Kebudayaan
Akhir-akhir ini saya nyaris berkesimpulan bahwa makna hidup tak mungkin didapat dari proses abstraksi-abstraksi pemikiran dan permenungan filosofis berjarak. Melainkan ia bisa digenggam, hanya dari proses mengalami secara intim-subjektif pengalaman-pengalaman kehidupan. Sederhananya untuk dapat merengkuh makna hidup, orang, saya anjurkan untuk menjadi pecinta daripada menjadi filsuf.
Kalaupun “makna hidup”––katakanlah begitu––bisa ditangkap dari permenungan berjarak para filsuf, makna tersebut saya kira kok bersifat objektif, jauh, dan dingin, alias tak membantu banyak hal atas keputusan spesifik dari ribuan gejala dan pengalaman yang kita hayati secara spesifik. Ia ada “jauh” di sana, oleh karenanya apa guna?
Persis seperti dalam menghayati agama, makna hidup harus dijemput tepat pada saat anda “menceburkan” diri dalam pengalaman fana keduniaan anda. Mungkin metafor yang baik untuk melukiskan ini adalah saat anda belajar bersepeda.
Agama, atau lebih tepatnya kebenaran agama, digapai bukan dengan mematuhi rumusan baku yang bersifat umum dan mengekang, yakni dengan cara melibatkan diri dalam pertengkaran diskursif terkait madzhab-madzhab aturan-aturan yang beragam tentang juklak dan juknis seperti tertera dalam banyak buku panduan bersepeda.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Sungguh saya akan bergetar, jika menemui seseorang yang dengan tanpa sedikitpun mundur––tentu setelah melewati uji rentang waktu yang lama––untuk terus menerus memperjuangkan cintanya. Ia, bagi saya telah “mengalami” cinta sebagai proses spiritual yang sublim, dan oleh karenanya saya akan segera bersimpuh di depannya (lirik Tarli Nugroho).
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Saya sarankan, jika anda ingin merengkuh kebenaran, singkirkan jauh-jauh permenungan filosofis berjarak dan jadilah pecinta yang buta. Karena, jika cinta saya buta, ungkap anda, saya pasti akan menemukan jalan bersamanya.
Tapi, tunggu dulu. Pandangan saya di atas sebenarnya masih hitam-putih. Yakni Saya seolah membuat garis tegas wilayah antara filsuf dan pecinta. Padahal, dalam hidup, saya sering menemukan seorang filsuf yang berusaha mengalami kehidupan dengan bantuan permenungan berjaraknya. Karena bagaimanapun, pengalaman yang tak direfleksikan hanya akan menambah deretan pengalaman yang tak terangkai.
Namun, sebenarnya, apa yang saya ingin katakan sebenarnya sederhana, yakni saya ingin mengalami hidup ini dari menggeluti kekayaan elemen yang mendukungnya: permenungan, ilmu pengetahuan, rasa seni, keterlibatan etis, keindahan, dsb.
Karena, kita tahu, akhir-akhir ini ada kecenderungan banyak orang meyakini bahwa hanya dengan kelebatan panduan ilmu pengetahuan, tafsir agama, dan doktrin-doktrin agama semata, mereka merasa telah meringkus kebenaran. Mereka abai bahwa hidup adalah kecamuk gejala yang sejatinya perlu didekati tidak hanya dengan ilmu tapi juga seni; tidak hanya dengan tafsir kitab suci, melainkan juga dengan etika dan akhlak kemanusiaan––yang sejatinya saya yakini segaris dengan agama yang fitri.
Sudah. Kalau begitu, anda ingin jadi filsuf atau pecinta.
Kita mengetahui bahwa Qabil telah membunuh Habil. Peristiwa penting itu kita kenal sebagai pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Qabil yang merasa bersalah jadi kebingungan harus melakukan apa terhadap jenazah Habil. Atas izin Tuhan, Qabil melihat bagaimana burung gagak mengubur burung gagak lain yang telah mati. Akhirnya Qabil menguburkan jenazah Habil setelah meniru apa yang dilakukan burung gagak tersebut, seperti termaktub di buku Bey Arifin, Rangkaian Cerita dalam Al-Quran (2019).
Sementara jika kita merujuk Setia Sopandi di buku Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar (2013), kita akan tahu bahwa: Salah satu bentuk arsitektur yang paling purba adalah gundukan. Gundukan merupakan prinsip konstruksi bangunan paling sederhana yang dapat dibuat . Prinsip konstruksi bangunan yang bisa kita ketahui dalam membuat gundukan, yaitu: aktivitas menggali serta menumpuk material tertentu. Pada paragraf yang lain, Setia Sopandi menulis bahwa manusia membuat gundukan sebagai kuburan (makam). Di bawah ini saya mengutip utuh tulisan Setia Sopandi dari paragraf itu:
Manusia membuat gundukan-gundukan sebagai kubur. Masyarakat asli Amerika Utara tercatat telah membuat gundukan-gundukan tanah mulai dari 3000 SM hingga abad ke-16 yang diperkirakan untuk keperluan pemakaman sekaligus ritual. Dinasti Qin di Cina juga tercatat membangun maosoleum kaisar pertama Cina berbentuk gundukan tanah raksasa yang dilengkapi lebih dari 700.000 prajurit patung terakota di Mount Li, sekitar Xian, pada periode 300-200 SM. Kompleks ini begitu luas sehingga dipercaya merupakan sebuah replika kekaisaran Qin Shi Huang yang akan menemani sang kaisar di alam kematian.
Dari uraian di atas, kita dapat memetik hikmah bahwa umat manusia wajib memperlakukan jenazah sesamanya secara layak dan hormat, seperti menguburnya. Makna kuburan bisa kita anggap lebih luas selain sebagai tempat peristirahatan terakhir. Di tangan para penyair, kuburan boleh jadi adalah tempat imajinasi bekerja untuk menghayati kebesaran, kemuliaan, kebaikan, hingga keluhuran dari para pendahulu.
Salah satu penyair yang menghayati kuburan adalah Binhad Nurrohmat. Kita dapat menengok salah satu buku puisi karya Binhad Nurrohmat sebagai hasil penghayatannya itu: Nisan Annemarie (2020). Sisi menarik yang bisa kita telisik ternyata Binhad Nurrohmat menghayati kuburan (makam) dari pelbagai tempat. Dan barangkali pelbagai literatur, termasuk dua kuburan (makam) di kota saya, Gresik.
Dua Puisi
Gresik sebagai kota santri pun tidak lepas dari salah satu tempat penghayatan Binhad Nurrohmat sehingga tercipta dua puisi: Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih dan Nisan Fatimah di Leran. Di buku puisi Nisan Annemarie, dua puisi tersebut diletakkan Binhad Nurrohmat di sub bab Liang Mendiang, bersanding dengan puisi Pulang dari Kuburan Abdurrahman, Wajah Teduh Kiai Amin Sepuh, hingga Pagar Jeruji Kuburan Kiai Asyari.
Saya menilai dalam penghayatan Binhad Nurrohmat justru lebih asyik masuk ke ruang ibu ketika dirinya berada di Gresik. Penilaian ini berdasarkan Binhad Nurrohmat tidak menulis puisi makam para wali lelaki (Malik Ibrahim dan Sunan Giri). Justru Binhad Nurrohmat memilih makam dua perempuan hebat Gresik (Nyai Ageng Pinatih dan Fatimah binti Maimun).
