Kebudayaan
Pelayaran, Perdagangan, dan Silang Budaya
Ada sebuah sabda yang sangat terkenal dari Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya di Tanah Hejaz (Semenanjung Arabia) pada abad VII M: “Carilah ilmu walau sampai di Negeri Cina”. Kalau sabda ini kita tempatkan dalam konteks sejarah geopolitik dan ekonomi, di mana jalur pelayaran dan perdagangan kuno yang menghubungkan antara daerah semenanjung Arabia, Persia, India, Cina dan Nusantara telah dikenal sejak lama, bahkan menurut sejarawan Brandell (Habib Moestopo, 2001: 126) telah berlangsung sejak tahun 700 SM, maka kita menemukan banyak makna menarik di luar makna normatif sabda tersebut sebagai kewajiban mencari ilmu. Dari sudut pandang kita yang sedang mempelajari dinamika lokalitas di dalam relasi budaya antara kawasan Nusantara dengan kawasan Arab, maka kita akan seperti mendengar suatu respon kawasan Nusantara terhadap sabda tersebut, “Kalau pergi ke Negeri Cina, pastikan singgah dan mampirlah juga di Tanah Jawa, di Nusantara. Semoga ada hikmah untuk kita bersama“. Kelak respon ini terbukti efektif, ketika kita lihat fakta hari ini yang menunjukkan bahwa jumlah para Habaib (keturunan Nabi Muhammad) yang tinggal di wilayah Nusantara merupakan yang terbesar dibanding dengan kawasan-kawasan lain di dunia.
Sebagaimana ditulis Agus Sunyoto dalam “Islam di Indonesia” (naskah buku yang tidak diterbitkan), orang-orang Jawa Kuno sejak masa Mataram Kuno sampai Majapahit telah mengenal satuan mata uang seperti Picis (terbuat dari bahan tembaga, dengan nilai terendah), yang merupakan mata uang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa perniagaan antar bangsa melalui jalur laut sudah dikenal masyarakat Jawa Kuno. Sejak Dinasti Han berkuasa sekitar abad ke-3 Masehi, catatan-catatan tentang Asia Tenggara mulai ditulis dalam teks-teks Cina (Wang Gungwu, 1958). Pulau-pulau di Nusantara yang awal sekali disebut pada tahun 132 Masehi oleh berita Dinasti Han dengan sebutan Ye-tiao adalah Jawa (Ferrand, 1916), kemudian pendeta-pendeta Buddha pada abad ke-5 Masehi yang berlayar dengan kapal niaga yang berdagang dari Cina ke India dan dari India ke Cina pernah singgah di Jawa (Wolters, 1967). Ditemukannya tembikar Cina dan benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di Sumatera selatan dan Jawa Timur, adalah bukti dari berkembangnya jalur perdagangan di Nusantara pada jaman kuno (Bellwood, 2000).
Sebagai lintasan jalur laut dari Cina ke India dan dari India ke Cina, perkembangan perdagangan di Nusantara terjalin pula dengan India. Menurut Wolters (1967) perkembangan perdagangan India ke Asia Tenggara didukung oleh pelayaran yang dilakukan para penutur Bahasa Austronesia yang pergi ke India (dan kemudian ke Madagaskar), yang kiranya telah dimulai sejak beberapa abad pertama Masehi dengan dikuasainya cara pelayaran mengikuti angin muson untuk menyeberangi Teluk Bengal. Ditemukannya sejumlah tembikar India di Sembiran, Bali, membuktikan keberadaan jalur perdagangan tersebut (Bellwood, 2000).
Jalur perdagangan laut yang menjadikan Nusantara sebagai satu-satunya “pintu” bagi kapal-kapal dagang Basrah, Siraf, Oman, Persia, India, dan Srilangka yang akan ke Cina dan sebaliknya, telah melimpahkan bermacam-macam keuntungan bagi masyarakat Nusantara atau setidaknya bagi penguasa-penguasa di Nusantara, baik dalam kaitan dengan pajak yang dipungut dari kapal-kapal dagang yang singgah maupun dari perdagangan antara bangsa dengan komoditas yang menguntungkan. Cina yang menjadi produsen utama sutera dan keramik maupun India yang produsen utama kain katun, membutuhkan hasil hutan, pertanian, tambang, rempah-rempah, dan hasil-hasil produksi yang hanya bisa diperoleh di Nusantara seperti lada, pala, gading, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, timah, emas, permata, malam, mutiara, dan kulit penyu. Keberadaan keramik Cina dari zaman Dinasti Han, Tang dan Song yang banyak ditemukan di candi Ratu Baka dan candi Sewu (Woodward, 1977), dan keramik dari Dinasti Ming yang banyak ditemukan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sulawesi selatan (Lombard, 1972) menunjukkan bukti betapa besar alur perdagangan laut di Nusantara dari abad ke-9 sampai abad ke-17. Demikianlah, kerajaan maritim Srivijaya yang dilanjutkan Majapahit, menuai keuntungan ekonomi sebagai penguasa ‘jalur perdagangan laut’ dari utara (Cina) ke selatan (India, Persia, Basrah, Oman, Madagaskar) dan sebaliknya.
Perdagangan melalui jalur laut di Nusantara tersebut, yang juga sudah dicatat oleh Claudius Ptolemeus dalam Geographike Hyphegesis pada tahun 150 Masehi, berkembang menjadi perdagangan antar bangsa seiring perubahan waktu yang diikuti berkembangnya teknologi kelautan yang dikembangkan penduduk Nusantara. Demikian pula al-Mas’udi, seorang sejarawan Arab yang hidup pada abad ke-9 sewaktu di Kanton melihat kapal-kapal dagang yang berasal dari Basrah, Siraf, Oman, kota-kota India, kepulauan Javaga, Campa dan kerajaan-kerajaan lain (Meynard, 1962). Akibat perdagangan antara bangsa itu, mentalitas penguasa-penguasa yang mengandalkan perdagangan melalui jalur laut ikut berkembang menjadi Kosmopolit, terutama dalam menyikapi perbedaan ras, bahasa, agama, dan adat kebiasaan penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10 seperti Prasasti Kuti yang berasal dari tahun 762 Saka (840 M) yang menyebutkan asal negeri kelompok hamba raja (warga dalem): Cempa (Campa), Kling (Keling), Haryya (India utara), Singha (Srilangka), Gola (Bengali, Cwalika, Tamil), Malayala (Malayalam), Karnnake (Karnataka), Reman (Pegu), Kmir (Khmer), menunjuk pada indikasi kebanggaan raja-raja Jawa memiliki hamba sahaya orang asing, bahkan pada abad-abad berikut para pedagang asing banyak yang menjadi penduduk di kota-kota pelabuhan dan memperoleh kepercayaan raja sebagaimana isi Prasasti Taji dari tahun 823 Saka (901 M), prasasti Kaladi tahun 831 Saka (909 M), prasasti Palebuhan tahun 849 Saka (927 M) tentang para banyaga (pedagang) yang berasal dari India utara (Haryya), India selatan (kling, pandikidya, pandikira), Srilangka (singha), Pegu (Ramman), yang sebagian diberi kepercayaan raja menjadi kilalan (mangilala drwya haji), yakni hamba raja yang ditugasi memungut pajak (Sarkar, 1971-1972).
Melalui mobilitas dan migrasi orang-orang antara bangsa, termasuk para pedagang dari Arab di dalam hubungan perdagangan itu pada gilirannya juga melahirkan pertukaran budaya. Terjadinya kontak budaya melalui perdagangan itu dapat ditunjukkan oleh adanya kosa kata bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa kuna pada masa Kerajaan Kediri sekitar abad XII. Dalam disertasinya, Soetjipta Wirjosoeparto (1960: 259) mengemukakan bahwa paling tidak tiga kosa kata bahasa Jawa Kuna yaitu gedah, gajih dan kaluwa yang terdapat dalam karya Kakawin dan epigrafi zaman Kadiri, berasal dari bahasa Arab. Kata gedah diserap dari bahasa Arab qadah, yaitu gelas minum yang besar. Kata itu akhirnya berubah menjadi gedah karena huruf “Q” diucapkan menjadi “G” menurut ucapan logat bahasa Arab Selatan. Kata gedah tersebut terdapat di dalam kekawin Gatotkacasraya karangan Empu Panuluh. Gedah yang berarti gelas minum merupakan barang perdagangan dari Timur Tengah (Arab). Kata kedua, gajih terdapat dalam Kekawin Bharatayudha, pupuh XIII bait 18, dalam konteks kalimat: ramya n wira sapandawanayuh aghosti pinigajihana n arames musuh. Artinya: “meriahlah di antara orang-orang pahlawan Pandawa; mereka mengadakan tarian tayub sambil bersorak-sorak, sedangkan kepada mereka yang telah membinasakan musuh diberi upah/gajih”. Gajih, dalam arti upah, merupakan serapan dari bahasa Arab jaza’, yang berarti balasan/upah/penghasilan. Sementara itu kosa kata bahasa Arab lainnya yang juga diserap dalam bahasa Jawa kuna zaman Kadiri adalah Kaluwa. Kata itu terdapat dalam prasasti Plumbangan di Wlingi, Blitar (Brandes, 1913 no. LXIX: 160 baris 18). Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat: wnanamanana salwirni kaluwa, artinya: akan mendapat hak untuk makan segala macam kaluwa. Kaluwa adalah makanan yang manis, semacam manisan, yang di dalam bahasa Arab disebut dengan hulwa atau hal(u)wa. Di Langkat, Sumatera Utara, saya mendapati sampai sekarang masih banyak jenis makanan tradisional yang juga dinamakan haluwa ini. Berupa ragam buah-buahan, seperti mangga, kedondong, pepaya, cerme dan sebagainya yang diolah menjadi manisan.
Silang Budaya, Silang Agama
Wahyu-wahyu Islam yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW pada awal abad VII M, tentu saja membawa motivasi baru di dalam hubungan antara kawasan Arab dengan Nusantara, yaitu dakwah atau penyampaian ajaran. Ini digerakkan oleh sabda Nabi yang juga sangat terkenal, “Sampaikan ajaran-ajaran dariku, walau hanya satu ayat”. Catatan sejarah memberitakan para pedagang Persia dan golongan Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi) sudah singgah di kota-kota pelabuhan Sumatera dan Semenanjung Malaya dalam perjalanan ke Cina sejak pertengahan abad ke-7. Cerita-cerita rakyat di Buton, Sulawesi Tenggara, juga mengisahkan kedatangan dua orang sahabat Nabi yang datang dan menetap di sana, sehingga tempat mereka mendarat dan tinggal diabadikan dengan nama mereka, Batauga.
Sebuah cerita kehadiran saudagar Arab (tazhi) pada masa kekuasaan Ratu Simha di Kerajaan Kalingga pada awal abad VIII, diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang yang mencatat suatu peristiwa di mana akibat ulah seorang saudagar Arab yang tidak memercayai bahwa di wilayah Kalingga tidak ada penduduk yang melakukan tindak kejahatan – kemudian saudagar Arab itu menguji penduduk dengan menaruh emas satu peti di jalan yang ternyata tidak disentuh siapa pun sampai dua tahun – telah mengakibatkan putera mahkota Kalingga dipotong kakinya gara-gara menendang peti emas tersebut (Groeneveldt, 1960). Sebuah spekulasi juga pernah dilontarkan, bahwa fakta Ratu Simha menerapkan hukuman potong tangan atau kaki untuk para pencuri menunjukkan suatu pengaruh dari Arab.
Prof A.Hasjmi (1979) yang mengulas naskah tua berjudul Idharul Hak Fi Mamlakatil Peureulak karangan Syekh Ishak Makarani Al-Pasi mengungkapkan bahwa Islam masuk ke Peureulak sekitar tahun 173 H (800 M) bersama datangnya sebuah kapal yang dipimpin Nahkoda Khalifah yang membawa 100 orang juru dakwah asal Arab Kuraisy, Palestina, Persi dan India. Mereka itu menikahi perempuan setempat dan beranak-pinak. Seorang pemuda Arab Kuraisy keturunan Ali Bin Abi Thalib yang bernama Sayid Ali menikahi adik kandung Raja Peureulak, Meurah Syahir Nuwi. Dari pernikahan itu lahir Sayid Abdul Aziz yang menikah dengan putri Makhdum Khudawi, putri sulung Raja Meurah Syahir Nuwi. Pada 1 Muharram 225 H (840 M), Sayid Abdul Azis dinobatkan menjadi sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah.
Betapa sangat intensifnya perjumpaan bangsa Arab dengan wilayah Nusantara, terutama wilayah Sumatera, sehingga di dalam Sajarah Melayu disebut: “Hatta maka tersebutlah perkataan sayyidi Ali Ghiyatsuddin muwafakat di negeri Samudera Pasai, [awal abad ke 14] dengan segala menteri yang tua-tua; ia berbuat sebuah kapal dan membeli dagangan Arab, karena segala orang Samudera pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.” Nama Pasai sendiri menurut J.L.Moens berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’se (Hasjmi, 1989).
S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut Loram dan Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah petunjuk yang mengarah kepada kebenaran berita tersebut. Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang dikutip dalam Primbon Ramal Jayabaya susunan R Tanaya (1956), diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenis makhluk halus, Sultan Al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000 keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000 keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak yang mati dan tersisa hanya 200 keluarga. Mendapat laporan itu, Sultan al-Gabah marah dan mengirim ulama, orang sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang “tumbal” guna mengusir makhluk-makhluk halus. Akibat keampuhan “tumbal” para ulama, orang sakti dan syuhada, terjadi pralaya (kebinasaan besar) di Jawa.
Di dalam babad-babad lain juga diceritakan bahwa Prabu Jayabaya, raja Kediri yang besar, mempunyai seorang guru spiritual dari Persia yang dalam lidah Jawa disebut Syekh Samsujjen, yang makamnya diyakini masyarakat Kediri sekarang ada di Setono Gedong Kediri dengan nama (aslinya) Syekh Syamsudin al-Washil. Jejak pertukaran budaya dari hubungan tersebut ditunjukkan pada ilmu meramal yang dimiliki oleh Sang Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal dan masih dipercayai hingga hari ini, dalam berbagai serat “Ramalan Jayabaya”. Menurut sejarawan Prancis, Denys Lombard, kata “ramalan” berasal dari bahasa Arab “ar-ramal” yang berarti “pasir”. Jejak lain dari peninggalan Prabu Jayabaya juga dapat dilihat dari rajah-rajah kesaktian dalam kultur Jawa yang masih “dipakai” hingga hari ini, juga menggunakan angka-angka dan huruf hijaiyah Arab. Kehadiran dan pengaruh para syekh ini juga terekam dalam kitab yang lebih tua zaman Prabu Airlangga, Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Sedah, di mana seperti terjemahan kutipan Ir. Sri Mulyono dalam buku “Asal-Usul Wayang” terdapat ungkapan metaforik yang menggambarkan rumpun pohon bambu yang merunduk menyentuh sungai digambarkan seperti orang berkopiah sedang merunduk menghirup dan berkumur mengambil air (untuk wudlu).
