merapi
Seorang ilmuwan ahli vulkanologi datang untuk mempelajari aktivitas Gunung merapi. Ia dengan sungguh mencari tahu apakah mungkin, Gunung Merapi bisa menjadi titik akhir kehidupan manusia, layaknya Gunung Toba. Lalu seorang seniman perempuan pembuat Film mencari tahu bagaimana eksploitasi lingkungan berjalan dengan tambang pasir yang menjadi tumpuan hidup warga di sana. Kehidupan di sekitar merapi terus bergulir, kepercayaan ruhani masyarakat atas berbagai mitologi yang terus membayangi mereka juga terus hidup dan dihidupi. Begitulah film monisme akhirnya hadir dan tayang perdana di Jogja Asian Film Festival JAFF (2/12), Yogyakarta, setelah hampir setahun film garapan Riar Rizaldi ini menyambangi berbagai festival film internasional di berbagai negara.
Film Monisme diawali dari adegan pembantaian seorang manusia yang diseret ke tengah hutan dengan tali menjerat leher dengan kepala tertutup oleh para preman. Mereka para preman, dengan nada kasar agak senonoh dan penuh intimidasi itu lalu menggantungkan tali yang mengikat leher korban ke dahan pohon besar. Tanpa pikir panjang bos dari preman yang tampak tidak sabar, melayangkan batu besar dengan brutal ke kepala korban. Dan nyawa korban itu akhirnya melayang.
Gambar guguran lava Gunung Merapi tampak begitu dekat membawa penonton ke adegan selanjutnya. Teknik pengambilan gambar yang cukup untuk memotret gunung yang mempunyai ketinggian 2,910 itu, membuat penonton hanyut di dalamnya. Tampaknya Riar Rizaldi ingin membawa penonton pada eksperiens visual stratovolcano disertai audio yang dibuat mencekam lagi menggelegar. Entah kenapa, pada saat itu saya hanyut pada visual dan audio Merapi yang dipertontonkan, saya kemudian teringat pada letusan Merapi pada tahun 2010 yang mencekam itu. Waktu itu saya belum terlalu dewasa, tetapi melalui sepenggal adegan awal film ini saya jadi merasakan bagaimana kedigdayaan Merapi saat meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Film feature panjang yang disutradarai oleh Riar Rizaldi dengan produser BM Anggana ini memang menjadi debut pertama mereka berdua. Dengan bentuk film eksperimental, Riar mencoba menggabungkan gagasan antara film dokumenter dengan fiksi dan fiksi yang dokumenter. Sehingga komposisi fakta yang digali dari pengalaman subyek masyarakat sekitar ditambah dengan upaya observasi yang mendalam, dijadikan Riar sebagai bangunan cerita dalam film ini. Dari hal itulah kemudian fiksi terbentuk merangkai cerita antara aktualitas dengan mitos dan legenda sebagai ruh film ini. Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Kemudian cerita berlanjut. Seorang ilmuwan ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas) ditemani asistennya (Kidung Paramadita) bercengkrama memandang Merapi dari sudut yang jauh. Sang ilmuwan tampaknya mempunyai obsesi yang tinggi tentang hukum rasionalitas, bagaimana materi dengan segala partikel yang membentuknya menciptakan kehidupan. Percakapannya mendalam, mereka berupaya memecahkan satu pertanyaan besar tentang Gunung Merapi sebagai sumber kehidupan atau sember punahnya peradaban.
Sang vulkanolog terus mencari tahu, bagaimana relasi manusia dan alam sesungguhnya. Melalui penelitiannya, ia berusaha membangun argumentasi bahwa manusia seharusnya bisa berdampingan dengan alam. Salah satu dialog menarik dari keduanya yang berhasil saya catat seperti di bawah ini;
“Manusia itu sama seperti cacing versi lebih besar dan kompleks saja” ungkap peneliti.
“Cacing yang mempunyai moral?” Sanggah sang asisten.
“Cacing mungkin lebih bermoral dari manusia,” tegas peneliti.
