Menu

NU

 

Saya mengenal namanya dari tempat saya kuliah: IAIN Purwokerto yang kemudian bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU). Pilihan nama Saifuddin Zuhri menyeruak tanya dalam pikiran saya: siapakah tokoh Saifuddin Zuhri (Selanjutnya Kiai Saifuddin) itu? Apa dalih pemberian nama tersebut pada kampus saya? Pasalnya, nama perguruan tinggi Islam di Indonesia lazim menggunakan nama-nama dari masa silam Islam awal: Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Alauddin, dan lain-lain. Hingga kemudian, pemberian nama Saifuddin Zuhri membuat saya terbujuk untuk dapat menelusurinya lebih jauh. 

Tempo hari, saya menemukan dua buku induk penting tentang Kiai Saifuddin: Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) & Berangkat dari Pesantren (1987).  Buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren merupakan sebuah buku autobiografi yang menceritakan hal ikhwal pesantren dan segenap perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Buku ini ditulis: “Bertujuan untuk membangun pengertian masyarakat terhadap Pondok Pesantren, sebagai sebuah persemaian pendidikan Islam yang merakyat dan sering diartikan oleh masyarakat umum secara salah bahkan hingga penilaian negatif. Buku tersebut sekaligus untuk menggugah kembali rasa hormat kepada guru dan tokoh lainnya yang mendidik semua anak-anak didik dengan perlakuan layaknya anak kandung sendiri”.

Terdapat kisah unik dibalik penulisan dan penerbitan buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Sebagaimana pengakuan Kiai Saifuddin, bahwa penulisan buku tersebut karena disulut oleh Asrul Sani, seorang sastrawan sekaligus politisi dari NU. Asrul Sani mengusulkan agar Kiai Saifuddin sudah kondang di politik “berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren” dengan cara menulis novel tentang alam pesantren. Mulanya Kiai Saifuddin keberatan, karena tidak pernah menulis novel. Akan tetapi, ia suka menuliskan tentang peri kehidupan orang lain. Seperti halnya saat menulis biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dari diskusi bersama Asrul Sani itu, akhirnya muncullah karya autobiografi yang memotret laku perjalanan hidupnya.

Setelah naskah buku itu selesai, Asrul Sani mengajak Kiai Saifuddin ke penerbit Pustaka Jaya yang digawangi oleh Ajip Rosidi. Kisah lainnya dari seorang Ajip, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya “Hidup Tanpa Ijazah (Pustaka Jaya, 2008)”. Menurut Ajip Rosidi, naskah tersebut cukup baik untuk diterbitkan. Hanya saja perlu ada penyuntingan agar bisa dibaca lebih lentur. Sebenarnya Ajip hendak menyunting sendiri, tapi karena ia tidak begitu karib dengan Kiai Saifuddin, lalu menyarankan orang lain untuk melakukannya. Adalah Mahbub Djunaidi, penulis yang karib dengan Kyai Saifuddin, sekaligus mendapat amanah untuk menjadi editor naskahnya. Walhasil, naskah itu pun diserahkan ke Mahbub untuk disunting. Mahbub menyanggupi dan berjanji akan melakukannya dengan cepat. Nahas, seiring berjalannya waktu, Mahbub tak sungguh-sungguh menyerahkan hasil suntingan yang telah diserahkan kepadanya. Setiap ditagih oleh Ajip, selalu berkilah:

“Entar, nggak sabaran bener sih lu. Kalo udah selesai gue anterin.” Naskah itu benar-benar tidak sampai pada Ajip. Ajip begitu kecewa. Terlebih kelakuan Mahbub yang menerbitkan naskah “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” pada penerbit yang ia pimpin: Penerbit Al-Ma’arif. Ajip menilai naskah yang diterbitkan tersebut tidak ada bedanya dengan naskah awal dari Kiai Saifuddin. Artinya, tidak ada penyuntingan sama sekali. Saat dikonfirmasi perihal perbuatannya tersebut, Mahbub dengan enteng menjawab, “Pokoknya jadi buku! Dibaca orang! Pengarangnya juga senang bukunya terbit.” Ucapan Mahbub seperti bertuah, buku menjadi best seller. Alhasil buku tersebut ternyata dikoleksi oleh 100 perpustakaan di Jepang. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Kato, Guru Besar Antropologi Universitas Chuo di Tokyo (kemenag.co.id, 15 November 2017). Menurutnya, buku karya Kiai Saifuddin merupakan buku penting bagi para akademisi di Jepang. Kemudian, pembacaan atas warisan-warisan buku Kiai Saifuddin menggoda saya untuk menafsir sekaligus memberi penghormatan dengan cara yang bisa saya lakukan.

Biografi, dan Genealogi Keilmuan Kiai Saifuddin

            Kiai Saifuddin lahir 1 Oktober 1919 di Kawedanan, Sokaraja, Banyumas. Perihal tempat kelahirannya, Kiai Saifuddin menulis: “Bangsaku bukanlah cuma penduduk desaku. Tanah airku bukanlah hanya Sokaraja, sebuah kota kawedanan kecil terletak antara Sungai Serayu dan kaki Gunung Slamet. Mungkin tidak akan dijumpai pada peta yang mana pun. Tetapi jika ditarik garis lurus segitiga antara Purwokerto-Purbalingga-Banyumas, pada titik di tengah-tengah itulah terletak kota kecilku”. Kiai Saifuddin lahir dan tumbuh di sebuah keluarga asketik, ialah Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani dan kusir delman. Melalui doa, keteladanan, serta hikmah tradisi yang melekat pada kedua orang tuanya, Kiai Saifuddin seperti dipicu untuk melesat dalam semesta “perjalanan” yang menggetarkan. Ibunda Saudatun, kiranya yang meneguhkan perjalanan Kiai Saifuddin. Ibunda berucap: “Jangan mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya”.

