Menu

Ki Ageng Suryomentaram

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Hal terpenting ketika kita hendak mengetahui sebuah objek adalah memahami maahiyyah alias ke-apa-annya. Maahiyyah (kuiditas) yang secara tidak tepat kadang disebut sebagai esensi, adalah apa yang menjadikan sesuatu menjadi sesuatu itu dengan sifat-sifat yang khas, baik terkait substansi maupun aksiden sesuatu itu. Dibedakan dari aksiden, esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu, yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal. Kuiditas (maahiyyah) berasal dari bahasa Latin quid est (atau bahasa Arab maa hiya, yang berarti apa itu?), adalah batas-batas yang diterapkan atas eksistensi oleh keterbatasan manusia dan, karena itu, tidak real.[1]

Begitu juga ketika kita berbicara tentang Tuhan dalam pengetahuan. Pertanyaan “apa” itu Tuhan adalah sebuah pertanyaan penting dan sah. Meskipun begitu, jawabannya tidak mesti mudah, bahkan tidak selalu mungkin. Mengetahui hakikat atau esensi Tuhan dikenal dalam sejarah pemikiran sebagai sesuatu yang sangat berat, bahkan mungkin di luar jangkauan manusia. Jadi, tidak heran kalau ada filsuf yang menyebut Tuhan sebagai The Great Unknown, Yang Besar tapi tak dikenal. Adapun maksud kata “tak bisa dikenal” adalah tidak bisa diketahui secara positif, tetapi secara negatif, atau dalam istilah filsafatnya, via-negativa. Via-negativa maksudnya adalah mengetahui Tuhan dengan cara membedakan-Nya dengan yang lain, seraya berkata, “Dia tidak seperti apa pun.” Via-negativa dikenal juga dengan Negative Theology.[2]

Nah, karena tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan Tuhan, sedangkan pengetahuan apa pun yang dimiliki oleh manusia tentang-Nya mestilah berupa sesuatu, maka pengetahuan kita tentang Tuhan pastilah tidak sama dengan-Nya. Begitu juga ketika kita menyetarakan Tuhan dengan apa pun, pastilah penyetaraan kita juga tidak sama, karena Dia tidak setara dengan apa pun. Dia adalah unik, dalam arti tidak ada duanya, tidak ada taranya. Deskripsi atau pemerian apa pun yang manusia buat tentang Tuhan, pastilah tidak akan pernah sama dengan-Nya.[3]

Karena kenyataan yang seperti itulah maka Ki Ageng Suryomentaram membedakan secara tegas antara pengetahuan yang hanya berdasarkan keyakinan (kawruh keyakinan) dengan pengetahuan berdasarkan realitas (kawruh nyata).

Tanpa melalui uraian yang rumit, keduanya langsung disederhanakan bahwa sumber dari semua kawruh keyakinan adalah ngira weruh (mengira tahu) sedangkan sumber dari kawruh nyata adalah weruh (benar-benar tahu). Ngira weruh selalu berangkat dari katanya-katanya (jare-jarene) termasuk katanya kitab suci yang tidak atau belum bisa dibuktikan secara nyata, spekulasi (dhuga-dhuga), dan otak-atik logika (pantes-pantese). Sedangkan weruh berangkatnya adalah dari sesuatu atau peristiwa yang telah benar-benar diketahui, baik melalui indera, rasa, atau pemahaman yang benar.

Sampai di sini, Ki Ageng lalu menyederhanakan bahwa yang menjadi asal muasal segala sesuatu maupun segenap peristiwa adalah apa yang diistilahkannya sebagai Barang Asal atau Bakal Barang. Jadi, Ki Ageng memang tidak pernah menyebut secara eksplisit dalam wejangannya bahwa asal muasal dari segala sesuatu itu adalah Tuhan atau Gusti Allah dalam bahasa orang Jawa.

Apakah karena yang demikian itu lantas kita harus menyimpulkan bahwa Ki Ageng tidak membahas Gusti Allah dalam wejangannya? Nanti dulu, Ki Ageng memang tidak pernah berkenan menggurui apalagi mendikte di dalam memberikan wejangan. Karena itu marilah kita cermati kutipan wejangannya berikut.

Weruh punika tiyang, dados tiyang punika langkung agung tinimbang kaliyan ingkang dipun weruhi. Ing ngriki tiyang, teges weruh. Wonten ing Kawruh begja, tiyang punika: asring teges weruh, asring teges karep, asring teges kramadangsa. Ingkang dipun weruhi punika barang salumahing bumi sakurebing langit, dados tiyang punika langkung agung tinimbang kaliyan barang salumahing bumi sakurebing langit. Lajeng kraos: ‘Aku kang luwih agung.’ Raos Aku kang luwih agung punika leresipun: ‘Aku kang maha agung.’ Nanging tembung maha agung, asring kangge namaning punapa-punapa ingkang tiyang boten mangertos. Dados sami kalian: U.I.A.AH.

Yen sampun kraos: ‘Aku kang luwih agung’ kados makaten, lajeng saben weruh punapa-punapa, negesi dhateng ingkang dipun weruhi. Mangka, raosing teges punika seneng. Mila tiyang punika lajeng sarwa seneng. Nalika pikiran punika namung dados praboting karep, boten saged nampeni teges. Mila tiyang boten saged negesi punapa-punapa. Wawasanipun dhateng barang-barang, namung miturut karepipun, inggih punika cengkah utawi mitulungi gegayuhanipun.

Raos maha agung punika nyirnakaken ajrih-ajrihan, mila wawasanipun lajeng leres, boten kaling-kalingan ajrih. Yen wawasan punika leres, tiyang anggenipun ngajeni utawi mawas dhateng barang-barang boten miturut karepipun. Namung punapa wontenipun, inggih punika negesi. Dados, ajrih punika ngalang-alangi tumitahing teges. Tiyang punika yen tanpa ajrih, saged ngadili prakawisipun tiyang sanes kanthi adil, tegesipun miturut raos adilipun. Ananging yen ngadili awakipun piyambak, lajeng mak kluwer miturut pangajeng-ngajengipun piyambak.

Wonten dedongengan, ratu ingkang linangkung mejahi para nyainipun. Jalaran para nyai wau mutahi jangan dhateng pangkonipun sang ratu. Ratu wau kraos getun lajeng minggat saking praja, lajeng madhukun-madhukun supados sampun dipun ukum pejah. Lho, rak mak kluwer, miturut pangajeng-ngajengipun.

(Yang weruh—dapat benar-benar mengetahui—adalah orang. Jadi, orang sebagai subjek yang tahu sesungguhnya lebih agung dari seluruh objek yang diketahuinya. Di sini orang sebagai subjek, tahu dengan sadar. Dalam kawruh begja, orang dapat diidentifikasi sebagai benar-benar tahu, dipaksa tahu oleh keinginannya, dan tahu berdasar subjektivitasnya. Objek yang diketahui adalah segala sesuatu yang berada di bumi dan di kolong langit. Jadi, orang sesungguhnya lebih agung dibandingkan segala sesuatu yang di bumi dan di kolong langit. Kemudian merasakan, “Aku yang lebih agung.” Rasa aku yang lebih agung ini sebenarnya, “Aku yang maha agung.” Namun, karena maha agung seringkali digunakan untuk menamai sesuatu yang orang tidak benar-benar pahami, jadi sama dengan: U.I.A.A.H.

Jika sudah merasakan, “Aku yang lebih agung” seperti itu, maka setiap kali mengetahui segala sesuatu, kemudian menyadari yang telah diketahuinya. Dan, kesadaran itu melahirkan rasa nyaman, senang. Maka dalam setiap saat dan keadaan, orang bisa senantiasa merasa nyaman. Tatkala pikiran hanya menjadi instrumen keinginan, maka tidak akan bisa menjadi sadar, karena itu orang tak dapat menyadari apa pun. Wawasannya pada setiap keadaan hanya berdasar kemauannya, jadi tidak sebagaimana keadaan benda atau peristiwanya tetapi disesuaikan dengan harapannya.

Rasa maha agung dapat menyirnakan segala sesuatu yang membuat khawatir, karenanya wawasan orang pun menjadi benar, karena tidak lagi terhalangi oleh ketakutan. Ketika wawasan sudah benar, maka orang di dalam menghargai dan menilai keadaan tak lagi berdasarkan kemauannya. Hanya apa adanya, yaitu cukup dengan menyadarinya saja. Jadi, ketakutan adalah penghalang dari lahirnya kesadaran. Orang yang tak lagi memiliki kekhawatiran akan dapat menghakimi persoalan orang lain dengan adil, artinya berdasar pada rasa keadilannya. Namun jika harus mengadili diri sendiri lantas menjadi tidak jelas, karena hanya berdasarkan kemauannya.