Saya menilai dalam penghayatan Binhad Nurrohmat justru lebih asyik masuk ke ruang ibu ketika dirinya berada di Gresik
Dalam tulisan ini, saya akan mengulas puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih dan Nisan Fatimah di Leran. Bukan mengesampingkan puisi-puisi Binhad Nurrohmat yang lain di buku puisi Nisan Annemarie. Saya ingin masuk ke dua puisi tersebut dengan membandingkan tempat dan literatur. Apalagi tempat dan literatur dalam dua puisi tersebut lebih dekat dengan saya dalam segi kunjungan dan pembacaan.
Nyai Ageng Pinatih
Sekitar akhir tahun 2018, malam, saya diajak kolega untuk pergi, katanya mau bertemu Binhad Nurrohmat yang sedang berkunjung di Gresik. Seingat saya, kami pergi setelah kolega ikut lomba pingpong antar desa. Tempat pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat ternyata berada di Makam Nyai Ageng Pinatih di Kebungson.
Di sana sedang ada diskusi yang membahas sejarah dan budaya. Binhad Nurrohmat menjadi salah satu panelis. Pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat begitu singkat. Kami pulang sebelum diskusi selesai. Saya lupa apa saja pembahasan dalam diskusi. Saya cuma mengingat kata kuburan yang sering dilontarkan Binhad Nurrohmat.
Pada awal 2022, saya membeli buku puisi Nisan Annemarie di Jalan Semarang, Surabaya. Salah satu puisi di buku Nisan Annemarie adalah Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih. Puisi itu mengingatkan pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat. Puisi itu membahas ketokohan Nyai Ageng Pinatih. Sepertinya, selain tempat berdiskusi, Binhad Nurrohmat benar-benar menghayati Makam Nyai Ageng Pinatih sehingga menghasilkan puisi.
Puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih berbentuk rata kanan dan berjenis kuatrin (empat untai). Berisi lima bait dengan pola rima /a-b-a-b/, kecuali bait keempat berpola bebas. Meski pola rima menyerupai pantun, tapi saya menilai Binhad Nurrohmat tidak menulis pantun karena tidak ada sampiran. Saya malah menemukan tanda titik (.) pada setiap baris kedua dan keempat sehingga menyimpulkan Binhad Nurrohmat menulis satu kalimat jadi dua bait atau satu bait memiliki dua kalimat.
Berikut saya kutipkan utuh puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, yaitu:
Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih
Sebujur kubur wanita dari penjuru utara
seputih kelopak wangi pada pelipis pagi.
Syahbandar ayu terbaring tanpa bahtera
di ujung waktu berlabuh diri tanpa pergi.
Pelaut mabuk mungkin bergunjing tawa
kepada kelembutan di pelabuhan besar.
Armada perompak pergi dari Laut Jawa
dengan raut kecewa mengembang layar.
Giri kecil di Gresik terlelap di pangkuan
tak lupa pelupuk sipit sejak awal hayat.
Kisah melarut dalam darah dan ingatan
mengendap pada lubuk hari yang lewat.
Ikan di luar kenangan terjaring nelayan
menggelepar seliar nasib yang terjerat.
Jawa ditinggalkan kapal-kapal dagang
dan pesisir dihuni dermaga yang pucat.
Perempuan dari utara lelap di selatan
tak lagi menatap lautan dan bersiasat.
Gelombang merengkuh pasir di tepian
dan waktu melayarkan perahu riwayat.
Pada puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, saya langsung teringat Nyai Ageng Pinatih, seorang syahbandar, ibu asuh, sekaligus guru bagi Sunan Giri. Binhad Nurrohmat menulis satu bait pembuka: //Sebujur kubur wanita dari penjuru utara/ seputih kelopak wangi pada pelipis pagi./ Syahbandar ayu terbaring tanpa bahtera/ di ujung waktu berlabuh diri tanpa pergi //. Satu bait pembuka ini secara tersurat menggambarkan suasana Makam Nyai Ageng Pinatih lewat frasa kubur wanita, syahbandar ayu, dan waktu berlabuh.
Baris Sebujur kubur wanita dari penjuru utara” dapat kita maknai tentang biografi Nyai Ageng Pinatih yang berasal dari Champa yang akhir hayatnya bermakam di Kebungson, Gresik. Frasa syahbandar ayu” secara tersurat menggambarkan pekerjaan Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar, istri dari patih Syekh Abdullah.
Binhad Nurrohmat yang menggambarkan ketokohan Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar, pada bait berikutnya, menjelaskan bagaimana syahbandar harus menyelesaikan perkara di pelabuhan. Binhad Nurrohmat menulis pada satu bait kedua: //Pelaut mabuk mungkin bergunjing tawa/ kepada kelembutan di pelabuhan besar./ Armada perompak pergi dari Laut Jawa/ dengan raut kecewa mengembang layar //.
Jika kita menengok tulisan Soebali di buku Grissee Tempo Doeloe (2004) maka tugas syahbandar adalah menyelesaikan tiga perkara: pertama, mengurusi dan mengawasi administrasi perdagangan dan wilayah; kedua, syahbandar harus menengahi perselisihan antara saudagar dan nakhoda kapal yang berlabuh di wilayah kekuasaannya; ketiga, syahbandar memberi petunjuk dan nasihat tentang cara-cara berdagang setempat, menaksir barang, dan menetapkan bea cukai untuk penguasa setempat.
Nyai Ageng Pinatih adalah ibu asuh bagi Joko Samudra, nama kecil Sunan Giri. Latar belakang kenapa Nyai Ageng Pinatih memberi nama Joko Samudra. Syahdan, Nyai Ageng Pinatih menemukan jabang bayi laki-laki dalam peti kayu yang terapung-apung di laut, lalu dia menolong jabang bayi laki-laki itu, dia mengangkatnya sebagai anak sendiri, dan dia menamainya Joko Samudra.
Latar belakang nama Joko samudra tidak masuk dalam puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih. Barangkali Binhad Nurrohmat lebih ingin ringkas menyajikan hubungan Nyai Ageng Pinatih dengan Sunan Giri. Sehingga kita dapat membaca tentang Nyai Ageng Pinatih ketika merawat Sunan Giri sejak kecil, masa akhir sebagai syahbandar, dan meninggalnya.
Binhad Nurrohmat pun menulis: //Giri kecil di Gresik terlelap di pangkuan/ tak lupa pelupuk sipit sejak awal hayat //; //Ikan di luar kenangan terjaring nelayan/ menggelar seliar nasib yang terjerat./ Jawa ditinggalkan kapal-kapal dagang/ dan pesisir dihuni dermaga pucat //; dan //Perempuan dari utara lelap di selatan/ tak lagi menatap lautan dan bersiasat //.
Fatimah binti Maimun
Setelah Makam Nyai Ageng Pinatih, saya menduga Binhad Nurrohmat juga pergi ke Makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik. Dugaan saya berdasarkan penemuan puisi Nisan Fatimah di Leran di buku puisi Nisan Annemarie. Memang beberapa buku tentang sejarah Gresik lebih sering membahas keberadaan Makam Fatimah binti Maimun, terutama nisannya yang memiliki tulisan (batu bertulis) yang kini tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.
Memang beberapa buku tentang sejarah Gresik lebih sering membahas keberadaan Makam Fatimah binti Maimun, terutama nisannya yang memiliki tulisan (batu bertulis) yang kini tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.
