Kebudayaan
Sesajen; Kudapan Mistis
Di setiap pagelaran wayang, tidak mungkin diselenggarakan tanpa sesajen. Keberadaan sesajen ini penting sebagai bagian ritual yang bertujuan memohon keselamatan kepada penguasa semesta, agar pertunjukan yang akan berlangsung nantinya tidak mendapat celaka apapun. Maka, di sebelas malam pagelaran wayang Sunan Kalijaga pun diletakkan enam tampah (wadah) sesajen di atas panggung. Satu di antaranya diletakkan di dekat gong, lima lainnya di depan dekat layar, sebelah kanan tempat duduk dalang. Kendi air diletakkan pula di sisi lima tampah sesajen itu.
Dua tampah sesajen berisikan buah-buahan (dua sisir pisang, jambu, kedondong, dua butir kelapa), menyan, gula jawa, wadah kecil berisikan telur di atas beras, jajanan warung, kembang tujuh rupa, dan uang lima ribu yang diselipkan di dalam daun pisangnya, dll. Tampah besar lainnya mewadahi nasi tumpeng yang berjumlah tujuh: tumpeng di tengah, polos tidak berisikan apa-apa. Tumpeng tersebut dikelilingi oleh enam tumpeng lainnya: tumpeng yang di atasnya ditancapkan telur rebus; tumpeng yang ditancapkan cabe; tumpeng yang dililitkan kol; tumpeng yang dilingkari sumbu di ujungnya; tumpeng yang berisikan jeroan atau daging ayam; dan tumpeng yang berisikan sayuran.
Selain tujuh tumpeng besar, ada pula tumpeng-tumpeng kecil di tampah lain yang berukuran lebih kecil. Berbeda dengan tumpeng besar yang sebelumnya, tumpeng kecil ini hanya berjumlah lima. Namun peletakannya hampir serupa, yakni satu tumpeng dikelilingi oleh empat tumpeng lainnya. Tumpeng yang di tengah berwarna putih, sama, dengan tumpeng yang berada di sebelah kanan (timur)-nya; tumpeng di sebelah kiri (barat) diwarnai kuning; tumpeng di utara berwarna hitam; dan tumpeng di selatan berwarna merah. Kemudian selain tampah tumpeng, ada pula tampah yang berisikan satu ayam kampung utuh yang sudah direbus. Ayam ini dinamakan ingkung. Lalu ada pula wadah lainnya yang berisikan empat mangkok bubur. Bubur pertama disajikan polos berwarna putih. Bubur kedua disajikan berwarna merah, karena dicampur dengan gula merah. Bubur ketiga berwarna putih, namun di atasnya ditaburi irisan-irisan gula merah. Dan bubur keempat berwarna setengah putih, dan setengah merah.
Makna Simbolik Sesajen
Sesajen untuk wayang yang aku pikir sudah begitu banyak ragamnya, ternyata menurut Ibu Jumiati, istri dari dalang senior Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo yang bertugas membuat semua sesajen untuk keperluan pertunjukan wayang sebelas malam, ini belum seberapa. Untuk ruwatan perkawinan atau kelahiran malah lebih banyak lagi jenisnya. Isi dari beraneka macam sesajen itu memiliki maknanya masing-masing.
Ayam ingkung itu disimbolkan seperti manusia yang telanjang. Manusia yang pada waktu lahir dari rahim ibunya berwujud ketelanjangan dan ketika meninggal pun dikuburkan dalam keadaan telanjang. Ketelanjangan ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki apapun di dalam kehidupan ini. Maka sudah sepantasnya kalau manusia harus selalu mengingat bahwa ia bukanlah siapa-siapa, dan apapun yang ia miliki hanyalah milik Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Manusia harus terus eling (ingat), ia hanyalah bagian kecil dari ciptaan Tuhan, sehingga perlu bersikap rendah hati dan bersyukur atas apa yang dinikmatinya di dunia. Selain itu, ketelanjangan juga bermakna kemurnian. Manusia perlu memiliki niat yang murni dan tulus atas segala tindak-tanduk dan perilakunya di dalam hidupnya, karena kemurnian dan ketulusan mengantarkan diri kita lebih dekat pada Tuhan.
Manusia harus terus eling (ingat), ia hanya bagian kecil dari ciptaan Tuhan, sehingga perlu bersikap rendah hati dan bersyukur atas apa yang dinikmatinya di dunia. Selain itu, ketelanjangan juga bermakna kemurnian. Manusia perlu memiliki niat yang murni dan tulus atas segala tindak-tanduk dan perilakunya di dalam hidupnya, karena kemurnian dan ketulusan mengantarkan diri kita lebih dekat pada Tuhan.
Tumpeng besar yang berjumlah tujuh, memiliki makna tertentu pula. Tujuh di sini menyimbolkan jumlah hari yang berjumlah tujuh. Tumpeng sendiri, yang berbentuk gunungan itu merupakan simbol dari gunung. Di bumi ini, tiada kehidupan yang akan tercipta bila tidak ada gunung. Kemunculannya yang megah di atas tanah, menandakan asal mula kehidupan. Bagaimana kemudian siklus kehidupan terbentuk dan makhluk hidup lahir sebagai pengisi ruang di semesta kecil ini. Maka tumpeng menggambarkan dirinya sebagai semesta kehidupan dalam wujud gunung.
Tumpeng yang berada di tengah, yang putih polos tidak diisi atau ditancapkan apapun di atasnya, memiliki makna kemurnian. Sama halnya dengan kemurnian pada ketelanjangan ayam ingkung, kemurnian di tumpeng ini pun mengajarkan pada manusia bahwa di dalam hati dan jiwa kita harus senantiasa murni dan tulus ketika melakukan suatu hal. Tidak bersikap buruk dan tercela, karena sikap yang buruk menandakan bahwa hati kita tidak bersih, tidak murni dalam beritikad. Hidup yang bijak yang disenangi Sang Pencipta adalah hidup yang selalu menjunjung tinggi kemurnian dan ketulusan di dalam niat. Dengan sendirinya aktualisasi perilaku pun tidak melenceng pada kekhilafan.
Tumpeng lain yang mencuat tegak di bagian tepi tumpeng polos, salah satunya adalah tumpeng yang di puncaknya ditancapkan sebutir telur rebus. Telur rebus itu masih dengan cangkangnya. Tumpeng jenis ini bermakna bahwa, niat atau tekad baik yang dimiliki manusia haruslah bulat. Niat dan tekad yang bulat menandakan kemantapan yang utuh. Manusia tidak akan sedikitpun berpaling dari niat yang bulat tersebut, karena begitu kuat, tak goyah diguncang pengaruh dari luar. Telur diibaratkan niat manusia. Putih menggambarkan kebersihan dari niat tersebut. Cangkangnya menyimbolkan kuatnya niat yang membungkus kemurnian itu. Bulat, merupakan wujud dari kebulatan dan keutuhan niat manusia. Jika itu semua dimiliki oleh manusia, tidak perlu ada keraguan dalam keluhuran pikiran dan perilakunya.
Telur diibaratkan niat manusia. Putih menggambarkan kebersihan dari niat tersebut. Cangkangnya menyimbolkan kuatnya niat yang membungkus kemurnian itu. Bulat, merupakan wujud dari kebulatan dan keutuhan niat manusia. Jika itu semua dimiliki oleh manusia, tidak perlu ada keraguan dalam keluhuran pikiran dan perilakunya.
Puncak tumpeng lain, yang ditancapkan cabe dan bawang, menggambarkan gunung berapi. Cabe-cabe itu diibaratkan lahar yang dimuntahkan dari dalam perut gunung berapi. Semua ini menyimbolkan bahwa gunung berapi, meskipun ia mengakibatkan banyak kerugian lewat muntahan api dan lahar yang meluluh-lantakan apapun yang diterjangnya, namun kesudahannya membawa banyak manfaat berupa tanah yang subur, juga pasir dan bebatuan yang melimpah bagi keperluan pembangunan infrastruktur (gedung, rumah, jalanan, dsb). Makna yang dapat kita tarik dari gunung berapi tersebut ialah bahwa setiap bencana dan kesusahan yang menimpa diri manusia, cepat atau lambat, sedikit atau banyak, tentulah membawa berkah tersendiri. Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik agar manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan, baik atas nikmat yang dilimpahkan, maupun bencana yang diujikan padanya. Karena keduanya semata-mata sebagai cobaan yang diberikan Tuhan, cobaan yang mampu menempa kebijaksanaan dalam diri manusia. Dan hanya bagi orang-orang yang bertawakal lah, semua peristiwa yang dialami oleh setiap manusia ini dapat dipahami.
Di sisi lain, ada tumpeng yang di sekeliling puncaknya dilapisi dengan kol rebus. Ini menyimbolkan sesuatu yang harus saling melingkupi. Proses saling melingkupi atau memayungi (encompassment) akan semakin menguatkan satu dengan yang lainnya. Seperti misalkan manusia yang berniat untuk selalu berbuat baik atau mengamalkan kebajikan, niat akan kuat, tekadnya akan semakin bulat bila ia juga didukung oleh teman-teman atau orang-orang di sekelilingnya yang juga memiliki tujuan luhur yang sama. Mereka saling menopang, melindungi, dan merangkul satu sama lain, sehingga niat dan tujuan luhurnya tersebut dapat tercapai.
Tumpeng yang lainnya, dihiasi oleh sumbu. Sumbu itu terikat di kedua ujungnya, sehingga membentuk lingkaran. Karena berbentuk lingkaran itulah, ia dapat disematkan di bagian puncak tumpeng. Maknanya, sumbu itu sebagai ikatan yang kuat. Jika dikaitkan dalam pola hidup manusia, sumbu yang bermakna ikatan itu, harus dimiliki oleh manusia di dalam niatnya. Ikatan yang memperkuat niat, tentu berasal dari faktor-faktor tertentu yang dimiliki oleh si manusia sendiri. Mungkin di sini dapat diibaratkan sebagai tujuan dari niat itu sendiri. Misalkan, ketika seorang anak memiliki niat untuk menjadi pintar, maka hal yang menjadi pengikat agar niat itu tetap bulat dan kuat adalah berasal dari tujuannya. Tujuan dari anak itu untuk menjadi pintar, karena ingin membahagiakan orang tuanya. Maka tujuan untuk membahagiakan orang tuanya itulah yang berfungsi sebagai sumbu (ikatan) di dalam niatnya, sehingga jika ia terus-menerus mengingat tujuannya itu, niscaya apa yang dicita-citakannya akan

Doc Pesantren Kaliopak, foto bersama 11 dalang sebelum acara 500 tahun Sunan Kalijga dimulai
Selain tumpeng polos, tumpeng cabe, tumpeng telur rebus, tumpeng kol, tumpeng sumbu, ada pula tumpeng yang berisikan daging dan sayuran. Tumpeng yang berisikan daging (biasanya hanya berupa jeroan ayam atau sapi), bermakna hewan. Sebagai makhluk hidup, hewan menjadi bagian ciptaan Tuhan. Ia masuk ke dalam siklus kehidupan di bumi. Begitu pula dengan tumpeng yang berisikan sayuran. Sayuran ini menyimbolkan tumbuhan, yang juga merupakan ciptaan Tuhan dan turut menempati ruang-ruang bumi. Secara langsung maupun tidak, keberadaan keduanya menghadirkan manfaat yang begitu besar bagi manusia. Atas dasar itu, manusia selalu diingatkan, jika ia taat kepada Tuhan, maka sudah sepantasnya pula ia mempergunakan dan memperlakukan keduanya dengan bijak.
Mengenai tumpeng yang kecil-kecil, pun itu memiliki maknanya masing-masing. Tumpeng yang berada di tengah dan bagian timur, berwarna putih, maknanya kesucian. Tumpeng yang berada di barat berwarna kuning, bermakna kesetiaan. Tumpeng di bagian utara diwarnai hitam, menggambarkan keteguhan. Sedangkan tumpeng di bagian selatan diwarnai merah, menyimbolkan keberanian. Keempat warna ini dalam filosofi orang Jawa dimaknai sebagai darah manusia. Darah yang berasal dari cahaya. Cahaya di sekeliling kita, yang memancar dari raksasa matahari, secara kasat mata memang tak berwarna, namun pada dasarnya empat warna inilah yang menjadi bagian dirinya. Jika seorang ibu akan mengandung, cahaya yang menyentuh perutnya akan menembus ke dalam kulit, hingga kemudian berubah menjadi darah dan membentuk janin yang kemudian tumbuh membesar mewujud bayi. Bayi tersebut pada akhirnya akan lahir sebagai manusia baru. Mengapa darah disimbolkan oleh empat warna ini? Bagi orang Jawa, darah tidak semata-mata merah, seperti yang pada umumnya kita kenal. Ada pula darah berwarna kuning, yakni nanah; darah berwarna hitam, yakni luka (koreng); dan darah yang berwarna putih, yakni air mani. Darah putih yang bermakna kemurnian, darah hitam yang melambangkan keteguhan, darah merah yang melambangkan keberanian dan semangat, serta darah kuning yang menyimbolkan kesetiaan, itu semua menjadi bagian dari diri manusia. Mewujud dalam bentuk karakter manusia yang akan membimbingnya menjadi khalifah yang bijak di muka bumi ini. Tergantung bagaimana manusia itu sendiri membentuknya, dalam proses panjang kehidupan yang ia jalani selama masa hidupnya.
Mengenai tumpeng yang kecil-kecil, pun itu memiliki maknanya masing-masing. Tumpeng yang berada di tengah dan bagian timur, berwarna putih, maknanya kesucian. Tumpeng yang berada di barat berwarna kuning, bermakna kesetiaan. Tumpeng di bagian utara diwarnai hitam, menggambarkan keteguhan. Sedangkan tumpeng di bagian selatan diwarnai merah, menyimbolkan keberanian.