Dari dialog tersebut saya akhirnya mempunyai gambaran, tentang bagaimana film ini. Melalui tokoh peneliti, film ini sepertinya ingin menyuguhkan satu argumentasi secara ilmiah tentang Gunung Merapi sebagai unsur yang hidup dalam siklus dan ekosistem kehidupan ini. Dalam hal ini Merapi tidak hanya sebagai objek pun lanskap alam, ia adalah ruang dan waktu.
Lalu cerita berlanjut pada rekaman wawancara Yulianto sebagai petugas pengamatan Gunung Merapi. Ia dengan wajah masih tertutup masker menceritakan aktivitasnya selama ini menjadi garda depan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Yulianto menjalani profesi ini memang mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga menjadi penjaga pos pengamatan Merapi. Ketertarikannya dengan Merapi diawali ketika sejak kecil, ia sering ke kantor dan ikut kerja ayahnya. Semenjak itulah akhirnya ia menjalani profesinya sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang sudah diwariskan oleh keluarganya terdahulu.
Dalam wawancara ini, Yulianto banyak menjelaskan secara vulkanologi gerak dan aktivitas Merapi. Bagaimana post pengamatan menetapkan status Merapi, ukurannya apa, lalu siasat apa yang harus dilakukan ketika melihat kondisi Merapi sudah dalam titik rawan. Ia juga tampak menjelaskan beberapa fungsi alat yang digunakan untuk memotret kondisi Merapi. Namun, dari semua itu yang menarik justru ada pada statementnya. Bahwa bagaimanapun alat ciptaan manusia untuk mengamati Merapi tetapi pada dasarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar tahu atau bisa memprediksi kapan Merapi akan erupsi. Karena itulah Merapi sampai sekarang masih menyimpan sejuta misteri. Dari hal itu juga masih banyak kemungkinan untuk setiap orang memiliki daya untuk memahami dan menjelajahi.
Sementara itu gambar bergeser pada asisten peneliti (Kidung Paramadita). Sebagai pemeran pembantu dalam film ini, ia mempunyai peran yang vital untuk menghidupkan cerita dalam setiap babaknya. Dalam babak pertama ini, ia (Kidung Paramadita) asisten peneliti diberi porsi Riar untuk mengalami pengalaman mistik ketika menjalani penelitian di Merapi. Dalam salah satu scene adegan di tengah malam, ia tinggal di rumah di sekitar lereng Merapi. Saat itu ia mengalami pengalaman horor ketika dalam kondisi masih tertidur, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terguncang merasakan getaran seperti hal nya gempa bumi berkekuatan tinggi. Ruangan dalam adegan itu juga ikut terguncang, semuanya bergetar, sehingga membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bingung dengan kondisi yang sedang ia alami. Dari hal itu ia bergegas, bangkit dari tidur mengamati jendela kamarnya dengan desain minimalis itu. Di sanalah ia melihat peristiwa yang tidak wajar ada di tengah malam, yaitu pawai gunungan bertubuhkan manusia. Iring-iringan itu memang di luar nalar. Dengan iringan musik bergada (prajurit Mataram) dengan beberapa pengiringnya berwajahkan aneh lagi menyeramkan.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri. Tentu kita bisa percaya atau tidak dengan adanya kepercayaan semacam itu. Tetapi banyak masyarakat di sana sebagian besar meyakini hal tersebut. Dan film ini berhasil memotretnya sebagai bagian dari realitas yang muncul menjadi bumbu penyedap dalam film ini.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri.
Lalu cerita berakhir dengan tindakan tragis sekumpulan preman yang mengintimidasi peneliti dan asistennya saat mereka melakukan riset di suatu malam di hutan Merapi. Naasnya mereka bertemu dengan para preman yang sedang melakukan patroli. Para preman yang berwajah sama seperti dalam adegan pertama. Awalnya mereka sempat menyangkal bahwa tindakan mereka tidak melanggar aturan. Perdebatan terjadi di antara mereka. Namun sayang, para preman bertindak lebih ganas dari yang dibayangkan. Dengan kejam bos preman dengan wajah garang (Whani Darmawan) memperkosa asisten peneliti. Sedangkan peneliti tampak tidak berdaya, ia dikeroyok, mulutnya berulang kali dijejali dengan senapan. dan cerita mereka berdua selesai pada adegan itu juga.