Demikianlah, sekalipun dakwah Islam di Nusantara sudah dilakukan sejak pertengahan abad ke-7, namun Islam sebetulnya berkembang lambat sekali di kalangan penduduk bumi putera. Islam masih dianut oleh pedagang-pedagang dan pendatang dari Arab, Persia, India, dan Cina. Dalam tujuh kali muhibahnya, Cheng Ho yang menjadi legenda bagi penduduk Nusantara dalam sejumlah historiografi lokal, dikisahkan meninggalkan mubaligh-mubaligh untuk berdakwah di Jawa dan Sumatera. Namun para mubaligh tersebut belum bisa menyebarkan secara luas ajaran Islam di kalangan penduduk pribumi. Haji Ma Huan yang mengikuti perjalanan ketujuh Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara tahun 1431-1433 Masehi, menuturkan bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk. Golongan pertama, adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Golongan kedua, adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik, dan banyak di antara mereka yang memeluk Islam serta taat melaksanakan ibadah agamanya itu. Sedang golongan ketiga, adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang, dan mereka sangat memuja roh (Arnold, 1913; Budiman, 1978; Hirth,196).
“Arab Digarap, Jawa Digawa”
Ketika Kerajaan Majapahit dengan peradaban Hindu-Budha-nya mengalami kemerosotan karena perang saudara yang berlarut-larut, di antara para bangsawan dalam memperebutkan tahta kerajaan sepeninggal Prabu Hayam Wuruk, yang menyebabkan demoralisasi dan krisis tatanan nilai besar-besaran di semua sektor kehidupan, berdirinya Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak pada akhir abad XV, merupakan momentum penting dalam konteks pertemuan budaya antara kawasan Arab dengan Jawa. Kerajaan Demak yang disangga oleh para tokoh-tokoh spiritual yang sangat mumpuni, yang dikenal dengan Walisanga, segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengembangkan agama sekaligus membangun kembali secara baru Peradaban Jawa yang sedang runtuh tersebut. Prinsip terpenting yang dikembangkan dalam proses transvaluasi nilai-nilai lama dan melahirkan nilai-nilai baru itu adalah “keselarasan” dan keseimbangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sunan Kalijaga, tokoh penting Walisanga dalam proses transvaluasi ini, di dalam suluk Syekh Melaya: “anglaras ilining banyu, angeli tan keli” (menyelaraskan berbagai aliran air di dalam sungai, ikut mengalir tapi tidak terbawa arus).
Prinsip keselarasan ini menjadi sangat signifikan, karena rupanya, bersamaan dengan merosotnya Hindu-Budha di lingkungan brahmana dan ksatria Majapahit, dibarengi dengan kemunculan kembali agama-agama rakyat kuno pemujaan leluhur Jawa di satu sisi dan di sisi lain oleh gerak pasang Peradaban Islam di berbagai kawasan dunia seperti Imperium Turki Utsmani di Timur Tengah, Imperium Moghul di India dan Imperium Shafawiyah di Persia, yang gelombang ekspansinya juga melanda kawasan-kawasan pesisir Nusantara.
Kisah simbolik mengenai peralihan damai dan kesinambungan serta keselarasan ruhani antara Peradaban (Hindu-Budha) Jawa ke Peradaban (Islam) Jawa, dikisahkan oleh Elizabeth Inandiak melalui adaptasi dari tembang-tembang dalam Serat Centini, dalam dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Yudhistira:
~~
Kalijaga berupaya menemukan kiblat di kerimbunan hutan, menghadap ke Mekah, selesai menyebut nama Allah, Bismillahirrahmanirrahim, lalu menggurat di tanah sepenuh empat deret kali empat baris, ke enam belas bilangan empat angka surat Al-Fatiha yang ia baca dalam hati dan ia tebarkan di hembusan napasnya. Mantra angka itu menggetarkan nyanyian serupa di dada Yudhistira dan tangan kanannya tiba-tiba membuka, melepaskan jimatnya. Itulah sebuah daun pandan halus dan digulung dan diikat benang sutera. Kalijaga membuka simpul benang itu dan membaca: Kalimasaada.
Yudhistira masih terpana:
Itu nama buku wasiat yang berkekuatan menghidupkan kembali para pahlawan yang mati belum waktunya. Tapi kematianku sebaliknya tak kunjung tiba. Kecuali barangkali bila membaca kelima usaada, kelima obat sang buddha untuk melewati kehidupan tanpa terlalu duka.”
Kalijaga berbicara, hati-hati tetapi pasti:
Oh, raja Yudhistira, masing-masing membaca melalui mata keyakinannya. Melalui mata baru Islam, aku membaca kalimah syahadat, pernyataan orang-orang Islam bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Adapun paduka tidak menemukan jalan kematian, itu karena terikat pada jimat, tiada lain adalah agama bentuk, agama paduka, agamaku dan agama lain–lain yang bahkan kita belum kenal. Mesti agama adalah pedoman mutlak manusia di dunia, ia bisa menjadi rintangan saat waktu tiba untuk meninggalkan raga demi kemanunggalan kawula gusti. Untuk mati dalam kemanuggalan, kita harus bisa melupakan rupa dan tak menyebut lagi. Kita harus naik menuju niat tunggal yang memancarkan kebhinekaan rupa dalam sebutan. Oh raja Yudhistira, begitulah paduka telah terbebaskan dari segala rintangan.
Yudhistira membuka kotak itu dan dari dalamnya mengeluarkan daun lontar yang diatasnya tergurat lima sosok: dirinya dan keempat saudara pandawanya. Ia membeberkan sisilah marga bharata, sejak malam perkawinan Shantanu dengan Dewi Gangga serta mengisahkan Bharatayudha kepada Kalijaga:
“Semoga saudara bisa menceritakan kisah ini sebagai renungan kenangan wajib. Untuk itu, dandanilah sosok-sosok itu dengan kulit seekor kerbau, hiasilah dengan tulangnya yang ditumbuk halus dengan bubuk berwarna dan gerakkanlah mereka dengan tanduk kerbau tadi yang dihaluskan menjadi tongkat tangkas. Namailah pagelaran wayang karena, lihatlah saudaraku, baru saja rupa sirna, bayangannya berkilau sudah.’’
Raja Yudhistira lalu langsung redup dalam pancaran aram temaram, ia berhasil naik ke surgaloka. Kalijaga mengubur jenasahnya di kaki beringin secara Islam dan pergi menyusuri jalan–jalan di Tanah Jawa untuk menyiarkan Nur Muhammad berbekal Quran serta kotak wayang.’’
~~
Tampak, medium peralihan damai dan kesinambungan yang selaras itu ditandai dengan digunakannya seni pertunjukan wayang. Memang, pertunjukan wayang sebagai ritual pemujaan leluhur sudah dikenal orang-orang Jawa sejak zaman pra-sejarahnya. Namun, para wali kemudian melakukan pembaharuan format pertunjukan wayang secara dinamis, estetis dan fungsional sebagai medium pendidikan masyarakat. Sebagaimana diakui oleh Th.G.Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938). Ia menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Walisanga terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.
Para wali di dalam Dewan Walisanga banyak bermusyawarah untuk mengembangkan rumusan-rumusan ajaran dasar Islam secara tepat untuk diselaraskan dengan berbagai kecenderungan keagamaan, budaya dan kesadaran yang sedang saling bersaing silang sengkarut di tengah-tengah masyarakat. Demikianlah, sambil memasukkan nilai-nilai baru yang dibutuhkan masyarakat, seperti sabar, lilo, ngalah, iklas, musyawarah, mufakat, adil, akal, nalar, dan sebagainya, pada saat bersamaan beberapa ajaran Islam dipribumisasikan ke dalam istilah yang sudah dikenal masyarakat seperti kalimat syahadat dikenalkan sebagai kalimasada, shalat disebut dengan sembahyang, shaum/shiyam dikenalkan sebagai puasa (upawasa) dan sebagainya. Demikian juga, mulai diselaraskan pula sistem penanggalan antara kalender Hijriyah dari Arab dengan kalender Saka dan Jawa, yang nanti baru efektif diberlakukan pada masa Sultan Agung di Mataram.
Tidak lupa, para Walisanga juga menggali khazanah kuno Jawa yang tertulis dalam naskah-naskah berbahasa Kawi peninggalan kerajaan-kerajaan sebelumnya, dari Mataram Kuno sampai zaman Majapahit. Kitab-kitab tersebut, dibaca ulang, ditafsirkan kembali, diselaraskan dengan ajaran-ajaran (terutama tasawuf) Islam untuk kemudian diajarkan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Hasil dari kajian dan kerja para wali dan komunitas keilmuan yang mereka bentuk saat itu, menghasilkan suatu model “perpaduan” yang khas, yang kelak mudah disalahpahami sebagai sinkretis. Seperti termuat dalam Serat Centini, ada kisah mengenai “Pêrmusyawarataning para dewa”, yang secara ringkas:
~~
Hyang Basuki nêranakên wêjanganipun Peksi Rukmawati bab cahyaning gêsang, anasir latu, bumi, angin, toya//Bhatara Basuki (Sriyana) bab pralambanging aksara Jawi, pasangan, sandhangan tuwin rekan//Hyang Endra bab ênêng-êning//Bhatara Wisnu bab lênggahipun aksara Arab ing awakipun manungsa, sarta minangka pralambanging ngèlmu agami. Dumadakan gègèr, jagad horêg, para jawata sami dhawah kantu, wungu sami kêsupèn ing sadaya ingkang winêdhar, kajawi Bhatara Wisnu ingkang têtêp èngêt.//Miturut Ngusmanajid, gurunipun Wisnu, dununging bumi, dahana, maruta, tirta ing badaning manungsa awujud jasat, napsu, napas, rokyat.//Hyang Guru ngêmpalakên sakathahing kawruhipun para dewa, kaimpun dados “Sastra Jendra Yuningrat” ingkang kajlèntrèhakên, ananging têtêp dados kêkêraning dewa”.
~~
Rumusan-rumusan ajaran dan nilai-nilai baru di atas, yang dilakukan dengan prinsip kerja penyelarasan “Arab Digarap, Jawa Digawa”, ditulis dalam bentuk popular cerita-cerita dan tembang-tembang, suluk serta serat-serat. Di samping penyebaran melalui media cetak (para Walisanga juga membawa teknik produksi kertas ke Jawa), ajaran dan nilai-nilai baru di atas disebarkan melalui medium-medium seni musik, suara, gambar, tari dan lain-lain, yang puncak dari kolaborasi berbagai seni itu diwujudkan dalam bentuk pagelaran wayang kulit. Pertunjukan seni dan pagelaran wayang, di samping untuk keperluan pendidikan masyarakat, juga menghibur dan menjadi sarana memakmurkan desa.
Bubukane dennya nedhak/ nukil Srat Kalimasada/ pan katedhak ing dalancang/ dados ringgit beber nama// Kalampahan jaman purwa/ kang dados kalangenannya/ ingkang amengku nagara/ ila-ilane punika// Anggemahaken ing desa/ barekat mupakat barkat/ ing ratu tumrah sapraja//
(Pembukaan lakon wayang ini dinukil dari Serat Kalimasada, yang dipindah di atas kertas, sehingga menjadi wayang beber. Ini adalah cerita dari zaman purwa, menjadi kegiatan menghibur milik negeri, untuk memakmurkan desa, dengan penuh keberkahan dan mufakat dari sang raja dan seluruh rakyat negeri).
Kebanyakan Walisanga adalah seniman, pendakwah dan ulama sekaligus. Mereka pandai memainkan wayang, gamelan dan menciptakan tembang-tembang. Salah satu yang terkenal adalah Sunan Kalijaga. Beliau dikenal dan dikenang oleh seantero penduduk Jawa sebagai seniman dan pendakwah yang berkeliling ke berbagai penjuru tanah Jawa menyebarkan agama Islam melalui berbagai kesenian. Sebagaimana dikisahkan oleh Babad Cirebon berikut ini:
Dadi dadalang kekembung/ anama Ki Seda Brangti/ apahe yen ababarang/ ika kalimah kakalih/ singa gelem ngucapena/ ya dadi tanggane nyuling// Sakedap dadalang pantun/ sang pajajaran dumadi/ akeh Islam dening tanggapan/ katelah dalang pakuning/ sakedap dadalang wayang/ maring Majapait dumadi// Akeh Islam dening iku/ katelah dalang kang nami/ sang Koanchara konjara purba/ tanggape bari gampil/ mung muni Kalimah Sahadat/ dadi akeh sami Muslim//
Keragaman Bahasa, Kemampuan Menafsir, dan Kosmopolitanisme Bangsa Jawa
Alexander Sudewa, dalam kajiannya terhadap mengenai fungsi Kawi dan pujangga dalam kasus Serat Dewa Ruci, menemukan bahwa sejak masuknya Islam ke Nusantara, berbahasa Arab membantu orang-orang Nusantara memaknai bahasa secara berbeda dari cara orang-orang Hindu-Budha dulu. Sebelumnya, bahasa lebih merupakan mantra atau yantra. Setelah kedatangan Islam, bahasa mulai bertransformasi. Berkat pengaruh bahasa Arab, berbahasa mulai identik dengan cara menafsirkan yang tepat dan ‘membebaskan’. Para Walisanga dan generasi pelanjutnya mengangkat istilah “patitis kang mardikani”, yang semakna dengan tafsir dan ta’wil dalam literatur Islam (Ahmad Baso: Pesantren Studies, 2012, hal 22-23). Konsep “patitis kang mardikani” dan bagaimana itu membantu orang Jawa membaca teks secara dinamis dan transformatif, kita temukan dalam satu bait dalam Serat Cebolek:
Punapa malih rasaning kawi/ Bima Suci kalawan Wiwaha/ Pan sami keh sasmitane/ Ngenting rasaning ngelmu/ Yen patitis kang mardikani/ Kadyangga Kawi Rama/ Punika tesawuf//
(Makna serat-serat kawi seperti serat Bima Suci dan [Arjuna] Wiwaha diungkap dalam bahasa-bahasa kiasan yang menguasainya bisa mendalami ngelmu asalkan menafsirkannya dengan titis dan mardika, demikian pula serat Rama dalam bahasa Kawi, semua itulah [ajaran] tasawuf)
Demikianlah, tampak bahwa para Walisanga di samping menyampaikan materi ajaran-ajaran secara sederhana dan popular melalui berbagai medium teks, mereka melalui berbagai teks itu ternyata juga mendidik masyarakat untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam menggunakan akal mereka untuk menafsirkan teks, bahasa-bahasa kiasan, sehingga mereka tidak terikat kepada “agama bentuk” tetapi dapat membebaskan diri dari “agama bentuk” itu untuk tujuan-tujuan mengenal dan manunggal dengan Tuhan secara lebih baik. Dengan kata lain, dalam kutipan di atas, tasawuf.
Dalam jangka panjang, kemampuan dalam menafsirkan teks, membebaskan diri dari “agama bentuk” serta dan meningkatnya pengenalan dan kemanunggalannya dengan Tuhan akan mendewasakan keberagamaan orang-orang Jawa dan mendidik mereka untuk mempunyai sikap toleran. Tentang toleransi orang Jawa ini, ada termuat dalam Serat Centini:
Sampun tamat cariyosing para nabi// kang mêngku sarengat// jêjêripun nênêm nabi// mirib kang kasêbat Kitab.// Mèsêm-mèsêm Ki Ajar ngandika aris// kulup ingsun rasa// laku-lakuning agami// Buddha lawan kanabeyan.// Amung gèsèh laku nanging jogge sami// andhêku rahadyan.
