Menu

Langgar.co

Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.

Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.

Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.

Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )

Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan  menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.

Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.

Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.

Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”

Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )

Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.

Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.

Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.

Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.

Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.

 

Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia

Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.

Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).

Pribumi dan Non Pribumi

Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.

Kembali Ke Kancah Politik

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.

Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).

Gagasan Pembauran

Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:

~~~

“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).

~~~

Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]

Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]

Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia

Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).

Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?

Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:

~~~

“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]

~~~

Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.

Akar Konflik dan Potensi Memediasinya

Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).

Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.

Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik  yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).

Tionghoa Muslim

Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:

~~~

“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6] 

“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]

~~~

Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.

Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.

~~~

“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]

~~~

Kenangan Orde Baru

Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.

Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.

Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]

Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim

Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.

Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.

~~~

“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]

~~~

Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).


Catatan:

 

[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.

[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.

[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.

[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.

[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.

[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.

[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.

[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.

[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.

[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

Memahami Jawa~

Tulisan ini tidak saya rangkai untuk menyemprit pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam sasaran wicara saya. Tidak pula ia saya pancangkan sebagai tembakan ke arah pihak atau orang-orang tertentu itu. Sebagaimana ia tidak saya arahkan agar mereka berhenti mengerjakan sesuatu yang menjadi bahan cuilan di dalam tulisan yang saya niatkan untuk mengingatkan diri saya sendiri serta diri orang-orang yang selama ini bergelut dengan saya. Tapi memang tulisan ini berangkat dari peristiwa akhir-akhir ini. Terutama berkaitan dengan para ustadz yang sangat lahap membincangkan banyak hal di luar kompetensi mereka sebagai juru dakwah.

Belakangan, memang ada banyak ustadz yang membicarakan tidak hanya tema terkait keahliannya dalam ilmu agama, melainkan juga hal-hal lain seperti sejarah, budaya, bahkan isu-isu politik internasional. Saya menonton beberapa video ceramah ustadz-ustadz yang membicarakan hal-hal di luar wilayah keilmuannya itu. Ada sisi baiknya. Saya percaya itu. Tapi sejauh ini saya, tentu juga dengan keterbatasan, melihatnya lebih banyak sisi belum baiknya. Malah irama pembicaraan mereka cenderung membangkitkan gairah kebencian dan klaim superioritas golongan. Dua hal yang akhir-akhir ini marak menjadi isi ruang publik masyarakat Indonesia.

Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya?

Sederhana saja memahaminya. Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya? Bila dianalogikan; apa mungkin dan sahih bagi seorang pembelajar ilmu tentang penyakit untuk menjadi dokter dalam bidang kepenyakitan yang ia khatamkan ilmunya dari buku tersebut? Seharusnya tidak boleh. Tapi belakangan, pintu-pintu kemungkinan terbuka lebih lebar dan bebas. Seorang ustadz hari ini tidak harus lagi memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Ia hanya cukup bermodal tradisi menonton ceramah para ustadz dari internet, lalu setelah itu ia memberanikan diri berdakwah ke hadapan umat.

 

Cocokologi Islam dan Jawa~

Ada lagi ustadz yang belakangan ini berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas-asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik. Tentu saja di sana tidak hanya antropologi linguistik yang dibutuhkan untuk melacak sejarah toponimi setiap wilayah. Ia juga harus ditunjang dengan ilmu lain seperti sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan sejenisnya. Ada pula ustadz-ustadz di youtube yang belakangan membincangkan banyak hal. Mulai dari Budaya, sejarah, sejarah Islam terutama, sampai hal-hal yang bersifat mistik-legenda. Khusus dalam uraian mereka tentang kebudayaan Jawa, apa yang kita temukan dari sana ternyata relatif baik dan bermanfaat. Kita jadi terbuka pada dimensi islamis dari fakta-fakta kebudayaan yang selama ini ada dalam kehidupan kita. Hanya saja, ada sisi yang fatal dan vital di sana, yang dibuang begitu saja. Sehingga kebaikan dan kemanfaatannya menjadi hilang atau setidaknya berkurang banyak seketika.

