Menu

kiai

Siang itu pertengahan tahun 1988, kota kecil Kraksaan Kabupaten Probolinggo Jawa Timur digegerkan oleh peristiwa yang kelak dikenang oleh banyak orang. Yan Kun, seorang Tionghoa Katolik yang kaya raya dan bertetangga dengan Pesantren Darul Lughah Wal Karomah, meninggal. Kiai Baidlowi, sang pengasuh pesantren, sontak kaget karena hubungan baiknya selama ini dan kondisi Yan Kun yang baik-baik saja. Beliau kemudian bergegas melayat ke rumah duka dan diterima dengan haru oleh keluarga. Keluarga Yan Kun mengucapkan terima kasih dan meminta beliau dan para santri untuk menggelar tahlil selama tujuh hari di rumah duka. Karena pertimbangan kemanusiaan dan hubungan baik selama ini, Kiai Baidlowi menyanggupi hal itu. Selepas Maghrib, beliau mengajak santrinya yang waktu itu sudah berjumlah ratusan untuk ke rumah duka membacakan yasin dan tahlil.

Keesokan harinya, berita itu kemudian tersebar menjadi kontroversi yang memantik polemik di tengah masyarakat. Sebagian ulama, tokoh masyarakat dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi mereka, mendoakan jenazah orang kafir sudah jelas tidak diperbolehkan di dalam al-Qur’an, Hadis dan kitab-kitab mu’tabarah. Kiai Baidlowi bergeming. Beliau tetap menghadiri tahlil dengan mengajak santrinya selama tujuh hari. Hanya terhadap para santri dan masyarakat yang menemuinya beliau berujar bahwa dirinya dan para santri tidak mendoakan Yan Kun. Bacaan Yasin dan tahlil tetap dihadiahkan kepada Rasulullah, para nabi, wali, ulama-ulama yang sudah meninggal, dan seluruh ummat Islam. Hanya saja sebagai muslim, beliau dan para santri memiliki kewajiban untuk memenuhi h}aqqul ja>r (hak bertetangga). Hak Yan Kun dan orang-orang Tionghoa yang lain harus dipenuhi, baik untuk menjaga hubungan baik maupun menunjukkan sikap bahwa seorang muslim bukan musuh yang harus dijauhi.

Terhadap santri-santrinya, Kiai Baidlowi selalu mewanti-wanti untuk tidak mengganggu keberadaan, rumah, hak milik, dan tempat ibadah milik orang Tionghoa yang bertetangga dan berhubungan baik dengan pesantren. Dari sejak awal berdiri sampai sekarang, pesantren dikelilingi oleh komunitas masyarakat yang plural. Di antaranya masyarakat Tionghoa yang beragama Katolik dan Konghucu. Mereka mendirikan dua gereja dan kompleks sekolah yang berdiri megah sampai sekarang. Peristiwa tersebut dielaborasi dengan menarik dalam buku Kiai Pejuang; mata air keteladanan kiai Baidlowi (2021).

Kisah itu menegaskan keluasan pandangan dan toleransi agama yang dimiliki Kiai Baidlowi, yang umumnya juga tidak jarang kita dapati dalam tradisi pesantren tradisional. Saya tidak ingin memasuki perdebatan ini. Saya ingin memotret dimensi lain dalam kisah ini, yang selanjutnya ingin saya sebut sebagai nalar fiqih pesantren.

Nalar Fiqih Pesantren

Seorang kiai, meskipun dia menguasai ilmu-ilmu keislaman klasik dengan baik, bukanlah seorang scholar (sarjana) dalam pengertian modern. Seorang scholar pertama-tama dia berhadapan dengan teks (script), dan berupaya memaksimalkan potensi teks dengan kemampuan bahasa, perangkat metodologi dan akal sehatnya sebagai ilmuwan. Dengan begitu, seorang scholar sejatinya adalah seorang yang bertungkus-lumus dengan teks. Kalaupun dia bersinggungan dengan data-data sosial, hal itu semata-mata digunakan untuk menjelaskan, atau bahkan meneguhkan, apa yang terdapat dalam teks.

Sedangkan kiai sebagaimana sering dinyatakan oleh Gus Dur dalam esai-esai antropologisnya tentang pesantren, pertama-tama dia berhadapan dengan fenomena sosial-kemanusiaan yang rumit, barulah kemudian dia mencari legitimasinya dalam teks. Intensi utama seorang kiai adalah perhatiannya untuk menyelesaikan problematika sosial kemanusiaan yang kompleks, menjaga harmoni kehidupan sosial sehari-hari dari ancaman yang mengganggu. Ancaman itu bisa dalam bentuk sesuatu yang baru, kebutuhan yang kompleks, atau berbagai jenis patologi sosial, terutama dalam masyarakat yang multikultural. Seorang kiai dituntut untuk mampu menerjemahkan dan menjembatani berbagai ancaman tersebut ke dalam bahasa yang bisa diterima dan pahami oleh seluruh komunitasnya dari berbagai lapisan. Dengan kata lain, ia menjadi mediator antara kompleksitas teks dan kompleksitas kehidupan sosial. Atau meminjam terminologi Clifford Geertz, kiai berfungsi sebagai cultural broker (pialang budaya).

Sedangkan kiai sebagaimana sering dinyatakan oleh Gus Dur dalam esai-esai antropologisnya tentang pesantren, pertama-tama dia berhadapan dengan fenomena sosial-kemanusiaan yang rumit, barulah kemudian dia mencari legitimasinya dalam teks.

Dalam kasus Kiai Baidlowi di atas, saya membayangkan beliau sadar sepenuhnya akan status hukum mendoakan non-muslim yang sudah meninggal dan pelbagai kemungkinan-kemungkinan tafsir ortodoksi tentang hal itu. Akan tetapi beliau memilih tidak memasuki medan pemaknaan yang bersifat diskursif tersebut. Kiai Baidlowi memilih mencari celah hukum (h}i>lah) yang bisa diambil. Sederhana akan tetapi sarat makna dalam merajut buhul integrasi sosial. Prioritas utama bagi dirinya adalah kemaslahatan bersama (mas}lah}ah ‘a>mmah) dalam bentuk menjaga kerukunan bertetangga yang selama ini berjalan dengan baik. Sebagai kiai dengan pengaruh yang luas, apapun tindakannya pasti akan menimbulkan efek sosial yang tidak sedikit.

Mediating Structure dan Metode Maslahah

Seorang kiai memiliki dua tanggungjawab sekaligus. Pertama, menjaga eksistensi dan perkembangan agama yang dianutnya. Kedua, menjadi mediating structure (institusi mediasi) yang bertugas memediasi persoalan yang tidak terpecahkan oleh masyarakat. Untuk yang kedua, fungsi kiai hampir mencakup seluruh persoalan, dari masalah rumah tangga sampai masalah politik kenegaraan. Dalam kasus Kiai Baidlowi, beliau menyelesaikan kasus tersebut dengan cara mencari celahhukum (h}i>lah). Atau jika itu tidak memungkinkan untuk diambil, bisa saja beliau merujuk kepada pendapat hukum yang membolehkan, yang sebetulnya sudah tersedia referensinya dalam khazanah kitab-kitab klasik. Betapapun kontroversialnya pendapat itu. Akan tetapi tujuan esensial dari fiqih (Maqa>s}id al-shari>’ah) sudah terwujud dengan baik, yaitu kemaslahatan (mas}lah}ah).

Foto Kiai Baidlowi dok. Pribadi

Dalam tradisi kiai dan pesantren, apa yang dilakukan Kiai Baidlowi di atas lumrah dilakukan. Salah satu kaidah fiqih yang populer di pesantren adalah “idha> d}a>qa al-amru ittasa’a, wa idha> ittasa’a d}a>qa” (jika suatu masalah terlalu ketat maka buatlah menjadi longgar, apabila terlalu longgar maka perketatlah kembali). Maksudnya, apabila penyelesaian hukum sulit untuk diterapkan dalam suatu kasus maka carilah alternatif hukum yang lebih mudah, apabila terlalu mudah dan cenderung menyederhanakan masalah sehingga hukum kehilangan wibawa maka perketatlah kembali. Kiai Wahab Hasbullah memiliki ungkapan menarik mengenai hal ini. Ia menyatakan bahwa ‘fiqih itu membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah’. Tokoh penting NU ini memang dikenal sebagai kiai yang luwes, berwawasan luas dan cerdas.

