Muslim Indonesia
Syahdan, pada 2045 kelak Indonesia akan memanen generasi produktif atau biasa disebut Bonus Demografi. Disebut demikian karena jumlah usia produktif mengisi ruang paling besar dalam piramida penduduk, jauh lebih besar dari usia tak produktif, yaitu anak-anak dan manula. Sayangnya, tak ada diskursus yang memadai di kalangan umat Islam dalam mempersiapkan generasi emas itu. Padahal, umat Islam saat ini berjumlah 87,2 persen dari total penduduk Indonesia yang sekira 209,1 juta.
Intelektual muslim dan kalangan Islam politik pun agaknya abai mendiskusikan bagaimana generasi Islam masa depan. Di tengah akses terhadap pendidikan yang kian terbuka, saluran terhadap informasi dan pengetahuan yang makin memadai, apakah bonus demografi Muslim Indonesia bakal menyumbang kemajuan bagi dirinya maupun peradaban manusia pada galibnya, atau malah sebaliknya?
Menguatnya Islam politik sebagaimana tampak dalam diskursus publik akhir-akhir ini tidak dilambari visi yang jelas mengenai arah transformasi yang ingin dituju.
Menguatnya Islam politik sebagaimana tampak dalam diskursus publik akhir-akhir ini tidak dilambari visi yang jelas mengenai arah transformasi yang ingin dituju. Dalam kebangkitan parade Islam politik itu nyaris tidak dibahas kekuatan Islam akan mengubah masyarakat buy sustanon 250 injection masa depan menjadi seperti apa.
Inilah kekosongan diskursus yang membuat kita kangen pada perdebatan intelektual muslim tanah air di akhir 80-an sampai 90-an mengenai transfromasi masyarakat dalam terminologi ‘paradigma Islam’, ‘paradigma profetik’, maupun ‘pribumisasi Islam’. Segala daya upaya dan sumber daya yang dimiliki terserap hampir seluruhnya untuk meneguhkan identitas, sekaligus diarahkan untuk kepentingan politik praktis.
* * *
Tulisan ini tidak berpretensi membahas tuntas masalah ‘berat’ di atas, melainkan sedikit berupaya mendiskusikan kemungkinan yang dapat terjadi dengan berupaya memahami gejala umum saat ini.
Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia menyimpulkan tiga ciri kelas menengah muslim di Indonesia, yaitu menjadi muslim yang taat yang berpegang pada landasan moral agama, menjadi warga negara yang terhormat dan bertanggung jawab, sekaligus menjadi anggota dari komunitas produsen dan konsumen global. Menurut dia, kelas menengah muda perkotaan pada dekade pertama abad ke-21 ini berupaya merumuskan ulang identitas mereka. Inilah era di mana di satu sisi kebebasan dirasakan secara luas, namun di sisi lain menemukan banyak tantangan dan perdebatan.
Kalangan muda perkotaan ini berangkat dari latar belakang yang cukup beragam namun disatukan oleh ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendidikan yang relatif tinggi, kemampuan ekonomi yang relatif mapan, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan-persoalan nasional dan internasional. Akses mereka terhadap dunia layar, seperti televisi, film layar lebar, internet, dan media sosial sangat terbuka sehingga aspirasi dan usaha merumuskan identitas itu berlangsung ramai dan sengit.
Indonesia sendiri telah mengalami fase sejarah yang cukup panjang dalam upaya menyatukan perbedaan dalam satu kesatuan negara bangsa.
Indonesia sendiri telah mengalami fase sejarah yang cukup panjang dalam upaya menyatukan perbedaan dalam satu kesatuan negara bangsa. Sejarah telah memperlihatkan bahwa di tengah berbagai macam perbedaan latar belakang, para pendiri bangsa diikat oleh satu watak yang sama, yaitu kosmopolitanisme, yakni pandangan luas tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mau tidak mau mereka berupaya merumuskan upaya jalan tengah dalam membentuk sebuah bangsa.