Contoh. Ada ustadz yang mejelaskan sejarah Islam di nusantara. Kita tidak tahu ia mengambil mata kuliah sejarah itu dulu dari mana atau dari siapa dan apa referensinya. Tapi itu kita enyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Sepengematan dangkal saya, nanti biasanya tema yang ia bicarakan akan dikaitkan dengan ayat tertentu, hadis tertentu, dan isu-isu politik tertentu pula. Jadi semacam ayatisasi atau pencocokan peristiwa sejarah atau fakta budaya dalam sejarah. Dalil-dalil yang dirasa cocokpun biasanya akan dicocokkan.

Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan.

Prihal Budaya~

Di satu sisi itu ada benarnya. Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan. Itupun juga harus ditegaskan bahwa sekalipun “ada Islam” di sana, ia tidak tidak “se-islam” itu. Maksud saya, islam yang menjadi nafas kebudayaan itu bukan Islam seperti yang diceritakan sang ustadz tersebut. Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Mengapa? Wajah kita hari ini saja bukan wajah kita 20 tahun yang lalu. Islam yang kita amalkan hari ini, meskipun kita menyandarkannya pada jejak keisalam para wali songo misalnya, bukanlah sepersis seperti Islam yang dulu diamalkan oleh para wali songo. Dengan demikian, merupakan kekeliruan pula jika sang ustadz yang membicarakan Islam atau kebudayaan ciptaan wali songo dalam irama Islam ala Sayyid Quthb dan kawan-kawan hebatnya.

Maksud saya begini. Betul bahwa “ketan, kolak, apem” dan mustaka masjid kuno di Jawa yang berbentuk daun “kluwih” itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Cuma, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadis di balik simbol daun kluwih atau ketan-kolak-apem itu, harus ada jalannya. Mengapa “ketan, kolak, apem” itu dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) pada bulan Ruwah? Mengapa pula untuk menerapkan ajaran Islam tentang maaf dan meminta maaf sebelum memasuki bulan puasa itu disimbolkan dengan ketan, kolak, dan apem? Ada apa di balik ketan, kolak, apem? Apa hubungannya dengan ayat-hadis tentang permohonan dan pemberian maaf? Mengapa “daun kluwih” diletakkan sebagai puncak mustaka masjid kuno, yang oleh seorang ustadz, ia disebut merupakan perwujudan dari ayat: dzalika fadhlullah yuktihi man yasya? Apa hubungannya daun kluwih dengan masjid? Mengapa ia diletakkan sebagai puncak mustaka masjid?

Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci.

Nalar Lokal~

Pasti ada nalar tersimpan di balik laku simbolisasi itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa Nalar Lokal-tempatan khas Islam Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris dalam coraknya yang khas, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci. Sekali lagi, sangat bisa dan sangat boleh untuk mengatakan bahwa semua fakta kebudayaan di Jawa sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik simbolisasi itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih dipakai? Kenapa bukan yang lain? Kekenapaan dan kemengepaan itulah yang seharusnya dulu ditemukan. Baru kemudian bisa ditemukan apa ayat-hadis di yang melatarinya.

Jadi, epistemologi lokalnya seharusnya ditemukan dan dibahas dulu. Jika epistemologi lokalnya tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik pekerjaan simbolisasi itu atau menjadi latar dari produk kebudayaan tertentu. Logikanya mudah saja. Karena nalar lokalnya belum ketemu, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan simbol yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut dengan sangat mudah dipakai untuk menjelaskan? Nah, di situlah saya melihat ustadz-ustadz pembahas budaya lokal itu sebagai pelaku cocokologi. Lha wong nalarnya belum ketemu, kok langsung dibuatkan ayat-hadisnya?

 

Tasawuf Jawa~

Sekarang ada pertanyaan baru. Mengapa para ustadz-ustadz yang membincangkan tema-tema di atas langsung menuju ke ayat atau dalil dari Al quran dan hadis? Mengapa mereka tidak melewati penelusuran nalar atau penemuan epistemologi lokalnya terlebih dahulu? Satu hal yang saya tangkap. Mudah-mudahan saya salah. Bahwa rata-rata mereka berasal dari golongan Islam bercorak purifikasi. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa mereka sebenarnya anti atau setidaknya kurang bersahabat dengan kebudayaan lokal yang dibangun di atas fondasi tasawuf. Bukan rahasia pula bahwa mereka juga tidak bersetuju dengan tasawuf. Apalagi tasawufnya tasawuf lokal pula. Tasawuf, bagi mereka terhitung bid’ah. Tasawuf lokal lebih-lebih lagi. Kelak, mereka biasanya akan mengamini pendapat para sarjana dari “luar”; bahwa Islamnya orang Jawa adalah Islam Sinkretis, perpaduan Hindu-Budha.

Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku Tasawuf Jawa.

Pada titik itulah saya dapat memahaminya. Tidak mungkin mereka akan masuk ke dalam samudera tasawuf, apalagi tasawuf Jawa, yang jelas-jelas melandasi atau menjadi asas produksi kebudayaan Jawa. Maka tentu lebih baik langsung mencarikan ayat-hadisnya. Padahal, nalar dari setiap simbolisasi kebudayaan, terutama di Jawa, berdiri di atas fondasi tasawuf Jawa. Seharusnya mereka terlebih dahulu masuk ke dalam samudera tasawuf Jawa itu. Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku tasawuf Jawa.

Karena itu, ceramah mereka, terutama tentang sejarah Islam di nusantara, boleh dicek, tidak ada satupun kata “tasawuf” apalagi kata: “tasawuf jawa” yang meluncur di sana. Lebih mudah untuk menemukan kata-kata semacam “jihad” dan sejenisnya. Aku berlindung kepada Allah dari pikiran yang zalim. Wallahu alam.

1

Manusia cenderung lupa bahwa ia memiliki takdir untuk menjelmakan keseimbangan dan ketidakseimbangan. Manusia memakan, menanam dan kemudian mengambilnya kembali atau memanennya. Di satu sisi manusia memperbaiki di sisi lain merusak.

Jika manusia dalam konteks syari’at ditugaskan untuk berpuasa, maka memiliki banyak kandungan maksud dari perintah-Nya. Intropeksi diri, menahan diri, berpikir ngegas ngerem, maksudnya berpikir dua arah, melihat dari berbagai sudut pandang, dan lain sebagainya.

Meminjam istilah Emha Ainun Najib, bahwa ketika manusia sudah bersyahadat maka saat itu juga manusia berpuasa sepanjang masa. Proses pembentukan kesadaran inilah yang kemudian – apabila dipahami menjadi satu gerak hubungan hamba dengan Tuhan. Manusia dengan manusia yang lain kemudian sikap manusia dengan alam.

Ketika manusia sudah bersyahadat maka saat itu juga manusia berpuasa sepanjang masa.

Dalam rukun islam, puasa adalah bagian terpenting untuk melengkapai syari’at islam. Berbagai syarat Puasa dijelaskan dalam ilmu fiqih. Dalam dari pada itu puasa memiliki korespodensi atas pengendalian diri.

Dikatakan oleh Syekh Khaled Bentounes bahwa manusia memiliki dua kutub yang bertentangan. Kutub negatif dan kutub positif. Dan pada dasarnya manusia memiliki sedulur papat limo pancer dalam konteks jawa. Sehingga menjaga keseimbangan di dalam diri perlu adanya pengendalian diri.

2 

Terminologi tersebut sangat tepat untuk memberikan makna ruhaniah dari puasa-puasa kita. Puasa berarti menjaga. Menjaga diri dari hawa nafsu. Mengolah diri untuk berpikir lebih luas. Memiliki cakrawala pandangan yang luas. Leluasa dan tidak sempit pandangannya. Bukan hanya perihal makan dan minum, tetapi menjaga dari segala hal yang bersifat destruktif. Baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Puasa adalah ruang untuk mengolah diri agar lebih dalam pandangan bathiniahnya dan lebih luas pola pikirnya. Tidak “cekak nalar,” pun defisit pengetahuan dan etika. Mengapa umat muslim diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan? Tidak lain salah satu jawabannya adalah untuk menahan diri dan mengendalikannya. Baik jiwa dan raganya.

Puasa adalah ruang untuk mengolah diri agar lebih dalam pandangan bathiniahnya dan lebih luas pola pikirnya.

Para ulama’ fiqih membagi tingkatan puasa menjadi tiga tingkatan: Puasanya orang umum, puasanya para wali, dan puasanya para Nabi dan Rasul. Secara umum puasa hanya menahan makan dan minum, hawa nafsu. Tetapi puasa memiliki jangkauan yang lebih luas, menjaga pola pikir dan pola sikap, khususnya di dalam hati.