            Dengan gemblengan keagamaan yang kuat, Kiai Saifuddin muda menyerap ilmu dari lingkungan keluarga, yaitu para kiai di pesantren. Mula-mula Kiai Saifuddin kecil mengaji pada ayahnya: Mohammad Zuhri. Penjelasan tertuliskan “Aku memang sedikit-sedikit telah mempunyai kepandaian mengaji, tetapi sekedar pelajaran yang diberikan oleh Ayah dan pengajian di surau malam hari. kitab al-Qur’an dan Barzanji sudah aku khatamkan, ditambah kitab Safinah setengah jalan”. Ayah Kiai Saifuddin (Mohammad Zuhri) memiliki genealogi keilmuan yang mumpuni. Konon, Mohammd Zuhri bin Haji Abdurrasyid bin Haji Jakfar pernah menyesap ilmu ke berbagai pesantren: Pondok Bogangin Sumpiuh Banyumas, Ponpes Lirap Kebumen, Ponpes Gunungpring Watucongol Muntilan, dan Pesantren Tremas Pacitan.

Pertautan pesantren Mohammad Zuhri nyantri, konon merupakan simpul jejaring ulama pengikut Diponegoro. Pasalnya, Eyang H. Jakfar (kakek Mohammad Zuhri atau mbah buyut Kiai Saifuddin) merupakan laskar perang Diponegoro dari daerah Bagelen. Kiai Saifuddin juga mengaji ke berbagai kiai di Kauman, Sokaraja-Banyumas, di antaranya Kiai Nahrawi, Ustadz Abdul Fattah, Ustadz Muhajir; Kiai Khudlori. Kemudian guru Kiai Saifuddin lainnya, yakni: Kiai Ilyas, Kiai Khalimi, Kiai Muhammad Dini dari Karangbangkang, Kiai Khoiroji, Kiai Abdul Khalik, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Ahmad Syatibi, Kiai Haji Raden Iskandar, Kiai Ahmad Bunyamin Purwokerto, Kiai Zuhdi Rawalo dan Mas Kiai Mursyid.

Santri Lelana

            Semasa masih muda, Kiai Saifuddin sibuk mengaji dan ibadah keaksaraan. Ia membentuk diri mulai zaman kolonial hingga orde baru. Membaca majalah dan buku dimaksudkan tindakan keaksaraan religius. Hari demi hari, jumlah buku terus bertambah. Ia khatam dan membagi isi buku melalui percakapan atau tulisan. Di Sokaraja, ia bersama santri dan para guru bergairah mengobrolkan tema-tema imperialisme, kapitalisme, non kooperatif berbarengan dengan diskusi mengenai fa’il, naibul fa’il, anwa’uz zakat, mad wajib muttashil. Pada masanya, Indonesia menapaki zaman pergerakan kemerdekaaan. Di situ ada peran pers. Kiai Saifuddin muda aktif dalam dunia pers dan turut membebaskan bangsa Indonesia. Ia melancong ke Solo untuk menekuni dunia pers sambil sekolah. Debut karier pers Kiai Saifuddin dimulai sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta, untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya bidang politik yang terjadi di Solo. Pendidikannya di Solo mangkrak karena tugasnya sebagai seorang wartawan terlalu menyita waktu. Setelah belajar di Manbaul ‘Ulum dan Salafiyah (tidak selesai), ia masih berupaya untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Pendidikan Al-Islam, tapi tidak selesai juga.

Meskipun secara formal pendidikannya boleh dibilang gagal, tidak ada orang yang meragukan ke-aliman, kecerdasan, keluasan wawasannya, dan tentu saja kecintaanya pada organisasi. Ketekunan dalam dunia pers memungkinkan percakapan dan dialog dengan berbagai pihak. Ia karib dengan tokoh-tokoh Nasional seperti Sukarno, Bung Hatta, Soedirman, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan masih banyak lagi. Kita ingin mengenang Kiai Saifuddin (1939) mendapat surat dari idola: “Begitulah, surat yang aku terima tertulis di bagian si pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang”. Kiai Saifuddin itu Santri Kelana dalam konteks pengembaraan ilmu. Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.  Aku sering naik sepeda untuk mengajar di dua madrasah (Purwokerto dan Sokaraja), sedangkan untuk tugas konsul NU aku naik bus. Kiai Saifuddin mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “Berangkat dari Pesantren”.

Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.

            Demikianlah santri kelana, meminjam istilah Gus Dur “Wandering Santris”. Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), jenis santri kelana inilah yang menjadi mediator melawan penjajah. Santri keliling atau santi kelana, seperti ditulis Ensiklopedia NU, menyebarkan informasi dari satu tempat, dan dari satu kiai ke kiai lain, juga dari pesantren ke pesantren. Santri kelana bahkan memimpin perlawanan fisik menghadapi penjajah. Dalam memoarnya ia menulis: “Aku tak bisa lagi lebih lama berada di rumah, karena semakin lama di rumah semakin besar kemungkinan mati konyol menjadi korban sia-sia. Pukul 16.40, rumah kutinggalkan setelah sebelumnya meneliti pistolku, FN 48, yang tinggal berisi empat butir peluru. Pistol itu aku selipkan pada pinggangku….”

Berdakwah dan Berpolitik

            Berdakwah dan berpolitik menjadi paket harokah Kiai Saifuddin dalam memahami Islam dan Indonesia. Kita mengingat Kiai Saifuddin adalah jurnalis, sekjen PBNU, anggota parlemen, DPA, pemimpin laskar Hizbullah, dan Menteri Agama. Berbagai predikat dimiliki dengan tumpukan tanggung jawab dan risiko. Ia selalu memajukan Islam dengan dakwah dan memuliakan Indonesia di wilayah kerja-kerja politik. Sekian pengalaman dan pemikiran diwariskan pada kita melalui buku bermutu: Dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977), Sejarah Kebangkitan Islam da Perkembangannya di Indonesia (1980), Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981), dan Berangkat dari Pesantren (1987).

            Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah. Di kepala, ide-ide dibiarkan berbarengan tutup kepala. Kita dapat mengingat ia di berbagai kerja-kerja pemuliaan pesantren dan universitas Islam dalam sejarah Indonesia. Kala itu, Kiai Saifuddin ingat gagasan Satiman Wirjosandjojo untuk menginisiasi berdirinya “pesantren luhur” dalam bentuk pendidikan Tinggi. Pada 1962, Kiai Saifuddin menjadi Menteri Agama. Ia menunaikan kerja besar mendirikan IAIN di sekian provinsi. Bermula dari pesantren, Kiai Saifuddin memiliki misi di perguruan tinggi Islam. Ia mengenang: “Sejak pagi-pagi, aku telah membuat tanggul-tanggul agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. Kedua lembaga persemaian dan pendidikan generasi Islam ini mempunyai peranan yang berbeda, tetapi harus saling mengisi. Sistem pesantren tidak mungkin bisa diterapkan dalam IAIN. Sebaliknya, sistem IAIN tidak mungkin pula bisa diterapkan dalam pondok pesantren. Masing-masing mempunyai kekhususan dan identitas yang berbeda, namun tetap keduanya dibutuhkan menjadi kesatuan nilai dalam pendidikan Islam”.

Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah

Lebih jauh lagi, Kiai Saifuddin memandang posisi IAIN menduduki fungsi strategis di bidang ukhuwah Islamiyah. Yakni keinginan agar para Ulama NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain duduk sederet menjadi dosen. Kegairahan mendirikan IAIN juga memuat efek politik. Tertuliskan: “Efeknya di bidang politik ialah membendung atau setidak-tidaknya mengimbangi kampanye PKI yang giat membuka “universitas rakyat” di tiap-tiap kota untuk mendidik kader-kader komunis yang Marxis-Leninis-Stalinis-Maois”. Orang-orang pasti lekas mengingat kedongkolan Kiai Saifuddin terhadap kader-kader komunis. Ia berani memprotes penguasa (Ir.Soekarno) yang hendak membubarkan HMI. PKI ingin melenyapkan HMI, siasat dengan memanfaatkan kekuasaan Soekarno. Pengisahan Kiai Saifuddin: “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan kebijakan Bapak. Maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini…!”

Keteladanan: Kesederhanaan dan Keaksaraan

            Puluhan tahun berselang dari kesibukan politik dan birokrasi, Kai Saifuddin memilih menunaikan ibadah keaksaraan. Ia tak perlu lagi menunggu orang lain mengadakan penulisan biografi. Buku autobiografi itu dijuduli “Berangkat dari Pesantren”. Buku tebal, ditulis setelah Kiai Saifuddin rampung menjadi menteri Agama. Buku yang memuat segala hal ihwal Kiai Saifuddin dalam pemuliaan Islam dan Indonesia. Pada masa sesudah rampung menjadi menteri, ia tetap menjadi tokoh terhormat: rajin menulis, menerbitkan buku, dan hidup sederhana. Ingatan menulis: ”Mengetik karangan hingga larut malam, kadang-kadang hingga pukul 03.00 dini hari, tanpa mengenakan baju. Jendela aku buka lebar-lebar. Mengetik sambil mengisap rokok tanpa henti, bisa sampai 20-30 batang. Ditemani oleh setoples kacang goreng dan setermos air es”. Kesederhanaanya semakin terlihat pada akhir 1980-an (purna menjadi Menteri Agama), Kiai Saifuddin memiliki kebiasaan baru yang tak dinyana oleh keluarganya. Selepas shalat dhuha, sekira pukul 09.00, ia keluar rumah, mengendarai mobilnya sendiri. Jelang dhuhur ia kembali ke rumah. Kita kaget bukan kepalang dengan apa yang dilakukan Kiai Saifuddin Zuhri. Rupanya, selepas shalat dhuha, ia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta. Tanpa malu-malu, ia berdagang beras kecil-kecilan.

            Ia senang menyandang predikat kolumnis. “Dari kalangan pers dan kepartaian, aku mendapat gelar, “kolumnis”, artinya tukang mengisi kolom (column), ruangan dalam surat kabar”, tulis Kiai Saifuddin. Buku Kiai Saifuddin mengandung peran sebagai pelaku dan saksi sejarah. Hidup sejak zaman kolonial hingga orde baru ditandai dengan kecakapan literasi. Ia mahir mengutip dan mengingat perkataan atau kejadian yang historis. Kita simak catatan historis yang memukau: “Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 atau 26-29 Maret 1946. Muktamar NU ke-16 berlangsung di Purwokerto. Sebagai Konsul NU Kedu yang berkedudukan di Purworejo, aku tentu saja terpanggil untuk menghadirinya”. Dalam resepsi yang dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman, Hadratus Syekh membacakan “Resolusi Jihad ke-2”.

Gus Mus dalam “Sejarah Sosial Pesantren Menurut KH. Saifuddin Zuhri (2016) karya Moh. Slamet Untung”, menilai: “Berbicara tentang budaya tulis menulis di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum”.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air. Daftar ulama diangkat menjadi pahlawan terus bertambah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, kita menunggu Kiai Saifuddin bakal menjadi Pahlawan Nasional. Mengingat, ia punya segudang aksi demi memuliakan Indonesia. Kembali ke UIN SAIZU (Saifuddin Zuhri), kini penulis menanti pengenalan Kiai Saifuddin berlaku bagi civitas akademika (UIN SAIZU) melalui seminar atau seri diskusi memungkinkan penghormatan jasa. Saya sedikit ragu, buku-buku warisan Kiai Saifuddin terbaca oleh mahasiswa bahkan dosen UIN SAIZU. Semoga ada mahasiswa-mahasiswa UIN SAIZU atau dosen-dosen UIN SAIZU untuk mengingatkan, dan mencuatkan lagi tulisan-tulisan yang mengacu pada Kiai Saifuddin Zuhri, meski tidak harus ilmiah atau dimuat di Jurnal Internasional.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air

Editor: Mohammad Hagie

Pada suatu sore yang sejuk di Desa Grogol, Kecamatan Giri, saya bersilaturahmi ke kediaman KH. Nur Salim. Di usianya yang sudah 77 tahun, beliau masih cukup lancar berbicara. Ada banyak kenangan yang bisa diceritakan meski seringkali tak bisa mengungkapkan secara detil.

Kenangan tentang aktivitasnya di Nahdlatul Ulama tentu menjadi tema yang menarik bagi penulis. Lebih-lebih saat itu, ia juga menunjukkan sejumlah majalah kuno, dokumen, arsip, rekaman kaset dan sejumlah foto lawas. Tambah membuat saya tak ingin beranjak dari rumahnya yang bercorak art deco itu.

