga

Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka.  Dalam Kidung Kawedar, Sunan Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari (adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati; Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.

Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011: 137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan  Kalijaga juga mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi, memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa. Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.

Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar

Penyusun konsep-konsep tasawuf  berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh Siti Jenar, pupuh 6:18).

Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam, seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia yang menyebutkan begini:

“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi. Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002: 28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.

Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).

Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.

 

Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa

Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan setan dan jin, dan lain-lain.

Nur Muhammad

Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad), kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar dari badan, musibah atas diri mayit.

Selain itu Daoqiq juga membahas:  sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan, adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar, panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.

Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan  yang putih, seperti umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”

“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan tanaman padi.”

“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.

Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab  yang cukup awal diajarkan di Jawa di samping kitab-kitab  akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.

Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN, 2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang luas.

Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini: “Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda: “Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur. Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh, lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”

Ilmu Hikmah

Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh. Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-anugerah keramat.

Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad Tembayat,  juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan dengan para penantangnya.

Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang disebut begini:

“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu, mereka orang-orang Keling yang menyerang  semuanya roboh dan tidak berdaya, akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti  beliau. Akhirnya mereka dapat menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti perjalanan beliau ke Cirebon.”

Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali, kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan, mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.

Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya bagi pemula.

 

Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis

Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat. Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar  banyak melakukan kerja kultural tetapi sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik, meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.

Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab. Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup ruang pengaruh masing-masing.

Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa, para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan  bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh dibaca hanya terjadi sekali.

Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah, dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk Kahfi.

Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.

Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya, bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.

Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.

 

*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama, yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2, Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.

Saya kira, spirit yang lebih awal berkembang setelah Islam masuk ke Nusantara adalah spirit tauhid, mengingat pokok-pokok tauhid sedemikian rupa telah melebur menjadi satu dengan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Nusantara yang memiliki karakter religius. Tidak terkecuali di aras seni dan budaya, seperti misalnya pokok-pokok ajaran tauhid dalam dunia pewayangan.

Seperti yang telah dipahami pada umumnya, wayang merupakan sebuah entitas seni yang sudah tidak bisa direduksi maknanya sebagai entitas budaya semata, karena unsur-unsur di dalamnya sangat kompleks. Mengingat dalam perjalanannya, wayang telah dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi maupun keyaknian luar yang masuk ke Nusantara. Gerak evolusi teologis dalam wayang sudah berlangsung sejak lama, sebab wayang sudah menyertai perjalanan hidup masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Jawa, berabad-abad lamanya.

Sebelum Islam masuk ke Nusantara, eksistensi wayang yang bercorak Hindu-Budha telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Wayang pada zaman itu berfungsi sebagai media peribadatan, transmisi pemahaman religius dan ekspresi seni budaya yang sangat digemari.

Dihadapkan dengan realitas seperti ini, para Wali selaku juru dakwah yang memilih pendekatan kultural, mengawalai  syiarnya dengan mendekonstruksi bangunan ontologis atau peran penting (kedudukan) dewa dalam dunia pewayangan.

Caranya, dewa-dewa yang sudah ada, tidak dihilangkan eksistensinya. Tetapi peran dan posisi dewa-dewa tersebut dilemahkan sampai pada tingkat yang sejajar dengan makhluk. Hingga pada level epistemologi, masyarakat penikmat wayang tidak lagi menganggap dewa sebagai representasi Tuhan, melainkan hanya sebagai ilustrasi dari manifestasi sifat ke-Esa-an Tuhan.

Pada dasarnya Islam atau agama Semit lainnya sangat anti terhadap pemberhalaan materi. Setiap perwujudan atau tindakan manusia haruslah terbebas dari konsep pemujaan terhadap selain Allah. Sebab, setiap proyeksi tujuan hidup manusia (dalam ajaran Islam) haruslah mengarah kepada jalan pulang ke arah fitrahnya, yakni Tuhan. Kira-kira hal ini, senafas dengan konsep “sangkan paraning dumadi” dalam filsafat Jawa.

Gerakan penolakan terhadap penyembahan berhala di Abad Pertengahan ini, lebih populer dengan istilah Ikonoklasme, suatu gerakan penghancuran dan penolakan terhadap pemujaan berhala. Gerakan ini mendapat legitimasi dari kaum rohaniawan di Gereja-gereja Timur (Bizantium) untuk memerangi pengaruh paganisme di Eropa (Martin Suryajaya, 2016:136).

Barang tentu esensi gerakan Ikonoklasme itu sangat dipahami dengan baik oleh para Wali yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Walaupun, besar kemungkinan pemahaman para Wali tentang hal tersebut, sama sekali tidak ada hubungannya dengan gerakan Ikonoklasme yang berkembang di Barat pada abad pertengahan itu.

Mengingat konsep tauhid dalam Islam cenderung lebih dekat dengan konsep tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sehingga tak heran jika dalam perjalanannya mensyiarkan Islam dengan medium wayang, para wali, sama sekali tidak pernah menggambarkan zat Tuhan atau barangkali mengidentikkannya dengan dewa.

Seumpama hendak mengaktualisasikan eksistensi tuhan dalam wayang, maka para wali lebih cenderung memilih, mendeskripsikan sifat dan keagungan-Nya yang mengarah pada pentauhidan ketimbang melukiskan zat-Nya.
Misalnya, ilustrasi keagungan sifat-sifat Tuhan dalam wayang hanya disimbolkan dengan istilah-istilah seperti, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dan Gusti Kang Murbeng Dumadi kurang lebih maknanya sejajar dengan: Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa dan Tuhan Penguasa Kehidupan. Sedang untuk perbuatan Tuhan, dilambangkan dengan aktivitas Trimurti: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa (Sunyoto, 2012: 364).

Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada perubahan mendasar dalam konsep teologi wayang pada masa Islam dengan konsep teologi wayang pada masa sebelumnya. Di mana, jika eksistensi Dewa sebelumnya dianggap sebagai Tuhan, maka keberadaan Dewa dalam wayang masa Islam tidak lagi dianggap sebagai Tuhan. Melainkan menjadi, semacam narasi pengantar, pengenalan kepada Allah, Tuhan yang Maha Tunggal.

Dari uraian di atas, setidaknya ada tiga perubahan mendasar dalam ontologi wayang setelah berasimilasi dengan ajaran Islam. Pertama, dewa bukanlah Tuhan. Kedua, kekuatan sosok dewa bukanlah kekuatan bawaan karena kuasanya sendiri, melainkan karena Tuhan yang berkehendak menganugerahinya kekuatan. Ketiga, yang paling mencolok, posisi dewa telah diredusir sedemikan rupa hingga menjadi makhluk ciptaan Tuhan atau barangkali sejajar dengan manusia.

Konsep Teologi dalam Wayang Menak

Serat Menak merupakan kitab hikayat gubahan pujangga Jawa dari epos besar yang berasal dari negeri Persia. Bangsa Melayu menerjemahkannya menjadi “Hikayat Amir Hamzah” dan nantinya Serat Menak dijadikan sebagai “kitab induk” atau pakem untuk cerita pementasan Wayang Menak.

Sekilas tipologi Wayang Menak dengan Wayang Purwa sangat jauh berbeda dalam hal konsep teologi. Jika Wayang Purwa eksistensi dewa masih dipertahankan, walaupun perannya sudah jauh berbeda dengan wayang pra-Islam, maka unsur-unsur dewa itu sama sekali tidak muncul dalam khazanah cerita Wayang Menak.

Meski kedua wayang tersebut sama-sama berkarakter surealis dalam konteks narasi mistis atau kekuatan supranatural yang dibangun di dalam pakemnya. Akan tetapi tokoh-tokoh dalam Wayang Menak memperoleh anugrah kesaktian atau “kekuatan” tidak melalui, perantara dewa, seperti konsep titisan (reinkarnasi) Dewa dalam cerita Wayang Purwa.

Seperti yang dikisahkan dalam episode pertama Wayang Menak. Wayang Menak dimulai dari cerita yang termuat dalam Menak Sarehas. Dalam Menak Sarehas dikisahkan, orang yang paling sakti mandraguna adalah sosok Patih Betaljemur. Yang nantinya menjadi guru Raden Jayengrana. Kesaktian yang diperoleh oleh Betaljemur merupakan warisan dari ayahnya Baktijemal berupa Kitab Adamakna. Kitab Adamakna didapatkan oleh Baktijemal dari ayahnya, Lukmanulhakim.

Siapa Lukmanulhakim? Lukmanulhakim adalah putra Nimdahu, juru masak kerajaan Medayin. Lukmanulhakim memperoleh kesaktian, kebijaksanaan dan kemampuan menghidupkan orang mati, setelah ia menyantap apem dari bahan kulit kayu pemberian Nabi Kilir kepada Raden Sarehas, Raja Medayin.
Konon, saat Raden Sarehas pulang dari pertapaannya, Raden membawa kulit kayu pemberian Nabi Kilir. Raden Sarehas memerintahkan Nimdahu, mengolah kulit kayu tersebut menjadi kue apem. Sayangnya ketika kue apem itu sudah matang, kue yang mengandung hasiat kesaktian tersebut dilahap oleh Lukmanulhakim. Maka jadilah yang memiliki kesaktian itu Lukmanulhakim bukan Raden Sarehas.

Wayang Menak sederhananya mengisahkan tentang petualangan Amir Hamzah yang lebih populer dengan nama Raden Jayangrana yang melakukan serangkaian penakhlukan ke kerajaan-kerajaan lain (kerajaan non-Islam) dengan misi meyebarkan ajaran Islam. Islam dengan syariat pra-Muhammad.

Pola pengisahan pada umumnya, setiapkali pasukan Raden Jayengrana berhasil mengalahkan musuhnya, hal yang pertama dituntut kepada lawannya yang sudah kalah itu adalah kesediannya menerima agama Islam, sebagai ganti agama atau kepercayan sebelumnya. Jika musuh bersedia ia akan diampuni, sebaliknya jika tidak bersedia maka ia segera dibunuh.

Selain misi penakhlukan dan penyebaran Islam itu, konflik berkepanjangan yang dihadapi oleh Raden Jayengrana adalah pertentangannya dengan mertuanya sendiri yakni Prabu Nusirwan dari negeri Madayin, Ayah kandung Dewi Ratna Muninggar (istri Raden Jayengrana) yang tidak mau tunduk dan tidak bersedia mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Ajaran atau konsep tauhid di dalam Wayang Menak tidak digambrakan secara eksplisit di dalam 24 seri lakonnya. Hanya saja konsep teologi itu disampaikan lewat adegan atau peristiwa-peristiwa tertentu yang mengarah pada konsep ajaran dalam tauhid. Dan lebih cenderung mengarah pada konsep tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.

Salah satu adegan yang barangkali dapat memberikan gambaran tentang konsep, teologi dalam Serat Menak, tertuang dalam Menak Sulub. Misalnya, ketika Putri Sajarah Banun, penghuni Pulau Sulub, sebuah pulau di tengah Sungai Nil, Mesir. bermimpi didatangi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memberi petunjuk kepada Sajarah Banun bahwa kelak ia akan berjodoh dengan Raden Maktal (Pengikut Raden Jayengrana). Setelah petunjuk itu, kemudian Nabi Ibrahim menuntun Sajarah Banun menerima Islam atau syariat yang dibawanya.