Di tahun 1950-an, Soekarno mengalami krisis legitimasi di kalangan ummat Islam. Pada saat itu, ummat Islam masih membayangkan presiden sebagai khalifah dengan persyaratan dan konsekwensi dalam fiqih siyasah klasik, maka Kiai Wahab mendorong NU untuk memberi legitimasi keagamaan. Lalu keluarlah keputusan NU tahun 1954 yang memberi gelar Soekarno sebagai “waliyy al-amr al-d}aru>ri bi al-shaukah”, (kekuasaan negara dalam keadaan darurat yang secara de facto berkuasa). Pertimbangan Kiai Wahab dan NU cukup sederhana. Kalau cita-cita ideal muslim tentang pemimpin negara yang memiliki kapasitas agama dan politik tidak bisa dipenuhi, maka Soekarno sebagai presiden yang secara riil berkuasa harus diterima untuk mencegah terjadi chaos dan perpecahan. Dengan kata lain, kemaslahatan bersama lebih didahulukan dari tujuan yang idealistik. Hal itu sebagaimana terungkap dalam kaidah fiqih yang sering dipakai Kiai Wahab; “ma> la> yudraku kulluhu, la> yutraku kulluhu”, (apa yang tidak bisa dicapai secara keseluruhan, jangan seluruhnya ditinggalkan).

Demikian pula ketika NU dikritik oleh tokoh-tokoh Masyumi karena bersedia menjadi wakil Nasakom bersandingan dengan PKI. Dengan enteng Kiai Wahab menjawab bahwa jika NU menolak, maka kelompok Islam tidak akan punya wakil dalam pemerintahan. Hal itu didasarkannya pada pertimbangan fiqih “akhaffu al-d}ararain”, (paling ringan dari dua ancaman bahaya). Bahaya duduk bersandingan PKI dalam pemerintahan dianggap lebih ringan bahayanya daripada tidak memiliki wakil dalam pemerintahan. Dari dua kasus di atas; kasus Kiai Baidlowi dan Kiai Wahab, bisa disimpulkan bahwa islamic reasoning (penalaran khas Islam) yang menggerakkan keduanya adalah maslahah sebagai prinsip utama dalam maqa>s}id al-sha>ri’ah. Lantas persoalannya, apakah nalar fiqih pesantren seperti ditunjukkan di atas mengabaikan otoritas teks? Di manakah sebetulnya posisi teks dalam struktur berfikir tersebut.

 Dalam buku Dira>sah fi> fiqh maqa>s}id al-shari>’ah (2008), Yusuf al-Qardawi memetakan perkembangan fiqh al-maqa>s}id menjadi tiga kecenderungan, yaitu al-mu’at}t}ilat al-judu>d (neo-liberalis), al-dza>hiriyat al-judu>d (neo-tekstualis), dan al-wasat}iyah (moderat). Kelompok pertama berpandangan bahwa boleh mengabaikan bunyi teks demi mewujudkan maqa>s}id al-sha>ri’ah, Karena substansi dari sha>ri’ah adalah maslahah itu sendiri. Kelompok kedua sebaliknya, meyakini bahwa teks pada dirinya sudah mencukupi untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi. Pandangan ini tidak mengakui eksistensi maqa>s}id al-sha>ri’ah sebagai metode penalaran hukum. Sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa parsialitas teks (al-nus}u>s} al-juz’iyyah) harus diletakkan dalam kerangka universalitas tujuan syari’ah (maqa>s}id al-sha>ri’ah). Parsialitas teks dan tujuan syari’ah sama-sama penting dan harus menjadi sumber dalam penetapan hukum Islam.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Baidlowi dan Kiai Wahab agaknya masuk dalam kategori ketiga dari tipologi di atas. Hanya saja nalar fiqih pesantren yang dipraktekkan keduanya berbeda dengan para teoritikus maqa>s}id al-sha>ri’ah kontemporer, seperti Ibnu Asyur, ‘Alal Al Fasi, Ahmad Ar Raisuni, Nuruddin al-Khadimi, maupun Jasser Auda. Intelektual kontemporer tersebut menggali prinsip-prinsip maqa>s}id al-sha>ri’ah langsung dari teks (nas}) al-Qur’an dan hadis, dan kemudian memadukannya dengan filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Sedangkan kiai dalam tradisi pesantren menggali prinsip-prinsip maqa>s}id al-sha>ri’ah dari kitab-kitab klasik (kuning) dan posisinya sebagai mediating structure (institusi mediasi) di atas.

Tradisi Diskursif

Berbeda dengan pemahaman umum selama ini yang menganggap fiqih pesantren bersifat tekstual dan stagnan, kitab kuning yang dipelajari di pesantren memuat beragam fatwa hukum yang begitu kaya, dari fatwa yang ketat sampai yang longgar. Fakta tentang keanekaragaman dan polemik hukum tersebut membentuk paradigma berfikir yang tidak hitam-putih. Jika suatu kasus terjadi maka pilihan fatwa hukum yang disediakan bisa beragam, tergantung dari perspektif seorang kiai dalam melihat sebuah persoalan. Perspektif yang dibentuk oleh wawasan fiqih yang luas dan pertimbangan kemaslahatan bersama, dalam kapasitas kiai sebagai mediating structure (institusi mediasi) untuk menguraikan problematika sosial yang terjadi. Sebab itu jarang sekali, seorang kiai menggunakan filsafat dan ilmu sosial kontemporer. Paling jauh, dia menggunakan ushul fiqih dan kaidah fiqih untuk melegitimasi pendapatnya. Singkat kata, kontekstualisasi fiqih yang dilakukan oleh kiai berada dalam lingkup dunia kitab kuning sendiri. Fiqih pesantren menempatkan tradisi bukan sebagai penghalang kemajuan, akan tetapi sebagai jangkar bagi upaya pembaharuan.

Perspektif yang dibentuk oleh wawasan fiqih yang luas dan pertimbangan kemaslahatan bersama, dalam kapasitas kiai sebagai mediating structure (institusi mediasi) untuk menguraikan problematika sosial yang terjadi.

Karena itu, Antropolog Talal Asad dalam The Idea of an Anthropology of Islam (1986) mengkritik Clifford Geertz yang gagal memahami tradisi kiai dan fenomena keislaman pada umumnya. Geertz berjasa besar dalam menjelaskan fenomena diversitas dalam dunia keislaman, akan tetapi dia terjebak dalam tipologi Islam Pusat (center) dan dan Islam Pinggiran (periphery). Menurutnya, Islam Pusat bersifat universal dan ideal (orthodox) karena ketersambungannya dengan teks-teks otoritatif, sedangkan Islam Pinggiran merupakan bentuk Islam yang menyimpang (heterodox). Islam di Jawa (Indonesia) adalah Islam pinggiran dari pusat Islam yang berada di Timur Tengah. Untuk itu, Talal Asad kemudian mengajukan konsep yang dia sebut “tradisi diskursif”. Konsep ini menjelaskan bahwa masyarakat muslim di tempat dan waktu manapun selalu berupaya mencari legitimasi atas praktek beragama mereka dengan teks-teks otoritatif di masa lalu. Ketersambungan ini penting artinya untuk membangun legitimasi dan otentisitas dalam tradisi agama mereka.

Dalam hal ini, Asad menolak klaim yang menyebut tradisi bersifat stagnan dan tertutup. Tradisi menurutnya mengalami tranfsormasi, karena tradisi adalah wujud negosiasi antara teks masa lalu dan peristiwa-peristiwa masa kini. Dalam kacamata Asad, negosiasi tersebut dihubungkan dengan apa yang dia sebut islamic reasoning (penalaran Islam). Tradisi juga bersifat contested (diperdebatkan), yang di dalamnya melibatkan pertarungan antara pihak-pihak yang berkuasa. Karena itu, sebuah tradisi Islam yang dibentuk dan dimaknai menjadi ortodoksi ataupun heterodoksi, ia selalu berada dalam konteks relasi kuasa. Sesuatu yang diabaikan Geertz dalam analisisnya tentang Islam di Jawa.

