ngopi
Beberapa hari ini kami berada di bukit ini, tepatnya di bukit Syarok, Darmacaang, Cikoneng, Ciamis, Jawa Barat. Sebelumnya, tentu saja kemelut di hati telah kumenangkan, antara keinginan untuk mendalami kehidupan “nyantri kembali” yang jelas memuat konsekuensi-konsekuensi baru atau tidak.
Adalah kawan Soerjo, yang tiba-tiba mengatakan: aku ikut. Lho, padahal tidak ada rembuk apa-apa sebelumnya. Rupanya ia merasa tertarik dan secara diam-diam mempersiapkan diri, packing pakaian dalam tas ransel dan tentu saja dengan kesiapan mental yang sudah dibungkusnya dengan niat rapi.
Udara terasa begitu segar di sini. Maklum, ini daerah perbukitan yang masih asli. Belum banyak di jamah oleh manusia. Beberapa tahun yang lalu, Kiai memutuskan untuk membuka lahan ini dengan diawali menanam salak, disamping memang banyak tanaman jangka panjang yang sudah ada. Banyak pohon mahoni dan sengon, juga tanaman kebun lainnya. Kelak, Kiai akan menetap di sini dan setiap riyadhoh, Suluk Ilahiyah dilaksanakan di sini. Tak lagi di jogja, Ploso Kuning.
Selang tiga harian kami di sini, berbaur dengan para jamaah yang lain dari seluruh pelosok tanah air, suatu pagi, kita santai sembari ngopi. Kawan Soerjo sambil senyum-senyum berkata, “Hebat ya… Siang kerja, malam dzikir”, “orang-orang ini seperti memiliki kekuatan super, hutan yang selebat itu bisa bersih dan rapi dengan kerja yang hebat dan kompak kayak tentara”.
Entahlah bagaimanapun kami juga merasakan bahwa kami seperti memiliki kekuatan berlipat ganda, bekerja dengan riang gembira walau fisik terasa pegal-pegal.
Dalam kegiatan Suluk Ilahiyah ini memang diisi dengan aktivitas fisik yakni kerja, seperti yang diperintahkan Guru pada siang hari kemudian, sholat, dzikir, tawajjuh dan angkat senjata lagi, pacul, parang, shin-saw, golok, kapak, dan lainnya. Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya. Pada malam harinya lebih banyak diisi dengan dzikir-dzikir seperti yang dibebankan pada masing-masing Santri sesuai “kelasnya”.
Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya.
Tiba-tiba obrolan itu sampai juga pada kebiasaan kami untuk main-main analisis, seperti biasanya aktivis di kampus. “Padahal kerja ini tanpa upah lho, ini penindasan kalau menurut Marx”, imbuhnya. “hahaha…”, kita tertawa.
Secara sosiologis memang bisa terbaca demikian. Mengapa demikian, lihatlah, seorang kiai hanya dengan dawuh-nya saja bisa menggerakkan ratusan orang untuk mengerjakan seperti apa yang ia inginkan. Ini menandai sebuah superioritas tersendiri. Dalam struktur sosial, hanya kelas yang lebih tinggi posisinya yang memiliki kekuasaan ini, kekuasaan untuk dipatuhi. Menurut teori, ini lebih dekat dengan tradisi feodalisme –dari sisi kepatuhannya pada yang memberi perintah, walau hubungan yang terbentuk bukan berdasar pada kepemilikan terhadap alat produksi dan fungsi sosial-ekonominya. Namun, di sini lebih pada kepatuhan yang berdasar pada istiadat “adab murid pada Guru”, bukan berdasar pada hasil dari alat produksi.
Sekonyong-konyong pula, pikiranku dipenuhi ingatan tentang beberapa konsep epistemologi Islam yang pernah kubaca. Di dalamnya dijelaskan tentang tiga sumber/cara ilmu pengetahuan diperoleh dalam islam: 1) Bayani: adalah ilmu yang bersumber pada Teks-teks suci yaitu, Alquran dan Hadits. Ilmu ini bersifat dogmatis, kebenarannya tidak boleh di otak-atik, hanya yakini saja dan perkembangannya adalah melalui metode penafsiran yang sesuai dengan kaedah-kaedah yang ketat. 2) Burhani: ilmu ini bersumber pada hasil analisa atas data yang diteliti dengan metode-metode yang ilmiah. Artinya saja sudah argumentatif, maka kebenaran ilmu ini tergantung kekuatannya bertahan terhadap argumen-argumen yang menentangnya. Cara berpikir ini melingkupi ilmu-ilmu sosial dan eksakta juga ilmu alam. Karena berbasis penelitian ia adalah ilmu yang sangat berkembang dan kasat mata. 3) Irfani: Cara memperoleh ilmu dengan metode “pencahayaan” secara spiritual. Alat pencerapnya adalah hati. Pendekatannya adalah dengan “mengalami” langsung dan dilakukan dengan cara-cara yang ketat di bawah bimbingan syeikh yang telah memiliki wewenang untuk membimbing.