(Terjemah bebas: Sudah selesai uraian ceritera tentang para Nabi yang memegang syariat seperti disampaikan oleh Jayengsari dari Kitab Bayanudayan. Dengan tersenyum bijak, Ki Ajar berujar, ‘Kulup [Anakku], kurasa perbedaan antara tata-cara agama Budha [agama pra-Islam yang dianut komunitas Tengger] dan tradisi para Nabi itu sungguh hanya terletak pada soal cara dan laku; sedangkan tujuannya sendiri adalah sama’. Jayengsari tunduk mengiyakan …)
Berkembangnya Kebudayaan melalui baik teks maupun seni pertunjukan, menyebarnya pengetahuan melalui penggunaan bahasa yang beragam dan dengan pikiran yang terbuka serta jiwa yang toleran, pada gilirannya akan membangun peradaban Jawa tumbuh menjadi kosmopolitan. Suatu kutipan fragmen “Gatholoco Bantah Kalihan Guru Tiga” dari Suluk Gatholoco (Sastradipura, 1905) menunjukkan bagaimana kosmopolitanisme semacam itu ditunjukkan oleh santri-santri Pesantren yang merupakan hasil dari pengembangan strategi kebudayaan para Walisanga di atas:
Kawruh Landa, Jawa, Cina// Myang Bênggala Koja Turki lan Kêling// Kabeh iku wus kacakup// Sun simpen aneng kasang// Kawruh Arab ajar timur kongsi lamur// Ngelmu Jawa nora kurang// Dhasar ingsun bangsa Jawi
(Pengetahuan tentang bahasa-bahasa Belanda, Jawa, Cina, Bengali [Persia], Koja [Arab], Turki dan Keling [India, Sansekerta]. Kami santri bertiga [Mat Ngarip, Ngabdul Jabar, Ngabdul Manap dari Pesantren Arjasari] sudah menguasai semuanya, kami punya semua [kamusnya] di dalam tas kami, kami mempelajari bahasa Arab dari masa muda hingga di masa tua. Demikian pula Ngelmu Jawa [kami sudah kuasai], tiada satupun yang kurang karena kami sendiri adalah orang-orang Jawa …)
***
Sumber Gambar:
Lukisan karya Hardi berjudul “Guru Bangsa Kanjeng Gusti Abdurrahman Wahid, Senopati Kalifatulah, Panotosomo ing Nusantara”, 2018.
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
Pemikiran Filosofis KAS
ama seperti hidupnya, tulisan-tulisan KAS juga dicirikan oleh gagasan tentang pencarian “kebahagiaan”, atau sebuah kondisi psikologis yang mirip dengan “kebebasan spiritual”. Pertama kali dikenal sebagai Kawruh Beja, pemikiran filosofis ini di kemudian hari lebih sering disebut dengan Kawruh Jiwa atau Ilmu Jiwa (Science of the Soul) atau Ilmu tentang Pengetahuan Diri (Science of Self-knowledge). Perubahan istilah tersebut agaknya ditujukan untuk lebih memberi penekanan makna pada pencapaian pengetahuan seperti itu, yang tidak disangsikan lagi berhubungan erat dengan refleksi-refleksi mendalam penggagasnya.1
Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang. Meski manusia juga adalah makhluk dengan kebutuhan dasar sebagaimana binatang—misalnya kebutuhan bertahan Hidup (pangupa jiwa) dan melanjutkan keturunan (lestantuning jenis)—namun kemudian manusia berbeda dengan mereka karena manusia menyadari kebutuhan-kebutuhan tersebut (raos gesang/awareness of life). Konsep kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang umumnya dipahami oleh manusia pada dasarnya bersumber dari kondisi terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
Lebih lanjut, sekali kebutuhan dasar itu terpenuhi manusia kemudian menyadari kebutuhan-kebutuhan sekunder yang muncul dalam imajinasinya. KAS memberi contoh demikian: ketika manusia haus, dalam imajinasinya kemudian muncul gagasan tentang teh, kopi, atau bir, sementara ada jenis cairan lain yang sebenarnya lebih bisa menghilangkan dahaganya, yaitu air putih (kebutuhan mendasar yang dirasakan semua orang). Manusia kemudian menjadi korban dari kebutuhan-kebutuhan yang diandaikannya sendiri, yang bersumber dari hasratnya (karep). Hasrat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia dan sering disalahpahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri: manusia adalah hasrat (karep punika tiyang). Ketika masih berada di dalam kandungan ibu, sudah ada hasrat, yaitu hasrat lahir. Hasrat itu abadi (karep punika langgeng), suatu waktu bisa menimbulkan kebahagiaan, sementara di lain waktu dapat menyebabkan kesengsaraan, dan dua perasaan ini akan selalu hadir dalam diri manusia sebagaimana hasratnya—keduanya adalah keabadian manusia (manusia itu abadi sebab hasratnya tidak mengenal awal atau akhir).2
Beberapa jenis hukum nampaknya mengendalikan kehidupan hasrat-hasrat ini: meski sebuah kebutuhan mungkin telah terpuaskan, namun mungkin ia akan melahirkan tuntutan baru yang mendesak untuk diwujudkan (mulur atau mengembang); sementara sebuah kebutuhan yang tak terpuaskan, meski ia masih ada, namun kurang penting/mendesak untuk diwujudkan (mungkret atau menyusut). Hasrat ini begitu berpengaruh terutama di tiga ranah yang telah terdefinisikan secara jelas: kemakmuran (semat, kecenderungan umum terhadap kenikmatan material), pengakuan publik (drajat, posisi orang dalam hierarki sosial), dan kekuatan magis (kramat). Pengalaman tidak membahagiakan yang berlangsung lebih dari tiga hari berturut-turut biasanya akan mendorong orang untuk mencari/melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Ajaran penting KAS lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”3 Semua tulisan KAS dicirikan oleh contoh-contoh yang didasari oleh prinsip ini.
Sebuah contoh mungkin cukup untuk menjelaskan: seseorang yang akan menikahkan anaknya terobsesi untuk memberikan layanan terbaik kepada tamu-tamunya dengan menyuguhkan hiburan wayang kulit kepada mereka, namun dia ternyata tidak cukup punya uang sehingga diliputi kecemasan. Dia bingung harus dengan jalan seperti apa mencari pinjaman dalam jumlah sebesar itu. Jika dia tidak berhasil mendapatkan pinjaman, dia akan menemukan dirinya berada dalam situasi yang memalukan dan akan menanggung rasa malu (wirang). Namun hal ini tidak akan berlangsung lama, sebab setelah acaranya selesai, betapa dia merasa lega karena (ternyata) dia tidak perlu menanggung hutang.4
Hasrat terhadap semat–drajat–kramat terjadi apabila masing-masing di antara kita hanya dikendalikan oleh kesenangan kita sendiri, memanjakan egoisme, dan bertindak sewenang-wenang. Hal itu kemudian tidak hanya akan menjadi sumber kecemasan (sumelang) dan penyesalan (getun), tetapi juga akan menimbulkan persaingan sosial dan ketidaksetaraan. Barang siapa yang belum memiliki sesuatu maka mereka akan cemburu (meri), sementara bagi yang telah memilikinya maka mereka akan takut kehilangan apa yang dimilikinya itu. Mereka cenderung akan mencari sesuatu yang dapat menimbulkan kenyamanan diri dan menyingkirkan sesuatu yang kurang menguntungkan/menyenangkan.5
Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang.
KAS menyebut “kramadangsa” untuk menjelaskan bagian dari diri kita yang mendorong kita untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang sehingga membuat kita bertindak sewenang-wenang (mila kramadangsa punika mesthi padhos sakeca pribadi lan mboten parduli tangga inggih punika ingkang murugaken sewenang-wenang).6 Kramadangsa juga yang membuat kita memercayai kenyataan yang hanya kita kehendaki dan menghalangi kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya ketimbang hanya kesan-kesan yang kita miliki tentangnya. Ia bersemayam dalam kesadaran seseorang dan menghalangi munculnya diri sejati (true self), diri yang bebas dari gejala-gejala. Pendek kata, “diri yang terjebak dalam gejala-gejala” (contingent-self) ini kemudian akan diseimbangkan oleh “diri yang sejati” atau “Aku” (essential-self). Hasilnya adalah manusia semakin menyadari eksistensinya serta dorongan-dorongan untuk melakukan refleksi dan menambah pengetahuannya. Dia juga mampu membuka tirai penghalang (aling-aling) yang menutupi dunia batinnya (inner being). Hasilnya, dia akan semakin tahu tentang “kesadaran diri” yang sejati (raos aku).
Kita telah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: “Suryomentaram dudu aku” (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses “menemukan diri yang baru” itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Tak ada tukang perahu yang bisa menyeberangkannya. KAS memutuskan untuk berenang menuju bibir sungai di seberang, namun aliran sungai yang deras justru menyeretnya. Dalam kondisi nyaris tenggelam itu, tiba-tiba menjadi jelas dalam pikirannya bahwa kenekatannya menyeberangi sungai itu dipengaruhi oleh hasrat untuk mengakhiri hidup (karena dia baru saja kehilangan istri pertamanya). Sosok Suryomentaram yang bersemangat itu, yang berangsur-angsur hilang di dalam air, sama sekali berbeda dengan sosok yang telah muncul ke permukaan kemudian—sosok itu telah berubah menjadi “diri yang tenteram”.7 Dia pun berkata, “Ini bukan saya” (dudu aku).
Orang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang) agar bisa membedakan momen-momen yang menyenangkan dengan momen-momen yang menyusahkan untuk mempertajam rasa-nya. Ini adalah persoalan waktu dan latihan. Pendekatan KAS ini tiada lain adalah introspeksi (pengawikan pribadi atau mawas diri).8 Pendekatan ini sepenuhnya bersifat individual, meski hal ini juga tidak menutup kemungkinan bantuan dari orang lain: untuk memastikan bantuan orang lain seseorang harus berdialog dengan dirinya sendiri terlebih dulu, menanyakan tentang penilaian-penilaian orang lain tentang dirinya, lalu melihat posisi mereka kembali, melihat “dari dampak-dampaknya, lalu penyebab-penyebabnya” (from effects to the causes).
Perasaan bahagia bukanlah antitesis dari perasaan tidak bahagia, melainkan muncul dari rasa tenteram dan bebas yang dihasilkan dari kemampuan seseorang dalam menghadapi eksistensinya sendiri. Orang mestinya lebih fokus untuk menemukan “kesadaran diri”, bukan “kebahagiaan”, sebab yang kedua hanyalah akibat dari yang pertama. Ketika kebahagiaan itu hadir dari eksistensi manusia yang terdalam (Aku), maka ia sama dengan kesadaran diri itu sendiri. Ketika orang diliputi oleh kebijaksanaan ini, maka satu-satunya kemungkinan yang dimilikinya dalam bertindak adalah sifat tangguh (tatag), nasibnya tidak akan lagi ditentukan oleh kejadian-kejadian di sekitarnya (tak lagi mempersoalkan di mana, kapan, dan bagaimana kejadian-kejadian itu terjadi). Untuk memutus jeratan siklus takut akan masa depan dan menyesali masa lalu,9 dan untuk mendapatkan hasil akhir dari perpotongan antara perasaan bahagia dan tidak bahagia, orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya). Jika Suryomentaram menginginkan kopi ketimbang teh untuk mengatasi dahaganya, maka “ego” (aku) hanya akan memerintahkan untuk mengambil segelas air putih.
Stabilitas personal merupakan syarat utama bagi keteraturan sosial. Pada kenyataannya, hasrat manusialah yang membujuk atau memaksa kehendaknya untuk memandang orang lain atau dirinya sendiri sebagai korban ketidaksetaraan. Salah satu contoh yang sering digunakan oleh KAS diambil dari konteks kehidupan keluarga: sangat sering orang-orang yang sedang bahagia akan menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anak mereka; bisa disebut bahwa cinta mereka itu sebagian datang dari tanggung jawab terhadap keturunan-keturunan mereka dan sebagiannya lagi muncul dari perhitungan untuk mendapatkan bantuan dari si anak kelak ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan di usia tua; mereka juga dapat memindahkan harapan-harapan mereka tentang kesuksesan hidup kepada anak-anak mereka.10
Contohnya adalah, jika anak mereka tidak naik kelas, maka mereka akan marah. Mereka bisa jadi mengajukan alasan macam-macam, namun alasan yang sebenarnya mendasari kemarahan mereka itu tiada lain adalah adanya rasa takut untuk melihat hancurnya harapan-harapan mereka. Orang tua semestinya menyadari tentang hakikat perasaan-perasaan mereka dan, konsekuensinya, memahami bahwa kemarahan tersebut sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri, dari egoisme mereka, karena tidak naik kelasnya si anak sebenarnya disebabkan oleh motif yang sepenuhnya berbeda (misalnya bukan untuk menghancurkan harapan orang tua—penerj.). Selanjutnya, kritisisme terhadap anak mereka itu tidak lagi bersumber dari kemarahan, melainkan dari perasaan damai (raos dame), dan penilaian akan diambil berdasarkan alasan-alasan bahwa si anak mungkin tidak termotivasi untuk belajar. Ini adalah cinta sejati; ia terlihat dengan jelas ketika seseorang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri. Cinta sejati akan menciptakan harmoni dan mengantarkan pada kedudukan yang sama antara orang tua dan anak (raos sami). Terlepas dari perbedaan-perbedaan individual yang dimiliki manusia, kaya atau miskin, raja atau kuli, naik–turunnya hidup itu memiliki cara yang sama karena dilihat secara psikologis setiap orang itu pada dasarnya setara. Untuk mengetahui dirinya sendiri, seseorang harus mengetahui orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan (ngraosaken raosing tiyang sanes). Kepekaan sosial ini oleh KAS disebut sebagai “Ukuran Keempat” (Ukuran kaping IV). Dengan cara yang sama, ketika seseorang berpikir “dudu aku” saat dia mengetahui munculnya dorongan untuk mementingkan diri sendiri, dimensi keempat ini juga akan memberi bisikan kepadanya untuk mengatakan “dudu kowe” ketika dia melihat apa yang telah orang lain perbuat. Adanya cinta dan rasa saling hormat merupakan ciri dari sebuah masyarakat di mana dimensi keempat ini telah berlaku.11
Bukan hanya muatan dari prinsip-prinsip umum ajaran KAS yang akan disampaikan di sini, karena dalam sejumlah ceramah yang digelarnya KAS juga melihat cara-cara tertentu di mana filsafatnya itu dapat dipraktikkan. Dalam menjalani kehidupannya (lelampahing gesang),12 seorang individu akan menjumpai beragam situasi di mana dia mungkin dapat menemukan dirinya, karena dia juga memiliki beragam kepentingan, di mana setiap kepentingan itu membutuhkan sebuah tanggapan yang memadai. Kepentingan-kepentingan tersebut mengemuka dalam berbagai aspek penting kehidupan, meliputi: kepemilikan materi, pengakuan publik, kekuasaan, keluarga, kelompok, bangsa, pengetahuan, spiritualisme (kebatinan), dan kemampuan atau kapasitas (kesagedan).13
Selanjutnya, ada banyak kejadian yang akan menandai periode-periode sulit dalam hidup seseorang, di antaranya munculnya perasaan cinta di usia remaja, memilih pasangan, situasi-situasi tertentu dalam kehidupan berumah tangga, pendidikan anak, dan menjelang ajal.14 Dalam situasi-situasi tersebut sangat penting bagi manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhannya dan mengetahui hal apa saja yang bakal merintangi perkembangan kepribadiannya. Hasrat seksual misalnya, harus diterima sebagai konsekuensi dari kebutuhan vital itu; ia baru bisa disalurkan secara penuh hanya melalui kehidupan perkawinan, sebuah konteks yang paling pantas untuk melahirkan keturunan. Menghargai pasangan, yakni menerima perbedaan-perbedaan yang dia miliki, harus menjadi dasar bagi cinta dalam perkawinan (di antara sekian hal, KAS menekankan pentingnya monogami dan cinta pengasuhan/parental love).15
KAS agak berhati-hati dalam menjelaskan situasi-situasi yang menguji perjalanan hidup seseorang (pengalaman pahit getir): kematian orang tua atau perceraiannya ketika muda dulu, kematian saudara atau teman, sakit, perselingkuhan, membina rumah tangga, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan lain-lain. KAS menunjukkan bahwa sebuah pelajaran/hikmah itu bisa diambil dari beragam peristiwa tersebut yang akan membantu kita menjaga atau memulihkan keseimbangan psikologis kita.16
Kekhawatiran tentang hal-hal yang terjadi di alam metafisik merupakan akibat dari pengingkaran seseorang terhadap hakikat (kehidupan) manusia. Jiwa manusia, sebagaimana orang dengan hasrat-hasratnya, tidak memiliki awal dan akhir: jiwa itu mendiami tubuh manusia untuk sementara waktu, lalu menghilang dan kembali lagi ke alam semesta (Alam Agung). Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan kematian? Dengan melihat lebih dekat hasrat-hasratnya, manusia menjadi lebih mampu berbuat yang terbaik, karena manusia mampu membuat jarak antara dirinya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin kematian sedikit perlu dikhawatirkan apabila manusia itu bereinkarnasi menjadi babi hutan (celeng); nasib babi itu berbeda dengan nasib manusia, tetapi tidak lebih baik atau lebih buruk dari nasib manusia. Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, KAS melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).17 KAS berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, KAS juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.18
Orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya).