Jika memakai perspektif Talal Asad, tradisi kiai dan pesantren selalu bersifat dinamis dan contested. Kiai Baidlowi dan Kiai Wahab merupakan contoh bagaimana tradisi tersebut berkontestasi mencari ruang hidupnya sendiri. Pada hemat saya, Kiai Baidlowi tidak memakai filsafat, hermeneutika dan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Atau bahkan beliau belum membaca Ibnu Asyur maupun Jasser Auda yang memperluas cakupan hifd} al-din (perlindungan terhadap agama). Tidak sekedar sebagai perlindungan terhadap Islam, tetapi juga berarti perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan beragama. Akan tetapi tanpa itu, Kiai Baidlowi terbukti mampu merumuskan kembali fiqih yang unik dan contested. Formulasi fiqih yang kian dibutuhkan di tengah-tengah arus populisme berlatar agama dan etnis.    

Pesantren merupakan warisan penyangga penting Tradisi muslim Jawa yang sampai hari ini masih terus eksis dan berkembang, meskipun di sana sini terdapat Pesantren yang awalnya dikenal besar dan mati, tetapi juga ada pesantren baru yang dibuat. Pesantren di kalangan Islam Jawa ini banyak menyumbangkan kader santri dan masyarakat yang memengaruhi terhadap kondisi kultural bangsa Indonesia. Kontribusi itu berhubungan dengan nilai-nilai, pola pemahaman, dan keilmuan (turats) yang dikembangkan pesantren, yang kemudian meresap dan menjadi pendorong dalam sikap dan mewujud dalam perilaku di tengah-tengah masyarakat; pada saat yang sama tetap melestarikan tradisi Jawa; dan menjadi pelestarian komunikasi dengan bahasa Jawa.

Satu hal penting yang dilihat dalam tulisan ini adalah dimensi ijazahan Amalan wirid-ilmu Hikmah di pesantren, sebagai khazanah pesantren yang jarang dilihat. KBBI tidak memiliki definisi dari kata ilmu hikmah ini, meskipun mendefnisikan kata ilmu: “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala di bidang pengetahuan; pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin dan sebagiannya).” Rangkaian dari kata ilmu ini, berjumlah tidak kurang dari 129 kata, misalnya ilmu administrasi, ilmu batin, ilmu tauhid, dan lain-lain, tetapi tidak ada yang digandeng dengan kata hikmah.
10 Kettlebell Exercises For Everyone | Fitness | MyFitnessPal where to buy anabolic steroids online fitness-2
Ilmu hikmah adalah ilmu yang diperoleh dari menjalankan berbagai amalan Wirid-wirid dan riyadhoh, dengan menjadikan Alloh sebagai sandaran, sehingga mampu merasakan efek-efek dari amalan-amalan itu, dan merasakan ada khowash-khowash di dalamnya melalui marifat batin. Karena level marifat batin berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, penguasaan terhadap ilmu hikmah berbeda sesuai dengan tingkat pencapaian yang diperoleh sang pengamal dan anugerah yang diberikan Alloh; yang perwujudannya bisa berupa pengobatan, ahli ilmu-ilmu syariat, ahli penumbalan, ahli menggerakkan masyarakat, dan sejenisnya.

Tradisi ilmu ilmu amalan hikmah-tarekat di tengah kalangan pesantren di Jawa, dilihat dari sudut: apa saja amalan-amalan ijazahan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, dan dimana sumber-sumber pengambilan ijazahnya; kitab-kitab apa saja yang dirujuk di kalangan pesantren dalam soal ilmu hikmah; mengapa pengamalan ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat ini diperlukan seorang guru di pesantren; dan  apa makna pentingnya ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat bagi pesantren dan masyarakat pada zaman sekarang?

Ijazahan Amalan Wirid-Ilmu Hikmah dan Tarekat di Pesantren

Amalan-amalan wirid yang dijalankan di pesantren, berbeda-beda di antara mereka, sejalan dengan perbedaan jenis amalan yang dimiliki oleh kyai yang mengasuhnya, atau amalan pendiri pesantren yang terus menerus disambungkan, dalam tiga bentuk: (1) amalan yang dikhususkan untuk pribadi santri dan masyarakat, diminta Ijazah amalan atau karena diberi langsung oleh sang kyai; (2) amalan wirid kolektif santri-santri di hari-hari tertentu yang dijalankan secara langgeng; dan (3) amalan kolektif masyarakat sebagai perluasan dari jangkauan pengaruh kyai di luar pesantren, di tengah masyarakat di luar pesantren.

Amalan Khusus untuk Murid

Amalan seperti ini adalah untuk pribadi seseorang peminta amalan, yang amalan ini dimiliki seorang kyai dan telah menjadi wirid di dalam kehidupannya. Amalan jenis ini, ditentukan jumlah bilangan yang harus diwiridkan, waktu bacaan (apakah setiap shalat maktubah, setiap hari sekali, dan lain-lain), jenis bacaan, dibaca dan cara mewiridkannya. Amalan ini diberikan lewat dua cara: (1) kyai diminta oleh santri-murid tertentu atau masyarakat tertentu, kemudian kyai memberikan amalan wirid disesuaikan dengan tingkatan orang yang meminta dan jenis kebutuhannya, termasuk dosisnya; (2) kyai memberikan kepada orang tertentu yang dipilihnya, atau diberikan kepada mereka yang dianggap penting dari orang-orang yang dekat dengannya untuk meneruskan dan menjaga wirid yang telah diamalkannya.

Sebagai contoh, KH. Achmad Shidiq memiliki amalan mewiridkan surat al-Fatihah selama 100 x dalam sehari, yang diteruskan oleh anak cucu dan murid-muridnya. Sebagian masyarakat memperoleh ijazah amalan ini dari jalur keturunan KH. Achmad Shidiq. Amalan ini, ihda fatihah-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad; lalu ditambah beberapa guru, yaitu KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Mundzir Mangunsari, dan KH. Dalhar Watucongol, dan Mbah Abdul Hamid Pasuruan; setelah itu  Gus Miek (KH. Hamim Thohari Jazuli), KH. Achmad Shidiq, shohibul ijazah, dan kepada keluarga pengamal, dan kaum muslimin. Bagi sang pengamal, lebih diutamakan sebelum mengamalkan, harus menjalani wirid Dzikrul Ghafilin selama 40 hari.

Jenis lain dari ijazahan amalan seperti ini, contohnya seorang pengasuh pesantren mendawamkan (melanggengkan) wirid laqad ja’akum rasulun min anfusikum sampai akhir ayat, setelah selesai shalat maghrib selama 7 x setiap hari. Amalan wirid ini, dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh, yang diijazahkan kepada salah seorang anaknya, dan kemudian ada yang meminta ijazah untuk diwiridkan setiap hari. Ada juga seorang kyai pesantren yang mendawamkan wirid tarekat, dan dia memberikan amalan tarekat itu, untuk beberapa muridnya dan masyarakat yang meminta baiat kepadanya. Pesantren-pesantren lain, dan kyai-kyai lain juga memiliki amalan-amalan yang diwiridkan, yang bermakna dilanggengkan setiap hari, waktu tertentu, dengan jumlah bilangan tertentu.

Amalan-amalan yang dilakukan kyai dan diijazahkan itu, dibedakan menjadi dua: Pertama, amalan wirid ijazahan tarekat, dan kedua, amalan-amalan ijazahan non-tarekat. Pengertian tarekat di sini adalah wirid yang dilakukan di kalangan ordo sufi, diajarkan oleh guru mursyid, sesuai dengan tradisi di dalam tarekatnya. Tarekat Syathariyah, dalam sebagian sanad yang saya kenal, misalnya memudawamahkan wirid kalimah tahlil (la ilaha illallah) sampai pada kalimah Hu (HUWA), dengan jumlah: 100 x setelah ba’dha shalat isya dan shubuh. Di luar itu, setiap pengamalnya  harus bisa  meningkatkan pelanggengan dzikir dengan meningkatkan dosis sampai 70.000 x, dan begitu terus menerus diulang-ulang ketika mencapai angka pengamalan dzikir tahlil  70.000 x itu.