Antara Realitas Sosial dan Potret Pilu di Dalamnya
Babak kedua dalam film Monisme menawarkan sudut pandang realisme yang cukup kuat. Beberapa adegan tidak banyak dipoles sedemikian rupa. Karakter muncul dengan pemeran yang sama. Kali ini Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai penambang pasir dengan wajah lusuh dengan debu. Sedangkan Kidung Paramadita memerankan karakter sebagai seorang seniman pembuat film. Bagi Rendra, entah bagaimana ia memerankan karakter yang sangat berbeda dengan karakter sebelumnya sebagai peneliti. Tetapi seperti adegan sebelumnya ia tampak cukup menghayati perannya tersebut. Sedangkan Kidung dengan tampilan eksentrik khas seorang seniman, berhasil menghidupkan karakter yang diembannya.
Gambaran kondisi dan dilema penambang pasir di sekitar Merapi menjadi gagasan utama dalam babak kedua ini. Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Sang seniman hadir dengan seorang teman untuk wawancara penambang pasir. Dialognya sederhana, singkat dan tidak berbelit. Awalnya mereka berada di sebuah warung makan untuk mengambil gambar penambang pasir dengan baju yang masih sama, lusuh. Dalam dialognya sang penambang pasir tak banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentang bagaimana penambangan pasir selama ini berjalan, siapa saja dibelakangnya dan apa resiko penambangan yang mereka kerjakan. Penambang pasir tetap bergeming. Ia menjawab singkat dan membuat kecewa sang seniman yang merasa tak puas dengan hasil wawancaranya. lalu ia membeli makan untuk menetralkan suasana. Mungkin penambang pasir sedang lapar. Dan ia tak semangat menjawabnya.
Selepas makan, mereka siap mengambil gambar kembali. Namun di belakang mereka para preman tiba-tiba hadir di warung sederhana itu. Komplotan preman yang masih sama di babak pertama. Awalnya tidak ada masalah datangnya preman itu. Mereka tetap menjalankan wawancara. Para preman tampaknya mulai terganggu dengan aktivitas wawancara itu, mereka mendekat mempertanyakan aktivitas mereka. Dengan nada kesal, preman mengintimidasi sang seniman. Preman itu berusaha meminta izin aktivitasnya itu. Sang seniman menjelaskan maksud dan tujuannya, mereka sedang membuat film dokumenter soal tambang di Gunung Merapi. Mendengar hal itu para preman merasa hal itu tidak perlu. Sebagai penguasa wilayah di sana mestinya ia meminta izin kepada para preman itu. Sang seniman tetap ngotot bahwa ia tidak akan menyinggung kekuasaan mereka. Preman tampak tidak peduli soal hal itu. Penambang pasir berusaha membantu menjelaskan. Tetapi tetap gagal. File hasil wawancara diminta preman untuk di hapus, lalu mereka diusir dari warung itu.
Adegan berganti, para penambang pasir tampak berkumpul melepas lelah. Mereka bercerita soal aktivitas menambang pasir Merapi selama ini. Banyak dilema pilu mendengar cerita mereka. Bukan tanpa peduli, ia paham betul resiko penambangan yang mereka lakukan. Krisis air menjadi hal yang paling mencuat dari aktivitas yang mereka lakukan. Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan lain bagi mereka. Kebutuhan ekonomi yang mendesak menjadi alasan kuat agar kehidupan mereka terus berjalan. Saat itulah letusan Merapi tak lagi mencekam bagi mereka. Justru saat Merapi mengeluarkan banyak material dari perutnya, di sana mereka mendulang banyak keuntungan. Adegan wawancara dokumenter itu selesai, dengan tatapan panjang menunggu kapan rezeki guguran material itu datang.
