Muhammadiah
Bila diamati secara serius dan lapang rasa, sedekah adalah inti amal orang Jawa. Bedanya –seperti disalah-pahami oleh banyak kepala– orang Jawa tidak bersedekah hanya kepada manusia, akan tetapi kepada semua makhluk Gusti Allah. Termasuk binatang dan makhluk gaib dari berbagai jenis. Ini terkait dengan kosmologi Triloka atau pandangan dunia orang Jawa dalam keseluruhannya yang dianut oleh keseluruhan orang-orang Nusantara.
Sejauh ini, kesatuan pandangan dunia di Nusantara biasanya berbasis pada bilangan tiga. Kemudian dalam perkembangannya untuk melihat peristiwa kemanusiaan yang berbeda-beda, bilangan tiga mengalih-rupa menjadi; empat (catur), lima (panca), delapan (hasta), sembilan (sanga). Pandangan dunia triloka ini secara fisik bisa dilihat dari atap rumah atau atap masjid kuno yang bersusun tiga, lima, dan sembilan.
Tri artinya tiga. Loka artinya dunia/tempat/hutan/ruang. Kadangkala istilah triloka ini beralih-rupa dalam istilah lain semisal Tribuana dan Tripurusa. Tiga dunia atau tiga ruang itu adalah; dunia atas, dunia tengah, dunia bawah. Epistemologi triloka dalam narasi tradisi Keislaman di Nusantara ini dibangun di atas sebuah ayat dalam al-Quran, Surat al-Naml: 17:
“Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib. Burung adalah lambang dari dunia atas. Manusia adalah lambang dunia tengah. Jin adalah lambang dunia bawah. Bagaimana konsepsi ini lahir? Tentu saja dari pengalaman berkebudayaan atau kesadaran tentang realitas serta keadaan geo-kultural-spiritual. Lain kesempatan akan dibicarakan.
Dunia Atas
Dunia atas adalah dunia langit. Menghargai dunia atas adalah dengan memantapkan kehambaan. Bahasa al-Quran-nya hablun minallah. Dalam narasi keilmuan Wali Songa, dunia langit ini disebut dengan istilah; baitul ma’mur. Pemegang perkara ini adalah Sunan Bonang. Ketersambungan dan kemenyambungan dengan dunia atas bagi orang Jawa diungkapkan dengan istilah manembah. Dalam perkakas simbolik sehari-hari, interaksi dengan dunia atas merupa dalam ibadah-ibadah mahdhah dan ibadah sosial-budaya, satu di antaranya: tumpengan. Tumpeng artinya tumuju ing pengeran (menuju kepada Allah Tempat Sandaran). Di atas nasi tumpeng yang berbentuk kerucut itu ada brambang/bawang dan cabai/lombok. Brambang artinya upaya memasuki dunia ambang atau dunia langit. Seperti halnya bawang yang artinya masuk ke dunia awang.
Langit ada tujuh lapis. Memasuki setiap lapisan-lapisan itu dilambangkan dengan lapisan-lapisan kulit bawang yang sangat tipis. Bentuk amal konkret memasuki tiap lapis langit itu adalah; pengakuan dan permohonan ampun atas tujuh; ‘ujub, sum’ah, riya, takabbur, kibr, hasud, dan kikir. Orang yang masih berpakaian tujuh dosa itu –bagi orang Jawa– doa-doanya akan lama sampai ke langit ketujuh. Cabai atau lombok itu sendiri melambangkan perintah untuk lumbu atau bersegera mendekat kepada Allah (wa sari’u ila maghfiratin min rabbikum [bersegeralah kalian untuk meraih ampunan Allah….]). Di bawah nasi kerucut itu ada banyak simbol-simbol dalam bentuk sayur-mayur dan lauk-pauk. Kesempatan lain akan dibabarkan.
Sedekah untuk dunia atas berbentuk zikir-zikir. Baik tasbih, tahmid, takbir, tahlil, hawqalah (la haula wal quwata). Sebagaimana anjuran nabi bahwa setiap sendi manusia yang berjumlah 360 itu ada sedekahnya. Orang yang tidak pernah berzikir, berarti tidak pernah bersedekah untuk dunia langit. Para wali menyumberkan amal sedekah langit ini dari al-Quran, Surat al-Mu’minun ayat 7:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (Seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.
Dunia Tengah
Dunia tengah adalah dunia manusia, disebut juga dengan baitul muharram. Sunan Kalijaga adalah wali yang membawahi perkara ini. Dunia manusia, bagi orang Jawa adalah dunia rasa. Amal memahami dunia rasa ini biasa disebut dengan istilah; at-tashaddur (pen-dada-an/merasakan dengan rasa]. Bagian ini disimbolkan dengan bagian dada manusia. Bergaul dengan sesama manusia tidak membutuhkan kalkulasi rasional, melainkan kalkulasi rasa. Bahasa arabnya itu tadi; at-tashaddur.
Sedekah kepada sesama manusia adalah sumbu pembuktian dari kesungguhan bersedekah kepada langit dan dunia bawah (akan diterangkan di bawah). Di atas telah disebutkan bahwa inti dari setiap ibadah atau upacara apa saja dalam Budaya Jawa adalah; doa dan terlebih lagi sedekah. Mau membangun rumah, menaikkan atap, masuk rumah, ada doa dan sedekahnya. Begitu juga mau nikah, mau sunatan/tetakan, tedak siten (bayi yang berumur setahun dan mulai berjalan menginjak tanah), khatam ngaji, dan mau apa saja, bagi orang Jawa semua ada sedekahnya. Hafal lafal doa untuk setiap hajat atau tidak, terkadang tidak terlalu dipusingkan oleh orang Jawa. Yang terpenting adalah; sedekahnya itu.