Ada dongeng tentang seorang raja yang terkenal bijaksana, namun pada suatu hari tega membunuh para selirnya hanya karena mereka telah menumpahkan sayur di pangkuannya. Sang raja merasa menyesal, lalu meninggalkan istananya, pergi kepada para dukun sakti untuk mendapatkan bantuan agar dirinya tidak diadili dan dihukum mati. Nah, jadi tidak jelas bukan? Sang raja yang terkenal bijaksana, ketika harus mengadili dirinya sendiri pun hanya menuruti harapannya agar bisa terbebas dari hukuman.)

Jelas sekali, kunci wejangan Ki Ageng di atas adalah kata weruh, dan yang bisa weruh hanyalah manusia. Dengan weruh-nya itu manusia lantas berhak mendaku sebagai yang maha agung. Namun, yang maha agung ini seakan-akan tidak pernah pantas disandang manusia karena yang berhak atas predikat Maha Agung hanyalah Gusti Allah.

Nanging tembung maha agung, asring kangge namaning punapa-punapa ingkang tiyang boten mangertos. Dados sami kalian: U.I.A.AH.” Artinya, predikat maha agung justru seringkali disematkan kepada sesuatu yang tidak manusia ketahui dengan sebenar-benarnya, hingga tak ubahnya seorang anak kecil yang melafazkan kata Gusti Allah dengan terbata-bata: U.I.A.AH.

Begitulah gaya Ki Ageng yang khas di dalam memberikan wejangan. Jika kita memahaminya dengan jernih tanpa tercampur dhemen (rasa suka) atau sengit (rasa benci), wejangan Ki Ageng di atas samasekali tak ada unsur untuk merendahkan Gusti Allah, bahkan menyejajarkan-Nya dengan manusia pun tidak. Ya, walau pun manusia menurut Ki Ageng memang dapat menjelma sebagai yang maha tahu, dan pengetahuan manusia menurutnya juga tanpa batas, namun sesungguhnya Ki Ageng tak pernah membiarkan manusia dapat berlaku di luar batas kemanusiaannya.

Weruh punika tanpa wangen. Wangening weruh punika ora weruh. Mangka ora weruh punika weruh, weruh yen ora weruh.” (Tahunya manusia itu tidak terbatas, karena batasan dari tahunya manusia adalah ketidaktahuannya. Padahal di saat manusia tidak tahu, sesungguhnya dia tetap tahu, yaitu tahu bahwa dirinya tidak tahu). Menarik bukan?

Di dalam mewejang, Ki Ageng sesungguhnya tidak hanya mengajak audiensnya untuk berolah pikir tapi juga sekaligus berolah rasa. Agar bisa rumangsa ora rumangsa bisa dalam bahasa Jawanya. Yakni lebih peka di dalam merasa, dan tidak buru-buru mendaku sudah begini dan begitu. Dan sebagai audiensnya, yang perlu kita siapkan hanyalah kejujuran. Yaitu jujur dalam merespon apa saja berdasarkan weruh kita yang tidak terbatas dan jangan sampai terperangkap pada ngira weruh.

Yen ora weruh punika dipun peksa-peksa, inggih mesti dados ngira weruh. Mila ngira weruh punika ora weruh. Ngira weruh punika ora weruh dipun peksa-peksa namung miturut pangajeng-ngajengipun, lajeng pados biridan-biridan, tandha-tandha, papadhan-papadhan, lajeng dados Kawruh keyakinan.” (Karena di saat kita tidak tahu namun memaksakan diri tetap merasa tahu, maka kita pun menjadi sok tahu. Padahal sok tahu itu hakikatnya tidak tahu. Sok tahu sesungguhnya adalah ketidaktahuan yang tidak diakui lalu dicarikan pembenarannya melalui berbagai ajaran, fenomena alam, atau berbagai analogi yang kemudian dijadikan kawruh keyakinan untuk jadi pembenar, namun tidak nyata.)

Dari seluruh pembacaan, penulis berkesimpulan bahwa Tuhan yang dikritisi oleh Ki Ageng Suryomentaram sesungguhnya adalah Tuhan yang dikategorikan oleh Ibn ‘Arabiy sebagai Al-Ilah al-Mu’taqad alias Tuhan dalam kepercayaan, keyakinan, ataupun sebaliknya, yakni Tuhan yang tidak dipercayai atau tak diyakini keberadaannya.  Tuhan dalam kategori ini pulalah yang telah ‘dibunuh’ oleh Friedrich Nietzsche, “Gott ist tot, gott bleibt tot, und wir haben ihn getotet!” (Tuhan telah mati, tuhan terus mati, kita telah membunuhnya!), atau yang disitir oleh Rabindranath Tagore dalam aforismanya, “In death the many becomes one; in life the one becomes many. Religion will be one when god is dead.” (Dalam hidup, yang satu menjadi banyak. Dalam kematian, yang banyak menjadi satu. Agama-agama—termasuk kayakinan yang anti agama—hanya akan menjadi satu setelah tuhan mati.)

Adapun yang diistilahkan oleh Ki Ageng dengan Barang Asal atau Bakal Barang, Ia adalah Tuhan yang oleh Ibn ‘Arabiy disebut sebagai Al-Ilah Al-Muthlaq alias Tuhan yang sebagaimana wujud-Nya, Tuhan yang apa ada-Nya, atau Tuhan Mutlak yang tak bernama maupun Tuhan yang bisa dinamai apa saja. Tuhan dalam kategori inilah yang oleh Santo Thomas Aquinas dinyatakan, “Quasi ignotus cognoscitur” (Tuhan dikenal sebagai Dia yang tak dikenal), atau yang dibahasakan oleh Abu Bakar Ashshidiq, “Al-ajzu ‘anil idraaki ghayatul idraak” (Ketidakmampuan memahami Tuhan adalah puncak pemahaman terhadap-Nya), juga yang dibahasakan oleh para leluhur orang Jawa, “Tan kena kinaya ngapa” (Yang tak dapat direka-reka bagaimananya), atau “La yukayapu” (Tak ada cara yang bisa diajarkan untuk menemukan-Nya), ataupun yang ditegaskan oleh Alquran, “Laysa kamitslihi syai…”(Tak dapat diserupakan dengan sesuatu), dan yang tak didefinisikan dengan kalimat apa pun oleh para santo serta orang-orang suci seperti Zarahtustra, Budha, juga yang lainnya.

Dan, Tuhan dalam kategori kedua itulah yang oleh Ki Ageng diwejangkan secara tersirat telah ‘menubuh’ pada diri setiap manusia dengan menjadi karep-jasad-aku-nya, sehingga ber-tajalli sebagai manusia kuasa. Yaitu manusia yang tidak lagi merasa perlu mencari-cari keberdayaan di luar dirinya, karena kuasa manusia adalah otomatis juga merupakan kuasa Tuhannya sebagaimana saat ia melempar maka bukanlah dirinya yang melempar namun Tuhanlah yang melempar. ***

*Esai ini dipresentasikan dalam Dialog Ramadhan Mushalla Rahardja Paramadina, 20 Juni 2017.

 

 

[1] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf; Sebuah Pengantar, Mizan 2017 hal. 14.

[2] Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan; Panduan memahami Tuhan, alam, dan manusia, Mizan 2017 hal. 3.

[3] Ibid, hal 4.

 

Sejarah Indonesia mengandung sejarah getir Buruh. Sejarah mencatat jejak ajaran-ajaran tentang buruh, bermisi pengabdian atas kekuasaan dan hidup. Pengabdian sering ambigu, berpengertian sadar sebagai takdir atau pilihan untuk melakoni hidup dengan afirmasi hierarki sosial, ekonomi, teologi, politik, dan kultural. Buruh menjadi pokok dan tokoh: menjelaskan kisah manusia, dari zaman ke zaman. Buruh adalah manusia dengan derita, tawa, impian, air mata, doa, keluhan, kepasrahan, ketulusan.

Ki Ageng Suryomentaram (1985) menuturkan bahwa Jiwa Buruh adalah realisasi unsur-unsur pendidikan, pengalaman, pergaulan, dan pandangan hidup. Olahan pelbagai unsur membuat jiwa buruh tampil dalam corak-corak berbeda.  Buruh sering identik dengan golongan asor atau rendah. Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis. Kualitas kerja buruh bisa diakumulasi sebagai modal, menaikkan posisi meski realisasi jiwa buruh masih terkekang dan teriikat oleh “pengabdian.” Buruh hidup dengan keterbatasan. Ikhtiar “mengatasi” dilakukan melalui afirmasi terhadap pelbagai nilai-nilai mengacu pada tatanan hidup kalangan elite.

Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis.

Istilah buruh melekat ke pelbagai jenis pekerjaan. Nilai pengabdian buruh dalam anutan kultural Jawa dilegitimasi oleh penguasa sebagai kebajikan tertinggi dan terhormat. Pengabdian hampir seperti takdir, bersesuaian dengan referensi feodalistik. Pengajaran “jiwa buruh”  dan pengabdian memang halus, memakai medium sastra dan seni sebagai suguhan hiburan, edukasi, dan indoktrinasi. Buruh pun terjinakkan saat posisi mengawang untuk menggapai nilai-nilai formalistik-feodalistik, berbingkai kekuasaan, etika, estetika, filosofi.

Eksistensi dan kadar kepuasan buruh menentukan keberlangsungan tipe peradaban dalam jejaring ekonomi, politik, agama, hukum, pendidikan, dan seni. Sejarah Jawa tampil lugas, mengesankan puncak-puncak dan keruntuhan peradaban menggunakan acuan peran atau otoritas kelas penguasa. Buruh absen dari pembacaan peradaban. Jiwa buruh memang diajarkan secara intensif dalam pelbagai teks sastra Jawa tapi jarang tercatat sebagai subjek menentukan dalam kronik peradaban. Sekian teks sastra Jawa gamblang mengandung ajaran mengenai kodrat, mekanisme pengabdian, pamrih, berkah, dan kepasrahan.

Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama.

Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama. Serat Wulangreh gubahan Paku Buwono IV mengandung ajaran-ajaran untuk abdi: mengekspresikan pengabdian dengan pelbagai pembenaran dan janji muluk. Abdi menemukan makna kehadiran saat mengabdikan diri pada raja. Hidup dan mati dalam doktrin pengabdian  dikesankan seperti pencapaian tingkat kerohanian, mengacu ke kosmologi dan teologi. Pengabdian dikenai dalil-dalil profan dan sakral. Keringat buruh dan ketataatan pada Tuhan terepresentasikan dalam pengabdian pada raja.

Jiwa buruh tampak tampil dalam pembagian jenis perkerjaan atau pola pangkat (jabatan). Jiwa buruh terus mengalami penguatan dan pembentukan ulang sesuai situasi zaman. Nilai pengabdian buruh pun terukur melalui angka berkonteks ekonomi-politik. Penghitungan kualitatif bernalar kekuasaan tradisional segera dialihkan ke jenis kekuasan modern. Perubahan terjadi melalui klaim sosialisme, kapitalisme, modernisasi, demokratisasi, pembangunan, dan globalisasi. Jiwa buruh masih belum menemukan pintu kemerdekaan akibat  dominasi dari intruksi, imperatif, dan represi.

Ajaran menjadi abdi (buruh) dalam tarikan masa lalu terkandung dalam Serat Sasanasunu gubahan Yasadipura II. Abdi cenderung diartikan sebagai sebutan untuk calon priyayi (Sukri, 2004: 265). Yasadipuro II menulis: Kalamun tinitah sira/ angabdi jroning nagari/ den taberia sewaka/ yen durung pinaring sabin/ aywa sira angincih/ mrih mbalendung ingkang wadhuk/ pandhuk sadaya daya/ yen tak durung potong kardi/ tekdena awisma neg pasewakan (Jika engkau ditakdirkan/ menjadi abdi kerajaan/ hendaklah engkau rajin menghadap/ jika belum diberi sawah/ janganlah engkau bernafsu untuk memperoleh/ untuk menuruti keinginan perutmu/ atau ingin cepat memperoleh hasil/ jika engkau belum memperlihatkan kerja/ niatkanlah tinggal di paseban). Jiwa buruh dalam impian martabat kepriyayian terasakan dalam ajaran-ajaran dengan sentuhan kerohanian Jawa.

Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh.

Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh. Impian mesti dirawat dengan formalitas takdir, diacukan ke penguasa. Nilai dan makna kehadiran diri buruh hampir tak memiliki otonomi akibat kesenjangan pemberian-penerimaan. Model lawas disalin dalam kehidupan modern. Pemerolehan ijazah dari jenjang pendidikan tinggi tak sanggup menghapus mentalitas dan jiwa buruh demi pengabdian ber pamrih materialistik dan pragmatis. Jiwa buruh tanpa otonomi diri justru dilanggengkan, berdalil modern melalui institusi pendidikan, politik, ekonomi, media massa, atau keluarga.

Jiwa buruh pada masa sekarang identik dengan inferiorisasi dan mengandung stigma buram. Pola hubungan buruh-majikan masih diliputi godaan-godaan negatif dan destruktif. Ki Ageng Suryomentaram menuturkan: “Seorang buruh berjiwa persahabatan akan memandang majikan sebagai teman untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama, teman untuk memberantas malas dan boros bersama, dan menjaga jangan sampai ada kekayaan digunakan untuk sewenang-wenang.” Tuturan mengandung kebajikan tapi susah direalisasikan pada zaman sekarang. Majikan nakal dan korupsi adalah kelumrahan. Buruh marah dan menderita adalah konsekuensi. Ajaran itu dimaksudkan untuk mencapai jiwa buruh merdeka dan bahagia. Begitu.

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti <a href=

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).

Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.

Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.

Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):

Bener luput ala becik lawan begja

Cilaka apan saking

Ing badan priyangga

Dudu saka wong liya

Pramila den ngati-ati

 (pupuh VII, durma 3)

Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan

Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan

Dalam tiap-tiap diri kita

Dan bukan dalam diri orang lain

Maka dari itu kita mesti berhati-hati

Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.

Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).

Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.

Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.

Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).

Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan

Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.

1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.

2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).

KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.

(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).

KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).

Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).

KAS, Kawruh pamomong.

KAS, Djiwa persatuan.

KAS, Djiwa buruh.

KAS, Ilmu djiwa.

KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).

KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.

KAS, Pandangan keadaan dunia.

KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).

KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.

KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).

(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).

KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.

KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.

KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.

KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).

KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.

KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.

KAS, Tata negara.

KAS, Djiwa Ngajogjakarta.

KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.

KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.

KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

1)  Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;

2)  Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.

Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.

Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.

Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.

Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.

Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara  44: 4 (April 1975), hal. 137–39.

Habis…

Monggo dibaca lagi:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III


Catatan Kaki:

1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.

2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).

3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.

Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.

Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.

4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.

5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.

6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.

7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.

8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti <a href=

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


“Sang Pemimpin” dan Para Pengikutnya

idorong oleh perhatian yang nyata terhadap “pengajaran”, KAS merefleksikan secara panjang lebar perihal pendekatan yang perlu dipakai oleh seseorang yang mempelajari “Ilmu Jiwa”.[1] Yang pertama, dia harus menyadari bahwa ilmu ini sangat sederhana dalam ajaran-ajarannya, namun (sekaligus) sangat sulit ketika akan dipraktikkan.

Sederhana dalam hal cara dia menggambarkan pikirannya. Hal tersebut diujarkan dalam perumpamaan, di mana setiap gagasan ditampilkan melalui peristiwa sehari-hari, meski sering kali mengandung risiko, karena hal itu di hadapan kita nampak sebagai sesuatu yang remeh-temeh. “Hal pertama kali yang mesti seseorang lakukan untuk memastikan keberlanjutan keturunannya adalah memiliki mertua, istri, lalu anak, kondisi yang tidak berlaku bagi sapi-sapi, misalnya, karena mereka tak perlu memiliki mertua dan istri.”[2] Menciptakan secara konstan perumpamaan-perumpamaan seperti itu sesuai dengan gagasan bahwa pengalaman seseorang merupakan sumber utama bagi kebangkitan kesadarannya.

Elemen-elemen dari setiap pernyataan yang berbeda secara hati-hati didefinisikan dan dianalisis satu per satu. Alasan-alasan disampaikan melalui serangkaian antitesis, dirancang secara dialektis, untuk menggugah para pendengar dan pembacanya tentang citra harmoni dalam setiap argumen yang dia sampaikan.

Sangat sedikit kata-kata dalam bahasa asing, bahkan Indonesia sendiri, yang bisa ditemukan. Meski KAS menemukan sendiri istilah-istilah yang digunakannya (kramadangsa, ukuran kaping sakawan, raos sewenang-wenang, dan lain-lain), namun secara umum dia sebenarnya menggunakan kosa-kata yang sederhana untuk menghindari perangkat-perangkat literer yang baku. Jika kalimat yang dia gunakan kemudian tidak selamanya baku, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa versi asli ceramah-ceramahnya bersumber dari bahasa lisan, sama halnya dengan kegemarannya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paradoks.

Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Pendek kata, teknik-teknik gaya bahasanya menarik perhatian penulis. Hal itu merefleksikan bagaimana sikap pengajarannya yang menunjukkan sebuah penekanan untuk merasionalkan hal-hal, sesuatu yang sangat berbeda dengan “bualan” yang dapat ditemukan di berbagai ajaran kebatinan; hal itu juga menegaskan rasa hormat Ki Ageng terhadap para pengikutnya. Hal-hal tersebut Ki Ageng sampaikan dalam bahasa krama, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari penggunaan istilah-istilah yang berlebihan (krama inggil) yang berkonotasi feodalistik. Sebaliknya, dia menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa) untuk percakapan-percakapan pendek atau komentar-komentar mendadak dalam ceramah-ceramahnya semata-mata sebagai tanda dari sebuah keakraban, sehingga menciptakan suasana santai ketika dia sedang berbicara dalam pertemuan-pertemuan tersebut.

Bagi orang Jawa, nada bicara (dalam percakapan) dan kata-kata yang digunakan sangat penting maknanya, karena hal itu berdampak secara emosional. Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia, Ki Oto Suastika memberikan sejumlah peringatan: “Kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam penerjemahan karya ini bersumber dari banyaknya istilah-istilah pengungkapan dan bentuk-bentuk ujaran dalam bahasa Jawa yang menggunakan konsep rasa.”[3] Begitu juga dengan Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), salah seorang yang pertama kali menyebarkan ajaran-ajaran Ki Ageng (atau nasihat-nasihatnya, yaitu wejangan), menyebutkan dalam sebuah pengantar untuk pembaca di majalah Poesara, bahwa dia tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap wejangan-wejangan KAS “seperti yang berhubungan dengan pemahaman tentang konsep kepekaan (rasa) dan perangai”, meski dia akhirnya juga memberikan pemakluman terhadap penggunaan huruf latin ketimbang huruf Jawa.[4]

Memahami Ajaran KAS

Bagi para pengikut Kawruh Jiwa (pelajar), ajaran-ajaran KAS, baik yang terucap maupun tertulis, baru merupakan langkah pertama. Memahami ajaran-ajaran tersebut dalam kaitannya dengan situasi kehidupan nyata (setelah mampu menguasai prinsip-prinsip umumnya dan memiliki pemahaman yang mencukupi untuk mempraktikkannya selama proses belajar) itu lebih penting. Seorang pelajar harus mampu “memahami caranya memahami” (ngertos carane ngertos) agar mendapatkan inti pemahaman tentang hal-hal (nandhes), yaitu mencapai pemahaman yang kokoh (kekah pangertosanipun). Mungkin agak bermasalah jika anjuran tersebut dibakukan dalam sistem pengajaran, sebab anjuran-anjuran tersebut lebih sebagai asupan bagi pikiran. Apa yang kemudian penting bagi para pengikut Kawruh Jiwa adalah mereka perlu memperdebatkan gagasan-gagasan yang terkandung dalam ajaran-ajaran tersebut. Pelajar yang lebih berpengalaman akan membimbing para pelajar baru dalam sebuah “pertemuan” (bahkan meski hanya dilakukan oleh dua orang) yang dikenal dengan Junggring Salaka.[5] Pada hakikatnya periode pembelajaran tersebut bersifat seumur hidup; setiap kali menjumpai ketidakberuntungan (raos cilaka), kondisi ini perlu dilihat melalui sudut pandang ajaran, yang kemudian akan memungkinkan perasaan seseorang tentang dirinya menjadi lebih jernih. Namun demikian, adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Ada dua jenis pertemuan di antara para pelajar: pasinaon dan jawah kawruh. Yang pertama adalah kesanggupan untuk belajar (sinau) dan mengembangkan teknik-teknik analisis diri. Ketika mereka telah sampai pada tahap menguasai prinsip-prinsip dan istilah-istilah dalam ajaran, para pelajar kemudian dapat melanjutkan pada jenis pertemuan yang kedua, yaitu “kehujanan ilmu” (papanggihan jawah kawruh). Tahapan ini berupa upaya-upaya memberikan bantuan kepada mereka yang menderita akibat gangguan psikologis tertentu dengan secara teliti menganalisis penyebab-penyebab masalah mereka itu (ngudari reribed). Untuk jenis psikoterapi ini (mungkin bisa diistilahkan demikian), sangat penting untuk menguasai dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), yaitu kemampuan “merasakan apa yang orang lain rasakan” (feel what others are feeling).

Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.

Secara umum, terlepas dari pertemuan-pertemuan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dan langsung tersebut, seorang pelajar harus mampu, melalui contoh yang dia tentukan sendiri dan dengan kemampuan yang dia miliki sendiri, memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.

Akhirnya, untuk melihat peran dari ajaran-ajaran Kawruh Jiwa, perlu juga dilihat suplemen-suplemen yang terkandung di dalamnya, yaitu syair dan drama. Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.[6] Tembang-tembang itu dibaca dan disenandungkan secara bersama-sama dalam pertemuan. Sementara untuk drama, dalam sebuah pentas alegoris—Raos Mlenet  (perasaan tertekan)—KAS mengulang kembali gagasan terpentingnya tentang pernikahan: bahwa seseorang harus bebas memilih siapa yang bakal dia nikahi. Diceritakan dalam sebuah keluarga terdapat tiga tokoh protagonis: ayah, ibu, dan anak perempuan, di mana masing-masing pihak telah memiliki pilihan perihal calon suami untuk si anak perempuan. Hal itu kemudian melahirkan konflik di antara mereka. Si anak mengancam akan bunuh diri jika orang tuanya tetap memaksakan pilihan mereka (perlu dicatat bahwa dorongan untuk bunuh diri adalah sebuah gangguan psikologis, seperti yang disebutkan dalam karya-karya KAS). Konflik tersebut akhirnya bisa terselesaikan berkat bantuan salah seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang membimbing mereka untuk memahami bahwa konflik tersebut terjadi semata-mata karena masing-masing pihak kurang memiliki pemahaman terhadap motivasi mereka dan memiliki egoisme di antara mereka.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa KAS menemukan sosok pendukung setia bagi gagasan-gagasannya pada diri Prawirowiworo. Ki Prono, mantan anggota Perkumpulan Selasa Kliwon, juga bisa disebut sebagai salah seorang yang pertama-tama memberikan dukungannya. Bagi Ki Haditomo, salah seorang pengikut KAS, dua orang itu bersama dengan Ki Ageng, merupakan semacam tritunggal, di mana Ki Prono mewakili pikiran (cipta), Ki Prawiro mewakili hati (manah), dan Ki Ageng adalah tubuhnya (raga).[7]

Warisan KAS Untuk Bangsa

Salah satu ceramah publik pertama KAS diterbitkan dan diberi komentar oleh M. Soedi,[8] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Imam Moehni dengan judul Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soerjomentaram (Pengantar untuk Kebahagiaan Abadi, terbit 9 Maret, 1930).[9] Penerjemah memberikan sebuah penjelasan tentang istilah-istilah Jawa yang digunakan KAS dalam sebuah pengantar panjang, serta memberikan komentar-komentar atas pernyataan-pernyataan KAS, yang waktu itu masih menyandang sebutan “Pangeran.” Dengan cara yang sama, di Surakarta pada 1931, dasar-dasar ajaran KAS juga diterbitkan namun dalam bentuk yang lebih lengkap.[10] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak saat itu KAS telah memiliki sejumlah pengikut yang menyebarkan gagasan-gagasannya.

Pada 1932 dilanjutkan dengan pertemuan yang bertajuk Junggring Salaka Agung—sebuah pertemuan tahunan untuk mempertemukan perwakilan-perwakilan dari perkumpulan pelajar di berbagai daerah.[11] Namun, KAS dan para pengikutnya menolak untuk membuat sebuah perkumpulan yang terstruktur: perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak terbentuk secara formal, para pengikutnya tidak diwajibkan membayar iuran masuk dan dapat keluar dari perkumpulan sewaktu-waktu ketika mereka menghendakinya—perlu disebutkan bahwa kelompok belajar itu dapat diselenggarakan hanya oleh dua orang, bersifat luwes (non-directive), dan tak seorang pun diperkenankan mengklaim dirinya sebagai guru, bahkan Suryomentaram sendiri, yang oleh para pengikutnya hanya disebut sebagai “bangkokan”.[12] Meski begitu, sejenis panitia lokal tetap dibutuhkan untuk bekerja sama dan menjalin koordinasi dengan panitia umum (Panitya Umum) yang berkedudukan di Surakarta.

