Langgar
Saya hingga hari ini merasa diri sebagai santri Lelana. Atau santri kelana, atau sebut saja semacam pelajar atau penuntut ilmu yang sedang berkelana dan terus mengembara. Saya tak tahu sampai kapan predikat ini akan saya sandang, atau barangkali memang mungkin tak seharusnya saya tanggalkan. Nah, Termasuk kunjungan saya ke berbagai kota di Jawa beberapa bulan-bulan terakhir ini, juga saya saya maknai dalam pengertian itu. Dan mungkin juga kunjungan-kunjungan saya setelahnya.
Saya memaknai “lelana” di sini sedikitnya terkait dalam pengertian ontologis yang bisa saya gapai. Kata “lana” seturut makna Kawi-nya saya duga lebih dekat pada makna “sendiri”, “kesendirian”, atau mungkin lebih tepatnya “asing” atau “terasing”, mirip dekat kata “gharib” dalam bahasa Arab yang juga berarti “asing”. Karena mungkin sejatinya “rumah” kita memang tidak di dunia ini.
Kita sebenarnya hanya merupakan tamu di dunia ini, dan oleh karenanya “keterasingan” dan kesementaraan selalu akan menguntit kita, nyaris seperti bayangan kita sendiri.
Darinya saya tergoda untuk mengambil rumusan: memang hidup ini cuma persinggahan. Hidup ini adalah sejenis perjalanan, pengelanaan, lelakon, atau bahkan pengembaraan. Ya kita hanyalah seorang yang berusaha menyesap pengetahuan hidup sebagai bekal untuk dan di dalam perjalanan dan pengelanaan itu sendiri (santri kelana).
Selama kunjungan saya di berbagai kota di Jawa, banyak teman di berbagai daerah bertanya tentang Langgar kami (Langgar.co), juga kabar tentang forum “Suluk Kebudayaan Indonesia” yang kami gagas dan kelola yang pada bulan Maret ini memasuki seri #3. Bahkan beberapa orang menawarkan diri untuk mendirikan Langgar cabang di kota-kota mereka. Yang sudah menawarkan diri mendirikan Langgar cabang adalah Malang, Kediri, dan Ponorogo. Saya jujur belum punya jawaban, meski mereka sudah posting deklarasi dalam beranda media sosial mereka.
Tegerak akan pertanyaan mereka, malam tadi tiba-tiba muncul kelebatan ide seperti ini. Saya ingin mengundang teman-teman sekalian yang berkenan, untuk menghidupkan kembali atau bahkan mendirikan Langgar mereka di berbagai kota. Langgar tidak dalam pengertian webnya, melainkan menghidupkan kembali Langgar-langgar di desa/kota (jika memungkinkan termasuk bangunan fisik dan nama “Langgar”-nya, yakni sebagai aktivitas “ngaji” dan “mengkaji” kebudayaan dalam pengertian terluasnya yang menyangga bangun masyarakat dan bangsa kita.
Saya menyodorkan gagasan dan nama “langgar” sebagai kata lokal yang telah diserap (termasuk turunan lokal lain yang dimungkinkan, seperti surau, taratak, langge, dll.) untuk menjadi ikon. Kenapa seperti itu, karena bagi kami, “Langgar” merekam pertemuan lokal-global sekaligus. Ia berasal dari ide lokal-partikular yang bertemu ajaran yang punya dimensi universalnya (Islam).
Kedua kenapa saya masih mengaitkan agama dalam usaha mengaji dan mengkaji ulang tradisi dan kebudayaan, karena memang dalam konteks kita berbangsa, dalam konteks Indonesia, agama selalu menjadi sesuatu yang inti dan tak bisa diabaikan. Bahkan jika mau jujur, setiap gerakan (saya pingin menghindari kata ini sebenarnya) apapun yang berusaha mengubah kenyataan Indonesia tanpa menyelesaikan dan menangani agama secara tuntas, hanya akan dibayangi keretakan.
Ketiga kenapa kebudayaan karena ini merupakan inti olah kemanusiaan praktik diri dan masyarakat kita dalam berbangsa (olah cipta, karsa, rasa). Jika di titik ini gagal, perubahan di level sistem, struktur, maupun suprastruktur akan bersifat sementara, parsial, dan kandas. Tentu olah ini bersifat khusus dan bercorak partikular sesuai kondisi tantangan dan keadaan bangsa yang memang berbeda dari bangsa lain.
Oleh karenanya, menurut saya ketegangan perspektif ham universal (liberal) vs fundamentalisme-formalisme agama, yang dalam derajat tertentu mendaku klaim universalnya dan oleh karenanya mengabaikan partikularitas pergulatan olah berbangsa, yakni dalam menyorongkan perubahan bangsa, akan terus menjadi sumber perpecahan dan tegangan. Dan hanya melalui jalur kebudayaan (dimana kata ini menampung proses pergulatan olah kemanusiaan yang bersifat universal dan partikular sekaligus), siapa tahu ketegangan ini bisa ditangani.
Dengan cara itu isu-isu penting seperti, gender, HAM, toleransi, multikulturalisme, agama, kemanusiaan, ketuhanan, juga ideologi besar dunia vs pancasila, bisa kita tangani lebih arif dengan cara masih mengaitkan “akar” tradisi dan kebudayaan yang menyangga kedirian (seakar kata dengan kata berdiri/mandiri) berbangsa kita.