Makna-makna yang aku jelaskan di atas, tentunya terbatas pada ketidaklengkapan data dan interpretasi yang aku buat. Terlepas daripada itu, kita perlu menyepakati bahwa begitu lengkap dan rumitnya makna-makna yang tersembunyi dari beragam jenis sesajen untuk pertunjukan wayang tersebut. Namun demikian, itulah kekayaan filosofi yang dimiliki oleh orang Jawa. Mereka memiliki cara pandang yang unik dalam melihat dunia. Cara pandang yang membentuk pola budaya untuk memaknai kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa orang-orang Jawa ini sungguh menciptakan semesta kehidupannya sendiri lewat pikiran dan tafsir mereka atas dunia.
Dari Asal, Kembali ke Asal
Kendi air yang diinapkan di atas panggung wayangan selama sebelas malam, telah mengukuhkan dirinya lebih sakral karena telah mengenyam berbagai ajaran dari lakon carangan Sunan Kalijaga. Di keesokan malamnya, panitia dari Pesantren Kaliopak, teman-teman mahasiswa Antropologi, dan para partisipan lainnya berkumpul di limasan Pesantren Kaliopak. Kami membaca tiga puluh juz Al-Quran yang dibagi-bagi per orang membaca satu-dua juz. Pembacaan Al-Quran ini kira-kira berlangsung selama hampir dua jam. Setelah itu, ketika waktu menunjukkan pukul dua belas tengah malam, kami bersiap-siap menuju lereng merapi untuk mengembalikan air yang telah kami pinjam empat belas malam sebelumnya dari Sendang Banyu Urip. Kami mengendarai beberapa mobil dan motor untuk menuju ke sana.
Sebelum menuju lereng Merapi, terlebih dahulu kami mengunjungi Pondok Pesantren Al-Qadir di daerah Cangkringan yang terletak di kaki gunung Merapi. Kami bertemu dengan Kiai Masrur[2], yang akan menjadi pemimpin doa di ritual terakhir dari peringatan 500th Sunan Kalijaga. Setelah mengobrol beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan ke lereng Merapi. Sesampainya kami di dataran lereng Merapi, kami menyiapkan kendi air dan alat pengusungnya untuk dipikul ke hulu sungai Kali Opak yang berada di lereng gunung tersebut. Suasananya begitu gulita. Angin gunung menggerogoti pori-pori kulit. Meskipun demikian, kami tetap berjalan dengan kelelahan yang hampir memuncak karena sudah menyelenggarakan ritual akbar dari peringatan 500th Sunan Kalijaga selama empat belas malam sebelumnya. Kaki kami terseok-seok menyandung batu-batu gunung sisa lahar Merapi yang membeku. Selain bintang-bintang yang kelipnya tidak terlalu terang malam itu, cahaya lampu dari senter dan ponsel membantu penerangan perjalanan kami. Kami menuruni bukit-bukit, hingga tiba di suatu tempat yang sekiranya adalah hulu sungai Kali Opak. Agak menyangsikan memang, karena di dalam cerukan itu tidak terdapat air sama sekali yang menandakan tempat itu adalah hulu sungai. Namun, Kiai Masrur mengatakan bahwa pada musim hujan, tempat tersebut menampung dan mengalirkan air, sehingga benar-benar membentuk hulu. Memang terjadi banyak perubahan geografis di tempat itu disebabkan letusan gunung Merapi yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Tempat kami berdiri saat itu adalah tempat yang mengalami kerusakan terparah diterjang oleh lahar Merapi.
Kaki kami terseok-seok menyandung batu-batu gunung sisa lahar Merapi yang membeku. Selain bintang-bintang yang kelipnya tidak terlalu terang malam itu, cahaya lampu dari senter dan ponsel membantu penerangan perjalanan kami. Kami menuruni bukit-bukit, hingga tiba di suatu tempat yang sekiranya adalah hulu sungai Kali Opak. Agak menyangsikan memang, karena di dalam cerukan itu tidak terdapat air sama sekali yang menandakan tempat itu adalah hulu sungai.
Upacara penutupan kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga dimulai dengan ceramah singkat oleh Kiai Masrur, ia sekaligus memimpin doa untuk memulai ritual terakhir ini. Kami berterima kasih karena acara peringatan yang pada awalnya mengalami banyak kendala operasional, pada akhirnya dapat terselenggara dengan sukses. Ini semua berkat keluhuran niat, serta kemauan dan kerja yang keras dari semua pihak, tim pelaksana maupun tim pendukung, yang ingin mengembalikan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Sunan Kalijaga. Pak Kadi – seniman yang memiliki pengetahuan suluk-suluk warisan Sunan Kalijaga – menyanyikan suluk linglung untuk mengiringi pelepasan air dari dalam kendi ke atas cerukan hulu sungai Kali Opak yang dilakukan oleh Kiai Jadul Maula dibantu Kiai Masrur. Aliran air yang tumpah perlahan dari mulut kendi itu mengalirkan berbagai kebajikan dari ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga yang kami sematkan ke dalamnya melalui serangkaian acara peringatan 500th Sunan Kalijaga selama lima belas hari ini. Semoga air tersebut dapat terus memberikan manfaatnya bagi manusia, alam, dan makhluk Tuhan lainnya, sebagaimana pengetahuan dan ilmu yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga senantiasa bermanfaat bagi kehidupan manusia selama generasi demi generasi.
Air, dalam mata rantai alirannya di bumi, tidak pernah habis dan putus, meski berubah zat, bentuk, maupun tempatnya. Ketika menguap dari lautan dan menjadi mendung, ia terbawa ke pegunungan untuk turun kembali ke bumi dalam bentuk air hujan. Air hujan itu pun mengalir membentuk sungai, melewati berbagai dimensi tanah dan bebatuan, dimanfaatkan sebagian untuk keperluan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan. Hingga pada akhirnya ia akan tetap mengalir ke samudera, tempatnya berasal. Sirkulasinya tidak akan pernah berhenti, meski banyak melewati tahapan-tahapan, dari mengalir di sepanjang sungai; mengendap di tanah, pasir, lumpur; menggantung di awan, membeku di es; masuk ke dalam tubuh manusia, hewan, tumbuhan; dll, ia akan tetap berpulang ke samudera dan menjadi air kembali. Begitu pula pengetahuan dalam diri manusia, ia perlu melewati berbagai tingkat dan proses sebelum dapat terbentuk dengan mantap di dalam diri manusia. Sepanjang itu pula ia harus dialirkan (disebarkan) ke manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan tidak akan ada artinya jika ia tidak membawa manfaat bagi kehidupan dan manusia lainnya. Pengetahuan yang melimpah, yang telah dicari dan dipupuk sepanjang hidup manusia, pada akhirnya akan membawa manusia kembali kepada kesadaran akan asal-muasalnya, yakni penguasa semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Seperti air yang pada akhirnya kembali ke samudera tempatnya bermula. Dalam hal ini, proses pencarian pengetahuan dan pendalaman spiritual, menjadi satu hal yang tidak dapat terpisahkan. Pengetahuan diperoleh dari pemahaman berbagai peristiwa hidup, dipertahankan lewat aktualisasi perilaku dan penyebaran cara pandang kepada manusia lainnya. Maka pengetahuan sebenarnya suatu proses tiada henti dari aktivitas kerja dan refleksi kesadaran manusia mengenai hal-hal lain di luar dirinya. Pengetahuan yang utuh adalah pengetahuan yang menyatu dalam perilaku manusianya, dan manusia yang utuh adalah manusia yang menyatu dengan sifat-sifat Tuhannya, yang dalam istilah Sunan Kalijaga: Manunggaling kawula gusti.
Karena pengetahuan tidak akan ada artinya jika ia tidak membawa manfaat bagi kehidupan dan manusia lainnya. Namun pengetahuan yang melimpah, yang telah dicari dan dipupuk sepanjang hidup manusia, pada akhirnya akan membawa manusia kembali kepada kesadaran akan asal-muasalnya, yakni penguasa semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Seperti air yang pada akhirnya kembali ke samudera tempatnya bermula.
Diselimuti kegelapan, dibuai oleh angin malam, betapa khidmatnya malam itu. Kami mengharu-biru oleh suasana sakral yang tercipta karena nyanyian suluk Pak Kadi yang mengalun syahdu. Kami merefleksikan kembali apa yang telah kami lakukan selama 15 hari ini melalui kegiatan 500th Sunan Kalijaga. Semoga para partisipan, penonton, dan penikmat berbagai ritual dan kesenian yang kami hadirkan sebelumnya dapat memetik makna berkaitan dengan ingatan dan pemahaman mereka akan sosok Sunan Kalijaga dan air di dalam kendi yang hanya simbol dari kemegahan cita-cita luhur dari keseluruhan acara ini.
Pluralisme, Kebangsaan, dan Rekonstruksi Sejarah
Kali Opak dipilih menjadi bagian dari ritual 500th Sunan Kalijaga ini sebab ia merupakan satu-satunya sungai yang membelah satu wilayah Yogyakarta dari Gunung Merapi sampai berakhir ke laut pantai selatan. Sebagaimana saya ceritakan di bagian atas, hulu sungai ini berada lereng Merapi. Bagian sungai ini juga melewati Pesantren, yang santri-santrinya berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan budaya ini, yakni Pesantren Budaya Kaliopak. Kali Opak mengalir di bagian kiri bangunan Pesantren. Jika tidak ada pabrik penambangan pasir di tepi sungai tersebut, kita masih dapat mendengar gemericik airnya di seluruh sudut pesantren itu.
Keberadaan kali yang alirannya benar-benar memotong wilayah Jogja dari bagian utara, Gunung Merapi sampai ke bagian selatan, yakni laut pantai selatan, dianggap dapat mewakili simbolisasi ajaran Sunan Kalijaga yang dapat mencakup ke semua lapisan masyarakat Jogja (bahkan Jawa) masa itu. Usaha penyebaran agama Islam yang ia lakukan dapat menembus ke pelosok wilayah. dari sudut terpencil desa, sampai Keraton Mataram. Selain itu juga konon sejarahnya pada waktu Sunan Kalijaga bertapa menunggu kedatangan gurunya – Sunan Bonang – sampai sulur-sulur tanaman melilit tubuhnya, ia melakukannya di tepi sungai Kali Opak[3].
Jadi apa yang menjadi bagian dari serangkaian ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan historis dengan ajaran dan laku-laku Sunan Kalijaga. Dari sumber air yang berada di Sendang Banyu Urip, keterlibatannya di dalam Kupatan Jolosutro, jalur-jalur Lampah Ratri, kegiatan wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta, hingga kemudian menutup ritualnya dengan mengembalikan air ke hulu sungai Kali Opak. Itu semua berhubungan satu sama lain di dalam kesejarahan masyarakat Jawa mengenai Sunan Kalijaga. Kemudian sejarah yang dikumpulkan, dan disusun ulang tersebut, dikaitkan dengan makna kebangsaan dalam simbol burung garuda (Pancasila) dan bendera merah-putih yang turut dibawa pada lampah ratri. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya visi yang dibangun tidak sekedar merekam ulang jejak sejarah Sunan Kalijaga, melainkan berusaha menempatkan nilai-nilai sejarah lokal tersebut pada permasalahan nasional masa kini, yakni kebangsaan yang tengah mengalami kegamangan.
Jadi apa yang menjadi bagian dari serangkaian ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan historis dengan ajaran dan laku-laku Sunan Kalijaga. Dari sumber air yang berada di Sendang Banyu Urip, keterlibatannya di dalam Kupatan Jolosutro, jalur-jalur Lampah Ratri, kegiatan wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta, hingga kemudian menutup ritualnya dengan mengembalikan air ke hulu sungai Kali Opak.
Kiai Jadul Maula, sebagai inisiator Kebudayaan yang dibantu oleh santri-santrinya di Pesantren Budaya Kaliopak memang berusaha menggali, menyadarkan, dan merekonstruksi kembali ingatan akan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jogja saat ini. Oleh sebab, ajarannya sangat menekankan rasa toleransi dan kemanusiaan, ia mampu menanamkan nilai-nilai Islam pada setiap aspek kesenian dan kebudayaan orang Jawa, tanpa berusaha mengubah atau menghilangkan sedikit pun kebudayaan asli mereka – seperti halnya wayang carangan, hasil kreasinya. Sehingga, Islam yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pun menjadi Islam yang lentur; menghargai perbedaan dan keberagaman, serta dapat menyesuaikan dengan budaya masyarakat lokal. Maka penting gunanya, apabila ingatan akan nilai-nilai luhur tersebut dijaga keutuhannya secara konsisten, karena merupakan akar budaya yang bersumber dari kearifan lokal penduduk setempat. Kearifan lokal dapat berfungsi menjadi kekuatan pamungkas untuk melawan berbagai ancaman buruk globalisasi, yang prosesnya tidak dapat dihindari, namun bisa diakali melalui strategi budaya. Dan terutama pula untuk meredam kekuatan radikalisme agama yang sedang marak beberapa tahun terakhir ini di Indonesia.
Di tengah kekacauan sosial-budaya, politik, dan ekonomi republik ini, mungkin masyarakat Indonesia saat ini memang telah kehilangan jati diri bangsanya. Dihempas oleh serangan teori, ideologi, dan budaya asing yang tidak tersaring dengan baik. Kita terguncang-guncang, gamang, karena tidak lagi memiliki pegangan akan nilai-nilai luhur yang menjadi akar budaya kita. Kita menjadi bangsa pengekor yang hanya ikut mencicipi berbagai pola dan sistem dunia yang ditawarkan bangsa asing. Hingga kemudian kita berkaca, dan menyadari bahwa ini bukan wajah dari bangsa kita, bangsa Indonesia. Kita hidup dalam ilusi yang diciptakan oleh negara-negara lain, sehingga seringkali tersandung dan terjatuh karena tidak menyadari di mana kita berjalan. Terlalu mengagumi hal-hal yang di luar diri kita, ingin menjadi seperti mereka, hingga akhirnya tercerabut dari fondasi budaya kita sendiri.