KAS juga menyampaikan ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).

Hanya sedikit organisasi atau bahkan nyaris tidak ada yang bisa dianggap sebagai wadah bagi penyebaran pemikiran-pemikiran KAS. Yang muncul di tahun 1930-an hanyalah sejenis gerakan, seperti sebuah pertemuan yang diikuti dengan pertemuan lainnya (meskipun demikian, hal ini tetap penting untuk dilihat sebagai penanda bagi perluasan gagasan-gagasan KAS waktu itu—penerj.). Pertemuan-pertemuan awal tersebut mengundang sejumlah opini bernada mengejek, meski kemudian segera lenyap. Bagaimanapun juga, setelah Junggring Salaka Agung menyelenggarakan sejumlah diskusi dan publikasi, ajaran-ajaran KAS kemudian menjadi lebih mapan. Pertemuan di Yogyakarta pada 1937 merupakan yang terakhir diselenggarakan sebelum perang. Apakah kemudian gerakan tersebut kehilangan momentum? Selama pendudukan Jepang, memang benar bahwa situasi negeri ini tidak memungkinkan bagi tumbuhnya diskusi-diskusi filosofis tentang kebahagiaan personal sebagaimana yang dilahirkan KAS. Seperti yang sudah diungkapkan, KAS yang disibukkan oleh perlawanan terhadap kekuasaan penjajah ikut terlibat dalam arena politik dan mendukung semangat perlawanan yang bisa dilihat dari keikutsertaannya dalam perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Namun Ki Ageng tidak kekurangan pengikut. Pada 1948, setelah terjadi Peristiwa Madiun, dia menyampaikan sebuah seruan untuk persatuan kepada para pengikutnya melalui Djawah Kawruh, terbitan berkala yang dia dirikan namun hanya mampu terbit selama dua bulan. Sejak awal 1950-an, ketika suasana damai mulai terwujud, dia mulai sering berkunjung ke daerah-daerah untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah. Dia memberikan sejumlah kuliah di Jawa Barat (Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung) untuk mengenalkan gerakannya.[13]

Pada penyelenggaraan Junggring Salaka Agung di Megelang tahun 1953, dia menjelaskan dasar-dasar tentang dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), sebuah gagasan yang disebarkan dalam majalah Dudu Kowe, publikasi lainnya yang juga berumur pendek.[14] Pada 1953 juga berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta, yang menerbitkan atau menerbitkan ulang ceramah-ceramah KAS. Bersamaan dengan itu, di Magelang Ki Djasoewadi juga mendirikan perusahaan dengan nama CV Harapan yang menerbitkan karya-karya KAS. Sejak saat itu, penyebarluasan gagasan-gagasan filosofis KAS semakin berkembang dan telah memberikan pemasukan rutin bagi perkumpulan. KAS sendiri kemudian berterima kasih atas penerbitan itu karena sedikit banyak dia juga menerima pemasukan darinya.[15]

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.

Dapatkah gerakan ini dikatakan sepenuhnya memisahkan diri dari kehidupan politik, sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpinnya? Untuk menilai hal ini, kita bisa melihat misalnya melalui selebaran yang dibuat oleh Panitya Kawruh Jiwa Klaten di tahun-tahun menjelang pemilu 1955. Ternyata perkumpulan ini tidak sepenuhnya steril dari politik, karena dalam selebaran tersebut terdapat sebuah syair yang disenandungkan dengan diiringi gamelan (sendhoman) yang menyerukan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keterlibatan tersebut merupakan wujud sumbangsih bagi perkembangan negeri, serta sarana untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan rakyat (wong cilik).[16] Seperti yang bisa dilihat, pada tahun-tahun itu KAS sendiri juga menyampaikan ceramah yang agak berbeda, yaitu ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).

Selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, beberapa kali gerakan Kawruh Jiwa menjadi sasaran kecurigaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, pelajar disarankan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang ingin mengenal gerakan ini: semua buku yang dipelajari, di mana KAS sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab, harus ditunjukkan secara jujur kepada mereka yang kemungkinan akan atau ingin meneliti.[17]

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru. Apakah hanya kesalahan penilaian yang dibuat oleh para pengamat, atau semata penilaian berdasar fakta yang nampak dari luar dan dari perilaku-perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh para pelajar, gerakan ini bisa dibilang menunjukkan semua ciri dari sebuah “aliran kebatinan”. Dalam sebuah kesempatan, Clifford Geertz memasukkan gerakan Kawruh Jiwa ke dalam aliran kebatinan, berdasarkan pada pengamatannya dan komentar-komentar yang disampaikan oleh seorang guru Kawruh Jiwa dari Pare (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur). Namun demikian, bagi Geertz sendiri gerakan ini lebih memilih menggunakan “analisis fenomenologis” (untuk menemukan/mencapai kebenaran—penerj.) ketimbang meditasi/semedhi, sebuah teknik yang merupakan bagian terpenting dari ajaran-ajaran kebatinan.[18] Ketika Ki Ageng meninggal, sebuah tulisan yang dimuat di terbitan berkala Varia menyebutkan bahwa dia merupakan “tokoh di dalam dunia kebatinan”.[19] Dalam sebuah entri “Surya Mataram, Ki Ageng” yang tercantum dalam Ensiklopedi Umum (hal. 1270–71), disebutkan informasi: ‘Pangeran Surya Mataram yang kemudian menggunakan nama Ki Ageng adalah guru dari aliran kebatinan yang dikenal sebagai Ilmu Begdja. Pengikutnya tersebar luas dan berasal dari berbagai daerah, meski kurang ada informasi dan organisasi yang bisa menjelaskan gerakan ini. Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’ Namun pada 1953 gerakan Kawruh Jiwa tidak dimasukkan sebagai aliran kebatinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.[20]

Pada pertemuan Junggring Salaka yang terakhir, digelar di Purwokerto[21] tahun 1959, dibagikan buku kecil kepada para peserta yang di dalamnya terdapat fakta-fakta menarik seputar pertemuan dan informasi berharga tentang latar belakang sosial serta asal-usul para anggota.

Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh panitia lokal yang diketuai Ki Notoamidjojo. Setelah upacara pembukaan dan semua tamu telah menempati tempatnya, KAS memberikan sebuah ceramah. Selain itu, sebuah sandiwara dengan judul Tjipta Djiwa juga dimainkan selama dua hari saat pertemuan berlangsung. KAS memimpin debat dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh pelajar kepada sejumlah pembicara (KAS sendiri, Ki Kartosumanto, dan Ki Prono). Para peserta kemudian diminta untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan serta perkembangan yang telah mereka capai dalam mempelajari “Ilmu Jiwa” di perkumpulan mereka masing-masing.

Nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa).

Dalam publikasi tercatat 257 nama dan alamat anggota panitia lokal yang berasal dari lima puluh kota di Jawa, baik kota besar maupun menengah. Terdapat sejumlah kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang pertumbuhan gerakan ke berbagai daerah. Di Temanggung, Magelang, juga Jember, terdapat lebih banyak panitia lokal daripada di kota-kota lainnya. Kota-kota dari bagian barat Pulau Jawa juga memiliki panitia, seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Dalam dokumen tersebut juga tercatat perwakilan dari Madura dan Lampung.

Kecuali untuk Suryomentaram (Ki Ageng) dan Pronowiworo (Kyahi), nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa); jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki. Disebutkan juga perihal latar belakang profesi para peserta: pegawai, guru sekolah rakyat, kepala desa, mantri pengairan, dan bahkan dalang. Meski sejumlah pegawai tinggal di kauman, sangat sedikit yang menggunakan nama-nama bernuansa Islam. Nama-nama Cina juga jarang; namun kontribusi keuangan mereka, yang bisa dilihat dari iklan-iklan yang tercantum dalam selebaran publikasi tentang sejumlah usaha yang mereka kelola (batik, percetakan, otobus, dan pusat-pusat perbelanjaan), tetap penting. Perlu juga disebut bahwa tidak ada nama yang berakhiran ningrat (sebuah indikasi kehormatan), dan berdasarkan nama serta profesi yang telah tercatat, mereka umumnya berasal dari golongan priyayi kelas menengah atau rendah.

