Jawa
Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dengan proses sejarah yang panjang. Dalam perjalanan sejarah tersebut, dinamika masyarakat di dalamnya memiliki ciri khas kebudayaannya sendiri. Masyarakat Indonesia pernah mengalami berbagai macam pemerintahan yang berbeda-beda. Bermula dari pemerintahan kerajaan yang berbasis agama, hingga pemerintahan modern dengan basis kedaulatan rakyat dalam tatanan demokrasi. Kosmologi hadir dalam upaya memahami dinamika kehidupan alam semesta dan keyakinan manusianya (Imam, 2014). Melalui pemahaman kosmologi, kehidupan perpolitikan di Indonesia memiliki nuansa khas tersendiri dalam unsur kebudayaan. Pandangan hubungan kosmologi dan Politik ini dinilai relevan sebagai mitigasi kepemimpinan di masa yang akan datang.
Hubungan kosmologi dan politik di Indonesia memiliki banyak corak sesuai dengan budaya dan ras yang meninggali suatu daerah. Salah satu kosmologi-politik Indonesia yang paling fenomenal adalah kosmologi politik Jawa. Arief Poyuono (2021), berpandangan bahwa kosmologi politik Jawa merupakan bentuk petunjuk calon presiden yang cocok memimpin Indonesia dengan mengacu pada kata istilah ‘Notonegoro’. Dalam kosmologi politik itu, Istilah kata ‘Notonegoro’ merupakan penggalan ramalan Raja Majapahit yang bernama Prabu Jayabaya. Dalam Serat Jangka Jayabaya, Prabu Brawijaya meramal segala hal yang berkaitan dengan kehidupan Jawa dan Indonesia di masa depan. Melalui ramalan tersebut, masyarakat Jawa mempercayainya dan menjadikan ramalan itu sebagai petunjuk tentang masa depan khususnya dalam kehidupan politik.
Makna Istilah ‘Notonegoro’
Prabu Jayabaya meramal kehidupan masyarakat Jawa dalam Serat Jangka Jayabaya. Melalui serat tersebut Prabu Jayabaya membuat rujukan tentang pilar prinsip kebijakan. Prabu Jayabaya membuat pilar kebijakan itu dengan bersumber pada lima prinsip yang disebut dengan “Panca Notonegoro” (Panca Natanegara). Dalam kelima prinsip itu Prabu Jayabaya meramalkan bahwasanya, masyarakat Jawa dapat mengalami masa keselamatan dan kemakmuran ketika seorang pemimpin mampu mengamalkan Panca Natanegara. Adapun prinsip dari Panca Natanegara itu antara lain:
- Nataning Ngawur
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai berbicara. Prabu Jayabaya meramal bahwasannya, seorang pemimpin suatu negara perlu menjadi pribadi yang pandai berbicara. Kemampuan ini dinilai penting dikarenakan komunikasi yang bijak dan efektif seorang pemimpin, akan menuntun masyarakat ke tujuan yang baik.
- Nataning Jaman
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai menyesuaikan diri dengan waktu. Prabu Jayabaya meramalkan seorang pemimpin itu harus mampu menyesuaikan diri dengan waktu. Melalui ramalan ini, makna keselamatan dan kemakmuran terletak pada seorang pemimpin yang mampu menempatkan bagaimana sebuah negara menghadapi zaman.
- Nataning Laku
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai bertindak. Prabu Jayabaya meramalkan seorang pemimpin di suatu negara perlu memiliki kepandaian bertindak. Melalui tindakan tersebut, Prabu Jayabaya percaya bahwasannya masyarakat dan negara akan mencapai sebuah tujuan kemakmuran serta keselamatan jika tindakan seorang pemimpin negeri mampu tepat dan efektif.
- Nataning Ati
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai mengendalikan hati. Prabu Jayabaya meramal bahwasanya, seorang pemimpin harus mampu mengontrol emosi dan sikapnya khususnya dalam menghadapi masa-masa sulit. Dalam hal ini, Prabu Jayabaya menilai seorang pemimpin akan mengalami masa rentan ketika sebuah krisis terjadi. Oleh karena itu, Prabu Jayabaya meramal pemimpin yang bisa mengontrol emosi itu penting.
- Nataning Budi
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai berpikir bijaksana. Prabu Jayabaya meramal seorang pemimpin merupakan sosok yang akan menentukan keselamatan dan kemakmuran masyarakat. Maka jika ingin menjadikan negara dan masyarakat baik, pemimpin yang harus dipilih ialah pemimpin yang memiliki akal sehat dan pikiran bijak dalam mengambil keputusan.
Dalam prinsip Panca Natanegara ini, masyarakat Jawa memaknai seorang pemimpin merupakan imam yang memberikan petunjuk. Masyarakat Jawa menilai dengan pemimpin yang mampu mengamalkan Panca Natanegara, maka pemimpin tersebut akan membawa negara dari krisis dan mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Seiring dengan berkembangnya zaman, pemikiran masyarakat jawa pun juga ikut berkembang. Dalam Kosmologi Politik Jawa ramalan Jayabaya tersebut, masyarakat memaknai ramalan itu dengan memfokuskan pada istilah Natanegara. Masyarakat Jawa tidak lagi menggunakan prinsip istilah Panca Natanegara, dikarenakan di zaman modern ini setiap pemimpin pasti memiliki prinsip tersebut.
Dalam prinsip “Panca Natanegara” ini, masyarakat Jawa memaknai seorang pemimpin merupakan imam yang memberikan petunjuk. Masyarakat Jawa menilai dengan pemimpin yang mampu mengamalkan “Panca Natanegara”, maka pemimpin tersebut akan membawa negara dari krisis dan mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Masyarakat Jawa menilai dalam hal politik memandang Natanegara ini merupakan pemaknaan sebagai penata negara yang bijaksana. Dalam kosmologi politik Jawa secara historis disusun oleh Prabu Jayabaya sebagai perancangan kebaikan bersama. Walaupun sebagian orang menganggap bahwa kosmologi politik Jawa adalah takhayul belaka. Kenyataan mengenai kosmologi politik Jawa ini dapat diuji kebenarannya dengan menarik garis historis peradaban masyarakat Jawa.
Kosmologi politik Jawa ini juga dapat dikatakan sebagai subjektivisme-antroposentristik melalui pengasumsianya dalam menempatkan manusia sebagai subjek aktif kosmos yang ditandai dengan sejarah dan aktivitas berpikirnya (Iqbal, 2014:32). Dengan demikian, pemaknaan kosmologi politik Jawa memberikan upaya dalam bidang politik untuk berpikir secara bebas dengan alam raya sebagai derajat manusia. Kosmologi politik Jawa walaupun menjadi akal budi pemikiran lokal, namun keberadaannya mampu diperdebatkan selayaknya kosmologi yang berada di dunia Eropa.
Kosmologi politik Jawa mendominasi luas untuk mengatur manusia. Kosmologi politik Jawa ini tercipta pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Selain itu, kosmologi politik Jawa juga kerap dikaitkan dari masa ke masa, sehingga kosmologi politik Jawa kerap mengalami adaptasi dan perubahan seperti halnya kosmologi lain di dunia pada umumnya. Dalam kosmologi politik Jawa, peranannya dalam dunia politik memiliki sifat untuk menunjukkan eksistensi secara terpusat pada ego-subjektivisme sekaligus menandakan peralihan filsafat dari “kekaguman kenyataan”. Dasar mengenai peralihan ini merupakan “kekaguman ilmu pengetahuan” yang menciptakan apresiasi pengetahuan yang mengembalikan pengetahuan manusia dengan subjek manusia itu sendiri (Iqbal, 2014:32).
Selain itu, kosmologi politik Jawa juga dapat dikatakan sebagai kosmologi lama (kuno), namun tetap relevan di era modern hari ini. Pandangan tentang eksisnya kosmologi politik Jawa dapat diasumsikan dengan pemikiran dari Rene Descartes. Menurut Descartes (Iqbal, 2014:34), dalam penciptaan kosmos sebenarnya tidak terlalu bertentangan dengan paham kalangan agamawan. Tuhan mengalami penempatan yang instrumental dan mampu menjamin pengetahuan manusia terhadap adanya realitas eksternal (Iqbal, 2014 :34). Demikian pula pada kosmologi politik Jawa, telah memberikan ruang istilah Natanegara dengan tidak bertentangan dari agama. Karena pada mulanya kosmologi ini terciptakan melalui keyakinan agama Hindu pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Relasi Kosmologi Politik Jawa Dalam Sejarah Kepemimpinan Presiden
Dengan mengacu konversi ‘ruang dan waktu’ kosmologi politik mengaitkan perbedaan esensial antara ruang dan waktu berkontraksi karena kedua esensial ini berkontraksi dan menciptakan produk intelerasi sosial. Dengan demikian, peranan kosmologi politik merupakan masuknya kosmos dalam budaya. Seperti halnya pada kosmologi politik Jawa, dalam ini budaya Jawa masuk pada konsep-konsep kosmos yang memberikan kajian pentingnya subjek dan objek manusia dalam berdinamika. Dengan demikian, dalam kosmologi politik Jawa, konsep ruang dan waktu memiliki potensi untuk menjadi evaluasi dan perencanaan kehidupan manusia dalam politik pada kosmos.
Kosmologi politik Jawa juga dibuktikan dalam catatan sejarah kepemimpinan presiden. Dalam kosmologi politik Jawa ini istilah “Natanegara” merupakan anggapan paling valid jika dikaitkan dengan sejarah kepemimpinan presiden. Istilah “Notonegoro” ini merupakan bentuk penggalan kata dari “No”, “To”, “Ne”, “Go”, “Ro”. Melalui penggalan kata tersebut, jika dikaitkan dengan sejarah kepemimpinan presiden di Indonesia maka, penggalan kata itu merupakan 1 kata terakhir dari nama presiden yang memimpin dari masa lampau. Indonesia telah memiliki sebanyak 7 presiden dengan pergolakan dinamika kenegaraan yang cukup berbeda. Diantara 7 presiden itu, jika dikaitkan dengan istilah kata “Notonegoro” maka, hanya ada 3 kepala negara yang memiliki kecocokan.