Dalam batasan tertentu, Islam bermakna penyerahan mutlak kepada kehendak Tuhan seru sekalian alam. Dan Agama Islam dimulai sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir. Yang berbeda hanya syariatnya, sedang isinya sama. Sama-sama mengandung ajaran Tauhid (Pandam Guritno, 1987). Maka dalam kesempatan ini, rasanya tidaklah berlebihan jika saya menilai bahwa wayang yang berkembang setelah ajaran Islam masuk ke Nusantara sebagai Wayang Tauhid. Wayang yang penuh dengan spirit tauhid. Wallahuallam.

Politik bukan jadi barang baru bagi umat Islam. Semenjak merdeka, kontestasi umat Islam dalam perpolitikan Indonesia tak bisa terbantahkan. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, umat Islam telah melakukan kegiatan politik dengan mendirikan kongsi-kongsi perdagangan (saudagar).

Lebih menarik lagi, jika politik kemudian diidentikan dengan partai sebagai instrumen penting dalam kegiatannya. Maka, umat Islam juga tak bisa ketinggalan untuk disebut di situ. Sebut saja, Partai Masyumi yang terkenal dengan partai Islam terbesar kala itu.

Puzzle Islamisasi Politik Prof. Dr. Kuntowijoyo 

Dengan pengetahuan yang sudah terbangun soal dinamika politik dan umat Islam, membaca buku Identitas Politik Umat Islam karya Prof. Dr. Kuntowijoyo dapat melengkapi puzzle-puzzle pengetahuan yang masih bolong.

Menarik membaca karya dari Prof. Dr. Kuntowijoyo ini. Dia punya pandangan yang sama sekali baru terhadap kondisi umat Islam kala itu. Ia menyatakan bahwa umat harus sadar. Umat Islam harus mengerti seperangkat pengetahuan tentang politik. Atau dalam bahasa kuntowijoyo disebut sebagai juklak dan juknis.

Umat Islam harus mengerti seperangkat pengetahuan tentang politik. Atau dalam bahasa Kuntowijoyo disebut sebagai juklak dan juknis.

Kuntowijoyo kemudian mengingatkan bahwa umat Islam yang dibangun dengan dasar emansipasi, humanisasi, liberalisasi dan transendensi akan mencapai ‘civil sociation’ (masyarakat madani) yang, dalam bahasanya; “baldatun toyyibatun warrobbun ghofur.” Utamanya, ketika ia membahas apa yang seharusnya dilakukan umat islam kala kesadaran akan realitas sudah tercerabut dari alam pikiran.

Kuntowijoyo kemudian memecut umat Islam dengan sebuah kalimat yang luar biasa; bahwa agama selama ini hanya dijadikan simbol, sedang politik adalah realitas yang tak terjamah ruangnya.

Ia kemudian memberondong kesadaran umat dengan berbagai term-term yang, menurut Kuntowijoyo, belum dimiliki (diketahui lebih dalam) oleh umat Islam kontemporer. Di antara yang disinggungnya adalah term (espitemologi) politik, term demokrasi, dan term hubungan agama dengan negara.

Gambar : Buku Identitas Politik Umat Islam

Epistemologi Politik Islam

Kuntowijoyo mendedel kesadaran umat Islam dengan menghidangkan sepiring pengetahuan tentang epistemologi politik. Dalam sepiring hidangan itu, Kuntowijoyo membagi menjadi 4 sub yang sangat prinsipiel.

Pertama, epistemologi relasional. Menurutnya, epistemologi rasional adalah cara berpikir integralistik. Yaitu sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua kenyataan berasal dari Tuhan (inna lillah) dan akan kembali pada Tuhan (wa inna ilaihi Raji’un). Atau dengan gambar yang lebih linier dari pada siklus, bahwa segala kenyataan berpangkal pada Tuhan dan berujung pada Tuhan. (Hlm. 2-3)

Kedua, ummatan wasathan. Dalam Al Quran dinyatakan bahwa umat Islam adalah umat pertengahan (Al Baqarah: 143). Berada di tengah dapat dicapai dengan berdiri persis di tengah dua gejala yang bertentangan. Misalnya, pilihan antara individu atau negara, maka jawabannya adalah umat Islam berada di tengah-tengah. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa berada di tengah bukan menggunakan cara negatif seperti bersikap tidak kapitalisme juga tidak sosialisme.

Ia kemudian mengutip kalimat Dawam Rahardjo, “Islam harus mendayung di antara dua karang.” Islam tidak berdasar kemerdekaan mutlak individu atau kekuasaan mutlak negara; ada hak-hak asasi dan kemerdekaan individual, tetapi ada juga hak-hak kolektivitas. (Hlm. 5)

Perubahan yang berkemajuan tidaklah diukur dari sisi luarnya (matrealistik) saja, tetapi lebih kepada aspek bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Al Ahzab).

Ketiga, pemihakan. Kaum dhu’afa’ (Al Baqarah 266) dan mustadh’afin (An Nisa 75) adalah yang harus dibela. Dalam pemihakan (dan pembelaan) yang mulia terhadap kaum dhu’afa’ (orang kecil) dan mustadh’afin (teraniaya), tidak boleh disertai perilaku sebaliknya: Islam melarang semua bentuk ketidakadilan, termasuk kepada orang kaya (aghniya, the have) (Al Kaidah 32). (Hlm. 9-10)

Keempat, iman sebagai kriteria perubahan. Umat Islam menghendaki perubahan. Tapi perubahan yang dimaksud umat Islam tidak sama dengan perubahan milik kaum Marxisme atau perubahan yang dibidani oleh the idea of progress Turgot dan Condorcet dari Barat pada Zaman Pencerahan serta juga teori modernisasi dari Barat yang sekuler. Perubahan yang berkemajuan tidaklah diukur dari sisi luarnya (matrealistik) saja, tetapi lebih kepada aspek bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Al Ahzab). (Hlm. 14)

Begitulah sepiring hidangan dari epistemologi politik, dalam hal ini adalah epistime politik Islam. Sangat kontras dengan epistime politik kaku yang dimiliki Islam pada umumnya, bahkan oleh bangsa yang pertamakali mencuatkan bahasa politik.