Kiai Jadul Maula, berupaya untuk menarik permasalahan kebangsaan ini sampai ke dasarnya, yakni masalah akar budaya. Maka ia pun merekonstruksi budaya, dengan mengambil tokoh simboliknya Sunan Kalijaga, dan tema pengikatnya adalah air. Dengan itu, ia menggali kembali akar budaya dari masyarakat Jawa. Berusaha mengaitkan lokalitas itu hingga tingkat global. Angka 500th dari perayaan peringatan 500th Sunan Kalijaga bukanlah perayaan tahun lahir maupun tahun meninggalnya Sunan Kalijaga. Melainkan tahun, yang apabila tahun sekarang – 2011 – dikurangi angka 500, maka tahun yang muncul adalah 1511. Di tahun 1511 ini, pertama kalinya bangsa Portugis menjejakkan kakinya di tanah Jawa. Yang berarti ialah ini tahun dimana kolonialisme untuk kali pertama mulai menjangkiti nusantara. Keraton Mataram turun berperang melawan penjajah untuk melindungi segenap rakyat dari serangan kolonialisme dan imperialisme bangsa asing. Masyarakat Jawa yang pada waktu itu sebagian besar telah mengenyam agama Islam berkat perjuangan yang dilakukan Sunan Kalijaga dan para Wali lainnya dalam menyebarkan Islam, dihantam oleh kekuatan asing baru yang membawa pengaruh lain berupa agama baru, budaya baru, kehidupan sosial yang baru, dan tentunya pola ekonomi dan politik baru yang sangat merugikan kehidupan masyarakat Jawa. Di sinilah lokalitas budaya menghadapi tantangannya dari dunia luar. Bagaimana filosofi orang Jawa yang dibentuk oleh ajaran-ajaran Sunan Kalijaga ditantang oleh pengaruh budaya bangsa lain. Awalnya negara Portugis, kemudian muncul pula Spanyol, Inggris, Belanda, dan terakhir Jepang.
Dengan masuknya penjajah ke tanah Jawa, juga ke daerah-daerah lain di penjuru Nusantara, lalu bertempur dengan Kerajaan-kerajaan di Nusantara, ini menunjukkkan bahwa pergolakan dari ranah lokal, naik menjadi bergulat di ranah Nusantara. Kemudian ketika Nusantara telah terbebas dari penjajahan, dan munculnya sebuah negara baru – Indonesia, pergolakan naik kembali satu tingkat ke ranah kebangsaan atau keIndonesiaan. Waktu berjalan sekian tahun, Indonesia mengalami beberapa pergantian Pemerintahan, dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Negara kita berjalan dari bentuk pemerintahan yang anti Barat, pro Barat, sampai tidak sadar meniru Barat. Pergolakan pun melesat ke tingkat yang lebih atas, yaitu ranah global. Pergolakan di sini, bukan hanya masalah identitas, melainkan keseluruhan cara pandang, sistem politik-ekonomi, etos dan pola budaya sebagai bangsa yang berkepribadian. Oleh sebab itu, mencakup multidimensi dari bidang sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, sampai geopolitik.
Apakah mungkin saat ini di tengah serbuan budaya asing, masyarakat Jawa masih melakonkan beragam petuah dan nilai-nilai luhur dari ajaran Sunan Kalijaga? Ingatan akan akar budaya tersebut begitu penting karena mengembalikan diri kita ke kesadaran lokalitas yang melahirkan kearifan-kearifan hidup. Kita dapat mengingat, menyadari asal-muasal diri kita, makna hidup kita, dan tujuannya yang semuanya terangkum dalam filosofi kehidupan moyang kita secara turun-temurun. Tentunya dengan mencari kaitan relevansi dengan situasi zaman saat ini. Seperti air yang akan selalu kembali ke samudera, dan seperti pengetahuan yang akan selalu mengembalikan kita pada Tuhan. Begitu pula dengan jati diri manusia, ia harus selalu kembali ke akar budaya darimana ia lahir dan tumbuh. Ada sebuah kisah saat Sunan Kalijaga bermaksud pergi ke Mekah, oleh Nabi Khidir – Kanjeng Syekh Mahyuningrat – diminta pulang lagi ke tanah Jawa karena tanpanya, orang-orang Jawa itu akan kembali kafir. Contoh kisah tersebut berupaya menyampaikan maksud yang sama dalam hal proses pencarian pengetahuan. Dalam proses ini, manusia dapat mencari ke sudut semesta manapun. Namun, memang pada akhirnya harus kembali ke tempat dirinya berasal karena di situlah ia menemukan dirinya sendiri dan makna pengetahuannya, lewat amalan-amalan yang dilakukan untuk orang-orang yang pernah hidup paling dekat dengan dirinya. Itu menjadi suatu hutang budi pada kemanusiaan.
Apakah mungkin saat ini di tengah serbuan budaya asing, masyarakat Jawa masih melakonkan beragam petuah dan nilai-nilai luhur dari ajaran Sunan Kalijaga? Ingatan akan akar budaya tersebut begitu penting karena mengembalikan diri kita ke pangakuan lokalitas yang melahirkan kearifan-kearifan hidup.
Ajaran ketuhanan, toleransi, dan kemanusiaan yang ada di dalam butir-butir Pancasila mengandung makna serupa ajaran-ajaran luhur Sunan Kalijaga. Sehingga, perjuangan sikap untuk tetap menjaga dan melakoni nilai-nilai luhur tersebut sesungguhnya membentuk kekuatan jati diri kita sebagai pribadi bangsa yang berkarakter. Bangsa yang tidak mudah dibayang-bayangi oleh pengaruh ideologi dan budaya asing yang pastinya tidak sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia sendiri. Jika bangsa kita benar-benar mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang keluhuran isinya kurang-lebih sama dengan ajaran-ajaran universal Sunan Kalijaga, barangkali kegamangan kita sebagai sebuah bangsa tidak akan terjadi. Sebab individu-individu yang mengamalkan butir-butir kebajikan dari Sunan Kalijaga dan Pancasila, sudah tentu individu-invidu yang terus eling terhadap siapa dirinya, semesta, dan Pencipta-Nya. Maka penyelewengan perilaku semacam korupsi dapat terhindarkan. Melalui karakter kuat yang membentuk bangsa kita dari nilai-nilai luhur itu, kita dapat bersikap tegas dan cerdas dalam menyiasati raksasa kapitalisme. Sayangnya, kita belum kuat di wilayah karakter bangsa tersebut. Di sinilah upaya menerjemahkan sejarah ke dalam rekonstruksi budaya oleh Kiai Jadul Maula melalui ide ritual budaya 500th Sunan Kalijaga yang dibentuknya, memiliki relevansi menjawab tantangan kebangsaan saat ini. Baik dalam menghadapi pengaruh buruk globalisasi, seperti kapitalisme dan radikalisme yang semakin menjamur di negara ini. Penting bagi kita untuk mengingat kembali dan mengamalkan nilai-nilai Islam yang disebarkan Sunan Kalijaga. Agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus menjadi bangsa yang linglung karena kehilangan jati dirinya sebagai negara besar yang plural.
Bogor, Agustus 2011
[2] Kyai Masrur merupakan guru spiritual Ahmad Dhani.
[3] Hasil wawancara dengan kyai Jadul Maula.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di kebunmakna.blogspot.com, sebagai hasil dari catatan etnografis Sarah Monica, dalam acara 500 tahun Sunan Kalijaga pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Pesantren Kaliopak, Lesbumi Yogya, dibantu Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Tulisan ini dipublikasikan ulang oleh redaksi Langgar.co untuk mengingat peristiwa kebudayaan yang penting dan pernah terjadi di Yogyakarta, sebagai upaya memperteguh kembali khasanah pengetahuan Nusantara.
Selain itu tulisan ini dipublikasikan dalam dua seri. baca artikel sebelumnya
Penderitaan Bangsa Linglung
Seberapa sering Anda menonton atau membaca berita dalam sehari? Seberapa sering pula Anda memaki dan mencaci drama politik yang dimainkan para pejabat akrobatik di dalam berita tersebut? Mereka berjungkir-balik saling menudingkan kesalahan terhadap lawan politik dan menepis diri dari tuduhan kejahatan pada diri mereka sendiri. Ibarat permainan sirkus yang terus disajikan secara berulang, kebosanan pun menghinggap rongga dada dan cangkang pikiran kita. Kebosanan akan perilaku korup para elit pemerintahan dan lemahnya sistem hukum negara ini. Rakyat terus-menerus diajak bergoyang di atas perahu ketidakpastian negara kita sampai mual!
Mungkinkah ini sebuah kebuntuan reformasi? Yang dahulu begitu kita sembah ketika rezim Soeharto berhasil ditundukkan di bawah telapak kaki reformis yang mengaku gundah dengan segala kebrengsekan rezim tersebut. Toh pada akhirnya, rezim-rezim pemerintahan yang berganti kemudian, tidak atau belum dapat mendudukan rakyat dan negara Indonesia ini di dalam suatu wadah pemerintahan yang stabil dan bebas dari jaring-jaring korupsi. Rakyat hanya dihadiahi permen lollipop di awal kemenangan partai politik yang didukungnya, setelah itu hanya menghisap jempol belaka. Artinya, rakyat hanya diberi kesenangan sesaat sebagai hadiah dari partai politik karena mereka telah berhasil membawakan partai tersebut mahkota kekuasaan. Selebihnya, yang menganggur tetap menganggur; yang mengais sampah, tetap mengais sampah.
Pada akhirnya, sedikit demi sedikit kepercayaan rakyat pun meluntur seiring dengan janji-janji pemerintah yang berhembus kian-kemari tidak berbekas. Rakyat menjadi apatis dengan segala perkembangan politik dan pemerintahan, sedangkan di sisi lain para elit di atas sana semakin maruk berebut kue kekuasaan. Kemiskinan membuat rakyat menggeser norma hukum dan etika demi mempertahankan kelangsungan hidupnnya. Kehidupan sosial-budaya semakin semrawut tidak terarah. Semua bergerak demi kepentingan-kepentingan pragmatik, menuju Tuhan baru: yakni materi dan pencitraan.
Pada titik inilah kehidupan bangsa kita mengalami kegalauan. Gamang menghadapi berbagai kemandekan politik, dinamika sosial-budaya, perubahan lingkungan, yang datang baik dari dalam negeri sendiri, maupun yang berasal dari luar. Kita menjadi begitu asing menghadapi diri kita sendiri. Ketiadaan jati diri, hingga tidak mampu mengenali siapa sosok yang dihadirkan cermin kehidupan di muka kita.
Pada akhirnya, sedikit demi sedikit kepercayaan rakyat pun meluntur seiring dengan janji-janji pemerintah yang berhembus kian-kemari tidak berbekas. Rakyat menjadi apatis dengan segala perkembangan politik dan pemerintahan, sedangkan di sisi lain para elit di atas sana semakin maruk berebut kue kekuasaan.
Solusi Budaya
Dengan segala kecerdasan dan keluhuran niatnya, seorang Jadul Maula, inisiator Kebudayaan, yang dibantu santri-santrinya dari Pesantren Kaliopak – Piyungan Yogyakarta, membuat suatu rangkaian acara kebudayaan yang berlangsung dari tanggal 18 – 31 Juli 2011. Acara kebudayaan ini mengambil tema “Peringatan 500th Sunan Kalijaga”. Keseluruhan rangkaian acara yang berjalan hampir dua minggu itu berusaha untuk mengangkat dan mengingatkan kembali keluhuran nilai-nilai ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat luas – khususnya masyarakat Jawa – yang selama berabad-abad sebelumnya dipegang teguh demi keseimbangan kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Kegiatan Sunan Kalijaga ini terdiri dari beberapa rangkaian acara. Simbol yang digunakan untuk menyatukan keseluruhan rangkaian acara yang beragam itu ialah air. Dimana air tersebut diambil dari Sendang Banyu Urip, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kendi besar yang terbuat dari tanah liat yang diukir. Di setiap pementasan dan pagelaran budaya selanjutnya, keberadaan kendi tersebut mutlak untuk selalu berada di tengah kegiatan, agar peserta yang menikmati acara seni tersebut selalu melihatnya dan dapat mengaitkan keberadaan kendi itu dengan makna yang berusaha dipancarkannya.
Kegiatan yang mengusung kendi air itu dimulai dari Kupatan Jolosutro (Merti Desa di Jolosutro); kemudian Lampah Ratri (Jalan Bisu), dari (Piyungan – Pesantren Kaliopak –, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton Yogyakarta di alun-alun utara); pagelaran wayang selama 11 malam, dari tanggal 21-31 Juli 2011; hingga kemudian mengantarkan kendi tersebut ke lereng Merapi untuk mengalirkan air suci, yang telah bersemayam 15 hari di dalam kendi, ke perut bumi dimana ia dilahirkan sebelumnya.
Pertanyaan yang muncul di benak kita mungkin berkenaan dengan seluruh rangkaian acara budaya ini, antara lain: mengapa mengambil sosok seorang Sunan Kalijaga sebagai diskursus utama di dalam kegiatan budaya yang baru diadakan pertama kali ini? Mengapa pula air yang digunakan sebagai simbol yang mengikat keseluruhan kegiatan 500th Sunan Kalijaga? Mengapa kegiatan itu mengambil jalur-jalur dari Sendang Banyu Urip, desa Jolosutro, sampai kemudian berakhir ke lereng Merapi? Lalu apa kaitan kedua hal tersebut dengan persoalan kegamangan bangsa yang saya paparkan sedikit di bagian awal tulisan ini? Ini semua hanya beberapa pertanyaan-pertanyaan pemicu yang berusaha saya jawab satu per satu melalui penjelasan dari beragam kegiatan itu, tentunya dengan segenap keterbatasan saya.