Adapun kecocokan itu diawali dengan Presiden Indonesia yang pertama, yaitu Soekarno. Pada nama Soekarno terdapat kata “No” dalam penggalan kata pada bagian terakhir namanya. Dengan mengacu pada kosmologi politik Jawa, keberadaan tokoh Soekarno merupakan tokoh yang paling berjasa besar pada negara. Hal ini tidak terlepas juga pada peranan Soekarno dalam menjaga stabilitas negara. Walaupun dikenal sebagai tokoh pendiri bangsa, Soekarno dapat dikategorikan sebagai pemimpin negara yang cukup berhasil membawa keselamatan dan kemakmuran pada rakyat Indonesia. Salah satu keberhasilanya ialah, Soekarno mampu dikenal menjadi satu diantara beberapa tokoh dunia yang berpengaruh dalam perlawananya dengan imperialisme. Selain itu, Soekarno juga merupakan orang Jawa yang memperkenalkan Islam di mata dunia tepatnya pada era 1940 an. Pada era tersebut dunia sedang mengalami transformasi perdamaian dan Soekarno menjadi salah satu tokoh yang cukup berhasil.
Kemudian, tokoh kedua ialah Soeharto. Dalam nama Soeharto terdapat kata “To” yang merupakan kata terakhir pada namanya. Dengan mengacu pada kosmologi politik Jawa, Soeharto adalah pemimpin yang mampu menjaga prinsip Panca Natanegara. Di masa kepemimpinannya selama 32 tahun berbagai gejolak kenegaraan telah terjadi. Dimulai dari pemberontakan G30S PKI dan pengaruh globalisasi cukup menjadi tamparan keras bagi negeri ini. Berkat kepemimpinan presiden kedua ini, kondisi di Indonesia dapat dikatakan cukup baik karena mampu menjaga stabilitas nasional selama 32 tahun. Selain itu, Soeharto juga dikenal sosok yang mampu berkomunikasi dengan efektif untuk memajukan masyarakat pembangunan. Beragam pembangunan cukup pesat dilakukan khususnya dalam memberikan rancangan kehidupan manusia dengan alam. Seperti anggapan Plato, sistem politik cukup penting menjadi patokan keteraturan masyarakat dalam kosmos. Pada kepemimpinan presiden Soeharto inilah banyak sekali kebijakan yang menciptakan keteraturan masyarakat. Walaupun pernyataan ini kerap menimbulkan kontroversi, kaitan kosmologi politik Jawa ini hanyalah sebatas analisis kepermukaan.
Kemudian, tokoh yang ketiga ialah presiden keenam Indonesia yaitu, Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kata terakhir nama presiden tersebut terdapat penggalan kata lagi yang menghasilkan kata “No”. Walaupun penggalan kata dalam nama presiden ini tergolong sebagai kata yang telah ada pada nama presiden Soekarno. Namun, penggalan kata “No” pada presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini masih dinilai relevan. Hal ini dikarenakan di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat beberapa keberhasilan dalam menunjang keselamatan dan kemakmuran masyarakat. Keberhasilan yang dimaksud ialah keberhasilan pada pengelolaan pemerintahan Indonesia pasca masa orde baru.
Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Akan tetapi, pengujian kelayakan demokrasi di masa Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Serat Jenggala mengenai sosok-sosok yang layak memimpin negara Indonesia. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, banyak gejolak yang dimulai dari krisis kepercayaan hingga terorisme. Dengan demikian, kenyataan yang terjadi ialah banyak masyarakat yang puas dengan kepemimpinan. Walaupun presiden ini dinilai kurang oleh segelintir politisi, tetapi Susilo Bambang Yudhoyono telah mampu memberikan warna baru pada pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam tiga keterkaitan kosmologi politik Jawa di atas, kosmologi politik Jawa merupakan satu-satunya kosmologi politik yang mengkulturkan budaya dan politik di Indonesia. Walaupun begitu, keberadaan kosmologi Politik Jawa juga perlu mengalami berbagai macam evaluasi. Pada kosmologi politik Jawa manusia merupakan subjek peranan kosmos yang digerakan oleh pikiran. Dengan demikian, dalam menjaga keberlangsungan kedepan terhadap kosmos manusia dinilai perlu lebih hat-hati.
Dalam tiga keterkaitan kosmologi politik Jawa di atas, kosmologi politik Jawa merupakan satu-satunya kosmologi politik yang mengkulturkan budaya dan politik di Indonesia. Walaupun begitu, keberadaan kosmologi Politik Jawa juga perlu mengalami berbagai macam evaluasi
Kosmologi politik Jawa juga tidak bisa dikatakan sebagai acuan keberhasilan negara seutuhnya. Hubungan kosmologi pada kemungkinan keberhasilan negara tidak dapat dikatakan sebagai takhayul atau negatif. Tapi kemungkinan ini merupakan bentuk tentang kolaborasi kosmos dengan objek yang akan terjadi di masa yang akan datang. Permasalahan keyakinan penggunaan kosmologi politik Jawa ini selalu muncul menjelang pemilu, merupakan bentuk perencanaan bakal calon presiden dan evaluasi masyarakat terhadap presiden sebelumnya.
Pemaknaan Kosmologi politik Jawa sebagai keyakinan keberhasilan merupakan bentuk pengajaran akal budi dari eksploitasi. Walaupun begitu orang Jawa yang merupakan masyarakat mayoritas, tidak bisa memiliki ambisi dalam kosmologi terutama untuk terus mendominasi segala sektor kehidupan. Dengan demikian, kosmologi ini menjadikan pengajaran dan penempatan bagaimana cara manusia sebagai subjek kosmos dalam berelasi.
Editor: Mohammad Hagie
Bahan Bacaan:
Abdullah, L. (1991). Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa. Jurnal Humaniora, no. 2, 1991., 87-101.
Campion, N. (2017). The Importance of Cosmology in Culture: Contexts and Consequences. INTECH: Trends in Modern Cosmology, 1-16.
Chalik, A. (2011). Islam Mataram dan Orientasi Politiknya dalam Sejarah Pemilu di Indonesia. ISLAMICA, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, 269-278.
Iqbal, I. (2014) Kosmologi, Sains, dan Teknologi: Pergeseran Paradigmatik dan Implikasinya terhadap Studi Agama. Kala; Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, No 1,Juni 2014, 27-42.
JawaPos.com (2021). Airlangga dan Ganjar dalam Kosmologi Politik Jawa di Pilpres 2024. (2021, Desember 6). Retrieved from JAWAPOS.COM: https://www.jawapos.com/nasional/politik/06/12/2021/airlangga-dan-ganjar-dalam-kosmologi-politik-jawa-di-pilpres-2024/
Jayabaya. (1741). Serat Jongko Jayabaya.
Tulisan ini merupakan pembacaan sederhana dari kisah sejarah yang tersimpan. Patut diakui, Banyumas menyimpan banyak cerita-cerita tutur yang turun temurun. Cerita tutur/folklore akan menjadi cerita yang selalu mengasyikan dan penuh imaji. Cerita tutur yang muncul di masyarakat, tidak serta merta hampa atau kosong belaka. Tentu ada kisah nyata yang melatardepani sekaligus melatarbelakangi dari cerita tutur itu sendiri. Mau tidak mau, cerita tutur tidak semata-mata menjadi cerita fiktif tanpa data.
Cerita tutur bisa saja merupakan fakta sejarah, namun minim literatur. Literatur data berupa teks maupun segala yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi, cerita tutur kerap memiliki bukti nyata dengan wujud petilasan, entah berupa benda. Penulis hendak mengatakan demikian, walau agak riskan, bahwa “sebuah sejarah yang diciptakan ataupun yang dituliskan pada dasarnya mengandung unsur subjektifitas.” Artinya, sebuah sejarah tidak lepas dari kepentingan sesuai zamannya atau setidaknya akan menemukan kabegjan seiring waktu berjalan.
Sebagai sample sederhana, peringatan Hari Santri menjadi gambaran nyata akan sejarah yang terpendam, alih-alih ingin dilupakan. Penetapan hari santri, tidak lepas dari peran pemangku kekuasaan yang menerima sejarah perjuangan para santri dan ulama atas jasanya kepada Republik ini.
Resolusi Jihad yang dimotori Kyai – Santri menjadi embrio peringatan Hari Santri di Republik ini. Resolusi Jihad menjadi sajian nyata dari sejarah yang nyaris dilupakan, anak muda jaman now, mungkin akan mengatakan, “sejarahnya ada tapi tidak dianggap.” Tentunya, menjadi persoalan yang berkepanjangan apabila kenyataan sejarah selalu demikian: dilupakan, disimpan dan tidak dituliskan.
Sejarah yang Berubah
Hari ulang tahun Kabupaten Banyumas mengalami perubahan. Bermula diperingati pada bulan April setiap tahunnya. Mulai tahun 2016 diperingati pada bulan Februari setiap tahunnya. Sebelum tahun 2016, Kabupaten Banyumas berdiri mulai tahun 1582 M. Namun, sejak tahun 2016, berdirinya Kabupaten Banyumas semenjak tahun 1571 M.
Setelah rentang waktu yang panjang, sejauh masa 445 tahun, sejarah Banyumas ditata ulang. Perubahan tahun kelahiran tersebut menjadi penanda, bahwa sejarah bisa diatur kembali. Perubahan hari lahir Banyumas berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 10/2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, menggantikan Perda Nomor 2/1990.
Selanjutnya, pada tahun 2015, DPRD Kabupaten Banyumas membentuk Panitia Khusus mengkaji hari jadi Banyumas. Sejak Pansus dibentuk, penelusuran dan pengkajian kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Perubahan hari kelahiran tersebut berdasar awal masa kuasa Raden Kanjeng Jaka Kaiman, yaitu tahun 1571 M. Sementara tahun 1582 M, merupakan tahun selesainya Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadi Bupati Banyumas yang pertama. Ini menandakan, bahwa perubahan sejarah bisa diwujudkan, apabila disokong oleh pemangku kekuasaan dengan segenap perangkat pendukungnya.
Dua kisah sejarah di atas, Hari Santri dan Hari Jadi Banyumas menjadi kenyataan, bahwa penulisan sejarah dapat diulang sebagai kenyataan yang diakui dan disahkan.
Peran Ulama yang Terpendam
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Raden Kanjeng Jaka Kaiman adalah Bupati Banyumas pertama yang berkuasa tahun 1571-1582 M. Kisah yang tertulis dan lazim menjadi bahan cerita, Raden Kanjeng Jaka Kaiman disebut juga dengan Adipati Mrapat, karena membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian.
Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II atau dikenal juga dengan Raden Kanjeng Banyak Galeh. Putra perempuan dari Pangeran Senopati Mangkubumi II menikahi Raden Kanjeng Banyak Sosro. Raden Kanjeng Banyak Sosro adalah putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Namun, Raden Kanjeng Banyak Sosro wafat saat Raden Kanjeng Jaka Kaiman masih kecil. Kemudian, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Nyai Roro Ngaisah. Adapun Nyai Roro Ngaisah merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Sosro. Maka, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Bibinya sendiri, yang tidak lain merupakan putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Sementara itu, eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa di Kadipaten Pasirbatang kisaran tahun 1525-1549 M.
Sisik melik Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak terpisah dari kisah sejarah Babad Pasirluhur. Pangeran Senopati Mangkubumi II atau Raden Kanjeng Banyak Galeh merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Blanak atau Pangeran Senopati Mangkubumi I. Keduanya merupakan putra dari Raden Kanjeng Banyak Kesumba, di mana Raden Kanjeng Banyak Kesumba adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Wiratha. Sedangkan Raden Kanjeng Banyak Wiratha adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Roma dan Raden Kanjeng Banyak Roma dalah putra dari Raden Kanjeng Kamandaka. Dalam silsilah ini, Pangeran Senopati Mangkubumi II merupakan keturunan kelima Raden Kanjeng Kamandaka. Raden Kanjeng Banyak Blanak kemudian bersyahadat, setelah Syekh Makhdum Wali menghadap.
Begitupun, keberadaan Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak bisa lepas dari sosok penting proses penyebaran Islam di Banyumas, yaitu Syekh Makhdum Wali. Syekh Makhdum Wali merupakan utusan dari Kesultanan Demak yang masuk wilayah Pasirluhur sekitar abad 14 M. Masuknya Syekh Makhdum Wali pada kisaran abad 14 M dapat ditilik dari tahun kuasa Raden Kanjeng Banyak Blanak yaitu antara 1469-1522 M. Sementara itu, dalam kisah tutur yang masyhur, Syekh Makhdum Wali dikubur satu liang dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II. Dari sini dapat dilihat, bahwa Syiar Islam di Banyumas dilakukan oleh Raden Kanjeng Banyak Blanak/ Pangeran Senopati Mangkubumi I dan Raden Kanjeng Banyak Galeh/ Pangeran Senopati Mangkubumi II beserta Syekh Makhdum Wali.
Selain Syekh Makhdum Wali, Pangeran Senopati Mangkubumi I, Pangeran Senopati Mangkubumi II, sosok lain sebagai penyebar agama adalah Syekh Abdush Shomad dan Syekh Hasanudin. Syekh Abdush Shomad masyhur sebagai keturunan dari Kanjeng Sunan Gunungjati, Cirebon. Adapun Syekh Hasanudin merupakan putra dari Syekh Abdush Shomad. Syekh Hasanudin inilah yang kemudian erat bersinggungan dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Ulama penyebar Islam di Banyumas tersebut dapat dikatakan sezaman dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Melihat rentang waktu saat berkuasa, antara Pangeran Senopati Mangkubumi I pada tahun I469-1522 M, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa antara 1525-1549 M dan Raden Kanjeng Jaka Kaiman berkuasa antara 1571-1582 M. Artinya, kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ulama-ulama tersebut. Jika memang Raden Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II, maka bisa dimungkinkan, Raden Kanjeng Jaka Kaiman bersinggungan juga dengan Syekh Makhdum Wali. Melihat kedekatan antara Syekh Makhdum Wali dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II.
Kisah Pangeran Senopati Mangkubumi II sebagai eyang dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman berhenti dititik silsilah. Hanya “pelengkap” dari silsilah kelahiran Raden Kanjeng Jaka Kaiman dalam membentuk berdirinya Banyumas saat itu. Sejauh ini, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak tertulis banyak dalam literatur berdirinya Banyumas.
Menyibak Mbah Lambak
Syekh Abdush Shomad menjadi penyebar Islam yang datang dari Kilen (Barat/ Cirebon). Sementara itu, Syekh Makhdum Wali merupakan ulama yang datang dari Wetan (Timur/ Demak). Banyak dituturkan bahwa Syekh Abdush Shomad memasuki Jombor (Cilongok, Banyumas) pada abad ke-16 M, namun penulis memiliki pandangan jika Syekh Abdush Shomad masuk ke Banyumas abad ke-15 M.
Mungkin ini tidak lazim, namun pandangan ini merujuk salah satu putra dari Syekh Abdush Shomad, yaitu Syekh Hasanudin yang menjadi menantu bupati sekaligus menjadi penasihat spiritual keraton. Menurut cerita tutur yang masyhur, Syekh Hasanudin menikah dengan putri Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Pernikahan tersebut melahirkan putra, yaitu Raden Kanjeng Ragan Tali. Raden Kanjeng Raga Tali yang kemudian melakukan syiar agama di wilayah Gerduren, Purwojati hingga akhir hayat.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Dikisahkan pada saat itu, bahwa Raden Jaka Kaiman setelah membagi wilayah kekuasannya menjadi empat, kemudian mengadakan sayembara membangun keraton. Kabar sayembara tersebut didengar oleh Syekh Hasanudin. Setelah meminta restu dari Syekh Abdush Shomad juga meminta restu dari kakenya, yaitu Syekh Abdus Salam, Gunung Lurah, Cilongok, Syekh Hasanudin dengan yakin mengikuti sayembara mbangun kraton. Sayembara membangun keraton ini dilakukan karena pemerintahan Banyumas yang baru hasil mrapat harus segera terbentuk.
Setelah sayembara dilakukan dan terbentuk keraton, kemudian Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadikan Syekh Hasanudin sebagai penasihat spiritual keraton. Tentunya merujuk kisah tersebut, pembacaan penulis, sayembara membangun keraton dilakukan Raden Kanjeng Jaka Kaiman saat awal menjabat sebagai Bupati Banyumas, tahun 1571. Bila demikian, ketika Syekh Hasanudin mengikuti sayembara, tentu saja Syekh Abdush Shomad yang menjadi orangtua Syekh Hasanudin juga ada di abad dan tahun tersebut. Syekh Hasanudin dan Syekh Abduh Shomad tentunya berpengaruh dalam kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Terlebih makam Syekh Hasanudin yang dikenal juga dengan Mbah Lambak berada di komplek Makam Kalibening. Bahkan, menurut cerita tutur versi Jombor (Syekh Abdush Shomad) Makam Syekh Hasanudin berada di barat Makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman namun bukan yang dicungkub, melainkan yang berada di sebelahnya lagi, makam yang tidak dicungkub. Walaupun umum dikisahkan, bahwa makam Syekh Hasanudin yang berada di barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan petilasan.
Penulis memaknai, keberadaan makam Syekh Hasanudin sebuah kenyataan sejarah, baik makam yang berada di dekat Raden Kanjeng Jaka Kaiman, maupun yang berada di komplek makam Kalibening. Sebab sama-sama berada di sisi barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Makam yang berada di sisi barat lazim diartikan sebagai makam yamg dituakan sosoknya.
Selain itu, masih dari cerita tutur, Raden Kanjeng Jaka Kaiman sering juga mengunjungi Syekh Abdush Shomad di Jombor. Selain berkunjung ke Syekh Abdush Shomad, putra dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman yang disebut sebagai Raden Bagus Santri juga nyantri di Pesantren Jombor (Syekh Abdush Shomad), hingga dimakamkan di makam Jombor.
Dalam hal ini, peran ulama telah ada sejak awal berdirinya Banyumas. Ada kebersamaan antara ulama dan umara dalam menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, tapak jejak ulama saat itu, masih belum terekspos, luput dari penyertaan dalam penulisan sejarah berdirinya Banyumas. Umumnya dalam kisah Babad Banyumas, lebih kepada kisah pantangan Sabtu Pahing, dengan tokoh-tokoh yang masyhur dalam cerita tersebut. Sekaligus kisah keris yang melekat kuat dalam sejarah tersebut.
Sementara itu, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II, yang menjadi Eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Syekh Hasanudin yang menjadi penasihat keraton, Syekh Abdush Shomad yang sering dikunjungi Raden Jaka Kaiman sekaligus Syekh Makhdum Wali yang sezaman juga luput dalam catatan latar belakang sejarah berdirinya Banyumas.
Objektifitas sejarah memang sebuah keniscayaan. Terlebih bila mengacu pada kelas sosial, yaitu kelas ningrat dengan kelas rakyat. Peran ulama di Banyumas, pada waktu itu, sekedar pelengkap. Latar belakang berdirinya Banyumas yang bersumber dari Babad Pasirluhur dan Babad Banyumas, pun dengan sumber dari cerita tutur yang kuat, rasanya perlu menjadi teks lengkap sebagai literasi sejarah. Linnabi walahumul Fatihah buat pendiri-pendiri Banyumas.
Wallahu’alam.
Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.
Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.
Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.
Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:
“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.
“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’
“Nuli cahya aran Nur Mukammad”
“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.
Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.
Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).
Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).
Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.
Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).
Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).
Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.
Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.
Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).
Laiknya matahari, Jawa sedang mendekati ujung hari. Sebagai entitas budaya, agaknya Jawa berupa cahaya bagi manusia. Cahaya yang memberi arah bagi gerak, memberi terang untuk hidup. Namun kita tahu, tak selamanya matahari menyinari hari. Ada kalanya ia tenggelam untuk menutup petang. Barangkali karena itu budaya Jawa, kata Heru Wahyu Kismoyo (2018), sedang dalam pertarungan ruang dan waktu—dan mengalami perubahan.[1] Perubahan yang membuat Jawa sedang tenggelam, membuat hari hampir sepenuhnya gelap.
Jawa dalam senja kala, cahayanya temaram. Kendati begitu, tidak berarti ia telah usai. Agaknya pandangan Suyanto & Gunawan (2005, hal. 207) benar. Bahwa, sejak kerajaan Mataram I, nilai hasil sinkretisme dalam Jawa masih dipertahankan hingga sekarang. Hadirnya ide ‘Barat’, bagi mereka, tidak menghilangkan nilai tersebut. Pada titik ini perlu saya tegaskan: tidak hilang, tetapi tergerogoti oleh gelap. Kegelapan dalam wujudnya sebagai pendidikan formal dan politik modern beserta ideologinya yang menggeliat di atas tanah Jawa.