Dengan cara menghidupkan kembali dan mendirikan langgar kita bisa memulai “kajian” dan “pengajian” yang meningkatkan kualitas kemuliaan kemanusiaan kita (baca: aji). Alias meningkatkan level olah kemanusiaan (suluk budaya) yang mengangkat level pemahaman ketuhanan dan pemahaman agama kita di satu sisi (istilah Soekarno, agama/ketuhanan yang berkebudayaan) maupun proses olah kemanusiaan kita sebagai bangsa (budaya). Sehingga tak ada lagi orang yang berujar tanpa dasar terkait pertentangan antara kemanusiaan versus ketuhanan yang berdiri berhadap-hadapan.
Dan saya pikir Langgar bisa menjadi tempat singgah dan tempat mengendapkan kejernihan serta tempat menyesap ilmu dalam sebuah perjalanan, pengembaraan, dan pengelanaan berbangsa, untuk memberi arah baru untuk menuntaskan tugas kemanusiaan kita dalam perjalanan dan pengelanaan sementara kita di dunia ini.
Karena keberhasilan menunaikan tugas di dunia yang sementara ini, alias tugas olah kemanusiaan dan Suluk kebudayaan bangsa ini adalah satu-satunya yang bisa menggaransi kita bahwa perjalanan dan pengembaraan kesementaran hidup di dunia ini masih punya makna.
Dan dari proses tersebut, hal-hal apapun yang menghalangi olah proses kemanusian, beragama, ketuhanan, dan berbudaya kita, seperti sistem ekonomi yang menghisap, transaksi politik liberal yang mengabaikan keadilan, gelontoran arus pengetahuan yang membuat ketercerabutan, gagasan doktrin agama yang menggusur kebudayaan, dll. akan menjadi musuh dalam olah mendirikan “jati diri” bangsa.
Dan dengan adanya langgar, saya yang membayangkan sebagai santri kelana yang mulai kelelahan dan yang terus menerus dalam perjalanan dan Lelakon, bisa singgah sementara dan menginap sementara, serta meminum dahaga pengetahuan dan meneguhkan saya untuk terus melanjutkan perjalanan dan pengembaraan. Sebuah Langgar Kebudayaan yang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang berjalan (suluk), yang juga bisa membantu dan memberi bekal perjalanan sementara berbangsa di dunia yang fana ini.
Apakah ajakan saya ini akan bersambut?
Saya mengenal Langgar ketika kecil, bahkan sebelum sekolah TK. Bapak atau ibu sering mengajak saya ke langgar ketika bunyi Kentongan ditabuh. Magrib.
Jumlah langgar di desa saya sekitar tigapuluhan, sementara masjid cuma ada dua, itu pun karena beda kampung. Sebagian langgar sudah tembok, sebagian masih gladag kayu. Sebagian besar sudah ber-toa, yang akan bersahut-sahutan suaranya di kala Magrib, Isya, atau Subuh. Kebetulan di langgar saya sudah ber-toa. Jadi ikut meramaikan sahut-menyahut itu.
Di langgar itulah saya bertemu teman-teman. Biasanya kami ikut bermain salat-salatan ketika orang-orang dewasa salat. Tak jarang kami berlari-larian diantara orang-orang salat. Biasanya pula orang-orang dewasa memarahi kami.
Lama-lama saya diikutkan bapak atau ibu mengaji habis Magrib, yang diajar oleh kiai langgar. Anak kecil mengaji Turutan. Tahap awal sebelum Qur’an. Saya ingat, ibu saya membelikan Turutan yang baru di pasar, dengan gambar sampul yang saya sukai. Ngaji Turutan pertama mulai dari Alip ba’ ta’, sesuatu yang sudah hapal sebelumnya, karena orang tua atau tetangga sudah mengenalkan itu.
Lambat laun saya terbiasa sendiri ke langgar jelang Magrib. Sore sebelum Magrib di langgar adalah waktu kami bermain. Ada banyak jenis permainannya, mulai dari petak umpet, kelereng, atau tinju-tinjuan. Dan ketika mendengar bedug masjid ditabuh, kami akan rebutan kentongan langgar untuk ditabuh. Tapi seringnya kentongan dikuasai anak yang lebih besar.
Berbeda dengan azan. Kami belum berani rebutan. Biasanya anak yang lebih besar yang mengumandangkan, anak Qur’an atau orang dewasa. Baru ketika azan usai, saatnya pujian. Nah, waktu pujian inilah saya ikut rebutan mik. Urun suara cempreng saya untuk bisa masuk speaker.
Seringnya kami pujian bersama-sama, dengan mik digilir. Saya masih ingat beberapa lagu lagu pujian, seperti “Cilik-cilik diulang Ngaji, gedhe-gedhe supaya aji…,” atau “Aja sira banget-banget, olehmu bungah ana dunya…,” lagu-lagu pujian yang saya sampai saat ini tidak tahu itu karangan siapa. Mungkin pengarangnya merasa tak penting lagi namanya dikenang. Selain puji-pujian lagu Jawa, kadang-kadang kami juga pujian Arab seperti “Robbana atina…,” atau “Astagfirullah robbal baroya….” Kalau kemarau panjang, pujian yang paling sering adalah “Allahummasqina gaisa mugitsa…”.
Ketika salat, kami yang masih kecil-kecil itu biasanya menempati shaf paling belakang. Biar tidak mengganggu orang dewasa. Atau juga biar tidak dimarahi karena kelihatan bermain ketika salat. Salat kami awal-awal tentu sekedar rubuh-rubuh gedhang, karena belum tahu doa-doanya. Kadang dalam salat itu, kami masih suka senggol-senggolan, injek-injekan kaki, atau lempar-lemparan kopyah.
Karena belum tahu doanya itulah, ada teman saya yang mengaku mengisi salatnya dengan komat-kamit pelan-pelan dengan berhitung. Misalnya ketika sujud atau ruku’ ia menghitung angka 1-10, sementara duduk tahiyat menghitung 1-10 tiga kali. Saya sendiri lebih sering berkomat-kamit berbisik wesuwesuwesss… dengan pelan. Biar dikira baca do’anya.