Di dalam peradaban jawa dikenal dengan bertapa atau tapabrata. Bertapapun beragam jenisnya. Dan prosesnya tidak hanya menjaga dari makan dan minum tetapi menjaga diri dari penyakit hati.

Dengan kata lain puasa adalah bagian dari proses membersihkan diri. Kendati demikian puasa ibarat macapat (membaca empat hawa nafsu yang ada di dalam diri). Karena dengan puasa maka pribadi manusia mampu menempatan Ammarah, Lawwamah, Sufiyah dan Mutma’innah pada ruang yang semestinya.

Konsep pengenalan dari Tuhan yang berupa pengenalan diri adalah proses puasa sepanjang masa, sehingga manusia mampu mengenali diri sendiri. Dalam hal ini dikenal dengan mulat sarira atau man arafa nafsahu arafa rabbahu atau mawas diri.

3 

Setiap manusia memiliki kecenderungan di dalam pikiran dan hatinya, maka membutuhkan konsep penjagaan diri agar mampu mengarahkan kecenderungannya tersebut. Dan salah satunya adalah puasa. Jika para ulama’ sufi mengatakan ada sholat sepanjang waktu. Pun begitu dengan puasa.

Karena puasa adalah pengendalian diri. Karena puasa adalah wujud dari tuas penyeimbang. Dan puasa adalah ruang yang sangat lebar untuk berbenah menuju sikap meta – etik. Maka Ramadhan menjadi ajang untuk melatih kembali puasa yang sebenarnya.

Keajegan menata hati dan pikiran adalah wujud pancaran cahaya puasa.

Keajegan menata hati dan pikiran adalah wujud pancaran cahaya puasa. Menahan diri dari makan dan minum memiliki hikmah untuk memilah kebaikan dan manfaat (Thayyibun) dari apa yang dimakan.

Menjaga hati dan pikiran dari berbagai sikap yang buruk memiliki hikmah untuk memperbaiki pola sikap dan pola pikir sehingga menjadi naral budhi dari akal budhi. Pada akhirnya akan berwujud moral luhur (Akhlak al Karimah).

Dan harapannya semoga kita mendapatkan keberkahan dari perjalanan puasa kita baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan, pun menjadi pengingat bagi saya untuk selalu mawas diri dan mengenali diri, agar tiada berhenti belajar.

 

Allahumma Amin…

1

Hari-hari menjelang Lebaran, orang-orang diajak mengimajinasikan dan menghitung segala hal dengan kata, angka, dan tanda persen (%). Pusat perbelanjaan dan pertokoan biasa mengumumkan sedang mengadakan program memeriahkan Ramadhan dan Lebaran. Penguasa dan pedagang membuat permainan kata dan tanda agar kita terbujuk. Di spanduk, angka-angka dituliskan agar nafsu belanja meningkat. Pencantuman % semakin membuat konsumen girang tiada tara.

Pada saat menjalankan ibadah puasa, kita dibujuk keranjingan  belanja. Bermula dari kelihaian-muslihat  iklan dan pengumuman, kerumunan orang berada di pusat perbelanjaan dan pertokoan. Mereka sedang “beribadah” dengan uang demi benda-benda.

Imajinasi uang dan benda pernah jadi ajaran lugu dalam buku bacaan bocah berbahasa Jawa berjudul Tataran (1950) karangan R Widnjadisastra. Dua bocah, Koentjoeng dan Bawoek, memutuskan tak menggunakan uang untuk membeli mercon. Keputusan itu membuat ibu “senang.”

Membeli mercon memang dianggap sia-sia. Ibu pun berkata: La jen kowe ora pada toekoe mretjon, taktoekokake sandangan sing apik-apik. Doewit sing kanggo mretjon, diwoewoehi dienggo toekoe katok karo klambi. Pada masa lalu, bocah sering bingung dalam menghadapi Lebaran. Pakaian baru lumrah diharapkan tapi mercon tetap saja jadi godaan.

Penjelasan bijak dari bapak: Wis genah mretjon koewi regane larang. Toer jen ora kebeneran, njilakani awak. Bapak malah sempat bergurau jika uang para bocah sedesa batal digunakan membeli mercon, uang itu sudah bisa dibelikan rumah. Kita ingin belajar pengertian larang atau mahal.