Kembali pada seniman pembuat film dan penambang pasir yang meratapi nasib buruknya. Berada di dalam kepala truk, penambang pasir itu berjejalan dengan sang seniman. Berada di tengah, diapit sopir dan perempuan seniman itu. Dengan posisi duduk yang tidak begitu nyaman. Entah kenapa penambang pasir menceritakan semuanya. Ia meminta seniman merekam semua omongannya. Terlanjur basah ungkapnya, biarkan sekalian tidak usah menyembunyikan identitasnya. Penambang pasir dengan wajah emosional dengan sebatang rokok yang tak lepas dari mulutnya, ia mengungkap siapa dalang di balik penambangan pasir di sana. Para elit politik pemegang kekuasaan yang rakus lah sebenarnya yang memberi jalan penambangan pasir itu ada. Merekalah sebenarnya para cukong sesungguhnya, mereka juga yang memberi izin dan sekaligus yang paling mendapat banyak keuntungan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tegas penambang pasir ini dengan wajah geram. Lalu nasib penambang kecil yang sebatas kuli buruh angkut pasir seperti dirinya, tentu tak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan yang didulang para pemodal di atasnya. Ia tetap miskin, dan tidak ada pilihan lain untuk tidak tetap bekerja di sana.
Penambang pasir mengambil nafas panjang. Ia melanjutkan ceritanya. Lalu para preman yang mereka temui di warung tadi adalah orang yang hidup dari para bandar besar konglomerat yang berlindung dibalik kekuasaan politik mereka. Mereka para preman, memang dipelihara untuk mengintimidasi siapapun yang mengancam kepentingan penambangan yang mereka jalankan. Nasib para preman itu sebenarnya tak ubahnya seperti kuli penambang pasir itu, berada di bawah dan kapanpun bisa dilenyapkan ketika ia mulai tidak patuh dengan majikannya. Cerita selesai, seniman perempuan itu gemetar memegang handycam yang tak lepas di tangannya.
Merapi dan Semesta Mistiknya
Babak terakhir dalam film ini tentu lebih tidak terduga. Riar berusaha menghadirkan perspektif mistisisme dari para pelaku spiritualis dalam bahasa lain bisa disebut, dukun, orang pintar, atau semacamnya. Mereka dihadirkan dalam bentuk praktik dan laku hidup yang mungkin bagi banyak orang sulit dipahami. Tetapi mereka ada, yakin dan teguh dengan pendiriannya. Beberapa praktik memunculkan laku performatif dengan penghayatan yang dalam. Lagi-lagi Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai pemeran utamanya. Ia menjadi spiritualis yang begitu menghayati kepercayaannya.
Gunung Merapi memang bagi sebagian orang bukan hanya subyek yang mati. Gunung ini juga dipercaya mempunyai nyawa, ia hidup sama seperti makhluk Tuhan yang lainnya. Bukannya dalam sebuah kitab suci diterangkan bahwa semua ciptaan Tuhan memang sebenarnya hidup dalam ordernya masing-masing. Dari hal itulah, layaknya dalam sebuah relasi satu dengan yang lainnya harus saling menyapa dan menghargai. Babak ketiga dalam film ini, sependek yang saya pahami, tampaknya ingin menggambarkan bagaimana relasi manusia dengan alam (Merapi) melalui pendekatan spiritualitas yang masyarakat miliki.
Dalam sebuah adegan tokoh spiritualis digambarkan sebagai sosok orang tua yang tampil dengan sedikit kata. Hampir setiap adegan ia membisu, namun dengan ekspresi yang kuat karakter tokoh ini menjadi hidup. Suasana horor menyelimuti setiap adegan dalam babak ketiga ini. Dalam kegelapan malam, tokoh ini seperti membawa sesaji, berdialog secara batin dengan mahluk-mahluk penghuni Merapi. Adegan yang sangat epik muncul ketika tokoh spiritualis berada di atas semacam tanggul di bantaran sebuah kali. Ia berjalan di atas tanggul dengan suasana senja yang mulai tenggelam. Dengan background Gunung Merapi yang tampak gagah dan perkasa. Ia meletakan sebuah sesaji sebagai bentuk penghormatan mahluk-mahluk yang ada di sana. Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Ketika ia beranjak pergi, sesaji yang ditinggalkan kemudian dikerubungi sosok mahluk halus penunggu berperawakan perempuan. Wajahnya menyeramkan dengan tata kostum khas setan-setan Jawa pada umumnya. Para setan mahluk halus atau apapun sebutannya, tampak lahap menyantap sesaji yang ditinggalkan. Sedangkan tokoh spiritualis tampak mengamati dari kejauhan. Kemudian melenggang pergi.