Karena itu, materi sedekah orang Jawa menempati derajat; sulit untuk diganggu-ganti. Ia terkait dunia rasa. Soalnya setiap hidangan sedekah, ada makna-maknanya yang berhubungan dengan ketulusan niat dan hajat si tukang sedekah. Nasi kuning, kacang panjang, ayam ingkung, telur, dan entah apa lagi namanya, semuanya adalah lambang dari zikir-doa-hajat-dan terlebih lagi upaya orang Jawa untuk; karyenak tyasing sesami (mengenakkan hati/tyas sesama manusia) atau amal penyelerasan diri dengan keseluruhan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Untuk diri sendiri, mengenakkan hati ini dilakukan dengan terlebih dahulu menghalau ketakutan akan kehabisan harta karena bersedekah. Karena itu, materi sedekah orang Jawa itu pasti yang mahal-mahal. Mulai dari ayam, kambing, sampai kerbau. Apa maksud dari itu semua? Kata guru saya:
“…Kalau mau bergaul dan mengenakkan hati sesama itu jangan tanggung-tanggung…. Kalau mau bersedekah itu jangan yang murah-murah…yang mahal sekalian..!!! Kowe serius po ra nyedhaki Gustimu lan anggawe enak-ing ati sedulurmu [kamu serius apa gak mendekati Tuhanmu dan mengenakkan hati saudaramu?]. Sedekah kok cari yang paling hemat…!!!”
Pada kasus-kasus tertentu, penitik-beratan sedekah pada derajat dunia sosial ini seolah menempati tingkat yang lebih penting dari pada sedekah untuk dunia atas. Bahasa kasarnya; terkadang di Jawa ada banyak orang yang baik kepada sesama dan tetangga tapi amat jarang terlihat “di masjid”. Berbaik sangka merupakan kata kunci di sini.
Dunia Bawah
Dunia bawah adalah baitul muqaddas/maqdis. Wilayah ini diampu oleh Sunan Giri [versi sebelumnya, ada yang menyebutkan diampu oleh Sunan Kudus]. Dunia bawah merupakan dunia makhluk-makhluk gaib dan para saudara dari bangsa binatang. Secara jasadiah, ia disimbolkan dengan kelamin manusia. Mengurusi perkara dunia bawah ini merupakan bagian yang sangat penting bagi orang Jawa. Orang Jawa harus akrab dengan dunia gaib, dunia mistik. Soalnya itu juga bagian dari kelengkapan kemanusiaan orang Jawa. Jin dan bangsa-bangsa binatang bukan musuh. Bila mereka berada di rumah seseorang, akan diajak untuk bermusyawarah; silahkan tinggal di sini tapi jangan mengganggu, saling menghormati. Sebagaimana halnya manusia; bangsa jin dan hewan juga tidak suka kekerasan “doa”.
Bagi orang Jawa, setelah bersedekah dan mengenakkan hati sesama manusia, maka sedekah juga diniatkan untuk para saudara sesama makhluk Allah dari bangsa gaib dan bangsa binatang. Untuk mereka, materi sedekahnya tidak seperti materi sedekah kepada manusia. Melainkan dalam bentuk tulang-belulang, sisa-sisa makanan/minuman yang tidak termakan ketika acara sedekah dilangsungkan. Terkadang juga dalam bentuk pembakaran kemenyan/dupa dan bunga-bunga yang sudah didoakan.
Apakah sedekah untuk mereka itu dilakukan supaya bangsa jin dan hewan-hewan itu melindungi manusia? Dengan kata lain; apakah sedekah untuk mereka itu dikeluarkan dengan niat meminta perlindungan kepada mereka? Tidak. Tentu saja tidak. Anggapan demikian adalah sangkaan yang ditudingkan oleh banyak kalangan, dan jelas keliru di sini. Bersedekah untuk bangsa dari dunia bawah diamalkan semata-mata karena mereka juga dianggap sebagai sesama makhluk Allah yang harus merasakan nikmat dan berkahnya menyantap hidangan yang terlebih dahulu telah didoakan dengan zikir, salawat, dan pepuji pada Illahi.
Menjadi wajar bila sampai hari ini, kita masih berjumpa dengan para sesepuh yang sebelum membangun rumah, mereka terlebih dahulu menanam tulang kepala kerbau di bagian tengah rumah. Lalu tulang- belulang lainnya ditanam di setiap sudut rumah dengan terlebih dahulu dagingnya dimasak dan dibagikan kepada para tetangga. Jika tidak kerbau, biasanya kambing, ayam, atau bahkan ikan. Terserah apa materinya. Intinya, mereka juga dianggap harus merasakan nikmatnya makan-minum yang terlebih dahulu telah dioles dengan doa-doa dan zikir-zikir. Kanjeng nabi sudah bilang bahwa makanan bangsa jin adalah tulang-belulang, bunga-bunga, dan semacamnya. Selain disantap oleh bangsa jin, nanti seluruh sedekah itu akan disantap juga oleh makhluk Allah lainnya seperti semut, cacing, dan semacamnya.
Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata; bahwasanya ia pernah membawakan pada Kanjeng Nabi SAW sebuah wadah berisi air wudhu dan hajat beliau. Ketika ia membawanya, Kanjeng Nabi saw bertanya; “Siapa ini?”. “Saya, Abu Hurairah”, jawabnya. Kanjeng Nabi saw pun berkata; “Carilah beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan bawakan padaku tulang dan kotoran.” Abu Hurairah berkata; kemudian aku mendatanginya dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya; “Ada apa dengan tulang dan kotoran?”.
Kanjeng Nabi saw menjawab; “Tulang dan kotoran merupakan makanan jin. Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin dan mereka adalah sebaik-baiknya jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkannya sebagai makanan” (HR. Bukhari no. 3860)
Tentang Dupa dan Saudaranya
Dupa, kemenyan, dan bunga-bunga, juga tidak hanya disajikan untuk para saudara-saudara sesama makhluk dari bangsa gaib. Ia juga mengandung makna simbolik yang khas. Jangan lupa –bahwa bagi orang Jawa– makna dari segala hal itu, ada tujuh lapis. Mulai dari yang paling harfiah sampai yang paling lungid (makna tingkat langit). Upacara rasulan yang melibatkan pembuatan nasi tumpeng, itu tidak hanya bermakna harfiah, namun juga makna tingkat langit yang terkait dengan hubungan rohani antara manusia dan pencipta. Bahasan ini di lain waktu akan dibabarkan.
Banyak orang salah memahami dupa dan kemenyan yang dibakar dalam upacara tertentu. Perlu dipahami dulu bahwa dupa itu merupakan benda simbolis yang dipergunakan atau dilibatkan dalam sebuah upacara tertentu sebagai ungkapan maksud-maksud mulia yang berdasar. Artinya, dupa dibakar bukan sebagai benda asal-asal bakar. Ia punya makna-makna tersembunyi yang bila dikaji akan tampak sangat rasional. Harap diperhatikan di sini, bahwa semua benda-benda tradisi, selalu merupakan simbol. Benda-benda itu –misalnya dupa– adalah sesuatu yang dipakai untuk mengatakan sesuatu yang lain. Dalam penelusuran saya, setidaknya ada beberapa makna dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang dibakar dalam berbagai upacara.
Pertama, dupa sebagai pernyataan bahwa upacara tersebut bersumber dari hati yang wangi. Kewangian hati itu diungkapkan dengan dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang memang juga wangi. Maksud “hati yang wangi” itu adalah hati yang tulus, ikhlas, bersih, tidak berharap apa-apa selain ridha Allah. Kedua, sebagai pernyataan bahwa para hadirin yang datang pada ritual tersebut merupakan orang-orang baik, yang hatinya wangi, persis wanginya dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Ketiga, upacara tersebut merupakan rangkaian doa. Doa pasti wangi, kecuali doa yang dipanjatkan untuk keburukan. Kewangian doa itu diungkapkan atau disimbolkan dengan dupa. Jadi, kalau di sana ada dupa dan kemenyan dibakar, serta bunga-bunga disajikan, itu artinya ada doa yang akan atau sedang dipanjatkan itu semata-mata untuk memohon kebaikan.
Keempat, dupa sebagai penegasan permintaan agar doa dikabulkan. Yang disasar pada bagian ini adalah kebul-nya si dupa atau asapnya itu. Kebul dimaksudkan di sini merupakan simbol dari harapan agar doa dikabulkan, hal ini digambarkan dengan kebul atau asap yang naik ke langit. Kalau sudah naik ke langit, ke arah mana lagi ia ditujukan kalau bukan kepada Tuhan? Begitulah doa. Ia terus melangit bersama rapalan doa yang dipermantra. Untuk maksud ini, di zaman ini terkadang dupa sebagai sebuah pralambang harapan keterkabulan doa diganti dalam bentuk rokok. Intinya tetap sama, yaitu ada asap yang dikebulkan. Bunga juga tetap dipakai.
Tentu saja ada makna-makna mulia lainnya di balik semua ini. Termasuk upacara sedekah laut dan sedekah bumi dan semisalnya. Semua makna upacara itu harus dibaca dalam tujuh tingkat makna atau saptanama. Intinya bahwa semua maksud di balik upacara itu ada hal-ihwal yang tidak sesepele tuduhan kemusyrikan. Jadi, jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan dulu. Lebih baik dikaji, dipelajari, dan ditabayyunkan.
Sunnah Nabi
Upacara keagamaan-kebudayaan yang dilakukan oleh orang Jawa hari ini boleh saja dituduh sebagai warisan peradaban pra-Islam. Ada pula yang menudingnya sebagai warisan kebudayaan Jahiliyah. Meski tuduhan itu bermasalah, akan tetapi harus diingat, bahwa pada masa Wali Songa, semua upacara warisan zaman sebelumnya itu telah mengalami Islamisasi seperti halnya tradisi memotong kambing orang Arab pra-Islam untuk menyambut kelahiran bayi, bahkan mereka tidak hanya memotong hewan. Nantinya darah hewan tesebut dialirkan ke kepala bayi yang baru dilahirkan. Lalu dagingnya dipersembahkan untuk berhala-berhala. Seperti halnya juga kumpul-kumpul pada hari Jumat yang jamak terjadi di kalangan bangsa Arab.