Aspek penting lain dari ajaran KAS berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kesanggupannya berjuang bersama para nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas intelektual mereka telah terlihat jelas; begitu juga dukungannya terhadap para priyayi terpelajar dalam mendorong keterlibatan para petani kesultanan dan aksi-aksi protes ketika muncul gagasan bahwa nasib negara akan ditentukan oleh penggunaan kekuatan (militer). Keyakinan-keyakinan politiknya selalu merefleksikan salah satu perhatian utamanya: hormat terhadap orang sebagai wujud dari hormat terhadap diri sendiri. Dalam menjelaskan realitas kolonial, dia begitu menekankan konsepsi tentang eksistensi individu berdasarkan titik pijak nasional. Jika orang-orang Indonesia sanggup menanggung penderitaan akibat kolonialisme dalam waktu yang lama, hal itu bukan karena kebiadaban (angkara-murka) yang dilakukan oleh Belanda, bukan pula merupakan sebuah takdir (sampuh pinasthi); kondisi itu lebih karena mereka tidak tahu siapa mereka, mereka tidak memiliki identitas sebagai bangsa. Apa itu bangsa? Bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang yang berbagi kepentingan yang sama itu dikelola? Apa peran kelompok Kebudayaan tersebut? Apakah persatuan kelompok ditentukan oleh peran sosial masing-masing kelompok untuk saling melengkapi satu sama lain? Jawaban KAS secara meyakinkan menekankan pada pengakuan nasional atas tanggung jawab individu dalam urusan-urusan bersama, sebuah ekspresi dari sikap aku duwe negara, “saya punya negara”.19
Dalam dunia yang kacau di awal ’50-an, persatuan Indonesia haruslah kokoh untuk menghindari jebakan antara memilih kapitalisme atau komunisme, jebakan yang dibentangkan oleh dua kekuatan dunia yang tengah bersaing mencari pengaruh di negara-negara yang baru saja merdeka. Memegang keyakinan atas ajaran-ajaran filosofisnya, KAS menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa negara-negara yang takut akan meletusnya perang dunia ketiga, yang berupaya menyelidiki tanda-tanda yang mengarah pada perang dunia, meyakini bahwa mereka dapat menolak realitas dari masalah mereka sendiri dengan menciptakan ketergantungan terhadap hal-hal di luar kendali mereka.20
Di dalam Pancasila, Indonesia memiliki sekumpulan prinsip yang mampu menyulut sikap mental yang berujung pada dukungan terhadap persatuan bangsa. Hal terpenting dari kelima sila tersebut adalah “kedaulatan rakyat” (panguwasa rakyat) yang oleh KAS dimaknai sebagai pengakuan atas hak kebebasan setiap individu atau pengutamaan semangat sosial yang melampaui dorongan instingtif yang tersembunyi dalam diri tiap manusia (“kebinatangan yang ada dalam diri manusia”). Pada titik inilah semangat luhur (raos luhur) yang mengejawantah dalam Pancasila dapat digunakan oleh manusia Indonesia: semangat kemanusiaan, semangat nasionalisme, dan keadilan sosial. Terakhir, perlu dicatat bahwa Ketuhanan yang Maha Esa tampil dalam karya KAS sebagai hasil dari empat sila yang lainnya, sebagai intisari tertinggi dari semangat keadilan sosial. Sejauh yang penulis pahami, menempatkan Tuhan sebagai sumber rujukan merupakan inti dari keseluruhan karya-karya KAS.21
Bersambung…
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Catatan Kaki:
1. Tulisan-tulisan yang paling dirujuk sebagai prinsip pokok ajaran KAS adalah Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), Ngelmi-Kawruh-Pitedah sedjatining gesang wedjangan KAS (oleh M. Soedi), Pilsapat Raos Gesang (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Filsafat Rasa Hidup); Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah.
2. Cf. dalam Wejangan, hal. 22–24.
3. “Salumahing bumi sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (sebagai contoh: Tandesan, hal. 20).
4. Wedjangan, hal. 3–4.
5. Tentang pertanyaan atas hubungan sosial, lihat: Pilsapat Raos Gesang; Aku iki wong apa?; Ukuran kaping sakawan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Ukuran Keempat).
6. Mawas diri, hal. 23.
7. Gandulan, hal. 10–11.
8. Judul-judul buku tersebut sudah menjelaskan isinya: Piageming gesang (Ujian Kehidupan); Pangawikan pribadi (Kesadaran Diri); Mawas diri (Sadar tentang Diri Sendiri).
9. “Luwar saking naraka sumelang lan manjing swarga tatag” (Wedjangan, hal. 30).
10. “…gegayuhanipun inggih punika tandon pensiun lan garan moncer” (Buku Peringatan… tulisan: “Wudjuding Kawruh Djiwa”).
11. Cf. Ukuran kaping sakawan.
12. Tentang persoalan ini lihat bagian: Aku iki wong apa?
13. Cf. Mawas diri, hal. 33–35.
14. Cf. Piageming gesang.
15. Tentang cinta suami-istri dan perkawinan, lihat: Kawruh laki-rabi; tentang pendidikan anak: Kawruh pamomong.
16. Piageming gesang.
17. “Gugon tuhon punika nyambet-nyambetan sebab lan kedadosan ingkang mboten sambet” (Wedjangan, hal. 27).
18. Hal Kesempurnaan.
19. Pembangunan djiwa warga negara.
20. Perang dunia kaping III.
21. Raos Pantja Sila.
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
ecintaan terhadap permenungan filosofis dan religius dalam Kebudayaan Jawa dapat dilihat dengan jelas dalam berbagai kelompok, perkumpulan, dan gerakan-gerakan yang secara umum memiliki tujuan bersama, yaitu ingin mewujudkan pemenuhan spiritual tertentu. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa generalisasi yang berlebihan terhadap ajaran kelompok-kelompok tersebut hanya akan berujung pada risiko, yaitu terdistorsinya hakikat “spiritualitas Jawa” itu sendiri. Dengan demikian, beragam bentuk gagasan dan doktrin yang terdapat di dalamnya harus tetap dilihat dalam konteks keragamannya masing-masing.1 Tulisan ini akan membahas filsafat—atau disebut dengan “Ilmu Jiwa” (science of psyche)—dari seorang “pembangkang”, Ki Ageng Suryomentaram, dan akan menunjukkan bahwa, meski gagasan Ki Ageng Suryomentaram itu bersifat orisinal, namun ketika diletakkan dalam konteks sosialnya hal itu tetap dapat dilihat sebagai ekspresi dari mentalitas tertentu.
Warisan Suryomentaram
Salah seorang teman dekat Ki Ageng Suryomentaram (KAS) menceritakan bagaimana dia pernah mengusulkan kepada KAS tentang pentingnya memiliki tulisan-tulisan beliau dalam bahasa Indonesia (versi aslinya dalam bahasa Jawa) atau bahkan dalam bahasa asing, sehingga pemikiran-pemikiran filosofisnya kemungkinan akan mendapatkan pengakuan yang lebih pantas. Percakapan ini berlangsung singkat sebelum KAS meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Sang Filsuf bereaksi keras. Apakah ada kondisi kecukupan bagi seseorang untuk mencari pengakuan publik? Untuk meyakinkan temannya itu, sang Filsuf melanjutkan pertanyaannya, bukankah mereka yang mengelilinginya (para pengikut) sekadar ingin meninggikan harga diri dan reputasi mereka? Demikian tanggapan sederhana yang disampaikan oleh KAS dengan penuh keyakinan—sebuah gaya kepemimpinan tanpa pamrih yang telah dia tunjukkan lebih dari tiga puluh tahun lamanya.2
Sekarang, lima belas tahun sejak kematiannya (merujuk pada akhir 1970-an), masih banyak orang yang mengenalnya. Sebagian di antaranya adalah mereka yang melanjutkan untuk menganggap dirinya sebagai Pelajar Kawruh Jiwa,3 para pengikut “Ilmu Jiwa”, sebutan yang oleh KAS sendiri tak henti-hentinya dia sematkan untuk ajaran-ajarannya, dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Definisi tersebut telah tercatat dalam banyak tulisan pendek, yang kadang-kadang masih dapat ditemukan di rak-rak buku di rumah-rumah orang kebanyakan dan di toko-toko buku bekas. Belakangan (merujuk pada tahun 1978) Yayasan Idayu memprakarsai penerbitan tulisan-tulisan tersebut dalam bahasa Indonesia, sehingga pembaca secara luas (terutama mereka yang bukan penutur bahasa Jawa) memiliki akses terhadap gagasan-gagasan sang Filsuf. Editor buku tersebut membandingkan gagasan KAS dengan gagasan para filsuf besar dunia, seperti Socrates, Zarathustra, dan Khrisnamurti. Namun untuk mengenalkan dimensi internasional karya KAS tersebut, bagaimanapun juga, tidak harus dengan menyembunyikan fakta bahwa penerbitan ini bersumber dari naskah aslinya (yang berbahasa Jawa), sehingga pesan utama dari karya tersebut tetap dapat dipahami, yakni hendak menampilkan wawasan tentang eksistensi (manusia) yang diilhami oleh tradisi Jawa (Javanism). Anak tertua sang Filsuf, Dr. Grangsang Suryomentaram, memutuskan untuk melanjutkan memimpin gerakan Kawruh Jiwa (atau Kawruh Beja, “Ilmu Kebahagiaan”) dengan didasari oleh alasan-alasan di atas, meski alasan utamanya adalah untuk menjaga ingatan masyarakat tentang peninggalan (pemikiran) ayahnya. Akhir-akhir ini (merujuk pada tahun 1978-an—penerj.) sejumlah artikel yang ditulis olehnya dan oleh teman-teman ayahnya di masa-masa akhir hidup KAS yang mengisahkan hidup dan karya beliau telah diterbitkan oleh penerbit. Namun dalam tulisan-tulisan ini, peringatan KAS tentang bahaya dari “hagiografi” nampaknya belum sepenuhnya dipahami.4 Untuk mengingat kembali gagasan-gagasan filosofis KAS, dicantumkan pula tulisan-tulisan yang merujuk pada peran penting KAS sebagai seorang nasionalis, disebutkan secara jelas keterlibatannya dalam Paguyuban Selasa Kliwon—sebuah perkumpulan patriotik yang kemudian menginspirasi lahirnya gerakan pendidikan Taman Siswa—begitu juga perannya sebagai pendiri PETA dan ceramah-ceramahnya dalam mendukung nasionalisme seperti yang dia sampaikan setelah kemerdekaan RI. Ketertarikan baru terhadap sosok ini, yang telah melalui sejarah masa kini (merujuk pada paruh pertama abad ke-20—penerj.) tanpa pernah menampilkan diri di baris terdepan panggung politik, nampaknya mengisyaratkan bahwa dia memiliki pengaruh moral yang patut diperhitungkan.5
Kekecewaan Sang Pangeran
Dalam upaya untuk menampilkan riwayat hidup KAS serta menjelaskan perannya secara bersamaan, seseorang akan dihadapkan pada keterbatasan dan ketidakjelasan sumber informasinya, sebab cerita kehidupannya sering kali ditampilkan dengan penuh kiasan-kiasan.6 Lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta, KAS adalah anak ke-55 dari total 79 anak Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya, B.R.A. Retnomandoyo, adalah istri dari golongan kedua (garwo ampéyan) Sultan, anak perempuan Patih Danurejo VI. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Keraton Srimenganti, dia kemudian mengikuti ujian untuk Klein Ambtenaar (pegawai sipil junior), yang kemudian mengantarkannya menjadi tenaga administratif di Residen Yogyakarta—untuk mengisi posisi tersebut dia harus belajar bahasa Belanda selama dua tahun. Dia juga belajar bahasa Arab untuk kelas pelajaran agamanya, dan kemudian bahasa Inggris untuk menutupi kekurangan dalam pendidikan formalnya. Dia menunjukkan hasrat belajar yang sungguh luar biasa.
Pada usia 18 tahun dia diangkat menjadi seorang pangeran, sehingga kemudian mengubah namanya dari Bendoro Raden Mas Kudiarmaji menjadi Bendara Pengéran Harya Suryomentaram.
Hanya sedikit sumber yang diketahui tentang masa-masa awal kehidupannya. Suatu hari dia menceritakan betapa dirinya terperangah menyaksikan lewat jendela kereta api jenis pekerjaan yang dapat menyebabkan sakit punggung yang dilakukan oleh para petani sewaktu dia akan menghadiri upacara perkawinan di Keraton Surakarta. Sementara orang lain mengalami penderitaan yang begitu berat, dia dan orang-orang sepertinya malah menikmati kemewahan hidup tanpa perlu bersusah-payah mendapatkannya karena telah membawa keistimewaan-keistimewaan tertentu semenjak lahir. Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Prawirowiworo, teman terdekat sang Pangeran, apakah para petani tersebut tidak lebih bahagia ketimbang sang Pangeran, yang hanya bisa meratapi dirinya sendiri ketimbang mengasihani mereka, karena setidaknya para petani tersebut sudah merasa puas dengan sawah yang mereka miliki. Prawirowiworo (meninggal pada 1960) adalah teman karib sang Pangeran, teman tertua dan terdekat yang dia miliki. Keduanya merupakan saudara sepupu, tetapi status Prawirowiworo jauh lebih rendah dibanding dirinya. Dia hanyalah abdi dalem yang dipekerjakan sebagai pelayan di istana Sultan.
Di satu sisi ada seorang pangeran yang berkelimpahan kehormatan dan kekayaan, sementara di sisi lain ada abdi dalem yang menerima gaji begitu rendah, yang baru saja mengajukan diri untuk dibebaskan dari tugas-tugasnya. Kedua laki-laki itu sedang dirundung ketidakpuasan hidup karena sampai sekarang mereka merasa belum pernah “bertemu dengan orang” (saprana-saprene aku kok durung tau pethuk wong); sang Pangeran hanya tahu tentang tuan-tuannya dan kekecewaan-kekecewaan mereka. Hidup yang terkungkung itulah yang dia rasakan sebagai penyebab utama mengapa dia merasakan ketidakpuasan hidup. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dia kemudian sering pergi meninggalkan keraton untuk mengembara mengunjungi sejumlah tempat yang dia yakini dapat membawa keberuntungan (seperti Goa Langse atau Goa Cermin, Pantai Parangtritis, dan makam-makam keramat). Prawiro, yang tugas-tugasnya telah banyak berkurang, juga mengawali pengembaraan serupa. Mereka berdua kemudian saling berbagi cerita satu sama lain tentang pengalaman-pengalaman menarik yang mereka peroleh. Kadang-kadang mereka menenggelamkan diri dalam doa-doa, dan di lain waktu mereka mengunjungi para pemimpin agama untuk membicarakan dan belajar tentang hal-hal yang terkait dengan hakikat agama dan (pengalaman) mistik.