Saya baru bisa hapal bacaan-bacaan salat ketika ada pelajaran Pasolatan, alias praktik salat, sekali dalam seminggu. Dan lebih lancar lagi hapalannya berkat ibu-ibu guru TK ketika saya mulai sekolah. Saat itu saya juga baru belajar wudhu, mulai doanya hingga apa yang membatalkannya.
Salah satu yang paling saya sukai dari mengaji adalah ketika kiai mendongeng, kebanyakan dongeng kisah nabi-nabi. Saya paling suka cerita Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala, tetapi ketika dihukum dengan dibakar malah kedinginan. Cerita itu yang membuat saya kadang ingin menghancurkan sesuatu yang saya anggap patung, seperti orang-orangan untuk jualan baju ketika saya diajak ke pasar malam. Tapi saya tidak berani menghancurkan, karena ketika kulit saya kena bara api sedikit saja masih kepanasan.
Malam Jum’at ngaji libur. Wiridan habis Magrib diganti Tahlilan. Kadang-kadang habis tahlilan ada yang brokohan, berkatan atau bancakan. Apakah bancakan weton, syukuran atau selametan. Biasanya sohibul Bancakan membawa ambeng nasi tumpeng, dengan jajanan. Ketika pak kiai mendoakan, kami akan suka teriak “Amin” dengan kencang dan bersahut-sahutan. Semangat sekali. Sehabis itu makan bersama, yang kadang juga rebutan dalam satu tampah. Saya tidak tahu mengapa makan nasi berkat di langgar dengan rebutan itu begitu enak. Padahal kalau dilihat lauknya biasa-biasa saja. paling-paling sayur, bumbu kelapa, mie, tempe, dan suwiran telor goreng yang ditabur.
Orang bancakan tidak harus malam Jumat. Saya justru suka kalau malam-malam yang lain, karena ngajinya diliburkan. Artinya, sehabis salat Magrib langsung makan-makan, setelah itu bisa langsung bermain entah kemana.
Di langgar, kadang-kadang lomba-lomba diadakan. Waktu itu setiap anak membayar iuran lima puluh atau seratus rupiah. Ada juga yang memberi lebih. Tergantung orang tua. Lomba yang paling sering diadakan adalah cedas cermat. Dengan soal-soal seperti tajwid, nama-nama Nabi berikut kisahnya, matematika dasar, bahasa krama inggil atau nama-nama anak hewan. Saya paling suka nama-nama anak hewan, dan paling tidak bisa bahasa krama.
Grup saya, yang terdiri dari dua anak, pernah memenangi lomba cerdas cermat itu. Seingat saya, kami mendapat hadiah bungkusan besar. Setelah dibuka kalau tidak salah isinya buku dan kerupuk. Kerupuk itu juga jadi rebutan teman-teman.
Ketika Ramadhan tiba, langgar jadi lebih ramai karena salat tarawih. Waktu remaja, saya seringkali memilih mencari langgar lain yang salat tarawihnya lebih cepat. Di langgar saya masih kurang cepat. Langgar sebelah lebih cepat. Saya sudah menghitung selisih waktunya, yakni hampir sepuluh menit. Di langgar yang salat tarawihnya lebih cepat itulah biasanya ramai anak-anak remaja.
Sehabis tarawih ada tadarus. Orang-orang dewasa yang tadarus, atau anak-anak yang sudah Qur’an. Anak-anak turutan belum ikut. Kalaupun ikut andil, paling-paling sekedar menghabiskan makanan atau camilan yang diberikan warga sekitar langgar untuk suguhan tadarus.
Ketika Ramadhan juga, siang hari langgar ramai anak-anak atau remaja. Langgar jadi ramai permainan. Para remaja itu biasanya sibuk latihan tongklek untuk keliling waktu sahur. Kadang mereka mereka sibuk membuat mercon. Kiai langgar tidak melarang itu.
Hari-hari jelang lebaran kampung kami jadi lebih ramai karena banyak pra perantau yang pulang kampung. Dengan sendirinya langgar jadi lebih ramai. Dan puncak keramainan adalah malah lebaran. Langgar akan ramai sekali dengan anak-anak takbiran. Bunyi mercon juga meledak dimana-mana. Mercon bikinan sendiri, karena mercon yang beli jadi terlalu kecil, kurang keras ledakannya. Maka, di sepanjang jalan bertebaran kertas-kertas sisa ledakan. Pelataran langgar termasuk titik paling sering orang meledakkan mercon, sehingga banyak juga kertas bertebaran.
Di langgar, para remaja takbiran sampai pagi. Malam lebaran memang terasa meriah sekali. Dan, langgar-langgar menjelma titik-titik kemeriahan, dengan masjid sebagai pusatnya. Merenungkan hal itu, saya jadi berkesimpulan bahwa langgar adalah salah satu bentuk pengejawantahan dari Islam berkebudayaan yang paripurna.
Bersambung…
Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.
Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.
Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.
Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )
Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.
Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.
Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.
Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”
Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )
Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.
Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.
Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.
Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.
Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.
Jika ada yang bisa membunuhku saat ini, itu bukanlah racun atau belati. Racun akan menyiksaku sebentar dan belati akan segera menembus jantungku atau memotong nadiku sebelum diriku bertemu Sang Hyang Yamadipati. Semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan diamnya Rara Hening. Ia tahu cara menyiksaku dengan sakit. Tidak ada yang membuatku lebih tersiksa dan mati pelan-pelan selain dengan diamnya.
“Ning, boleh ya aku memakai rumahmu untuk lokasi syuting?”
“Ning, aku sudah nyari ke mana-mana, tapi belum ada yang cocok. Ning, please.”