Ketika Islam datang, Kanjeng Nabi mengislamisasi kebudayaan tersebut. Upacaranya tetap dilangsungkan. Hewan Qurban untuk kelahiran anak tetap dipotong, akan tetapi, darahnya tidak dialirkan ke kepala bayi, melainkan dialirkan ke tanah. Lalu rambut bayi dicukur, dan daging hewannya dibagikan untuk dimakan bersama. Tradisi kumpul-kumpul hari Jumat juga tetap dijalankan, namun, diganti dengan ibadah salat Jumat di masjid. Dari sini, tampak bahwa merangkul kebudayaan lokal merupakan sunnah nabi. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian kreatif yang tiada henti berdasarkan kosmologi agama dan kosmologi masyarakat setempat.
Untuk Kanjeng Nabi SAW dan ahli bait-nya serta para wali di tanah Nusantara, Al-Fatihah.
Wallahu a’lam.
* Penulis adalah seorang muslim Jawa
Sejak peristiwa eksekusi Seh Siti Jenar juga Hamzah Fansuri, banyak orang menautkan ajaran “manunggaling kawula gusti” atau “wahdatul wujud” dengan tokoh sufi syahid Al Hallaj yang masyhur. Bahkan orang macam Michael Feener berusaha keras untuk membuktikan jejak-jeak ajaran Al Hallaj di Nusantara. Namun, dari berbagai temuan dan pembacaan naskah, justru menunjukkan secara kuat sebaliknya ihwal pengaruh kuat gagasan sufi Ibnu Arabi, sang syaikhul akbar yang tak kalah sohor.
Martabat Tujuh
Di sebuah naskah popular yang sering diatribusikan pada nama besar “pujangga panutup” Ronggawarsita sebagai pengarangnya, Serat “Wirid Hidayat Djati” atau dengan nama “Serat Makripat” menurut salinan P.W. Van Den Broek, ajaran tentang “martabat tujuh”, yakni ajaran ihwal tujuh tahap tajalliat Allah sebagaimana dialamatkan sebagai ajaran sufi agung Ibnu Arabi itu, benar-benar terpapar secara gamblang. “Istilah-istilah” kunci tiap martabatnya bahkan meminjam secara harafiah dari konsep martabah tujuh, atau di Jawa dikenal dengan nama “martabat pitu”, seperti (1) ngalam Ahadiyat, (2) Ngalam wahdat, (3) ngalam wahidiyat, (4) ngalam arwah, (5) ngalam misal, (6) ngalam Ajsam, dan (7) ngalam insan kamil. Atau juga diterangkan pada halaman lain dengan penjelasan, (1) sajaratu yakin/kayun atau atma, (2) Nur Muhammad atau nur (3) Miratul Kyai atau rahsa (4) Roh ilapi atau suksma, (5) kandil atau nafsu, (6) dharrah atau budi, dan terakhir (7) kijab atau jasad.
Bahkan secara eksplisit, terutama di halaman awal “Serat Wirid” ini, tiap-tiap “martabat” dijelaskan, diwariskan, dinisbahkan, dan diwejangkan oleh para wali tanah Jawa—selepas meninggalnya Kanjeng Sunan Ampel Denta—seturut dengan jenjang dan “pangkat” tiap martabat yang disandang oleh delapan wali Jawa, yang terus tergantikan dari zaman Demak, hingga zaman Pajang dst. Dimulai dari Sunan Giri yang bertugas mengajarkan keber-‘ada’-an Dzat (baca: martabat ahadiyat), Sunan Tandhes, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kajenar, Sunan Geseng, dan seterusnya.
Bahkan sang Pujangga Ronggawarsita, penyusun serat ini, mengaku hanya menyampaikan ajaran para wali tanah Jawi dalam membabar “wiji” ngelmu kasampurnan (baca: martabat insan kamil) yang didasarkan pada dalil, kadis, ijma, dan kiyas—seperti kita kenal sebagai dasar keyakinan ke-Islam-an Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini sekaligus menepis tuduhan Syi’ah yang sering dilontarkan masyarakat terhadap keyakinan para Wali.
Di dalam “Suluk Wujil” karangan Sunan Bonang, bahkan disebutkan terdapat seorang guru yang mengajar seorang santri bernama Wujil—sering diidentifikasi sebagai sosok Sunan Bonang sendiri—disebut dengan gelar “Ratu wahdat” (martabat kedua)–diterjemahkan secara salah oleh Prof. Poerbatjaraka sebagai “Raja selibat” (wadat)—sebuah gelar yang mengacu pada jenjang “martabat kedua” dalam konsep gradasi ruhani keberadaan semesta dalam relasinya dengan wujud Allah (martabat tujuh). (Pada 1&2, Suluk Wujil).
Beberapa sarjana telah berusaha menjelaskan bagaimana konsep ajaran “martabat tujuh” ini beredar dan mempengaruhi tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri di Aceh, Raja Ali Haji di Riau, Hasan Mustapa di Sunda, maupun Ronggawarsita di Jawa. Konon, dalam karya-karyanya Saikhul Akbar Ibn Arabi tidak pernah secara eksplisit memaparkan tentang konsep “martabat tujuh”.
“Serat Centhini” juga menguatkan koherensi ini. Misalnya di halaman terkahir Jilid I “Serat Centhini” terbitan Yayasan Centhini Yogyakarta (1985, Jilid I: hal 332)), Ayah seorang tokoh bernama Mas Cebolang, yang tinggal di daerah Sokayasa, Banyumas, dikenal dengan sebutan “Seh Akadiyat” (Martabat pertama). Atau di bagian halaman lain “Serat Centhini” juga menyebutkan seorang wiku yang tinggal di gunung Argapura, yang tiba-tiba muncul seketika di hadapan Jayengsari dan Niken Rancangkapti saat beristirahat di gunung itu, yakni seorang asketis bergelar “seh wahdat” (martabat kedua), seorang wiku Argapura yang akan memberi wejangan pada Jayengsari terkait pengetahuan dzat, sifat, asma, dan af’al Allah, serta jalan menuju-nya (pupuh 72 Dhandhanggula, pada 28 & pupuh 73 Asmaradana, pada 1-47, hal. 259 & 261-5).