Amalan-amalan wirid yang diijazahkan itu, biasanya diberikan setelah sang guru ditemui oleh pemohon ijazahan, dengan mengemukakan maksud dan persoalan-persoalan yang dihadapinya: ada yang mengeluh keluarganya terus menerus mengalami sakit yang beruntun; ada yang terkena ilmu-ilmu ghaib atau gangguan jin; ada yang karena menanggung hutang begitu banyak; ada yang ingin pergi merantau dalam waktu yang panjang; dan lain-lain maksud. Jenis amalan yang diberikan sang kyai kepada pemohon, berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan maksud yang meminta; dan juga tergantung amalan wirid yang dimiliki seorang kyai.

Amalan Kolektif di Pesantren

Amalan ini untuk umum-kolektif yang harus dijalankan khusus di pesantren sebagai bagian dari wirid yang dijalankan oleh para santri. Guru atau pengasuh pesantren biasanya memperoleh amalan ini dari gurunya, lalu diteruskan di pesantrennya. Di antara jenis ini, sebagian pesantren mengamalkan wirid Ratib al-Haddad dan beberapa ratib lain. Penulis menemukan berbagai koleksi dan jenis wirid ini dilakukan di berbagai pesantren, hampir merata dari Jawa Timur sampai Banten, tetapi tentu saja tidak untuk seluruh pesantren. Meski Ratib al-Haddad ini disusun oleh al-Habib Abdullloh bin Alwi al-Haddad sebagai bagian dari wirid di kalangan tarekat Alawiyah dengan baiat dan ditambah wirid-wirid lain, tetapi untuk keperluan wirid, yang telah dipraktikkan tidak mesti berhubungan dengan pembaitan tarekat Alawiyah, tetapi cukup ijazahan yang diberikan guru, dan tidak ditambah dengan wirid-wirid lain yang ada di kalangan tarekat Alawiyah.

Di antara jenis lain wirid ini, adalah sholawatan dan maulid, pembacaan burdah, pembacaan al-Barzanji, dan tahlil. Tradisi pembacaan sholawatan dan pembacaan Maulid Shimtuddurar sekarang berkembang pesat, bukan hanya di pesantren-pesantren di kalangan Islam Jawa, tetapi juga sampai ke belahan dunia Islam. Khazanah Maulid Shimtuddurar, yang pusat ijazahannya, di antaranya dari habib Anis  di Solo, dan banyak kyai mengambil ijazahan dari Habib Anis ini.

Menurut salah seorang pengasuh pesantren di Jawa Timur yang memiliki sanad dari Habib Anis yang ikut menyebarkan pembacaan Maulid Shimthuddurar ini, mengatakan kepada saya: “Kitab ini disusun dengan dibimbing oleh Nabi Muhamamd Saw, untuk menyempurnakan tradisi yang sudah ada sebelumnya…” Maksud tradisi yang ada sebelumnya adalah pembacaan sholawat dan kitab maulid yang ada di kumpulan Maulid ad-Daiba`i dan Maulid Syarful Anam, yang telah beredar secara luas dan merata di kalangan masyarakat Islam Jawa.

Saya pun bertanya, maksud penyempurnaan itu, dia menjawab: “Dalam kumpulan Maulid ad-Daiba’i dan Maulud Syarful Anam, di kitab kumpulan itu juga terdapat syiir-syiir yang tidak dikenali lagi siapa pengarangnya, tentang pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu.” Dalam konteks ini, Maulid Shimtuddurar jelas pengarangnya, yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsy. Ihda Fatihah dan keperluan memperoleh kerberkahan dari sang pengarang dan bersambungnya sanad, yang menurut ceritanya, penyusunanan kitab itu langsung dibimbing Kanjeng Nabi Muhammad, menjadikan kumpulan Maulid Simthuddurar lebih mantab dan meyakinkan bagi sang kyai untuk diamalkan sebagai wirid Maulid.

Amalan Jama`i di Masyarakat

Amalan di pesantren atau amalan dari kyai tertentu yang kemudian dikembangkan di majlis-majlis pengajian, majlis shalawatan, dan majlis dzikir, melampaui lokalitas di pesantren sang kyai. Hal ini bisa terjadi, karena fungsi kyai di pesantren sebagai pendidik, selalu tidak terlepas dari fungsi sebagai orang yang dipandang sebagai “guru” di masyarakat, dan karenanya tidak jarang sang kyai atau pengasuh pesantren diminta untuk mengisi pengajian, majlis taklim, dan majlis dzikir; dan fungsi ta’lim di masyarakat sebagai bagian dari pengabdian seorang kyai untuk menyempurnakan kehidupan tauhidnya.

Dari jenis ini, lalu lahir gerakan-gerakan majlis dzikir, seperti Dzikril Ghafilin, Dzikir Sholawat Wahidiyah, pengajian Ratib al-Haddad, manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Ratib al-Kubro, dan banyak lagi yang lain di tengah-tengah masyarakat umum. Amalan jama`i ini, biasanya mengambil hari-hari tertentu dalam sebulan sekali, atau selapanan sekali. Mereka yang mengamalkan dzikir jama`i ini, cukup sebulan sekali membacanya, atau setiap selapanan. Akan tetapi juga ada, di antara pengamal sebulan sekali ini di dalam jama`i, tetapi diamalkan setiap hari untuk amalan fardi. Seperti pengajian rutinan Ratib al-Haddad sebulan sekali, dan pada saat yang sama, oleh pengamal tertentu diamalkan untuk diri pribadi setiap hari berdasarkan ijazah dari seorang guru.

Sebagian Pusat Mengambil Ijazah Beberapa Jenis Amalan

Beberapa jenis amalan untuk pribadi murid atau masyarakat yang meminta, mencakup amalan-amalan yang berefek, untuk kelancaran rizki dan hidup istiqomah, pengobatan dan gangguan setan-jin, agar kuat berkiprah dimasyarakat dan disenangi keluarga-masyarakat, pertahanan diri dari serangan musuh,  menghilangkan putus asa dan kebingungan, agar hajatnya terkabul, dan lain-lain, dengan disandarkan kepada Alloh. Di antara jenis-jenis wirid ini di antaranya: ayat-ayat hifzhi, ayat-ayat syifa’, doa nur buat, wirid hasbunalloh wani’mal wakil, wirid surat al-Fatihah, amalan Yasin Fadhilah, amalan Sholawat Nariyah, wirid tahlil, wirid tarekat, wirid asmaul husna, hizib-hizib, ratib, dan lain-lain.

Amalan 100 x Al-Fatihah

Amalan wirid 100 x surat Al-Fatihah, di antara pusatnya sekarang ini dikembangkan oleh para penganut Dzikrul Ghafilin, peninggalan Gus Miek dan KH. Achmad Shidiq, sehingga ijazahnya mengambil dari dua syaikh ini. Amalan ini juga dikenal sebagai amalan yang diambil dari beberapa kyai ternama, yang kemudian disebut dalam ijazah wasilah surat al-Fatihah di kalangan Dzikrul Ghafilin, yaitu KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Dalhar Watucongol, dan KH. Mundzir Mangunsari. Dalam tradisi Dzikrul Ghafilin, wirid surat Al-Fatihah ini bisa dicicil setiap selesai sholat, dan disebutkan dalam buku kecil Dzikrul Ghafilin, wirid ini diamalkan oleh Imam al-Ghazali.

Sebagian kyai juga mengamalkan dzikir ini, ada yang berjumlah 41 x, dan di antara yang mengamalkan ini, salah satu pusatnya di Geger Menjangan, Purworejo di kalangan keluarga penerus  Mbah Imam Puro.  Kyai-kyai di Jawa juga banyak mengamalkan witid surat Al-Fatihah ini, bahkan ada yang 500 x, dan juga 1000 x. Beberapa orang yang mimpi dengan Gus Dur, yang penulis temui, juga mengakui diminta mengamalkan wirid surat Al-Fatihah 100 x.

