Padang
HUBUNGAN apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, aku mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang batin yang teramat dalam. Begitulah setidaknya yang aku rasakan. Hanya dengan membayangkan seruas jalan di kampungku, ingatanku akan terhantar ke banyak nama dan peristiwa. Mengalir dan terhantar begitu saja, seolah kami—aku dan jalan masa kecilku—saling menjelang, hampir-menghampiri, lalu bersilangan dalam kenangan. Utuh, murni.
Menyadari itu, maka aku tidak merasa heran dengan tindakan tak masuk akal seorang saudaraku yang bertugas di Jakarta; kuamsal sama seperti diriku yang diamuk rindu-dendam kampung-halaman, tak bersudah. Suatu kali saat melintas di Terminal Rawamangun, mendadak ia minta turun dari bajaj. Tanpa pikir panjang, ia beli selembar tiket, lalu ia bergegas naik ke atas bus jurusan Sumatera. Ia masih berpakaian dinas waktu itu: baju dan celana loreng, ya, ia seorang kapten tentara. Akibatnya, baru saja ia mencecahkan pantat di kursi rumah—setelah dua hari dua malam terbenam di kursi bus—komandan meneleponnya, minta dia segera balik ke Jakarta!
“Terasa ada yang menarikku naik ke atas bus Gumarang Jaya, entah apa. Setiap kali lewat Rawamangun perasaan itu muncul terus, tapi kulawan terus. Lama-lama aku tak tahan lagi. Melihat bus Sumatera masuk-keluar terminal, jalan di depan rumah kita mendadak terlintang begitu saja di depan mata,” ia menceritakan kepulangannya yang tak biasa itu ketika kami bertemu di Jakarta beberapa tahun setelah kejadian.
“Bagaimana dengan komandanmu?” tanyaku.
“Urusan komandan ya, komandan; urusan rindu tak ada komandan-komandanan,” katanya sengak. Meski begitu, saat ditelepon itu, ia menyatakan siap menghadap komandan dengan kembali secepatnya ke ibukota.
Aku pernah merasakan hal yang sama, dengan kisah berbeda. Dalam suatu acara sastra ke Lampung, sehabis penyeberangan Merak-Bakauheni, hatiku meriap disambut sebuah jalan. Ya, begitu melihat Jalan Lintas Sumatera terbelintang di depan mata, dengan bus-bus berdebu dan truk-truk berderak, tiba-tiba aku ingin sekalian menyusurinya hingga ke kampungku di pantai Barat sana. Meski urung, setidaknya saat di warung makan, ujung jariku gemetar sengaja menyentuh tepi aspal—panas, legam!
Ah, hubunganku dengan jalan kampung halaman tak mudah dijelaskan. Kecuali bahwa aku punya beberapa cerita kecil yang mungkin bisa menggambarkan apa yang ingin kutuju, alih-alih cerminan pengalaman yang sama dari orang lain. Mari, ikutlah denganku.
Jalan Masuk, Jalan ke Luar
MULA-MULA mesti kujelaskan bahwa hanya ada satu jalan utama di daerah asalku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Jalan itu sempit berliku, diapit bukit-bukit di satu sisi, dan di sisi lain, lautan biru. Sebenarnya itu merupakan ruas Jalan Lintas Barat Sumatera, tapi tak seramai Lintas Timur atau Lintas Tengah. Ia membentang seolah tanpa simpang sebab setiap simpang tak akan membawamu jauh ke mana-mana. Buntu di bukit, berujung di laut. Ada memang sebuah simpang ke Sungai penuh, Kerinci, dekat kota kecil penghasil nilam, tapan, namun jalur itu rusak berantakan. Hanya orang tak punya pilihan yang mau menempuhnya. Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Jadilah kami hanya punya seruas jalan lintas yang tak tergantikan itu. “Orang pemerintah” sendiri dalam setiap kesempatan, misalnya saat beramah-tamah dengan perantau atau ketika menerima kunjungan “orang pusat”, selalu menyatakan “jalan masuk dan keluar sama saja.” Terdengar serupa seloroh, tapi karena mereka yang mengucapkan—dan bukannya Madin si tukang kaba—maka tak ada yang salah; dan tak pula membuat mereka segera membenahinya.