Di Balik Layar
Seorang Sunan Kalijaga, yang bernama asli Raden Said (1450) merupakan tokoh sentral di dalam kehidupan orang Jawa yang pada masa lalu berhasil menanamkan agama Islam kepada orang Jawa. Kentalnya budaya Hindu-Buddha yang mewarnai kehidupan orang Jawa pada masa itu, memaksa Sunan Kalijaga mempergunakan kejeniusannya demi memasukkan nilai-nilai Islam yang lentur ke dalam beragam seni-budaya untuk diperkenalkan kepada orang Jawa. Di samping mereka merasa terhibur, mereka pun dapat memetik beragam ajaran luhur mengenai etika dan sikap hidup, pandangan tentang semesta, tata cara berperilaku dengan sesama manusia, dengan Sang Pencipta, dengan binatang, tumbuhan, dan lingkungannya.
Sunan Kalijaga sebagai orang pertama yang memperkenalkan kesenian gamelan dan Wayang Kulit kepada orang Jawa, yang melalui itu, ia berusaha mengajarkan filosofi kehidupan berasaskan Islam kepada mereka. Hal yang mendasari kesuksesan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajarannya hingga kemudian diterima dengan baik oleh orang-orang Jawa, ialah karena ia memasukkan nilai-nilai ajarannya tersebut ke dalam kesenian yang merupakan makanan sehari-hari mereka. Berupaya menyatukan nilai-nilai Islam yang universal ke ranah lokalitas budaya. Tidak semata-mata memaksakan agama Islam sebagaimana keutuhannya di negeri agama itu berbenih dan lahir, namun dengan mencangkokkan inti ajaran Islam tersebut ke pohon budaya masyarakat Jawa, hingga kemudian ia tumbuh mengikuti pola ranting dan dedaunan seni dan gaya hidup mereka.
Hal yang mendasari kesuksesan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajarannya hingga kemudian diterima dengan baik oleh orang-orang Jawa, ialah karena ia memasukkan nilai-nilai ajarannya tersebut ke dalam kesenian yang merupakan makanan sehari-hari mereka. Berupaya menyatukan nilai-nilai Islam yang universal ke ranah lokalitas budaya.
Di sinilah terjadi sinkretisme agama, dimana agama dan kebudayaan terpaut erat bagai tutup dengan wadahnya. Apa yang menjadi kepercayaan mereka tidak mungkin terlepas dari lakon budaya yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Maka, tidak heran bila kemudian Sunan Kalijaga dijadikan tokoh sentral, karena ia memiliki otoritas agama sebagai seorang Wali, otoritas budaya sebagai seniman, dan sebagai seorang priyayi, ia pun memiliki otoritas politik sebagai Raja di tanah Jawa.
Di Sendang Banyu Urip, sumber air yang kami gunakan di dalam rangkaian acara budaya Sunan Kalijaga, merupakan Sendang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga pada masa hidupnya. Konon cerita, di saat penduduk desa mengalami wabah kekeringan, Sunan Kalijaga dengan izin Allah menghentakkan tongkatnya ke atas tanah tandus tersebut, hingga kemudian air jernih memancar keluar dari lubang yang ditancapkan Sunan Kalijaga di atasnya.
Air tersebut tidak pernah berhenti memancar dari waktu ke waktu, menjadi sumber mata air abadi sampai saat ini. Semua penduduk desa sekitar Sendang Banyu Urip dapat memanfaatkan air tersebut untuk kehidupannya, dari hal-hal yang bertujuan baik, maupun buruk. Sesungguhnya dapat pula kita maknai bahwa keberadaan air dan manfaat yang selalu memancar darinya, diibaratkan sebagai segala macam pengetahuan yang diajarkan Sunan Kalijaga kepada orang-orang Jawa. Ilmu dan pengetahuan yang tidak pernah habis, tidak pernah mati, namun selalu menghadirkan relevansinya terhadap kehidupan manusia sampai detik ini.
Mendaki Kupatan Jolosutro
Air yang telah dikucurkan ke dalam kendi, didoakan sejenak untuk meminta restu dari Yang Maha Kuasa agar kegiatan budaya yang akan dilaksanakan nanti, dengan meminjam air dari Sendang Banyu Urip ini, dapat tercapai semua tujuan luhurnya.
Keesokan siang, kendi air di bawa ke desa Jolosutro yang sedang menyelenggarakan merti desa. Merti desa memang diadakan setiap tahunnya, namun baru tahun ini, perayaannya disisipkan ritual lain dari acara peringatan 500th Sunan Kalijaga. Kendi air yang menjadi bagian dari 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan dengan festival merti desa karena di serangkaian acaranya, semua bahan-bahan makanan hasil bumi dari beberapa desa di sekitar Jolosutro diusung di dalam wadah peti berwarna-warni ke atas bukit Jolosutro, kemudian dibawa ke makam Sunan Geseng sebagai akhir dari perayaan. Sunan Geseng merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga, maka ritual 500th Sunan Kalijaga pun perlu masuk untuk menjadikan Kupatan Jolosutro ini sebagai bagian dari ritual secara keseluruhan.
Rasa syukur atas segala berkah Tuhan berupa hasil panen yang melimpah, dituangkan melalui acara merti desa yang kegiatannya juga sekaligus merayakan kemenangan desa Jolosutro di dalam lomba karang taruna antar desa. Kegiatan yang dinamakan Kupatan Jolosutro ini dihadiri oleh petinggi-petinggi desa, pejabat DPRD, sampai Pembayun (anak sulung Sultan Yogyakarta). Upacara dan tari-tarian diadakan di tengah alun-alun Jolosutro, setelah itu semua arak-arakan berjalan menuju bukit Jolosutro, dimana makam keramat Sunan Geseng berada.
Dari atas dataran yang lebih tinggi, arak-arakan berbentuk seperti kelokan sungai yang panjang. Beraneka warna, karena terdiri dari kelompok-kelompok berbagai desa yang memakai baju adatnya masing-masing. Mereka mengusung semacam peti berbentuk limas, di dalamnya ada ragam jenis jajanan dan makanan hasil bumi yang dipersembahkan pula untuk bumi. Warna-warni arakan berjalan dengan cepat ke atas bukit terjal, melangkahi batu-batu gunung, hingga akhirnya sampai di puncak bukit yang agak lapang. Di atasnya, batu-batu nisan mencuat dari dalam tanah, dan di bukit yang tertinggi, makam Sunan Geseng menampakkan wujudnya sebagai pusat anutan. Peti-peti limasan dan kendi air diletakkan di tanah datar di dekat kumpulan makam-makam. Seorang abdi dalam Keraton membacakan petuahnya menggunakan bahasa Jawa alus atau krama Inggil (baca: kromo inggil).
Di atasnya, batu-batu nisan mencuat dari dalam tanah, dan di bukit yang tertinggi, makam Sunan Geseng menampakkan wujudnya sebagai pusat anutan.
Di sekeliling peti-peti, para penduduk desa menanti dengan sabar, hingga kemudian petuah itu berakhir, mereka menyerbu peti-peti, menguak tutupnya, mengeruk jajanan yang berada di dalamnya semampu cengkeraman mereka. Usaha merampas makanan itu seakan terlihat begitu garang dan buas, namun mereka sangat menikmati perebutan tersebut dengan tawa riang, tidak ada kekecewaan dan dendam yang muncul dari aksi mereka.
Setelah peti-peti kosong, sampah makanan tersebar di tanah sekitar makam-makam, barulah kendi air dibawa naik ke hadapan makan Sunan Geseng. Di atas kekokohan batu nisannya, perwakilan dari Pesantren Kaliopak – Faisal Kamandobat – dan dari abdi dalam Keraton, saling menjabatkan tangan sepanjang seorang tetua adat membacakan sekilas ajaran-ajaran Sunan Kalijaga dan menyanyikan suluknya. Permohonan doa ini sebagai titik awal dari rangkaian panjang ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga.
Lampah Ratri di Kesunyian Malam
Malamnya, sekitar pukul 9 malam, lampah ratri (tapak bisu/ jalan sunyi) dilakukan. Dimulai dari Piyungan, tempat dimana Pesantren Kaliopak bersemayam. Masing-masing orang memakai baju adat atau baju santri. Di urutan paling depan dari arak-arakan, para tetua adat yang memakai baju adat Jawa dengan memegang spanduk besar bertuliskan “Peringatan 500th Sunan Kalijaga”, didampingi oleh pembawa bendera merah-putih, dan garuda Pancasila. Di belakangnya, serombongan orang-orang yang memakai baju adat berwarna merah. Setelah itu para pembawa wayang yang terdiri dari santri-santri Kaliopak dan teman-teman dari Antropologi UI, saya sendiri membawa wayang Arjuna. Di belakang kami ialah penduduk desa berusia sekolah yang memakai baju santri, di belakang mereka barulah pengusung kendi yang berjalan tertatih-tatih memanggul berat di satu sisi bahu mereka, itu juga terdiri dari mahasiswa-mahasiswa Antropologi. Sedangkan rombongan yang terakhir adalah para partisipan acara 500th Sunan Kalijaga ini, yang didampingi oleh kendaraan medis dan keamanan. Kami berjalan kaki berkilo-kilo, dan di sepanjang perjalanan, orang-orang yang sedang melintas di jalan yang sama atau yang sedang menikmati kopi di angkringan-angkringan pinggir jalan, melongokan kepala dengan heran. Terbersit tatapan ingin tahu dari wajah mereka.

foto dokumentasi Pesantren Kaliopak saat lampah latri 2011
Pada masa lalu, ritual lampah ratri ini dilakukan tanpa memakai sandal. Para perempuan memakai baju adat kemben. Fisik benar-benar diuji berdasarkan kebulatan tekad masing-masing. Namun saat ini, kami dapat melakukannya dengan memakai sandal dan bagi perempuan, tidak perlu kemben, yang penting adalah batik sebagai instrumen penting pakaian adat Jawa. Di malam yang cerah kala itu, rombongan kami berjalan bisu, tidak boleh bicara, makan, minum, ataupun merokok sampai titik perhentian. Perjalanan sunyi itu dihibur oleh api obor yang menari-menari digelitik angin, nyalanya menemani kebisuan langkah kami. Keheningan semacam itu sengaja dibuat, agar pikiran dan hati kami dapat lapang, bukannya kosong, melainkan khusyuk memikirkan beragam laku kami di sepanjang kitab hidup yang telah kami jalani. Apakah segalanya telah sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Ini merupakan upaya refleksi sebagaimana kita melakukannya di dalam meditasi.
Di malam yang cerah kala itu, rombongan kami berjalan bisu, tidak boleh bicara, makan, minum, ataupun merokok sampai titik perhentian. Perjalanan sunyi itu dihibur oleh api obor yang menari-menari digelitik angin, nyalanya menemani kebisuan langkah kami. Keheningan semacam itu sengaja dibuat, agar pikiran dan hati kami dapat lapang, bukannya kosong, melainkan khusyuk memikirkan beragam laku kami di sepanjang kitab hidup yang telah kami jalani.
Aku merasakan sendiri, dihajar oleh angin malam, langkah tiada henti, kebosanan karena senyap, dan cahaya obor yang temaram, kehadiran kantuk memang sangat tidak terhindarkan. Sayup-sayup kelopak mataku tertutup, berjalan sekian langkah di dalam tidur, hingga kemudian kaki dan badanku terantuk sesuatu, mataku membuka kembali, terkejut karena tidurnya terganggu. Namun betapa herannya aku melihat sekelilingku yang begitu ramai, wajah-wajah tanpa ekspresi, tubuh-tubuh yang berjalan dalam keremangan obor, tangan-tangan yang menegakkan wayang. Barulah aku sadar, bahwa aku masih menjalani lampah ratri. Beberapa kali kejadian ini berulang. Bisa jadi ini disebabkan kurangnya fokusku untuk merefleksikan berbagai hal di dalam diri sendiri. Diperlukan niat hati yang begitu kuat, fokus pikiran yang begitu mantap untuk menjalani ritual lampah ratri tersebut, agar gangguan-gangguan semacam kantuk dan rasa lelah dapat terhindarkan.
Bayangkan, kami berjalan kaki sepanjang 15 km dari Piyungan sampai alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta. Sebagian ada yang membawa spanduk dua meter, bendera merah-putih, patung besar garuda Pancasila, sebagian lagi membawa wayang, dan yang paling mengesankan adalah mereka yang membopong kendi air di atas bahunya. Cobaan-cobaan itu harus mampu dilalui sampai titik perhentian berikutnya yang berjarak 5 km dari titik perhentian satu ke titik perhentian lain. Di titik perhentian ini, barulah kami dapat melepas lelah, makan-minum, merokok, dan terutama, bebas bersuara.
Di perhentian pertama setelah Piyungan adalah Wot Galeh. Wot Galeh merupakan tempat makam-makam leluhur Raja Mataram. Di sini terdapat makam Pangeran Purboyo dan Pangeran Wot Galeh yang masih keturunan dari Sunan Kalijaga.
Pada malam lampah ratri tersebut, kami menjumpai Sultan Palembang yang kebetulan hari itu sedang berziarah ke Wot Galeh. Di Wot galeh ini, para pemegang wayang dan kendi air berganti peranan. Teman-teman Kaliopak dan Antropologi UI digantikan oleh teman-teman dari kelompok lain untuk membawa wayang dan kendi air itu ke titik perhentian selanjutnya di Kota Gede. Namun demikian, kami masih tetap berlampah ratri sampai ke sana.
Di Kota Gede, kami disambut oleh nyanyian suluk yang digemakan oleh para abdi dalam Keraton yang duduk mengelilingi gamelan. Kota Gede merupakan Keraton Mataram awal. Baik di Wot Galeh, maupun Kota Gede, ritual yang berlangsung terjadi di dalam kedua masjid yang besar peninggalan Sunan Kalijaga yang berada di masing-masing wilayah tersebut.
Sekitar pukul setengah 3 dini hari, lampah ratri pun dilanjutkan ke alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta. Malam beranjak makin dingin, namun para rombongan pejuang budaya dan ajaran Sunan Kalijaga yang mengikuti tapak bisu ini tetap berjalan dengan langkah tegap dan kepala tegak, menyongsong Keraton Ngayogyakarta sebagai akhir dari perjalanan sunyi malam ini.