2

Selama Ramadhan dan Lebaran, sekian kebutuhan pokok dan benda-benda mengalami perubahan harga menjadi mahal. Orang harus berpikir serius dalam penggunaan uang dan faedah. Mahal mengesankan pengorbanan besar dan berani menanggung risiko.

Kini, harga mahal tak melulu untuk mercon. Pangan dan sandang mengalami penaikan harga. Orang-orang biasa mengeluh: bulan beribadah malah harga-harga mahal. Pemerintah biasa disalahkan akibat tak sanggup mengendalikan harga. Mereka pun curiga pada pengusaha, tengkulak, dan pedagang.

Anggapan segala hal jadi mahal mulai diubah oleh pusat perbelanjaan dan pertokoan. Baju, sepatu, dan sandal biasa diumumkan berharga murah melalui program diskon. Di pengumuman atau iklan, tercantum pesan berlagak sakral dilengkapi sajian foto-foto komoditas. Sebutan hemat atau murah membenarkan rangsangan publik mau bernafsu belanja.

Penulisan angka dan % menggugah gairah berhitung uang dan kemungkinan mendapat pelbagai komoditas. Imajinasi atau pikiran itu berbarengan dengan isi pengajian di masjid-masjid. Amal kebaikan orang selama Ramadhan bakal dilipatgandakan. Pagi sampai malam, orang gampang terjebak memikirkan diskon belanja dan pahala dari amalan-amalan: murah dan berlipatganda. Belanja dan beramal berbeda misi dan dampak. Mereka pun bingung.

3

Kita sejenak menengok rekaman imajinatif tentang harga menjelang Lebarang. Rekaman terdapat dalam cerpen berjudul “Hudjan Duit” garapan Firman Muntaco, dimuat di buku Gambang Djakarte (1963). Alinea pembuka agak mencengangkan: “Langit membening biru, mentari pukul 10, dan Pasar Baru seperti besi berani terus djuga menarik datang ratusan kendaraan jang mengangkut tiba ribuan orang, rata-rata bawa satu niat: rela kosongkan isi kantong untuk ditukar dengan barang-barang, alat-alat ketjantikan dan lain-lain, sebab disementara mereka membanjanglah detik-detik Lebaran diambang pintu dengan segala kemeriahannja.”

Kesibukan orang menjelang Lebaran adalah belanja. Kita anggap saja itu “ibadah” melenceng dari ajaran-ajaran agama saat disampaikan dalam pengajian di masjid-masjid. Keramaian di pusat perbelanjaan, pertokoan, dan pasar mungkin bersaing dengan keramaian di masjid. Diskon dan pahala berbeda tempat.

Firman Muntaco mencatat kebiasaan jelang Lebaran, para pemilik toko membuat pengumuman sensasional demi laris dan untung: “Obral Besar”, “Anti Mahal”, “Lebaran, Harga Dibanting.” Pola itu berlaku sampai sekarang. Sekian slogan dan bujukan bersebaran di pelbagai tempat. Kita bisa mendapati slogan murah, hemat, obral, diskon, gratis, dan berhadiah demi bisnis-perdagangan selama Ramadhan dan Lebaran.

Simbol-simbol berkaitan agama tak lupa dipamerkan atau dicantumkan agar terkesan “menghormati” bulan ibadah. Kita mungkin ingin menuduh bukan menghormati tapi menodai. Harga pangan naik tapi harga baju, celana, sepatu, sandal, kosmetik, dan jilbab malah murah. Kita diajak “beriman” agar membeli demi keparlentean saat Ramadhan, tak berniat demi ibadah atau berbagi rezeki ke sesama. Ramadhan dan Lebaran melulu berarti harga dan benda-benda. Bisnis untuk pemerolehan uang cenderung seru ketimbang “bisnis” orang mencari pahala paling melimpah.

Kita mungkin sulit beranjak dari nalar Koentjoeng dan Bawoek. Mereka rela tak membeli mercon tapi membeli busana baru. Pada cerita bocah itu belum ada penjelasan bahwa harga busana murah atau mendapat diskon. Mereka hidup di desa, biasa belanja di pasar tradisional atau pedagang keliling. Mereka belum mengenal pusat perbelanjaan dengan sebutan-sebutan aneh berbahasa asing. Kita masih repot belajar kata dan makna. Permainan tanda dalam iklan dan pengumuman lekas saja menjerumuskan kita pada pengertian “mumpung”, bukan kebenaran realitas menjalankan ibadah selama Ramadhan demi iman dan takwa. Berpikir pahala mulai diganggu kata dan tanda mengenai harga. Ramadhan dan Lebaran rawan bermakna harga. Begitu.