Sayangnya pandangan kosmopolitanisme itu, menurut Heryanto (2015), kini menjadi sasaran serangan dari kalangan kelompok modernis Islam yang saling bersaing, dan masing-masing mereka berupaya memaksakan “batasan sempit” dalam memaknai “menjadi Indonesia” yang ideal. Gejala konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di tengah keterbukaan akses terhadap ilmu pengetahuan, informasi, dan ekonomi, di masa depan dapat membalik arah keterbukaan yang selama ini kita rayakan.
* * *
Kaum muda milenial, terutama kaum milenial muslim seperti digambarkan di atas, di satu sisi berupaya mengakrabi modernitas dengan segala konsumerismenya, merayakan dakwah melalui media sosial, namun di sisi lain memupuk eksklusivisme dan kejumudan pandangan keagamaan.
Pada yang terakhir ini, gejala dan bibit-bibitnya mulai tampak dalam berbagai segi, antara lain menguatnya pandangan keagamaan yang sempit, maraknya lembaga pendidikan yang tersegregasi (sekolah formal dengan basis keagamaan), permukiman dengan warga sealiran, dan upaya mewujudkan nilai dan hukum Islam sebagai satu-satunya visi bagi Indonesia masa depan.
Fenomena ini tentu akan berpengaruh terhadap masa depan kita, termasuk bonus demografi muslim seperti apa yang akan kita panen: apakah generasi muslim masa depan yang terbuka atau sebaliknya tertutup; apakah generasi muslim yang menyokong kemajuan ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan peradaban atau sebaliknya. Dari gejala yang tampak, saya khawatir pada 100 tahun kemerdekaan kita akan melihat generasi muslim yang secara ekonomi maju namun secara ideologi tertutup.
Saya khawatir pada 100 tahun kemerdekaan kita akan melihat generasi muslim yang secara ekonomi maju namun secara ideologi tertutup.
Patut direnungkan bahwa kemajuan peradaban Islam di masa lalu sebagaimana ditunjukkan oleh kejayaan Dinasti Abbasiyah tidak dibangun oleh masyarakat yang tertutup, melainkan terbuka menerima ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban lain. Inilah contoh masyarakat yang siap menghimpun sumber daya dari segala penjuru untuk diolah dan kemudian diwariskan kepada abad pencerahan Eropa.
Kita tentu tak ingin lagi diejek sedemikian rupa sebagaimana para orientalis pernah mengatakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia merupakan masyarakat ‘kuburan’ karena orientasinya berat sebelah terhadap kematian (dunia akhirat). Akibatnya, sumbangan terhadap peradaban dunia tidak terlampu diprioritaskan.
* * *
Dunia pendidikan yang menjadi kanal bagi lahirnya sumber daya manusia Indonesia masa depan yang terdidik sayangnya juga masih mengkhawatirkan. Alih-alih menyuburkan sikap kritis, nalar ilmiah, dan perilaku positif, gejala konservatisme bahkan intoleransi di dunia pendidikan malahan menunjukkan indikasi menguat. Sebagaimana ditunjukkan oleh survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian besar guru agama memiliki paham intoleran. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun menengarai kampus dan sekolah menengah rentan terpengaruh paham radikal (Koran Tempo, 30/11/2018).
Jauh sebelum dua survei ini, Hairus Salim HS. dkk. (2011) sebetulnya telah menunjukkan bahwa, sebagaimana ruang sosial lainnya, lembaga pendidikan juga menjadi ‘ruang politik’, yaitu arena melakukan negosiasi dalam praktik keagamaan. Musala, kantin, dan ruang-ruang bersama lainnya di sekolah penuh dengan praktik negosiasi tersebut. Sekolah negeri di Yogyakarta yang menjadi kasus dalam penelitian ini memperlihatkan ‘sengitnya’ pertarungan ideologis tersebut. Dan kini secara umum kita dapat melihat di pihak mana kemenangan pertarungan itu mengarah: siswa diarahkan menjadi pribadi yang agamis, ruang sekolah dibentuk dengan norma agama yang ketat, ritual keagamaan dipraktikkan sebagai ‘keharusan’ di sekolah.