Pada puisi Nisan Fatimah di Leran berbentuk rata kanan dan kuatrin (empat untai), berisi dua bait, dengan satu bait berpola rima /a-b-a-b/, dan satu bait lainnya berpola bebas. Sama dengan Puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, saya menilai Binhad Nurrohmat tidak menulis pantun karena tidak ada sampiran. Saya masih menemukan tanda titik (.) pada setiap baris kedua dan keempat sehingga menyimpulkan Binhad Nurrohmat menulis satu kalimat jadi dua bait atau satu bait memiliki dua kalimat.
Berikut saya kutipkan utuh puisi Nisan Fatimah di Leran, yaitu:
Nisan Fatimah di Leran
Asap dupa berkepulan di akar pohon besar
saat tapak perempuan menjamah dermaga.
Dari daratan bergurun berlayar berita besar
bagi dunia yang asing dan sesak batu arca.
Usia merapat ke ujung takdir di Pulau Jawa
dan berjaga setonggak nisan berhuruf Arab.
Pasir di pantai seperti mata waktu tak buta
lembut dan basah menatap riwayat senyap.
Kalau boleh membayangkan bagaimana Binhad Nurrohmat menulis Puisi Nisan Fatimah di Leran, ketika di Makam Fatimah binti Maimun, ia menghayati suasana dan mengamati bangunan makam. Lalu pada hari kemudian ia berkunjung ke Museum Trowulan untuk menghayati tulisan di nisan Fatimah binti Maimun. Bayangan saya ini terjadi karena ada baris: bagi dunia yang asing dan sesak batu arca.
Baris bagi dunia yang asing dan sesak batu arca seolah mengasosiasikan pada tulisan di nisan Fatimah binti Maimun. M. Yamin pernah mengatakan tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang berhuruf dan berbahasa Arab, secara tarikh dianggap sebagai tulisan yang tertua di Asia Tenggara. Di bawah ini, saya mengutip utuh tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Yamin (masih ejaan Soewandi), sebagai berikut:
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penjajang dan Maha Pemurah.
Tiap-tiap makhluk jang hidup diatas bumi ini adalah bersifat fana. Tetapi wadjah Tuhanmu jang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanja.
Inilah kuburan wanita jang menjadi kurban sahid, bernama Fatimah binti Maimun, putera Hibatullah, jang berpulang pada hari Djumat ketika tujuh sudah berlewat dalam bulan Radjab dan pada tahun 495, jang mendjadi kemurahan Tuhan Allah jang Maha Tinggi, beserta Rasulnja jang Mulia.
Bisa jadi baris: bagi dunia yang asing dan sesak batu arca merujuk tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang berisi kabar seorang wanita yang menjadi “korban syahid”. Sampai saat ini, makam Fatimah binti Maimun dianggap sebagai tanda penyiaran awal agama Islam di Indonesia. Penyiaran yang juga dapat diimajinasikan sebagai: Pasir di pantai seperti mata waktu tak buta, lembut dan basah menatap riwayat
Daftar Bacaan
Bey Arifin (2019), Rangkaian Cerita dalam Al-Quran, Bandung: PT Almaarif
Binhad Nurrohmat (2020), Nisan Annemarie, Yogyakarta: Diva Press
Setia Sopandi (2013), Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dukut Iman Widodo dkk (2004), Grissee Tempo Doeloe, Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik
Tim Penyusun Buku Sejarah Harijadi Kota Gresik (1991), Kota Gresik Sebuah Perspektif Sejarah dan Harijadi, Gresik: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik
Di bulan puasa yang tenang, marilah kita berdendang tembang dolanan bocah karya dalang Ki Slamet Gundono yang riang. Bagi yang pernah mendengarkan bagaimana tembang ini dilantunkan, tentu imajinasi anda akan melayang. Namun bagi yang belum, semoga bisa meresapi maknanya yang terdalam.
Sebelum dimulai, bayangkan anda seperti diiringi petikan gitar mandolin Slamet Gundono. Baik, kita mulai, yaa…
Atine bolong
Atine kosong
Atine mlompong
(hatinya bolong
Hatinya kosong
Hatinya melompong)
Neng langit ana lintang
Lintang….lintang luku
Ana bocah…
Ana bocah…
Bocah cilik gambar jagad
(di langit ada bintang
Bintang..bintang luku
Ada anak
Ada anak
Anak kecil melukis dunia)
Reff.
Cantel neng lintang
Sampir neng mbulan
Pepe neng srengenge
(gantungkan di bintang
Sampirkan di bulan
Jemur di matahari)
Ana bocah…..
Ana bocah…
Bocah cilik…
Bocah cilik gambar jagad
(ada anak
Ada anak
Anak kecil melukis dunia).
Tembang sederhana ini terinspirasi dari masa kecil Slamet Gundono yang sering bermain-main di sawah kampungnya. Bersama teman-temannya, Gundono kecil berlarian menyusuri pematang sawah. Setelah lelah, mereka akan menyebur ke Kali Gung yang saat itu masih dipenuhi air yang bening, hingga ikan-ikan masih tertangkap mata telanjang dan mudah ditangkap dengan tangan. Sembari mandi di kali, mereka mencari ikan dengan kedua telapak tangannya. Atau dengan menyusuri padas tempat ikan bersembunyi, mengamati lubangnya, kemudian saat ikan atau udang keluar, jari mungil mereka segera menarik buntut ikan atau udang tersebut.
Setelah memperoleh ikan atau udang, mereka akan membakarnya dengan klaras (daun pisang kering) di pinggir kali, kemudian memakannya beramai-ramai. Ketika mereka saling menatap, mereka tergelak bersama-sama karena saling melihat mulut mereka hitam penuh jelaga. Satu orang kemudian ada yang usil. Tangan mereka mengambil jelaga, kemudian diusapkan ke wajah temannya. Mereka kembali terbahak, kemudian berlariang dan..byuuurr….terjun ke kali lagi. Sungguh indah masa-masa itu.
Suasana seperti ini dalam bayangan Slamet Gundono dewasa dibaca sebagai suasana ketika anak-anak sedang melukis dunia, nggambar jagad. Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan. Laibun walahwun. Hal itulah yang dialami dan dirasakan Slamet Gundono selama hidupnya. Masa kecilnya memberikan banyak inspirasi dalam membuat karya lakon dan sekar. Masa kecil dan suasan kampung ternyata membuatnya jejeg menyangga tubuhnya yang besar dan beban hidupnya yang berat.
Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan.
Tembang di atas ini ditulis ketika Slamet Gundono sudah dewasa. Oleh karenanya, sekar ini merupakan imajinasi balik Slamet Gundono. Saat dewasa, ia telah mengalami lika liku hidup penuh warna; susah, senang, penat, bosan, muak, bahagia, atau sedih. Pait legi wis dilek. Baik terhadap sesuatu di luar dirinya maupun terhadap dirinya sendiri. Imajinasi ini secara psikologis menjadi mekanisme pertahanan dirinya (ego deffens mechanism) agar tak larut dengan masalah hidup, meskipun tak dimungkiri masalahnya membuat kesehatannya menurun dan penyakit kaki gajahnya semakin parah.
Mekanisme pertahanan diri umum diajarkan dalam kajian psikologi. Teori yang dicetuskan oleh Sigmund Freud, filosof perang dunia ke II dari Jerman ini menunjuk pada proses tak sadar yang melindungi seseorang dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Namun menurut Freud pula, pada dasarnya cara ini tak mengubah kenyataan, melainkan hanya mengubah persepsi seseorang terhadap masalah tersebut. Jadi, cara ini hanya bentuk penipuan diri.