Tapi memang begitulah keadaannya sejak dahulu. Jika ada jembatan putus atau tanah longsor menutupi badan jalan, atau badan jalan itu sendiri ambrol ke sungai maupun tepi laut, katakanlah di Bukit Pulai atau Bukit Taratak, maka semua kendaraan akan tegak tertahan. Percuma berbalik arah. Bukankah jalan datang dan pulang cuma satu? Saat begitu, sebagian orang kampungku akan beralih jadi penjual penganan, yang hangat-hangat, yang manis-manis. Yang paling cekatan di antara mereka kerap juga dijadikan bahan pembicaraan jika bukan dicemburui, misal:
”Iris kue talam Mak Peren tipisnya bukan kepalang, ya. Mentang-mentang orang sudah tak punya pilihan beli-beli makanan,” kata seseorang mencoba kritis.
“Setipis kulit ari,” sahut yang lain.
“Bisa ke Mekkah dia dengan labanya,” kata Isul pula.
“Tapi tetap laris…”
“Tentu saja karena dia punya niat ke Mekkah, niat baik akan menaikkan rezeki,” kata Uman tak kalah cekatan.
Hmm, padahal karena orang-orang tak punya pilihan, kataku dalam hati. Aku tak pernah siap berdebat dengan Uman, sepupuku yang taat.
Namun bagaimanapun, halangan begini bagi orang kampungku bukan soal kesempatan mencari rezeki. Lihatlah, pintu rumah kami terbuka buat orang berteduh. Surau, mushala bahkan rumah perantau yang lama tinggal, akan dibuka oleh penunggunya, jadi tempat nyaman bagi mereka yang terlantar di jalan. Ada pun bagi kami anak-anak muda yang tumbuh di antara lumpur dan debu, nyanyian ombak laut dan dendang malam, halangan demikian diamsal sebagai hiburan. Kami bagai dipertemukan hari raya yang dipercepat datangnya, seakan rombongan perantau “pulang basamo” telah tiba. Kampung mendadak ramai, kendaraan yang tertahan seperti berbaris di tempat parkir. Sementara alat-alat berat yang menyingkirkan longsoran sepintas tampak serupa buayan kaliang, komedi putar tradisional, di arena pasar malam. Pada hari-hari seperti itu, kami tak usah ke laut, ke sawah atau ke ladang, semua diperbolehkan larut menonton, dan jika untung kami akan berkenalan dengan satu-dua orang gadis penumpang bus!

Tentu gadis-gadis itu, sebagaimana penumpang lain, bosan menunggu. Sebagian rasa bosan cepat sirna berkat kami yang ternyata berbakat juga menjinakkan hati mereka. Tak terbayangkan bagaimana Ujang Meren yang bertubuh pendek gempal mengenakan baju dengan lengan tergulung dan rambut berlumur minyak tancho serupa getah burung, mulai memikat seorang gadis yang selalu tak jauh-jauh duduk dari ketiak maknya. Meski bicaranya gagap seperti ayahnya, Ujang sangat percaya diri, juga persis ayahnya yang dikenal sebagai parewa kampung. Kami tak tahu bagaimana ia berkenalan. Tahu-tahu ia sudah bisa gelak berderai bersama si gadis yang menumpang tidur di mushala itu. Tak lama kemudian ia sudah berhasil mengajak si gadis ke luar dari halaman mushala.
“Wah, bisa kau lepas jepitan ketiak maknya, ya?” bisik Pedi sengit.
“Apa ndak lekat baunya?” tukuk Izal. Keduanya lebih cepat panas ketimbang berani. Ujang menyeringai, pertanda ia akan membuat perhitungan bila urusan dengan si gadis selesai.