Sayangnya, langkah pembentukan karakter positif itu (yakni membentuk individu yang religius) sering kali tidak dilambari dengan semangat dan pemahaman tenggang rasa yang memadai.
Sayangnya, langkah pembentukan karakter positif itu (yakni membentuk individu yang religius) sering kali tidak dilambari dengan semangat dan pemahaman tenggang rasa yang memadai. Siswa diarahkan untuk memupuk keimanan sembari meliyankan bahkan ‘mengkafirkan’ pemahaman dan keyakinan yang lain. Sikap terbuka dan toleran menjadi sesuatu yang langka.
Saya sempat kaget ketika pada suatu siang menjemput anak saya yang sekolah SD di Bantul (ketika itu kami bermukim di Jogja) ternyata sedang melakukan yel-yel: “Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No” di lapangan terbuka. Saya tak sempat berdialog dengan guru agama yang memimpin yel-yel itu, namun akhirnya yang saya lakukan ialah ‘menetralisir’ pemahaman anak saya dengan cara berdialog di rumah.
Kita tak pernah tahu input apa saja yang anak dapatkan, namun orang tua perlu dan bertanggung jawab mendampingi anak-anaknya untuk menetralisir pemahaman yang radikal. Habituasi melalui proses pembelajaran dan relasi sehari-hari di sekolah merupakan proses kultural yang terjadi dalam ruang sosial. Dalam hal ini sekolah merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat sehingga perlu mengelola norma, nilai, tanggung jawab, dan kode berperilaku dari unsur-unsur yang beragam di dalamnya.
* * *
Tentu, tak ada resep sapu jagat atau pil panasea untuk segala macam masalah dalam kehidupan sosial kita. Setiap persoalan memiliki karakteristik masalah dan jalan keluar sendiri. Begitu pula dengan imaji bonus demografi bagi kalangan muslim Indonesia. Apabila indikasi menguatnya potensi generasi Islam masa depan menjadi masyarakat ‘tertutup’ merupakan ancaman, maka salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan mendorong agar generasi muda Islam dapat lebih terbuka, melek keragaman sejarah dan budaya, di samping dikuatkan aspek religiusitasnya.
Dalam konteks ini, literasi budaya dan kewargaan menjadi penting dikenalkan baik di lingkungan keluarga muslim, lebih-lebih di dunia pendidikan, sehingga kehidupan bersama terjalin dalam suasana tenggang rasa.
Dalam konteks ini, literasi budaya dan kewargaan menjadi penting dikenalkan baik di lingkungan keluarga muslim, lebih-lebih di dunia pendidikan, sehingga kehidupan bersama terjalin dalam suasana tenggang rasa. Melalui literasi budaya, masyarakat diharapkan dapat memiliki pemahaman yang memadai mengenai kearifan lokal serta budaya nasional sehingga tumbuh perasaan untuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan itu, bukan sebaliknya (Hirsch, 1988). Dan melalui literasi kewargaan, generasi muda makin mengenal hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Keluarga, lembaga keagamaan, atau insitusi-institusi lainnya perlu menguatkan literasi budaya dan kewargaan untuk menginternalisasikan pandangan yang plural terhadap komunitasnya. Itulah mengapa piknik ke museum, cagar budaya, rumah ibadah, komunitas seni, parade dan pertunjukan budaya, patut dirayakan guna mengalami dan meneguhkan pentingnya hidup bersama dalam keragaman.
Pendek kata, pemahaman dan gairah keagamaan (islamisme) akhir-akhir ini perlu diimbangi dengan sikap terbuka agar bonus demografi tidak hanya melahirkan generasi muslim yang kuat secara ekonomi dan politik, religius dalam beragama, melainkan juga toleran dan siap menyokong kemanusiaan dan peradaban. Inilah saya kira wujud dari visi rahmatan lil ‘alamin itu, bahwa jumlah umat yang besar dapat memberi faedah yang besar pula bagi kemanusiaan dan peradaban.