Malah dalam bait-bait lebih rinci di Serat Centhini, khususnya pada tembang Asmaradana ke-48 (jilid 1), Jayengresmi saat masih tinggal di gunung Tanpomas bahkan sempat menerangkan secara detil satu-persatu rincian konsep “martabat tujuh” (kasapta martabah) kepada Niken Rara Ruhkanti, yang wejangannya terkait tiap martabat memenuhi hampir seluruh isi tembang yang terdiri dari 40 bait penjelasan, yakni untuk menghibur Niken Ruhkanti yang sedang dirundung kesedihan setelah di tinggal wafat sang ayah (hal. 160-164).
Beberapa sarjana telah berusaha menjelaskan bagaimana konsep ajaran “martabat tujuh” ini beredar dan mempengaruhi tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri di Aceh, Raja Ali Haji di Riau, Hasan Mustapa di Sunda, maupun Ronggawarsita di Jawa. Konon, dalam karya-karyanya Saikhul Akbar Ibn Arabi tidak pernah secara eksplisit memaparkan tentang konsep “martabat tujuh”. Baru kemudian oleh para muridnya lah gagasan-gagasan ini menemukan bentuk secara lebih defenitif yang kemudian hari menyebar dan dikenal di Indonesia. Awalnya adalah kitab “Insan Kamil” yang dikarang oleh “murid” Ibnu Arabi di India yang bernama Abd Alkarim Al Jilli, dan kemudian mendapat skematisasi dan sistemasi yang final di tangan seorang “murid” Jilli, Alburhanphuri, yakni dengan judul; “Tuhfatul Mursalah Ila ruh in Nabiy” atau sering disebut secara singkat dengan “tuhfah”.
“Serat Centhini” menyebut kitab “Insan Kamil”—merujuk pada karya Al Jilli di atas–sebagai salah satu kitab yang dipelajari dan dikuasai oleh Seh Amongraga, tentu selain kitab tasawuf lain yang juga disebutkan seperti Adkiya dan Holomoddin. Yang pertama berjudul lengkap “Hidayatul Adzkiya ila Tariqil Auliya” karangan Zainuddin Al Malibari, sedangkan yang kedua maksudnya “Ihya Ulumuddin” karya Imam Ghazali yang terkenal. Selain itu, A.H. Jhons telah menemukan manuskrip “Serat Tuhfah” atau “Serat Tupah” yang merupakan terjemahan atau gubahan “Tuhfatul mursalah Ila Ruhin Nabiy” karya Burhanpuri yang telah digubah oleh orang Jawa dalam bentuk tembang macapat yang terdiri dari empat pupuh (tembang), dan 131 ‘pada’ (bait). Kitab tipis ini baru saya dapatkan akhir-akhir ini, sekitar 4 bulan kemarin. Bahkan, jika ini diterima, di serat lain yang judunya hampir mirip, berjudul “Kitab Topah” yang diterbitkan Penerbit Soemodidjoyo Mahadewa, Yogyakarta (1957), Ali bin Abi Thalib sendirilah yang datang (secara ruhani) ke Jawa menerangkan ilmu “martabat tujuh” di pulau ini.
Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr, doktrin kesatuan (baca: tauhid) atau sering dikenal sebagai “manunggaling kawula gusti” dalam kasus kita, sebenarnya, bukan persatuan wujud—karena yang benar-benar ‘wujud’ hanya Allah.
Dari karya-karya murid Ibnu Arabi inilah, atau juga dari sebagian kutipan karya sang syeikh sendiri, ajaran Martabat Tujuh atau kadang sering dikenal dengan ajaran “wahdataul wujud” menyebar ke Nusantara secara umum, termasuk di Jawa. Ajaran ini menyebar awalnya mungkin, setidaknya yang bisa kita identifikasi, melalui jalur tarekat Syattariah (juga Isbandiyah atau Naqsabandiyah), sebuah tarekat yang diikuti oleh Seh Amongraga seperti diceritakan Centhini (hal. 56, jilid 6). Kita juga mendapati bahwa Sang Pangeran Diponegara, sang tokoh Perang Jawa, seperti dicatat Peter Carey, juga membaca secara giat “Serat Topah” dari jalur Guru Syattariahnya, Kyai Taptojani, Mlangi. Bagan “daerah” (denah mistik terkait zikir) yang digambar Pangeran Diponegara di buku Babad Tanah Jawi beliau (1838) menunjuk pada keterkaitan tarekat Syattariah dan Naqsabandiyah (Carey: 2014, 38), seperti dalam kasus Seh Among raga. Hal ini persis seperti dijalani Paman ronggawarsita, Ronggasasmita, yang juga mengamalkan wirid syattariah dengan tekun, atau bahkan mungkin juga malah Sang Pujangga sendiri.