Dari sekian itu, ada satu foto yang memantik saya untuk menulis ini. Yaitu , foto hitam putih di bawah ini. Sekelompok anak muda yang membawa beberapa alat musik. Di bagian belakangnya, tertulis: Lesbumi Sinar Laut Muntjar 1960.

“Orkes dangdut LESBUMI,” ungkapnya saat saya tanya perihal foto tersebut. “Kadung wes tampil, akeh kang deleng,” imbuhnya.

Sayangnya, hanya seutas kenangan itu yang bisa dikorek dari beliau. Tak ada data lainnya. Namun, sepenggal keterangan itu, semakin menimbulkan tanda tanya besar: Lesbumi pada tahun 1960?

Sebagaimana kita ketahui, Lesbumi secara resmi dilahirkan pada 21 Syawal 1381 H atau 28 Maret 1962 sebagaimana tercantum pada Anggaran Dasar yang pertama. Pada saat itu, dipilihlah Djamaludin Malik sebagai ketua umumnya. Sedangkan Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai wakil ketuanya. Empat bulan dari pertemuan tersebut, diselenggarakanlah acara Musyawarah Besar I Lesbumi di Bandung pada 25-28 Juli 1962. Fragmen berdirinya Lesbumi tersebut, sulit untuk mencari keterangan lebih lengkap.

Choirotun Chisaan yang mengangkat Lesbumi dalam tesis S2-nya di Sanata Dharma, Yogyakarta juga tak mendedah secara detail kronik kesejarahan dari Lesbumi sendiri. Tesis yang kemudian diterbitkan LKiS dengan judul “Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan” itu, hanya mengurai latar belakang pendiriannya yang kental nuansa politis.

Lebih lanjut, Choirotun juga mengesankan pendirian Lesbumi bersifat “top down“. Yaitu, atas inisiatif aktivis seniman NU di pusat untuk menggelar mubes guna merespon situasi sosial-politik yang ada (133-9). Hal ini cukup janggal jika dibandingkan dengan proses berdirinya organ-organ di NU.

Pada umumnya, ada gerakan awal terlebih dahulu oleh pengurus NU di lingkup daerah. Karena terlihat efektif, kemudian diluaskan skalanya hingga kemudian menasional. Simak saja sejarah berdirinya GP Ansor, IPNU dan organ lainnya. Kebanyakan berawal dari bawah ke atas.

Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak.

Dari keterbatasan literatur tentang Lesbumi yang saya baca serta temuan foto “Lesbumi Sinar Laut” ini, menimbulkan hipotesis dibenak saya. Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak. Seperti halnya di Banyuwangi dengan membentuk Lesbumi yang salah satu produk kebudayaannya adalah Orkes Melayu Sinar Laut Muntjar.

Hipotesa ini, memang perlu penelitian lebih lanjut. Mencari arsip dan data-data pendukung ataupun pembantah, menjadi hal yang penting. Bisa jadi, nama Lesbumi muncul dari Banyuwangi, meski pada arsip Mubes I itu tak tercantum delegasi dari Banyuwangi. Dari 16 komisariat daerah yang hadir, yang paling dekat hanya Singaraja dan Surabaya.

Akan tetapi, jika menyimak dinamika kebudayaan di ujung timur Jawa ini, hipotesa di atas memang perlu disimak lebih jauh lagi. Dari Banyuwangi muncul dua lagu yang saling berhadapan dan sama-sama populer pada dekade 60-an. Yakni, lagu Genjer-genjer yang identik dengan Lekra-PKI dan Selawat Badar yang merupakan bagian dari Lesbumi NU.

Gambaran dinamika kebudayaan di tlatah Blambangan ini, juga terekam pada hasil bahtsul masail Muktamar NU tahun 1954. Saat itu, ada persoalan dari NU Banyuwangi yang dibahas. Pertanyaannya adalah tentang hukum sandiwara dengan propaganda Islam.

Sandiwara dengan propaganda Islam ini, dikenal dengan sebutan “drama”. Lakon yang ditampilkan biasanya tentang para sahabat Nabi. Hingga dekade 90-an akhir, seni drama ini masih populer. Saat ini, sudah sulit kita jumpai.

Dari pertanyaan tersebut, Muktamar NU memperbolehkannya dengan syarat tidak ada unsur kemungkaran (menurut kaca mata syariat). Namun bukan soal hukumnya yang menarik dibahas dalam tulisan ini. Konteks sosial politik yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan demikian itulah yang patut ditelisik lebih jauh.

Tahun 1954 merupakan masa-masa awal NU menjadi partai politik. Setahun kemudian, akan menghadapi pemilihan umum 1955. Untuk itu, semua organ NU digerakkan untuk memasok dukungan suara. Tak terkecuali pada sektor seni budaya. Potensi ini digarap penuh. Terlebih, lawan politik NU masa itu (PKI) begitu masif menyasar seniman dan budayawan lewat Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).

Dalam konteks Banyuwangi, perseteruan politik kebudayaan antara NU dan PKI memang cukup dahsyat. Selain melalui Genjer-Genjer dan Selawat Badar, persaingan lainnya cukup ketat. Mulai dari grup musik seperti Sri Muda (Lekra) vs O.M Sinar Laut (Lesbumi), tari-tarian seperti Gandrung yang kerap ditampilkan Lekra melawan Kuntulan yang sering dibawakan seniman Islam.

Ada satu cerita tutur yang penulis simak dari seorang tokoh NU lawas yang hidup di zaman itu, yang menarik tentang dinamika kebudayaan di Banyuwangi. Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Ada pula dengan cerita tari kuntulan. Secara historis, tari itu baru muncul pada dekade 60-an. Di dalam gerak tarinya sarat dengan simbolisasi ibadah dan amal sholeh. Hal ini sesuai dengan makna kuntulan yang merupakan penyerdehanaan dari lafaz “Kuntu Lailan” dalam bahasa Arab. Maknanya adalah berdiri di waktu malam (qiyamul lail).

Konon, awal munculnya tari kuntulan yang dibawakan oleh kaum hawa dengan iringan musik rebana dan selawat Nabi itu, mendapat penolakan dari para kiai sepuh. Seperti Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi kala itu, KH. Harun Abdullah.