Menurut Freud, ada sepuluh cara seseorang mempertahankan egonya, yaitu represi (menekan kecemasan), supresi (menahan kecemasan), reaksi formasi (mengubah mimik wajah), fiksasi (meminta tolong orang lain), regresi (kembali ke masa lalu yang indah), denial (menyangkal), proyeksi (menyalahkan hal lain), sublimasi (mengalihkan ke hal positif), rasionalisasi (membuat masuk akal perilakunya), displasment (mengelak), menarik diri, fantasi (melamun), dan intelektualisasi (menganalisa).
Teori ini tentu saja tak semuanya tepat, karena mekanisme pertahanan ini hanyalah istilah Freud saja. Bagi orang Jawa, regresi, fantasi, atau sublimasi misalnya, justru dibutuhkan untuk membangun kejujuran dan ketulusan diri (bolong, mlompong, kosong), bukan menipu diri. Yaa, seperti yang dilakukan Slamet Gundono ini. Ia tak mungkin menghasilkan karya-karya besar, seperti tembang ini, kalau ia tak berfantasi, kembali, dan mengendapkan pengalaman masa kecilnya dan pikiran dan hatinya. Dengan ego deffens mechanism, Slamet Gundono sekar nggambar jagad.
Dalam tembang ini, Slamet Gundono menggunakan kata kosong, mlompong, dan bolong untuk melukiskan hati yang ikhlas, jujur, dan apa adanya. Hati seperti ini hanya dimiliki oleh anak-anak, karena mereka masih suci, fitri, dan belum teracuni oleh beragam pengetahuan. Ikhlas, jujur, dan apa adanya oleh orang Jawa diterjemahkan dalam sikap semeleh atau narima ing pandhum. Sikap semeleh atau narima ing pandhum dianggap sebagai puncak kecerdasan manusia Jawa setelah seseorang mendayagunakan seluruh kemampuannya di hadapan pemilik kehidupan. Lahaula wala quata illa billahil ngaliyil adzim.
Dalam psikologi terdapat juga teori yang disebut dengan tabula rasa. Menurut teori ini, setiap bayi lahir itu ibarat batu tulis yang bersih. Perilaku selanjutnya akan dipengaruhi pengalamannya. Teori ini merupakan epistimologi yang dicetuskan oleh filosof Inggris abad 17, John Locke, bahwa manusia yang lahir tak memiliki mental bawaan dari leluhurnya.
Dalam kehidupan nyata, teori ini juga tak sepenuhnya tepat. Di Jawa, pengaruh genetik dari orangtua justru dianggap berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Bahkan, orang Jawa sangat perhatian dengan apa yang disebut rah ayu, darah yang ayu, artinya keturunan yang baik. Adapun roh ayu (ruh baik) dan reh ayu (kemulyaan) menjadi hak Gustialah.
Terhadap rah ayu (kemudian menjadi salam rahayu), para leluhur Jawa mengajarkan, hendaknya manusia Jawa mempersiapkan dengan serius jika ingin memiliki keturunan yang baik. Apalagi jika itu menyangkut kepemimpinan, maka dikenal peribahasa trahing kusumo rembesing madu. Bahwa pemimpin harus berasal dari bibit yang baik agar dapat melahirkan ajaran dan kepemimpinan (tauladan) yang baik.
Trah (dari Bahasa Arab itroh yang artinya keluarga atau keturunan) sangat penting dalam kepemimpinan Jawa. Dalam sebuah diskusi, Ki Herman Sinung Janutama menyatakan, setidaknya ada lima laku yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh calon pemimpin dalam ajaran Jawa, yaitu lelana (mencari ilmu), tedak sungging atau susur leluhur (jelas leluhurnya), manages (menegaskan atau memantapkan diri), jumeneng (disahkan), dan lengser (tahu diri kapan harus turun tahta).Tahap-tahap ini bukan untuk gagah-gagahan atau eksklusif, melainkan agar terjamin kualitas bobot, bibit, bebet-nya. Meskipun demikian, tersebab oleh kondisi zamannya, terkadang ada juga trah ratu yang seharusnya menjadi ratu tetapi memilih menjadi pujangga atau rakyat biasa.
Untuk menyiapkan rah ayu nanti derivasinya akan menurunkan beragam aturan dan upacara daur hidup yang ketat dan sangat berat. Dari mulai memilih calon istri, mendidik anak, hingga pendidikannya. Dalam konteks ini, dengan tujuan agar kosmologi Islam Jawa ini semakin merasuk dalam uripe wong Jawa, maka Kanjeng Sultang Agung Anyakrakusumo (1593-1645 M) pada tahun 1633 M (1555 saka), memerintahkan seluruh Kesultanan Mataram yang meliputi seluruh Pulau Jawa, Madura (kecuali Banten Batavia, dan Blambangan) untuk menggunakan sistem penanggalan (kalender) lunar (yang berdasar perputaran bulan). Tujuannya tentu saja agar kehidupan sehari-hari orang Jawa tersambung dengan ajaran Islam dan Jawa. Tentu saja hal ini terkait dengan cara hidup orang Jawa sesuai kosmologinya.
Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti. Kosong bukan berarti tak berisi. Pun demikian, Sebaliknya, kosong itu isi, dan agar berisi harus kosong. Atine bolong, kosong, mlompong.
Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti.
Dalam kalender Sultan Agungan (Islam Jawa), wulan pasa (puasa/ramadan) itu diartikan madya, apa adanya, semeleh. Sedangkan wulan besar (haji) diartikan kosong, suwung. Jika disambungkan dengan urutan dalam rukun Islam, maka ini dapat ditafsirkan, agar kelak manusia Jawa setelah madya di wulan pasa, ditambah membersihkan diri dengan zakat, dapat benar-benar kosong/suwung di wulan besar. Dengan begitu, kita akan tetap menjadi bocah cilik yang atine tetep bolong, sehingga mampu nggambar jagad.
Atine bolong
Atine kosong
Atine mlompong
Ana bocah…..
Ana bocah…
Bocah cilik…
Bocah cilik gambar jagad
Selamat menikmati ibadah puasa 1443 H.
Wallahua’lam bissawab.
*Baca Lengkap Tulisan Yusuf Effendi terkait Ki Selamet Gundono dalam Buku Bocah Cilik Gambar Jagad
Tulisan ini merupakan pembacaan sederhana dari kisah sejarah yang tersimpan. Patut diakui, Banyumas menyimpan banyak cerita-cerita tutur yang turun temurun. Cerita tutur/folklore akan menjadi cerita yang selalu mengasyikan dan penuh imaji. Cerita tutur yang muncul di masyarakat, tidak serta merta hampa atau kosong belaka. Tentu ada kisah nyata yang melatardepani sekaligus melatarbelakangi dari cerita tutur itu sendiri. Mau tidak mau, cerita tutur tidak semata-mata menjadi cerita fiktif tanpa data.
Cerita tutur bisa saja merupakan fakta sejarah, namun minim literatur. Literatur data berupa teks maupun segala yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi, cerita tutur kerap memiliki bukti nyata dengan wujud petilasan, entah berupa benda. Penulis hendak mengatakan demikian, walau agak riskan, bahwa “sebuah sejarah yang diciptakan ataupun yang dituliskan pada dasarnya mengandung unsur subjektifitas.” Artinya, sebuah sejarah tidak lepas dari kepentingan sesuai zamannya atau setidaknya akan menemukan kabegjan seiring waktu berjalan.