Koentjaraningrat dalam Kebudayaaan Jawa (1994) telah menyadari kegelapan tersebut sebagai perubahan dalam diri orang Jawa. Saya rangkum, setidaknya terdapat empat geliat perubahan. Pertama, globalisasi yang kian lantang. Globalisasi, kata Kismoyo (2018), ialah suatu usaha untuk menyatukan peradaban manusia dalam satu genggaman. Dalam usaha tersebut, hadir resistensi dialektis, yang memungkinkan naiknya Kebudayaan lokal (glokalisasi). Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan. Misalnya, orientasi nilai hormat cenderung berkurang, khususnya di luar lingkungan keluarga.[2] Menurut Koentjaraningrat, sejak tahun 1950-an, generasi muda bersikap lebih kritis terhadap orang penting baik di desa maupun di kota. Orang Jawa pada masa itu bermigrasi secara musiman demi pekerjaan, tidak lagi menggantungkan diri pada atasan. Kendati demikian, masyarakat Jawa secara makro masih bersifat hierarkis. Artinya, pengelolaan dari atas ke bawah, pusat ke daerah, dan keputusan dari atas masih signifikan.
Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan.
Kedua, penjajahan kolonial. Sebagaimana Hildred Geertz (1983, hal. 3) yang melihat bahwa hadirnya pemerintah kolonial memberi bekas terhadap masyarakat Jawa. Melalui penjajahan, orang Belanda membawa nilai budaya “Eropa Barat”. Dari segi ekonomi, mengakibatkan bergesernya peradaban agraris ke peradaban industri. Sistem ekonomi yang tidak lagi bersifat tradisional terbagi menjadi dua: sebagian yang sangat terkapitalisasi, berkiblat pada ekspor dan dikuasai kapital dan ‘manajemen Barat’, sebagian sisanya ialah lapisan petani kecil penghasil tanaman perdagangan yang dirundung kemiskinan. Selain itu, mulai digunakan pembayaran upah secara tunai kepada sesama warga desa, disertai dengan sistem kredit yang ruwet.
Dari segi sosial, melalui kebijakan ekonomis dan administratif, mengikuti Suseno (1984, hal. 19), perkembangan desa Jawa menjadi kacau. Banyak penduduk dipaksa berpindah tempat dari tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadi pergeseran pada sikap hidup penduduk mengikuti perpindahan tersebut: menjadi lebih aktif dan tidak hanya bergantung pada nasib. Dengan kata lain,keberhasilan atas karya mereka dianggap sebagai yang utama. Dari segi politik, sistem politik menjadi lebih modern. Ditandai dengan hadirnya birokrasi, pemilu, partai politik, dan kesadaran politik yang menguat bahkan sejak pemberontakan politik terhadap penjajah.
Ketiga, hadirnya negara mengkampanyekan keluarga berencana dengan sangat intensif. Akibatnya, orang Jawa lebih mengutamakan kesejahteraan keluarga mereka masing-masing. Hidup dimaknai dengan lebih rasional dan terperinci. Artinya, orientasi hidup tidak lagi ke masa lalu, tetapi ke masa depan, atau bahkan masa sekarang. Selain itu, terjadi pergeseran dalam proses sosialisasi dan enkulturasi keluarga Jawa. Anak dituntut menjadi lebih individual: berdiri sendiri dan bertanggung jawab atasi dirinya.[3] Sifat individual tersebut menjadi tanda dari menipisnya nilai gotong royong, meski di lain sisi terdapat Pancasila yang mengedepankan kegotong-royongan.
Keempat, pendidikan formal. Sebagaimana Suseno (1984, hal. 1-2) melihat pendidikan formal sebagai bahaya keterasingan orang Jawa terhadap nilai budayanya. Hal tersebut sejalan dengan Kismoyo (2018) yang menganggap pendidikan formal mendekonstruksi kejawaan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Irfan Afifi (2019), pendidikan formal sebagai produk sains (ilmu pengetahuan) menjadi pranata sosial yang mencerabuti diri orang Jawa.[4] Pendidikan yang hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia[5] dengan struktur formal yang berkiblat pada pemikiran ‘Barat’. Dominannya bahasa Indonesia yang menggunakan huruf Latin tersebut, membuat kemahiran membaca dan menulis huruf Jawa berkurang (Koentjaraningrat, 1994, hal. 20).[6] Agaknya dominasi dari bahasa Indonesia disebabkan oleh keeratannya dengan rasa nasionalistis sebagai orang Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut merebak dalam produk media massa, seperti koran, majalah, radio, bioskop, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia juga digunakan oleh mereka dengan kepentingan dalam pemerintahan atau bisnis. Sedemikian dominannya, bahkan melek huruf erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia.[7] Kendati bahasa Indonesia semakin hidup dalam masyarakat Jawa, ia tidak menggantikan sepenuhnya bahasa Jawa (Geertz C. , 2013, hal. 368-372). Selain bahasa, rahasia alam dibongkar dengan pendekatan saintifik. Akibatnya, orientasi tradisional terhadap alam berubah. Dasar budaya Jawa berubah. Sikap dan pandangan hidup bergeser dari aspek batiniah ke aspek rasional. Hadirnya ilmu pengetahuan yang fungsional menggeser pandangan simbol yang mistis-magis. Artinya, rasionalitas menjadi tolak ukur dalam hubungan manusia. Ungkapan metafisis dari leluhur diabaikan oleh ilmu pengetahuan yang mengedepankan segala sesuatu yang konkret (Herusatoto, 1991, hal. 125-126). Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam.
Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam
Keempat faktor yang telah dijelaskan merupakan kesadaran atas perubahan yang sedang berlangsung sebelum tahun 2000, atau setidaknya bagi Koentjaraningrat—barangkali pula masih berlangsung hingga kini. Hingga esai ini ditulis, Jawa telah berada pada tahun 2020. Kurun waktu yang cukup lama tersebut, menurut saya membawa perubahan lebih, jika bukan berbeda, dibandingkan faktor-faktor sebelumnya. Maka, mari kita lanjutkan pembahasan terhadap geliat perubahan dalam kebudayaan Jawa.
Kelima, menguatnya Islam. Maksudnya, dalam hal kepercayaan, semakin banyak penganut agama Islam. Heddy Shri Ahimsa Putra (2019) memberi penggambaran di kampus Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan pengamatannya, islamisasi kampus kian masif. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya Masjid Kampus UGM dan tiap fakultas memiliki masjidnya masing-masing. Baginya, kegiatan beribadah seperti salat, dulu dilakukan hanya oleh segelintir orang di kampus tersebut.[8] Sekarang sebaliknya, kegiatan beribadah makin banyak diikuti dan mudah untuk diamati.
Keenam, perkembangan teknologi. Ini juga akibat lebih lanjut dari globalisasi manakala terdapat semacam standar dalam penggunaan teknologi. Sebagai contoh dalam hal komunikasi dengan menggunakan telepon. Standar tersebut juga membawa suatu tuntutan terhadap masyarakat Jawa: keberaksaraan. Dengan demikian berakibat pada semakin banyaknya orang Jawa yang dapat membaca dan menulis. Akibat lain ialah mulainya bergeser sikap orang Jawa menjadi lebih terbuka. Terbuka dalam arti blak-blakan. Komunikasi melalui telepon meniadakan prasyarat untuk bertatap muka sehingga kepekaan sosial menjadi berkurang. Pada titik ini, hierarki atau strata sosial agaknya menjadi kabur (Putra, 2019).
Ketujuh, subkultur Jawa dan variannya. Subkultur Jawa mengalami perubahan masing-masing (Putra, 2019).[9] Dalam subkultur Yogyakarta, setidaknya terdapat tiga varian: Jawa Priyayi, Jawa Wong Cilik, dan Wong Jawa Kotagede. Varian tersebut bertambah menjadi lebih banyak seiring waktu berjalan. Menurut Putra (2019), varian yang paling dominan secara kuantitas ialah varian Jawa Islam Modern. Varian yang memiliki gaya berpikir modern, dan oleh karenanya, mengikuti gaya hidup modern.
Faktor-faktor yang telah saya jelaskan di atas dapat diletakan di bawah satu payung besar bernama modernitas. Payung yang membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa, yang tradisional itu, sedang diperkosa oleh modernitas. Keluarga Jawa sebagai cerminan masyarakat Jawa niscaya mendapat hal serupa. Kismoyo (2018) melihat ada satu hal yang hilang dari keluarga Jawa, yaitu budaya Jawa itu sendiri. Artinya, fungsi utama keluarga sebagai pewaris nilai budaya Jawa cenderung berkurang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebudayaan Jawa telah tercerabut dari akarnya. Apa yang membuatnya demikian? Tidak lain disebabkan oleh modernitas itu sendiri. Sebagaimana kehadiran pendidikan formal berpengaruh pada keluarga yang juga sebagai cerminan masyarakat (Afifi, 2019). Jika kita sempitkan, orang Jawa sedang mengalami pertentangan antara modernisme dan tradisionalisme dalam dirinya. Ini juga membuktikan bahwa dalam keluarga Jawa bukan hanya tradisi yang menuntun seseorang untuk hidup, bahwa orang Jawa sudah menjadi warga dunia. Artinya, pengaruh yang berasal dari luar tradisi Jawa ikut berkontribusi pada kehidupan orang Jawa tersebut. Dengan demikian, orang Jawa juga cenderung memiliki orientasi hidup yang serba duniawi, bahkan hedonistik (Kismoyo, 2018). Hadirnya orientasi tersebut ditopang sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dan dominan. Meminjam alur dari Afifi (2019), modernitas membawa rasionalitas yang kemudian berwujud sains dan ilmu ekonomi menjadi bagian dari dalamnya, yang kemudian ‘membenarkan’ kapitalisme.[10] Suatu sistem ekonomi yang berkelindan dalam modernitas, yang dilahirkan bersama penaklukan atas realitas sehingga menampikkan pandangan dunia Jawa sebelumnya—dan berusaha menenggelamkannya dalam gelap.
Jawa Dalam Bayangan Kedepan
Setelah membahas kegelapan, mari kita beralih ke cahaya temaram Jawa yang masih tampak. Cahaya dimaksud ialah apa yang tetap dari masyarakat Jawa. Setidaknya, saya melihat tersisa empat sumber cahaya. Pertama, masyarakat Jawa masih bersifat hierarkis. Mengikuti Joko Suryo (2018), terdapat distingsi antara rakyat biasa dan elit.[11] Hubungan yang dilandaskan status sosial dan umur masih terasa. Dengan demikian, etiket Jawa yang mengatur hubungan orang Jawa dengan sesamanya masih dapat dengan mudah diamati.