Namun, juga mendapat pembelaan dari ulama NU yang lain. Pembela yang paling getol adalah KH. Suhaimi Rafiudin Kampung Melayu. Dengan sederhana, kiai yang memiliki manuskrip tafsir Quran ini, mengajak para kiai yang keberatan menimbang dua kemudaratan. Satu sisi kemudaratan karena adanya potensi mengumbar aurat atau ikhtilat dari tarian kuntulan atau kemudaratan banyak orang yang simpati pada PKI karena mengakomodir seni budaya.

Dari pertimbangan tersebut, akhirnya banyak ulama yang menyetujui. Setidaknya, tak mempermasalahkannya secara vulgar. Pandangan demikian tentu saja berangkat dari kaidah usul fiqh yang memperbolehkan memilih kemudaratan yang lebih ringan dari adanya dua kemudaratan.

Dari rangkaian fakta tersebut, sangat besar kemungkinan jika Lesbumi itu tak muncul dari atas, tapi berakar dari bawah terlebih dahulu. Merangkak dan tumbuh efektif hingga menjadi wadah nasional. Dan, bisa jadi pula, Banyuwangi jadi satu daerah yang berkontribusi mengkreasi berdirinya Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama tersebut. Wallahu’alam. (*)

Baru dua hari lalu, entah dorongan apa, saya menonton YouTube kiai sepuh ini. Belum terlihat sepuh di video itu. Rambutnya masih hitam, dan dengan jenaka, ia ceritakan tentang pengalamannya pertama kali menyalatkan jenazah karena terpaksa. Di kesempatan itu, hanya ia yang dianggap layak menjadi imam. Bukan di sembarang tempat, tetapi tempat di mana ia terbaring kini, Mekkah Al Mukaramah. Persoalannya, ia mengaku belum paham benar tata cara shalat itu, terutama tentang berapa jumlah takbirnya (tentu ini sebuah anekdot dan kerendahatian). Untuk berterus terang ia tak cukup keberanian.

“Isa jatuh jenengku,” (bisa jatuh namaku) akunya yang disambut gelak tawa. Maka ia menempuh cara ini: mendekati penggali kubur dan pura-pura mengujinya. Taktik ini berhasil. Dari penggali kubur yang terintimidasi itulah jumlah itu diketahui: empat takbir.

Saya tergelak mendengar betapa kiai karismatik ini tak menganggap penting karisma yang disematkan umat kepadanya.

Saya tergelak mendengar betapa kiai karismatik ini tak menganggap penting karisma yang disematkan umat kepadanya. Ia melayani umat dengan bahasa umatnya: bersahaja, segar dan tak menolak anekdot. Kini jumlah takbir yang sama digemakan oleh begitu banyak suara untuknya, di tanah yang diimpikan banyak para alim untuk bersemayam di dalamnya, tanah yang ia ceritakan ketika harus bersalat jenazah dengan takbir yang ia mengaku lupa itu.

Mbah Moen, Mbah Maimoen Zubair, salah seorang benteng umat, pribadi yang kepadanya dialamatkan bermacam-macam pertanyaan telah mangkat. Jenis keberangkatan yang menjadi keirian para alim. Mbah Moen, atas izin Allah, dengan jelas mengabarkan kepada kita kelas keulamaannya. Semua tergambar dalam caranya hidup dan caranya pergi. Bahwa Mbah Moen kiai besar, banyak orang telah mengerti. Tetapi bagi saya yang bukan santri, figur itu semula terasa jauh.

Saya sampai pada waktu tertentu hanya pengagum kiai besar ini dari sebuah jarak. Jauh bukan karena jarak tetapi karena kultur. Saya merasa tak punya modal kultural bahkan untuk berani sowan karena perasaan bukan santri.

Saya sampai pada waktu tertentu hanya pengagum kiai besar ini dari sebuah jarak. Jauh bukan karena jarak tetapi karena kultur. Saya merasa tak punya modal kultural bahkan untuk berani sowan karena perasaan bukan santri. Perasaan ini menyiksa karena pada etape yang kemudian, saya mulai jatuh cinta pada kebudayaan santri dengan salah satu tradisi pentingnya adalah sowan kiai. Dunia santri, dunia yang semula tak saya akrabi mulai terasa menarik hati. Dunia ini memesona saya karena keberhasilannya mempertemukan apa yang mestinya menjadi ideologi kultural negeri ini: adab dan ilmu. Di tingkat inilah saya mulai melihat dengan rasa iri teman-teman yang rajin sowan kiai.

Mbah Moen telah sepuh saat itu. Mulai muncul dalam hati saya, betapa akan sangat saya sesali jika walau hanya sekali saya belum pernah sowan dan meminta doanya. Jarak Semarang-Sarang hanya 5 jam perjalanan. Tetapi jarak kultural saya membuatnya menjadi jauh sekali sampai kemudian, secara tak terduga, alam menghadiahi lewat putra beliau sendiri: Gus Ghofur.

Dunia santri, dunia yang semula tak saya akrabi mulai terasa menarik hati. Dunia ini memesona saya karena keberhasilannya mempertemukan apa yang mestinya menjadi ideologi kultural negeri ini: adab dan ilmu.

“Tindak Sarang Mas. Nanti saya sowankan Abah,” (Pergi ke Sarang Mas. Nanti saya sowankan Abah) kata Gus Ghofur. Saya, tanpa Gus Ghofur tahu butuh terdiam saat ia menutup telponnya. Saya tak ingat apakah waktu itu saya menangis atau hanya terdiam. Yang jelas saya merasa sangat emosional. Rasa itu saya sembunyikan rapat karena ia terlalu absurd untuk dikabarkan apalagi kepada pihak yang tak berlatar belakang kebudayaan ini.