“Tak sia-sia kau menuntut ilmu pekasih limau purut, Jang,” kata Amri tulus. Ujang tersenyum dan itu berarti akan ada sebatang-dua batang rokok nanti buat Amri.
Kepadaku, Ujang melapor bahwa gadis itu bernama Eda, asli Pariaman. Ia dan ibunya dalam perjalanan ke Sungaipenuh, Kerinci, tempat ayahnya berladang kulit manis.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Lalu aku pun melapor perihal gadis kenalanku. Namanya Asni, kubilang. Gadis manis asal Bengkulu yang kuliah di Kota Padang.
”Kudal, dari dulu kami tahu kau ingin bersekolah tinggi, dan kini kau bertemu anak orang kuliah. Itu tanda-tanda,” Ujang balas berkata. Terharu juga aku dibuatnya.
Sejak itu aku dan Ujang kerap menunggui bus-bus malam Padang-Bengkulu atau Padang-Sungaipenuh lewat, seolah gadis kami melambai dari balik kaca jendelanya. Membayangkannya saja kami sudah merasa puas. Teramat puas.
Perlawatan Hatta, Sahabat Hatta
MEMANG, salah satu kawasan yang kerap longsor adalah Bukit Taratak yang membatasi kampungku dengan kampung sebelah, Taluak Ujung Batu (karena itu Bukit Taratak kadang disebut juga Bukit Taluak). Di puncaknya ada Panorama Nyiur Melambai, nama pemberian Hatta dalam satu kunjungan ke Sumatera Tengah pada tahun 50-an, masa ketika kabupaten kami masih bergabung dengan Kerinci, bernama Pesisir Selatan Kerinci (PSK) beribukota di Painan, pernah juga di Sungaipenuh, dan sempat sebentar di Balaiselasa.
Di Bukit Taratak, punggung Bukit Barisan berjejer membentuk tebing aneka rupa. Kadang landai dengan semak rengsam, sebagian tegak curam dengan tetesan air dan lumut tumbuh serupa tirai. Inilah yang sering longsor atau runtuh. Jika sudah begitu, para pemuda kampungku akan turun mengatur lalu lintas. Tentu, sebagian bertugas menadahkan topi atau ember kecil ke kaca kendaraan yang berhasil lewat. Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Menurut cerita, saat lawatan Hatta dulu, terjadi juga tanah longsor di Bukit Sibingkeh, dekat perbatasan kabupatenku dengan Kota Padang. Namun dalam waktu singkat semuanya teratasi. Tak lain berkat cangkul-cangkul terayun dari tangan orang-orang kecil, tanpa alat berat, sehingga wakil presiden kita dengan senyum selalu hangat, bisa lewat hingga sampai ke Danau Kerinci—maka hingga sekarang ada juga di sana panorama bernama Beringin Hatta dan Tanjung Hatta.
Saat sampai di puncak Bukit Taratak, Hatta berhenti, melepas pandang sekeliling, menyaksikan Samudera Indonesia cerlang terbentang, juga pulau-pulau kecil indah nian–Pulau Kiabak, Katang-Katang, dan Teluk Tempurung yang namanya disebut dalam pantun dan dendang. Sementara di pantai, di bawah nyiur yang melambai-lambai para nelayan terlihat menghela pukat. Mereka semua penuh semangat, persis warga Sibingkeh yang baru saja ia saksikan begitu sigap membuka jalan. Alhasil, selain memberikan nama tempat itu“Panorama Nyiur Melambai”, kunjungan tersebut konon juga memperteguh gagasan koperasi Hatta: kebersamaan!
Dari sini saja jelas jalan kami bernilai sejarah. Apalagi dilihat jauh ke zaman Belanda yang menggunakannya untuk membuka tambang emas dan merintis kebun kapas dan lada. Belanda juga membuka jalan Tapan-Kerinci, demi mencari sumber hutan dan hasil bumi.
