Menu

mulat sarira

1

Manusia cenderung lupa bahwa ia memiliki takdir untuk menjelmakan keseimbangan dan ketidakseimbangan. Manusia memakan, menanam dan kemudian mengambilnya kembali atau memanennya. Di satu sisi manusia memperbaiki di sisi lain merusak.

Jika manusia dalam konteks syari’at ditugaskan untuk berpuasa, maka memiliki banyak kandungan maksud dari perintah-Nya. Intropeksi diri, menahan diri, berpikir ngegas ngerem, maksudnya berpikir dua arah, melihat dari berbagai sudut pandang, dan lain sebagainya.

Meminjam istilah Emha Ainun Najib, bahwa ketika manusia sudah bersyahadat maka saat itu juga manusia berpuasa sepanjang masa. Proses pembentukan kesadaran inilah yang kemudian – apabila dipahami menjadi satu gerak hubungan hamba dengan Tuhan. Manusia dengan manusia yang lain kemudian sikap manusia dengan alam.

Ketika manusia sudah bersyahadat maka saat itu juga manusia berpuasa sepanjang masa.

Dalam rukun islam, puasa adalah bagian terpenting untuk melengkapai syari’at islam. Berbagai syarat Puasa dijelaskan dalam ilmu fiqih. Dalam dari pada itu puasa memiliki korespodensi atas pengendalian diri.

Dikatakan oleh Syekh Khaled Bentounes bahwa manusia memiliki dua kutub yang bertentangan. Kutub negatif dan kutub positif. Dan pada dasarnya manusia memiliki sedulur papat limo pancer dalam konteks jawa. Sehingga menjaga keseimbangan di dalam diri perlu adanya pengendalian diri.

2 

Terminologi tersebut sangat tepat untuk memberikan makna ruhaniah dari puasa-puasa kita. Puasa berarti menjaga. Menjaga diri dari hawa nafsu. Mengolah diri untuk berpikir lebih luas. Memiliki cakrawala pandangan yang luas. Leluasa dan tidak sempit pandangannya. Bukan hanya perihal makan dan minum, tetapi menjaga dari segala hal yang bersifat destruktif. Baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Puasa adalah ruang untuk mengolah diri agar lebih dalam pandangan bathiniahnya dan lebih luas pola pikirnya. Tidak “cekak nalar,” pun defisit pengetahuan dan etika. Mengapa umat muslim diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan? Tidak lain salah satu jawabannya adalah untuk menahan diri dan mengendalikannya. Baik jiwa dan raganya.

Puasa adalah ruang untuk mengolah diri agar lebih dalam pandangan bathiniahnya dan lebih luas pola pikirnya.

Para ulama’ fiqih membagi tingkatan puasa menjadi tiga tingkatan: Puasanya orang umum, puasanya para wali, dan puasanya para Nabi dan Rasul. Secara umum puasa hanya menahan makan dan minum, hawa nafsu. Tetapi puasa memiliki jangkauan yang lebih luas, menjaga pola pikir dan pola sikap, khususnya di dalam hati.

Di dalam peradaban jawa dikenal dengan bertapa atau tapabrata. Bertapapun beragam jenisnya. Dan prosesnya tidak hanya menjaga dari makan dan minum tetapi menjaga diri dari penyakit hati.

Dengan kata lain puasa adalah bagian dari proses membersihkan diri. Kendati demikian puasa ibarat macapat (membaca empat hawa nafsu yang ada di dalam diri). Karena dengan puasa maka pribadi manusia mampu menempatan Ammarah, Lawwamah, Sufiyah dan Mutma’innah pada ruang yang semestinya.

Konsep pengenalan dari Tuhan yang berupa pengenalan diri adalah proses puasa sepanjang masa, sehingga manusia mampu mengenali diri sendiri. Dalam hal ini dikenal dengan mulat sarira atau man arafa nafsahu arafa rabbahu atau mawas diri.

3 

Setiap manusia memiliki kecenderungan di dalam pikiran dan hatinya, maka membutuhkan konsep penjagaan diri agar mampu mengarahkan kecenderungannya tersebut. Dan salah satunya adalah puasa. Jika para ulama’ sufi mengatakan ada sholat sepanjang waktu. Pun begitu dengan puasa.

Karena puasa adalah pengendalian diri. Karena puasa adalah wujud dari tuas penyeimbang. Dan puasa adalah ruang yang sangat lebar untuk berbenah menuju sikap meta – etik. Maka Ramadhan menjadi ajang untuk melatih kembali puasa yang sebenarnya.

Keajegan menata hati dan pikiran adalah wujud pancaran cahaya puasa.

Keajegan menata hati dan pikiran adalah wujud pancaran cahaya puasa. Menahan diri dari makan dan minum memiliki hikmah untuk memilah kebaikan dan manfaat (Thayyibun) dari apa yang dimakan.

Menjaga hati dan pikiran dari berbagai sikap yang buruk memiliki hikmah untuk memperbaiki pola sikap dan pola pikir sehingga menjadi naral budhi dari akal budhi. Pada akhirnya akan berwujud moral luhur (Akhlak al Karimah).

Dan harapannya semoga kita mendapatkan keberkahan dari perjalanan puasa kita baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan, pun menjadi pengingat bagi saya untuk selalu mawas diri dan mengenali diri, agar tiada berhenti belajar.

 

Allahumma Amin…