Gus Ghofur membawa kami, saya anak-anak dan istri, sowan ke Sarang. Perjalanan yang mendebarkan karena ia serupa migrasi kultural saya. Mbah Moen sedang banyak tamu, dan selalu banyak tamu: “Putranya saja harus antre menunggu,” kata Gus Ghofur yang membawa kami sarapan di meja makan di dalam. Saya pernah gugup saat hendak menikah. Tetapi rasanya tak segugup di meja makan itu. Lalu saatnya pun tiba. Kami ditimbali (kami dipanggil). Inilah Guru itu. Istri dan anak-anak menahan diri agak berjarak. Saya dibiarkan mendekat untuk selanjutnya Mbah Moen bernarasi panjang. Anak lanang saya, Maulana Gibran, sambil memotret agaknya merekam narasi itu dengan ingatannya dan ia tulis di FB dan Twiternya, saya nukil kutipannya:

~~~

Suatu kehormatan pernah diberi kesempatan duduk di ruangan yang sama dengan almarhum guru besar kita KH Maimoen Zubair.

Ilmu saya masih belum cukup untuk paham betul semua tutur kata yang Mbah Moen haturkan. Tetapi kuimani bahwa berada di sana merupakan pintu menuju keberkahan.

Salah satu yang paling kuingat ialah dhawuh (pesan) beliau mengenai daerah kelahiranku Jawa Tengah. Beliau menjelaskan bahwa dengan keberadaannya, Jawa Tengah berfungsi sebagai sentral bagi Indonesia. Dan tugas kami sebagai penghuninya untuk ikut berkontribusi menjadi pusat bagi negara ini.

Indonesia sedang kehilangan salah satu tokoh besarnya. Tetapi keberkahan dari beliau insyaAllah tidak akan pernah berhenti mengalir untuk Indonesia.

اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه.

~~~

Begitu tulis Gibran.

Dua hari lalu, saat saya tonton YouTube itu, saat Mbah Moen bercerita tentang saat jenazah yang dugaan saya adalah sebuah ankedot itu, tampaknya adalah cara beliau berpamitan. Lalu ketika kabar itu benar-benar datang, kami, anak-anak dan istri, nyaris serupa refleks berkumpul dalam diam.

Gus Ghofur, sungkem kami. Matur nuwun telah memberi kami kesempatan. Doa kami panjatkan.

***

Pandangan Greg Fealy soal Islamisme dan demokrasi kontemporer Indonesia, dalam wawancara yang dilansir Tirto.id menjadi bahan perhatian publik, yang menarik untuk dicermati. Banyak hal yang dibicarakan oleh Greg Fealy dalam wawancara itu. Akan tetapi, saya akan mendiskusikannya pada hal-hal pokok saja.

Demokrasi dan Perluasan Cakrawala

Greg Fealy, dalam wawancaranya itu berpandangan HTI seharusnya dibiarkan hidup, agar demokrasi bisa berjalan dengan baik, dan bertentangan dengan hak berserikat dan berkumpul. Dari sudut ini, karenanya Jokowi dilabeli lebih buruk dari SBY dalam menindas oposisi Islamis. Tetapi pada saat yang sama, Greg Fealy melihat, kelompok-kelompok sektarian, membahayakan bagi kualitas demokrasi, tetapi pada sisi yang lain, kelompok seperti itu semakin popular di masyarakat. Menurutnya, justru kecenderungan kelas menengah untuk lebih tertarik pada pandangan “Islami” itu sangat kuat, yang hal ini menunjukkan arus popularnya kelompok ini menjadi alternatif.

Apa yang diungkap Greg Fealy, merupakan pandangan yang wajar-wajar saja, kalau kita menelisik pada asumsi demokrasi yang ingin dikembangkannya. Bila diperhatikan pada pernyataan “pada dasarnya demokrasi itu seperti pasar, ada pertukaran ide di sana”; dan pembelaan terhadap hak berserikat dan berkumpul, dan seharusnya negara membiarkan semua pandangan berkembang, maka asumsi demokrasi liberal yang digunakan untuk membaca soal HTI dalam pandangan Greg Fealy, sangat kuat, dan karenanya, pandangannya itu menjadi wajar dan biasa-biasa saja.

Hanya saja dari sudut ini, Greg Fealy sekadar memberikan perspektif yang terlalu sempit dalam membicarakan demokrasi. Misalnya, kalau dia memberikan perspektif hubungan demokrasi dan negara-negara demokrasi yang bervariasi di dunia (termasuk di Barat), terhadap kelompok seperti HTI, mungkin akan lebih memperluas cakrawala, bagaimana demokrasi dan negara demokrasi menyikapi itu. Akan tetapi karena dia hanya menyediakan ruang melihat demokrasi yang membatasi HTI di Indonesia, hanya dari sudut nilai pluralis atau demokrasi yang dianutnya, analisisnya menjadi tidak cukup luas. Petimbangan-pertimbangan negara-negara yang bervariasi menyikapi hal-hal seperti itu, tidak masuk dalam wawasan cakrawala demokrasinya.

Level kedua, Greg tidak melihat kemungkinan bentuk dari sudut Negara Pancasila sebagai perspektif di Indonesia, dan apa yang terjadi di Indonesia ini dari sudut itu. Ketiadaan perspektif ini, menjadikan analisis demokrasinya, seperti meniadakan sama sekali praktik dan perspektif Negara Pancasila dalam diskursus analisisnya, dan bagaimana ia dikembangkan oleh kelompok-kelompok. Seandaianya Greg mau masuk ke dalam soal ini, diskusinya akan masuk ke dalam titik pijak Indonesia. Persoalan lain akan menjadikan pertanyaan-pertanyaannya pada aspek yang lebih menukik: Negara Pancasila seperti apa yang ingin dikembangkan, dan bagimana kelompok-kelompok memainkan dan bermain itu di dalam kerangka perebutan makna ini; atau paling tidak memberi ruang bagi pengembangan perspektif Negara Pancasila dari sudut berbagai kelompok. Bagi banyak orang Indonesia, sudut Negara Pancasila ini, bahkan menjadi lebih penting daripada doktrin-doktrin demokrasi yang diperbicangkan di ruang kuliah, dan Greg tidak menyentuh itu.