Tak lama setelah pemerintahan Hindia-Belanda jatuh, dibombardir Jepang sejak dari Tarakan, Balikpapan, hingga loncat ke Jawa dan Sumatera, jalan yang melintasi kampungku ini sebenarnya membentangkan satu lagi sejarah kecil, tapi jarang tercatat. Alkisah, kabar tentara Nippon bakal sampai ke Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatera’s Weskuts (ibukotanya Padang), menggoncang tatanan Hindia di pantai barat Sumatera. Mereka segera menyiapkan kapal untuk pelarian ke Australia. Teluk Bayur adalah pelabuhan yang dipilih sebagai “emergency exit”.
Bagaimana dengan Soekarno di rumah pengasingannya di Bengkulu? Otoritas Hindia meminta Soekarno dan keluarganya (termasuk ibu Inggit) diberangkatkan ke Padang dengan sebuah oto dan pengawalan sekedarnya– toh yang mengawal dan dikawal saat itu sama-sama senasib di hadapan penguasa baru Asia Timur Raya. Karena itulah mereka sengaja tidak melalui laut karena Angkatan Laut Jepang terkabar mulai melancarkan operasi.
Maka bertolaklah Bung Karno dan orang-orang tercintanya mulai dari Anggut Atas Bengkulu kota, Lais, Bintunan, Air Ramai, Ipuh, Pasar Bantal, Air Dikit, sampai Muko-Muko di perbatasan. Selepas itu, Soekarno menyusuri jalan daerahku: Lunang, Tapan, Indrapura, Airhaji, Balaiselasa, Kambang, Surantih, Taratak-Lansano, ah, itu kampungku! Lalu berlanjut terus ke utara melalui Taluk, Batangkapas, Painan, Salido, Bayang, Tarusan– ya, setiap ruas jalan yang kuceritakan– hingga sampai di Kota Padang. Di sana, rencana Belanda membawa Bung Karno keluar Sumatera gagal, karena Jepang sudah menunggu di situ.
Apa pun, jalan raya kampungku yang merana pernah dilalui Soekarno beberapa waktu sebelum merdeka. Tak berlebihan, jalan ini yang mengantarnya selamat ke Padang, Bukittinggi, Palembang, lalu Jakarta hingga ia memproklamirkan kemerdekaan bersama Hatta. Tapi setelah merdeka, jalan itu malah tak terawat, rusak di mana-mana. Berkali-kali pemerintah daerah mengajukan biaya perbaikan ke Jakarta, tapi tak kunjung dapat kepastian. Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Didorong oleh rasa kecewa, muncullah inisiatif lokal untuk mengatasi keadaan. Kondisi jalan sedikit lebih baik ketika Dewan Banteng—cikal-bakal PRRI—mulai memperbaiki sendiri jalan yang rusak serta membangun banyak jembatan, seiring dibukanya jalur rintisan yang dikenal dengan “Jalan Dewan Banteng”. Dari mana biayanya, ada yang bilang dari bisnis tentara di daerah. Ada yang bilang perdagangan gelap dengan Singapura, penyelundupan, dan berbagai tudingan lain. Apa pun, jalan kami satu-satunya itu sempat berjaya dengan jembatan baru dan pengerasan sana-sini.
Namun itu belum cukup. Ketika kemelut kian runcing, tudingan dan kecurigaan saling tikam, Hatta tiba-tiba memutuskan undur langkah dari sisi sahabatnya, yang dalam beberapa hal, mungkin telah menjadi seteru. Ini memicu tokoh-tokoh di daerah bersikap. Dan orang-orang militer paling cakap soal ini. Segera Dewan Banteng mengumumkan pemerintahan tandingan, PRRI, dan dalam hitungan hari, Soekarno mengirim pasukan ke daerah kami. Kota kecil Painan, ibukota kabupaten kami, hancur-lebur dihajar bom. Jalan utama satu-satunya beserta puluhan jembatan dari utara ke selatan dibombardir, jalan yang dulu pernah memperjalankan Hatta dan Soekarno di tiap keloknya.
