Menu

Nyonyang

Agama diturunkan oleh Tuhan sebagai petunjuk keselamatan bagi umat manusia. Namun tanpa budaya, agama sepertinya akan mengalami kesulitan menemukan relevansi kenapa agama itu hadir.

Manusia sebagai makhluk yang ditugaskan untuk mengabdi kepada Tuhan dan menjaga kelestarian bumi hanya memiliki bekal berupa cipta, rasa dan karsa (budaya), untuk menafsirkan petunjuk-petunjuk dari Tuhan melalui agama. Sekiranya itulah alasan mengapa suatu suku bangsa seringkali dihubungkan dengan agama tertentu.

Di lain sisi, manusia cenderung mengambil nilai-nilai universal dalam agama sebagai inspirasi dan landasan untuk mengukuhkan bentuk ekspresi kebudayaannya. Sebab, mungkin nilai-nilai agama dirasa lebih cocok atau lebih bisa mengakomodir kebutuhan individu (baca: spiritualitas) dan kebutuhan sosial sekaligus, demi mewujudkan suatu tatanan kehidupan bersama yang seimbang dan harmonis.

Penulis membayangkan, agama atau keyakinan tertentu telah menjelma sebagai nubuat inspiratif yang menggerakkan lokomotif tradisi budaya masing-masing suku bangsa.

Ibarat sebuah pohon besar, agamalah yang menjadi akar pohon kebudayaan. Orang-orang Sasak menyebutnya sebagai “Akah Pancer”, akar yang tertanam kuat dalam tanah, berkerja menyerap air dan intisari kehidupan dari tanah untuk kemudian dipasok ke seluruh bagian pohon yang membutuhkannya.

Di Lombok, agama Islam merupakan agama mayoritas. Barang tentu, ajaran Islamlah yang lebih dominan memberi corak, warna tradisi (lokal) masyarakat Suku Sasak. Sebut saja beberapa di antaranya yakni tradisi Maulidan, Mi’rat, Serakalan, Rowah,  Gawe Urip, Gawe Pati dan acara tradisi adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak yang bernuansa islami lainnya.

Untuk lebih jelasnya, penulis mengambil satu acara tradisi masyarakat Suku Sasak yang paling populer yakni Rowah. Istilah “Rowah” pada mulanya dipahami oleh masyarakat Sasak, sebagai penanda nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan tahun Hijriyah yakni bulan Sya’ban. Kemudian dikembangkan menjadi semacam acara mengirim pahala zikir dan doa-doa kepada arwah seseorang yang sudah meninggal dunia.

Lebih lanjut berkembang menjadi istilah yang amat populer di kalangan masyarakat Suku Sasak, sebagai penanda bagi masyarakat yang berniat mengangkat gawai atau membuat acara hajatan secara massal.

Jenis acara hajatan apapun itu. Baik itu hajatan yang berhubungan dengan permohonan keselamatan, peringatan kematian, maupun hajatan berkenaan dengan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah dianugerahkan kepadanya.

Dari segi pelaksanaannya, tradisi Rowah cenderung mirip dengan tata pelaksanaan acara Slametan dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa. Tradisi Slametan itu sendiri, konon merupakan hasil ijtihad para wali Tanah Jawa, dalam upaya melawan ritual Ma Lima atau ritual Panca Makarapuja yang dijalankan oleh sekte Bairawatantra. (Sunyoto, 2016:116)

Jenis acara hajatan apapun itu. Baik itu hajatan yang berhubungan dengan permohonan keselamatan, peringatan kematian, maupun hajatan berkenaan dengan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah dianugerahkan kepadanya.

Ritual Ma Lima ini, prakteknya dianggap mengancam keselamatan jiwa rakyat kecil, masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, Para Wali Tanah Jawa berupaya menggubahnya dengan cara membuat acara tradisi keagamaan dengan wajah yang lebih memanusiakan manusia (Slametan).

Tokoh adat Sasak sedang meninjau kelancaran acara adat.