Level Ketiga, Greg tidak memberi ruang bagaimana tentara Indonesia memandang soal demokrasi ini, dan hanya terfokus pada islamisme, dan khususnya soal pembubaran HTI, hubungannya dengan Jokowi-NU, sehingga dia tidak memperluaskan cakrawala pembaca, adanya kelompok yang masih kuat dengan pandangan tertentu soal demokrasi dan islamisme. Dari sudut ini, tulisan Allan Nairn, memberikan pengertian-pengertian yang agak lebih hidup, karena dia memberi ruang adanya hubungan-hubungan ini. Sejauh tentara tidak dilirik sebagai bagian penting dari kelompok yang mengembangkan demokrasi dan bagaimana hubungannya dengan kelompok Islamis, justru Greg sedang menyediakan etalase melihat masalah-masalah kebangsaan dari sudut demokrasi an sich. Padahal realitanya, dalam praktiknya jauh lebih rumit dan dinamis untuk hanya dilihat melalui kacamata demokrasi pluralis, bahkan tanpa menyingung dan menganalisis kelompok tentara.

Dari beberapa hal itu, cara berpikir demokrasi yang digunakan Greg Fealy, menjadi pijakan melihat hal-hal lain dari analisis di bawahnya atau turunanya, soal islamisme, hubungan NU-PKS; Jokowi-NU-Ma’ruf Amin; atau kelompok-kelompok elit dan yang lainnya, yang sebenarnya “biasa-biasa saja”; tidak ada informasi penting atau cara analisis yang lebih kritis untuk memperluas cakrawala, kecuali mengulang-ulang, sama seperti pengkritik rezim sebelum HTI dibubarkan. Bedanya, Greg menggunakan basis “demokrasi” yang dianutnya; yang lain mungkin menggunakan analisis islamis; dan yang lain mungkin menggunakan basis HAM yang lebih luas.

 

Analogi Paku yang Menancap

Greg membuat adanya penekanan risiko paku yang diinjak, setelah menyebut dengan retorika “menindas”, sebagaimana para islamis menyebutnya, yaitu “Jokowi menindas oposisi Islamis” lebih buruk dari SBY. Dengan mengibaratkan paku, semakin kuat diinjak semakin dalam dan mendalam lagi menancapnya. Sepertinya, analogi ini masuk akal, tetapi juga tidak seluruhnya benar, tergantung apakah kita memasukkan kemungkinan bisa menggunakan analogi yang lain apakah tidak, selain paku; atau kita mau memberikan peluang lain selain dari paku yang ditancapkan pada benda yang membuatnya semakin sulit dicabut, apakah tidak, dan itu banyak sekali tamsilannya. Artinya lagi, analogi tentang hubungan dilarangnya HTI atau menindas kelompok islamis dalam bahasanya, banyak bisa digunakan analogi lain, tidak melulu hanya dengan paku, dan tidak melulu paku dihubungkan dengan benda padat yang ketika semakin diinjak pakunya sulit dicabut.

Asumsi Greg mengandaikan paku itu ditancapkan pada sejenis sebatang pohon dan paku pada benda padat yang memungkinkan paku itu sulit dicabut, semakin diinjak secara keras dia akan semakin dalam menancapnya. Akan tetapi kalau asumsi itu dibaca lain, paku itu dicabut dari pemakuannya, dan diletakkan dalam benda yang lebih lentur, basah, dan berair, lama-lama paku itu akan meleleh, berkarat, adalah tamsilan lain yang juga masuk akal. Itu artinya, selagi Pancasila masih dipertahankan sebagai konsensus nasional, dan cantelan legal untuk mengorganisir gerakan yang ingin mengganti sistem secara total alternatif dari Pancasila tidak ada, maka orang-orang yang terdampak dari kebijakan ini, akan dikondisikan oleh sistem di masyarakat untuk bergerak ke tengah; dan ketika ia menggunakan tandzim simbolnya yang mau mengganti negara nasional-Pancasila, dia akan dikontrol oleh masyarakat sendiri.

Bahwa orang-orangnya akan tetap beraktivitas di masyarakat dan tidak lagi dengan menggunakan simbol-simbol tandzim-nya, itu justru harus didukung, yaitu ketika mereka sudah tidak lagi menggunakan simbol dan tandzim lamanya. Kalau mereka memiliki daya tahan yang cukup, untuk hidup seperti itu, secara alamiah dia akan bergerak ke tengah, dan dituntut untuk mau menghargai hidup bersama dengan konsensus negara nasional berdasarkan Pancasila; dan terserap ke dalam kelompok Islamis lain yang masih hidup. Akan tetapi, mereka juga akan bisa merusak keseimbangan kelompok islamis lain, kalau mereka masih mengusung ide-idenya untuk dikampanyekan di kalangan Islamis sendiri, atau akan berbenturan dengan kelompok islamis sendiri, sejauh mereka tidak mau mundur selangkah, untuk berpijak pada konteks Indonesia.

Lebih dari itu, yang mereka tidak memiliki daya tahan cukup, untuk beradaptasi seperti itu, dan artinya harus beradaptasi dengan kelompok lain di kalangan Islamis (yang berarti hancurnya tandzim yang khas di kalangan mereka), paling ujungnya, memang bisa saja mereka beralih menjadi kombatan. Hanya saja, saya sendiri ragu mereka mau memilih ini. Sebab jalan itu, di dalam sejarah di Indonesia, tidak memperoleh titik terang, dan mengalami nestapa berlarut-larut, dan mereka menyadari itu. Dan, kalangan kelas menengah yang mendukung itu tidak cukup kuat untuk melakukan hal seperti itu, dibanding rekan mereka dari eks jaringan NII.

Greg sedang menyediakan etalase melihat masalah-masalah kebangsaan dari sudut demokrasi an sich. Padahal realitanya, dalam praktiknya jauh lebih rumit dan dinamis untuk hanya dilihat melalui kacamata demokrasi pluralis, bahkan tanpa menyingung dan menganalisis kelompok tentara.