Pengawal sang Pangeran menjadi khawatir, sebab sang Pangeran mulai meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menjadi penghambat untuk mencapai kebahagiaan. Dia kemudian memberikan cuma-cuma semua kekayaan pribadinya. Salah seorang pangeran yang paling kaya di Yogyakarta tiba-tiba memberikan mobilnya kepada sopirnya dan memberikan kudanya kepada tukang kudanya. … Selanjutnya, suatu hari dia meninggalkan keraton. Dengan mengenakan pakaian layaknya seorang pedagang dan menggunakan nama Notodongso, dia pergi ke Cilacap untuk berjualan batik. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, mengutus orang untuk mencarinya. Para utusan itu kemudian menemukan sang Pangeran di daerah Kroya dan berhasil membujuknya untuk kembali ke keraton.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi ketika sang Pangeran menginjak usia 20 tahun, menjelang tahun 1920, tahun ketika Residen Jonquiere mengirim surat resmi kepada Gubernur Jenderal bersamaan dengan sebuah salinan untuk Suryomentaram agar dia segera mengumumkan gelar pangerannya. Namun dia meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut, meski oleh sang ayah permintaan tersebut ditolak, seperti permintaan sebelumnya ketika dia ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah.7 Di tahun-tahun itu, sebagaimana dituturkan oleh penulis biografinya, Suryomentaram benar-benar sedang dirundung kebingungan: beberapa bulan dia terlihat di rumah kakeknya, Patih Danurejo, yang baru saja diberhentikan dari tugas-tugasnya, sementara ibunya juga diceraikan oleh Hamengku Buwono VII, dan akhirnya peristiwa yang paling menggetarkan adalah ketika istrinya meninggal dunia tepat setelah melahirkan anak laki-laki mereka.
Pada 1921 Sultan Hamengku Buwono VII turun tahta dan penerusnya, Hamengku Buwono VIII, mengizinkan Suryomentaram untuk meninggalkan istana. Sang Pangeran menolak menerima tunjangan hidup yang ditawarkan oleh Belanda dan malah menerima tunjangan pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil yang diberikan oleh keraton kepadanya. Dengan hanya memiliki sedikit kekayaan, dia lantas meninggalkan keraton dan memilih tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga, di mana dia kemudian membeli tanah. Dia memulai hidup sebagai seorang petani, seperti (umumnya) para penduduk asli yang dia lihat sedang bekerja di sawah mereka. Pada 1925 dia menikah lagi dan reputasinya mulai tumbuh. Ki Gedhe (atau Ageng) Bringin8 adalah pribadi yang eksentrik. Beberapa orang memercayainya sebagai dukun dan mereka datang kepadanya untuk meminta nasihat atau bantuan. Telah lama dia menanggalkan jubah kebesarannya dan memilih menggunakan celana pendek dan sabuk kulit yang umum dipakai oleh petani waktu itu. Dia bepergian dengan telanjang kaki dan di lehernya melingkar sepotong kain batik dengan motif parang rusak barong, motif yang juga masih dipakai oleh para penguasa atau bangsawan. Bahasa tubuhnya mengindikasikan ketidakpuasan tertentu; mirip dengan semangat yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat di tahun-tahun awal ketika dia dan pembantunya juga mengenakan jenis kain yang sama ketika pergi ke kota.9 Suryomentaram lagi-lagi dipandang sebagai sosok yang telah memicu penasaran orang lain karena baju yang dia pakai dan perilaku aneh yang dia tunjukkan ketika mengunjungi makam ayahnya di Imogiri (1931). Sewaktu acara berlangsung, mantan anggota keluarga dan juga teman-temannya menduga bahwa dia gila; mereka kemudian menyingkir darinya, tetapi Suryomentaram malah menakut-nakuti mereka.
Suatu hari, dengan memakai celana pendek dan telanjang kaki, ketika dia hendak naik ke dalam bus, dia (tiba-tiba) dimintai tolong (oleh penumpang lain) karena dianggap sebagai seorang kuli panggul: seorang penumpang memberikan kopernya kepada Suryomentaram, lalu Suryomentaram mengambilnya dan dengan hati-hati membawakan koper itu…. Itulah awal pencariannya atas rasa takut terhadap hal-hal yang (dianggap) memalukan dari seorang pengembara yang jujur. Begitulah Suryomentaram, atau begitulah kisah-kisah yang diceritakan orang tentangnya:10 sosok laki-laki yang lebih perhatian kepada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri. Dia senantiasa memiliki kesadaran tentang dirinya, bahwa dia dapat melihat tindakannya yang memalukan itu dari ketidaknyamanan orang lain.
Namun pada kenyataannya, Ki Ageng tidak pernah putus asa dalam mencari sosok ‘Manusia’ yang sejati. Suatu malam pada 1927 dia membangunkan istrinya dan berkata, “Aku telah menemukan apa yang aku cari… adalah Suryomentaram yang kecewa; dia adalah seorang pangeran yang kecewa, pedagang yang tidak pernah puas, dan petani yang selalu kecewa; dia adalah sumber dari ketidakpuasan (tukang ora puas). Namun dia telah ketahuan (konangan). Mulai sekarang, aku akan selalu menemukan orang yang memakai nama Suryomentaram.” Jika keterangan Dr. Grangsang dipercaya, hal inilah yang kurang lebih Ki Ageng katakan kepada istrinya yang tertidur di sampingnya. KAS telah menemukan sumber-sumber masalahnya: kebingungan antara diri yang aktif dan diri yang pasif. Dalam diri yang pasif inilah seseorang menjadi mampu, dengan sekian risiko, mengakui dan merawat sesuatu dalam dirinya sendiri sehingga dapat mengatasi cobaan-cobaan atau godaan-godaan yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, dan dapat meraih “kebahagiaan sejati”. “Apa yang telah aku cari, dan gagal aku temukan, adalah konsep tentang orang (gagasan wong) yang hanya eksis dalam angan-anganku.”11 Ilmu Kebahagiaan (Kawruh Beja) telah lahir. KAS kemudian menceritakan kepada sahabatnya, Ki Prawiro, orang pertama yang menerima kebenaran tersebut, dan kemudian diikuti oleh para pengikut lainnya, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin bertambah.
Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).
Nampaknya relevan sekarang untuk mempertimbangkan aspek-aspek karier KAS dalam kegiatan politik. Namun untuk melakukannya, kita terlebih dulu perlu menengok kembali ke tahun-tahun 1921–1922. Pada waktu itu dia adalah pemimpin Paguyuban Selasa Kliwon, perkumpulan yang mengambil nama dari hari di mana pertemuan mereka diselenggarakan. Sudah umum diketahui bahwa kelompok ini merupakan penggagas berdirinya Gerakan Taman Siswa.12 Terdapat sembilan priyayi (dalam perkumpulan tersebut), masing-masing di antara mereka yang mesti disebut adalah Suwardi (Ki Hajar Dewantoro), Prawirowiworo, B.R.M. Subono (saudara termuda KAS), dan Pronowidigdo. Beberapa di antara mereka, seperti Ki Hajar atau Pronowidigdo,13 kemudian memiliki kesempatan untuk mengumumkan nasionalisme mereka, misalnya melalui partisipasi mereka dalam Budi Utomo. Meski paguyuban tersebut berjalan di jalur “masyarakat kebatinan”,14 namun tujuan mereka secara jelas sudah terdefinisikan, yakni pembebasan, dalam pengertian memenangkan kemerdekaan RI. Namun pada tahun 1922, kelompok ini dibubarkan setelah dicapai kesepakatan bahwa pembebasan (yang sesungguhnya) baru dapat diraih melalui pengembangan di berbagai aspek pendidikan dan menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan orang-orang Indonesia. Menyelenggarakan pendidikan formal merupakan salah satu yang terpenting. Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Taman Siswa dan menyelenggarakan pengajaran untuk pertama kalinya pada 3 Juli 1922. Namun, perhatian Taman Siswa lebih ditujukan kepada generasi muda. Sementara KAS sendiri kemudian mendapat bagian untuk melakukan bimbingan dan pembinaan kepada orang-orang dewasa.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1930, KAS bersama sejumlah temannya mendirikan Pakempalan Kawula Ngajogjakarto yang diketuai oleh Pangeran Suryodiningrat. Perkumpulan ini merupakan sebuah gerakan yang kepentingan sosial dan kemanusiaannya lebih besar ketimbang tujuan-tujuan politiknya. Perkumpulan ini, yang dikomandoi oleh Pangeran Suryodiningrat dan sejumlah priyayi terpelajar, setelah mendapat restu dari Hamengku Buwono VIII, merumuskan sebuah tujuan untuk meningkatkan standar hidup para petani yang bekerja untuk kesultanan. Hingga pecah Perang Pasifik, PKN dan sejumlah organisasi yang lahir saat itu—yang juga melakukan pendampingan untuk menciptakan otonomi dan demokratisasi pada administrasi kesultanan—mengambil inisiatif-inisiatif yang sangat populer waktu itu dengan membela kepentingan para petani miskin di berbagai tingkatannya,15 misalnya dengan mendirikan koperasi-koperasi pertanian dan pabrik-pabrik lurik, mengusulkan perubahan sistem perpajakan, dan mengurangi angka buta huruf. Pada 1931, PKN bergabung dengan organisasi-organisasi seperti PPPPA dan PPII untuk melawan praktik-praktik kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak-anak. Pada 1932 bersama sejumlah kelompok, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, dan Muhammadiyah, PKN memprotes kebijakan Wilde Scholen Ordonnantie.16 Pada pertemuan yang diadakan tahun 1932, Ki Hajar Dewantoro melontarkan gagasannya tentang pendidikan dan Ki Ageng menyampaikan prinsip-prinsip “Ilmu Kebahagiaan”, ajaran yang memberi penekanan pada fakta bahwa semua manusia pada dasarnya mencari kesejahteraan psikologis yang sama, di mana dampak dari pengalaman tersebut kemudian akan membuat mereka mampu melihat semua orang dalam kedudukan yang sama.
Ketika Jepang terlibat dalam perang KAS dan 13 nasionalis, yang kemudian dikenal dengan Manggala 13,17 merencanakan tindakan-tindakan tertentu andaikata pecah pertempuran antara Belanda dan Jepang (Pembebas Asia) di bumi Indonesia. Tetapi ternyata Jepang dengan mudah menaklukkan Jawa tanpa perlawanan berarti dari pihak Belanda. Pendudukan Jepang ini menarik perhatian KAS dan memengaruhi aktivitas-aktivitas (politik) KAS, yang kemudian berujung pada kecurigaan Belanda terhadapnya. Perwakilan Jepang segera menemuinya melalui Asano (anggota Dinas Rahasia) dan KAS menyampaikan ucapan terima kasih karena tentara Jepang telah membebaskan rakyat Indonesia dari kolonialisme Belanda. KAS kemudian mengusulkan agar dia dan teman-temannya diberi pelatihan militer yang memadai sebagai bekal untuk berperang bersama Jepang. KAS juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu perang yang kemudian dia sebut sebagai “Jimat Perang”, sebuah keberanian kemiliteran atau tidak dimilikinya rasa takut untuk menghadapi kematian dalam peperangan. Dia diundang ke Jakarta untuk berbicara di radio dan diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pertemuan serta menyebarkan gagasannya tersebut. Melalui bantuan Mr. Sudjono, pada 1943 di Jakarta dia bertemu dengan para nasionalis yang dipercaya oleh Jepang, yakni Soekarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantoro, yang juga dikenal sebagai “Empat Serangkai”. Dalam pertemuan tersebut KAS menganjurkan Soekarno untuk mengadopsi gagasan Jimat Perangnya itu, dan dalam berbagai kesempatan mereka (para pemimpin nasionalis itu) bersedia mempopulerkannya.
Namun Jepang belum yakin dengan kemampuan rakyat Indonesia dalam membentuk semacam kesatuan militer—penolakan resmi disampaikan langsung oleh Gubernur Militer Jepang untuk Yogyakarta, Kolonel Yamanuchi, terhadap permintaan KAS dan kawan-kawannya untuk membentuk kesatuan tersebut. Dalam situasi seperti ini, Asano kemudian bersedia membantu, namun KAS dan kawan-kawan harus membuat permohonan kepada Kaisar Jepang, baru kemudian Asano sendiri yang akan menyampaikan secara langsung permohonan tersebut kepada sang Kaisar. KAS kemudian mengajak delapan kawannya (Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutidjo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki Asrar Wiryowinoto, dan Ki Atmokusumo (disebut dengan “Manggala Sembilan”—penerj.) untuk membuat petisi yang ditandatangani dengan darah mereka. Di luar dugaan mereka, otoritas Jepang di Tokyo segera menyetujui permohonan tersebut. Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).
Versi tentang asal-usul berdirinya PETA ini (sebuah organisasi yang telah memainkan peran penting dalam perjuangan mencapai kemerdekaan RI dan merupakan tulang punggung bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia) disampaikan oleh Dr. Grangsang.18 Pendapat senada juga disampaikan oleh Ki Prono dan Ki Asrar Wiryowinoto, dua orang yang juga menandatangani petisi.19 Namun, sekalipun konsep tentang Jimat Perang itu pada kenyataannya diinspirasi oleh KAS, masih sering muncul keraguan tentang pengaruhnya terhadap peristiwa-peristiwa penting di negeri ini dan peran petisi tersebut; di berbagai kesempatan kesimpulan ini disampaikan oleh S. Wirjosoedojo—salah seorang teman lama KAS—yang mempertanyakan versi ini karena dia tidak dapat memperoleh konfirmasi langsung dari Hatta tentang apakah pertemuan antara KAS dengan empat sekawan itu20 memang benar-benar pernah terjadi. Kebenaran informasi tersebut masih menjadi tanda tanya meski sudah banyak tulisan tentang persoalan ini, baik yang ditulis oleh sejarawan maupun orang yang menyaksikannya langsung; salah satunya adalah kesaksian yang disampaikan oleh Gatot Mangkupraja, tokoh yang juga sering disebut sebagai penggagas berdirinya organisasi tersebut.21 Namun seperti apa kebenarannya, hal ini masih menimbulkan perdebatan terbuka.
Meskipun informasi yang disampaikan oleh Dr. Grangsang tersebut masih bisa diperdebatkan, namun tetap penting kiranya melihat peran dan sosok KAS dalam perjuangan meraih kemerdekaan RI dan sebagai seorang nasionalis yang gigih. Salah satu informasi yang telah umum diketahui adalah keikutsertaannya dalam sebuah kesatuan pasukan yang bernama “Kesatuan Rakyat Jelata” dalam pertempuran melawan Belanda di dekat Yogyakarta selama periode 1947–1949.
Untuk mencapai kedamaian, KAS meninggalkan rumah dan sawahnya di Bringin dan memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta, tempat di mana dia kemudian mengabdikan hidup sepenuhnya untuk mengembangkan ajaran-ajaran filosofisnya hingga kematian menjemputnya pada usia ke-70. Melalui sebuah telegram, Presiden Soekarno mengirim ucapan belasungkawa, dan atas nama negara memberikan penghargaan yang setulus-tulusnya untuk semua jasa Ki Ageng semasa hidupnya.22
Bersambung…
Baca juga:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Sumber foto: Foto keluarga Ki Ageng Suryomentaram, Falsafah Hidup Bahagia Wejangan Ki Ageng Suyomentaram, 2017.