Adegan berganti pada wawancara dokumenter kepada tokoh spiritualis sesungguhnya. Ia merupakan pemimpin kelompok Jathilan klasik Kudho Taruno Desa Wonolelo dari lereng Merapi. Puthut Juritno namanya, lelaki paruh baya itu menceritakan bagaimana profesinya selama ini sebagai pawang jathilan dan orang yang dianggap tahu soal hal-hal mistik di sekitar Merapi. Baginya Gunung Merapi memang bukan gunung sembarangan, ia meyakini kita sebagai manusia harus tahu tata aturan dan sopan santun ketika berada di Gunung Merapi. Begitu juga ketika ia ketika akan menggelar sebuah pertunjukan jathilan bersama kelompoknya. Tentu ia akan melakukan ritual khusus, seperti puasa atau tirakat lainnya sembari menyiapkan sesaji yang sudah ditetapkan sebelum pentas digelar. Hal itu semata ia lakukan agar pertunjukan yang ia gelar berjalan lancar.
Tidak semua pertanyaan bisa Juritno jawab dengan gamblang. Yang jelas dari wawancara ini ia menegaskan bahwa di Gunung Merapi ada sosok penunggu yang mesti kita hormati. Penghormatan yang lazim tentu dilakukan dengan terus menjaga adat tradisi seperti merti dusun, nyadran, dan labuhan Merapi. Semua bentuk tradisi itu sebagai bentuk upaya untuk menjaga relasi dengan Merapi itu sendiri.
Lalu adegan dilanjutkan dengan pentas Jathilan. Tabuh gamelan disertai tarian prajurit perang Mataraman menjadi sajian dari sebuah pentas Jathilan. Kesenian ini sendiri awalnya berangkat dari sebuah latihan peperangan di masa perang Jawa meletus tahun 1830 an. Sejarahnya panjang. Yang pasti kekalahan Pangeran Diponegoro saat perang Jawa menjadi salah satu titik penting kesenian ini berkembang. Kemudian tarian kolosal dengan ritme tabuhan gamelan yang rampak dengan nada yang terus berulang menghasilkan nada yang menghanyutkan. Bahkan di titik tertentu membawa pendengarnya sampai trans bahasa lain dari ndadi atau kesurupan. Saat itulah dipercaya mahluk halus memasuki jasad penari sehingga kehilangan kesadaran. Dalam film ini, pentas jathilan ini digambarkan seperti pentas pada umumnya, maksudnya tidak settingan. Saat beberapa penari mulai kesurupan, tokoh spiritualis masuk ke dalam gelanggang pentas. Ia menari, sambil tetap membawa sesaji. Kemudian menghilang.
Film Monisme diakhiri dengan munculnya gerombolan preman yang dengan brutal menghabisi spiritualis. Alur film kembali pada adegan awal. Pembunuhan tragis di tengah hutan di bagian awal film ini, akhirnya terungkap apa sebabnya dan siapa sosok yang dihilangkan nyawanya dengan keji itu. Ia adalah sosok spiritualis yang dengan teguh memegang keyakinannya tentang daya besar Merapi. Keyakinan dan kepercayaan yang selalu dihadapkan dengan kepentingan modal. Begitulah tampaknya kenyataan selalu berjalan. Atau justru melalui kontradiksi-kontradiksi yang ada, harapan baik akan terus dilambungkan. Film ini berhasil membawa penonton pada satu kesimpulan, setidaknya bagi saya, bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang kita ideal kan. Dan film ini mempertegas itu semua dengan kompleksitas cerita yang ada.
Film berakhir. Soundtrack film Monisme berjudul “Semayam” karya Bin Idris membuat, sekali lagi, suasana akhir film ini menjadi sangat haru. Dengan nadanya yang mendalam ditambah liriknya yang jenaka, membuat film ini menjadi lengkap dan penuh. Agar pembaca tulisan ini merasakan getarannya. Saya sematkan lirik lagu di bawah sekaligus sebagai penutup tulisan ini.
Berjejak pada tanah bergulir dan merekah beriring dalam bising sunyi di bawah kakimu berdesakan, berjejalan, berhimpitan, membentuk barisan menunggu giliran di dalam dinginnya dekapanmu berselimut bebatuan dan lebur perlahan berpulang tanah berdiam dan merebah dan hening tak bergeming sunyi