Pandangan Kuntowijoyo ini didasarkan pada paradigma Qur’ani. Sebuah cara pandang yang mengedepankan transendensilitas dalam menelaah fenomena sosial atau yang disebut oleh M. Syafi’i Anwar dalam pengantar Buku Indentitas Politik Umat Islam sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP).

Masjid baru terisi separuh ketika takmir melaporkan penggunaan keuangan dan pengumuman kegiatan masjid dan bahwa: “…hari ini yang akan memberikan khotbah adalah Kang Chairil…”

Kang Chairil memang bukan kiai, bukan ustadz. Ia hanya seorang pedagang buku bekas dan barang antik. Siang menjelang sore ia akan mendatangi para pengepul barang rongsokan untuk melihat kalau ada buku bekas atau barang lawas yang menarik dan membelinya untuk dijual kembali ke para pedagang eceran atau dijual secara online. Lalu sesudah itu ia akan duduk santai di warung angkringan langganannya, ngobrol dengan para koleganya barisan sektor informal hingga magrib tiba.

Karena itu ketika diminta memberikan khotbah di masjid tetangga kampung, ia tertawa dan langsung menolak.

Sampeyan ini bercanda mas, lha wong saya ini ngerti apa?”

“Kemarin itu nyatanya bisa.”

“Kemarin itu darurat. Nggak ada yang mau menggantikan. Masa nggak ada Jumatan. Jadi ya saya terpaksa memberanikan diri.”

“Tapi khotbah jenengan cakep. Banyak yang suka. Saya nggak mengada-ada. Kemarin di acara Yasinan semua senang dan memuji khotbah jenengan.”

“Iya syukurlah, tapi saya tetap nggak bisa. Sampeyan ngerti sendiri sehari-hari saya ya begini. Lebih banyak jalan daripada di masjid. Sehari-hari senang memakai kaos oblong dan celana pendek. Kalau sore sering menghabiskan waktu ngobrol di angkringan. Bayangkan saja mas. Pokoknya saya tidak elok jadi tukang khotbah. Nggak punya muru’ah. Apa nanti kata jamaah kalau yang khotbah seperti saya ini.”

Bagi Kang Chairil, memberikan khotbah memang bukan semata soal keterampilan teknis. Lebih dari itu, ia juga sebuah komitmen moral. Seorang pengkhotbah adalah cermin berjalan yang senantiasa dipakai oleh umat untuk berkaca. Ia benar-benar tidak siap untuk menjadi pribadi demikian. Atau kalau tidak sanggup menjalani komitmen moral itu, harus pandai mengkreasi citra. Citra seorang yang saleh dan teladan.

Tapi bapak kampung tetangga sebelah itu terus mendesaknya. Ketika Kang Chairil tetap pada pendiriannya, si bapak kemudian mengeluarkan jurus andalannya.

Lha saya minta jenengan itu karena rekomendasi mbah Yai Suyuti. Jadi kalau begitu nanti saya balik ke beliau saja minta nama lain.”

“Mbah Suyuti? Masya Allah, lama saya nggak sowan beliau…”

Mendengar nama Mbah Suyuti, Kang Chairil jadi terkejut dan sekaligus tidak berkutik. Mbah Suyuti adalah guru mengajinya dan keluarganya. Bagaimanapun ia tidak bisa menolak kalau itu rekomendasi beliau karena guru baginya orang kedua setelah ibu-bapaknya. Mbah Suyuti sangat ia hormati. Sosok seorang kiai kampung: sederhana, ramah, halus, dan alim. Ia sangat sungkan, terutama karena ia tak berpenampilan sebagaimana umumnya santri-santrinya. Namun di balik itu, ia juga senang, karena ternyata gurunya percaya kepadanya.

“Baiklah kalau begitu. Saya bersedia, dengan syarat nanti nama saya cukup disebut “Kang” saja atau kalau perlu nama saja. Nggak usah pakai embel macam-macam.”

“Alhamdulillah, syukran…”

Mereka bersalaman, dan sang bapak puas karena misinya sukses.

***

Kang Chairil tampil memberikan khotbah dengan busana celana dan batik lengan panjang serta berpeci hitam. Beda lazimnya khatib, tapi mirip dengan penampilan para pejabat kementerian agama.

Ia mengajak jamaah untuk merenungkan makna Kematian yang terjadi entah karena sakit, kecelakaan, atau karena rentetan peristiwa bencana yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Ia mendoakan mereka yang menjadi korban, yang ia sebut dicintai Allah karena itulah mereka Dia panggil lebih cepat.

“Cukuplah kematian sebagai nasihat,” ia mengutip hadits Nabi yang terkenal, setelah sebelumnya menyitir Quran tentang datangnya kematian yang tak pernah diduga dan tak bisa ditunda atau pun dimajukan.

Tapi yang menarik tentu adalah ketika dia mengutip sebuah Puisi dan memberikan tafsirnya:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta.

Dalam puisi ini, demikian penjelasan Kang Chairil, si penyair memandang kehidupan sebagai sebuah perjalanan yang jauh dan dekatnya, panjang dan pendeknya, tak pernah bisa dikira. Yang jelas harus terus berjalan.

Perjalanan akan sampai, “tiba” pada tujuan, ketika kematian menjemput. Jadi kita semua pada saatnya nanti pasti akan “tiba” dari perjalanan ini, selesai dengan kehidupan ini.