Catatan Kaki:
1. Dalam kajian ini, Archipel 4 (1972) telah memuat sebuah studi tentang Gerakan Pangestu (Pangestu Movement) yang ditulis oleh Indrakusuma.
2. S. Wirjosedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975), hal. 13–14.
3. Kata-kata atau kutipan dalam tulisan ini menggunakan bentuk baru dalam sistem ejaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa penggunaan huruf ganda dh dan th merujuk pada penggunaan lama. Meski begitu, untuk nama-nama dan judul-judul buku tertentu masih menggunakan sistem ejaan lama. Hanya dalam konteks penyebutan nama KAS, penulis menggunakan sistem ejaan baru, yaitu Suryomentaram, dari Soerjomentaram dalam ejaan lamanya.
4. Sumber-sumber untuk tulisan ini dibuat ketika peristiwa-peristiwa yang dijelaskannya tengah terjadi. Karya lengkap KAS dapat ditemukan di akhir tulisan ini.
5. Sebagai contoh B. R. O. G. Anderson dalam sebuah studinya yang begitu detil tentang peristiwa-peristiwa politik pada periode 1945–1946, yang mengambil latar di sebagian besar wilayah Yogyakarta, sama sekali tidak menyebut Suryomentaram (Ithaca: Cornell University Press, 1972).
6. Sebagian dapat dilihat dalam tulisan Dr. Grangsang Suryomentaram yang dimuat di sebuah surat kabar Jakarta, Berita Buana, “Riwayat Singkat Ki Ageng Suryomentaram” (24 dan 25 Juli 1975) dan “Rahasia di Balik Pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)” (19 Juli 1975); karya-karya Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kontja-kontja peladjar Kawruh-djiwa; tulisan Kiai Pronowidigdo, “Riwajatipun Kawruh Djiwa,” dimuat di Buku Peringatan…. (cf. bibliografi). Ada juga sebuah biografi yang ditulis oleh Ki Djojodinomo, tetapi belum digunakan dalam tulisan ini. M. Agus Suwito dan Dr. Grangsang Suryomentaram dengan ramah mengizinkan penulis menggunakan sejumlah dokumen, untuk itu terima kasih kepada Dr. Grangsang dan Ki Haditomo atas informasi yang mereka berikan kepada penulis (wawancara Mei 1975).
7. Dokumen tertanggal 21 Agustus dan surat KAS 14 Agustus 1921 (Mailrapport No. 948 Geheim/1920; verbaal date 6-1-21, No. 18). Dalam suratnya, Residen menyebut bahwa KAS menolak pengangkatannya sebagai pangeran. Penulis juga berhutang kepada Mr. Kenji Tsuchiya yang membuat dokumen tersebut tersedia baginya. Dokumen ini juga relevan dengan penelitian Mr. Tsuchiya tentang sejarah gerakan Taman Siswa; lihat: “The Taman Siswa Movement: Its Early Years and Javanese Background,” dalam Journal of Southeast Asian Studies 6: 2 (1975), hal. 164–77.
8. Suryomentaram bermakna “Matahari dari Mataram”. Ki adalah istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki yang sudah tua dari kelas pekerja/bawah dan juga atas kebijaksanaan yang dimiliknya (nyi digunakan untuk perempuan; seperti kiai dan nyi, dua kata yang memiliki konotasi Islam). Gedhe atau Ageng bermakna “Besar”. Beberapa orang (nyata atau legenda) dalam sejarah Jawa memiliki sebutan serupa: Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pamenahan, dan lain-lain.
9. Cf. Pranata, Ki Hajar Dewantara Perintis Perdjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), hal. 36.
10. Wawancara dengan Ki Haditomo.
11. Cf. tulisan Grangsang S. dan Ki Atmosutidjo.
12. Pada titik ini, lihat: Suratman, “Masalah Kelahiran Taman Siswa,” dalam Pusara 25: 1–2 (1964); Kenji Tsuchiya, “The Taman Siswa Movement,” hal. 166–177.
13. Ki Pronowidigdo (Prono) meninggal dunia di Yogyakarta pada usia 96 tahun (lihat Mekar Sari 1, 1976). Seorang guru terlatih dan nasionalis yang gigih, dia adalah salah seorang di antara anggota Budi Utomo dan juru bicaranya di Yogyakarta sekitar 1920-an. Dia secara dekat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan KAS dan Ki Hajar Dewantoro; dia juga adalah salah seorang pendiri Taman Siswa; sampai akhir hidupnya dia adalah sosok penasihat yang begitu dihormati. Perlu juga disebut bahwa Ki Prawirowiworo merupakan anggota dari panitia pembentukan Taman Siswa.
14. Kebatinan dapat diterjemahkan sebagai “kehidupan spiritual”. Banyak masyarakat dan kelompok kebatinan yang eksis di Jawa dengan anggota yang dianggap memiliki pengetahuan tentang “diri sejati”, elemen mendasar dalam pencarian terhadap yang Absolut. Secara umum, gagasan filosofisnya dipinjam dari sejumlah prinsip dari agama-agama India dan atau mistisisme Islam, yang sering diekspresikan dalam istilah-istilah yang bersifat esoteris. Aspek praktisnya meliputi meditasi dan latihan-latihan kontemplatif, bahkan asketisme. Tetapi, konsep kebatinan (atau Kejawen sebagaimana disebut dalam bahasa Jawa) mungkin merujuk pada berbagai pendekatan, beberapa di antaranya mengklaim bersifat ilmiah. Namun umumnya setiap pendekatan kebatinan tersebut menekankan pada konsep utama yang sama, yakni tentang keutuhan psikologis.
15. Pada 1938 PKN memiliki anggota 253.218 (30.471 adalah perempuan), hampir semua anggotanya adalah petani (90%). Organisasi lainnya adalah Pakempalan Kawula Surakarta (berdiri 1932), Pakempalan Kawula Mangkunegaran (1933), dan Pakempalan Kawula Pakualaman; lihat Ensiklopedi Indonesia, hal. 926–27.
16. Sebuah keputusan pemerintah kolonial yang memperkuat kontrol terhadap sekolah-sekolah lokal dan membatasi jumlahnya. Untuk melihat aktivitas PKN, lihat buku yang diterbitkan untuk merayakan delapan tahun kelahirannya (satu windu): Boekoe Pengetan Windon Pakempalan Kawoela Ngayoegyakarta (PKN), 1930–1938, (ed. PKN: 1938), 103 halaman. Selama pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan, pendiri organisasi ini, Pangeran Suryodiningrat, muncul sebagai seorang guru spiritual yang sangat disegani di mana setiap pertemuan yang diselenggarakannya selalu diikuti oleh pengikut dalam jumlah besar. Namun PKN kembali menjadi sebuah kekuatan politik pada 1951, menjelma menjadi Partai Gerinda, yang menurut Selosoemardjan (1955) adalah partai yang “mengikuti jalan mistisisme, yaitu kesatuan antara manusia dan Tuhan, yang menjelma di dunia ini dalam bentuk kesatuan antara kawula dengan Raja, yang dalam konteks Gerinda adalah kesatuan antara anggota partai dengan presiden partai.” Social Changes in Jogjakarta (Ithaca: Cornell University Press, 1962), hal. 188–89.
17. Manggala adalah doa di permulaan sebuah syair. Kata ini juga memiliki konotasi “garda depan”. Di antara 13 anggotanya, menarik untuk disebut kembali sosok Ki Hajar, Ki Prono, dan Suryodiningrat, bersama dengan Radjiman Wediyodiningrat, Sutopo Wonoboyo (salah seorang pendiri Taman Siswa), dan lain-lain (Berita Buana, 25 Juli 1975).
18. Berita Buana, 19 Juli 1975.
19. “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 15 (1 Oktober 1975).
20. Wirjosoedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975).
21. Lihat: Nugroho Notosusanto, The Peta-Army in Indonesia, 1943–1945 (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Centre for the Armed Forced History, 1971), 23 halaman; Raden Gatot Mangkupradja, “The Peta and My Relationship with the Japanese: A Correction of Soekarno’s Autobiography,” dalam Indonesia 5 (April 1968). Menarik juga untuk dicatat bahwa Gatot (meninggal pada 1968) mengklaim telah diminta untuk membubuhkan tanda tangan darah juga.
22. Lihat: Kus Sudyarsana, “Kawruh Bedja,” dalam Mekar Sari 6: 3 (1 April 1962). KAS dikebumikan di samping makam ibunya di pemakaman trah Nitinegaran, di Kanggotan (sekitar 7 km ke arah selatan dari Yogyakarta, dekat dengan Kerto, kota kuno yang menjadi ibu kota kerajaan di era Sultan Agung).
Blakra’an (baca: dolan) ke Kepatihan Pakualaman Sabtu malam kemarin, 10/11, saya berangkat bersama laron yang menclok di jaket dan nyelip di sela helm saya. Sebagian area Piyungan-Potorono-Kotagede malam itu mati listrik –pemadaman bergilir– PLN biasa menyebutnya begitu. Maka yang terjadi adalah laron-laron yang mengerumuni lampu jalan, beralih mengejar lampu sepeda motor atau mobil. Wah, ini momen puitik, pikir saya. Di antara laron yang beterbangan, hujan yang menjelang, dan jalanan yang padat kendaraan, saya memikirkan acara peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa di Kepatihan Pakualaman Sabtu malam itu. Mengapa acara Sastra ini menghadirkan orang-orang pemerintahan, dosen, dan akademisi yang lain –selain seniman tentu saja? Mengapa pula acara ini dihelat di lingkungan Pura Pakualaman?
Acara ini diawali dengan sajian makan malam di sisi belakang pendapa Kepatihan. Setelah MC membuka acara, Muhammad Bagus Febrianto – pengageng urusan macapat Kadipaten Pakualam– tampil membacakan beberapa padha dalam pupuh Dhandhanggula dan Kinanthi untuk menyambut para hadirin. Lantas Ibu Nana Ernawati, ketua Lembaga Seni dan Sastra Reboeng (selanjutnya: Reboeng), menyampaikan pengantar tentang peluncuran buku Mata Khatulistiwa. “Mengapa acara yang biasanya di gedung kesenian, harus di Kepatihan Pakualaman?” Ya, saya juga tanya itu tadi di jalan, Bu. “Sebenarnya ini sudah menjadi krenteg, supaya masyarakat dan kerajaan ada silaturahmi,” lanjut Bu Nana. Hmmm, saya menggumam. “Semua kitab suci agama, termasuk Al-Qur’an ditulis dalam bentuk puisi. Di sini saya ingin mengatakan keberadaan puisi seperti tersisihkan. Tidak seperti seni tari, musik, dan seterusnya,” kata Bu Nana. Di akhir acara saya mendapat keterangan lebih lanjut dari Iman Budi Santosa, editor Mata Khatulistiwa.

Foto bersama seusai peluncuran buku.
Lantas Bu Nana mempersilakan beberapa tamu undangan naik ke panggung di depan para hadirin untuk turut meluncurkan buku Mata Khatulistiwa. Antara lain, ketua BPAD DIY, ketua TBY DIY, dan Eros Djarot. Menurut Eros Djarot ia mewakili kakaknya, Slamet Rahardjo, yang malam itu sedang syuting program televisi. Program apa ya, saya hanya menduga Sentilan Sentilun, begitu juga kedua MC yang memandu acara dengan heboh. Tapi kok belakangan Butet Kertaradjasa hadir ke Kepatihan, bahkan membaca dua puisi karya Bu Nana Ernawati? Siapa dong pemeran Sentilun yang sedang syuting dengan Slamet Rahardjo? Sudah. Banyak tanya di dalam kepala malah bikin ruwet, nanti saja tanya langsung.
Usai peluncuran buku secara resmi dan berfoto, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh para tamu undangan Reboeng. Pembacaan puisi yang dipandu oleh dua MC yang heboh pun tidak menghilangkan kesan formal yang dibawa oleh para tamu undangan. Meski memang artikulasi dan karakter puisi yang dibacakan juga memiliki ruh dan semangat di sekujur tubuh puisi, namun kesan itu tetap berbekas di kepala saya. Tentu tidak semua tamu undangan yang begitu. MC kadang berceletuk ketika pembaca puisi dan penyair yang dipanggil maju disambut tepuk tangan, “Nyapres-nyapres. Pendukungnya banyak ya.” Lalu hadirin tertawa. Pembacaan puisi diacak, mulai dari Aceh, melompat ke Jawa Barat, meluncur ke Sumatera Utara, menengok Sumatera Barat, terbang ke Flores, singgah ke Jawa Timur, balik lagi ke Aceh, berderap ke Papua dan mendarat tuntas di Yogyakarta melalui pembacaan oleh Butet Kertaredjasa atas puisi Nana Ernawati.
Di sela-sela pembacaan puisi, Teater Eska menampilkan musikalisasi dua puisi dari Papua dan Jawa Timur, karya dua penyair yang syairnya ada di dalam buku Mata Khatulistiwa. Lalu Jejak Imaji menambahkan alat musik lain di adonan keragaman musik mereka, dengan saxophone mereka menyajikan musik puisi karya Nana Ernawati, kalau nggak salah ingat. Lalu Serat Djiwa membawa suasana Kepatihan yang basah oleh gerimis menuju kesenyapan dengan beberapa aransemen musik etnik di Nusantara merespons keanekaragaman puisi dalam buku Mata Khatulistiwa. Tampak dari alat musik mereka yang kawin dengan alat musik Eropa: Gambus, Gitar, Sapek Dayak, Akordeon yang sering digunakan di Melayu, Perkusi Papua, Biola, dan Cello. Pupuh sinom padha pertama pada Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV pun dibacakan untuk memungkasi pentas: “Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.” Keragaman di Nusantara saya tangkap dengan cukup jelas dari seluruh rangkaian penampilan.
Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas.

Poster peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa.
Buku ini memuat puisi yang menunjukkan nilai-nilai kedaerahan dari 29 provinsi di Indonesia. Saya menangkap sebuah lanskap yang dipotret oleh beberapa puisi yang dibacakan atau dimusikkan malam itu, adanya persinggungan atau justru saling berhadapan antara Tradisi dan Modernitas. Misalnya, Irwan Segara yang memotret pertahanan diri Orang Badui, Banten, atau Indrian Koto tentang Orang Rantai di Minang. Buku ini merupakan refleksi atas kebingungan dan ketercerabutan Indonesia dari Nusantara. Manusia Nusantara yang aneka ragam ini dipaksa dan didesak oleh Indonesia untuk terus menjauhi dirinya sendiri; sebuah kritik yang keras, tegas, sekaligus anggun. Begitu.
Mengundang orang pemerintahan, politisi dan akademisi hadir dan membaca puisi, plus diiringi musikalisasi yang hibrid adalah brilian. Namun menurut saya meniadakan diskusi di acara launching buku sekomplet Mata Khatulistiwa, bagai puisi yang gagal membangun metafora. Bagaimana masyarakat bisa tahu gagasan di balik tiap puisi di dalam buku kalau begini ‘kan? Dan sebaliknya, bagaimana para penyair dan Reboeng mengetahui gagasan para pembacanya di acara itu? Eman banget, Rek! Bagaimana juga mengetahui bahwa para hadirin memahami gagasannya masing-masing jika tanpa diskusi? Kalau yang terakhir ini urusan pribadi tentu saja.