Sesampainya di alun-alun utara, jarum jam di tangan kiriku menunjukkan waktu menjelang subuh, angin berhembus begitu dingin, rombongan kami tiba dan berdiri di depan gerbang Keraton Ngayogyakarta. Gerbang itu masih tertutup dengan angkuhnya, menantang arak-arakan kami yang mengantarkan kendi air ke bawah hidungnya. Sekian waktu kami menunggu, gerbang masihlah tertutup. Maka kami menyelesaikan ritual terakhir dengan mendendangkan suluk Sunan Kalijaga di depan gerbang tersebut, berdoa, kemudian arak-arakan bubar, kembali ke kediamannya masing-masing.
Sesampainya di alun-alun utara, jarum jam di tangan kiriku menunjukkan waktu menjelang subuh, angin berhembus begitu dingin, rombongan kami tiba dan berdiri di depan gerbang Keraton Ngayogyakarta. Gerbang itu masih tertutup dengan angkuhnya, menantang arak-arakan kami yang mengantarkan kendi air ke bawah hidungnya. Sekian waktu kami menunggu, gerbang masihlah tertutup.
Jalur lampah ratri yang ditetapkan Jadul Maula, sebagai penggagas kegiatan budaya peringatan 500th Sunan Kalijaga, dari Piyungan, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton, tak mungkin tiada beralasan. Jalur ini merupakan jalur yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dan pasukan Demak ketika mencari keberadaan Keraton Mataram di masa lalu. Jalur dari Piyungan, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton adalah jalur dimana Sunan Kalijaga menempuh perjalanan sekaligus menyebarkan agama Islam kepada warga Yogyakarta yang ketika itu masih beragama Hindu-Buddha. Dengan demikian dari jalur inilah, yang kemudian dipilih sebagai alur perjalanan tapak bisu (lampah ratri) untuk mengenang kembali perjuangan Sunan Kalijaga ketika ia menyebarkan nilai-nilai luhur Islam. Merefleksikan apakah perilaku hidup kita telah sesuai dengan filosofi yang ia ajarkan.
Sebagai manusia kita selalu tergerus oleh perbuatan-perbuatan khilaf dan dosa, sehingga sudah sepantasnya jika kita harus terus-menerus memaksa diri untuk mempertanyakan kembali makna hidup kita di dunia dan agar kita kembali menghayati tiap butir-butir kebajikan yang dahulu diajarkan Sunan Kalijaga. Sesuai dengan tujuan dan itikad baik tersebut, maka ritual lampah ratri di malam selasa yang bersahaja ini diberi tema “Merti Luhuring Laku Sunan kalijaga”.
Sabetan-sabetan Wayang 11 Malam
Ritual tidak berhenti sampai di situ. Kendi air yang telah mengecap festival Kupatan Jolosutro, dan Lampah Ratri dari Piyungan sampai alun-alun utara Keraton Ngyogyakarta, kemudian ditempatkan di tengah panggung pagelaran wayang kulit selama 11 malam. Pagelaran wayang kulit ini memainkan lakon-lakon Sunan Kalijaga. Melalui wayang kulit inilah, Sunan Kalijaga dahulu berhasil memperkenalkan Islam kepada penduduk desa. Wayang Carangan istilahnya, yakni wayang pakem yang disisipkan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga. Wayang pakem sendiri merupakan jenis lakon wayangan yang ceritanya menyadur dari cerita klasik Ramayana dan Mahabrata, meski terdapat perubahan cerita yang disesuaikan dengan konteks Jawa, sehingga membuatnya berbeda dari versi aslinya yang berasal dari India, namun lakon wayang pakem tersebut selalu dipentaskan secara turun-temurun. Pada awalnya, pagelaran wayang pakem memang khusus dipertontonkan di acara-acara Keraton.
Menurut Herman Sinung Janutama, selaku pengamat wayang yang bertempat tinggal di Yogyakarta, wayang sebelumnya merupakan kesenian yang begitu sakral dan elitis karena hanya dapat dimainkan di depan kompleks candi. Seseorang yang ingin mempelajari wayang harus mendatangi candi tersebut dengan metode tirakat dan prihatin. Akan tetapi, setelah Sunan kalijaga dan Wali Allah lainnya muncul untuk mengajarkan Islam di tanah Jawa, wayang tersebut menjadi kesenian rakyat yang dapat dipertontonkan di berbagai pelosok tempat oleh golongan manapun. Dengan kata lain, tidak lagi semata-mata menjadi milik Raja-raja dan para elit Keraton[1].
Dalam lakon wayang pakem Jawa, seperti Ramayana dan Mahabrata, ada hal mendasar yang membedakannya dengan wayang carangan kreasi dari Sunan Kalijaga, yaitu sisipan lakonnya yang berupa goro-goro. Goro-goro terdapat di pertengahan cerita, jika wayang dimulai pukul 8 malam, maka goro-goro dipentaskan kira-kira sekitar tengah malam sampai jam 2 pagi. Tokoh-tokoh yang berlakon di goro-goro adalah Punakawan, yakni tokoh khas di dalam legenda masyarakat Jawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
Para penonton wayang pada umumnya, lebih menantikan pertunjukkan goro-goro dibandingkan bagian lakon lain dalam kesatuan cerita di pementasan wayang. Pertama, karena goro-goro menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang memang dipergunakan sebagian masyarakat Jawa sehari-hari. Sedangkan pada bagian lakon selain goro-goro, umumnya menggunakan bahasa Jawa tinggi/ alus (krama inggil) dan bahasa pendalangan atau Jawa Kawi (sanskerta) yang hanya dikenal dan dipergunakan di kalangan dalang dan elit Keraton. Kedua, di dalam goro-goro, Punakawan berlakon komedik, sehingga sukses mengundang segenap tawa dari para penontonnya. Ketiga, inti ajaran carangan (sisipan) dari Sunan Kalijaga dirangkum dengan pengemasan yang ringan dan jenaka di sini, sehingga penonton mudah memahami pokok-pokok ajaran yang menjadi acuan laku hidup masyarakat Jawa. Keunikan goro-goro karena petuah dan ajaran-ajaran Islam maupun filsafat hidup yang mungkin sulit dipahami dan asing, dapat disajikan dengan ringan dan riang oleh tokoh-tokoh Punakawan. Secara tidak langsung, mereka dapat mengerti dan menerima setiap ajaran itu dengan hati terbuka, seiring dengan gegap-gempita tawa mereka.
Panggung wayang berdiri dengan megah di depan Keraton Ngayogyakarta, alun-alun utara. Dua tenda panitia berjejer di bagian kiri panggung. Di depannya, bangku-bangku penonton disusun 10-15 deret. Di atasnya melengkung tenda untuk memayunginya dari hujan. Dari malam ke malam, pertunjukkan wayang semakin ramai. Orang berbondong-bondong mendatangi alun-alun utara, duduk memenuhi bangku penonton, menggelar Koran, duduk di atas motor atau becaknya, atau sekedar berdiri di sekitar panggung. Para pedagang angkringan yang sehari-hari bekerja di alun-alun utara mendapatkan rejeki nomplok karena kebanjiran pembeli sampai subuh, ketika acara wayangan selesai. Dalang, sinden, dan pemain gamelan duduk di panggung menghadap layar, memunggungi penonton. Banyak pula para penonton yang turut duduk di atas panggung – berdampingan dengan para pemain gamelan – agar dapat menyaksikan sabetan-sabetan wayang lebih dekat. Atau dari belakang layar, menyaksikan pergulatan bayangannya, sehingga esensi menonton wayangnya lebih nyata.
Suasana pagelaran begitu ramai, tetapi entah mengapa, aku merasa dingin yang berbeda dan asing di tengah keramaian tersebut. Mungkinkah ini efek mistis yang konon lekat dengan pertunjukkan wayang? Dari obrolan-obrolan bersama Pak Herman, beliau menyatakan bahwa di setiap pementasan wayang, para penonton yang berdatangan untuk menonton, tidaklah semuanya terdiri dari manusia, melainkan ada pula makhluk-makhluk gaib Allah lainnya. Mereka bisa berwujud apa saja, dari manusia normal, orang gila, ataupun mungkin wujud aslinya yang tidak kasat mata.
Memang aku perhatikan di malam-malam pertunjukkan wayang, terutama saat malam keenam, malam pertengahan dari sebelas malam, saat itu tanggal 25 Juli, malam selasa Kliwon, ketika dalang Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono memainkan lakon “Dewa Ruci”, tidak seperti malam-malam biasanya, saat itu banyak sekali orang gila yang berkeliaran di alun-alun utara, hilir-mudik di antara para penonton lainnya, ikut menyemarakan pementasan wayang. Entah benar atau tidak apa yang dikatakan oleh Pak Herman, namun begitulah suasana yang aku temui di lapangan.

Kiai Jadul Maula bersama Ki Seno Nugroho pada malam terakhir acara 500 tahun Sunan Kalijaga
Ada sebelas lakon yang dimainkan oleh sebelas dalang selama sebelas hari. Terbentuknya sebelas lakon ini merupakan hasil musyawarah para dalang yang sebelumnya telah berkumpul untuk merumuskan lakon-lakon carangan Sunan Kalijaga. Lucunya, dari sekian puluh dalang yang diundang untuk datang berkumpul dan rapat untuk menentukan cerita atau lakon dari pagelaran wayang nanti, satu per satu mereka terseleksi alam dengan sendirinya. Panggilan untuk datang rapat secara terus-menerus selama beberapa hari, waktu bermusyawarah yang panjang dan melelahkan, membuat sebagai dalang yang diundang, mundur perlahan dari partisipasinya di kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga ini. Hingga kemudian, dalang yang tersisa, yang senantiasa datang dan sanggup bertahan menjalani rapat berhari-hari itu, berjumlah sebelas orang. Jumlah tersebut sesuai dengan jumlah lakon yang mereka musyawarahkan sendiri. Tanpa disengaja, entah mengapa jumlah dari kehadiran dalang tersebut sama persis dengan jumlah lakon yang telah disusun. Suatu kebetulan yang mungkin petunjuk dari Yang Ilahi. Maka waktu pagelaran wayang pun dibuat sebelas malam. Jadi satu lakon dimainkan selama semalam suntuk. Jumlah sebelas lakon, sebelas dalang, dan sebelas malam ini pun mungkin dapat pula dikaitkan dengan tahun dimana kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga ini berlangsung, yakni 2011. Ada hubungannya atau tidak, semua kesamaan jumlah dari angka sebelas ini menjadi sesuatu yang menarik.
Lucunya, dari sekian puluh dalang yang diundang untuk datang berkumpul dan rapat untuk menentukan cerita atau lakon dari pagelaran wayang nanti, satu per satu mereka terseleksi alam dengan sendirinya.
Sebelas lakon yang berhasil disusun oleh para dalang yang difasilitasi oleh panitia Pesantren Kaliopak sebagai penyelenggara acara peringatan 500th Sunan Kalijaga, antara lain: Lahire Bethara Kala (Rabu, 20 Juli), Jumenengan Yudhistira (Kamis, 21 Juli), Kumbayana (Jumat, 22 Juli), Kartapiyoga Maling –Semar Mbarang Jantur – (Sabtu, 23 Juli), Mustakaweni (Minggu, 24 Juli), Dewa Ruci (Senin, 25 Juli), Wahyu Makutarama (Selasa, 26 Juli), Ganda Wardaya (Rabu, 27 Juli), Semar Minta Bagus (Kamis, 28 Juli), Pandhu Swarga (Jumat, 29 Juli), dan Pandhawa Moksa (Sabtu, 30 Juli). Lakon-lakon ini dimainkan secara berturut-turut oleh dalang yang paling senior dan tua, sampai ke dalang yang baru dan muda. Lakon pertama, sebagai lakon pembukaan dan juga merupakan lakon yang paling rumit, yakni “lahire bethara kala”, dimainkan oleh dalang senior Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo. Gelar Ki Mas Lurah Cermo merupakan gelar yang disematkan oleh Keraton Yogyakarta kepada dalang-dalang yang telah mengabdikan dirinya sebagai dalang abdi dalam Keraton. Dalang yang memperoleh gelar tersebut adalah dalang yang selama belasan sampai puluhan tahun sudah mementaskan wayang pakem di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Keraton.
Di malam terakhir, dalang Ki Seno Nugroho, menutup keseluruhan acara pagelaran wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta dengan penampilan yang begitu memukau. Dalang Ki Seno Nugroho memang dalang junior, yang termuda di antara semuanya, namun pada masa kini popularitasnya sedang meranjak naik sebagai dalang yang paling banyak ditanggap di berbagai acara di Yogyakarta. Darah mudanya, kegesitan sabetannya, kekayaan ekspresi dan power intonasi suaranya, serta lelucon-lelucon segar yang disemburkan selama pagelaran wayangnya, membuat ia begitu digemari dan dielu-elukan oleh penikmat wayang saat ini. Penampilan yang ia sajikan ke hadapan penonton di malam terakhir peringatan 500th Sunan Kalijaga sangat memukau, menjadi malam penutupan yang gemilang, menandakan kesuksesan dari acara ini. Malam itu menjadi malam dengan penonton terbanyak dan terheboh, karena tidak henti-hentinya gelegak tawa terburai ke udara sampai menjelang subuh. Tidak mempedulikan angin malam alun-alun utara yang berhembus ganas, maupun debu-pasir yang berterbangan menampar wajah dan tubuh mereka.
~~Bersambung~~
[1] Herman Sinung Janutama dalam “Lakon-lakon Wayang Carangan Karya Kanjeng Sunan Kalijaga”, hal: 22.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di kebunmakna.blogspot.com, sebagai hasil dari catatan etnografis Sarah Monica, dalam acara 500 tahun Sunan Kalijaga pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Pesantren Kaliopak, Lesbumi Yogya, dibantu Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Tulisan ini dipublikasikan ulang oleh redaksi Langgar.co untuk mengingat peristiwa kebudayaan yang penting dan pernah terjadi di Yogyakarta, sebagai upaya memperteguh kembali khasanah pengetahuan Nusantara.