Sebagai sample sederhana, peringatan Hari Santri menjadi gambaran nyata akan sejarah yang terpendam, alih-alih ingin dilupakan. Penetapan hari santri, tidak lepas dari peran pemangku kekuasaan yang menerima sejarah perjuangan para santri dan ulama atas jasanya kepada Republik ini.
Resolusi Jihad yang dimotori Kyai – Santri menjadi embrio peringatan Hari Santri di Republik ini. Resolusi Jihad menjadi sajian nyata dari sejarah yang nyaris dilupakan, anak muda jaman now, mungkin akan mengatakan, “sejarahnya ada tapi tidak dianggap.” Tentunya, menjadi persoalan yang berkepanjangan apabila kenyataan sejarah selalu demikian: dilupakan, disimpan dan tidak dituliskan.
Sejarah yang Berubah
Hari ulang tahun Kabupaten Banyumas mengalami perubahan. Bermula diperingati pada bulan April setiap tahunnya. Mulai tahun 2016 diperingati pada bulan Februari setiap tahunnya. Sebelum tahun 2016, Kabupaten Banyumas berdiri mulai tahun 1582 M. Namun, sejak tahun 2016, berdirinya Kabupaten Banyumas semenjak tahun 1571 M.
Setelah rentang waktu yang panjang, sejauh masa 445 tahun, sejarah Banyumas ditata ulang. Perubahan tahun kelahiran tersebut menjadi penanda, bahwa sejarah bisa diatur kembali. Perubahan hari lahir Banyumas berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 10/2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, menggantikan Perda Nomor 2/1990.
Selanjutnya, pada tahun 2015, DPRD Kabupaten Banyumas membentuk Panitia Khusus mengkaji hari jadi Banyumas. Sejak Pansus dibentuk, penelusuran dan pengkajian kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Perubahan hari kelahiran tersebut berdasar awal masa kuasa Raden Kanjeng Jaka Kaiman, yaitu tahun 1571 M. Sementara tahun 1582 M, merupakan tahun selesainya Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadi Bupati Banyumas yang pertama. Ini menandakan, bahwa perubahan sejarah bisa diwujudkan, apabila disokong oleh pemangku kekuasaan dengan segenap perangkat pendukungnya.
Dua kisah sejarah di atas, Hari Santri dan Hari Jadi Banyumas menjadi kenyataan, bahwa penulisan sejarah dapat diulang sebagai kenyataan yang diakui dan disahkan.
Peran Ulama yang Terpendam
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Raden Kanjeng Jaka Kaiman adalah Bupati Banyumas pertama yang berkuasa tahun 1571-1582 M. Kisah yang tertulis dan lazim menjadi bahan cerita, Raden Kanjeng Jaka Kaiman disebut juga dengan Adipati Mrapat, karena membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian.
Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II atau dikenal juga dengan Raden Kanjeng Banyak Galeh. Putra perempuan dari Pangeran Senopati Mangkubumi II menikahi Raden Kanjeng Banyak Sosro. Raden Kanjeng Banyak Sosro adalah putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Namun, Raden Kanjeng Banyak Sosro wafat saat Raden Kanjeng Jaka Kaiman masih kecil. Kemudian, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Nyai Roro Ngaisah. Adapun Nyai Roro Ngaisah merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Sosro. Maka, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Bibinya sendiri, yang tidak lain merupakan putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Sementara itu, eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa di Kadipaten Pasirbatang kisaran tahun 1525-1549 M.
Sisik melik Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak terpisah dari kisah sejarah Babad Pasirluhur. Pangeran Senopati Mangkubumi II atau Raden Kanjeng Banyak Galeh merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Blanak atau Pangeran Senopati Mangkubumi I. Keduanya merupakan putra dari Raden Kanjeng Banyak Kesumba, di mana Raden Kanjeng Banyak Kesumba adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Wiratha. Sedangkan Raden Kanjeng Banyak Wiratha adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Roma dan Raden Kanjeng Banyak Roma dalah putra dari Raden Kanjeng Kamandaka. Dalam silsilah ini, Pangeran Senopati Mangkubumi II merupakan keturunan kelima Raden Kanjeng Kamandaka. Raden Kanjeng Banyak Blanak kemudian bersyahadat, setelah Syekh Makhdum Wali menghadap.
Begitupun, keberadaan Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak bisa lepas dari sosok penting proses penyebaran Islam di Banyumas, yaitu Syekh Makhdum Wali. Syekh Makhdum Wali merupakan utusan dari Kesultanan Demak yang masuk wilayah Pasirluhur sekitar abad 14 M. Masuknya Syekh Makhdum Wali pada kisaran abad 14 M dapat ditilik dari tahun kuasa Raden Kanjeng Banyak Blanak yaitu antara 1469-1522 M. Sementara itu, dalam kisah tutur yang masyhur, Syekh Makhdum Wali dikubur satu liang dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II. Dari sini dapat dilihat, bahwa Syiar Islam di Banyumas dilakukan oleh Raden Kanjeng Banyak Blanak/ Pangeran Senopati Mangkubumi I dan Raden Kanjeng Banyak Galeh/ Pangeran Senopati Mangkubumi II beserta Syekh Makhdum Wali.
Selain Syekh Makhdum Wali, Pangeran Senopati Mangkubumi I, Pangeran Senopati Mangkubumi II, sosok lain sebagai penyebar agama adalah Syekh Abdush Shomad dan Syekh Hasanudin. Syekh Abdush Shomad masyhur sebagai keturunan dari Kanjeng Sunan Gunungjati, Cirebon. Adapun Syekh Hasanudin merupakan putra dari Syekh Abdush Shomad. Syekh Hasanudin inilah yang kemudian erat bersinggungan dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Ulama penyebar Islam di Banyumas tersebut dapat dikatakan sezaman dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Melihat rentang waktu saat berkuasa, antara Pangeran Senopati Mangkubumi I pada tahun I469-1522 M, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa antara 1525-1549 M dan Raden Kanjeng Jaka Kaiman berkuasa antara 1571-1582 M. Artinya, kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ulama-ulama tersebut. Jika memang Raden Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II, maka bisa dimungkinkan, Raden Kanjeng Jaka Kaiman bersinggungan juga dengan Syekh Makhdum Wali. Melihat kedekatan antara Syekh Makhdum Wali dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II.
Kisah Pangeran Senopati Mangkubumi II sebagai eyang dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman berhenti dititik silsilah. Hanya “pelengkap” dari silsilah kelahiran Raden Kanjeng Jaka Kaiman dalam membentuk berdirinya Banyumas saat itu. Sejauh ini, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak tertulis banyak dalam literatur berdirinya Banyumas.
Menyibak Mbah Lambak
Syekh Abdush Shomad menjadi penyebar Islam yang datang dari Kilen (Barat/ Cirebon). Sementara itu, Syekh Makhdum Wali merupakan ulama yang datang dari Wetan (Timur/ Demak). Banyak dituturkan bahwa Syekh Abdush Shomad memasuki Jombor (Cilongok, Banyumas) pada abad ke-16 M, namun penulis memiliki pandangan jika Syekh Abdush Shomad masuk ke Banyumas abad ke-15 M.