~~

Kedung Darma Romansha, penyair.
Jarum jam di sisi timur panggung menunjuk pukul sembilan lebih, saya mengira pembacaan puisi oleh seluruh tamu undangan Reboeng telah berakhir, seorang demi seorang tampak saling berpamitan. Aprinus Salam, Eros Djarot, Sri Adiningsih, Sri Surya Widati, Sitoresmi Prabuningrat, dan beberapa yang lain seingat saya beranjak meninggalkan Kepatihan sebelum acara usai. Saat masih gerimis. Lalu saya beranjak juga keluar ruangan untuk merokok, dan di sana bertemu dengan beberapa penyair yang menunggu giliran membaca puisi. Masing-masing membacakan puisi sesuai daerah mereka berasal. Di muka pintu saya dipanggil Hasan Gauk, teman asal Lombok, yang sedang merokok lintingan bersama Nermi Silaban, Kedung Darma Romansha, Irwan Segara, Indrian Koto dan lainnya. Saya pun bergabung, tentu saja untuk minta tembakau Senang yang ia bawa sekantong besar itu. Enak tembakaunya, halus, di lidah.
Mario F. Lawi, Latief S. Nugraha, Mas Hamdy Salad, Pak Landung Simatupang, Dedet Setiadi, dan beberapa sastrawan senior lain yang hadir tetap di tempat. Mereka ternyata juga menunggu giliran membaca puisi. Mata Khatulistiwa ini menghimpun puisi karya 55 penyair Nusantara dengan catatan penutup yang ditulis oleh Kris Budiman. Nilai lokalitas dari berbagai daerah ditunjukkan oleh para penyair dalam buku ini dengan memotret peristiwa yang dekat dengan diri mereka. Mungkin ini adalah buku pertama di Indonesia dengan konsep mempersatukan puisi-puisi karya penyair di Indonesia dengan tema khusus: nilai-nilai dan kenyataan kampung halaman para penyair.
Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi.
Misalnya, Indrian Koto, membaca puisinya yang memotret kehidupan Orang Rantai di tanah Minang. Tenang dan mengalir. Kedung Darma Romansha, menghadirkan dua puisi tentang Pantura Jawa Barat. Saya ingat di puisi yang pertama, ia menyetel lagu dangdut koplo dari handphone miliknya sebagai pengiring. Kedua, ini juga menjadi ciri dirinya dan Pantura, saweran. Dengan meniru logat penyanyi dangdut koplo ia membuat repetisi, “Ya Pak sawerannya ya, Pak Butet sawerannya, Pak Landung sawerannya, Bu Nana sawerannya dong…” Hadirin tertawa. “Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…” Bu Nana beneran menyawer. “Asiik… Wik… Wik… Wik… Wik… Aaah…” Hadirin kembali tertawa. Para penyair muda-tua juga tertawa. Wah ternyata semua orang mengikuti video itu. “Salam Dangdut Pantura!” Kedung berteriak, tuntas.
Apa yang saya dapat dari acara peluncuran buku Mata Khatulistiwa sebagai-paling minim-pembaca Sastra Indonesia? Saya bertanya pada diri saya sendiri, saya coba jawab sendiri, Anda kalau mau ikut menjawab dan bertanya silahkan ya.
Melalui diktat pelajaran sekolah dulu, kita tahu kata “Indonesia” baru saja digunakan pada tahun 1928, 90 tahun yang lalu. Kata ini hanya selalu berperan politis. Belakangan saya baru mengetahui dari Kyai Jadul Maula pada salah satu serial Ngaji Dewa Ruci di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta pertengahan tahun ini, bahwa kata ini lebih awal digunakan. Kyai Jadul menyebut ada sebuah manuskrip surat yang tersimpan di perpustakaan Kraton Ngayogyakarta antara kesultanan Demak dan kesultanan Aceh yang menggunakan kata Indunisiyah. Penulisannya dalam huruf pegon, kala itu pesantren dan kraton masih utuh tak terpisahkan. Kata ini digunakan, menurutnya, untuk menyepakati pemersatuan wilayah antara seluruh kesultanan dan kerajaan di Nusantara waktu itu. Oke. Saya kesampingkan data ini, karena buku Mata Khatulistiwa ternyata berangkat dari fakta sejarah yang lebih muda. Yakni Indonesia 90 tahun belakangan. Sementara kata “Nusantara”, melalui diktat sekolahan dan kuliahan (bagi yang kuliah) kita juga tahu, ada lebih banyak tafsir longgar atas kata itu yang hari ini lebih fungsional di wilayah Kebudayaan daripada “Indonesia.” Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas. Betul?

Iman Budi Santosa, penyair.
Acara sudah ditutup saat itu, pembaca terakhir adalah Butet Kertaredjasa yang khas dengan medok Jogja itu. Atas saran Mas Latief S. Nugraha akhirnya saya putuskan untuk ngobrol dengan Iman Budi Santosa (IBS) yang berperan sebagai editor buku Mata Khatulistiwa, selain dirinya ada: Nurul Ilmi Elbana, dan Nana Ernawati. IBS, sastrawan senior yang turut mendirikan Persada Studi Klub bersama Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Kumbara, dan lain-lain pada 1969 ini adalah penggagas penyusunan antologi Mata Khatulistiwa. Sebagai penggagas dan editor, IBS tidak memberi anotasi sedikitpun pada setiap puisi di dalam Mata Khatulistiwa. “Yang penting adalah, jupuken (baca: ambilah) dari duniamu. Sing Lampung yo jupuken sak isomu (baca: ambilah sebisamu). Karena pada waktu globalisasi, lokalitas itu tertindih,” katanya.
Dari IBS saya memperoleh keterangan, bahwa persoalan hari ini bermula dari penyeragaman. Ini tampak misalnya ketika Anda pergi berkunjung atau tinggal di luar negeri. Misalnya ada orang bertanya, dari mana asal Anda? Anda menjawab, Indonesia. Indonesia baru hadir saat itu, detik itu. Namun, jika Anda ada “di dalam” Indonesia, jawaban Anda justru akan dikejar. Dari mana asal Anda? Dari Jawa Timur. Jawa Timurnya mana? Ngawi. Ngawinya mana? Paron. Paronnya mana? Itulah kampung halaman. Begitu terus, dan Anda akan selalu menemui kenyataan bahwa kita ini berbeda-beda. “Pada waktu kita ngomong air, neng kene banyu, neng kono ci, neng kono aya, neng kono aing, neng kono danun, cobo?” IBS memberi contoh kecil.
Ruangan sudah mulai sepi waktu itu, IBS yang duduk di samping kiri saya menambahkan keterangan, “Mata Khatulistiwa itu isinya bukan sekadar puisi. Nek dibanding-bandingke, seperti Al-Qur’an, itu bentuknya juga puisi tho, tapi sebetulnya isinya adalah nilai-nilai antropologis. Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi,” katanya dengan logat khas Jawa Timur bagian barat. Negara yang seharusnya terbebani pekerjaan “penjagaan persatuan” semacam ini. Namun keragaman yang nyata sehari-hari kita hadapi ini sedang ditunjukkan sebisanya, semampunya, oleh mereka para penyair dalam buku ini. “Negara, yang dipikirkan Indonesia, itu satu. Keragaman ini pada suatu saat akan terlupakan, padahal isih enek. Iki lho sing medeni,” IBS menambahi keterangan. Saya simpulkan ya, kehadiran seluruh keragaman Nusantara dalam Mata Khatulistiwa juga merupakan bentuk ajakan untuk kembali pulang ke lokalitas – meminjam IBS – yang tersisih dan tertindih oleh Indonesia itu. Wah, saya justru ada pertanyaan lagi: Sebenarnya ke mana seluruh keragaman yang terancam ini akan bermuara?
~~~
Foto: Mas Rency Timoho
Kamis, 3 Mei 2018 lalu, tepat 188 tahun dari hari ketika Pangeran Diponegoro diasingkan. Pengasingan ini telah menjadi pengalaman pertama Pangeran meninggalkan Jawa. Sepeninggalnya itu, Pangeran tak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Meski demikian, seperti semua pahlawan yang diasingkan, sosok Diponegoro diafirmasi sebagai seorang manusia berdaulat. Pangeran Diponegoro tentu bukan simbol kekalahan pribumi melawan kelicikan kolonialisme. Sebaliknya ia adalah salah satu penanda perlawanan dan perjuangan ‘kaum Muslim’ melawan kezaliman yang ditumbuhkan Belanda di negeri ini.
Oleh karena simbol perjuangan itu, Pangeran hidup di dalam memori bangsa Indonesia. Ia dimaknai dalam kehadirannya sebagai seorang pahlawan. Kehadirannya sebagai seorang pahlawan seringkali menuntut pengesahan total bahwa dirinya bukan berjuang karena ambisi kekuasaan politik semata. Sejarawan Peter Carey bahkan menegaskan bahwa betapa bermaknanya perjuangan lima tahun orang Jawa dalam Java Oorlog yang dipimpin oleh Pangeran sendiri. Bahkan Perang Jawa menjadi unik dibandingkan perlawanan-perlawanan lainnya, karena “… untuk pertama kali pemberontakan [sic!] pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah-Selatan, yang pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton.” (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”, a.b. Parakirti T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. xxxix).
Dalam kezaliman yang terus dilestarikan misi penjajahan itulah Diponegoro diasingkan dengan segenap kehinaan yang ditayangkan oleh Belanda. Seorang Pangeran muda dari Belanda sewaktu mengunjungi pengasingan Diponegoro di Fort Rotterdam, Makasar, bahkan memperlihatkan rasa simpatinya. Sebab, Prince Hendrik de Zeevaarder, pangeran muda itu, bahkan menceritakan bagaimana Belanda memperlakukan Pangeran Jawa ini. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, ia mengatakan:
“Hari pertama [di Makassar] melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tahanan kita yang kelihatan tidak bahagia, Diepo Negoro … yang jatuh ke tangan kita secara curang. Ia mendatangi saya, menggandeng tangan dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai satu, ia mengatakan … bahwa ia sangat gembira ada seseorang yang datang mengunjunginya di tempat kediaman yang menyedihkan itu. … ia tertawa lebar, tetapi raut kegirangannya itu terlihat dipaksakan, tidak spontan, tidak wajar … orangnya menyenangkan dan saya dapat melihat semangatnya yang masih membara” (Dikutip dari Peter Carey, “Destiny: The Life of Prince Dipanegara, 1785-1855”, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 407).
Sebuah Refleksi Kezaliman yang Aktual
Perjuangan Pangeran Diponegoro memang perlu dihidupkan kembali. Dalam hayat bangsa ini, Diponegoro tidak hanya hidup dalam tradisi dan dimaknai dalam konteks historisnya yang telah mati. Pemaknaan yang tepat untuk membawa ‘semangatnya yang masih membara’ itu terkadang memerlukan refleksi yang mendalam. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menjelaskan arti kehadiran sosok pahlawan dalam kekinian kita. Sejarawan senior itu berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah Sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungan itu terjadilah suatu penggabungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh” (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 6).
Dalam kesadaran ‘semangat yang terus membara’ pada memori kolektif bangsa, kita memilih Pangeran Diponegoro sebagai sosok pahlawan. Penyimbolannya sebagai penentang kezaliman-pun senantiasa hadir dalam semangat historical booming seperti pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan sejarah tanpa anakronisme-anakronisme atau interpolasi kekinian-pun kini telah mampu menjelaskan bulatan-bulatan riwayat dari kelahirannya, pembulatan tekad, pembentukan keteguhan kepribadian melalui agama Islam, dan perang-perang yang dilaluinya, hingga nanti ia diasingkan dan wafat dalam pengasingan. Oleh karenanya, kenyataan sejarah yang telah jelas itulah, sosok Pangeran Diponegoro bersama pejuang-pejuang yang lainnya selalu aktual dalam masa yang sedang kita jalani atau ke masa-masa lain yang akan kita tempuh. Jika demikian, maka siapa kiranya yang meragukan bahwa semangat penentangannya melawan ketimpangan yang terjadi di masanya akan tetap aktual?
Bersama dengan ‘dua aktual’ itu, kita menghayati kontekstualitas kepahlawanan Diponegoro yang dihidupkan dalam renungan peradaban oleh kaum pergerakan, untuk melawan ‘kezaliman’ kontekstual-aktual dalam bentuknya yang selalu bersifat kekinian. Keyakinan atas hidupnya imaji kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam memori bangsa Indonesia menyebabkan ia terus dikenang secara inspiratif, dijadikan simbol perlawanan terhadap penjajahan, sosok yang berdaulat, dan anti penindasan.
Dari kisah hidup Pangeran Diponegoro kita mampu memahami betapa panji-panji agami Islam yang dipupuk oleh nenek buyut Sang Pangeran sedari kecil menjadi pilihan untuk mengatasi seluruh kekacauan sosial-ekonomi dan agama sebelum meletusnya perang Jawa. Pangeran Diponegoro memahami, ia tengah berada pada sebuah ambang peradaban. Di balik punggungnya ia merasakan tenggelamnya tatanan lama Jawa dengan segenap kewibawaan dan harga dirinya. Sedangkan ‘Orde Baru’ Daendels dan kekalahan menyakitkan dari Inggris yang menjarah kekayaan literasi perpustakaan keraton Yogyakarta terletak di depannya. Seakan dari semburat peradaban Barat itulah, ‘kehancuran Tanah Jawa’ menjadi suatu kepastian. Sejak zaman bubrah-nya tatanan lama Pulau Jawa itu, pajak-pajak dibebankan terlalu berat, mental pribumi dirusak, harga diri kaum perempuan sering dihinakan di keputren keraton, gagal panen, penyakit yang mewabah, candu, dan kerusuhan-kerusuhan menggejala. Dari kesemua itu, Jawa sebagai sebuah bangsa menghadapi bencana yang berdampak lama bagi peradabannya: keruntuhan adab dan moralnya. Dalam bahasa cendikiawan Muslim paling berpengaruh saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, rusaknya tatanan Jawa dalam berbagai aspeknya disebut de-Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2010, hlm. 57).
De-Islamisasi Konseptual: Sejarah Diponegoro sebagai Pokok
‘Kezaliman’ bisa menjelaskan bagaimana keruntuhan dan kehancuran Tanah Jawa dan bubrah-nya tatanan lama itu bisa disebut sebagai ‘de-Islamisasi’. Di lain pihak, dari puncak-puncak pemikiran Prof. Al-Attas, Islamisasi menjadi salah satu telaah paling penting dalam merenungkan proses terjadinya satu tatanan yang ideal dan di mana de-Islamisasi merenggut idealitasnya. Islamisasi menjadi konsep paling baik dan tepat untuk menjelaskan aktualitas kezaliman, dan mengapa ia tidak terputus pada satu rangkaian peristiwa dalam sejarah tertentu.
Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme)
Menurut Prof. Al-Attas, hakikat Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan. Pembebasan yang hendak disasar oleh Islamisasi adalah ruh manusia daripada jasad-jasmaninya. Tindakan yang paling bermakna bagi manusia adalah berpangkal dari ruhnya, dan oleh sebab itu segala bentuk ‘keruntuhan’ dan ‘kebubrahan’ sama dengan menyasar unsur ruh dibanding ‘kerusakan’ jasmani. Kerusakan jasmani hanyalah satu dampak kecil dari kerusakan ruh yang telah menjauh dari Islamisasi. Ia menjadi salah satu saja korban dalam de-Islamisasi yang bertentangan dengan Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 55).