“Ning, tolong, maafkan aku.”
Centang dua berwarna biru menandakan kalau dia sudah membaca pesanku. Pesan yang hanya dianggurkan, tidak berbalas. Tapi dia juga tidak memblokirku. Dia memilih hening, seperti namanya.
Aku hampir gila. Thathit, temanku sudah mendesakku untuk segera mendapatkan lokasi syuting untuk produksi film tugas akhir kami. Kami harus mencari rumah joglo dengan latar yang luas,tapi pekarangan rumahnya masih tanah plus yang aman audio. Aku sudah mencari ke Sondakan atau Sukoharjo namun nihil. Ada yang cocok rumahnya, penghuninya tidak berkenan, ada yang komunikasinya enak, rumahnya tidak cocok. Aku sudah menawarinya untuk memakai Ndalem Jimatan, tapi Thathit tidak mau. Katanya Ndalem Jimatan bukan joglo, dan lebih ke bangunan kolonial. Kami akan membuat film tentang Nyi Beruk, istri Paku Buwana III yang melarikan diri karena tidak mau dimadu yang akhirnya malah membuat batik truntum.
“Lu, kenapa tak memakai rumah Hening saja?” pertanyaan Thathit membuatku menyemburkan kopi yang baru saja kuminum.
“Rumah Hening? Yang benar saja?” jawabku spontan.
“Why not? Semua yang kita cari ada di sana. Dari empat sudut rumahnya sudah memenuhi syarat, plus lokasinya ada di Kampung Batik Laweyan, masih di Solo saja, tidak harus ke luar kota. Apalagi kamu sudah mengenal keluarganya kan?”
Rasanya aku ingin merebut rokok Thathit dan membuat tangannya seperti asbak. Yang benar saja, aku harus menghubungi Hening dan lebih gila lagi, meminta izin memakai rumahnya. Aku menggeleng. Big no. Ora banget. Tidak.
“Ayolah, Jalu, lupakan dulu gengsimu. Aku sudah hampir putus asa dengan semua ini,” Thathit masih kukuh membujukku.
“Thit, kita cari opsi lain dulu ya,” aku menutup perbincangan kami dengan tetap tidak mau menuruti kemauan Thathit.
***
Aku menunggunya selesai mengantar para peziarah di Makam Ki Ageng Henis. Sambil menunggunya keluar aku duduk di serambi Masjid Laweyan. Memandang lubang angin di masjid yang dulunya pura ini, aku jadi teringat obrolan kami dulu.
“Mas Jalu, coba lihat lubang angin itu? Persis kan seperti masjid-masjid di Gujarat? Ah sayang Mas Jalu tidak suka nonton film India. Coba lihat video klip Tujh Mein Rab Dikhta Hai di film Rab Ne Bana Di Jodi, itu ada Anushka Sharma yang mengikat tali doa di masjid sufi. Di film India kan sering ada adegan orang mengikat tali doa di lubang angin seperti ini,” dia mengambil benang yang dibawanya dan diikat di lubang angin itu.
“Kamu juga berdoa tadi?” tanyaku.
“Iya dong,”
“Doa apa?”
“Hmm…moga kita hubungan kita bisa berlanjut dalam Ikatan suci.”
Aku tidak ingat apakah aku mengaminkan doanya waktu itu. Yang jelas tali doa tersebut sudah tidak ada. Mungkin dilepas olehnya atau diambil orang karena mengganggu pemandangan. Ikatan kami pun sudah tidak ada bekasnya. Lepas. Hilang. Tepatnya, aku yang melepasnya.
Aku melihat rombongan peziarah keluar dari makam. Setelah berkumpul dan mendengar arahan dari perempuan berbaju putih dan bersarung batik di dekat gerbang makam, mereka membubarkan diri. Dari tadi dialah yang kutunggu.
“Ning…,” kuhampiri dia, tidak ada tanggapan. Aku serupa angin lalu yang tidak dianggapnya sama sekali. Seakan aku tidak terlihat.
Dia benar-benar melewatiku begitu saja dan berjalan kaki meninggalkan area masjid. Aku mengikutinya.
“Ning, bisa ngomong sebentar?” aku masih berusaha mendapatkan perhatiannya. Dia tetap tidak menggubrisku sampai langkahnya melewati jembatan depan masjid dan menuju rumahnya. Aku pun masih mengikutinya berjalan menuju gang-gang ke rumahnya.
Mau tidak mau ingatanku terlempar ke masa lalu. Pertama kali melewati gang-gang sempit di Kampung Batik Laweyan ini aku sudah jatuh cinta dengan arsitektur rumah-rumah di sini. Rumah-rumah mewah saudagar bertembok tinggi layaknya benteng, bergaya art deco atau indis (Jawa-Eropa).
“Tahu kenapa rumah di sini tinggi-tinggi? Dulunya ini untuk keamanan. Selain itu juga salah satu usaha para saudagar untuk menjaga privacy dan daerah kekuasaan di lingkungan komunitasnya. Ya biar nggak contek-contekan motif batik juga, Mas,” Hening menjelaskan padaku seakan dia bisa membaca rasa penasaranku.
Waktu itu Hening memintaku mengikuti langkahnya. Kami berhenti di pojokan gang. Dia lalu berjalan beberapa langkah dan memperlihatkanku sebuah Langgar lawas milih sebuah rumah batik. Langgar itu ada di atas kami. Yang kulihat adalah sebuah tempat pengimaman yang klasik. Aku memotret langgar itu dari bawah sambil mendengarkan ceritanya.