Dengan kesadaran yang terakhir inilah, kita mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang sedang dijalani ini bukanlah hal sia-sia. Berat nian, di hati ini bila menggunakan cara berpikir yang dua pertama itu di sini. Hampir semua seratus delapan puluh derajat bertentangan dengan tradisi-tradisi “memberontak” yang selalu menjadi sifat kami. Kini harus berhadapan dengan fakta bahwa kepatuhan untuk melakukan perintah Kiai yang tentu saja langsung menghantam Ego kami. Menghancurkan “aku” yang selalu bangga pada dirinya ini. Pikiran ini semakin menguat memprovokasi apabila kondisi badan sedang lelah-lelahnya, badan sakit dan harap di ketahui suhu di sini begitu dingin! Lengkaplah penderitaan fisik ini. Ngapain kamu bercapek-capek di sini? Sepertinya memang sulit untuk melewati situasi ini. Seperti hendak menyeberangi dua pulau yang lautnya berapi.
Sebagian ilmu yang kita pegangi adalah yang berasal dari dua metode epistemologis di atas. Di sinilah letak tantangan untuk pelaksanaan Adab, “Saat di hadapan Gurumu bakarlah Kitab-kitabmu”. Lakukan saja apa yang diperintahnya, “Dirimu laiknya sesosok mayat di hadapan tukang memandikan mayat”. Seperti Nabiyullah Musa AS di hadapan Sayyidina Khidir AS yang pasrah tanpa syarat. Demikian pula seperti yang syairkan Maulana Rumi. “Bakarlah kitab-kitabmu saat kau bersama kekasih yang membawa pengetahuan di hatinya, untuk dituangkan di hatimu”.
Bersama dengan raungan nafsu dan gemuruh pikiran yang terus berusaha menyajikan argumentasi pelan-pelan, perjalanan suluk ini membuktikan bahwa ada satu cara berilmu pengetahuan yang sangat orisinal dalam islam yang selama ini kita jauhi.
Ya inilah bentuknya. Dunia dalam kita (Bathin) dibakar dengan dizikir-dzikir dan fisik kita digerakkan dengan perintah yang bukan maunya kita, metode Khidmah. Inilah tirakat yang sejati. Tirakat yang benar. Tirakat yang terbimbing. Bukan waton tirakat yang seperti kita dengar dari dongeng-dongen itu, yang melakukannya dengan menyepi di goa-goa dan tanpa petunjuk dari ahlinya. Memasuki dunia spiritual yang serba halus sangatlah penuh bahaya ketergelinciran, jika tanpa pembimbing bisa saja kita berlabuh pada alam jin yang menyerupai alam syurga yang menyesatkan. Bukan ridho-Nya yang kita dapatkan tapi laknat-Nya yang kita tuai.
Saat begini, lepaslah ilmu akalmu. Ikuti hatimu, kalau hatimu masih remang-remang, percayakan pada ahlinya. Ahlillah yang telah melewati ribuan jarak cahaya perjalanan spiritual. Biarkan berbagai jenis ilmu itu berfungsi pada tempat dan waktunya masing-masing. Aku masih ingat, satu prinsip kawan-kawan: jangan pernah mengharamkan sebuah ilmu pengetahuan! Saat menyelam dalam samudra hakikat kita tanggalkan ilmu-ilmu duniawi dan hening di bawah telunjuk pimpinan sang Mursyid tapi saat di dunia fisik ini kita bergabung dengan aneka unsur sosiologis dan hukum alam. Aktifkan segenap perangkat ilmu akal kita. Biarlah dunia di tangan kita serta Cahaya Cintanya di hati kita.
Begitulah, selama sepuluh hari akhirnya bisa dilewati. Suluk dikhatami oleh Kiai dan kami pulang kembali ke rumah masing-masing.
Apakah outputnya? Tentu saja ini adalah tahap awal yang tidak mudah menilai apa yang telah berubah, karena ini adalah proses pendidikan seumur hidup maka keistiqomahan, kesetiaan dan pemebelajaran sampai mati. Minal mahdi ilal lahdi.
Di Jogja, kita ngopi lagi, diskusi lagi, sesekali ngopi lagi. Hati butuh kopinya sendiri, fisik juga.
*Catatan ini ditulis penulisnya pada penghujung tahun 2013. Dimuat kembali di sini dengan tujuan pendidikan.