Ketika kita “tiba”, atau siapapun yang telah “tiba”, tidak usah sedih. Tidak perlu merasa tertusuk kalbu. Kita atau siapapun harus memiliki “kerelaan” untuk tiba. Dengan cara itulah kematian menjadi hal yang harus dihadapi dengan sabar dan tabah. Didekap dengan pasrah.

Di hadapan kematian, kita adalah sebutir debu. Sirna segala kehebatan, musnah segala kesombongan, hancur segala kemegahan.

Tapi masalahnya, kita sering lupa, pada kematian. Kita merasa akan terus berjalan dan seolah tidak akan pernah “tiba” atau “sampai.” Hari-hari kita, jam demi jam, menit ke menit, detik ke detik, diisi dengan segala aktivitas yang melupakan kematian. Tapi kita butuh interupsi. Itulah kabar kematian.

Kang Chairil menutup khotbah singkatnya dengan menyerukan jamaah untuk tak mengabaikan takziah kepada tetangga, saudara, atau teman yang meninggal dan juga ziarah kubur.

Itulah cara sederhana untuk mengingat kematian, katanya.

“Di depan mimbar masjid, ia menulis judul “Ibuku”. Ia pandangi bagian belakang masjid, tempat ibadah untuk para wanita. Ia berdiri. Air matanya menetes. Ia berjalan mendekati sebuah sajadah yang masih terhampar. Kemudian bersujud lama. Ada bau rambut ibunya.” (hlm. 87)

Saat menulis kutipan di atas, saya sedang berada di Masjid Kampus UGM, tepatnya di tempat salat untuk para wanita di lantai dua. Kalimat-kalimat dari kumpulan cerita pendek SEX.ISLAM.LOVE (selanjutnya akan saya sebut S.I.L) karya Muhammad Anta Kusuma tersebut langsung membuat wajah Ibu berkelebat di depan saya. Bau rambutnya terbawa angin bersama azan Isya yang menyapa lampu gantung bundar, pilar-pilar besar, dan lantai marmer masjid mewah ini. Saya rasa setiap ibu memiliki wajah semesta di mana Cinta dan air matanya menjadi sajadah tempat anak-anaknya mesti bersujud. Selapis memori tentang sosok ibu, siapa pun ia, tidak bisa saya tepiskan ketika mengulas S.I.L.

Selepas jamaah salat Isya, saya diperingatkan satpam bahwa lampu masjid hendak dimatikan. Terpaksa saya menunda kalimat-kalimat tentang wajah universal para ibu yang mengaliri hati dan pipi. Kalimat-kalimat ini datang belakangan setelah sebelumnya, sejak bulan lalu, saya menulis beberapa paragraf tentang S.I.L. Paragraf-paragraf tersebut akan berusaha saya jalin dengan paragraf-paragraf baru yang hadir setelah saya membaca S.I.L untuk yang ketiga kalinya.

Jujur saja, mengulas S.I.L tidak segampang membaca definisi-definisi sex, Islam, dan love di kamus-kamus. Mengapa? Ketika saya menerima buku ini dari sang penulis—meski pada tahun lalu sudah pernah membaca ulasan tentangnya, mata saya terpaku pada gambar sampulnya: gambar jilbab hitam dengan bagian muka berbentuk simbol hati atau cinta. Karena gambar sampul biasanya merupakan representasi dari isi buku, saya mengimajinasikan gambar jilbab hitam berwajah cinta tersebut sebagai simbol sex, Islam, dan love yang menjadi ruh dari seluruh cerita di S.I.L. Saya saat itu sadar bahwa definisi sex di dalam bahasa Inggris tak hanya satu, melainkan dua. Sex bisa berarti ‘seks’ dan juga ‘jenis kelamin’, yang tentu saja terkait erat dengan identitas seorang manusia. Jilbab, yang biasanya membungkus rambut “bersejarah” para ibu—saya agak sentimental jika ingat rambut Ibu yang mulai beruban, adalah simbol perempuan yang memeluk Islam dengan cinta. Kesan ini tentu tercipta karena saya adalah seorang perempuan. Bisa jadi kesan ini tidak seperti yang dimaksudkan oleh sang penulis. Bukankah membaca buku adalah pekerjaan untuk menangkap kesan dan pesan? Menarik benang merah dari setiap cerita yang dikandung S.I.L dengan tafsir yang sudah telanjur berdesakan di kepala, bagi saya, tentu tidak mudah.

Frasa ‘bau rambut ibu’ yang terdengar merdu itu saya temukan di cerpen keenam belas yang berjudul “Bacco”. Bacco adalah seorang mahasiswa S2 di Belanda yang sedang pulang kampung ke Sangkulirang, sebuah kota kecil di Kalimantan Timur dengan masjid di tepi laut. Perjalanan Bacco menyusuri (bandara) Balikpapan, Sungai Mahakam, Kota Sangatta, dan Jembatan Sangkulirang membuat saya sebagai pembaca membayangkan—selain nikmatnya Coto Makassar dan ikan bakar yang dijual di pinggir jalan(an) Sangatta—penebangan dan penambangan liar di Bukit Soeharto serta hilangnya mata pencaharian penduduk yang memiliki usaha jasa penyeberangan menuju Sangkulirang karena keberadaan jembatan. Meski hanya sekilas dituturkan, fenomena yang dipotret Bacco dalam perjalanan untuk menemui ibunya tersebut cukup mampu mengingatkan saya bahwa ada yang salah dengan cara kita memanfaatkan teknologi modern. Untungnya, Bacco dan saya memiliki tempat pulang yang bernama kenangan masa kecil: tempat yang tidak akan ditebang dan ditambang secara liar oleh modernitas. Saya serta-merta teringat makanan kesukaan saya semasa kecil, yaitu bubur blowok (orang Yogya biasa menyebutnya jenang sungsum), ketika Bacco diajak ayahnya untuk duduk dan berbuka puasa dengan makanan kesukaannya: bulu pecak (hlm. 86). Kerinduan kepada bubur khas Bugis tersebut juga tersurat di cerpen yang berjudul “Masjid” (hlm. 58).