“Ini langgar yang masih dipertahankan oleh rumah batik Estu Mulyo. Dulu digunakan para buruh batik untuk istirahat salat. Hal ini sebenarnya punya motif ekonomis sih agar bisa menghemat waktu. Jadi biar para buruh itu salatnya nggak harus ke masjid Laweyan atau ke langgar lainnya. Soalnya bisa saja mereka lama baliknya, udud-udud dulu misalnya. Ya juragane bangkrut. Apalagi kalau buruhnya seperti kamu, Mas.”
Aku tertawa mendengar omongannya. Sialan, dia memang selalu menyindirku seperti itu. Aku memang selalu santai ketika dia sudah ngomel-ngomel menyuruhku bergegas jika ada kepentingan.
“Sik, Ning, sak udutan dulu,” begitu aku selalu berkilah. Aku memang suka membuatnya ngomel-ngomel.
“Sak udutan versimu itu kalau buat ngecap kain sudah berlembar-lembar, Mas. Huh,” tak lupa ia selalu melengkapi omelannya dengan dahinya yang berkerut dan bibirnya yang mecucu. Ah apa memang begitu ya tipikal anak Mbok Mase? Tidak bisa santai.
Ternyata aku terlalu asyik terjebak nostalgia sampai hampir kehilangan jejak Hening. Untunglah aku masih bisa mengejarnya sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ia membanting pintu tepat di hadapanku. Tentu saja aku tidak dipersilakan masuk.
Sia-sia saja aku mengejarnya. (Baca juga: Menghanyutkan Kenangan)
***
Aku mungkin sering bertengkar dengan Hening, tapi aku tidak pernah melihatnya menangis. Didikan keluarganya membuatnya tumbuh sebagai perempuan yang kuat dan mandiri. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, aku melihat air mata mengalir deras dari kedua matanya. Ia menangis tanpa suara. Hening, seperti namanya.
“Tak bisakah kau membicarakan hal ini baik-baik? Aku mungkin akan tetap sakit, tapi tidak sesakit ketika aku tahu itu dari orang lain.” Walau berlinangan air mata dia tetap Hening, yang berbicara padaku dengan menatap mataku.
“Aku tidak ingin menyakitimu, aku tidak tega jika harus mengatakannya langsung. Makanya…”
“Ketidaktegaanmu itu adalah tegamu. Kamu bodoh apa jahat sih? Kamu ingin membunuhku pelan-pelan?”
“Jangan berlebihan, Ning!”
“Berlebihan? Aku memberimu kain batik itu untuk kau pakai. Kain batik tulis motif pring sedhapur yang kubuat sendiri. Aku minta sepupuku dari Magetan untuk mengajariku membuat motif itu. Kamu tahu kan filosofi pring sedhapur? Pring sedhapur itu kita, Mas. Pring sedhapur, bambu serumpun. Dan kamu seenaknya memberikan pada perempuan lain. Parahnya aku tahu hal itu dari temanmu yang mengirimiku fotomu bersama perempuan yang memakai baju batik yang sangat kukenal motifnya. Siapa yang akan lupa dengan batik hasil karya tanganku sendiri?”
Aku ingin menyanggah, namun kuurungkan. Sungguh, aku belum pernah melihat tatapan matanya seperti itu. Tatapan yang bisa membuatku mati berdiri.
“Katanya kita itu pring sedhapur, tumbuh bersama, besar bersama. Katanya kita itu pring sedhapur, bakal merasa sakit jika salah satu dari kita ditebang. Kamu selalu bilang padaku, ‘tidak apa-apa, aku saja yang sakit, kamu harus tetap hidup’. Aku sakit ketika melihatmu jatuh, tidak berdaya karena masalah-masalah yang membelitmu. Aku hidup, tapi sejatinya tidak hidup. Aku berpikir waktu itu, kenapa bukan aku saja yang menjadi anyaman bambu. Ah baru kusadari sekarang ternyata memang itu maumu. Karena kamu memilih menjadi anyaman bambu… dengan bambu lain.”
Sungguh aku memilih ia memaki-makiku dengan kata-kata kasar daripada bermain pasemon seperti ini. Ia selalu menjadi lebih singup jika sudah menyindirku seperti ini.
“Seharusnya dari dulu aku sadar. Darah biru sepertimu sampai kapan pun tidak akan menerima anak saudagar sepertiku. Rara Hening tidak seharusnya bersanding dengan Jalu Narendra. Kita bukan pring sedhapur.”
“Ayolah Hening, kita tidak sedang berada di zaman kerajaan…”
“Tapi kau memilih keturunan bangsawan juga kan? Aku tidak masalah ketika kau memang sebenarnya tidak menyukaiku. Tapi seharusnya kau bisa tegas memilih. Aku heran sebenarnya terbuat dari apakah hati dan mulut lelaki itu?”
Tidak lama ia meninggalkanku dengan jamur goreng dan wedang jahe yang tidak ia sentuh sama sekali. Aku mengejarnya sampai pinggir jalan. Kuraih tangannya.
“Aku antar ya, Ning?”
Dengan kasar dia melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Dari dulu, saudagar Laweyan tidak pernah bergantung pada Priyayi. Semoga kau masih ingat pelajaran sejarah yang kuberikan padamu.”
Aku membiarkan ia pulang diantar ojek online yang dipesannya. Aku memandang punggungnya sampai hilang di belokan depan. Malam itu adalah malam paling hening dalam hidupku, tanpa Hening.