Mungkin ini tidak lazim, namun pandangan ini merujuk salah satu putra dari Syekh Abdush Shomad, yaitu Syekh Hasanudin yang menjadi menantu bupati sekaligus menjadi penasihat spiritual keraton. Menurut cerita tutur yang masyhur, Syekh Hasanudin menikah dengan putri Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Pernikahan tersebut melahirkan putra, yaitu Raden Kanjeng Ragan Tali. Raden Kanjeng Raga Tali yang kemudian melakukan syiar agama di wilayah Gerduren, Purwojati hingga akhir hayat.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Dikisahkan pada saat itu, bahwa Raden Jaka Kaiman setelah membagi wilayah kekuasannya menjadi empat, kemudian mengadakan sayembara membangun keraton. Kabar sayembara tersebut didengar oleh Syekh Hasanudin. Setelah meminta restu dari Syekh Abdush Shomad juga meminta restu dari kakenya, yaitu Syekh Abdus Salam, Gunung Lurah, Cilongok, Syekh Hasanudin dengan yakin mengikuti sayembara mbangun kraton. Sayembara membangun keraton ini dilakukan karena pemerintahan Banyumas yang baru hasil mrapat harus segera terbentuk.
Setelah sayembara dilakukan dan terbentuk keraton, kemudian Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadikan Syekh Hasanudin sebagai penasihat spiritual keraton. Tentunya merujuk kisah tersebut, pembacaan penulis, sayembara membangun keraton dilakukan Raden Kanjeng Jaka Kaiman saat awal menjabat sebagai Bupati Banyumas, tahun 1571. Bila demikian, ketika Syekh Hasanudin mengikuti sayembara, tentu saja Syekh Abdush Shomad yang menjadi orangtua Syekh Hasanudin juga ada di abad dan tahun tersebut. Syekh Hasanudin dan Syekh Abduh Shomad tentunya berpengaruh dalam kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Terlebih makam Syekh Hasanudin yang dikenal juga dengan Mbah Lambak berada di komplek Makam Kalibening. Bahkan, menurut cerita tutur versi Jombor (Syekh Abdush Shomad) Makam Syekh Hasanudin berada di barat Makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman namun bukan yang dicungkub, melainkan yang berada di sebelahnya lagi, makam yang tidak dicungkub. Walaupun umum dikisahkan, bahwa makam Syekh Hasanudin yang berada di barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan petilasan.
Penulis memaknai, keberadaan makam Syekh Hasanudin sebuah kenyataan sejarah, baik makam yang berada di dekat Raden Kanjeng Jaka Kaiman, maupun yang berada di komplek makam Kalibening. Sebab sama-sama berada di sisi barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Makam yang berada di sisi barat lazim diartikan sebagai makam yamg dituakan sosoknya.
Selain itu, masih dari cerita tutur, Raden Kanjeng Jaka Kaiman sering juga mengunjungi Syekh Abdush Shomad di Jombor. Selain berkunjung ke Syekh Abdush Shomad, putra dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman yang disebut sebagai Raden Bagus Santri juga nyantri di Pesantren Jombor (Syekh Abdush Shomad), hingga dimakamkan di makam Jombor.
Dalam hal ini, peran ulama telah ada sejak awal berdirinya Banyumas. Ada kebersamaan antara ulama dan umara dalam menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, tapak jejak ulama saat itu, masih belum terekspos, luput dari penyertaan dalam penulisan sejarah berdirinya Banyumas. Umumnya dalam kisah Babad Banyumas, lebih kepada kisah pantangan Sabtu Pahing, dengan tokoh-tokoh yang masyhur dalam cerita tersebut. Sekaligus kisah keris yang melekat kuat dalam sejarah tersebut.
Sementara itu, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II, yang menjadi Eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Syekh Hasanudin yang menjadi penasihat keraton, Syekh Abdush Shomad yang sering dikunjungi Raden Jaka Kaiman sekaligus Syekh Makhdum Wali yang sezaman juga luput dalam catatan latar belakang sejarah berdirinya Banyumas.
Objektifitas sejarah memang sebuah keniscayaan. Terlebih bila mengacu pada kelas sosial, yaitu kelas ningrat dengan kelas rakyat. Peran ulama di Banyumas, pada waktu itu, sekedar pelengkap. Latar belakang berdirinya Banyumas yang bersumber dari Babad Pasirluhur dan Babad Banyumas, pun dengan sumber dari cerita tutur yang kuat, rasanya perlu menjadi teks lengkap sebagai literasi sejarah. Linnabi walahumul Fatihah buat pendiri-pendiri Banyumas.
Wallahu’alam.
Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.
Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.
Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.
Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:
“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.
“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’
“Nuli cahya aran Nur Mukammad”
“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.
Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.
Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).
Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).
Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.
Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).
Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).
Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.
Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.
Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).
Laiknya matahari, Jawa sedang mendekati ujung hari. Sebagai entitas budaya, agaknya Jawa berupa cahaya bagi manusia. Cahaya yang memberi arah bagi gerak, memberi terang untuk hidup. Namun kita tahu, tak selamanya matahari menyinari hari. Ada kalanya ia tenggelam untuk menutup petang. Barangkali karena itu budaya Jawa, kata Heru Wahyu Kismoyo (2018), sedang dalam pertarungan ruang dan waktu—dan mengalami perubahan.[1] Perubahan yang membuat Jawa sedang tenggelam, membuat hari hampir sepenuhnya gelap.
Jawa dalam senja kala, cahayanya temaram. Kendati begitu, tidak berarti ia telah usai. Agaknya pandangan Suyanto & Gunawan (2005, hal. 207) benar. Bahwa, sejak kerajaan Mataram I, nilai hasil sinkretisme dalam Jawa masih dipertahankan hingga sekarang. Hadirnya ide ‘Barat’, bagi mereka, tidak menghilangkan nilai tersebut. Pada titik ini perlu saya tegaskan: tidak hilang, tetapi tergerogoti oleh gelap. Kegelapan dalam wujudnya sebagai pendidikan formal dan politik modern beserta ideologinya yang menggeliat di atas tanah Jawa.
Koentjaraningrat dalam Kebudayaaan Jawa (1994) telah menyadari kegelapan tersebut sebagai perubahan dalam diri orang Jawa. Saya rangkum, setidaknya terdapat empat geliat perubahan. Pertama, globalisasi yang kian lantang. Globalisasi, kata Kismoyo (2018), ialah suatu usaha untuk menyatukan peradaban manusia dalam satu genggaman. Dalam usaha tersebut, hadir resistensi dialektis, yang memungkinkan naiknya Kebudayaan lokal (glokalisasi). Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan. Misalnya, orientasi nilai hormat cenderung berkurang, khususnya di luar lingkungan keluarga.[2] Menurut Koentjaraningrat, sejak tahun 1950-an, generasi muda bersikap lebih kritis terhadap orang penting baik di desa maupun di kota. Orang Jawa pada masa itu bermigrasi secara musiman demi pekerjaan, tidak lagi menggantungkan diri pada atasan. Kendati demikian, masyarakat Jawa secara makro masih bersifat hierarkis. Artinya, pengelolaan dari atas ke bawah, pusat ke daerah, dan keputusan dari atas masih signifikan.
Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan.
Kedua, penjajahan kolonial. Sebagaimana Hildred Geertz (1983, hal. 3) yang melihat bahwa hadirnya pemerintah kolonial memberi bekas terhadap masyarakat Jawa. Melalui penjajahan, orang Belanda membawa nilai budaya “Eropa Barat”. Dari segi ekonomi, mengakibatkan bergesernya peradaban agraris ke peradaban industri. Sistem ekonomi yang tidak lagi bersifat tradisional terbagi menjadi dua: sebagian yang sangat terkapitalisasi, berkiblat pada ekspor dan dikuasai kapital dan ‘manajemen Barat’, sebagian sisanya ialah lapisan petani kecil penghasil tanaman perdagangan yang dirundung kemiskinan. Selain itu, mulai digunakan pembayaran upah secara tunai kepada sesama warga desa, disertai dengan sistem kredit yang ruwet.