Ajaran martabat tujuh inilah yang kemudian membentuk struktur pandangan dunia kejawaan, ihwal manusia, alam, dan Tuhan, yang sayangya justru oleh para pakar seperti Zoetmulder dan Harun Hadiwiyono, justru masih dipautkan dengan konsep Hinduisme yang jauh seperti aliran Vedanta, Sankara, hingga Ramanunja, yang sebenarnya tak punya riwayat dan bekas pemikiran nyata di Pulau ini. Akibatnya, kejawaan mengalami beban sebutan peyoratif “panteisme” yang tak punya padanan pas dalam khasanah pemikiran tasawuf Islam Jawa karena benar-benar mereduksi gagasan padat seperti dirumuskan para wali tanah Jawi.
Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr, doktrin kesatuan (baca: tauhid) atau sering dikenal sebagai “manunggaling kawula gusti” dalam kasus kita, sebenarnya, bukan persatuan wujud—karena yang benar-benar ‘wujud’ hanya Allah. Ia melainkan hanya semata penjabaran konsep “kedekatan” (qurb) seperti tergambar konsep lapis-lapis syahadat (baca: sadat Jati) seperti yang diterangkan di “Serat Tuhfah” versi macapat. Ia hanya jalan mendekat, melalui (1) faraid (ibadah fardu), (2) nawafil (ibadah sunnah), (3) qoba qausain (dua busur panah), dan (4) au adna (atau lebih dekat)—(Sinom, hal. 78). Karena pada dasarnya, menurut lapis dan tingkatan syahadat kita, pada akhirnya keber-‘ada’-an mahluk bukanlah wujud, melaikan maujud, dan oleh karenanya selalu dalam kondisi “faqir” akan status “ada”.
Seperti telah dirumuskan oleh leluhur orang Jawa, pada akhirnya memang secara hakiki “ora ana apa-apa kejaba dudu”. La maujuda illallah.
Allahu A’lam.
Irfan Afifi, Senin 16 April 2018
Entah jin apa yang membimbing saya pada 1 November 2017 untuk pergi ke Toko Buku Suara Muhammadiyah yang terletak di tengah Kota Yogyakarta. Niat saya hanya satu, membeli buku dengan judul di atas (di luar tanda kurung) yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura. Kebetulan sudah lama sekali saya ingin mengetahui sejarah Kotagede.
Suatu malam setelah Idul Adha pada tahun yang sama, di dekat kawasan Masjid Gedhe Mataram, seorang kawan menyebutkan sebuah nama sebagai salah satu rujukan. Dan suatu malam dalam perjalanan ke sebuah pengajian atas meninggalnya seorang tetangga, masih di Kotagede, seseorang berkata tentang adanya seorang yang gemar memotret acara di Kotagede.
Ada kata kunci di dalam ceritanya: Orang Jepang dan Nakamura.
Buku seharga Rp136.800,00 setelah didiskon Rp7.200,00 itu tentu tidak murah. Tapi, saya benar-benar ingin membacanya.
Dari awal, saya begitu yakin kalau ini merupakan buku yang sangat penting, apalagi mengingat rentang waktu kejadian yang diteliti, yang kemudian menjadi penjelasan di bawah judulnya: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010.
Ditambah lagi, orang-orang Muhammadiyah yang hidup di sekitar saya, maka, membaca penelitian yang dibukukan, yang dilakukan dari tahun 1970 sampai 1972 untuk keperluan disertasi Pak Nakamura itu, serta tambahan tulisan beliau ketika bolak-balik ke Kotagede setelah 1972 sampai tahun 2010 bisa menjadi nutrisi tambahan pengetahuan bagi saya dalam melihat peran sebuah organisasi yang disebut reformis terhadap individu, juga sebaliknya: peran individu terhadap organisasinya.
Kupasan saya terhadap buku yang berjumlah 487 halaman ini, yang telah saya baca kata perkata dari halaman awal sampai bagian “Masa Depan Muhammadiyah” tentu jauh dari kritik layaknya tulisan akademis. Semoga penjelasan di bawah judul di atas kiranya tepat.
Kesan yang saya dapatkan dari membaca buku ini akan saya bagi menjadi dua, yaitu: kesan terhadap penulisnya dan kesan terhadap apa yang ditulisnya. Saya tahu, kedua hal ini agak sulit untuk dipisahkan.
Sebagai orang Jepang, kesan kesungguhan, sabar, setia, serius, dan sangat memerhatikan hal yang kecil atau detil sepertinya terwakili dalam diri Nakamura yang menyelesaikan sarjananya dalam bidang filsafat serta tiga pascasarjana dalam bidang antropologi (dua master dan satu doktoral). Keempat “pelajaran berat” tersebut tentu sulit untuk diselesaikan tanpa adanya kecintaan yang besar terhadap orang-orang atau lembaga yang ditelitinya. Dalam hal ini tentu saja: Indonesia, Islam, Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama.
Menggeluti objek penelitian itu sebagai orang luar, saya yakin telah memberi tantangan yang sangat besar baginya. Mungkin karena hal itulah, karya yang dihasilkannya juga sangat besar dan mampu menjadi rujukan bacaan bagi anggota Muhammadiyah maupun yang bukan, Muslim atau bukan, Indonesia atau bukan, sekarang atau yang akan datang.
Jika saya mengibaratkan Muhammadiyah sebagai pohon beringin yang mampu menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar, maka, Nakamura adalah bulan yang dengannya kita bisa melihat keadaan si pohon secara agak terang dalam remang malam.