Setelah penyelenggaraan kongres yang terakhir ini, KAS hanya menyisakan tiga tahun waktu hidupnya, dan dalam beberapa bulan dia dalam keadaan sakit. Setelah kematiannya, para pengikutnya di Yogyakarta kemudian mengumpulkan karya-karya KAS dan menerbitkannya dengan Ki Atmosutidjo sebagai pemimpin dan pemberi dukungan moral. Beberapa publikasi selanjutnya diedarkan.[22]

Hari ini (merujuk tahun ’60-an, setelah kematian Ki Ageng—penerj.), di kota tempat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada zaman dulu, perkumpulan Kawruh Jiwa yang dipimpin oleh Ki Haditomo, selalu menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari, yaitu setiap Minggu Pon, hari di mana sang Filsuf wafat. Terlihat juga Nyi Suryomentaram, janda KAS, berperan dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran suaminya. Sementara Grangsang (putra dari pernikahan pertama KAS) dianggap sebagai pewaris ajaran spiritual sang ayah dan sosok yang akan melanjutkan gerakan tersebut. Meski tanggung jawab profesionalnya (Grangsang adalah dokter di kesatuan Angkatan Laut berpangkat letnan kolonel) sering kali membuatnya harus meninggalkan tugas memimpin perkumpulan, namun dia tetap berusaha menghidupkan gagasan-gagasan ayahnya dengan dibantu oleh Ki Oto Suastika dan Yayasan Idayu; dia juga berkomitmen untuk membangun/mengembangkan gerakan yang telah ayahnya rintis.

Bersambung…

Baca juga:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II


Catatan Kaki:

[1.] Bagian yang paling menjelaskan prosedur ini terdapat dalam Tandesan.

[2.] Raos Pantja Sila, hal. 5.

[3.] Cf. Filsafat Rasa Hidup, hal. 7.

[4.] Ki Sangoebrangta, “Pendidikan oentoek ketentraman doenia, wedjangan Toeankoe Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” dalam Poesara 1: 10 (Januari 1932).

[5.] Dalam wayang, Junggring Salaka dijelaskan sebagai rumah para dewa dan tempat mereka menyelenggarakan pertemuan.

[6.] Dalam bagian Uran-uran Bedja.

[7.] Dari sebuah wawancara dengan Ki Haditomo (Mei 1975).

[8.] M. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah. Edisi keenam karya ini menyertakan sebuah pengantar tertanggal 15 April 1929. Sulit untuk menyusun kronologi terhadap publikasi-publikasi yang paling awal; seperti Uran-uran Bedja dan Pangawikan pribadi (kemungkinan ditulis oleh Prawirowiworo), kemungkinan terbit tahun-tahun itu juga.

[9.] Penulis berterima kasih kepada Mr. Tsuchiya yang telah menyediakan tulisan ini.

[10.] Wedjangan.

[11.] Junggring Salaka yang pertama diselenggarakan di Salatiga; pada 1933 diselenggarakan di Surakarta, 1934 di Kudus, 1935 di Madiun, 1936 di Wonosobo, dan 1937 di Yogyakarta. Setelah jeda selama tiga belas tahun, Junggring Salaka yang ketujuh diselenggarakan di Magelang pada 1953, kemudian di Surabaya pada 1954, di Semarang pada 1956, di Tulungagung pada 1957, dan yang terakhir di Purwokerto pada 1959. Dalam buku peringatan untuk pertemuan yang terakhir ini (21, 22, 23 Maret), sebuah tulisan Kjai Pronowidigdo menjelaskan tentang sejarah gerakan Kawruh Jiwa (“Riwajatipun Kawruh Djiwa”).

[12.] Istilah ini digunakan untuk merujuk binatang tertentu yang karena kekuatan dan usianya kemudian dianggap lebih mampu untuk memimpin kelompoknya. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “patriarch”.

[13.] Pada 1952 di Jakarta dia berbicara kepada Panitya Filsafat dan Kebatinan (Philosophical and Kebatinan Commitee), kepada Yayasan Hidup Bahagia (Happy Life Foundation) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro, dan kepada perkumpulan masyarakat Cina, yakni Sam Kauw Hwee dan Khong Kauw Hwee.

[14.] Peristiwa tersebut juga dimuat dalam terbitan berkala Siaran.

[15.] Dari wawancara dengan Ki Haditomo.

[16.] Sendona bab Pemilihan Umum.

[17.]Manawi Junggring Salaka kedhatengan wakiling Pamarintah ingkang gadhah tugas naliti pakempalan-pakempalan dan grombolan-grombolan kanca-kanca cekap namung nyaturaken buku-buku Kawruh Jiwa wau….” (Buku Peringatan).

[18.] Clifford Geertz, The Religion of Java, 2nd ed. (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1976), hal. 344–345.

[19.] Varia 5: 206 (28 Maret 1962). Tulisan tersebut ditulis oleh Siauw Tik Kwie, seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya KAS yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu dengan nama Ki Oto Suastika.

[20.] Republik Indonesia: Daerah Istimewa Jogjakarta (Jakarta: Kementrian Penerangan, 1953); cf. hal. 675–82.

[21.] Lihat catatan 54.

[22.] Ki Atmosutidjo, Gandulan… ; Ki Djojodinomo, Ular-ular… ; Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil… (diterbitkan oleh Panitya Kawruh Jiwa di Magelang yang tetap aktif pada 1970).

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti Kawruh <a href=

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


Pemikiran Filosofis KAS

ama seperti hidupnya, tulisan-tulisan KAS juga dicirikan oleh gagasan tentang pencarian “kebahagiaan”, atau sebuah kondisi psikologis yang mirip dengan “kebebasan spiritual”. Pertama kali dikenal sebagai Kawruh Beja, pemikiran filosofis ini di kemudian hari lebih sering disebut dengan Kawruh Jiwa atau Ilmu Jiwa (Science of the Soul) atau Ilmu tentang Pengetahuan Diri (Science of Self-knowledge). Perubahan istilah tersebut agaknya ditujukan untuk lebih memberi penekanan makna pada pencapaian pengetahuan seperti itu, yang tidak disangsikan lagi berhubungan erat dengan refleksi-refleksi mendalam penggagasnya.1

Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang. Meski manusia juga adalah makhluk dengan kebutuhan dasar sebagaimana binatang—misalnya kebutuhan bertahan Hidup (pangupa jiwa) dan melanjutkan keturunan (lestantuning jenis)—namun kemudian manusia berbeda dengan mereka karena manusia menyadari kebutuhan-kebutuhan tersebut (raos gesang/awareness of life). Konsep kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang umumnya dipahami oleh manusia pada dasarnya bersumber dari kondisi terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.

Lebih lanjut, sekali kebutuhan dasar itu terpenuhi manusia kemudian menyadari kebutuhan-kebutuhan sekunder yang muncul dalam imajinasinya. KAS memberi contoh demikian: ketika manusia haus, dalam imajinasinya kemudian muncul gagasan tentang teh, kopi, atau bir, sementara ada jenis cairan lain yang sebenarnya lebih bisa menghilangkan dahaganya, yaitu air putih (kebutuhan mendasar yang dirasakan semua orang). Manusia kemudian menjadi korban dari kebutuhan-kebutuhan yang diandaikannya sendiri, yang bersumber dari hasratnya (karep). Hasrat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia dan sering disalahpahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri: manusia adalah hasrat (karep punika tiyang). Ketika masih berada di dalam kandungan ibu, sudah ada hasrat, yaitu hasrat lahir. Hasrat itu abadi (karep punika langgeng), suatu waktu bisa menimbulkan kebahagiaan, sementara di lain waktu dapat menyebabkan kesengsaraan, dan dua perasaan ini akan selalu hadir dalam diri manusia sebagaimana hasratnya—keduanya adalah keabadian manusia (manusia itu abadi sebab hasratnya tidak mengenal awal atau akhir).2

Beberapa jenis hukum nampaknya mengendalikan kehidupan hasrat-hasrat ini: meski sebuah kebutuhan mungkin telah terpuaskan, namun mungkin ia akan melahirkan tuntutan baru yang mendesak untuk diwujudkan (mulur atau mengembang); sementara sebuah kebutuhan yang tak terpuaskan, meski ia masih ada, namun kurang penting/mendesak untuk diwujudkan (mungkret atau menyusut). Hasrat ini begitu berpengaruh terutama di tiga ranah yang telah terdefinisikan secara jelas: kemakmuran (semat, kecenderungan umum terhadap kenikmatan material), pengakuan publik (drajat, posisi orang dalam hierarki sosial), dan kekuatan magis (kramat). Pengalaman tidak membahagiakan yang berlangsung lebih dari tiga hari berturut-turut biasanya akan mendorong orang untuk mencari/melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Ajaran penting KAS lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”3 Semua tulisan KAS dicirikan oleh contoh-contoh yang didasari oleh prinsip ini.