Dari segi sosial, melalui kebijakan ekonomis dan administratif, mengikuti Suseno (1984, hal. 19), perkembangan desa Jawa menjadi kacau. Banyak penduduk dipaksa berpindah tempat dari tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadi pergeseran pada sikap hidup penduduk mengikuti perpindahan tersebut: menjadi lebih aktif dan tidak hanya bergantung pada nasib. Dengan kata lain,keberhasilan atas karya mereka dianggap sebagai yang utama. Dari segi politik, sistem politik menjadi lebih modern. Ditandai dengan hadirnya birokrasi, pemilu, partai politik, dan kesadaran politik yang menguat bahkan sejak pemberontakan politik terhadap penjajah.
Ketiga, hadirnya negara mengkampanyekan keluarga berencana dengan sangat intensif. Akibatnya, orang Jawa lebih mengutamakan kesejahteraan keluarga mereka masing-masing. Hidup dimaknai dengan lebih rasional dan terperinci. Artinya, orientasi hidup tidak lagi ke masa lalu, tetapi ke masa depan, atau bahkan masa sekarang. Selain itu, terjadi pergeseran dalam proses sosialisasi dan enkulturasi keluarga Jawa. Anak dituntut menjadi lebih individual: berdiri sendiri dan bertanggung jawab atasi dirinya.[3] Sifat individual tersebut menjadi tanda dari menipisnya nilai gotong royong, meski di lain sisi terdapat Pancasila yang mengedepankan kegotong-royongan.
Keempat, pendidikan formal. Sebagaimana Suseno (1984, hal. 1-2) melihat pendidikan formal sebagai bahaya keterasingan orang Jawa terhadap nilai budayanya. Hal tersebut sejalan dengan Kismoyo (2018) yang menganggap pendidikan formal mendekonstruksi kejawaan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Irfan Afifi (2019), pendidikan formal sebagai produk sains (ilmu pengetahuan) menjadi pranata sosial yang mencerabuti diri orang Jawa.[4] Pendidikan yang hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia[5] dengan struktur formal yang berkiblat pada pemikiran ‘Barat’. Dominannya bahasa Indonesia yang menggunakan huruf Latin tersebut, membuat kemahiran membaca dan menulis huruf Jawa berkurang (Koentjaraningrat, 1994, hal. 20).[6] Agaknya dominasi dari bahasa Indonesia disebabkan oleh keeratannya dengan rasa nasionalistis sebagai orang Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut merebak dalam produk media massa, seperti koran, majalah, radio, bioskop, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia juga digunakan oleh mereka dengan kepentingan dalam pemerintahan atau bisnis. Sedemikian dominannya, bahkan melek huruf erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia.[7] Kendati bahasa Indonesia semakin hidup dalam masyarakat Jawa, ia tidak menggantikan sepenuhnya bahasa Jawa (Geertz C. , 2013, hal. 368-372). Selain bahasa, rahasia alam dibongkar dengan pendekatan saintifik. Akibatnya, orientasi tradisional terhadap alam berubah. Dasar budaya Jawa berubah. Sikap dan pandangan hidup bergeser dari aspek batiniah ke aspek rasional. Hadirnya ilmu pengetahuan yang fungsional menggeser pandangan simbol yang mistis-magis. Artinya, rasionalitas menjadi tolak ukur dalam hubungan manusia. Ungkapan metafisis dari leluhur diabaikan oleh ilmu pengetahuan yang mengedepankan segala sesuatu yang konkret (Herusatoto, 1991, hal. 125-126). Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam.
Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam
Keempat faktor yang telah dijelaskan merupakan kesadaran atas perubahan yang sedang berlangsung sebelum tahun 2000, atau setidaknya bagi Koentjaraningrat—barangkali pula masih berlangsung hingga kini. Hingga esai ini ditulis, Jawa telah berada pada tahun 2020. Kurun waktu yang cukup lama tersebut, menurut saya membawa perubahan lebih, jika bukan berbeda, dibandingkan faktor-faktor sebelumnya. Maka, mari kita lanjutkan pembahasan terhadap geliat perubahan dalam kebudayaan Jawa.
Kelima, menguatnya Islam. Maksudnya, dalam hal kepercayaan, semakin banyak penganut agama Islam. Heddy Shri Ahimsa Putra (2019) memberi penggambaran di kampus Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan pengamatannya, islamisasi kampus kian masif. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya Masjid Kampus UGM dan tiap fakultas memiliki masjidnya masing-masing. Baginya, kegiatan beribadah seperti salat, dulu dilakukan hanya oleh segelintir orang di kampus tersebut.[8] Sekarang sebaliknya, kegiatan beribadah makin banyak diikuti dan mudah untuk diamati.
Keenam, perkembangan teknologi. Ini juga akibat lebih lanjut dari globalisasi manakala terdapat semacam standar dalam penggunaan teknologi. Sebagai contoh dalam hal komunikasi dengan menggunakan telepon. Standar tersebut juga membawa suatu tuntutan terhadap masyarakat Jawa: keberaksaraan. Dengan demikian berakibat pada semakin banyaknya orang Jawa yang dapat membaca dan menulis. Akibat lain ialah mulainya bergeser sikap orang Jawa menjadi lebih terbuka. Terbuka dalam arti blak-blakan. Komunikasi melalui telepon meniadakan prasyarat untuk bertatap muka sehingga kepekaan sosial menjadi berkurang. Pada titik ini, hierarki atau strata sosial agaknya menjadi kabur (Putra, 2019).
Ketujuh, subkultur Jawa dan variannya. Subkultur Jawa mengalami perubahan masing-masing (Putra, 2019).[9] Dalam subkultur Yogyakarta, setidaknya terdapat tiga varian: Jawa Priyayi, Jawa Wong Cilik, dan Wong Jawa Kotagede. Varian tersebut bertambah menjadi lebih banyak seiring waktu berjalan. Menurut Putra (2019), varian yang paling dominan secara kuantitas ialah varian Jawa Islam Modern. Varian yang memiliki gaya berpikir modern, dan oleh karenanya, mengikuti gaya hidup modern.
Faktor-faktor yang telah saya jelaskan di atas dapat diletakan di bawah satu payung besar bernama modernitas. Payung yang membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa, yang tradisional itu, sedang diperkosa oleh modernitas. Keluarga Jawa sebagai cerminan masyarakat Jawa niscaya mendapat hal serupa. Kismoyo (2018) melihat ada satu hal yang hilang dari keluarga Jawa, yaitu budaya Jawa itu sendiri. Artinya, fungsi utama keluarga sebagai pewaris nilai budaya Jawa cenderung berkurang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebudayaan Jawa telah tercerabut dari akarnya. Apa yang membuatnya demikian? Tidak lain disebabkan oleh modernitas itu sendiri. Sebagaimana kehadiran pendidikan formal berpengaruh pada keluarga yang juga sebagai cerminan masyarakat (Afifi, 2019). Jika kita sempitkan, orang Jawa sedang mengalami pertentangan antara modernisme dan tradisionalisme dalam dirinya. Ini juga membuktikan bahwa dalam keluarga Jawa bukan hanya tradisi yang menuntun seseorang untuk hidup, bahwa orang Jawa sudah menjadi warga dunia. Artinya, pengaruh yang berasal dari luar tradisi Jawa ikut berkontribusi pada kehidupan orang Jawa tersebut. Dengan demikian, orang Jawa juga cenderung memiliki orientasi hidup yang serba duniawi, bahkan hedonistik (Kismoyo, 2018). Hadirnya orientasi tersebut ditopang sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dan dominan. Meminjam alur dari Afifi (2019), modernitas membawa rasionalitas yang kemudian berwujud sains dan ilmu ekonomi menjadi bagian dari dalamnya, yang kemudian ‘membenarkan’ kapitalisme.[10] Suatu sistem ekonomi yang berkelindan dalam modernitas, yang dilahirkan bersama penaklukan atas realitas sehingga menampikkan pandangan dunia Jawa sebelumnya—dan berusaha menenggelamkannya dalam gelap.