Selain itu tulisan ini akan dupublikasikan dalam dua seri. Selamat membaca…
Sebelum melangkah pada lestari-melestarikan Bahasa, baiknya kita bertanya bagaimana bahasa itu bisa ‘tercipta, dan diciptakan’? Meski pertanyaan tersebut akan mengarahkan kita pada ragam ilmu sosial yang terpolarisasi oleh ilmu pengetahuan (modern) hari ini; sejarah, sosiologi, budaya, dan geografi. Ilmu pengetahuan tersebut jika kita telusuri dalam konsep pengetahuan moyang kita bersifat menyeluruh, seperti satuan lingkaran; antara bulatan satu, sisi sebagiannya terbentuk dari bulatan sisi lingkaran lainnya, ia saling mengisi, hingga terciptanya bentuk rupa. Ia bersifat partikular, sekaligus universal dalam kosmologinya, sehingga ia selalu selaras dengan alam. Namun kemudian, ilmu pengetahuan modern memecahnya menjadi bentuk kepingan puzzle. Ia universal, namun belum tentu partikular. Dampak karena belum tentu partikular adalah, ia tidak tahu lagi di mana kepingan-kepingan puzzle itu diletakkan, ia sibuk menguji satu persatu ke dalam sebuah kolom kepingan yang ‘dikiranya’ pas. Tidak tergambar lagi bentuk gambaran besar apa sebenarnya yang ia susun dalam puzzle itu.
Hal yang erat kaitannya bahasa adalah budaya. Keduanya tak terpisahkan, bisa dikatakan bahwa bahasa menciptakan budaya, dan budaya menciptakan bahasa. Jika bahasa itu diletakkan pada sebuah riwayat setiap individu, maka dengan mudah hal itu tercipta dengan sendirinya oleh keluarga serta masyarakat sejak individu itu dilahirkan. Keluarga dan masyarakat tersebut terbentuk dari kesamaan Entitas komunal yang kemudian membentuk Identitas. Identitas inilah yang kemudian menciptakan ragam Kebudayaan; identitas suku, etnik, bangsa, agama.
Bahasa bagi saya adalah salah satu fragmen artefak kebudayaan. Artefak dalam arti ia tidak dekaden, tapi terus mengalami pemaknaan; dikonstruksi dan dikomposisikan kembali sesuai konteks zamannya.[1] Selain sebagai medium komunikasi sehari-hari, bahasa merupakan produk dari ilmu pengetahuan, ia diproduksi dan bersifat being, bahkan fluktuatif (berubah-ubah) layaknya identitas itu tercipta. Dengan demikian, kita bisa memahami dan bisa memposisikan bagaimana bahasa itu diletakkan. Jika kita mampu memahami dan meletakkan bahasa itu pada posisi dan proporsinya, maka terciptalah sebuah kesadaran baru akan kegunaan dan manfaat dari bahasa itu. Dengan demikian, bahasa akan lestari dengan sendirinya.
Jika kita mampu memahami dan meletakkan bahasa itu pada posisi dan proporsinya, maka terciptalah sebuah kesadaran baru akan kegunaan dan manfaat dari bahasa itu. Dengan demikian, bahasa akan lestari dengan sendirinya.
Jika kita telusuri pasca berakhirnya perang Jawa, dimulailah babak baru dalam sejarah bangsa kita yaitu Indonesia modern. Kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, memberlakukan kebijakan sistem pemerintahan baru yang disebut politik etis. Salah satu dari program politik etis adalah sistem pendidikan; diciptakannya ruang kelas bukan sebatas ruangan di kelas, tetapi menciptakan kelas-kelas sosial; inlander[2], priyayi[3], timur asing[4], europenean[5]. Pendidikan jadi terpolakan, semuanya tersekat sejak dari sekat ruangan kelas, hingga membentuk sekat-sekat baru dalam kehidupan riil; sosial, ekonomi, suku, bahkan agama yang terus menjalar hingga hari ini.
Pada zaman pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, bahasa ilmu pengetahuan waktu itu adalah bahasa Belanda. Pada rentang waktu yang panjang, orang yang bisa mengakses pendidikan adalah orang-orang berdarah biru saja (ningrat). Pendidikan diarahkan untuk mengisi pos-pos kolonial; perusahaan perkebunan, kereta api hingga di struktur pemerintahan. Itu semua adalah untuk kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial. Sehingga yang terjadi, orang-orang ningrat yang mempunyai akses pendidikan (jiwa dan raganya) terbangun dan terbentuk oleh orientasi keinginan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hanya sedikit saja kamu bumi putra biasa yang bisa mengakses pendidikan. Kaum bumi putra inilah yang kemudian menciptakan kelas sosial baru, yaitu para Priyayi.[6]
Baru kemudian di awal abad ke-20, melihat realitas sosial yang sangat timpang dan memprihatinkan, munculah sosok ningrat (priyayi) baru yang memilih keluar dari keningratannya. terdapat juga yang terlahir dari kelas sosial baru para priyayi; Sukarno, Hatta, Sjahrir, Otto Iskandar Dinata, Kartini, Lasminingrat, Sri Dewi Sartika, Cut Nyak Dien adalah sosok-sosok besar yang muncul mewakili kegentingan bangsanya yang sangat memprihatinkan pada saat itu. Mereka membuka kran pendidikan agar bisa diakses dan dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pendidikan yang utama kala itu adalah kesadaran berbangsa, kesadaran berbangsa menyadarkan kesadaran suku bangsa. Bahwa bangsa ini terdiri dari ribuan suku, salah satunya suku Sunda. Maka kemudian, kesadaran berbangsa harus dilandasi dengan kesadaran suku/wilayah. Keduanya adalah idetitas satuan yang sama, seperti ‘Tritangtu’ dalam konsep alam berfikir kebudayaan manusia Sunda “Tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta keneh”. Jadi, identitas ‘lokal, nasional, dan global’ tidaklah semestinya dipertentangkan. Milan Kundera, seorang novelis yang mengeksflorasi perihal ketidakkekalan dan identitas, mengatakan bahwa identitas itu terus berubah dan bersifat fluktuatif. Artinya kalau identitas itu berhenti dan dikristalkan menjadi baku-tetap, maka ia akan tertutup dan mengeras dengan sendirinya.[7]
Terkait bahasa lokal dalam konteks global, perlu dipahami bahwa bahasa lokal itu mengisi pondasi dan ruang-ruang kosong yang membuat bahasa dan budaya global itu eksis. Tanpa bahasa dan budaya lokal, maka tatanan global dunia tidak dapat hadir. Inilah konsep Tilu Sapamulu atau Tritangtu yang tidak lahir dari dualisme oposisi binernya cartesian-newtownian yang saling meniadakan, melainkan lahir dari filsafat Karuhun yang mensistesa dualisme menjadi dualitas yang saling mengadakan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana kita melestarikan bahasa lokalitu? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari berlakunya tatanan dunia modern. Kemajuan, dan percepatan ibarat syahadat untuk kita menjadi manusia modern. Belum lagi keglamoran dalam bentuk konsumerisme adalah pola hidup yang teramat dekat dengan dunia harian kita.
Jika kita mau membuka lembaran-lembaran dampak yang ditinggalkan modernitas, kita akan menemukan bongkahan besar di dalamnya; ialah kekeringan spiritual[8]. Tidak ada kesakralan dan makna hidup dalam dunia material modern. Jika kita tidak menyadari hal ini, selamanya kita akan tererosi oleh arus dunia modern ini.
Salah satu jalan alternatif untuk mengetengahi itu semua adalah Kearifan lokal atau budaya. Orang Barat menyebut konsep ini dengan sekadar slogan eksotis “back to nature”. Salah satu yang menarik perhatian saya, dalam membaca gejala yang sudah saya kemukakan di atas, adalah perihal pendidikan. Pendidikan menurut saya adalah pola asuh, layaknya seorang ibu mengasuh anaknya, itulah pendidikan.
Terdapat satu lakon atau legenda di masyarakat Sunda, yaitu Sangkuriang. Cerita Sangkuriang bisa bercerita akan kita yang sudah lupa pada ibu (Sunda); mulai dari ilmu pengetahuan yang bisa dibahasakan oleh bahasa Sunda, kebudayaan Sunda, kesenian Sunda, pertanian, teknologi dan sebagainya. Bukankah kerajaan moyang kita juga punya interaksi (budaya, dagang dsb.) dengan bangsa lain. Artinya kebudayaan global juga terjadi kala itu, sebagaimana kita hari, tentu dengan bentuk-ragam yang berbeda. Namun yang menjadi catatan besar, bagaimana kita bisa belajar pada moyang yang tidak lupa akan jati dirinya, yaitu manusia Sunda, sebab itulah mereka menciptakan pesan zaman (legenda Sangkuriang) yang akan diwariskan pada anak cucunya hari ini.
Mungkin kita bisa belajar kembali pada Si Kabayan dengan cerita urakan spiritualisnya, Mundinglaya, atau bahkan karakter perempuan Dayang SUmbi. Anak muda yang hari ini gandrung dengan isu-isu feminisme misalnya, mungkin bisa belajar kembali, bahkan lebih maju dari sosok perempuan Sunda yang bernama Dayang Sumbi. Bagaimana ia kokoh dengan pendiriannya bahwa Sangkuriang adalah anaknya, lalu ia mencari cara agar siasat Sangkuriang tidak terjadi.
Contoh lain adalah dampak kerusakan alam lingkungan, mungkin sebenarnya manusia itu tahu bahwa alam-lingkungan layaknya ibu yang sudah merawatnya, namun ia keukeuh dengan ambisinya; perkebunan sawit, tambang batu bara, tambang pasir sungai, tambang emas dan lain sebagainya. Ambisi yang mirip layaknya Sangkuriang ingin memperistri Dayang Sumbi sebagai sang Ibu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana revolusi besar yang dilakonkan oleh Dayang Sumbi bisa lahir dan hadir di perempuan-perempuan Sunda hari ini, yaitu teguh pada prinsip dan mencari cara untuk menggagalkan ambisi Sangkuriang pada sang ibu. Sangat menarik bukan?
Pertanyaannya kemudian, bagaimana revolusi besar yang dilakonkan oleh Dayang Sumbi bisa lahir dan hadir di perempuan-perempuan Sunda hari ini, yaitu teguh pada prinsip dan mencari cara untuk menggagalkan ambisi Sangkuriang pada sang ibu. Sangat menarik bukan?
Itu semua adalah pesan zaman yang dilegendakan oleh moyang kita dalam bentuk lakon; salah satu contohnya adalah Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Mungkin masih banyak lagi legenda yang telah dilakonkan (dalam bentuk pamali misalnya) yang belum kita pahami realita-imajisitasnya hari ini. Kita tidak akan bertanya lagi apakah cerita itu benar adanya atau tidak, akan tetapi bagaimana kita bisa memahami cerita itu dan dampak yang dirasakan hari ini. Bukankah dengan demikian cerita legenda itu bisa dihadirkan da nada yang kita perbuat untuk hari depan. Dengan demikian, purnalah tugas moyang kita dalam mewariskan pesan zamannya untuk anak cucunya yang hidup saat ini.
Jika kita mau kembali pulang ke alam rumah Sunda, cukuplah kita melihat apa yang ada di dalam rumah kita sendiri, bahwa ‘rumah Sunda’ sudah lebih dari cukup, telah diwarisi moyang untuk menghidupi kita. Di dalam rumah Sunda itu sudah barang tentu terdapat peralatan untuk menopang kehidupan; mulai dari bahasa, adat, kebudayaan, teknologi, hingga ilmu pengetahuan. Hanya saja, seringkali kita merasa bosan di rumah, lalu mengira rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumah sendiri. Biarlah itu semua bagian dari perjalanan hidup yang harus dilewati, dan mengajarkan pada kita untuk tidak lagi pergi jauh, mencari terus keluar yang tidak akan pernah berujung.
[1] Munculnya wikipediawan (Indonesia, Sunda dan lainnya) adalah salah satu usaha pemaknaan tersebut. Derasnya istilah-istilah baru dalam bahasa asing (inggris) khususnya, perlahan menggerus makna-makna bahasa kita. Tidak bisa dielak, karena bagaimanapun itu semua perkembangan akan realitas global hari ini. Sebagai contoh; anak muda yang ‘keminggris’, ia lebih percaya diri menggunakan term-term Inggris dalam percakapannya, karena ia mengakses ilmu pengetahuan baru yang lahir dalam term tersebut. belum lagi kedepannya percakapan dagang (ekonomi) akan berporos di China, tentu perkembangan bahasa pun akan mengikutinya. Itu semua kita maknai sebagai ‘kebudayaan’.
[2] Sebuah ejekan yang dilontarkan sterotipe oleh orang Belanda kepada penduduk pribumi (masyarakat lokal). Orang Belanda yang hegemonial merasa dirinya superior, imbasnya pribumi merasa inferior.
[3]Kelas sosial terhormat (darah biru), kala itu hanya golongan ini yang mempunyai akses pada pendidikan.
[4] Meliputi ‘peranakan’. Cina, India, dan eropa lainnya.
[5] Orang-orang eropa kulit putih, stigma rasial masih berlangsung hingga hari ini di Eropa, bahkan Amerika.
[6] Novel Umar Khayam yang berjudul ‘Para Priyayi’ sangat menarik dalam bercerita kelas sosial baru ini.
[7] Perang antar suku dan sebagainya adalah bentuk dari pembakuan identitas (terlepas dari bumbu politik), semangat primordialisme, politik identitas yang terjadi di ibu kota belakangan kemarin, dan munculnya kerajaan-kerajaan baru belakangan ini adalah perwujudan bentuk pengkristalan dari identitas yang dibakukan.
[8]Orang-orang Eropa hingga dari mulai abad ke-19 hingga hari ini berbondong-bondong mempelajari dunia spiritual; mereka mempelajari Buddhisme, Hinduisme, Taoisem, Zen-Buddhisme dan sebagainya adalah fakta riil yang terjadi.