***
Entah sampai kapan aku harus mengemis pada Hening untuk sekadar memintanya membukakan pintu gerbang rumahnya untukku. Aku tahu mungkin sulit untuknya untuk membukakan pintu maafnya padaku. Dulu aku enak saja menyambangi rumahnya. Aku sering berjalan kaki agar bisa melihat pemandangan rumah-rumah di kampung batik Laweyan ini. Ada yang menarik perhatianku saat itu. Rumah-rumah di sini punya pintu-pintu yang unik. Ada dua pintu, pintu besar dan pintu kecil. Pintu besar dulu digunakan oleh tuan rumah dan pintu kecil digunakan oleh buruh pembatik atau tamu biasa. Pintu kecil ini sungguh kecil menurutku. Aku membayangkan dulu untuk masuk lewat pintu kecil itu pastilah dengan menunduk, sebagai unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa. Sekarang tentu saja pintu kecil itu sudah tidak digunakan. Tapi ada yang beda di pintu rumah Hening. Pintu kecil itu masih bisa dibuka kalau mau. Masih berfungsi dengan baik. Sesungguhnya aku rela jika aku harus masuk lewat pintu kecil itu. Asal ia mengizinkanku masuk.
Aku ingin masuk dan berbincang dengan keluarganya seperti dulu. Keluarga Hening adalah keluarga majikan dalam struktur sosial masyarakat Laweyan dulu. Ada neneknya yang disebut Mbok Mase Sepuh, kakeknya yang disebut Mas Nganten Sepuh, mereka adalah dari garis keturunan ibu. Ibunya yang seorang Mbok Mase, ayahnya yang disebut Mas Nganten, kakak laki-lakinya yang disebut Mas Bagus. Ia sendiri punya sebutan Mas Rara. Hening selalu bangga jika menceritakan tentang peran Mbok Mase dari zaman dulu.
Mbok Mase adalah perempuan pemegang kendali ekonomi masyarakat Laweyan. Kedudukannya sejajar lebih tinggi dengan abdi dalem kraton Surakarta dan setingkat lebih tinggi dari laki-laki, walau tetap menghargai peran suami. Mbok Mase adalah simbol perlawanan kepada kaum priyayi yang suka berfoya-foya, haus kekuasaan, gila hormat, dan poligami. Kaum perempuan di Laweyan sangat dihormati, tidak sekadar menjadi kanca wingking.
“Jadi begitulah, gaya hidup keluarga Mbok Mase bertolak belakang dengan kehidupan priyayi saat itu. Saudagar Laweyan sungguh tidak menyukai gaya hidup priyayi. Priyayi mendapatkan hidup enak dari garis keturunan, Mbok Mase terbiasa kerja keras sejak kecil untuk menjadi saudagar yang sukses. Aku selalu dilatih ibuku untuk prihatin dan selalu menghargai uang. Meski sudah tidak hidup di zaman dulu, bagi ibu aku tetaplah Mas Rara, penerusnya.” Tutur Hening waktu itu. Kami berbincang di halaman rumahnya sambil menemaninya mengerjakan tugas kampus.
“Tapi walaupun Mbok Mase kaya-kaya, mereka tetap tidak mendapat tempat dalam sistem resmi kerajaan. Menyebalkan memang para priyayi itu.”
Aku hampir tersedak mendengar kalimat terakhirnya. Saat itu ia belum tahu kalau aku adalah keturunan priyayi. Bagiku toh itu tidak penting lagi. Status priyayi seperti tidak ada efeknya dalam hidupku.
Aku tersadar dan kembali dalam kenyataan. Hari semakin larut dan tidak ada tanda-tanda Hening akan membukakan pintunya untukku. (Baca juga: Gamelan dan Irama Kehidupan)
***
Aku menunggu hening di pendhapa Astana Laweyan. Konon ini adalah peninggalan yang masih tersisa dari Kraton Kartasura ketika boyongan ke Surakarta. Di dalam mungkin ia sedang menjadi pemandu peziarah seperti biasanya. Tidak rutin, tapi hanya ketika ada rombongan komunitas sejarah yang berkunjung ke sini. Bersama juru kunci makam, dia akan memandu mereka yang akan berziarah dan mendengar sejarah tentang Ki Ageng Henis. Dulu aku sering menemaninya jika bertugas.
Satu persatu kulihat rombongan peziarah keluar dari area makam. Aku menunggu sepi dan menghampiri Hening. Ternyata aku masih punya nyali untuk menemuinya.
Kukira dia akan mendiamkanku seperti biasanya, tapi dia berdiri dan menatap wajahku. Mata yang tegas. Mata yang sangat aku rindukan.
“Kau masih ingat pohon Nagasari di dalam makam itu?” tanyanya.
“Tentu saja, Ning. Pohon yang juga ada di kompleks makam raja-raja Imogiri,” aku menjawab seperti orang bodoh. Tentu saja sebenarnya bukan ini yang hendak ia tanyakan.
“Kau tentu masih ingat ciri khas pohon Nagasari di makam itu. Pohon yang ketika ada bagiannya yang patah, tidak akan tumbuh lagi. Kamu sudah seperti angin yang mematahkan cabang pohon Nagasari. Hatiku sudah patah. Tidak akan tumbuh perasaan lagi untukmu, seperti dulu.”
Ia meninggalkanku begitu saja. Aku pun masih mengikuti langkahnya dari belakang. Entah kenapa kali ini dia tidak melewati jalan semestinya. Ia melewati jalan di dekat tepi sungai Kabanaran. Kami pernah duduk menghabiskan sore memandang sungai yang kotor. Sore yang absurd. Dulu tepi sungai ini adalah sebuah bandar dagang. Rumah-rumah di sini dibangun dengan menghadap sungai. Melalui sungai ini, barang dagangan dari Laweyan diangkut dengan rakit ke bandar yang lebih besar di Nusupan, tepi Bengawan Semanggi yang kini lebih dikenal dengan Bengawan Solo. Masuknya kereta api sebagai transportasi darat membuat peran sungai menjadi surut dan kehilangan pengaruhnya.