Penggunaan Islam sebagai Simbol

Greg Fealy juga menekankan adanya kecenderungan penggunaan Islam secara politis sebagai simbol yang digunakan elit Politik. Sebagian pandangan ini, dapat dikembalikan kepada apa yang terjadi selama ini. Akan tetapi sebagian yang lain, juga tidak tepat. Sebagian yang sulit untuk dibantah adalah Prabowo cs menggunakan Islamis untuk dapat mendulang suaranya, atau mendukungnya, tetapi kebijakan-kebijakannya untuk mengakomodasi mereka, Greg mewanti-wanti belum tentu benar. Paling aktualnya, rekomendasi ijtima ulama pendukung Prabowo saja tidak diikuti. Demikian pula, menurutnya Jokowi melakukan terhadap Kyai Ma’ruf Amin-NU. Greg bahkan menyebut, “Jokowi membutuhkan ulama sebagai tameng. Saya ragu meski penggunaan Islam secara simbolis meningkat, saya tidak yakin kebijakan politis bernapas Islam itu meningkat.”

Hanya saja, Greg sekadar melihat dari satu sisi, seakan-akan, penggunaan dari sudut Jokowi atau Prabowo soal simbol Islam, dan kurang memberi ruang analisis dengan melihat kelompok-kelompok itu juga memanfaatkan Jokowi dan Prabowo, untuk mewujudkan visi Islam yang dapat mereka kembangkan, disamping soal mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Pada level yang lain, Greg tidak melakukan pembedaan yang mencolok antara mereka yang menggunakan islam sebagai simbol dalam politik, dan mereka kalangan muslim yang menjadikan sebagai sikap hidup dan kerja-kerja dalam kerangka politik, tanpa menjadikan Islam sebagai simbol politik. Greg menyamakan saja, semua dianggap sebagai pengunaan Islam sebagai simbol; dan Kyai Ma’ruf sebagai tameng.

Pada sisi yang lain, Greg juga hanya berhenti pada penilikan dimanfaatkan elit, semisal Jokowi dan Prabowo, tetapi juga tidak membicarakan aspek-aspek, siapa yag memanfaatkan Prabowo dan Jokowi: apakah tentara, apakah korporasi internasional, apakah ada faktor share kekuasaan antar kelompok, dan yang lain, sehingga pandangan yang diberikan kepada publik Indonesia mempersempit cakrawala wawasan, seakan-akan Jokowi dan Prabowo itu orang yang sangat sakti, sesuatu yang aktual pula dikritisi.

Hatta ketika menyebut penggunaan Kyai Ma’ruf sebagaia tameng oleh Jokowi, dilihat dalam optik yang sama ketika Prabowo memanfaatkan para Islamis. Tentu tidak sesederhana itu, dengan hanya melihat pada aspek kekuasaan-politik, dengan tidak memberi ruang pada penglihatan yang lebih luas bagi imajinasi, bagaimana risiko-risiko dari dukungan ini atau memberi tempat kepada mereka: islamis dan NU-Kyai Ma’ruf Amin di satu sisi, bagi masa depan arus kultural Islam dan masa depan Negara Pancasila. Maka pandangan Greg tidak cukup memberikan gambaran yang berarti dan cukup memuaskan untuk melihat dinamika ini bagi imajinasi demikian, terutama bagi generasi yang tidak menjadikan masa depan Islam hanya melalui kekuatan kekuasaan politik.

Lebih-lebih lagi, Greg tidak memberikan cara pandang terhadap arus kelas menengah yang sedang demam islami itu, seakan-akan ini akan menjadi jalan bagi tsunami politik. Artinya, dia tidak memberikan penilaiannya secara kritis terhadap arus itu, kecuali hanya fokus pada penggunaan simbol Islam oleh elit, sehingga luputlah tilikan yang kritis kepada kelas menengah yang demam “islami” itu. Tentu saja karena itu hanya wawancara yang tidak terlalu panjang, tidak memungkinkan itu dibahas, bisa saja alasan ini digunakan. Akan tetapi hal ini juga bisa dilihat keengganannya untuk masuk ke topik itu, justru menjadi sesuatu yang penting ditelaah: kaitanya dengan kemungkinan adanya tsunami kelas menengah muslim ini (sebagai yang semu atau riil) dalam masyarakat Indonesia, dan ini perlu pembicaraan tersendiri; dan aspek hubungan analisis demokrasinya dengan para Islamis sendiri.

Level yang lain, Greg tampaknya mengasumiskan bahwa penggunaan simbol Islam itu tidak senafas dengan kebijakan politis Islam yang meningkat. Hal ini, dapat dilihat dari segi: dia membatasi bahwa representasi politik Islam (bukan Islam politik) itu hanya, kelompok islamis dengan berbagai variasinya dan NU di sisi lain, dan tidak memberi ruang pembacaan dimana Jokowi dan semisalnya mewakili sejenis Islam juga. Cara pandang seperti ini, sama seperti para Islamis, yang mendalilkan bahwa yang memperjuangkan Islam itu ya hanya mereka, yang membela umat Islam ya hanya mereka; yang membela ulama hanya mereka; dan di sisi lain, juga sama dalam substansinya dengan mereka yang mengatakan, bahwa Islam Jawa itu bukan Islam.

Pandangan demikian itu, akan mengakibatkan pada hal berikutnya, dimana kebijakan yang dianggap islami itu mengandaikan ketidakyakinannya pada “kebijakan politis bernapas Islam itu meningkat.” Hal ini, benar adanya kalau yang dimaksud kebijakan politis bernapas Islam itu, adalah kebijakan politik dengan memakai Islam sebagai al-ismu, atau simbol-simbolnya, atau sejenis itu. Kalau pemerintah Jokowi atau Prabowo membuat kebijakan publik, tentang perlindungan anak, atau mereevaluasi secara drastis Freeport, dan sejenisnya yang tidak ada kaitannya dengan simbol Islam, dengan sendirinya akan dikeluarkan dari politik Islam.

Konsekuensinya, ketika berbicara kebijakan yang substansi dimana Islam sebagai al-musamma tidak mendapatkan ruang analisisnya, sebagai bagian dari kepentingan umat Islam, akan dikeluarkan dari politik Islam. Dan, yang seperti ini tidak menggambarkan pandangan besar masyarakat muslim Indonesia dalam melihat kebijakan politik, yang melihat bahwa meskipun namanya tidak harus Islam, kalau sesuai dengan nilai-nilainya, dan menimbulkan kemashlahatan, akan menjadi bagian kepentingan mereka, tanpa harus dipertentangkan dengan “kebijakan bernapas Islam”. Wallohu a’lam.