Saya hingga hari ini merasa diri sebagai santri Lelana. Atau santri kelana, atau sebut saja semacam pelajar atau penuntut ilmu yang sedang berkelana dan terus mengembara. Saya tak tahu sampai kapan predikat ini akan saya sandang, atau barangkali memang mungkin tak seharusnya saya tanggalkan. Nah, Termasuk kunjungan saya ke berbagai kota di Jawa beberapa bulan-bulan terakhir ini, juga saya saya maknai dalam pengertian itu. Dan mungkin juga kunjungan-kunjungan saya setelahnya.
Saya memaknai “lelana” di sini sedikitnya terkait dalam pengertian ontologis yang bisa saya gapai. Kata “lana” seturut makna Kawi-nya saya duga lebih dekat pada makna “sendiri”, “kesendirian”, atau mungkin lebih tepatnya “asing” atau “terasing”, mirip dekat kata “gharib” dalam bahasa Arab yang juga berarti “asing”. Karena mungkin sejatinya “rumah” kita memang tidak di dunia ini.
Kita sebenarnya hanya merupakan tamu di dunia ini, dan oleh karenanya “keterasingan” dan kesementaraan selalu akan menguntit kita, nyaris seperti bayangan kita sendiri.
Darinya saya tergoda untuk mengambil rumusan: memang hidup ini cuma persinggahan. Hidup ini adalah sejenis perjalanan, pengelanaan, lelakon, atau bahkan pengembaraan. Ya kita hanyalah seorang yang berusaha menyesap pengetahuan hidup sebagai bekal untuk dan di dalam perjalanan dan pengelanaan itu sendiri (santri kelana).
Selama kunjungan saya di berbagai kota di Jawa, banyak teman di berbagai daerah bertanya tentang Langgar kami (Langgar.co), juga kabar tentang forum “Suluk Kebudayaan Indonesia” yang kami gagas dan kelola yang pada bulan Maret ini memasuki seri #3. Bahkan beberapa orang menawarkan diri untuk mendirikan Langgar cabang di kota-kota mereka. Yang sudah menawarkan diri mendirikan Langgar cabang adalah Malang, Kediri, dan Ponorogo. Saya jujur belum punya jawaban, meski mereka sudah posting deklarasi dalam beranda media sosial mereka.
Tegerak akan pertanyaan mereka, malam tadi tiba-tiba muncul kelebatan ide seperti ini. Saya ingin mengundang teman-teman sekalian yang berkenan, untuk menghidupkan kembali atau bahkan mendirikan Langgar mereka di berbagai kota. Langgar tidak dalam pengertian webnya, melainkan menghidupkan kembali Langgar-langgar di desa/kota (jika memungkinkan termasuk bangunan fisik dan nama “Langgar”-nya, yakni sebagai aktivitas “ngaji” dan “mengkaji” kebudayaan dalam pengertian terluasnya yang menyangga bangun masyarakat dan bangsa kita.
Saya menyodorkan gagasan dan nama “langgar” sebagai kata lokal yang telah diserap (termasuk turunan lokal lain yang dimungkinkan, seperti surau, taratak, langge, dll.) untuk menjadi ikon. Kenapa seperti itu, karena bagi kami, “Langgar” merekam pertemuan lokal-global sekaligus. Ia berasal dari ide lokal-partikular yang bertemu ajaran yang punya dimensi universalnya (Islam).
Kedua kenapa saya masih mengaitkan agama dalam usaha mengaji dan mengkaji ulang tradisi dan kebudayaan, karena memang dalam konteks kita berbangsa, dalam konteks Indonesia, agama selalu menjadi sesuatu yang inti dan tak bisa diabaikan. Bahkan jika mau jujur, setiap gerakan (saya pingin menghindari kata ini sebenarnya) apapun yang berusaha mengubah kenyataan Indonesia tanpa menyelesaikan dan menangani agama secara tuntas, hanya akan dibayangi keretakan.
Ketiga kenapa kebudayaan karena ini merupakan inti olah kemanusiaan praktik diri dan masyarakat kita dalam berbangsa (olah cipta, karsa, rasa). Jika di titik ini gagal, perubahan di level sistem, struktur, maupun suprastruktur akan bersifat sementara, parsial, dan kandas. Tentu olah ini bersifat khusus dan bercorak partikular sesuai kondisi tantangan dan keadaan bangsa yang memang berbeda dari bangsa lain.
Oleh karenanya, menurut saya ketegangan perspektif ham universal (liberal) vs fundamentalisme-formalisme agama, yang dalam derajat tertentu mendaku klaim universalnya dan oleh karenanya mengabaikan partikularitas pergulatan olah berbangsa, yakni dalam menyorongkan perubahan bangsa, akan terus menjadi sumber perpecahan dan tegangan. Dan hanya melalui jalur kebudayaan (dimana kata ini menampung proses pergulatan olah kemanusiaan yang bersifat universal dan partikular sekaligus), siapa tahu ketegangan ini bisa ditangani.
Dengan cara itu isu-isu penting seperti, gender, HAM, toleransi, multikulturalisme, agama, kemanusiaan, ketuhanan, juga ideologi besar dunia vs pancasila, bisa kita tangani lebih arif dengan cara masih mengaitkan “akar” tradisi dan kebudayaan yang menyangga kedirian (seakar kata dengan kata berdiri/mandiri) berbangsa kita.
Dengan cara menghidupkan kembali dan mendirikan langgar kita bisa memulai “kajian” dan “pengajian” yang meningkatkan kualitas kemuliaan kemanusiaan kita (baca: aji). Alias meningkatkan level olah kemanusiaan (suluk budaya) yang mengangkat level pemahaman ketuhanan dan pemahaman agama kita di satu sisi (istilah Soekarno, agama/ketuhanan yang berkebudayaan) maupun proses olah kemanusiaan kita sebagai bangsa (budaya). Sehingga tak ada lagi orang yang berujar tanpa dasar terkait pertentangan antara kemanusiaan versus ketuhanan yang berdiri berhadap-hadapan.
Dan saya pikir Langgar bisa menjadi tempat singgah dan tempat mengendapkan kejernihan serta tempat menyesap ilmu dalam sebuah perjalanan, pengembaraan, dan pengelanaan berbangsa, untuk memberi arah baru untuk menuntaskan tugas kemanusiaan kita dalam perjalanan dan pengelanaan sementara kita di dunia ini.
Karena keberhasilan menunaikan tugas di dunia yang sementara ini, alias tugas olah kemanusiaan dan Suluk kebudayaan bangsa ini adalah satu-satunya yang bisa menggaransi kita bahwa perjalanan dan pengembaraan kesementaran hidup di dunia ini masih punya makna.
Dan dari proses tersebut, hal-hal apapun yang menghalangi olah proses kemanusian, beragama, ketuhanan, dan berbudaya kita, seperti sistem ekonomi yang menghisap, transaksi politik liberal yang mengabaikan keadilan, gelontoran arus pengetahuan yang membuat ketercerabutan, gagasan doktrin agama yang menggusur kebudayaan, dll. akan menjadi musuh dalam olah mendirikan “jati diri” bangsa.
Dan dengan adanya langgar, saya yang membayangkan sebagai santri kelana yang mulai kelelahan dan yang terus menerus dalam perjalanan dan Lelakon, bisa singgah sementara dan menginap sementara, serta meminum dahaga pengetahuan dan meneguhkan saya untuk terus melanjutkan perjalanan dan pengembaraan. Sebuah Langgar Kebudayaan yang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang berjalan (suluk), yang juga bisa membantu dan memberi bekal perjalanan sementara berbangsa di dunia yang fana ini.
Apakah ajakan saya ini akan bersambut?
Dalam beberapa kali melakukan riset ke lapangan, bertemu dengan para informan dan narasumber, saya acap kali menerima keluhan: dulu ada juga ‘orang seperti saudara’ datang ke sini. Menanya ini itu, berkeliling melihat ke segala sudut kampung kami. Katanya riset, tetapi habis itu kami tidak tahu lagi kabarnya. Apa gunanya riset itu untuk kami.
Peneliti generasi sekarang mungkin tak akan pernah lagi menjadi peneliti awal. Sebelum mereka datang, pasti sudah ada peneliti lain. Nah celaka betul kalau peneliti sebelumnya adalah ‘orang seperti saudara’ sebagai yang dikeluhkan di atas. Datang, mewawancarai –dengan tentu mengambil waktu orang dan pasti merepotkan–, melihat-lihat, lalu setelah itu tak pernah lagi nongol dan menampakkan batang hidungnya. Nyaman tenteram di ruang ber-AC setelah hasil risetnya diujikan, dipresentasikan di forum ilmiah, dimuat di jurnal dengan nilai kum tinggi, atau menerima insentif besar lantaran hasil penelitian.
Tetapi lebih celaka lagi tentu komunitas yang diteliti tersebut. Mereka diteliti dan dibicarakan tapi tidak tahu apa gunanya untuk mereka. Dalam bahasa lain, mereka hanya jadi korban ‘eksploitasi ilmiah’.
Dalam hal ini menarik sekali apa yang dilakukan oleh Sandra Niessen, seorang Antropolog dari Belanda. Sekitar tahun 1979-80, kemudian dilanjut tahun 1986, ia meneliti tradisi ulos di masyarakat selingkar Danau Toba. Ia masuk kampung keluar kampung, bertemu dan ngobrol dengan banyak para penenun, atau mereka yang terkait dengan tradisi tenun, mengamati dan memotret. Hasil risetnya, termasuk menelusuri museum-museum yang menyimpan ulos di berbagai Negara Eropa terbit tahun 2009, dengan judul Legacy of Cloth, Batak Textiles of Indonesia, oleh KITLV, Leiden. Artinya terbit 25-30 tahun setelah ia melakukan riset awal dan sepanjang itu pula ia mengerjakan riset tersebut.
Atas dukungan teman-temannya, pada tahun 2010 ia kemudian membuat proyek “Pulang Kampung”, yakni kunjungan kembali ke tempat-tempat dulu ia riset dan menyerahkan bukunya tersebut ke mereka. Ia mengembalikan buku itu kepada mereka yang dulu berbagi cerita, informasi, dan pengetahuan dengannya, serta membantunya dalam riset tersebut. Pada dasarnya masyarakat itulah pemilik pengetahuan tersebut, dan dia hanya memulung dan merajutnya saja.
Tetapi seorang antropolog pada dasarnya seorang dokumentator Kebudayaan. Ia mencatat tradisi lisan maupun benda-benda kebudayaan sebuah komunitas melalui narasi tekstual dan visual (foto/film). Dari sini masyarakat setempat tahu apa yang berubah dan apa yang tetap di dalam kebudayaan mereka.
Antropolog juga seorang kritisi kebudayaan dan darinya masyarakat bisa belajar dari kritik tersebut.
Di sinilah pentingnya seorang antropolog. Karena itu beruntunglah sebuah komunitas yang memperoleh perhatian dari seorang antropolog atau peneliti umumnya. Tentu dengan catatan, jika hasilnya dibagikan kembali ke masyarakat tersebut. Ini saya kira merupakan tanggungjawab etis seorang peneliti (antropolog).
Di sinilah menariknya apa yang dilakukan Sandra Niessen ini. Perjalanannya ini ditemani oleh MJA Nashir, seorang fotografer yang juga penulis. Nashir menuliskan pengalamannya menemani Sandra ini dalam buku tebal berjudul Berkelana dengan Sandra: Menyusuri Ulos Batak (2011).
30 tahun jelas bukan tempo yang pendek. Nashir mencatat bagaimana Sandra seperti harus mengulang dari awal penelusurannya. Mendatangi lagi huta-huta yang dulu pernah ia datangi dan orang-orang yang dulu pernah ia temui. Untungnya ia punya foto-foto mereka yang pernah ia temui tersebut. Bermodal foto besar yang telah dilaminating, yang sebagian besar juga telah muncul dalam bukunya, dan ingatan yang samar, ia berjalan lagi ke kampung-kampung. Dan meski harus bertanya bolak-balik, ia berhasil menemui mereka.
Tetapi sekali lagi 30 tahun bukan waktu yg sebentar. Sebagian dari mereka yang ia tanyai berdasar foto itu terkaget sekaligus terharu. Oh itu foto opungku, oh ini mamakku, dst, kata orang yang ditanyai. Sebagian besar dari orang-orang yang ada dalam foto itu ternyata sudah meninggal. Sandra memberikan sebuah buku untuk anak cucunya, menuliskan nama penyumbang buku dan pesan di halaman sampul dalam. Dan mereka senang sekali. Melihat bersama-sama buku dengan banyak foto itu, mereka seperti menengok album kehidupan masa silam.
Ada juga yang ia temui yang masih hidup, tapi mereka ternyata sudah tidak menenun lagi. Buku yang ia perlihatkan membangkitkan kenangan ketika mereka menenun dan kenyataan betapa menenun yang merupakan tradisi leluhur dengan pahit mesti mereka tinggalkan karena tak bisa memberi penghidupan.
Seorang partonun tua yang sakit bangkit dari pembaringan seperti ksatria ketika melihat foto hudon tano yang mengenangkannya pada saat muda ketika menenun. Hudon tano adalah gentong dari tanah liat yang dulu dipakai sebagai wadah ketika membuat pewarna alam. Tapi hudon tano sudah tak ada lagi, karena pembuatan warna alam juga sudah tidak dilakukan lagi. Benda itu pun ikut raib dari pandangan mata.
Sandra tidak hanya memberikan buku kepada para penenun, tapi juga kepada sebuah sekolah dan kepada para penenun muda. Tentu saja maksudnya agar buku itu menjadi bahan pembelajaran.