Membacanya, saya bertanya: di antara sex, Islam, dan love, mana yang paling mempengaruhi spiritualitas manusia?

Kisah tentang Bacco bukan cerita yang pertama saya baca dari S.I.L. Karena saya suka membaca dari belakang, cerita pertama darinya yang saya baca adalah cerita terakhir yang berjudul “Ortu”. Berbeda dari cerpen-cerpen lainnya, cerpen ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama, ‘aku’, yang bernama Anta. Meski sang penulis, (saya panggil saja) Anta, mengaku enggan untuk mencantumkan biodatanya di bagian terakhir buku, saya menyangka bahwa cerpen ketujuh belas ini adalah biodatanya. Lagi-lagi, perasaannya tentang sang ibu dibabar dengan halus: “Di depan rumah, Ibu kupeluk. ‘Assalamualaikum,’ kutatap mata Ibu sambil kulambaikan tangan. Dari balik jendela mobil yang gelap, kulambaikan tangan sekali lagi. Mobil melaju. Kulihat Ibu melambaikan tangan sambil mengusap wajahnya. Sajadah pemberiannya kumasukkan ke dalam tas ransel. Ujungnya basah. Pasti air mata ibu [sic].” (hlm. 92)

Selain di cerpen “Ortu”, Anta menggunakan sudut pandang orang pertama ‘aku’ di tujuh cerita pendek lainnya. ‘Aku’ di cerpen “Ramadan” dan “Masjid” mendeskripsikan suasana Ramadan di Den Haag sambil sesekali membandingkannya dengan atmosfer bulan puasa di Indonesia. Di cerpen “Jum”, tokoh ‘aku’ juga menceritakan pengalamannya ketika berada di Belanda. Bedanya, ‘aku’ tidak lagi mengulik kenangannya di Indonesia karena cerita terpusat pada Jum, seorang imigran dari Indonesia yang mengaku tidak beragama dan mengadu nasibnya ke Belanda karena cinta dan trauma. Sayangnya, Anta kurang konsisten dalam menggunakan sudut pandang orang pertama di cerpen ini: kadang tokoh ‘aku’ disebutnya ‘saya’. Selain itu, beberapa paragraf tentang masa lalu Jum dituturkan tidak dari sudut pandang orang pertama. Ada kalimat semacam ini, misalnya: “Ruben dan Jum melangkah cepat. Mereka berhenti di depan gereja.” (hlm. 63) Kalimat tersebut dan beberapa kalimat lainnya, menurut saya, kurang pas digunakan karena si ‘aku’ bukan saksi sejarah hidup Jum. Akan beda halnya jika penceritaan dilakukan dari sudut pandang orang ketiga. Terlepas dari ketidaksempurnaan teknik penceritaannya di mata saya, “Jum” berhasil menyampaikan gambaran tentang seorang perempuan yang kuat meski ia pernah diceraikan oleh suami pertamanya—karena tidak bisa memberikan anak—dan kerap dihantui perasaan ngeri akan pembantaian terhadap PKI.

‘Aku’ di “Multikultur” secara lepas mengisahkan para tokoh dari berbagai kebangsaan di sebuah warung dan di perpustakaan kota Den Haag. Cerpen “Claire” dan ”Emirates”, yang mengambil setting di dalam pesawat terbang, juga menggunakan tokoh ‘aku’ dalam bercerita. Claire, yang berasal dari Perancis, adalah seorang penumpang pesawat Emirates yang duduk di sebelah ‘aku’. Kedua tokoh itu sedang menuju Belanda dari Dubai: Claire baru selesai mengerjakan proyek di India dan ‘aku’ akan melakukan proyek penulisan cerpen di Belanda. Meski cerita tentang Claire cukup pendek, Anta tak lupa memasukkan topik cinta lewat deskripsi singkat tentang film Amour yang ditonton si ‘aku’ dan percakapan tentang identitas agama kedua tokohnya. Cerpen ini, dan juga cerpen “Jum”, diakui Anta sebagai kisah non-fiksi.

Cerita yang mengambil sudut pandang dari seorang ‘aku’ juga bisa ditemukan di cerpen “Setan”, yang dikisahkan terjadi di Indonesia. Cerpen “Setan” sesungguhnya merupakan lanjutan cerpen “Yohana” yang mengawali serangkaian kisah di S.I.L. Ketika membaca keduanya, saya memosisikan diri sebagai Yohana dan berempati kepadanya. Yohana adalah seorang ibu dengan dua anak kembar yang ditinggalkan ayah mereka, Yusuf, ke Amerika. ‘Setan’ atau ‘dua setan kecil’ adalah sebutan tokoh ‘aku’ untuk anak-anaknya. Entah mengapa saya kurang setuju dengan judul yang terkesan dingin itu. Meski demikian, sebutan tersebut bisa jadi merupakan bentuk ekspresi seorang ayah yang tak mengira bahwa ia mempunyai dua anak kembar. Ketika Yohana mengakui bahwa ia masih mencintai dan sudah memaafkan Yusuf (hlm. 25) yang telah mengembalikan kalung rosarionya, saya turut merasakan pilu sekaligus sublimnya cinta seorang perempuan kepada lelaki yang berbeda agama dengannya.