Amalan Sholawat Nariyah

Sholawat ini dikenal di seluruh dunia Islam, sebagai amalan wali bernama Imam Ibrahim at-Taji, dan sholawat ini disebut juag dalam kumpulan sholawat yang ditulis Imam Yusuf bin Ismail an-Nabhani berjudul Afdhalus Sholawat `ala Sayyidis Sadat. Di kalangan muslim Jawa, banyak kyai Jawa mengamalkan amalan ini. Nahdlatul Ulama pada masa kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bahkan pernah menyerukan gerakan 1 milyar membaca sholawat Nariyah. Pengamalan dilakukan sehari semalam dalam jumlah 4444 kali, dan setelah itu dibaca setiap hari atau setelah selesai sholat sesuai pengijazah amalan ini, bisa 7 x atau 15 x.

Salah satu pusat yang dijadikan sanad ijazah ini adalah Mbah Ma’shum Lasem, salah seorang pendiri NU dan kyai yang sangat dihormati, ayah dari KH. Ali Maksum. Di Banyuwangi, salah satu kyai yang mengamalkan ini adalah KH. Mawardhi Secawan Srono. Di tanah Jawa paling Barat, di Banten, pusat pengijazahnya di antaranya KH. Muhtadi Dimyati, putra dari ulama Banten terkenal, KH. Dimyati Banten; dan juga KH. Thobari Sadzili, salah satu dari cucu Syaikh Nawawi al-Bantani.

Di beberapa tempat juga ada Majlis Sholawat Nariyah, misalnya di Blitar yang dikaji oleh Umi Choisaroh dalam skripsinya, Sejarah Perkembangan Majlis ta’lim dan Dzikir Jamiyah Sholawat Nariyah Mustaghitsu al-Mughits di Dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Blitar 2011-2018 (UIN Sunan Ampel, 2019), dan Majlis ini cukup terkenal di Jawa Timur, yang diasuh oleh KH. Muhammad Sonhaji Nawal Karim Zubaidi (Gus Shon). Amalan ini sebelumnya dilaksanakan oleh kakek dan ayahnya, dan kini telah memiliki cabang yang cukup banyak tidak kurang dari 60 cabang.

Amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani

Amalan manaqib Syaikh Abdul al-Jailani sudah lama dikenal di Jawa, baik oleh penganut tarekat Qadiriyah atau masyarakat secara umum, di masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Beberapa jenis Manaqib Syeh juga berbeda-beda, ada yang berbentuk nazhaman dan ada yang berbentuk prosa: yang berbentuk nazhaman disebut Manaqibul Akbar dengan wasilah kepada beberapa syaikh, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan; ada yang berbentuk prosa, seperti yang terkenal adalah Al-Lujainud Dani, yang banyak diterjemah ke dalam bahasa pegon; ada yang dengan judul Lubabul Ma`ani, An-Nurul Burhani, ada juga Jawahirul Maani, dan lain-lain.

Di Banyuwangi pusat ijazah amalan Manaqibul Akbar ada di Pesantren Darussalam Blokagung, dan para murid-murid mereka yang telah mendirikan pesantren. Di Jember Manaqib Syaikh di antaranya diamalkan jama`i oleh KH. Muzakki Syah, dengan ribuan jamaah; di Pasuruan ada Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Nongko Jajar, Pasuruan; dan yang terkenal di Pasuruan, pengijazah manaqib dengan judul Jawahirul Ma`ani adalah KH. Ahmad Jauhari Umar (1945-2006), berpusat di Pesantren Darussalam Tegalrejo.

Pusat-pusat yang lain dimiliki oleh pusat-pusat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, seperti di Mranggen yang berpusat pada KH. Muslih al-Maraqi dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi dan para murid-muridnya, penerus tarekat KH. Mustain Ramli (di antaranya diteruskan Gus Mujib); KH. Abah Anom  Suryalaya dan para muridnya di Tasikmalay; di Cilacap, Pesantren Kesugihan yang didirikan KH. Badawi Hanafi sekarang ini juga termasuk yang menyelenggarakan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani; dan di banyak tempat dari cabang-cabang tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa.

Amalan Hizib Autad

Hizib ini selain diamalkan banyak kyai di Jawa juga diamalkan masyarakat muslim Jawa di berbagai majlis ta’lim dan pengajian, dimulai dengan Allohul Kafi Robbunal Kafi Qoshodnal Kafi Wajadnal Kafi, dan seterusnya. Pusat-pusat pengambilan amalan Hizib ini, terdapat di pusat-pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Hizib Nahsar-Hizib Bahr-Hizib Bar

Amalan Hizib ini juga dimiliki oleh banyak kyai di Jawa, dan sumber hizib-hizib ini adalah dari Syaikh Abul Hasan as-Sadzili. Pusat-pusat tarekat Sadziliyah di Jawa, adalah juga pusat pengambilan ijazah hizib-hizib Syaikh Sadzili ini.

Amalan Ayat Lima

Di antara beberapa jenis amalan ayat Al-Qur’an adalah Ayat Lima, Ayat 7, dan Ayat 15; dan di antara pusat yang menyebarkan Ayat Lima di antaranya dimiliki oleh para mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung, yang diwariskan kepada KH. Hasan Anwar ke KH. Madchan bin Abdul Manan. Dalam amalan mereka ini, pengamalan dilakukan puasa dan diamalkan selama 3 hari diamalkan sebanyak 313 x, dengan wasilah keguruan mereka; dan setelah itu diamalkan setiap hari. Di antara kyai lain yang menjaid pusat amalan ini adalah di Krapyak yang diamlkan oleh KHR. Abdul Qodir.

Amalan Yasin Fadhilah

Amalan Yasin Fadhilah banyak dilakukan kyai-kyai di Jawa, dan di antara pusat penyebaran amalan ini adalah para keluarga Mbah Imam Puro. Di Banyuwangi Yasin Fadhilah juga disebarkan melalui Pesantren Blokagung dalam kumpulan wirid-wirid yang sudah tercetak. Di Ceroben, tepatnya di Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Cirebon, Yayasan PATWA (Yayasan At-Tarbiyatul Wathoniyah), dengan otoritas KH. Amad Syathori, juga menyebarkan amalan ini; dan beberapa doa dari Yasin Fadhilah di sini, variasinya ada yang diperoleh dari Syaikhona Kholil Bankalan.

Di Jawa Tengah, Mbah Maemun Zubair juga termasuk yang dikenal memberi ijazah Yasin Fadhilah; di Yogyakarta, Pesantren Wahid Hasyim, yang didirikan KH. Abdul Hadi juga mengamalkan Yasin Fadhilah, di Asrama Al-Hikmah;  dan masih banyak lagi di Pesantrfen-pesantren di Jawa.

Sholawat Kubro

Amalan Sholawat Kubro yang merupakan sholawat yang dikenal diamalkan para wali di tanah Jawa di masa awal, di antaranya adalah KH. Imroni Abdullah di Jepara. KH. Imroni  mengamalkan bersamaan dengan mujahadah Sholat Tasbih. Selain itu, Sholawat Kubro juga diamalkan keluarga dari Mbah Imam Puro yang terhimpun dalam kitab Manaqib-nya, dan tokoh ini makamnya ada di Geger Menjangan, Purworejo.

Ratib Al-Haddad

Banyak kyai di Jawa, baik yang keturunan langsung dari Sayyid atau Habib, atau yang dari suku Jawa-Madura, mengamalkan Ratib al-Hadad, yang disusun Al-Habib bin Abdullah bin Alwi al-Haddad. Di antara pusat pengijazah ini, bersumber dari KH. Asad Syamsul Arifin di Situbondo; KH. Abdul Hamid di Pasuruan; KH. Mufid Masud di PP Sunan Pandanaran; KH. Abdul Mukhit di Jejeran; Abuya Muhtadi Dimyati Banten, dan masih banyak Habib-Sayyid-syarif, dan kyai-kyai lain membaca Ratib ini, dan tersebar dari Banyuwangi, Cirebon sampai Banten.