Mungkin Anda berpikir ini adalah penilaian yang sangat berlebihan, namun saya ingin bertanya selama lebih dari satu abad usia Muhammadiyah, adakah orang di dalam Muhammadiyah sendiri yang telah berhasil menulis sejarah salah satu organisasi terbesar di Indonesia itu dari zaman pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, reformasi, sampai pasca-reformasi dengan melakukan penelitian sosial yang begitu mendalam dan lama layaknya jalaran akar dan usia pohon beringin?
Saya rasa belum ada, sambil menikmati Cokelat Monggo di teras Masjid Gedhe Mataram, mungkin bisa ditambahkan sebuah pertanyaan, mengapa sang antropolog yang menempuh pendidikan formal di Jepang dan Amerika itu terkesan ingin turut serta dalam memajukan Muhammadiyah?
Jumat, 3 November 2017, dua hari setelah membeli buku yang diterjemahkan dari penerbit di Singapura ini, saya harus mencari satu buku lagi untuk seorang anggota Muhammadiyah. Di kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, dengan berharap bisa mendapat harga yang lebih murah, saya bertanya apakah buku ini juga dijual di sana. Saya agak kecewa, teryata tak ada. Kekecewaan saya sebenarnya lebih kepada, bagaimana mungkin, sebulan setelah buku ini diluncurkan, tidak ada usaha dalam pengadaan buku ini untuk dijual ke masyarakat umum (minimal bisa dimiliki aktivis Muhammadiyah) yang tinggal di wilayah pusat penelitian buku ini? Saya, hanya bisa meninggalkan saran ke seorang staf yang menyambut kedatangan saya dengan hangat.
Memang, buku ini tak akan bisa dinikmati secara penuh oleh buruh perak, bakul di Sargedhe, para turis di Pesareyan, dan mungkin juga para jamaah di masjid yang arah kiblatnya telah bergeser sekali. Tapi, setidaknya buku yang bagian awalnya pernah diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada ini bisa terus dibicarakan di sekolah-sekolah, pengajian-pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang setidaknya berhubungan dengan Muhammadiyah. Tanpa itu, kita benar-benar akan kehilangan sejarah yang sangat diperlukan untuk melihat masa kini dan masa depan sebuah gerakan sosial keagamaan.
Di buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah ini, begitu banyak pengantar yang sangat membosankan. Isinya banyak yang megulang apa yang dibahas di dalam buku ini. Sehingga bagi pembaca yang agak malas karena mungkin tak punya banyak waktu, membaca pengantar yang berasal dari teman-teman sang penulis, kemungkinan sudah bisa menangkap inti dari buku ini, apalagi jika ditambah membaca bagian Pascawacana-nya.
Masuk ke bagian karya Nakamura, ia benar-benar sangat disiplin dalam menggelontorkan cerita berdasarkan kronologi waktu dan memasukkan kejadian-kejadian secara detil di dalamnya. Sayangnya, cara bercerita di dalam buku ini sangatlah akademik, sehingga saya bisa sedikit mengerti jika buku yang berkualitas tinggi ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kutipan, catatan kaki, dan statistik terasa sangat memenuhi buku yang bersampul foto pohon beringin dengan dua orang Jawa di depannya pada tahun 1896 yang arsipnya dirawat oleh sebuah lembaga dokumentasi dari Belanda.
Untungnya, Nakamura sering menyajikan kotak-kotak cerita yang isinya lebih ringan, semacam catatan harian yang sering diselipkan di 14 bab yang ada di dalam bukunya. Salah satu kotak yang menjadi favorit saya adalah cerita tentang Nakamura yang malam-malam mengintip pemuda yang bergoyang di dalam sebuah rumah ketika menyetel lagu dari The Beatles. Dari sini saya mendapat gambaran tentang “kenikmatan Barat” yang malu-malu ditampilkan ke permukaan yang dipenuhi syiar keagamaan di Kotagede pada tahun ‘70-an. Saya tidak tahu apakah kesan itu yang membuat Nakamura tertawa, tapi saya pribadi agak geli membacanya. Lumayan, ada sedikit hiburan ketika membaca buku yang agak berat ini.
Foto-foto yang selalu ada di setiap bab tentu saja bisa melayangkan imajinasi pembaca tentang situasi sosial Kotagede sebelum tahun ‘70-an, juga setelahnya, terutama foto lama yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan. Ada kesan agama memang bekerja dengan gembira dalam masyarakat pada zaman itu. Untuk foto di tahun 2000-an, ada beberapa yang saya temukan kurang memberi kisah yang dalam dan agak keluar dari kisah utama, misal foto di depan kasir Cokelat Monggo atau foto profil orang, bukan kegiatan kelompok.
Mengenai kesalahan tulisan, kesalahan dalam menjelaskan letak sebuah bangunan, saya rasa merupakan masalah teknis yang tidak mengubah ide dasar buku ini dalam menjelaskan peran penting Muhammadiyah di Kotagede.
Selain itu, kejujuran Nakamura dalam mengkritik pendahulunya dalam melihat Islam secara umum, sekaligus kerendahan hatinya dalam memuat tulisan yang mengkritik pemikirannya, saya rasa sangat pantas untuk diapresiasi.
Saya sendiri merasakan kekurangpuasan ketika Nakamura mengukur kemajuan dakwah Muhammadiyah dengan pertumbuhan masjid dan aktivitas keagamaan setelah tahun 1972 (halaman 293). Bagi saya, jumlah bangunan dan kegiatan, kuranglah tepat dijadikan dasar bagi Muhammadiyah yang sebelumnya pernah dijelaskan sebagai sebuah organisasi reformis dan pembebasan. Namun, Nakamura sendiri mengakui kesulitannya: “sulit untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dakwah secara persis, karena, pada akhirnya, hasilnya merupakan masalah hati nurani individu.” Jika sulit, mengapa perlu diukur?