Dari Sraddha, Nyadran, hingga Nyoyang

Demikian halnya dengan acara Nyoyang. Dalam kitab Pararaton dan Kakawin Narakratagama disebutkan bahwa pada tahun 1362, Prabu Hayam Wuruk pernah menyelenggarakan upacara Sraddha, untuk memperingati 12 tahun kematian Gayatri Rajapatni, Dyah Dewi Tribhuwaneswari (Nenek, Prabu Hayamuruk) atas perintah Ibundanya Tribhuwanatunggadewi. (Notosusanto, 1984:435)

Kemudian dalam parasati Jiwu I dan prasasti Jiwu III disebutkan bahwa Grindrawardhana atau Dyah Ranawijaya pernah menyelenggarakan upacara Sraddha juga, untuk memperingati 12 tahun kematian Bathara Ring Danaputra atau Bre Daha. (Notosusanto, 1984:446)

Meskipun dalam buku sejarah yang penulis baca itu, tidak menjelaskan dengan detil, bagaimana tata pelaksanaan dari upacara Sraddha. Namun dapat disimpulkan bahwa acara Sraddha adalah acara tradisi keagamaan untuk meruwat atau memberi penghormatan terakhir kepada arwah, salah satu anggota keluarga raja yang meninggal dunia, setelah 12 tahun lamanya.

Besar kemungkinan acara Sraddha inilah yang mengilhami Para Wali Tanah Jawa, yang berdakwah menggunakan pendekatan kultural, memberi nama sebuah acara tradisi keagaman baru dengan istilah Nyadran (Sunyoto, 2016:163).

Meski dari segi penamaan, acara Nyadran cenderung mirip dengan upacara Sraddha, namun landasan, orientasi serta tata cara pelaksanaan Nyadran berbeda dengan acara Sraddha.

Meski dari segi penamaan, acara Nyadran cenderung mirip dengan upacara Sraddha, namun landasan, orientasi serta tata cara pelaksanaan Nyadran berbeda dengan acara Sraddha.

Landasan hukum penyelenggaraan tradisi Nyadran, disandarkan pada dalil Islam yang membolehkan dan menyatakan bahwa pahala kebaikan, amal jariyah keluarga yang masih hidup, bisa dikirimkan dan bisa sampai kepada arwah keluarga yang sudah meninggal dunia. Kemudian orientasi serta tata pelaksanaan acara nyadran lebih mengutamakan amalan-amalan berupa sedekahan, zikir, membaca Qur’an, solawatan dan membaca doa-doa permohonan keselamatan lainnya.

Di samping itu, pelaksanaan Nyadran tidak mesti menunggu selama 12 tahun usia kematian layaknya Sraddha. Acara Nyadran bisa dilaksanakan setelah 1000 hari pasca kematian seseorang.

Sepertinya, konsep acara Nyadran ini juga berkembang di kalangan masyarakat Suku Sasak meskipun istilah yang digunakan bukan Nyadran lagi, melainkan disesuaikan dengan bahasa setempat, menjadi: Nyeribu, Nyiu atau Nyoyang. Dimana maknanya kira-kira sama dengan “peringatan 1000 hari pasca kematian seseorang”.

Para kiai sedang membaca Alquran dalam acara Nyonyang

Acara Nyoyang di Lombok Utara

Pada umumnya, masyarakat muslim Sasak lebih familiar dengan istilah Nyeribu, ketimbang Nyoyang atau Nyiu. Istilah Nyoyang atau Nyiu, hanya berlaku di kalangan Masyarakat Sasak, di wilayah bagian utara Pulau Lombok. Seperti acara Nyoyang yang penulis ikuti, di Pejeroan Sokong, Dusun Karang Bedil, Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.

Acara Nyoyang yang penulis ikuti ini, tidak hanya diselenggarakan dengan cara-cara islami saja, seperti lazimnya acara Nyeribu di tempat-tempat lain. Acara Nyoyang selain diselenggarakan dengan cara Islami, pelaksanan Nyoyang juga dirangkaikan dengan beberapa acara adat, yang penuh dengan makna simbolik. Semisal menanam batu nisan sebagai penanda kubur almarhum yang bersangkutan.