Dalam tulisan di tebuireng online yang ditulis Arif Khuzaini, berjudul “Sejarah, Khasiat & Bacaan Ratib al-Haddad”, di antaranya dia menyebut pemberi ijazah Ratib ini yang di Indonesia,  diperoleh dari beberapa guru: Habib Ali bin Husain al-Haddad Surabaya, Habib Ali Al-Jufri Jombang, Habib Muhammad as-Segaf Solo, Habib Alwi al-Haddad Peterongan, dan K. Ahmad Muntaha Pesantren Gedongsari Nganjuk, dan yang satu dari Yaman (Habib Ahmad bin Husain Aidid).

Ratib Kubro

Amalan Ratib Kubro juga dibaca oleh sebagian masyarakat-kyai di Jawa, dan sumber pengijazah dari amalan ini di antaranya adalah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Rotib ini disusun Habib Thoha bin Hasan bin Yahya Ba `Alawi, adalah putra dari Habib Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang, dan terhitung amalan ratib yang disusun lebih belakangan dibanding dengan Ratib Al-Haddad, ratib al-Atasy, dan ratib yang sejenis dari Hadhramaut. Dari Habib Luthfi, lalu menyebar ke berbagai muridnya, dan di antara penyebarannya melalui KH. Abdullah Saad di Pesantren al-Inshof, Karanganyar. Termasuk pengamalan Ratib Kubro di Yogyakarta, bertempat di Pesantren Kyai Khairani Cepokojajar Piyungan, juga dari Habib Muhammad Luthfi Pekalongan, dan kemudian berhubungan dengan KH. Abdullah Saad, Karanganyar.

Simtud Durar

Kitab Maulid Simtud Durar, disusun oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi asal Hadhramaut (w.1915), yang dibaca seminggu sekali di Masjid Riyadh, Syaiun, Hadhramaut. Yang membawa ke Indonesia ada dua jalur, seperti disebutkan Muhammad Asad dalam alif.id (31 Juli 2019): pertama, dari kalangan murid, bernama Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (w. 1917) di Cirebon, lalu ke Bogor, dan kemudian pindah ke Surabaya; lalu pembacaan Simtud Durar ini diteruskan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968), yang disebut Habib Ali Kwitang, yang juga murid penyusun Simtud Durar (Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi); dan mengadakan  pembacaan Simtud Durar ini di kantor pusat Jamiat Khoir, dan kemudian di Masjid Kwitang yang terkenal pada tahun 1930-an.

Kedua, Simtud Durar juga dikenalkan oleh Habib Alwi, keturunan Habib Ali Al-Habsy penyusun Simtud Durar (w. 1953) sendiri. Putra Habib Ali penyusun Simtud Durar ini, ke Nusantara, menetap di Jakarta, kemudian ke Semrang, dan terakhir di Solo. Tahun 1934, Habib Alwi mendirikan masjid Riyadh di Solo. Setelah itu, penyebaran  Simtud Durar dilakukan putra Habib Alwi yang bernama Habib Anis bin Ali al-Habsy (w. 2006), yang sangat terkenal. Ijazah Simtud Durar banyak bersumber dari Solo, dari Habib Anis dan murid-muridnya.

Dalail Khairat

Amalan Dalail Khairat berasal dari Imam al-Jazuli juga dilakukn oleh banyak kyai di Jawa, dan dilakukan berbagai pengikut tarekat. Sanad mereka banyak bersambung kepada Syaikh Mahfudz Termas, dan beberapa syaikh lain di Hijaz. M Bagus Irawan telah menerjemahkan Dalail Khoirot ini ke dalam bahasa Indonesia  diterbitkan Keira Publising ( 2019) dan menulis “Sanad Dalail Khairat di Nusantara” (iqra.id., 3 Oktober 2019). Amalan Dalail Khaoirot ini banyak diamalkan disertai dengan puasa, ada yang setahun, lalu ditambah beberapa tahun, dan ditambah harus rajin membaca Al-Quran.

Di antara pusat penyebaran dan pengambilan ijazah adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas Empang Bogor (w. 1932) dan para muridnya; Abah Anom juga  disebut penyambung rantai sanad Dalail Khoirot; di Pekalongan ada KH. Thohir bin Abdul Lathif (w. 1946). Sementara  di Kudus, mujiz terkenal adalah KH. Ahmad Basyir, di Pesantren Darul Falah Jekulo; di Jombang ada KH. Djamaluddin Ahmad Tambakberas dan KH. Abdul Aziz Mansur Paculgowang; dan amalan Dalail Khoirot juga ada di Pesantren Lirboyo Kediri dan KH. Djazuli Usman di Ploso; di Blitar ada KH. Mahdi di Pesantren Miftahul Huda; di Malang, ada KH. Achmad Masduqi Mahfudz  di PP Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda; dan di Yogyakarta ada KH. Ali Maksum, dan di PP Sunan Pandanaran Yogyakarta, KH. Mufid Masud juga pengamal Dalail Khoirot yang memperoleh dari KH. Ma’ruf Surakarta dan KH. Abdul Muid Klaten; dan di Jawa tengah ada KH. Muhammadun Pondowan dan murid-muridnya.

Tarekat Qadiriyah

Di antara pemegang sanad tarekat Qadiriyah di Jawa, sekarang ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat Banyuwangi, yang memperoleh dari Syaikh Abdul Karim al-Mudarris Irak, seperti disebutkan di blokagung.net (30 Oktober 2014).

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

Amalan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, pusat baiat dan pengijazahannya di antaranya, melalui pusat-pusat seperti Syaikh Abdul Karim Banten dan murid-muridnya, Syekhona Kholil Bangkalan dan murid-muridnya, KH. Hasan Basuni Madura dan murid-muridnya,  Syaikh Ibrahim Brumbung dan murid-muridnya, Abah Anom di Suryalaya dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi di Surabaya dan para penerusnya, KH. Mustain Romli dan para penerusnya, KH. Muslih Mranggen dan para penerusnya,  KH. Hasan Anwar Purwodadi dan para penerusnya, Habib Ali Alhinduan Madura, dan lain-lain. Jaringan mereka ditulis oleh Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning.

Tarekat Syathariyah

Pusat Tarekat Syathariyah dulu ada di Pamijahan, bersumber dari KH. Abdul Muhyi  dan jaringan murid-muridnya yang sangat luas; Ronggowarsito dan Ronggosasmito di Kartasura; Kyai Asy’ari Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kyai Guru juga menjadi rantai sanad penting tarekat ini; dan di Yogyakarta kini tarekat ini ada di Jejeran (dari sanad Mbah Nawawi Jejeran) dan Giriloyo (Mbah Marzuqi Giriloyo). Sementara gabungan Sadziliyah-Syathariyah berpusat baiatnya dari Mbah Imam Puro dan keturunannya serta murid-muridnya yang tersebar.

Tarekat Syadziliyah

Pusat Sadziliyah yang cukup tua adalah Pesantren al-Kahfi atau Pesantren Sumolangu melalaui  Kyai Sumolangu dan murid-muridnya; KH. Idris Jamsaren di Solo; KH. Dalhar di Pesantren Darussalam Watucongol dan para murid-muridnya; KH. Abdul Malik Purwokerto (Sadziliyah dan Naqsyabandiyah) dengan jaringan para muridnya yang luas; KH. Abdul Jalil Mustaqim di Pondok Peta Tulungagung dan para murid-muridnya, Habib Muhammad Luthfi di Pekalongan dan para murid-muridnya; KH. Siroj Payaman Magelang, KH. Ahmad Ngadirejo Klaten, KH. Abdullah Kaliwungu, KH. Siradj Panularan Surakarta, KH. Abdul Muid Tempursari Klaten, KH. Maruf Mangunwiyoto Jenengan, KH. Idris Kacangan Boyolali, dan beberapa yang lain.