Angkatan Udara Republik terus menggila menghela konflik ke batas tak bertara. Sebab ketahuilah, perusakan jalan dan jembatan, penghangusan Kota Painan, konon tak ada dalam skenario resmi APRI, Angkatan Perang Republik Indonesia yang menaungi AURI. Artinya, Angkatan Udara yang paling jauh disusupi komunis itu telah bertindak sendiri, untuk tujuan sendiri, entah apa.
Ah, jalan ini senantiasa akan mengingatkanku pada Soekarno, karena tentara APRI sendiri disebut “Tentara Soekarno”. Pasukan yang komandoi Ahmad Yani itu berhasil menguasai ruas jalan utama di daerahku setelah sukses membombardir kota-kota dari udara. Orang PRRI terpaksa ijok, masuk hutan, dan kehilangan jalan utama.
Hmm…, ingatanku pada Soekarno terkait juga dengan soal lain sebenarnya: gadis Bengkulu. Tentu kau ingat Fatmawati, gadis cantik dengan rambut dikepang itu, jelas salah seorang di antara mereka. Soekarno, sesampai di Jakarta, seolah bergegas meminangnya (bukankah ketika sekali lagi Soekarno lewat Bengkulu menuju pelabuhan Palembang, untuk dipulangkan Jepang ke Jawa, laki-laki plamboyan itu sempat diam-diam menemui Fatmawati? Karno berjanji akan memanggilnya ke Jakarta!). Benar saja, tak lama sampai di Jawa, Bung Karno menunaikan janjinya, tak peduli harus melepas Ibu Inggit pulang ke Bandung, surut dari gerbang.
Lalu aku? Aku hanya sekali bertemu Asni, gadis kenalanku waktu bus terhalang longsor dulu, lalu berlanjut dengan sepucuk dua-pucuk surat. Untung dulu kami sempat bertukar alamat. Dalam surat terakhirnya, Asni menyebut bahwa ia lebih suka ke Bengkulu naik bus melalui jalur Padang-Lubuklinggau, lebih jauh memutar, masuk Jalan Lintas Tengah (Jalinsum), tapi jalannya bagus. Senasib Ujang dengan aku. Eda, gadis kenalannya, jika hendak ke Kerinci juga memilih jalan memutar ke Solok Selatan. Tinggallah kami di Panorama Nyiur Melambai, sambil melirik pasangan kekasih sedang bersantai, kadang kami berbalas pantun tentang bukit tercinta ini.
“Bukit Taratak tinggi belum, Nyiur Melambai di atasnya, kasih terdorong sampai belum, sesak nafas badan dibuatnya,” kataku, persis tukang kaba.
Ujang Meren membalas, juga seturut tukang kaba: “Taratak Gunung Paseban, Kerinci mandi berbaju, taragak (rindu) usah berpesan, dalam mimpi kita bertemu…”
Truk-Truk yang Mengubah Dunia
SELAIN bus, kami senang menyaksikan truk-truk yang lewat mengangkut kopra, cengkeh, kulit manis, karet, jengkol, segala hasil kebun dan ladang (waktu itu belum ada kelapa sawit!). Tak ketinggalan hasil laut seperti ikan asin dan teri super yang menjadi unggulan daerahku. Meski ditutupi terpal dengan ikatan tali-temali serupa barang di kapal, kami bisa menerka apa yang dibawa sebuah truk dari menghidu baunya. Bersama debu yang berkisar, aromanya akan menyebar di udara. Itu sedap betul. Kecuali bau getah karet yang tanpa dihirup pun akan membuat hidungmu gosong. Tapi tak ada di antara kami yang hendak menutup hidung, bahkan untuk sekedar menggerutu. Kami tahu, itu sumber penghidupan orang kampung kami, ditakik dipagi buta, dari pohon-pohon karet di tepi rimba. Sebagaimana aroma ikan asin yang dijemur, kami terbiasa menghirupnya dengan tiada rasa terusik.