Sebuah contoh mungkin cukup untuk menjelaskan: seseorang yang akan menikahkan anaknya terobsesi untuk memberikan layanan terbaik kepada tamu-tamunya dengan menyuguhkan hiburan wayang kulit kepada mereka, namun dia ternyata tidak cukup punya uang sehingga diliputi kecemasan. Dia bingung harus dengan jalan seperti apa mencari pinjaman dalam jumlah sebesar itu. Jika dia tidak berhasil mendapatkan pinjaman, dia akan menemukan dirinya berada dalam situasi yang memalukan dan akan menanggung rasa malu (wirang). Namun hal ini tidak akan berlangsung lama, sebab setelah acaranya selesai, betapa dia merasa lega karena (ternyata) dia tidak perlu menanggung hutang.4

Hasrat terhadap semat–drajat–kramat terjadi apabila masing-masing di antara kita hanya dikendalikan oleh kesenangan kita sendiri, memanjakan egoisme, dan bertindak sewenang-wenang. Hal itu kemudian tidak hanya akan menjadi sumber kecemasan (sumelang) dan penyesalan (getun), tetapi juga akan menimbulkan persaingan sosial dan ketidaksetaraan. Barang siapa yang belum memiliki sesuatu maka mereka akan cemburu (meri), sementara bagi yang telah memilikinya maka mereka akan takut kehilangan apa yang dimilikinya itu. Mereka cenderung akan mencari sesuatu yang dapat menimbulkan kenyamanan diri dan menyingkirkan sesuatu yang kurang menguntungkan/menyenangkan.5

Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang.

KAS menyebut “kramadangsa” untuk menjelaskan bagian dari diri kita yang mendorong kita untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang sehingga membuat kita bertindak sewenang-wenang (mila kramadangsa punika mesthi padhos sakeca pribadi lan mboten parduli tangga inggih punika ingkang murugaken sewenang-wenang).6 Kramadangsa juga yang membuat kita memercayai kenyataan yang hanya kita kehendaki dan menghalangi kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya ketimbang hanya kesan-kesan yang kita miliki tentangnya. Ia bersemayam dalam kesadaran seseorang dan menghalangi munculnya diri sejati (true self), diri yang bebas dari gejala-gejala. Pendek kata, “diri yang terjebak dalam gejala-gejala” (contingent-self) ini kemudian akan diseimbangkan oleh “diri yang sejati” atau “Aku” (essential-self). Hasilnya adalah manusia semakin menyadari eksistensinya serta dorongan-dorongan untuk melakukan refleksi dan menambah pengetahuannya. Dia juga mampu membuka tirai penghalang (aling-aling) yang menutupi dunia batinnya (inner being). Hasilnya, dia akan semakin tahu tentang “kesadaran diri” yang sejati (raos aku).

Kita telah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: “Suryomentaram dudu aku” (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses “menemukan diri yang baru” itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Tak ada tukang perahu yang bisa menyeberangkannya. KAS memutuskan untuk berenang menuju bibir sungai di seberang, namun aliran sungai yang deras justru menyeretnya. Dalam kondisi nyaris tenggelam itu, tiba-tiba menjadi jelas dalam pikirannya bahwa kenekatannya menyeberangi sungai itu dipengaruhi oleh hasrat untuk mengakhiri hidup (karena dia baru saja kehilangan istri pertamanya). Sosok Suryomentaram yang bersemangat itu, yang berangsur-angsur hilang di dalam air, sama sekali berbeda dengan sosok yang telah muncul ke permukaan kemudian—sosok itu telah berubah menjadi “diri yang tenteram”.7 Dia pun berkata, “Ini bukan saya” (dudu aku).

Orang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang) agar bisa membedakan momen-momen yang menyenangkan dengan momen-momen yang menyusahkan untuk mempertajam rasa-nya. Ini adalah persoalan waktu dan latihan. Pendekatan KAS ini tiada lain adalah introspeksi (pengawikan pribadi atau mawas diri).8 Pendekatan ini sepenuhnya bersifat individual, meski hal ini juga tidak menutup kemungkinan bantuan dari orang lain: untuk memastikan bantuan orang lain seseorang harus berdialog dengan dirinya sendiri terlebih dulu, menanyakan tentang penilaian-penilaian orang lain tentang dirinya, lalu melihat posisi mereka kembali, melihat “dari dampak-dampaknya, lalu penyebab-penyebabnya” (from effects to the causes).

Perasaan bahagia bukanlah antitesis dari perasaan tidak bahagia, melainkan muncul dari rasa tenteram dan bebas yang dihasilkan dari kemampuan seseorang dalam menghadapi eksistensinya sendiri. Orang mestinya lebih fokus untuk menemukan “kesadaran diri”, bukan “kebahagiaan”, sebab yang kedua hanyalah akibat dari yang pertama. Ketika kebahagiaan itu hadir dari eksistensi manusia yang terdalam (Aku), maka ia sama dengan kesadaran diri itu sendiri. Ketika orang diliputi oleh kebijaksanaan ini, maka satu-satunya kemungkinan yang dimilikinya dalam bertindak adalah sifat tangguh (tatag), nasibnya tidak akan lagi ditentukan oleh kejadian-kejadian di sekitarnya (tak lagi mempersoalkan di mana, kapan, dan bagaimana kejadian-kejadian itu terjadi). Untuk memutus jeratan siklus takut akan masa depan dan menyesali masa lalu,9 dan untuk mendapatkan hasil akhir dari perpotongan antara perasaan bahagia dan tidak bahagia, orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya). Jika Suryomentaram menginginkan kopi ketimbang teh untuk mengatasi dahaganya, maka “ego” (aku) hanya akan memerintahkan untuk mengambil segelas air putih.

Stabilitas personal merupakan syarat utama bagi keteraturan sosial. Pada kenyataannya, hasrat manusialah yang membujuk atau memaksa kehendaknya untuk memandang orang lain atau dirinya sendiri sebagai korban ketidaksetaraan. Salah satu contoh yang sering digunakan oleh KAS diambil dari konteks kehidupan keluarga: sangat sering orang-orang yang sedang bahagia akan menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anak mereka; bisa disebut bahwa cinta mereka itu sebagian datang dari tanggung jawab terhadap keturunan-keturunan mereka dan sebagiannya lagi muncul dari perhitungan untuk mendapatkan bantuan dari si anak kelak ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan di usia tua; mereka juga dapat memindahkan harapan-harapan mereka tentang kesuksesan hidup kepada anak-anak mereka.10

Contohnya adalah, jika anak mereka tidak naik kelas, maka mereka akan marah. Mereka bisa jadi mengajukan alasan macam-macam, namun alasan yang sebenarnya mendasari kemarahan mereka itu tiada lain adalah adanya rasa takut untuk melihat hancurnya harapan-harapan mereka. Orang tua semestinya menyadari tentang hakikat perasaan-perasaan mereka dan, konsekuensinya, memahami bahwa kemarahan tersebut sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri, dari egoisme mereka, karena tidak naik kelasnya si anak sebenarnya disebabkan oleh motif yang sepenuhnya berbeda (misalnya bukan untuk menghancurkan harapan orang tua—penerj.). Selanjutnya, kritisisme terhadap anak mereka itu tidak lagi bersumber dari kemarahan, melainkan dari perasaan damai (raos dame), dan penilaian akan diambil berdasarkan alasan-alasan bahwa si anak mungkin tidak termotivasi untuk belajar. Ini adalah cinta sejati; ia terlihat dengan jelas ketika seseorang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri. Cinta sejati akan menciptakan harmoni dan mengantarkan pada kedudukan yang sama antara orang tua dan anak (raos sami). Terlepas dari perbedaan-perbedaan individual yang dimiliki manusia, kaya atau miskin, raja atau kuli, naik–turunnya hidup itu memiliki cara yang sama karena dilihat secara psikologis setiap orang itu pada dasarnya setara. Untuk mengetahui dirinya sendiri, seseorang harus mengetahui orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan (ngraosaken raosing tiyang sanes). Kepekaan sosial ini oleh KAS disebut sebagai “Ukuran Keempat” (Ukuran kaping IV). Dengan cara yang sama, ketika seseorang berpikir “dudu aku” saat dia mengetahui munculnya dorongan untuk mementingkan diri sendiri, dimensi keempat ini juga akan memberi bisikan kepadanya untuk mengatakan “dudu kowe” ketika dia melihat apa yang telah orang lain perbuat. Adanya cinta dan rasa saling hormat merupakan ciri dari sebuah masyarakat di mana dimensi keempat ini telah berlaku.11