Tarekat Naqsyabandiyah

Amalan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa telah dijelaskan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Mizan, 1996), yang pusat-pusatnya di antaranya: KH. Usman Gedang dan para muridnya, KH. Muhammad Ilyas di Sokaraja Banyumas dan para muridnya; Syaikh Abdul Hadi Giri Kusumo dan para murid-muridnya, sebelah tenggara Semarang; KH. Abdurrahman Kebumen; tarekat ini juga pernah ada di Pesantren Benda Kerep Cirebon; dan KH. Zain putra KH. Tholchah Cirebon. Di antara cabang-cabang penting yang sekarang berkembang-terkenal adalah KH. Mansur Popongan dan para penerusnya, KH. Arwani Kudus, Mbah Mangli Magelang, dan banyak lagi yang lain.

Dalam buku Zamaksyari Dhofier berjudul Tradisi Pesantren (LP3ES, 2011), disebut Syaikh Abdul Jalil Tegalsari Salatiga (w. 1916) termasuk penyebar Naqsyabandiyah awal dan mendapat langsung dari Mekkah, di luar jalur yang selama ini ada. Di Madura, beberapa mursyid Naqsyabandiyah juga disebut Martin adalah perempuan, seperti Nyai Thabibah (yang memperoleh dari KH. Ali Wafa) dan Syarifah Fatimah yang memiliki pengikut cukup banyak.

Tarekat Tijaniyah

Pengambilan amalan tarekat Tijaniyah bersumber di Pesantren Buntet, dan jaringan  yang mengambil dari Pesantren Buntet.

Hizib Ghazali

Di antara sumber penting pengijazah Hizib Ghazali adalah KH. Chudlori di API Magelang dan para murid-muridnya, sebagaimana disebutkan oleh Bambang Pranowo dalam Memahami Islam Jawa (2009). Amalan Hizib Ghazali dilakukan dengan berpuasa selama 7 hari, dan dibaca setiap selesai sholat 5 waktu minimal 7 x dan maksimal 40 x. Di Banyuwangi, Hizib Ghazali juga diajarkan melalaui Pesantren Manbaul Ulum, Muncar Banyuwangi, dan di beberapa pesantren lain di Jawa.

Hifdzul Quran

Amalan menghafal Al-Qur’an di Jawa yang paling terkenal dan cukup tua adalah Pesantren Krapyak melalaui sanad KH. Munawwir. Dari KH. Munawwir kemudian banyak dikembangkan para muridnya di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Beberapa pesantren yang menjadi pusat menghafal Al-Qur’an, di antaranya, selain Krapyak adalah PP. An-Nur Ngrukem, Bantul; juga ada di PP Sunan Pandanaran; juga ada di Wonosobo, dibawah otoritas KH. Muntaha; dan beberapa pesantren lain.

Amalan Ngaji Shahih Bukhari

Di antara pengijazah amalan dengan tirakat ngaji Shahih Bukhari, yang ternama adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari (dan para murid yang mengambil ijazah darinya) dari Syaikh Mahfudh at-Tirmasi; KH. Zubair (ayah Mbah Maemun Zubair) dan para miuridnya; KH. MA Sahal Mahfuzh dari Syaikh Zubair dan Syaikh Yasin al-Fadani; KH. Maruf Amien yang memperoleh dari KH. Idris Kamali (menantu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari); dan sebagian pusat-pusat yang lain.

Amalan Puasa Ndawud

Amalan Puasa Ndawud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Amalan ini banyak pula diamalkan oleh banyak kyai di Jawa. Salah satu pemegang ijazah amalan ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat (Pesantren Blokagung Banyuwangi), yang sering memberi ijazah setiap tahun tepat menjelang tahun baru Hijriyah; di Yogyakarta, di antara pesantren yang mengijazahkan ini adalah Pesantren Ash-Sholihah Jonggrangan Sumberadi Mlati Sleman, yang didirikan KH. Muhamamd Zahid; dan di beberapa pesantren yang mengijazahkan Dalail Khoirot, biasanya juga mengijazahkan Puasa Ndawud.

Amalan Doa Nurbuat

Di antara amalan yang banyak pula dilakukan kyai-kyai di Jawa dan habaib adalah Doa Nurbuat. Di antara sumber pengijazah amalan ini di Yogyakarta di antaranya bersumber dari KH. Khalil Harun Segoroyoso dan para muridnya yang mengambil ijazah mereka. Pengamalannya yang bersumber dari kyai yang memperoleh dari KH. Kholil Harun,  Doa Nurbuat ini diamalkan setiap hari 3 x atau 5 x, dengan dipungkasi Sholawat Tunjina 15 x.

Ayat-Ayat Syifa

Ayat-ayat Syifa adalah ayat-ayat yang diguankan menjadi wasilah memohon kesembuhan dan obat dari sakit badan dan batin. Di antara pusat dari jazahan ini bersumber dari Kyai Asyari Kaliwungu, KH. Munthaha dan KH Faqih Muntaha, yang telah terhimpun dalam sebuah rangkaian wirid Ayat Syifa, dipungkasi dengan sholawat Thibbil Qulub. Mursyid Sadziliyah-Syathariyah di Purworejo, KH. Adib Luthfi Hakim juga mengamalkan Ayat Syifa; dan banyak kyai lain juga mengamalkan ini.

Ayat-Ayat Hifzhi

Ayat-ayat Hifzhi adalah doa-doa untuk penjagaan dari segala gangguan jin setan dan hal-hal buruk lain. Di antara, yang menjadi sumber pengijazah amalan Ayat-Ayat Hifzhi, sebagaimana ada dalam amalan sebagian keturunan Mbah Imam Puro di manaqib-nya, adalah berasal dari Pesantren Poncol Salatiga, yang didirkan KH. Misbach, dan diteruskan para murid-muridnya.

Hasbunalloh wani’mal Wakil

Amalan hasbunalloh wani’mal wakil, di antara sumber pingijazahnya adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan: ada yang dalam jumlah 450 x setiap hari, dan ada yang siang 450 x dan malam 900 x, sebagaimana yang diceritakan sebagian pengamalnya kepada saya; dan banyak kyai lain di Jawa.

Mantra Jawa di Pesantren

Meskipun kyai-kyai Pesantren di kalangan muslim Jawa menggunakan amalan wirid dalam bahasa Arab, tetapi mereka juga berbahasa Jawa dalam kebiasaan hariannya; dan tidak sedikit yang memiliki mantra-mantra berbahasa Jawa untuk keperluan-keperluan tertentu sebagai wirid, sebagai pelengkapnya. Di antara mereka yang memiliki mantra Jawa ini ada Guru Marzuki Giriloyo (Syathariyah), KH. Dalhar Watucongol (Syadziliyah), KH. Madchan Abdul Manan (Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah) di Purwodadi, Mbah Imam Puro di Purworejo (Sadziliyah-Sathariyah), dan beberapa kyai lain.

Apa yang disebutkan dari beberapa amalan dan sebagian penyebar amalan-amalan itu, hanya sebagian kecil saja, dan tentu banyak sekali kyai-kyai di Jawa yang mengamalkan amalan-amalan wirid yang tidak disebutkan di sini, dan di luar jangkauan yang saya ketahui.

Beberapa hari ini kami berada di bukit ini, tepatnya di bukit Syarok, Darmacaang, Cikoneng, Ciamis, Jawa Barat. Sebelumnya, tentu saja kemelut di hati telah kumenangkan, antara keinginan untuk mendalami kehidupan “nyantri kembali” yang jelas memuat konsekuensi-konsekuensi baru atau tidak.

Adalah kawan Soerjo, yang tiba-tiba mengatakan: aku ikut. Lho, padahal tidak ada rembuk apa-apa sebelumnya. Rupanya ia merasa tertarik dan secara diam-diam mempersiapkan diri, packing pakaian dalam tas ransel dan tentu saja dengan kesiapan mental yang sudah dibungkusnya dengan niat rapi.

Udara terasa begitu segar di sini. Maklum, ini daerah perbukitan yang masih asli. Belum banyak di jamah oleh manusia. Beberapa tahun yang lalu, Kiai memutuskan untuk membuka lahan ini dengan diawali menanam salak, disamping memang  banyak tanaman jangka panjang yang sudah ada. Banyak pohon mahoni dan sengon, juga tanaman kebun lainnya. Kelak, Kiai akan menetap di sini dan setiap riyadhoh, Suluk Ilahiyah dilaksanakan di sini. Tak lagi di jogja, Ploso Kuning.