Kami juga hapal suara dan jenis truk yang lewat, sebagian kami kenali pemilik atau sopirnya. Ada Perel berambut keriting (konon, itu ciri sopir yang tak bakal mengantuk). Sadek yang suka melambai. Bidin yang selalu melilitkan kain sarung di leher. Dan banyak yang lain. Itu sopir-sopir kenamaan di kampungku. Mereka biasa membawa truk Bang Lukas, Andri Caniago, Pak Sani atau Datuk Sudir. Selain truk ukuran sedang (biasa disebut “oto-kol”; apakah karena pembawa lobak atau harus diengkol? Ada yang menyebut “oto-pra”; mungkin berasal dari pra-oto atau oto yang mengangkut getah para? Entah). Ada pula truk fuso yang lebih besar dan panjang. Selain ke Padang, Sibolga, Medan atau Pekanbaru, truk-truk itu terbiasa menyeberang ke pulau Jawa. Jika daerahku sedang paceklik, mereka mangkal ke Lubukpinang dan Muko-muko, Bengkulu, cari muatan. Pulangnya, dari Jawa, mereka bawa barang carteran dari Jakarta, atau bawang dari Brebes. Beberapa pemuda kampung kami sempat jalan-jalan ke ibukota negara dengan ikut jadi kernet. Selain dimodifikasi dengan cat warna-warni, klakson yang melengkung dan kaca spion yang berpilin serupa tanduk rusa, kaca, dinding dan bokong truk dipenuhi tulisan atau gambar-gambar mengundang senyum sekaligus harapan; mulai doa ibu dan penantian anak-istri, pengorbanan dan kesetiaan, berkah dan perlindungan, bunga rumah makan, tekad dan keberanian, sampai rayuan gombal yang tidak mengenal dosa.
Truk-truk itu (terutama bokongnya) sungguh menghibur dan menyenangkan, kerap membubungkan angan kami ke daerah-daerah jauh buat dijelang. Kami membayangkannya seperti kapal yang berlayar. Namun entah tahun keberapa, muncullah truk-truk jenis tronton, beroda tiga pasang, total enam kiri-kanan; baknya terbuka, tanpa dinding, sepenuhnya dari besi-baja. Tanpa harus menyembunyikan yang diangkutnya, kami terbiasa melihat dengan mata telanjang apa yang terbelintang di belakangnya: kayu gelondongan! (Mengingatnya kini, kuamsal seperti tongkang berlayar di sungai keruh Kalimantan). Tanpa bau, tanpa aroma. Kecuali bunyi derak dan deru, lalu raungan menakutkan yang membuat kami kerap menutup telinga. Satu truk memuat dua atau tiga batang pohon yang berusia puluhan jika bukan ratusan tahun. Mereka berderak dari selatan persis raksasa tua menyeret langkah ke utara, membuat rumah terasa dihoyak gempa.
Seiring dengan itu, truk-truk tak kalah besar dari arah utara (dari Padang), pun lewat ke selatan membawa tiang-tiang listrik beton yang dirantai. Ini seiring rencana masuknya listrik ke daerah kami.
Sering terjadi truk kayu berpapasan dengan truk pembawa tiang listrik di tikungan. Paling diingat orang adalah peristiwa Batu Biawak, dekat Painan. Kedua truk terjebak sehingga akibatnya juga seperti efek tanah longsor. Kendaraan lain ikut tertahan. Sopir truk bertengkar, sukar berdamai. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan masing-masing berniat mengutus kernetnya untuk menghadap “bos” mereka di Kota Padang. Polisi, antara lamban dan segan, terpaksa turun tangan. Truk manakah yang akan menang, Saudara? Ternyata truk tiang listrik mengalah! Tiga tiang diturunkan dari sana; dua tiang retak, satunya patah. Dengan cara itu, truk tiang listrik bisa mundur sehingga ada celah bagi truk kayu untuk lewat. (Kelak, tempat itu bernama Kelok Tiang Tiga; dan bertahun-tahun lamanya tiang-tiang malang itu dibiarkan tergeletak, menebal digerumbuli belukar-semak). Peristiwa tersebut ramai jadi perbincangan di lapau kopi dan ditarik satu kesimpulan: ternyata “penguasa kayu” lebih kuat ketimbang “penguasa listrik”!