Jawa Dalam Bayangan Kedepan
Setelah membahas kegelapan, mari kita beralih ke cahaya temaram Jawa yang masih tampak. Cahaya dimaksud ialah apa yang tetap dari masyarakat Jawa. Setidaknya, saya melihat tersisa empat sumber cahaya. Pertama, masyarakat Jawa masih bersifat hierarkis. Mengikuti Joko Suryo (2018), terdapat distingsi antara rakyat biasa dan elit.[11] Hubungan yang dilandaskan status sosial dan umur masih terasa. Dengan demikian, etiket Jawa yang mengatur hubungan orang Jawa dengan sesamanya masih dapat dengan mudah diamati.
Kedua, sistem pertalian atau kekerabatan keluarga Jawa. Morgan melihat bahwa keluarga mewakili suatu prinsip yang aktif (Engels, 2004, hal. 32). Artinya, selalu berubah. Dari bentuk yang rendah ke bentuk yang lebih tinggi, sebagaimana masyarakat. Kendati begitu, bagi saya, ia tidak begitu menjelaskan bagaimana indikator tinggi-rendah tersebut. Saya memaknai ‘tinggi’ sebagai tanda kesekarangan, dan ‘rendah’ merupakan tanda awal mula. Sebatas itu. Berbanding terbalik dengan keluarga, sistem pertalian darah secara pasif merekam kemajuan yang dibuat oleh keluarga dalam waktu yang panjang dan hanya berubah secara radikal ketika keluarga tersebut berubah secara radikal. Hal ini sejalan dengan Putra (2019), yang melihat bahwa sistem pertalian keluarga Jawa yang bilateral sulit sekali berubah. Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Ketiga, bahasa Jawa. Kendati semakin berkurang penuturnya sejak masa pemerintahan kolonial, dalam hal grammar (tata bahasa) bahasa Jawa tidak berubah (Putra, 2019). Keempat, pandangan dunia orang Jawa tidak berubah (Afifi, 2019). Perlu ditekankan, secara konseptual pandangan dunia tersebut tidak mengalami perkembangan dalam hal esensi. Ia konstan, jika bukan final, kendati pendidikan formal—beserta perangkat modernitas lain seperti negara—menggeser cara pandang dunia orang Jawa. Dari penjelasan tersebut, tidak berlebihan jika kita melihat manusia seolah-olah menjadi wadah untuk suatu pandangan tertentu.
Pada akhirnya, kita perlu menjawab satu tanya: apa yang bisa dilakukan manusia di hadapan senja kala budaya Jawa? Barangkali meng-harap. Bahwa senja akan berakhir dan gelap segera pergi. Seperti Kismoyo (2018) yang melihat bahwa kebudayaan Jawa laiknya gelombang. Satu waktu berada di atas dan terang benderang, satu waktu lain meredup sebagaimana sekarang. Ia masih percaya bahwa hari tidak akan pernah selamanya gelap. Sebagai contoh dalam teknologi digital, Jawa menghadirkan dirinya dalam bentuk seperti Primbon daring atau kursus bahasa Jawa daring. Contoh lain dalam upacara seperti pernikahan atau perayaan tertentu. Kita masih dapat merasakan kehadiran Jawa melaluinya. Kedua contoh tersebut menjadi penggambaran resistensi dari budaya Jawa—bahwa Jawa belum sepenuhnya usai. Bahwa Jawa kini menjadi suatu kerinduan. Orang Jawa yang jemu dengan modernitas beserta tetek bengeknya barangkali akan kembali kepada budaya Jawa, dalam upayanya mencari ketenangan. Dari sini, agaknya kita dibolehkan berharap. Barangkali esok pagi akan datang lagi. Membawa kembali cahaya yang telah pergi.
[1] Pandangan Heru Wahyu Kismoyo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 7 Februari 2018.
[2] Contoh lain ialah dalam ritual pernikahan. Pernikahan yang terjadi belakangan ini, kata Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), lebih tampak sebagai perpaduan gaya Jawa-Eropa.
[3] Kendati demikian, Koentjaraningrat menekankan bahwa sifat tersebut agaknya diabaikan pada keluarga yang mampu—yang dapat menikmati hidup dengan mudah.
[4] Pandangan Irfan Afifi tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ifada Initiatives pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 20.00-22.00. Kata Irfan Afifi, alih-alih sains, masyarakat Jawa memiliki unit pendidikannya sendiri berupa pesantren yang berbasis tradisional.
[5] Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu orang Jawa. Menurut Suseno (1984, hal. 9-10), bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional merupakan perkembangan dari bahasa Melayu.
[6] Sebenarnya, menurut Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), terdapat upaya pelestarian melalu media seperti televisi, koran, dan radio. Namun, sepertinya tidak terlalu signifikan.
[7] Bagi saya, ini bermasalah. Penghakiman atas suatu masyarakat adalah belum melek atau buta huruf agaknya terlalu sembrono. Penghakiman tersebut biasanya berasal dari bahasa yang dominan. Misal, orang Jawa dianggap buta huruf oleh pemerintah Indonesia, karena tidak dapat membaca dan menulis. Padahal, orang Jawa mempunyai bahasa dan tulisannya sendiri. Bahasa dan aksara Jawa. Dengan kata lain, orang tersebut punya kemampuan lisan dan tulisannya sendiri. Hal ini yang bagi saya jarang mendapat perhatian. Hanya karena rasa nasionalis, lokalitas disingkirkan.
[8] Pandangan Heddy Shri Ahimsa Putra tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ruang Sekre Gedung Senat FIB UGM pada tanggal 30 Januari 2019 pukul 14.00-15.30.
[9] Perlu saya pertegas, agaknya perubahan yang berbeda-beda tersebut merupakan ekspresi resistensi terhadap gelombang perubahan.
[10] Ifan Afifi menekankan bahwa sains membawa perubahan secara signifkan.
[11] Pandangan Joko Suryo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Sekip C9 Perumahan Dosen UGM pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 09.00-12.00.
Refrences
Afifi, I. (2019, Februari 24). Jawa dan Modernitas. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Engels, F. (2004). Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.
Geertz, C. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. (A. Mahasin, & B. Rasuanto, Penerj.) Jakarta: Komunitas Bambu.
Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta Pusat: Grafiti Pers.
Herusatoto, B. (1991). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Kismoyo, H. W. (2018, September 7). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, H. S. (2019, Januari 30). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suryo, J. (2018, Agustus 17). Keluarga Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Suyanto, I., & Gunawan. (2005). Paham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elite Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Antropologi Indonesia, 29, 207-218.