Acara Nyoyang yang penulis ikuti ini, tidak hanya diselenggarakan dengan cara-cara islami saja, seperti lazimnya acara Nyeribu di tempat-tempat lain. Acara Nyoyang selain diselenggarakan dengan cara Islami, pelaksanan Nyoyang juga dirangkaikan dengan beberapa acara adat, yang penuh dengan makna simbolik. Semisal menanam batu nisan sebagai penanda kubur almarhum yang bersangkutan.

Kemudian acara Melurut atau menyemprotkan wewangian kepada para kiai yang sudah berkenan memimpin zikir, doa dan membaca Qur’an secara masal. Caranya, beberapa perwakilan dari keluarga yang meninggal dunia menyemprotkan wewangian kepada para kiai sebagai bentuk tawassul melalui perantara para tokoh agama yang diyakini memiliki kedekatan secara khusus dengan Tuhan.

Tepat setelah acara melurut selesai, kemudian acara dilanjutkan dengan acara Bepaosan. Kiranya perlu diketahui bahwa dalam acara Bepaosan teks yang dibaca  adalah Serat Tapel Adam yang ditulis dengan aksara Hanacaraka dan dengan bahasa pengantar menggunakan Bahasa Jawa. Serat Tapel Adam ini, dibaca dengan cara ditembangkan (dilagukan) oleh para pujangga setempat. Kemudian salah satu dari mereka, bertindak sebagai penerjemah ke dalam Bahasa Sasak, agar isi yang terkandung di dalamnya juga bisa dihayati oleh para hadirin.

Kenapa mesti Serat Tapel Adam yang dibaca? Menurut keterangan salah seorang pemuka adat dan pemuka agama di sana. Tujuan dari pembacaan Serat Tapel Adam ini adalah untuk merefleksikan kembali bagiamana kisah penciptaan Nabi Adam atau manusia pertama, untuk dijadikan sebagai bahan renungan bagi keluarga maupun hadirin yang menyimak pembacaan Serat Tapel Adam. Sehubungan dengan asal usul, hakikat, kedudukan, tujuan perjalanan hidup manusia di muka bumi ini, serta hendak ke mana jiwanya mesti kembali (berpulang) setelah mati.

Keesokan harinya barulah diselenggarakan acara puncak, yakni acara sedekahan atau selawatan berupa Pesangon Anak Pati Putuning Adam. Jenis sedekahan ini dibedakan menjadi dua yakni sedekah untuk para kiai, para pembenah. Dan sedekahan untuk masyarakat yang menghadiri acara Nyoyang

Sedekah untuk para kiai yang telah membantu memimpin acara keagamaan ini nantinya berupa barang-barang yang merepresentasikan perlengkapan sandang dan pangan (sangu pati) arwah semasa hidupnya, maupun barang-barang berupa alat-alat yang merepresentasikan pekerjaan arwah semasa hidupnya (kecendrungannya berupa perlengkapan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat agraris). 

Adapun sedekahan berikutnya, adalah sedekah berupa nasi aji, panganan tradisiona dan buah buahan lainnya yang ditata rapi menyerupai bentuk gunungan di atas sebuah berugak ancak (lapak atau meja besar berbentuk persegi dari bambu), masyarakat setempat menyebutnya berugak ancak berisi sarwa sarwi merua sari atau sarwa sarwi merkat sari. 

Setelah upacara penyerahan sedekahan (secara adat) oleh pihak keluarga yang meninggal dunia dan diterima oleh para kiai atau para pembenah, barulah isi ancak boleh diperebutkan oleh siapa saja hadirin yang menaruh minat. Sedekahan berupa nasi aji, panganan tradisional, dan aneka buah-buahan dalam ancak ini, oleh salah seorang pemuka adat di sana menjelaskan, bahwa: Selain dimaknai sebagai perwujudan amal jariah dari keluarga yang masih hidup, yang pahalanya diniatkan, dikirim untuk anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Secara tidak langsung, sedekahan ini juga dapat diartikan sebagai representasi kehidupan masyarakat yang  guyub. Hidup rukun di bawah naungan, limpahan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa hasil bumi, hasil kesuburan tanah air masyarakat Lombok Utara yang patut disyukuri.