Kedua, sistem pertalian atau kekerabatan keluarga Jawa. Morgan melihat bahwa keluarga mewakili suatu prinsip yang aktif (Engels, 2004, hal. 32). Artinya, selalu berubah. Dari bentuk yang rendah ke bentuk yang lebih tinggi, sebagaimana masyarakat. Kendati begitu, bagi saya, ia tidak begitu menjelaskan bagaimana indikator tinggi-rendah tersebut. Saya memaknai ‘tinggi’ sebagai tanda kesekarangan, dan ‘rendah’ merupakan tanda awal mula. Sebatas itu. Berbanding terbalik dengan keluarga, sistem pertalian darah secara pasif merekam kemajuan yang dibuat oleh keluarga dalam waktu yang panjang dan hanya berubah secara radikal ketika keluarga tersebut berubah secara radikal. Hal ini sejalan dengan Putra (2019), yang melihat bahwa sistem pertalian keluarga Jawa yang bilateral sulit sekali berubah. Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Ketiga, bahasa Jawa. Kendati semakin berkurang penuturnya sejak masa pemerintahan kolonial, dalam hal grammar (tata bahasa) bahasa Jawa tidak berubah (Putra, 2019). Keempat, pandangan dunia orang Jawa tidak berubah (Afifi, 2019). Perlu ditekankan, secara konseptual pandangan dunia tersebut tidak mengalami perkembangan dalam hal esensi. Ia konstan, jika bukan final, kendati pendidikan formal—beserta perangkat modernitas lain seperti negara—menggeser cara pandang dunia orang Jawa. Dari penjelasan tersebut, tidak berlebihan jika kita melihat manusia seolah-olah menjadi wadah untuk suatu pandangan tertentu.
Pada akhirnya, kita perlu menjawab satu tanya: apa yang bisa dilakukan manusia di hadapan senja kala budaya Jawa? Barangkali meng-harap. Bahwa senja akan berakhir dan gelap segera pergi. Seperti Kismoyo (2018) yang melihat bahwa kebudayaan Jawa laiknya gelombang. Satu waktu berada di atas dan terang benderang, satu waktu lain meredup sebagaimana sekarang. Ia masih percaya bahwa hari tidak akan pernah selamanya gelap. Sebagai contoh dalam teknologi digital, Jawa menghadirkan dirinya dalam bentuk seperti Primbon daring atau kursus bahasa Jawa daring. Contoh lain dalam upacara seperti pernikahan atau perayaan tertentu. Kita masih dapat merasakan kehadiran Jawa melaluinya. Kedua contoh tersebut menjadi penggambaran resistensi dari budaya Jawa—bahwa Jawa belum sepenuhnya usai. Bahwa Jawa kini menjadi suatu kerinduan. Orang Jawa yang jemu dengan modernitas beserta tetek bengeknya barangkali akan kembali kepada budaya Jawa, dalam upayanya mencari ketenangan. Dari sini, agaknya kita dibolehkan berharap. Barangkali esok pagi akan datang lagi. Membawa kembali cahaya yang telah pergi.
[1] Pandangan Heru Wahyu Kismoyo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 7 Februari 2018.
[2] Contoh lain ialah dalam ritual pernikahan. Pernikahan yang terjadi belakangan ini, kata Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), lebih tampak sebagai perpaduan gaya Jawa-Eropa.
[3] Kendati demikian, Koentjaraningrat menekankan bahwa sifat tersebut agaknya diabaikan pada keluarga yang mampu—yang dapat menikmati hidup dengan mudah.
[4] Pandangan Irfan Afifi tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ifada Initiatives pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 20.00-22.00. Kata Irfan Afifi, alih-alih sains, masyarakat Jawa memiliki unit pendidikannya sendiri berupa pesantren yang berbasis tradisional.
[5] Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu orang Jawa. Menurut Suseno (1984, hal. 9-10), bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional merupakan perkembangan dari bahasa Melayu.
[6] Sebenarnya, menurut Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), terdapat upaya pelestarian melalu media seperti televisi, koran, dan radio. Namun, sepertinya tidak terlalu signifikan.
[7] Bagi saya, ini bermasalah. Penghakiman atas suatu masyarakat adalah belum melek atau buta huruf agaknya terlalu sembrono. Penghakiman tersebut biasanya berasal dari bahasa yang dominan. Misal, orang Jawa dianggap buta huruf oleh pemerintah Indonesia, karena tidak dapat membaca dan menulis. Padahal, orang Jawa mempunyai bahasa dan tulisannya sendiri. Bahasa dan aksara Jawa. Dengan kata lain, orang tersebut punya kemampuan lisan dan tulisannya sendiri. Hal ini yang bagi saya jarang mendapat perhatian. Hanya karena rasa nasionalis, lokalitas disingkirkan.
[8] Pandangan Heddy Shri Ahimsa Putra tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ruang Sekre Gedung Senat FIB UGM pada tanggal 30 Januari 2019 pukul 14.00-15.30.
[9] Perlu saya pertegas, agaknya perubahan yang berbeda-beda tersebut merupakan ekspresi resistensi terhadap gelombang perubahan.
[10] Ifan Afifi menekankan bahwa sains membawa perubahan secara signifkan.
[11] Pandangan Joko Suryo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Sekip C9 Perumahan Dosen UGM pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 09.00-12.00.
Refrences
Afifi, I. (2019, Februari 24). Jawa dan Modernitas. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Engels, F. (2004). Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.
Geertz, C. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. (A. Mahasin, & B. Rasuanto, Penerj.) Jakarta: Komunitas Bambu.
Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta Pusat: Grafiti Pers.
Herusatoto, B. (1991). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Kismoyo, H. W. (2018, September 7). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, H. S. (2019, Januari 30). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suryo, J. (2018, Agustus 17). Keluarga Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Suyanto, I., & Gunawan. (2005). Paham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elite Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Antropologi Indonesia, 29, 207-218.
/1/
Berdasarkan berbagai kajian, amatan, liputan, dan rekaman para pengaji, pemerhati, peliput, dan pecinta Wayang [yang dikemukakan secara tertulis, visual, dan disampaikan secara lisan] dapat dikatakan di sini bahwa keberadaan atau kehadiran [eksistensi] wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan sudah amat tua [lama] di dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa di samping masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain di Indonesia. Dengan kata lain, hidup wayang tergolong sudah demikian panjang. Kehidupan wayang ibarat kehidupan tokoh Rama Bargawa [Rama Parasu]: demikian panjang, tak mati-mati, meski sedih gembira silih berganti.
Dalam rentang perjalanan kehidupan wayang yang demikian panjang, lakon wayang dan seni pertunjukan wayang berubah, berkembang, dan menjadi beraneka ragam pada satu pihak dan pada pihak lain juga berkurang dan berkarat akibat berbagai faktor yang bersentuhan dengan kehidupan wayang. Dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya berhadapan dengan perubahan zaman, wayang telah membuktikan diri mampu hidup secara kenyal [elastis] dan lentur [fleksibel] sehingga sampai sekarang tetap dapat hidup [eksis] sebagai pusaka budaya sekalipun kerap membuat khawatir para pemangku, pencinta, dan pengaji wayang.
wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang…
Wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan dapat hidup sampai sekarang berkat kefundamentalan dan kestrategisannya dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain, secara historis, sosiokultural, religiokultural, geokultural, dan antropo-psikologis, keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat fundamental dan strategis dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Pertama, dikatakan fundamental karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang merupakan prasyarat yang harus ada [conditio sine qua non] dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [dan lain-lain]. Di sini berlaku adagium: tanpa wayang, tidak ada kejawaan; kejawaan tiada berarti tanpa wayang. Sebagaimana dikatakan oleh orang Inggris bahwa tidak ada Inggris tanpa Shakespeare, dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa tanpa wayang [wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang]. Wayang menjadi presensi atau representasi kejawaan [dapat juga kebalian dan lain-lain], bukan sekadar menjadi identitas kejawaan; wayang [setidak-tidaknya] menjadi ”tulang sumsum”, bahkan ”jiwa-raga” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dan wayang menjadi pusat, sumbu atau hulu kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa.
Kedua, dikatakan strategis karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat penting-utama [sentral] sebagai kendaraan atau wahana mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Tidak mengherankan, wayang lazim dijadikan acuan, sumber, dan dasar berperasaan, berpikir, bernalar, berlaku, berbuat, dan atau bertindak dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan memiliki kekuatan integratif sekaligus instrumental yang kokoh dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa: kekuatan integratif wayang mampu mengutuhkan sekaligus merekatkan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, sedangkan kekuatan instrumental wayang dapat mengantarkan sekaligus ”memfasilitasi” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa mampu mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan yang dikehendaki bersama. Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [bisa juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain yang memiliki tradisi wayang].
Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa…
Dalam sejarahnya, dinamika perubahan, pergeseran, dan perkembangan wayang sangat tinggi dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dalam hal ini keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang berubah, bergeser, dan berkembang sangat dinamis dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Sebagai contoh, pada masa kuno keberadaan wayang sebagai upacara keagamaan kepada Zat Absolut; kemudian bergeser sebagai sumbu kebudayaan dan peradaban; selanjutnya bergeser sebagai rujukan dan sumber kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa; dan berikutnya berubah sebagai bentuk tontonan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa. Pada suatu masa, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan lebih kuat-dominan kedudukannya sebagai integrator masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, kemudian lebih kuat-dominan kedudukan wayang sebagai instrumen kepentingan masyarakat dan kebudayaan Jawa.
Selaras dengan itu, pada suatu masa peranan integrator wayang lebih dominan, kemudian pada masa lain peranan instrumental wayang justru lebih dominan. Selanjutnya, pada suatu masa fungsi integrator wayang sebagai presensi atau representasi keutuhan dan kerekatan masyarakat dan kebudayaan Jawa lebih fungsional [misalnya, sebagai identitas masyarakat dan kebudayaan Jawa dan sebagai mitologi-kosmologi masyarakat dan kebudayaan Jawa], kemudian pada masa berikutnya fungsi instrumental wayang lebih dominan [misalnya, fungsi spiritual, fungsi filosofis, fungsi etis-moral, fungsi politis, fungsi edukatif, dan fungsi rekreatif]. Semua hal tersebut menunjukkan adanya sebuah transformasi keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sebagai siasat mempertahankan dan mengembangkan wayang di tengah-tengah dinamika historis, antropo-psikologis, geokultural, religiokultural, dan sosiokultural masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dinamika transformasi tradisi wayang tersebut justru membuahkan keanekaragaman dan kekayaan lakon dan seni pertunjukan wayang.