Selang tiga harian kami di sini, berbaur dengan para jamaah yang lain dari seluruh pelosok tanah air, suatu pagi, kita santai sembari ngopi. Kawan Soerjo sambil senyum-senyum berkata, “Hebat ya… Siang kerja, malam dzikir”, “orang-orang ini seperti memiliki kekuatan super, hutan yang selebat itu bisa bersih dan rapi dengan kerja yang hebat dan kompak kayak tentara”.

Entahlah bagaimanapun kami juga merasakan bahwa kami seperti memiliki kekuatan berlipat ganda, bekerja dengan riang gembira walau fisik terasa pegal-pegal.

Dalam kegiatan Suluk Ilahiyah ini memang diisi dengan aktivitas fisik yakni kerja, seperti yang diperintahkan Guru pada siang hari kemudian, sholat, dzikir, tawajjuh dan angkat senjata lagi, pacul, parang, shin-saw, golok, kapak, dan lainnya. Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya. Pada malam harinya lebih banyak diisi dengan dzikir-dzikir seperti yang dibebankan pada masing-masing Santri sesuai “kelasnya”.

Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya.

Tiba-tiba obrolan itu sampai juga pada kebiasaan kami untuk main-main analisis, seperti biasanya aktivis di kampus. “Padahal kerja ini tanpa upah lho, ini penindasan kalau menurut Marx”, imbuhnya. “hahaha”, kita tertawa.

Secara sosiologis memang bisa terbaca demikian. Mengapa demikian, lihatlah, seorang kiai hanya dengan dawuh-nya saja bisa menggerakkan ratusan orang untuk mengerjakan seperti apa yang ia inginkan. Ini menandai sebuah superioritas tersendiri. Dalam struktur sosial, hanya kelas yang lebih tinggi posisinya yang memiliki kekuasaan ini, kekuasaan untuk dipatuhi. Menurut teori, ini lebih dekat dengan tradisi feodalisme –dari sisi kepatuhannya pada yang memberi perintah, walau hubungan yang terbentuk bukan berdasar pada kepemilikan terhadap alat produksi dan fungsi sosial-ekonominya. Namun, di sini lebih pada kepatuhan yang berdasar pada istiadat “adab murid pada Guru”, bukan berdasar pada hasil dari alat produksi.

Sekonyong-konyong pula, pikiranku dipenuhi ingatan tentang beberapa konsep epistemologi Islam yang pernah kubaca. Di dalamnya dijelaskan tentang tiga sumber/cara ilmu pengetahuan diperoleh dalam islam: 1) Bayani: adalah ilmu yang bersumber pada Teks-teks suci yaitu, Alquran dan Hadits. Ilmu ini bersifat dogmatis, kebenarannya tidak boleh di otak-atik, hanya yakini saja dan perkembangannya adalah melalui metode penafsiran yang sesuai dengan kaedah-kaedah yang ketat. 2) Burhani: ilmu ini bersumber pada hasil analisa atas data yang diteliti dengan metode-metode yang ilmiah. Artinya saja sudah argumentatif, maka kebenaran ilmu ini tergantung kekuatannya bertahan terhadap argumen-argumen yang menentangnya. Cara berpikir ini melingkupi ilmu-ilmu sosial dan eksakta juga ilmu alam. Karena berbasis penelitian ia adalah ilmu yang sangat berkembang dan kasat mata. 3) Irfani: Cara memperoleh ilmu dengan metode “pencahayaan” secara spiritual. Alat pencerapnya adalah hati. Pendekatannya adalah dengan “mengalami” langsung dan dilakukan dengan cara-cara yang ketat di bawah bimbingan syeikh yang telah memiliki wewenang untuk membimbing.

Dengan kesadaran yang terakhir inilah, kita mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang sedang dijalani ini bukanlah hal sia-sia. Berat nian, di hati ini bila menggunakan cara berpikir yang dua pertama itu di sini. Hampir semua seratus delapan puluh derajat bertentangan dengan tradisi-tradisi “memberontak” yang selalu menjadi sifat kami. Kini harus berhadapan dengan fakta bahwa kepatuhan untuk melakukan perintah Kiai yang tentu saja langsung menghantam Ego kami. Menghancurkan “aku” yang selalu bangga pada dirinya ini. Pikiran ini semakin menguat memprovokasi apabila kondisi badan sedang lelah-lelahnya, badan sakit dan harap di ketahui suhu di sini begitu dingin! Lengkaplah penderitaan fisik ini. Ngapain kamu bercapek-capek di sini? Sepertinya memang sulit untuk melewati situasi ini. Seperti hendak menyeberangi dua pulau yang lautnya berapi.

Sebagian ilmu yang kita pegangi adalah yang berasal dari dua metode epistemologis di atas. Di sinilah letak tantangan untuk pelaksanaan Adab, “Saat di hadapan Gurumu bakarlah Kitab-kitabmu”. Lakukan saja apa yang diperintahnya, “Dirimu laiknya sesosok mayat di hadapan tukang memandikan mayat”. Seperti Nabiyullah Musa AS di hadapan Sayyidina Khidir AS yang pasrah tanpa syarat. Demikian pula seperti yang syairkan Maulana Rumi. “Bakarlah kitab-kitabmu saat kau bersama kekasih yang membawa pengetahuan di hatinya, untuk dituangkan di hatimu”.

Bersama dengan raungan nafsu dan gemuruh pikiran yang terus berusaha menyajikan argumentasi pelan-pelan, perjalanan suluk ini membuktikan bahwa ada satu cara berilmu pengetahuan yang sangat orisinal dalam islam yang selama ini kita jauhi.

Ya inilah bentuknya. Dunia dalam kita (Bathin) dibakar dengan dizikir-dzikir dan fisik kita digerakkan dengan perintah yang bukan maunya kita, metode Khidmah. Inilah tirakat yang sejati. Tirakat yang benar. Tirakat yang terbimbing. Bukan waton tirakat yang seperti kita dengar dari dongeng-dongen itu, yang melakukannya dengan menyepi di goa-goa dan tanpa petunjuk dari ahlinya. Memasuki dunia spiritual yang serba halus sangatlah penuh bahaya ketergelinciran, jika tanpa pembimbing bisa saja kita berlabuh pada alam jin yang menyerupai alam syurga yang menyesatkan. Bukan ridho-Nya yang kita dapatkan tapi laknat-Nya yang kita tuai.

Saat begini, lepaslah ilmu akalmu. Ikuti hatimu, kalau hatimu masih remang-remang, percayakan pada ahlinya. Ahlillah yang telah melewati ribuan jarak cahaya perjalanan spiritual. Biarkan berbagai jenis ilmu itu berfungsi pada tempat dan waktunya masing-masing. Aku masih ingat, satu prinsip kawan-kawan: jangan pernah mengharamkan sebuah ilmu pengetahuan! Saat menyelam dalam samudra hakikat kita tanggalkan ilmu-ilmu duniawi dan hening di bawah telunjuk pimpinan sang Mursyid tapi saat di dunia fisik ini kita bergabung dengan aneka unsur sosiologis dan hukum alam. Aktifkan segenap perangkat ilmu akal kita. Biarlah dunia di tangan kita serta Cahaya Cintanya di hati kita.

Begitulah, selama sepuluh hari akhirnya bisa dilewati. Suluk dikhatami oleh Kiai dan kami pulang kembali ke rumah masing-masing.

Apakah outputnya? Tentu saja ini adalah tahap awal yang tidak mudah menilai apa yang telah berubah, karena ini adalah proses pendidikan seumur hidup maka keistiqomahan, kesetiaan dan pemebelajaran sampai mati. Minal mahdi ilal lahdi.

Di Jogja, kita ngopi lagi, diskusi lagi, sesekali ngopi lagi. Hati butuh kopinya sendiri, fisik juga.

*Catatan ini ditulis penulisnya pada penghujung tahun 2013. Dimuat kembali di sini dengan tujuan pendidikan.