Saya yakin, tujuan dari semua agama menuntun manusia pada Tuhan. Pada kahyangan. Itu tempat yang diingin.

“Kapan kau kembali?”

Tiap kali saya pulang ke Cirebon, Mbah Darmo selalu mengajukan pertanyaan yang sama.

Dengan suara rendah saya memberikan jawaban. Jawaban yang sama seperti hari sebelum-sebelumnya saban pamitan. “Saya tak pernah mengharap akan kembali…”

Saya memandang muka orang tua asal Banjarsari itu. Ia tak bersedih. “Tak ‘kan kekurangan aku,” katanya, “hidup bagai gabah ditampi.” Atau kata orang Jawa.

 

….

Wong urip puniki

Mung mampir ngombe

Upama manuk mabur, lepas saking kurunganeki

Pundi mencoke benjang, aja kongsi kliru, le

Umpama wong jan-sinanjan

Ora wurung mesti balih mulih, maring asal kamulannya

….

 

Jarang pak tua itu bicara makna hidup, sekalipun usianya sudah 90 tahun. Tapi sore itu, ia mengeluarkan isi hatinya –yang hampir tak bisa dimasuki. Sambil duduk, ia bertanya. “Kau tahu Bima, ksatria kedua Pandawa?”

“Kebulatan tekadnya,” kata saya.

“Dan, ia atasi segala rintangan demi menemukan sumber sejati: Tuhan. Pada kebenaran ia selalu bersikap tegas,” lelaki tua itu menambahkan.

“Lakon Bima seumpama orang mencari kesempurnaan. Yang suci. Mengajarkan pamoring kawula Gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.”

Saya menatap matanya.

Lalu ia tiba-tiba mengatakan, ia menyimpan serat, kitab kuno, dalam bilik rumahya. Mbah Darmo masuk kamarnya dan keluar lagi sambil membawa kitab itu dan meletakkannya di meja kayu.

“Ini salinan serat Bimasuci, penuh makna. Ia sumber pokok ajaran kejawen. Rujukan ilmu kasampurnan. Dunia batin orang Jawa. Tapi tujuh halaman telah hilang disobek. Harusnya ada di sini!”

Cerita Bimasuci, karya Yasadipura I, yang memadukan antara mistik Hindu dan Islam, amat disukai masyarakat Jawa.

Cerita Bimasuci, karya Yasadipura I, yang memadukan antara mistik Hindu dan Islam, amat disukai masyarakat Jawa. Banyak cerita yang bisa dikisahkan tentang perjalanan-perjalanan Bima yang menantang maut waktu menjalankan titah sang guru, Drona, yang menginginkan kematiannya.

Syahdan, sesudah pelbagai rintangan, di tengah samudra besar, Bima bertemu Dewaruci, ia disuruh masuk ke tubuh dewa yang ukurannya amat kecil melalui telinganya. Bima kaget. Tapi Dewaruci meyakinkan sang ksatria: “Tidak hanya tubuhmu, juga jagad ini bisa masuk ke dalam tubuhku.” Bima patuh. Ia terobos lubang kuping sebelah kiri itu dan menemukan dirinya dalam ruang luas tanpa tepi, tak berbatas, dan penuh warna.

“Aku masih ingat bagian-bagian yang hilang,” kata Mbah Darmo sambil jalan. “Aku terus memikirkannya sampai sekarang, tentang manunggaling kawula gusti, mati sajroning urip, serta sangkan paraning dumadi.”

Cerita ini, Bimasuci, mendapat tempat istimewa dalam kultur Jawa, memperoleh gambaran awal lewat kitab Nawaruci yang ditulis Syiwamurti di zaman Majapahit akhir.

Cerita ini, Bimasuci, mendapat tempat istimewa dalam kultur Jawa, memperoleh gambaran awal lewat kitab Nawaruci yang ditulis Syiwamurti di zaman Majapahit akhir. Kemudian Yasadipura I, di awal Kraton Surakarta, mengubahnya jadi serat Bimasuci, mulai disisipkan unsur Islam dalam baris-barisnya.