Dalam dinamika transformasi tradisi wayang tersebut berbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan ikut campur, campur tangan, atau ”ikut bermain” secara berarti [signifikan] dan menentukan mengingat demikian fundamental dan strategisnya wayang dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, bahkan juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain. Tak mengherankan, dunia wayang menjadi habitus, ranah, arena, dan atau ruang kontestasi [bertarung, bertanding, bersanding, dan atau berunding] aneka kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, antara lain agama, etika-moral, sosial, politik, ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai contoh, aneka kepentingan, kekuatan dan kekuasaan agama silih berganti bertanding, bersanding, dan berunding di dalam dunia wayang sehingga menjadikan lakon wayang, tafsir wayang, dan seni pertunjukan wayang beraneka ragam; ada lakon, tafsir, dan pertunjukan wayang bercorak pra-Hindu, Hindu, Islam, dan Kejawen [perhatikan, misalnya, lakon beserta tafsir dan pemaknaan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu]; seni pertunjukan wayang semakin beraneka ragam dan kaya, misalnya tokoh wayang diperkaya oleh Sunan Kalijaga, dan cerita diperkaya oleh ajaran Islam dan Nasrani.
Demikian juga pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan politik berkontestasi [bertanding, bersanding, dan atau berunding] dalam lakon dan pertunjukan wayang [terutama wayang kulit], misalnya pada zaman Orde Baru lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi, sosialisasi program, dan promosi hasil-hasil pembangunan Orde Baru [ingat lakon sekaligus pertunjukan wayang Semar Mbabar Jatidiri] pada satu sisi dan pada sisi lain dijadikan instrumen perlawanan kelompok masyarakat tertentu kepada Orde Baru. Pada zaman sekarang [Zaman Reformasi?] lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi dan sosialisasi penegakan hukum [lihat, misalnya, buku Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2010].
Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan sosial berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang kulit, misalnya lakon dan pertunjukan wayang kulit oleh pabrik-pabrik gula di Jawa dijadikan sarana legitimasi dan sosialisasi masa penggilingan tebu selain sarana hiburan bagi masyarakat; lakon dan pertunjukan wayang sebagai sarana konservasi ingatan masyarakat akan keberadaan pemerintahan tertentu [ingat wayangan pada peringatan ulang tahun pemerintah daerah]. Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan malah sangat kuat-dominan berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang sehingga wayang menjadi penggelaran pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi instrumen sekaligus katalisator pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi sumber, rujukan, bahan, dan ruang pendidikan bagi masyarakat. Tegasnya, wayang [baca: lakon, pertunjukan, dan komunitas wayang] selalu menjadi habitus, arena, atau ranah kontestasi beraneka ragam kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, satu di antaranya yang kuat-dominan adalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan.
/2/
Sebagai habitus, arena atau ranah kontestasi kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] menghadirkan, menampilkan, memantulkan, menggambarkan, menunjukkan, dan atau mencontohkan konfigurasi pendidikan yang membentuk sebuah corak atau ”mazhab” pendidikan tertentu, yang demi kemudahan dapat disebut corak atau ”mazhab” pendidikan wayang. Mazhab pendidikan wayang ini bukan saja menjadikan wayang sebagai instrumen pendidikan, tetapi membentuk sebuah konfigurasi atau karakteristik tertentu berkenaan dengan pendidikan. Di sini timbul pertanyaan: seperti apakah konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang? Secara ringkas ciri konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang Jawa dapat diuraikan sebagai berikut.
Falsafah pendidikan wayang Jawa [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas seperti padepokan] dapat digolongkan ke dalam pendidikan holistik, paling tidak paralel dengan pendidikan holistik. Sebagaimana pendidikan holistik yang dinyatakan oleh berbagai pakar modern, falsafah pendidikan wayang Jawa meyakini bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh dimensi dan potensi manusia baik dimensi dan potensi spiritual, humanis, sosial maupun personal; baik dimensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik; baik potensi ruhaniah, batiniah, maupun lahiriah; baik potensi spiritual, intelektual, emosional maupun fisikal-kinestetis manusia secara serempak. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mengasah-tajam ke-waskita-an, ke-lantip-an, ke-wasis-an, ke-prigel-an, dan sejenisnya. Semua itu dapat disebut sebagai rasionalitas integratif atau holistis [berbeda dengan pendidikan Barat yang cenderung membentuk rasionalitas instrumental]. Hal ini memerlukan proses memerdekakan, memanusiakan, menjadi terus-menerus, dan mengutamakan manusia [liberasi, humanisasi, hominisasi, dan transendensi] sehingga manusia terdidik menjadi manusia merdeka, manusiawi, menjadi, dan utama. Karna, Sumantri, dan Arjuna adalah contoh figur manusia utama, merdeka, dan terus menjadi. Jadi, menurut perspektif wayang Jawa, pendidikan perlu mengikuti falsafah pendidikan holistik.
Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku.
Falsafah pendidikan wayang mengedepankan praksis pendidikan daripada teori pendidikan, paling tidak menempatkan teori pendidikan di belakang praksis pendidikan atau tidak membedakan secara tegas antara teori pendidikan dan praksis pendidikan. Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku. Di sini laku dipandang lebih tepat sebagai jalan menguasai pengetahuan. Tokoh-tokoh wayang seperti Bima, Ajurna, dan Karna harus menjalani laku tertentu untuk menguasai pengetahuan tertentu. Demikian juga pendidikan calon dalang wayang di berbagai lembaga pedalangan menekankan laku, dalam hal ini praktik memainkan wayang secara intensif. Semua itu paralel dengan perkataan Konghucu sebagai berikut: //apa yang saya dengar, saya lupa/apa yang lihat, saya ingat/apa yang saya kerjakan, saya pahami//. Paralel juga dengan doktrin utama pemelajaran aktif [active learning] yang sekarang sedang ”digadang-gadang” [ditimang-timang] berikut ini: //yang saya dengar, saya lupa/yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat/yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan dengan orang lain, saya mulai pahami/yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan/yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai//. Malah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa laku pendidikan ala wayang selaras atau paralel dengan empat pilar pendidikan UNESCO berikut:/pemelajaran mengetahui [learning to know]/pemelajaran melakukan [learning to do]/pemelajaran hidup bersama [learning to tilve together]/pemelajaran menjadi diri sendiri [learning to be]/. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa praksis atau laku pendidikan ala wayang memiliki universalitas sekaligus aktualitas pada masa sekarang selain memiliki paralelisme dengan kebutuhan pendidikan pada masa sekarang.
Tujuan utama pendidikan wayang adalah membentuk manusia penuh pengertian yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil dengan laku tertentu yang ”tidak mudah” atau ”tidak gampangan”. Dalam hubungan ini muatan pendidikan [pedagogies content] berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang menjadi dambaan bersama. Sebagai contoh, tokoh Arjuna, Karna, Pandu, dan Sumantri, bahkan Sukrasana masing-masing merupakan figur manusia pangerten yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil. Dalam bahasa sekarang, masing-masing tokoh tersebut merupakan tokoh penuh pengertian yang berkompeten [memiliki kompetensi] dan berkarakter [memiliki akhlak mulia]. Mengapa demikian? Bukankah pengertian kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai yang digunakan untuk berpikir dan bertindak? Bukankah pengertian karakter adalah kesadaran etis-moral seseorang yang didasari oleh pemikiran, perasaan, dan perilaku? Jika memang demikian, bukankah tujuan pendidikan wayang paralel atau selaras dengan fungsi pendidikan nasional yang intinya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa? Hal ini mengimplikasikan bahwa tujuan pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi bagi pendidikan nasional.
Dalam pendidikan [ala] wayang diyakini bahwa ilmu atau pengetahuan bertautan dengan kepentingan atau kekuasaan tertentu sehingga tidak ada netralitas ilmu atau pengetahuan; selalu ada pertautan kepentingan atau kekuasaan dengan ilmu atau pengetahuan. Penyesalan Rama Bargawa [Rama Parasu] yang telah memberikan ilmu atau pengetahuan dan keterampilan kepada Bisma, Durna, dan Karna menyiratkan adanya pertautan pengetahuan dan keterampilan dengan kepentingan tertentu. Demikian juga lakon-lakon Ramayana yang bercerita seputar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau Sukesi-Wisrawa telah memantulkan secara jernih pertautan erat pengetahuan dengan kepentingan: pengetahuan tentang rahasia kesempurnaan hidup yang menjadi hak milik istimewa para dewa ternyata terlarang bagi perempuan seperti Sukesi sehingga Sukesi-Wisrawa menerima kutuk. Doktrin pertautan ilmu atau pengetahuan dengan kepentingan tertentu tersebut paralel dengan pernyataan Francis Bacon: pengetahuan adalah kekuasaan [knowledge is power]; selaras pula dengan pernyataan Fachry Ali tentang ilmu dan teknologi sebagai kekuasaan: dalam kasus Habibie pengetahuan menunjukkan diri sebagai kekuasaan [lihat bukunya Esai Politik tentang Habibie]; selaras pula dengan pandangan Edward Said bahwa ilmu atau pengetahuan selalu menjadi wahana imperialisme [lihat bukunya Orientalisme]. Di samping itu, juga paralel dengan doktrin Mazhab Kritis Frankfurt atau setidak-tidaknya paralel dengan pemikiran Jurgen Habermas tentang pertautan pengetahuan dengan kepentingan [lihat bukunya Knowledge and Human Interest]. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan wayang Jawa tentang ketidaknetralan ilmu atau pengetahuan memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pandangan filsafat ilmu modern.