Dari tatanan pembebasan itulah, Islamisasi menjadikan kehidupan termaknai dengan harmonisme dan ketentraman bahkan secara jasmaniah (sebagai dampak dari pembebasan ruh itu), dan juga wujud akurnya manusia dengan alam. Dalam hubungan-hubungan inilah kita mampu mengerti mengapa suatu kondisi yang penuh dengan pembebasan yang menyasar sistem ruh dalam manusia menyebabkan manusia mencapai kesadarannya sebagai penjaga alam lingkungannya. Sementara dalam rangkaian situasi yang de-Islamistis, wisdom manusia mengalami kehancurannya. Keadaan dan proses ini menyebabkan pembudakkan dan kehancuran tatanan yang berpangkal dari pikiran sampai hidupnya eksploitasi alam dan kacaunya aspek-aspek dalam kehidupan.
Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung.
Islamisasi, menurut Prof. Al-Attas, adalah sebuah devolusi atau penyerahan pada keadaan asalnya. Sebaliknya, dalam keadaannya yang merusak ruh, manusia hanya terjelma dalam diri jasmani yang alpa, jahil, dan zalim. Dalam keadaan individu demikian, manusia yang kehilangan ruh, bukanlah manusia yang sempurna. Sehingga dalam pengertian kolektif (non-individu), sosial, historis, dalam paparan Prof. Al-Attas, Islamisasi merujuk pada perjuangan suatu komunitas menuju pencapaian kualitas moral dan etika sebagai sebagian dari kesempurnaan sosial yang telah dicapai pada zaman Nabi, shalallahu ‘alayhi wassalam, di bawah tuntunan Allah Subhanawata’ala (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 56).
Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme), dan juga sebagai ‘khalifatur Rasul’ yang seakan mengemban misi kenabian, sebagaimana misi ‘Islamisasi’ itu dijalankan untuk ‘kesempurnaan sosial menuju kualitas moral dan etika’. Sebab, kesaksian Pangeran terhadap kerusakan tatanan adalah kematian peradaban Jawa itu sendiri. Dalam keruntuhan itu, moral dan etika manusia Jawa mengalami kemerosotan dan menghalanginya mencapai kesempurnaan sosial—atau keadilan sosial.
Konteks kisah hidup Diponegoro oleh karenanya bukan saja menjadi satu rangkaian sejarah yang terputus dalam perjalanan sejarah agama di Nusantara. Ia menjadi satu bagian dari hayat islamisasi sejak pertama kali menyentuh dan memberikan peran rasionalisasi daya berpikir dan berjiwa bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu-Nusantara. Itulah sebab Prof. Al-Attas secara konseptual-aktual melekatkan gambaran Islamisasi dari akar-akar filosofisnya menuju pada cabang-cabang praktisnya di Nusantara, yakni secara historis menggejala dalam rangkaian peristiwa-peristiwa. Di antara Islamisasi yang secara historis menggejala itu –kelahiran, kehidupan, dan tragedi– Pangeran Diponegoro adalah satu babakan tersendiri dalam salah satu perjuangan Islamisasi di Nusantara, tatkala ia akhirnya menemukan konfrontan peradabannya: peradaban Barat melalui kolonialisme Belanda yang de-Islamistis.
Sejarah perkembangan realitas Islam di Nusantara salah satunya terbentuk melalui kedirian Diponegoro sebagai pusat, dengan lingkungan historisnya adalah alam yang melingkupinya. Di bawah panji-panji agami Islam yang ditawarkan Diponegoro, serta kesaling-terkaitnya komunitas santri dalam perjuangannya itu, memperlihatkan betapa agami Islam memberi kekuatan yang aktual. Karena kekuatannya pula, kedirian Diponegoro menjadi sosok inspiratif pada zaman-zaman setelah kematiannya sekalipun. Diponegoro bukan hanya dimaknai sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai suatu hayat yang berada di tengah-tengah permasalahan segala zaman. Karena suatu tatanan baru yang berdaulat hendak ditegakkan maka relevansi kehadiran Diponegoro menjadi selalu kontekstual pula.
Kehadiran Barat dalam peradaban Jawa itulah yang disaksikan Diponegoro sebagai de-Islamisasi—bukan hanya dalam bidang agama itu sendiri, tapi juga aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi Jawa. De-Islamisasi berkembang karena keruntuhan moral individual orang Jawa. Di sanalah terletak kemerosotan mental Jawa dihadapan peradaban kompeni yang eksploitatif. Ketika Jawa dihadapkan dengan ragam pilihan dalam mengembalikan tatanan lama ataukah menuruti arus penguasaan Belanda, akhirnya ‘pemimpin-pemimpin palsunya’ memilih mendekatkan diri pada kejahilan dan kekeliruan (zulm) yang dipraktekkan Belanda. Maka menjadi terang bahwasannya ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam perspektif Islamisasi itu sendiri.
Kemanusiaan Diponegoro: Suatu Simpulan
Berada pada puncak-puncak nalar Islamisasi, di mana Diponegoro berusaha untuk mengembalikan tatanan baru yang suci dari pengaruh kekeliruan (zulm), Pangeran telah menjadi sosok yang merepresentasikan esensi kesejatian dari kemanusiaan. Ia menjadi sosok yang mengabdikan diri dan jasadnya pada satu pendekatan esensial dalam memperbaiki jiwa peradaban melalui individu-individunya. Sebagai seorang Muslim-Jawa, Pangeran sadar betul tingkah laku bangsa-bangsa Barat yang pernah berhubungan dengan keraton. Sejak era kedatangan Daendels –sebuah awal keruntuhan Jawa dimulai– lalu diikuti dengan Inggris, dan dikembalikan pada Belanda –yang telah menjajaki watak kesewengannya dalam merenggut harga diri orang Jawa– orang Jawa selalu ditimpa kemalangan. Dalam bahasa Pangeran, kemalangan yang menimpa orang Jawa salah satu bermusabab dari dijauhkannya orang Jawa dari ‘hukum Ilahi yang disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.’ (Peter Carey, Takdir …, hlm.288, 289 dan 195).
Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan Budaya yang melingkupinya.
Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung. Ini senada dengan definisi de-Islamisasi yang disampaikan Prof. Al-Attas: “Deislamisasi adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan kelalaian terhadap Islam dan kelalaian terhadap kewajiban kepada Allah dan Nabi-Nya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya sebenarnya. Oleh karena itu, kelalaian ini juga adalah ketidakadilan (zulm) …” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 57) Kemerosotan yang dialami oleh manusia Jawa pada berbagai aspek –dalam situasi ketidak-adilan yang merenggut keadaan semestinya dari kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, dan serta hayat keagamaan dalam keseharian mereka– merupakan bentuk de-Islamisasi yang mengakibatkan kejahilan dan kekeliruan.
Sebab, menurut Alija Ali Izetbegovic, “Tanpa sentuhan ilahi, hasil evolusi [dalam pandangan Darwinisme] tidak akan berupa manusia, melainkan binatang yang berkembang, seekor binatang super, atau makhluk bertubuh manusia dan memiliki kecerdasan manusia tapi tanpa hati dan kepribadian. Kecerdasannya yang tanpa pertimbangan-pertimbangan moral mungkin sekali akan lebih efisien, tapi pada saat yang sama juga akan lebih kejam. Sebagian orang membayangkan jenis makhluk ini sebagai datang dari sebuah planet yang jauh di alam semesta ini; sebagaian yang lain melihatnya sebagai produk peradaban kita pada tingkat perkembangannya yang tinggi.” (‘Aliya ‘Ali Izetbegovic, “Islam between East dan West”, a.b. Ahsin Mohammad, Islam antara Timur dan Barat, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 34).
Artiannya, makhluk materi dalam tradisi Darwinian telah gagal dalam melakukan penggambaran manusia. Kenyataannya, manusia adalah makhluk ‘Ilahiyah’ yang mau dan mampu melakukan perjuangan untuk mencapai ‘sentuhan ke-Ilahi-an’ untuk melawan kezaliman—yakni kondisi terhadap kebutaan total atas eksistensi. Dalam kondisi ke-ilahi-an tersebutlah manusia bisa dilihat dari kemanusiaannya. Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan budaya yang melingkupinya. Pangeran hidup bersama misi yang diembannya dalam mengembalikan tatanan Jawa yang berdaulat di bawah ‘ajaran keselamatan Kanjeng Nabi dan Gusti Allah’. Allahu a’lam.
Cilodong, 12 Mei 2018
Seorang akademisi sekaligus seniman dari salah satu yang berdomisili di Yogyakarta, Prof. Suminto A. Sayuti, pernah mengemukakan cerita menarik ketika menjadi pembicara dalam sebuah forum ilmiah di suatu kampus. Prof. Sayuti mengemukakan bahwa dirinya pernah membuat marah banyak orang ketika dirinya menyatakan tidak terlalu bangga saat wayang kulit ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Prof. Sayuti memberikan alasan mengapa ia tidak merasa terlalu bangga dengan capaian tersebut. Memang benar sebagai atribut budaya, wayang kulit mendapat penghargaan global, tetapi apalah artinya penghargaan itu jika di dalam negeri sendiri wayang kulit tidak menjadi sebuah budaya yang “dihidup-hidupkan” oleh masyarakat luas atau bahkan dunia kampus. Pagelaran wayang kulit paling tidak hanya muncul setahun sekali untuk memeriahkan sebuah event tertentu.
Realitas ini bagi Prof. Sayuti menunjukkan bahwa capaian global tersebut hanya bersifat semu semata, karena wayang tidak lebih sebagai benda yang “difosilkan” –istilah ini murni dari penulis. Contohnya, ketika kita melihat fosil binatang purba di museum kita akan terkagum-kagum dengan fosil tersebut. Tetapi benda tersebut berjarak dengan kita, namun yang bisa kita lakukan hanyalah melihatnya dari balik kotak kaca atau garis pembatas agar benda tersebut tidaklah rusak.
Sebagaimana fosil dalam museum tadi, eksistensi wayang kulit juga begitu berjarak dari kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga keberadaanya justru menjadi absrud. Di satu sisi wayang kulit dianggap sebagai “masterpiece” kebudayaan dunia tetapi disisi lain karena “keagungannya” tersebut justru menghasilkan jarak dari kehidupan sehari-hari.
Lebih parah menurut Prof. Sayuti penghargaan dari UNESCO tersebut tidak berimplikasi pada peningkatan taraf hidup para dalang misalnya. Wayang boleh diakui dunia tetapi kesejahteraan dalang justru kian hari kian memprihatinkan. Lambat laun jika hal ini terus terjadi bisa jadi para dalang yang cekatan memainkan pertunjukan tersebut akan punah dan hilang sama sekali. Dan, apa yang tersisa hanyalah entitas wayang itu sendiri yang sepenuhnya menjadi “fosil”.
Fosil-isasi mungkin memiliki maksud untuk melindungi suatu entitas atau obyek yang dipandang memiliki nilai lebih, tetapi eksistensi dari entitas itu tidak diperhatikan sama sekali. Ia dipandang tidak lebih dari penanda masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan masa kini. Kalaulah ada posisinya, maka fungsi dari obyek tersebut adalah sebagai benda yang dapat mengantarkan kita untuk bernostalgia dengan masa lampau tersebut.
Kasus wayang kulit yang menjadi tema sentral dalam pembicaraan Prof. Sayuti –sejatinya– dapat dikontekstualisasikan untuk membaca kasus Resolusi Jihad yang dicanangkan para kyai sebagai landasan historis sumbangsih santri dalam pendirian negeri (termasuk tentunya melibatkan nama kyai kondang Nusantara Hasyim Asy’ari). Beberapa tahun yang lalu Resolusi Jihad mungkin hanya diingat di kalangan santri saja, tetapi kini pemerintah memaknai ulang Resolusi Jihad sebagai suatu peristiwa sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia dan –entah kepentingan apa yang melatar belakanginya– memilih menjadikannya hari nasional (dikenal dengan istilah Hari Santri).
***
Pengakuan Resolusi Jihad sebagai peristiwa nasional yang penting tentunya berpotensi menjadikan kita semua terlena bagitu saja dengan capaian tersebut. Sebagaimana kisah wayang yang diceritakan Prof. Sayuti, sangat mungkin kasus Resolusi Jihad menjadi sebuah ritual nostalgia belaka atas masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan keadaan masyarakat saat ini. Resolusi Jihad sebagai “maha karya” para santri (dan kyai) untuk melawan kolonialisme yang menyengsarakan rakyat hanya berhenti menjadi “secarik kertas” yang tersimpan dengan “mewah” dalam sebuah “museum”. Resolusi Jihad sekedar menjadi “fosil” untuk setiap tahun dirayakan oleh kalangan santri dan masyarakat secara umum dalam rangka bernostalgia mengenang sebuah kejadian yang “sakral” di masa lampau.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks Resolusi Jihad.
Mengacu pada data yang dimunculkan sejumlah intelektual dan aktivis muda NU yang tergabung dalam jaringan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), menunjukkan bahwa saat ini banyak masyarakat bawah –terutama di daerah yang didominasi oleh kalangan santri– menderita akibat berbagai ekspoitasi sumber daya alam. Di sebagian tempat tanah mereka diserobot paksa, di tempat lain sumber mata air diprivatisasi, di kawasan yang lain lagi lingkungan mereka tercemar oleh dampak-dampak dari kegiatan eksplorasi perusahaan-perusahaan asing (FNKSDA: 2013). Temuan tersebut menunjukkan bahwa pengakuan resolusi jihad yang dilakukan oleh pemerintah –sejak tahun 2015– ternyata tidak berimplikasi pada peningkatan keamanan dan kesejahteraan santri sebagai salah satu eksponen warga negara di negeri ini. Apalah artinya pengagung-agungan suatu “teks”, jika spirit anti penindasan yang termanifestasi dalam “teks” tersebut justru tidak teraplikasikan secara nyata di bumi Indonesia?
Bila Prof. Sayuti –dalam kasus wayang kulit– menawarkan sebuah jalan keluar untuk mengatasi realitas yang tidak ideal tersebut, dengan mengusulkan kepada kampus-kampus di Yogyakarta agar memberi ruang aktualisasi pada wayang kulit dengan cara mengadakan tangggap wayang setiap minggunya. Terlebih bagi kampus-kampus yang memiliki program studi/jurusan ilmu budaya di dalamnya, dibandingkan dengan mengadakan diskusi tentang wayang yang telah diakui UNESCO. Menurut Prof. Sayuti hanya dengan cara semacam itulah wayang menjadi tidak lagi berjarak dengan realitas masyarakat, karena hampir setiap saat bisa mereka saksikan tiap minggu. Begitu pula dengan kesejahteraan para dalang tentunya. Ketika permintaan akan pagelaran wayang semakin meluas tentunya justru semakin meningkatkan taraf hidup para dalang dan bahkan sangat potensial menumbuhkan dalang-dalang baru karena merasa dengan mendalami seni wayang maka dirinya dapat mengaktualisasikan jiwa seninya tanpa harus khawatir dengan problem finansial untuk menopang hidupnya.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks resolusi Jihad. Resolusi jihad haruslah ditransformasikan menjadi sebuah framework yang memandu logika kerja para akademisi, ataupun dalam dakwah para santri dan kyai. Dalam dunia kampus upaya menjadikan Resolusi Jihad sebagai framework berpikir para akademisi –terlebih akademisi Nahdliyin– akan menjadikan mereka kritis terhadap realitas yang tidak ideal di sekeliling mereka. Di kalangan pesantren logika Resolusi Jihad ini akan memperkuat rasa Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Ukhuwwah Wataniyah (cinta tanah air) serta menghasilkan gerakan perlawanan yang kuat membela kedaulatan agama, bangsa dan negara.
Wallahuallam.