Meski sublim, kisah cinta Yohana-Yusuf ini menyimpan beberapa kejanggalan di logika saya. Kejanggalan ini muncul karena masalah semantik. Di dalam cerpen “Yohana”, Anta menulis sebuah kalimat yang mengandung ambiguitas makna: “Mereka terakhir bertemu di Jogja ketika Merapi meletus tahun 2010” (hlm. 9). Makna pertama adalah bahwa ‘pertemuan terakhir mereka di Jogja terjadi pada tahun 2010’. Kalimat tersebut juga bisa berarti ‘pertemuan terakhir mereka terjadi di Jogja pada tahun 2010’. Kalimat yang ambigu itu membuat saya sempat bingung dan bertanya: bagaimana mungkin sepasang kekasih (atau suami istri?) tidak pernah bertemu di Jakarta padahal mereka sama-sama bekerja di sana? Kejanggalan kedua terdapat di cerpen “Setan”: tokoh ‘aku’ tidak dikenali oleh teman lamanya sendiri. Dunia memang penuh kemungkinan-kemungkinan, tapi kecil sekali kemungkinan bahwa seseorang tidak lagi dikenali sahabat lamanya sendiri setelah terpisah selama tiga tahun (saja).

Saya juga menemukan kejanggalan di cerpen “Roppongi” yang berkisah tentang pengalaman sang tokoh utama, Acong, ke kawasan Roppongi, Jepang. Keluarga Acong adalah korban kerusuhan Mei 1998. Secara kebetulan, Acong bertemu dengan orang yang diduga telah menganiaya keluarganya. Ini memang mungkin terjadi, tapi saya merasa ada yang aneh ketika Acong bisa mengatakan bahwa orang yang baru sekali dilihatnya secara langsung—dan sekali lewat foto—itu “persis sama” dengan sesosok pria yang sering diceritakan oleh ibunya (hlm. 19). Apakah kemampuannya untuk mengenali sosok yang membekas di ingatan ibunya itu dipengaruhi oleh kuatnya cinta antara ibu dan anak? Acong memang dikisahkan bertemu ibunya di rumah sakit jiwa seminggu sekali. Mungkinkah frekuensi pertemuan mereka menjadi sekuntum doa yang memperjalankan Acong untuk bertemu lelaki itu di Roppongi? Meski sempat mengundang tanya di benak saya, cerpen ini menarik karena Anta menuliskannya secara singkat tapi tetap bisa menyuguhkan kejutan di akhir cerita—seperti halnya di cerpen-cerpennya yang lain.

Kisah tentang ibu dan anak lagi-lagi saya temukan di cerpen “Roman”. Roman adalah anak dari seorang ibu muda bernama Rara. Dengan gaya berceritanya yang “ringkas”, Anta memasukkan banyak kejadian yang terbilang mengejutkan di cerita ini. Karena terbiasa menikmati cerita pendek ala koran, saya berharap cerpen ini bisa diceritakan dengan lebih deskriptif dan dramatis. Cerpen ini sayangnya masih bersambung dan membuat saya berharap (lagi) bahwa lanjutannya akan lebih romantik—bukan romantis. Jika ditulis dalam bentuk novel, mungkin cerita ini akan menjadi semacam novel misteri yang penuh konflik psikologis: “Roman” yang romantik!

Jilbab, yang biasanya membungkus rambut “bersejarah” para ibu—saya agak sentimental jika ingat rambut Ibu yang mulai beruban, adalah simbol perempuan yang memeluk Islam dengan cinta.

Bicara soal roman, saya hendak menuju cerpen “Sah”. Cerpen ini ditulis Anta dalam bentuk percakapan seperti naskah drama pendek dengan satu paragraf pembuka. Di dalamnya, kita bisa berkenalan dengan Ahmad dan Kristin: suami-istri beda agama yang berdialog tentang cinta untuk bercinta setelah salat bersama—ya, Kristin ikut salat meski bukan muslim. Ahmad bertanya kepada istrinya, “Mana yang lebih kamu cintai, [sic] aku, keluargamu, atau Tuhanmu?” (hlm. 34) Dialog mereka membuat saya teringat kepada Nietzsche yang, dalam bukunya Human, All Too Human (1984: 199), berkata, “When entering a marriage, one should ask the question: do you think you will be able to have good conversations with this woman right into old age? Everything else in marriage is transitory, but most of the time in interaction is spent in conversation.” Meski bukan seorang Nietzschean, kali ini saya harus bersepakat dengan sang filsuf bahwa pernikahan adalah sebuah percakapan panjang. Tanpa harus saya terjemahkan, kutipan berbahasa Inggris itu sudah bisa ditangkap maknanya, ‘kan? Sebentar lagi Kristin merayakan Hari Natal. Saya bertanya-tanya kalimat apa yang akan diucapkan Ahmad untuk istri tercintanya itu. Andai percakapan mereka lebih panjang, tentu pertanyaan saya itu berpeluang untuk terjawab.

Di cerpen “Kucing”, saya mencium aroma politik ketika membaca dua nama tokoh di dalamnya: Joko dan (Om) Fauzi—apalagi udara Jakarta yang panas menjadi latar belakangnya. Joko, sang tokoh utama, tak punya uang untuk mendapatkan peran dari sutradara yang bernama Fauzi. Di panggung cerita itu, rupanya si kucing hanya berperan sebagai penyampai pesan bahwa makhluk-makhluk di Ibu Kota saling berebut “makanan” untuk memenuhi nafsu perut mereka.

Tampaknya yang membuat orang-orang saling sikut tak hanya nafsu perut. Nurdin di cerpen “Sexterdam” juga kekurangan uang, padahal ia ingin pergi ke Drakes’s Club: entah untuk memenuhi keingintahuannya saja tentang kehidupan para gay atau untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Cerpen ini mengingatkan saya bahwa motif dan orientasi seksual manusia bisa bermacam-macam. Tentu cerita semacam ini tak hanya bisa terjadi di Amsterdam. Di Madison, Amerika Serikat, yang menjadi setting cerpen “Veronica”, seks juga dijadikan alat untuk balas dendam atas peristiwa September Eleven. Ahmad, seorang mahasiswa asal Indonesia yang rajin salat tapi doyan vodka, yang tak punya andil dalam penghancuran menara kembar WTC, menjadi korban stereotip yang menimpa agamanya.