Bukan hanya muatan dari prinsip-prinsip umum ajaran KAS yang akan disampaikan di sini, karena dalam sejumlah ceramah yang digelarnya KAS juga melihat cara-cara tertentu di mana filsafatnya itu dapat dipraktikkan. Dalam menjalani kehidupannya (lelampahing gesang),12 seorang individu akan menjumpai beragam situasi di mana dia mungkin dapat menemukan dirinya, karena dia juga memiliki beragam kepentingan, di mana setiap kepentingan itu membutuhkan sebuah tanggapan yang memadai. Kepentingan-kepentingan tersebut mengemuka dalam berbagai aspek penting kehidupan, meliputi: kepemilikan materi, pengakuan publik, kekuasaan, keluarga, kelompok, bangsa, pengetahuan, spiritualisme (kebatinan), dan kemampuan atau kapasitas (kesagedan).13

Selanjutnya, ada banyak kejadian yang akan menandai periode-periode sulit dalam hidup seseorang, di antaranya munculnya perasaan cinta di usia remaja, memilih pasangan, situasi-situasi tertentu dalam kehidupan berumah tangga, pendidikan anak, dan menjelang ajal.14 Dalam situasi-situasi tersebut sangat penting bagi manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhannya dan mengetahui hal apa saja yang bakal merintangi perkembangan kepribadiannya. Hasrat seksual misalnya, harus diterima sebagai konsekuensi dari kebutuhan vital itu; ia baru bisa disalurkan secara penuh hanya melalui kehidupan perkawinan, sebuah konteks yang paling pantas untuk melahirkan keturunan. Menghargai pasangan, yakni menerima perbedaan-perbedaan yang dia miliki, harus menjadi dasar bagi cinta dalam perkawinan (di antara sekian hal, KAS menekankan pentingnya monogami dan cinta pengasuhan/parental love).15

KAS agak berhati-hati dalam menjelaskan situasi-situasi yang menguji perjalanan hidup seseorang (pengalaman pahit getir): kematian orang tua atau perceraiannya ketika muda dulu, kematian saudara atau teman, sakit, perselingkuhan, membina rumah tangga, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan lain-lain. KAS menunjukkan bahwa sebuah pelajaran/hikmah itu bisa diambil dari beragam peristiwa tersebut yang akan membantu kita menjaga atau memulihkan keseimbangan psikologis kita.16

Kekhawatiran tentang hal-hal yang terjadi di alam metafisik merupakan akibat dari pengingkaran seseorang terhadap hakikat (kehidupan) manusia. Jiwa manusia, sebagaimana orang dengan hasrat-hasratnya, tidak memiliki awal dan akhir: jiwa itu mendiami tubuh manusia untuk sementara waktu, lalu menghilang dan kembali lagi ke alam semesta (Alam Agung). Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan kematian? Dengan melihat lebih dekat hasrat-hasratnya, manusia menjadi lebih mampu berbuat yang terbaik, karena manusia mampu membuat jarak antara dirinya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin kematian sedikit perlu dikhawatirkan apabila manusia itu bereinkarnasi menjadi babi hutan (celeng); nasib babi itu berbeda dengan nasib manusia, tetapi tidak lebih baik atau lebih buruk dari nasib manusia. Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, KAS melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).17 KAS berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, KAS juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.18

Orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya).

Aspek penting lain dari ajaran KAS berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kesanggupannya berjuang bersama para nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas intelektual mereka telah terlihat jelas; begitu juga dukungannya terhadap para priyayi terpelajar dalam mendorong keterlibatan para petani kesultanan dan aksi-aksi protes ketika muncul gagasan bahwa nasib negara akan ditentukan oleh penggunaan kekuatan (militer). Keyakinan-keyakinan politiknya selalu merefleksikan salah satu perhatian utamanya: hormat terhadap orang sebagai wujud dari hormat terhadap diri sendiri. Dalam menjelaskan realitas kolonial, dia begitu menekankan konsepsi tentang eksistensi individu berdasarkan titik pijak nasional. Jika orang-orang Indonesia sanggup menanggung penderitaan akibat kolonialisme dalam waktu yang lama, hal itu bukan karena kebiadaban (angkara-murka) yang dilakukan oleh Belanda, bukan pula merupakan sebuah takdir (sampuh pinasthi); kondisi itu lebih karena mereka tidak tahu siapa mereka, mereka tidak memiliki identitas sebagai bangsa. Apa itu bangsa? Bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang yang berbagi kepentingan yang sama itu dikelola? Apa peran kelompok Kebudayaan tersebut? Apakah persatuan kelompok ditentukan oleh peran sosial masing-masing kelompok untuk saling melengkapi satu sama lain? Jawaban KAS secara meyakinkan menekankan pada pengakuan nasional atas tanggung jawab individu dalam urusan-urusan bersama, sebuah ekspresi dari sikap aku duwe negara, “saya punya negara”.19

Dalam dunia yang kacau di awal ’50-an, persatuan Indonesia haruslah kokoh untuk menghindari jebakan antara memilih kapitalisme atau komunisme, jebakan yang dibentangkan oleh dua kekuatan dunia yang tengah bersaing mencari pengaruh di negara-negara yang baru saja merdeka. Memegang keyakinan atas ajaran-ajaran filosofisnya, KAS menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa negara-negara yang takut akan meletusnya perang dunia ketiga, yang berupaya menyelidiki tanda-tanda yang mengarah pada perang dunia, meyakini bahwa mereka dapat menolak realitas dari masalah mereka sendiri dengan menciptakan ketergantungan terhadap hal-hal di luar kendali mereka.20

Di dalam Pancasila, Indonesia memiliki sekumpulan prinsip yang mampu menyulut sikap mental yang berujung pada dukungan terhadap persatuan bangsa. Hal terpenting dari kelima sila tersebut adalah “kedaulatan rakyat” (panguwasa rakyat) yang oleh KAS dimaknai sebagai pengakuan atas hak kebebasan setiap individu atau pengutamaan semangat sosial yang melampaui dorongan instingtif yang tersembunyi dalam diri tiap manusia (“kebinatangan yang ada dalam diri manusia”). Pada titik inilah semangat luhur (raos luhur) yang mengejawantah dalam Pancasila dapat digunakan oleh manusia Indonesia: semangat kemanusiaan, semangat nasionalisme, dan keadilan sosial. Terakhir, perlu dicatat bahwa Ketuhanan yang Maha Esa tampil dalam karya KAS sebagai hasil dari empat sila yang lainnya, sebagai intisari tertinggi dari semangat keadilan sosial. Sejauh yang penulis pahami, menempatkan Tuhan sebagai sumber rujukan merupakan inti dari keseluruhan karya-karya KAS.21

Bersambung…

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis


Catatan Kaki:

1. Tulisan-tulisan yang paling dirujuk sebagai prinsip pokok ajaran KAS adalah Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), Ngelmi-Kawruh-Pitedah sedjatining gesang wedjangan KAS (oleh M. Soedi), Pilsapat Raos Gesang (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Filsafat Rasa Hidup); Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah.

2. Cf. dalam Wejangan, hal. 22–24.

3. “Salumahing bumi sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (sebagai contoh: Tandesan, hal. 20).

4. Wedjangan, hal. 3–4.

5. Tentang pertanyaan atas hubungan sosial, lihat: Pilsapat Raos Gesang; Aku iki wong apa?; Ukuran kaping sakawan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Ukuran Keempat).

6. Mawas diri, hal. 23.

7. Gandulan, hal. 10–11.

8. Judul-judul buku tersebut sudah menjelaskan isinya: Piageming gesang (Ujian Kehidupan); Pangawikan pribadi (Kesadaran Diri); Mawas diri (Sadar tentang Diri Sendiri).

9. “Luwar saking naraka sumelang lan manjing swarga tatag” (Wedjangan, hal. 30).

10. “…gegayuhanipun inggih punika tandon pensiun lan garan moncer” (Buku Peringatan… tulisan: “Wudjuding Kawruh Djiwa”).

11. Cf. Ukuran kaping sakawan.

12. Tentang persoalan ini lihat bagian: Aku iki wong apa?

13. Cf. Mawas diri, hal. 33–35.

14. Cf. Piageming gesang.

15. Tentang cinta suami-istri dan perkawinan, lihat: Kawruh laki-rabi; tentang pendidikan anak: Kawruh pamomong.

16. Piageming gesang.

17. “Gugon tuhon punika nyambet-nyambetan sebab lan kedadosan ingkang mboten sambet” (Wedjangan, hal. 27).

18. Hal Kesempurnaan.

19. Pembangunan djiwa warga negara.

20. Perang dunia kaping III.

21. Raos Pantja Sila.