Berpuluh tahun kemudian, kitab Nawaruci yang mengandung ajaran mistik, telah banyak disalin, keberadaannya menjadi amat bervariasi: Dewaruci, Bimasuci, Begawan Senarodra, Gunacara Agama, Bima Paksa, Serat Walisana, Suluk Seh Malaya, dan Serat Kancil.

Seorang mencatat, satu pergeseran penting terjadi di Jawa Pertengahan, penempatan dewa-dewa Hindu-Buddha di bawah Bima yang mendapat pencerahan, kehadiran Islam mewarnai pemikiran sebelumnya yang kental dengan corak Hindu-Buddha. Itu yang disampaikan Woro Aryandini dalam bukunya Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa (2000). Juga dalam buku itu diuraikan: Di zaman Jawa Kuno, Bima, sosok yang gagah perkasa dan sekaligus pelindung masyarakat serta keluarga, tampil dalam pemujaan Bhairawa hingga kultus lingga. Di zaman Jawa Pertengahan, Bima sebagai tokoh suci dan jujur. Di zaman Jawa Baru, Bima melewati batas-batas Hindu, menjadi sesak dengan mistik Islam, sampai tataran “jalma sulaksana” insan kamil. Selain digambarkan sebagai sosok jantan yang mengawini Dewi Uma, lelembut, dan putri naga.

“Mati. Menjadi mayat itu mudah, yang sulit manunggaling kawula gusti.” Itu yang dikatakan Mbah Darmo kemudian.

“Renungkanlah hal ini terus sampai akhir!”

Gusti nyata ing kaula, lan kaula puniku nyata ing gusti.”

“Orang yang bisa manunggaling kawula gusti itu manusia paripurna yang imbang lahir batin, jiwa raga, dan kepala dada. Dan mampu melaksanakan “syariat, tarekat, hakikat, makrifat,” sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Juga bisa mati sajroning urip, selalu eling lan waspada, dan bersedia lara lapa tapa brata, mengurangi nikmat duniawi dan tetap bersyukur tatkala diberi kesempitan. Toh, asal dan tujuan hidup, sangkan paraning dumadi, itu kusnul katimah. Nafsu yang mutmainah.”

Orang yang bisa manunggaling kawula gusti itu manusia paripurna yang imbang lahir batin, jiwa raga, dan kepala dada.

Dan ia menegaskan kembali keyakinannya untuk beberapa lama.

“Tapi, ingat baik-baik: ing sirnane kaula tan dadi gusti, iku tingal kapala, hilangnya kawula tanpa menjadi Gusti itu pandangan yang tertinggi.”

Dan mengulangi kata-kata Yasadipura.

“Kawula yang sejati tidak memuja, tidak menyembah, tidak ada yang diakui sebagai Gusti. Ia adalah jabariah yang sejati.”

Kita akan melihat ucapan pujangga “penutup” kraton Surakarta itu sangat sufistik. Tampak pemikiran tasawuf Ibn Arabi di sana, serta menyempal dari epos Mahabharata umumnya, yang disampaikan dengan bahasa orang Jawa. Tapi itulah yang terjadi.

Saya masih mendengar waktu lelaki tua itu menutup ucapannya. “Pergilah, ke dasar samudra, belajarlah rendah hati, itu jalan kembali menuju Ilahi.”

“Bima mencari air kehidupan. Kau carilah kebenaran. Bima menemui Tuhan di tengah gelak ombak. Kau berjalanlah dengan kepala tegak di lengkung langit yang usang dan retak-retak.”

Dan Bima sampai pada kesimpulan, dan ia bertanya.

“O, jagad besar. O, jagad kecil. Kenapa wujudmu seperti wujudku, Gusti? Sapa ngaula den kaulani?

“Dan, hanya kepada Dewaruci, Tuhan dalam diri, patik bisa bicara halus, selain Kau hamba sulit bersikap krama, ampunilah…”

“Dewaruci, dibalik fisik hamba yang kotor ini tersembunyi jiwa yang bersih, itu punyamu. Biar aku memasukinya, milikmu selamanya.”[]

 

 

***