“Ning, kali ini kamu mengizinkanku masuk, kan?” aku sudah membuang seluruh harga diriku agar perempuan di depanku ini mau membukakan pintunya untukku.
“Ingat peristiwa geger pecinan? Paku Buwana II, seorang raja, melarikan diri ke sini, bersembunyi di gua di tepi sungai Laweyan. Raja meminta bantuan meminjam kuda kepada masyarakat Laweyan. Permintaan itu ditolak oleh Mbok Mase karena kuda-kuda itu akan digunakan untuk mendistibusikan batik. Bayangkan, seorang raja! Bahkan permintaan raja pun tidak diindahkan oleh leluhurku, apalagi hanya seorang keturunan bangsawan sepertimu!”
“Jadi, kau benar-benar tidak mau membukakan pintu untukku? Pintu maaf untukku juga sudah kau tutup, Ning?”
“Kau tidak akan pernah kuizinkan masuk ke rumahku. Bahkan lewat pintu kecil pun tidak. Karena bagiku, kau pun bukan tamu. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Kau bisa mengusirku dari hidupmu, apa susahnya aku mengusirmu dari depan rumahku. Berhenti mengikutiku dan berdiri di depan pintu rumahku lagi.”
Angin berhembus masam. Langit semakin memerah tepat ketika Hening membanting pintunya di depanku dan menguncinya rapat-rapat. Mungkin juga pintu hatinya, yang kuncinya sudah ia buang entah ke mana.
***
Mendungan, 18 Juli 2019
Untuk Mas Dody Eskha Aquinas dan teman-teman Solo Walking Tour.
Referensi tambahan:
Perempuan Laweyan dalam Industri Batik di Surakarta (Tugas Tri Wahyono, dkk, BNPB Yogyakarta, 2014)
Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia
Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.
Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).
Pribumi dan Non Pribumi
Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.
Kembali Ke Kancah Politik
Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).
Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.
Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).
Gagasan Pembauran
Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:
~~~
“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).
~~~
Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]
Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]
Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia
Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).
Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?
Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:
~~~
“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]
~~~
Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.
Akar Konflik dan Potensi Memediasinya
Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).
Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.
Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).
Tionghoa Muslim
Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.
Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.
Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:
~~~
“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6]
“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]
~~~
Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.
Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.
~~~
“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]
~~~
Kenangan Orde Baru
Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.
Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.
Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]
Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim
Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.
Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.
Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.
Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.
~~~
“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]
~~~
Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).
Catatan:
[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.
[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.
[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.
[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.
[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.
[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.
[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.
[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.
[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.
[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.
[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.
Memahami Jawa~
Tulisan ini tidak saya rangkai untuk menyemprit pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam sasaran wicara saya. Tidak pula ia saya pancangkan sebagai tembakan ke arah pihak atau orang-orang tertentu itu. Sebagaimana ia tidak saya arahkan agar mereka berhenti mengerjakan sesuatu yang menjadi bahan cuilan di dalam tulisan yang saya niatkan untuk mengingatkan diri saya sendiri serta diri orang-orang yang selama ini bergelut dengan saya. Tapi memang tulisan ini berangkat dari peristiwa akhir-akhir ini. Terutama berkaitan dengan para ustadz yang sangat lahap membincangkan banyak hal di luar kompetensi mereka sebagai juru dakwah.
Belakangan, memang ada banyak ustadz yang membicarakan tidak hanya tema terkait keahliannya dalam ilmu agama, melainkan juga hal-hal lain seperti sejarah, budaya, bahkan isu-isu politik internasional. Saya menonton beberapa video ceramah ustadz-ustadz yang membicarakan hal-hal di luar wilayah keilmuannya itu. Ada sisi baiknya. Saya percaya itu. Tapi sejauh ini saya, tentu juga dengan keterbatasan, melihatnya lebih banyak sisi belum baiknya. Malah irama pembicaraan mereka cenderung membangkitkan gairah kebencian dan klaim superioritas golongan. Dua hal yang akhir-akhir ini marak menjadi isi ruang publik masyarakat Indonesia.
Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya?
Sederhana saja memahaminya. Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya? Bila dianalogikan; apa mungkin dan sahih bagi seorang pembelajar ilmu tentang penyakit untuk menjadi dokter dalam bidang kepenyakitan yang ia khatamkan ilmunya dari buku tersebut? Seharusnya tidak boleh. Tapi belakangan, pintu-pintu kemungkinan terbuka lebih lebar dan bebas. Seorang ustadz hari ini tidak harus lagi memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Ia hanya cukup bermodal tradisi menonton ceramah para ustadz dari internet, lalu setelah itu ia memberanikan diri berdakwah ke hadapan umat.
Cocokologi Islam dan Jawa~
Ada lagi ustadz yang belakangan ini berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas-asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik. Tentu saja di sana tidak hanya antropologi linguistik yang dibutuhkan untuk melacak sejarah toponimi setiap wilayah. Ia juga harus ditunjang dengan ilmu lain seperti sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan sejenisnya. Ada pula ustadz-ustadz di youtube yang belakangan membincangkan banyak hal. Mulai dari Budaya, sejarah, sejarah Islam terutama, sampai hal-hal yang bersifat mistik-legenda. Khusus dalam uraian mereka tentang kebudayaan Jawa, apa yang kita temukan dari sana ternyata relatif baik dan bermanfaat. Kita jadi terbuka pada dimensi islamis dari fakta-fakta kebudayaan yang selama ini ada dalam kehidupan kita. Hanya saja, ada sisi yang fatal dan vital di sana, yang dibuang begitu saja. Sehingga kebaikan dan kemanfaatannya menjadi hilang atau setidaknya berkurang banyak seketika.