Singkat kata, kegiatan Pulang Kampung Sandra ini bukan semata menciptakan reuni, tapi juga membuka ruang dialog dan interaksi, bahkan mungkin semangat revitalisasi. Buku itu misalnya mendorong seorang anak muda di sebuah kampung yang prihatin karena tenun ulos mulai menghilang, dalam waktu singkat menggelar suatu workshop ulos dengan mengundang Sandra sebagai pembicara. Di acara itu, ia mengumpulkan para penenun, puluhan ulos tua yang selama ini tersimpan rapi di huta-huta, dan hudon-hudon tano yang selama ini tak pernah kelihatan. Acara ini ditimpali dengan manortor dengan diiringi gondang. Kampung anak muda ini dulunya memang masyhur sebagai pengolah warna biru alam salaon.
Dalam perjalanan ke kawasan Toba kemarin, buku Nashir ini jadi teman saya. Kebetulan saya juga menemui beberapa penenun, termasuk di kampung Said Ni Hita yang juga didatangi Sandra dan Nashir.
Membaca buku Nashir ini ((maunya juga buku Sandra, tapi ketika berselancar di internet dan tanya teman di LN, harganya sampai 12 jutaan, tentu tidak cocok buat kantongku yang kerempeng) makin menyadarkan saya bahwa antropologi hakikatnya adalah studi tentang perubahan. Ketika ia dilakukan ia harus melihat masa silam, menengok sejarah, harus tracking, tetapi ketika ia sudah dilakukan, ia justru menjadi sejarah. Demikianlah dengan ulos ini. Banyak yang dikemukakan Sandra, yang diceritakan ulang oleh Nashir, telah berubah. Banyak penenun yang sudah meninggal, sementara yang masih hidup tidak semuanya masih menenun. Tenun ulos tradisi meredup.
Tetapi tradisi pembuatan ulos sebenarnya tidak akan mati karena ulos adalah bagian penting dari tradisi Batak. Yang terjadi adalah perubahan dan pergeseran. Ulos dengan pewarna alam tidak banyak lagi dikerjakan karena serbuan benang sintetik dengan warna yang cerah dan beragam, serta murah. Ulos dengan motif tradisi yang kuat tergeser oleh olus baru dari benang sintetik ini, meski sebagian besar basis motifnya tetap pada tradisi.
Lalu bermunculan pusat-pusat tenun yang baru, terutama di pinggiran, sebagai konsekuensi dari perkembangan kota. Saya datang ke sebuah kampung di pinggiran kota yang dulu bukan sentra tenun, tapi kini berkembang menjadi salah satu sentra tenun. Awalnya seorang ibu dari keluarga penenun datang ke kampung tersebut karena ikut suaminya. Ia lalu meneruskan tradisi keluarganya menenun, yang kemudian diikuti oleh tetangga-tetangganya. Kampung ini cepat berkembang sebagai sentra tenun karena ia lebih dekat ke kota dan respon adaptipnya pada fashion.
Seorang dari mereka mengatakan bahwa di sini baru mengenal pewarna alam tahun 2017. Jelas dia keliru, karena seperti buku Sandra via Nashir menyebutkan, warna alam sudah dikenal moyang mereka lama, bahkan mungkin sejak ratusan tahun. Semua ulos tua terbuat dari warna alam.
Tapi ada juga perkembangan baru. Dengan tegas dikatakan bahwa semua penenun adalah perempuan. Benar, karena di Batak semua laki-laki ada raja. Masa raja martonun? Jadi menenun seperti tabu bagi laki-laki. Kalau ada yang martonun pasti dibully. Diejek. Perkembangan baru menunjukkan bahwa kini sudah banyak penenun laki-laki. Orang yang saya temui mengatakan mungkin sudah ada 20an.
Ini bukan berarti tidak ada laki-laki yang terlibat dalam proses menenun. Di dalam buku diceritakan ia sangat ingin menemui seorang laki-laki yang dikenal sebagai penyirat terkenal di zamannya. Sirat adalah hiasan dekoratif di ujung kain tenun, berupa manik-manik. Sayangnya orang ini juga sudah meninggal, sehingga Sandra menghadiahkan buku ke anak cucunya.
Yang menarik dari sini, menyirat ternyata pekerjaan yang special dan agak terpisah, dan maestronya ternyata laki-laki. Tapi kini tak ada lagi laki-laki yang menyirat.
Tradisi berkembang dan berubah. Ia selalu dinamis. Dan selalu ada keterhubungan dan sekaligus keterputusan. Jadi jangan pernah meratapi tradisi!
Hairus Salim, Siborong-borong, 20 Januari 2020
Saya tak benar-benar tahu, apakah gejala formalisme beragama kita yang kian marak di Indonesia belakangan ini, yang bahkan pada taraf tertentu punya dimensi atau semangat untuk mengekslusi atau menyingkirkan kelompok (agama) lain, pada ambang tertentu, sudah membuat kita sebagai bangsa, semakin menjauh dari prinsip dan nilai kebersamaan, dan kegotong-royongan, atau sebut saja pesatuan Indonesia, sebagaimana dulu nilai-nilai tersebut dipancangkan oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdekaan negeri ini. Saya tak punya kapasitas menilainya.
Namun, saya tiba-tiba mengingat sebuah istilah yang dulu dikenalkan Soekarno di rapat BPUPK, tanggal 1 Juni 1945, saat ia berkesempatan menyodorkan gagasannya terkait dasar filsafat Negara Indonesia (philosofische grondslag)—yang kemudian ia namai sendiri dengan nama “Pancasila”, yang berarti “lima asas” atau “lima dasar”. Saat mengemukakan sila yang kelima (Soekarno tak mementingkan urutan sila ini, karena baginya hanya sekadar “urut-urutan kebiasaan saja”), ia menyarankan Indonesia Merdeka harus berdasar prinsip Ketuhanan. Yakni bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, namun masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan (menurut kepercayaan) Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara Kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1984: 147-154).
Apa makna kalimatnya? Atau bagaimana tepatnya kita merespon istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” yang ia sorongkan, di saat Sekularisme telah meresapi bangun ruang hidup kita secara keseluruhan—sebagaimana dulu dicetuskan dalam bingkai nalar sains abad modern yang memang berusaha menyingkirkan sejauh-jauhnya peran agama juga Tuhan menyingkir di sisi pinggir peradaban dunia? Atau Juga bagaimana memaknai istilah Soekarno tersebut, di saat agama telah terdomestifikasi sebagai ajaran ritual peribadatan semata, sehingga membuatnya saling hadap perhadap dengan wilayah “kebudayaan” di satu sisi, maupun gejala sains (paradigma modernisme yang telah menyangga bangun keseluruhan pranata sosial modern kenegaraan kita saat ini) yang secara umum telah memilah ranah-ranah politik, kebudayaan, seni, dan agama—terutama dalam arena diskursus politik publik demokrasi liberal—sebagai sesuatu yang saling memisahkan dan saling bediri hadap-perhadap satu dengan yang lain di sisi lainnya? Dan lalu bagaimana kita menyambungkan makna prinsip ketuhanan, yang senyatanya telah kita sepakati menjadi satu bagian dasar negeri kita, juga bagaimana menyambungkan makna agama sebagai “petunjuk keseluruhan hidup” dalam konteks kebangsaan kita yang semakin larut dalam diskursus politik demokrasi liberal yang mendomestifikasi peran agama ke dalam ruang privat?
Saya ingin menjawabnya dengan mengais khazanah tradisi dari “Serat Wedhatama” dalam literatur Jawa. Dalam pembendaharaan serat ini, terdapat sebuah istilah penting terkait definisi “kebudayaan” yang dari khasanah pengetahuan tersebut barangkali istilah kebudayaan itu kita ambil: yakni “olah budi” atau “budya”. Jika kita bersepakat arti kebudayaan—sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat sebagai “hasil olah Cipta, karsa, dan rasa manusia”, maka kebudayaan dalam konotasi tertentu merupakan sebuah proses “olah budi” kemanusian, tentu jika kata “budi” kita maknai seturut dengan pemaknaan Wedhatama dimana istilah “budi” menunjuk aspek terdalam keseluruhan diri manusia: yakni Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah Budi dengan demikian adalah proses mengolah unsur terdalam bagian diri (sifatnya rohani), atau proses mengolah Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa kita agar kemanusiaan kita menjadi lebih utuh.
Tak mengherankan jika kita mendapati, salah satu defenisi kebudayaan berbunyi sebagai olah “men-daya-kan budi kemanusian kita (baca: budaya, budi-daya) yakni agar kita bergerak dari kecenderungan sifat-sifat hewan yang memang secara alami menggerakkan hidup kita (nature), menuju kondisi kemanusiaan yang lebih utuh dalam berelasi mengatur hidup bersama yang lebih memanusiakan orang (culture). Dalam konteks ini sebenarnya kata “budaya” dengan segenap konotasi “ruhaninya” tak benar-benar sepadan dengan kata “cultuur” (belanda) ataupun “culture” (inggris) yang lebih punya asosiasi kepada aktivitas “bercocok tanam”.
Masalahnya dulu, terutama dalam pengertian tradisi Jawa, juga bahkan di Nusantara secara keseluruhan, kata olah budi masih berkait sesuatu yang ruhani, alias masih menyandarkan Tuhan dalam bangun proses mengutuhkan potensi kedirian kemanusiaan tersebut. Karena sejatinya olah potensi Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa, (olah-budi, atau budaya) dari keseluruhan potensi yang tersimpan dalam diri kita adalah sejenis usaha mengolah potensi “ilahiah” atau “ruhaniah” di dalam diri yang seringnya kalah dengan dominasi dorongan “kehewanan” yang menghambat proses kita menjadi “manusia”. Oleh karenanya, di dalam literatur “Serat Wedhatama” proses “olah budi” atau proses berbudaya tersebut masih diembel-embeli dengan kata “sembah”: yakni Sembah Karsa, sembah Cipta, sembah Jiwa, dan sembah Rasa.
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama).
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama). Dan bukankah ini, mengambil contoh ajaran Islam, merupakan tujuan puncak diturunkan ajaran agama: yakni menyempurnakan akhlak utama. Yakni budi-pekerti yang dicapai manusia setelah melalui proses perjuangannya mengolah-budinya atau setelah proses olah “berkebudayaan”nya, dari kondisi status kemanusiaannya yang sebelumnya terbelenggu dorongan-dorongan alami hewaninya (basyar) menuju diri kemanusiaan yang dilimputi oleh akhlak dan budi-pekerti utama untuk mengatur hidup bersama yang saling mengamankan dan menebarkan kedamaian, kebersamaan, dan rahmat kepada siapapun (insan).
Dalam koridor penafsiran ini, ajaran inti beragama adalah mengolah budi kemanusiaan dari status “kehewanan” kita menuju potensi “kemanusiaan” kita, alias ajaran berkebudayaan atau bahkan proses berkebudayaan itu sendiri, dalam visi ketuhanan yang membantu kita memperindah pola kehidupan bersama dalam sebuah tata-kemasyarakatan. Dan dengan kerangka ini pula, agama—beserta ajaran tentang ketuhanannya—seharusnya tak bediri terpisah dengan “kebudayaan”, serta hendaknya mengukuhkan “olah-kedirian” berkebudayaan atau olah proses kemanusiaan sebuah masyarakat, yang memang secara factual bersifat particular-lokal (Indonesia) dan memang berbeda-beda pada setiap bangsa dan masyarakat. Inilah ajaran ketuhanan yang telah membantu menegakkan jati-diri olah-kebudayaan kebangsaan masyarakat tertentu, yakni telah melampaui ajaran hitam-putihnya (syari’at) sebagai batu bata-utama awal dalam menata hidup yang telah mengantarkannya kepada capaian “hikmat”, “kebijaksanaan”, dan “kearifan” (satu akar kata dengan ma’rifat). Sebuah agama yang tidak lagi mengawang dalam ajaran dan doktrin yang masih berjarak dan memisahkan diri pergulatan kebudayaan sebuah masyarakat, melainkan ajaran keagamaan dan ketuhanan yang membantu mengutuhkan jati-diri “kebudayaan” sebuah bangsa dalam mengekplorasi olah potensi “ilahiyah” yang bersemanyam dalam “fitrah” kemanusiaan yang berkecenderungan lurus (hanif) tersebut.
“Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai salah satu sila dari Pancasila seperti disorongkan Soekarno di atas, dengan sendirinya sekarang memiliki relevansi dan memungkinkan kita memaknainya untuk kebutuhan kita hari ini. Bahwa dalam visi dan prinsip ketuhanan dan ajaran agama, hendaknya membantu kita untuk mengatur hidup bersama dalam bingkai kerakyatan yang tidak semata dipandu olah ajaran hitam-putih (parsial menurut egoisme kelompok maupun golongan [agama] tertentu) melainkan seharusnya dipandu oleh penglihatan utuh dalam bingkai “hikmat” (mengambil hikmah “baik” dari peristiwa “buruk”, alias telah melampaui baik-buruk), maupun dalam bingkai kebijaksanaan dan kearifan (ma’rifat) yang tidak lagi mencari menang-menangan dalam payung “musyawarah”. Yakni olah kemanusiaan dalam mengatur hidup bersama dalam semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan”. Dalam bahasa Soekarno, olah kemanusian dalam bingkai ketuhanan tersebut dengan sendirinya bersifat “kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’” yang tidak membenarkan “egotisme kebenaran” dari prinsip ketuhanan tertentu.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur. Yakni sebuah prinsip ketuhanan yang telah membantu olah budi-pekerti dalam proses menjadi manusia seutuhnya dalam mengejar kecenderungan fitrahnya sesuai konteks pergulatan kebangsaannya yang memiliki tantangan dan kondisi yang memang berbeda dengan bangsa lain. Nah, prinsip ketuhanan dan ajaran agama seperti inilah yang telah terbukti membantu manusia Indonesia menemukan jati-diri kemanusiaannya. Ketuhanan yang mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi-pekerti luhur dan ketuhanan yang tidak lagi mengekslusi, menyingkirkan, dan menghina “tuhan” kelompok lain, alias ketuhanan—dalam bahasa Soekarno—“ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Sebuah prinsip ketuhanan dan agama yang justru membantu memperkokoh jati-diri kebudayaan sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Ajaran agama yang dengan sendirinya bisa menebar rahmat bagi alam semesta.