Berkelindannya sex, Islam, dan love kita dapati di cerpen yang judulnya dijadikan judul buku ini. Di cerpen “SEX.ISLAM.LOVE”, buku Allah, Liberty and Love dan The Trouble with Islam Today karya Irshad Manji disebut-sebut. Ketika membaca cerpen ini, saya merasa ide kebebasan (termasuk dalam mengekspresikan orientasi seksual dan berijtihad) yang diusung Manji di kedua bukunya itu di-vis-à-vis-kan Anta dengan perilaku kekerasan (dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat) seorang aktivis Front Penjaga Islam. Pertentangan itu terjadi di batin anak sang aktivis yang bernama Rosa, yang sangat suka dengan kejujuran Manji (hlm. 39), dan membuatnya ingin hidup dengan Rafi—sang tokoh utama, bukan dengan Islam (hlm. 40). Rosa, yang sehari-hari berjilbab, dan Rafi, yang rajin salat subuh berjamaah, mengekspresikan kebebasan mereka dengan berhubungan badan meski baru berkenalan. Membacanya, saya bertanya: di antara sex, Islam, dan love, mana yang paling mempengaruhi spiritualitas manusia?

Pertanyaan itu mengingatkan saya kepada Ibnu Arabi yang dalam Tarjumanul Asywaq-nya memuja perempuan sebagai bentuk kerinduannya kepada Tuhan. Baginya, perempuan adalah tajalli-Nya. Dengan cinta dan kerinduan yang agung itu, Ibnu Arabi bahkan menyimpulkan bahwa tajalli Tuhan akan sempurna melalui hubungan seksual yang fisikal sekaligus spiritual dengan perempuan. Saya lalu teringat Imam Al-Ghazali yang—sepemahaman saya—juga pernah menyatakan bahwa pengalaman tubuh dan pengalaman ruhani manusia tidak bisa dipisahkan. Dengan sedikit pengetahuan tentang itu semua, saya berasumsi bahwa seks bisa menjadi salah satu pintu untuk mencapai orgasme spiritual. Di ruang pertemuan antara tubuh dan ruh, momen perjumpaan dengan Tuhan mungkin bisa diciptakan. Pertemuan semacam itu sepertinya hanya bisa suci apabila pintu-pintu lain, yang—bagi sebagian orang—bernama Islam dan cinta, juga dimasuki. Saya rasa ketiga pintu yang purba itu bisa manunggal: semacam tiga elemen yang hanya akan invalid jika dipisahkan dari satu sama lain. Ketika ketiganya dirangkai menjadi judul SEX.ISLAM.LOVE dan dipisahkan dengan dua titik, saya menyimpulkan: bukannya memisahkan mereka, titik-titik itu justru menjadi penanda bahwa masing-masing elemen itu harus selesai dikenali sebelum dileburkan ke dalam jiwa-raga. Apakah persangkaan saya itu benar? Saya belum tahu. Ini hanyalah gerundelan seorang pembaca yang heran mengapa ketiganya tidak dipisahkan dengan dua koma. Bagi orang (baca: saya) yang setiap harinya selalu bergulat dengan tanda baca, hal-hal semacam ini bisa menimbulkan kegelisahan.

Tentang buku ini, seorang teman yang pernah berbagi kegelisahan dengan saya di sejumlah organisasi—dan sebelumnya pernah mendengar judulnya—beberapa hari lalu bertanya, “Apakah isi buku itu vulgar?” Kata vulgar yang dimaksudnya itu sepertinya terkait dengan kata sex di judul buku. Saya hanya menjawab bahwa beberapa cerpen di dalamnya mungkin terkesan vulgar bagi sebagian orang. Akan tetapi, apakah seks tabu untuk dibicarakan? Jawaban dari pertanyaan itu tentu akan tergantung pada konteks apa seks sebagai teks diletakkan. Teman saya itu, yang notabene seorang ibu, mengajukan pertanyaan tersebut kepada saya sambil momong anak-anaknya di masjid kampus pada suatu siang. Momen itu menjadi pengingat saya bahwa 22 Desember dikenal sebagai Hari Ibu.

Hari Ibu, yang sebelumnya sempat ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia, tentu merupakan momen yang fitri dan universal karena setiap orang pasti memiliki ibu. Namun, bagi perempuan yang belum berkesempatan untuk menjadi ibu, atau bahkan yang memutuskan untuk tidak akan pernah menjadi ibu karena tidak mau menikah by choice—seperti seorang teman saya lainnya di Ibu Kota, peringatan Hari Ibu mungkin agak menggores sesuatu di (ke)dalam(an) dirinya. Dalam konteks ini, S.I.L—dengan setting cerita dari beberapa negara yang pernah dikunjungi Anta—bisa tampil sebagai sebuah suguhan alternatif tentang realitas dunia perempuan yang begitu kompleks ketika bersinggungan dengan sex (dengan dua maknanya), Islam (baca: agama), dan love (baik yang memakai inisial l maupun L). Sayangnya, buku kumpulan cerpen yang dicetak pertama kali pada tahun 2014 dengan tebal 92 halaman dan berhasil mengantarkan penulisnya menjadi salah satu dari enam Emerging Writers di Makassar International Writers Festival 2016 ini belum beredar di pasar(an) lagi. Saya meyakini satu hukum alam perbukuan: jika sesuatu layak (untuk) dibaca, ia akan lestari—minimal di benak pembacanya—seperti bau rambut Ibu di sajadah itu. Panta Rhei!

 

Yogyakarta kelabu, menjelang Hari Natal 2018