Contoh. Ada ustadz yang mejelaskan sejarah Islam di nusantara. Kita tidak tahu ia mengambil mata kuliah sejarah itu dulu dari mana atau dari siapa dan apa referensinya. Tapi itu kita enyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Sepengematan dangkal saya, nanti biasanya tema yang ia bicarakan akan dikaitkan dengan ayat tertentu, hadis tertentu, dan isu-isu politik tertentu pula. Jadi semacam ayatisasi atau pencocokan peristiwa sejarah atau fakta budaya dalam sejarah. Dalil-dalil yang dirasa cocokpun biasanya akan dicocokkan.
Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan.
Prihal Budaya~
Di satu sisi itu ada benarnya. Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan. Itupun juga harus ditegaskan bahwa sekalipun “ada Islam” di sana, ia tidak tidak “se-islam” itu. Maksud saya, islam yang menjadi nafas kebudayaan itu bukan Islam seperti yang diceritakan sang ustadz tersebut. Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Mengapa? Wajah kita hari ini saja bukan wajah kita 20 tahun yang lalu. Islam yang kita amalkan hari ini, meskipun kita menyandarkannya pada jejak keisalam para wali songo misalnya, bukanlah sepersis seperti Islam yang dulu diamalkan oleh para wali songo. Dengan demikian, merupakan kekeliruan pula jika sang ustadz yang membicarakan Islam atau kebudayaan ciptaan wali songo dalam irama Islam ala Sayyid Quthb dan kawan-kawan hebatnya.
Maksud saya begini. Betul bahwa “ketan, kolak, apem” dan mustaka masjid kuno di Jawa yang berbentuk daun “kluwih” itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Cuma, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadis di balik simbol daun kluwih atau ketan-kolak-apem itu, harus ada jalannya. Mengapa “ketan, kolak, apem” itu dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) pada bulan Ruwah? Mengapa pula untuk menerapkan ajaran Islam tentang maaf dan meminta maaf sebelum memasuki bulan puasa itu disimbolkan dengan ketan, kolak, dan apem? Ada apa di balik ketan, kolak, apem? Apa hubungannya dengan ayat-hadis tentang permohonan dan pemberian maaf? Mengapa “daun kluwih” diletakkan sebagai puncak mustaka masjid kuno, yang oleh seorang ustadz, ia disebut merupakan perwujudan dari ayat: dzalika fadhlullah yuktihi man yasya? Apa hubungannya daun kluwih dengan masjid? Mengapa ia diletakkan sebagai puncak mustaka masjid?
Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci.
Nalar Lokal~
Pasti ada nalar tersimpan di balik laku simbolisasi itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa Nalar Lokal-tempatan khas Islam Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris dalam coraknya yang khas, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci. Sekali lagi, sangat bisa dan sangat boleh untuk mengatakan bahwa semua fakta kebudayaan di Jawa sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik simbolisasi itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih dipakai? Kenapa bukan yang lain? Kekenapaan dan kemengepaan itulah yang seharusnya dulu ditemukan. Baru kemudian bisa ditemukan apa ayat-hadis di yang melatarinya.
Jadi, epistemologi lokalnya seharusnya ditemukan dan dibahas dulu. Jika epistemologi lokalnya tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik pekerjaan simbolisasi itu atau menjadi latar dari produk kebudayaan tertentu. Logikanya mudah saja. Karena nalar lokalnya belum ketemu, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan simbol yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut dengan sangat mudah dipakai untuk menjelaskan? Nah, di situlah saya melihat ustadz-ustadz pembahas budaya lokal itu sebagai pelaku cocokologi. Lha wong nalarnya belum ketemu, kok langsung dibuatkan ayat-hadisnya?
Tasawuf Jawa~
Sekarang ada pertanyaan baru. Mengapa para ustadz-ustadz yang membincangkan tema-tema di atas langsung menuju ke ayat atau dalil dari Al quran dan hadis? Mengapa mereka tidak melewati penelusuran nalar atau penemuan epistemologi lokalnya terlebih dahulu? Satu hal yang saya tangkap. Mudah-mudahan saya salah. Bahwa rata-rata mereka berasal dari golongan Islam bercorak purifikasi. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa mereka sebenarnya anti atau setidaknya kurang bersahabat dengan kebudayaan lokal yang dibangun di atas fondasi tasawuf. Bukan rahasia pula bahwa mereka juga tidak bersetuju dengan tasawuf. Apalagi tasawufnya tasawuf lokal pula. Tasawuf, bagi mereka terhitung bid’ah. Tasawuf lokal lebih-lebih lagi. Kelak, mereka biasanya akan mengamini pendapat para sarjana dari “luar”; bahwa Islamnya orang Jawa adalah Islam Sinkretis, perpaduan Hindu-Budha.
Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku Tasawuf Jawa.
Pada titik itulah saya dapat memahaminya. Tidak mungkin mereka akan masuk ke dalam samudera tasawuf, apalagi tasawuf Jawa, yang jelas-jelas melandasi atau menjadi asas produksi kebudayaan Jawa. Maka tentu lebih baik langsung mencarikan ayat-hadisnya. Padahal, nalar dari setiap simbolisasi kebudayaan, terutama di Jawa, berdiri di atas fondasi tasawuf Jawa. Seharusnya mereka terlebih dahulu masuk ke dalam samudera tasawuf Jawa itu. Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku tasawuf Jawa.
Karena itu, ceramah mereka, terutama tentang sejarah Islam di nusantara, boleh dicek, tidak ada satupun kata “tasawuf” apalagi kata: “tasawuf jawa” yang meluncur di sana. Lebih mudah untuk menemukan kata-kata semacam “jihad” dan sejenisnya. Aku berlindung kepada Allah dari pikiran yang zalim. Wallahu a’lam.