Selaras dengan hal tersebut, dalam perspektif wayang, fungsi pendidikan adalah memberikan penyadaran atau penggugahan kepada subjek didik [baca: siswa] tentang diri siswa [jati diri, keberadaan, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab siswa]. Dengan kompetensi dan karakter [pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai] tertentu siswa diharapkan memiliki kesadaran atau ketergugahan diri di dunia. Wejangan filosofis dan etis-moral Kresna yang demikian panjang lebar kepada Arjuna yang tengah dilanda kegamangan menggambarkan pembentukan kesadaran atau ketergugahan Arjuna akan tugas dan tanggung jawab dirinya di dunia. Demikian juga ujaran Karna yang demikian panjang kepada Kunti sang ibunda tentang makna kesetiaan, martabat, dan pengorbanan menyiratkan adanya kesadaran atau ketergugahan Karna. Bahkan proses pendidikan calon dalang yang dipenuhi dengan wejangan dan latihan menunjukkan pembentukan kesadaran calon dalang. Uraian tersebut menunjukkan pendidikan ala wayang sebagai proses penyadaran atau penggugahan. Hal tersebut paralel atau selaras dengan pandangan Paulo Freire: Freire memandang pendidikan sebagai proses pembebasan dengan melakukan proses penyadaran [konsientisasi] siswa, dalam hal ini penyadaran kritis-transitif, bukan sekadar pemberian motivasi. Mazhab pendidikan kritis pada umumnya juga memandang proses pendidikan sebagai proses menyadarkan, bukan proses menabung di bank. Uraian tersebut jelaslah menyiratkan bahwa fungsi pendidikan dalam wayang paralel atau selaras dengan pandangan mazhab pendidikan kritis khususnya pandangan Freire. Oleh karena itu, fungsi pendidikan ala wayang memiliki universalitas dan aktualitas pada zaman sekarang.
/3/
Berlandaskan paparan ringkas di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi atau mazhab pendidikan [ala] wayang Jawa memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pemikiran pendidikan [pasca]-modern atau zaman sekarang selain memiliki universalitas dan aktualitas pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan. Hal ini mengimplikasikan bahwa mazhab pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi berarti bagi pendidikan modern atau zaman sekarang. Secara khusus mazhab pendidikan wayang dapat memberi kontribusi bagi pembentukan jatidiri pendidikan nasional Indonesia [sesuatu yang belum kita miliki, dalam arti bahwa sampai sekarang pendidikan nasional Indonesia belum memiliki jatidiri yang jelas dan utuh yang berpijak pada bumi sendiri]. Dengan kata lain, mazhab pendidikan wayang dapat dijadikan pijakan pendidikan nasional kita. Bukankah orang-orang terkemuka dan negara-negara terkemuka selalu berpijak pada bumi sendiri?
Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela menjadi terkemuka berkat kekayaan kultural dan moral yang digali dari bumi sendiri. Demikian juga pendidikan Finlandia dan Jepang menjadi terkemuka berkat pijakan bumi sendiri. Oleh sebab itu, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] perlu dipertahankan, dipelihara, dan bahkan dikembangkan agar mampu memberi sumbangsih bagi dunia pendidikan zaman sekarang, lebih-lebih zaman akan datang. Di samping itu, perlu diubah-suaikan [ditransformasikan] dan diadaptasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. Di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemertahanan, pemeliharaan, perlindungan, dan pengembangan serta perlindungan wayang Jawa, bahkan juga wayang-wayang lain yang ada di berbagai gugusan kebudayaan lokal di Indonesia. Semoga!
Manuskrip Jawa Kuno dan Bali Perekam Wabah
Kehadiran wabah penyakit menular setidaknya terekam dalam manuskrip-manuskrip Jawa kuno dan Bali. Dari beberapa manuskrip-manuskrip tersebut Sugi Lanus dalam Bincang Naskah dengan tema “Protokol Penanganan Wabah dalam Manuskrip Bali dan Jawa Kuno” pada Kamis 23 April 2020 menggolongkannya ke dalam manuskrip-manuskrip berlatar zaman Kerajaan Kediri, manuskrip yang berasal dari zaman Kerajaan Majapahit, dan manuskrip era Kerajaan Gelgel abad 16 hingga abad 19 M.
Dalam bincang naskah yang dimoderatori oleh Aditia Gunawan, staf Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sekaligus mahasiswa S3 EPHE PSL Paris tersebut, disebutkan bahwa dari kelompok manuskrip berlatar zaman Kediri Babad Calonarang memuat berbagai jenis penyakit. Para penderitanya pagi hari terjangkit siang meninggal, sore terjangkit sore meninggal, dan seterusnya. Jumlah penderitanya juga berlipat mulai 2 orang, berlipat menjadi 4 orang, 6 orang, dan seterusnya.
Adapun dalam manuskrip lain yang masih berlatar Kediri, Keputusan Baradah, diceritakan telah terjadi wabah penyakit. Raja Airlangga, penguasa Kediri waktu itu, meminta pertimbangan penasehatnya Mpu Baradah. Mpu Baradah kemudian mengutus Mpu Bahula untuk ‘mengivestigasi’ apa yang sebenarnya terjadi. Diceritakan bahwa Mpu Bahula merupakan seorang yang teguh mengikuti jalan dharma. Di akhir ceirta disebutkan bahwa Dyah Nateng Dirah, seorang janda telah menyebabkan wabah penyakit lewat ilmu hitam yang disebut Calonarang. Mpu Bahula akhirnya menikah dengan Dyah Nateng Dirah untuk menghentikan wabah penyakit. Dalam naskah yang lain, masih berlatar Kediri, yaitu naskah Taru Permana, diceritakan Mpu Kuturan meninggalkan istrinya di suatu daerah di Jawa yang bernama Girah untuk melakukan tapa brata di Pulau Bali. Istri Mpu Kuturan yang menjadi janda ini kemudian menyebabkan wabah penyakit. Dalam persemadiannya, Mpu Kuturan yang gagal mengatasi penyakit kemudian terlibat percakapan dengan pepohonan. Diceritakan masing-masing pohon menyebutkan nama dan setiap bagian menjelaskan setiap bagian pohon dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit apa.
Ketiga naskah di atas, Babad Calonarang, Keputusan Baradah, dan Taru Permana, berlatar sama yaitu pada zaman Kerajaan Kediri sekitar 1042-1222 M. Pertanyaan selanjutnya apakah benar pada masa itu terjadi wabah penyakit? Hal ini yang perlu diverifikasi oleh sumber lain yang lebih valid. Jika benar terjadi wabah penyakit pada zaman tersebut maka, “adanya virus atau bakteri sebagai penyebab penyakit menular tidak terfahami oleh masyarakat masa lalu, maka janda yang menguasai ilmu hitam Calonarang-lah yang dipersalahkan dalam kasus ini,” tutur Sugi Lanus. Senada dengan hal tersebut, Ahmad Arif dalam wawancara di Kompas TV menjelaskan bawah nenek moyang kita mengingat bencana dalam bentuk yang lain misalnya mitos, legenda, dan seterusnya. Pada zaman sekarang mitos, legenda, dongeng tidak dapat dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah yang menceritakan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau sehingga terjadi keterputusan literasi zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Jika benar terjadi wabah penyakit pada zaman tersebut maka, “adanya virus atau bakteri sebagai penyebab penyakit menular tidak terfahami oleh masyarakat masa lalu, maka janda yang menguasai ilmu hitam Calonarang-lah yang dipersalahkan dalam kasus ini,” tutur Sugi Lanus.
Kelompok kedua adalah naskah-naskah yang saat ini masih dipakai di Bali yang berasal dari Majapahit. Setidaknya dalam naskah-naskah ini terdapat kutipan yang berbunyi iti gegelaran sami kagelar ring Majapahit yang terjemahannya ‘ini penjelasan sama dengan yang dijelaskan di Majapahit’ atau manut ring Majapahit yang terjemahannya ‘mengikuti Majapahit’. Dalam naskah Roga Sanghara Gumi disebutkan berbagai upacara yang terkait dengan peristiwa alam, pralaya, kiamat kecil, dan doa-doa yang dipanjatkan dalam suasana wabah. Berbagai macam upacara, doa pemujaan Batara Ganapati sebagai penguasa dunia bawah agar mendorong kembali semua pralaya, sanghara ke dalam dunia bawah. Yama Purwana Tattwa merupakan naskah berisi ritual kematian di Bali. Muatan naskah ini misalnya jika terjadi perang, wabah, kecelakaan, tertimpa pohon jasad harus segera dikubur. Khusus jasad penderita lepra (wabah lepra), jasad dikubur dan tidak boleh dikremasi dalam waktu 25 tahun. “Di Jawa naskah ini dipakai di Pasuruan dan Blambangan ketika wilayah itu masih beragama Siwa.” Pungkas Sugi Lanus. Selain kedua naskah di atas ada juga Puja Astawa yang berisi manual puja ketika terjadi bencana, hama padi, wabah ternak, hama tikus dan lain-lain. Puja Astawa ini merupakan pegangan umum para pandita.
Selain naskah-naskah di atas, ada beberapa naskah yang berasal dari zaman Kerajaan Gelgel, abad ke 16 hingga 19 Masehi, yang berisi berbagai hal tentang bencana wabah. Naskah-naskah tersebut di antaranya adalah Anda Kacacar, Usada Kacacar, Pamahayu Anda Kacacar, Usada Cukuldaki, Usada Gede, dan Usada Ila. Isi naskah-naskah ini menurut Sugi Lanus di antaranya adalah larangan sembahyang ke pura bagi desa-desa yang terkena wabah meskipun ada hari baik atau hari raya, pedoman ruwatan setelah suatu bencana telah lewat. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana ini menambahkan bahwa ruwatan masal yang melibatkan banyak orang pernah dilakukan di Bali setelah peristiwa bom Bali. Para pendeta memimpin doa upakara agar masyarakat kembali ke tatanan semula diselingi nasehat-nasehat agar para peserta sembahyang ruwatan tidak berlarut dalam bencana itu, merelakan hal (bencana) itu setulus-tulusnya kepada alam semesta, memaafkan, melepas dendam, kemarahan rasa pesimis, agar semesta yang mengatur. Upakara-upakara tersebut terbukti menyamankan masyarakat, membangun imunitas batiniyah, dan kerelaan hidup.
Di dalam Usada Gede terdapat perintah isolasi yang berbunyi “Jangan mau mengobati karena akan terkena kutuk orang yang mengobati (artinya tertular). Orang yang sakit ini (lepra) terkena kutukan dewa. Jika ada orang yang tertimpa penyakit ini harus diusir oleh penguasa, ditempatkan di pinggir pantai jauh dari desa, tidak boleh dilihat oleh masyarakat desa, jangan lama-lama di desa, jika dibiarkan lama-lama orang ini di desa akibatnya dewa-dewa akan pergi dan semua masyarakat akan terkena gering gede (penyakit akan mewabah).”