Hal lain yang saya temui di dalam buku ini adalah adanya hubungan antara isu Muhammadiyah di masa awal dan kini. Saya pikir, ini bisa membuktikan tidak adanya kemajuan pola pikir secara besar di dalam organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 itu. Salah satu contohnya adalah komunisme yang “diperangi” oleh Muhammadiyah pada tahun 1965 tampaknya masih “diwariskan” oleh orang-orang atas di dalamnya di tahun 2017 ini, padahal suasana politik di Indonesia sudah jauh berbeda dengan tahun sebelum 30 September 1965.
Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana pertentangan antara generasi muda Muhammadiyah sejak setelah reformasi yang lebih condong kepada pendekatan budaya daripada generasi tua yang lebih ingin mempertahankan nilai-nilai awal organisasi yang dekat dengan Partai Amanat Nasional ini dalam hal ketidaksetujuan mereka terhadap kesenian tradisonal.
Nakamura berhasil menggambarkan perbedaan pandangan ini melalui penelusurannya terhadap apa yang terjadi di Festival Kotagede sejak tahun 1999.
Sesungguhnya begitu banyak “catatan” tentang Muhammadiyah dalam buku ini, termasuk dimuatnya kutipan penting dari edisi Brosur Lebaran yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah di Kotagede setiap menjelang Idul Fitri yang berisi tulisan-tulisan yang bersifat reflektif.
Jika Nakamura menginginkan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman, maka saya yakin itu bisa dimulai dengan melihat kembali pemikiran kritis darinya atau dari orang-orang Muhammadiyah sendiri yang selama ratusan tahun ini masih nyangkut di pohon beringin.
“Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin” adalah sebuah adegan yang indah di Kota Gede, di sana ada sebuah pohon Beringin yang ditanam oleh Sunan Kalijaga, lalu dari atas pohon Beringin munculah Bulan Sabit yang merupakan simbol Islam, hal ini sangatlah pantas untuk menggambarkan perkembangan Muhammadiyah di Kota Gede yang telah lama diteliti oleh Mitsuo Nakamura.
Tujuan penelitian Nakamura di Kota Gede adalah untuk menulis sejarah sosial kota kuna di Jawa. Menurutnya pastilah ada sebuah proses urbanisasi tradisional yang memiliki kekhususan tersendiri –yang berbeda dengan urbanisasi sosial di Barat maupun Jepang– dalam proses penelitian tersebut ia menemukan sekelompok orang yang memiliki falsafah kebudayaan yang maju daripada daerah lainnya di Jawa yang terkesan memiliki budaya –yang negatif– seperti pemalas, tidak menepati janji, jorok dan lain sebagainya. Menurutnya Kota Gede adalah sebuah tempat yang menarik, sebuah kota tua yang telah berusia hampir lima abad namun disisi lain mempunyai struktur sosial masyarakat yang relatif lebih maju, hal ini tercermin dari budaya masyarakatnya.
Temuan tersebut merupakan ihwal yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh Mitsuo Nakamura, diluar imaji mengenai masyarakat Indonesia pada umumnya yang pemalas dan tidak tepat janji, ternyata masih terdapat satu golongan/kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran sosial maju, yang ia temukan pada komunitas masyarakat Muhammadiyah di Kota Gede. Mereka kebanyakan tidak begitu kaya –di jaman Orde Baru– tetapi mereka memiliki etos kerja yang tinggi serta kesadaran dan apresiasi yang tinggi terhadap pendidikan, anak-anak mereka di masa itu (baca: Orba) telah banyak yang disekolahkan hingga perguruan tinggi. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu struktur sosial lama –di jaman Orba– di Kota Gede tergantikan oleh struktur sosial baru yang diisi oleh generasi-generasi barunya, di sana ada Dokter, Pengusaha sukses, Sarjana Ekonomi dan lain sebagainya yang merupakan masyarakat lokal yang umumnya merupakan anggota dari Muhammadiyah.
Mitsuo Nakamura juga memiliki perhatian khusus terhadap Islam di Indonesia –khususnya Muhammadiyah– yang memiliki perkembangan sangat unik. Bila merujuk teori-teori modernisasi, banyak tesis yang membuktikan bahwa ketika modernisasi hadir di tengah masyarakat, maka sekulerisasi terjadi, masyarakat menjadi lebih rasional dan agama mulai ditinggalkan. Tetapi sejarah yang terjadi di Indonesia terutama mengenai gerakan Islam yang diwakili oleh Muhammadiyah itu memiliki kekhususan dan keunikan tersendiri, gerakan modernisasi yang diwakili oleh Muhammadiyah kala itu cukup kuat merestorasi tatanan sosial yang ada, namun disisi yang lain gerakan tersebut –yang di banyak negara beringan dengan subordinasi nilai-nilai spiritualitas– ternyata mampu bersinergi dengan nilai-nilai Keislaman di Indonesia. Gerakan Muhammadiyah di Indonesia telah mengeliminir tesis modernitas yang membagi spiritualitas dan rasionalitas sebagai prasyarat modern. Ihwal inilah yang membuat Mitsuo Nakamura tertarik untuk menulis Muhammadiyah sebagai “Bulan Sabit (yang) Terbit di Atas Pohon Beringin”.
***