Dalam Usada Ila disebutkan bahwa jika yang sakit mandi dengan air yang dipakai mengaliri sawah mangakibatkan sawah itu terserang hama, segala yang ditanam rusak, air ini tidak boleh dipakai mandi atau dilewati orang. Apapun yang disentuh atau bahan yang-bahan yang dipakai itu tidak diperkenankan untuk dipakai untuk berangkat ke tempat sembahyang ramai. Jika ada orang berani menyembunyikan orang yang kena sakit ini dapat dikenai denda oleh raja, dendanya sebanyak 100 ribu 60 kepeng.
Berdasarkan penuturan lisan para saksi orang-orang tua di Bali, seperti yang diceritakan Sugi Lanus, didapatkan informasi bahwa Pantai Kuta dan Pantai Krobogan dahulu merupakan tempat isolasi para penderita penyakit menular. Mereka ditempatkan di sebuah gubug dan setiap hari keluarga dan masyarakat mengirim makanan, diletakkan di tempat yang agak jauh sehingga tidak perlu kontak dengan masyarakat dan keluarga. Mengapa pantai menjadi tempat isolasi penderita penyakit menular ini? Sugi Lanus menambahkan bahwa dahulu pantai-pantai ini merupakan tempat yang sepi, banyak sinar matahari, identik dengan konsep meruwat untuk melepas ‘residu batiniah’, dan berhubungan dengan konsep dunia atas-dunia bawah. Dunia atas terletak di gunung, dunia bawah terletak di laut, dan manusia hidup di antara keduanya. Dunia bawah adalah dunia di mana segala keburukan berasal, maka penyakit menular sebagai sebuah keburukan juga harus dikembalikan ke asalnya, dunia bawah, ke laut.
Konsep Wabah dalam Manuskrip Jawa Kuno dan Bali
Setidaknya ada tiga konsep wabah dalam naskah-naskah ini yaitu wabah sebagai kutukan atau karma, pemberian para dewa, dan wabah sebagai sesuatu yang lumrah. Wabah sebagai kutukan atau karma berhubungan dengan ketidakseimbangan antara bhuana alit dengan bhuana agung. Ketika bhuana alit, dunia manusia, terus menerus memproduksi kebencian, pertikaian, dendam, maka bhuana agung meresponnya dengan memantulkan kembali energi-energi negatif tersebut menjadi penyakit yang menjangkit manusia. Hal ini terdapat dalam Roga Sanghara Gumi. Wabah sebagai pemberian para Dewa mengandung arti ketika terjadi wabah para Dewa sedang melepas kala, hal ini sengaja dilakukan agar manusia menepi sejenak, menghentikan aktifitas di luar memasuki dirinya sendiri, memasuki periode hening, melakukan perenungan mendalam, melakukan perekatan dengan dirinya sendiri dengan tapa brata, puasa, doa. Wabah sebagai pemberian para Dewa ini dimaksudkan untuk kebaikan manusia. Wabah sebagai sesuatu yang lumrah terjadi, secara filosofis terdapat dalam Keputusan Baradah. Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa penciptaan bumi diikuti oleh bayang-bayang penyakit, dalam perspektifnya manusia dengan penyakit ibarat tubuh dengan bayang-bayangnya.
Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa penciptaan bumi diikuti oleh bayang-bayang penyakit, dalam perspektifnya manusia dengan penyakit ibarat tubuh dengan bayang-bayangnya.
Meskipun manuskrip-manuskrip ada yang berisi obat-obatan untuk mengobati berbagai penyakit, misalnya dalam Taru Permana, namun tidak semua hal dalam manuskrip-manuskrip ini dapat langsung diterima untuk diterapkan pada masa kini. Menurut Sugi Lanus manuskrip-manuskrip tersebut adalah rekam jejak peristiwa yang terjadi pada masa lalu kecuali yang menyangkut doa-doa dan yang menyangkut praktek penguburan yang diadakan oleh masyarakat yang agama dan keyakinan masih selaras dengan yang terdapat di dalam manuskrip. Para peneliti naskah yang berhubungan dengan pengobatan atau ramalan sepertinya sepakat dengan hal ini, bahwa semua yang terdapat dalam naskah masih perlu verifikasi dengan ilmu pengetahuan modern. Senada dengan hal tersebut Fransisca Tjandrasih Adji dalam simposium internasional kebudayaan Jawa dan naskah Kraton Yogyakarta pada Maret 2019 mengatakan bahwa sistem pengobatan tradisional dalam naskah (Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi) masih perlu diuji secara klinis. Lebih jauh lagi Mangestuti Agil dalam seminar pernaskahan nusantara 2017 mempresentasikan hasil uji klinis terhadap obat-obatan yang terdapat dalam Primbon Bental Jemur Adamakna. Uji-uji inilah mungkin yang dimaksud oleh Ahmad Arif sebagai tugas ilmu pengetahuan modern untuk meresponnya dengan menterjemahkan kembali hal-hal itu lalu mentransformasikan ke dalam pola kehidupan modern.
Diplomasi Menghadapi Bencana
Wabah merupakan peristiwa bencana kesehatan. “Bencana merupakan peristiwa alam, tetapi dampaknya merupakan peristiwa sosial. Bagaimana kita meresponnya akan menentukan sedikit atau banyak korban. Bencana merupakan natural disaster tetapi responnya merupakan proses kebudayaan. Untuk itu yang paling penting mengubah cara pikir melihat negara ini. Pada masa lalu nenek moyang kita mencoba merespon dengan mengantisipasi. Pengetahuan ini kemudian terputus, mungkin karena proses panjang kolonialisasi, lalu proses literasi kebencanaan.” Pungkas Ahmad Arif dalam wawancara Kompas TV.
Hari ini kita melihat bencana dari kacamata barat di mana bencana dimaknai sebagai suatu mala petaka, sesuatu yang membawa celaka, pembawa kematian, kehancuran, dan tangis penderitaan, maka dia perlu dihindari kalau tidak dapat diantisipasi. Secara umum bagaimana pandangan kebudayaan lokal mengghadapi bencana-bencana tersebut? Dikutip dari balipost.com Sugi Lanus menjelaskan bahwa melalui berbagai ajaran lisan dan tertulis, berbagai upakara dan mantra Bhuta Yadnya, leluhur Bali telah mewariskan cara tangguh dalam menyikapi wabah: memilih kejernihan, dibandingkan kegaduhan hati, memilih hening diri dan upakara suci, dibandingkan berkata-kata kasar dan prilaku gusar. Begitulah, para leluhur mengajari kita untuk senantiasa degdeg (jernih) dan teguh menjaga relasi batiniah dengan alam, terlebih-lebih ketika sedang dilanda wabah. Sebagi contoh dalam menghadapi hama tikus leluhur Bali mengajarkan agar manusia ‘menyapa’ hama tikus dengan dalam upakara. “Mekaon mekaon jro, mekaon jrone mekaon.” (Pergi pergilah tuan dan puan, pergi pergilah tuan dan puan). Diucapkan tanpa nada benci. Jauh dari perasaan bermusuhan atau dimusuhi. Diucapkan dalam suasana ritus suci penaklukan hama, Nangkluk Mrana. Bahkan tikus sebagai pembawa hama pertanian diberi gelar kehormatan “Jro Ketut”. “Wabah (gering-mrana) tidak boleh diumpat –ten dados pisuh. Kalau diumpat mereka datang berlipat –yening pisuh medal ngeliuanang”. Dari kutipan di atas terlihat bahwa untuk menghadapi bencana dikedepankan rasa persahabatan, rasa hormat, rasa welas asih terhadap bencana.
Di Jawa teks Palilinḍon (Jawa kuno) atau Primbon Palindhon dalam versi Jawa baru kita diajari melihat suatu bencana tidak selalu berhubungan dengan kehancuran. Di dalam teks tertulis Yen lindhu Wulan Saban ngalamat kathah wong mati, wowohan suda, pangulune suker rare cili akeh mati, yen wengine kathah wong pahes manahe, beras pari murah terjemahannya adalah ‘Jika gempa pada Bulan Saban pertanda akan banyak orang mati, buah-buahan berkurang, penghulu kesusahan anak kecil banyak yang mati, jika (gempa terjadi pada) malam (hari) banyak orang bersolek hatinya, beras padi murah.’ Dari teks ini terlihat pandangan kultural masyarakat Jawa bahwa gempa yang identik dengan kehancuran, musibah ternyata juga bisa berarti pertanda kebaikan. Maka perasaan optimis harus dikedepankan.
Dari teks ini terlihat pandangan kultural masyarakat Jawa bahwa gempa yang identik dengan kehancuran, musibah ternyata juga bisa berarti pertanda kebaikan.
Ahmad Arif dalam presentasinya yang berjudul Disaster Journalism menyebutkan bahwa dalam konteks Gunung Agung dan Gunung Rinjani, gunung api bukan hanya permasalahan geologi dan geofisika, tetapi juga kebudayaan. “Di Gunung Agung kami ketemu dengan saksi mata yang selamat dari letusan Gunung Agung 1963, dia mengisahkan tentang ratusan orang dari dua desa yang sengaja menyambut datangnya awan panas. Bagi mereka meninggal karena awan panas bukanlah sebuah aib.”
Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa ada ‘ruang diplomasi’ yang memberikan peluang kepada manusia ketika bencana melanda, baik bencana alam maupun bencana kesehatan seperti yang sedang terjadi saat ini. Dari sumber-sumber di atas seolah-olah para leluhur kita mengatakan “ada pilihan lain selain meratap, menghujat, mengutuki bencana yang datang, apalagi sampai mencari kambing hitam. Tetaplah bersahabat dengan keadaan, perlakukan bencana sebagai anugerah, sapalah dengan ramah. Bahwa selalu akan ada pelangi setelah hujan yang lebat.”
Sumber
Bincang Naskah “Protokol Penanganan Wabah dalam Manuskrip Bali dan Jawa Kuno” (https://www.youtube.com/watch?v=7jeHpR8QzBk)
Jurnalisme Bencana (Disaster Journalism) : Ahmad Arif at TEDxUltima (https://www.youtube.com/watch?v=g2wNmTwVtE4&t=863s)
Shaking The Disaster Literacy Ground, Ahmad Arif, TEDxJakarta
(https://www.youtube.com/watch?v=0fhBEcJJP90)
Ajaran Leluhur Bali dalam Menyapa Wabah (http://www.balipost.com/news/2020/04/07/114161/Ajaran-Leluhur-Bali-dalam-Menyapa…html?fbclid=IwAR0Yz-MWa6-9GNB4x2p6odWx7gnCSbiTThhQH-XlKng-9wNkfnlX8f5pTIE)
Prosiding Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Kraton Yogyakarta 2019
Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2017