Meski begitu, toh tiang-tiang listrik mulai tegak berbaris, bersanding dengan tiang kabel telkom yang telah lebih dulu ada (kami sebut “tiang kawat”). Baik tiang kawat maupun tiang listrik tak selalu patuh pada arah jalan. Di perbukitan, kabel dan kawat itu menjulur memintas jurang, dan kami bayangkan segalanya akan lebih cepat bila di situ ada kereta gantung. Tapi ada tak ada kereta gantung, sejak tiang listrik berdiri segalanya berubah cepat di kampungku. Meski listrik hidup-mati tak menentu, dunia baru datang bertandang lewat “kotak ajaib” yang dulu hanya bisa kami saksikan di kota kabupaten. Itu berkat menara pancar televisi yang dibangun di Bukit Palakek, Kambang. Menteri Penerangan Harmoko datang meresmikannya; ia dan rombongan naik kendaraan dengan serine meraung-raung sepanjang jalan. Raungan itu berlebihan sebab kendaraan yang berkonvoi sebenarnya tidak bisa berlari kencang. Lobang jalan di mana-mana. Suara serine seolah ikut berputar-putar terjebak lobang, dipantulkan dinding batu, tebing serta rimbunan kelapa dan pokok sagu. Membuat ayam-ayam berlari sembunyi ke kolong rumah.
Tapi yang jelas, sejak saat itu kami bisa menikmati Dunia Dalam Berita, plus Laporan Khusus, Kelompencapir dan Aneka Ria Safari, sekalipun menumpang di rumah dinas PPL atau rumah kepala desa. Paling penting, kami tak perlu mencarter truk ke kota kabupaten bila Elyas Pical bertarung–bersarung tinju, bergigi palsu–di gelanggang.
Lama-lama, orang kampung banyak yang mulai membeli televisi sendiri, hasil menjual padi atau panen semangka. Si “kotak ajaib” pun menyala di rumah-rumah, lapau kopi, dan jika untung listrik tak padam, ia akan bertahan hingga larut malam. Kami mulai terbiasa mendengar orang-orang asing seperti bercakap di pangkal kuping kami, di atas bantal. Sesekali terbawa juga ke dalam mimpi.
~~Bersambung~~
Artikel “Sebuah Jalan, Kampung dan Kisah-Kisah (Masa) Kecil yang Menikung” ini, merupakan catatan Kenangan dari penulis di Jalan Lintas Barat Sumatera. Tulisan ini bagian pertama dari 2 seri yang akan dipublikasikan di Langgar.co.
Dari Jalan Bypass yang belum bernama di Kota Padang, saya salah jalan. Seharusnya saya pilih jalan menurun di jembatan layang Simpang Kasang. Sebab arah Pariaman yang akan saya tuju, November lalu, melewati bagian bawah jembatan itu. Namun saya terus menyusuri bagian atas sehingga saya nyasar ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Dalam tersesat, saya masih ingat buku Wisran Hadi, Anak Dipangku, Kemenakan di BIM (2013) yang merupakan plesetan dari pepatah idealis Minang, “Anak dipangku, kemenakan dibimbing”. Jalan ke bandara memang lumayan sesak, dan saya duga bukan hanya dipenuhi anak-kemenakan yang datang dan pergi, tapi mungkin juga pihak mamak yang tak ketinggalan wara-wiri.
Beruntung, ujung jalan itu bukan menuju satu-satunya ke bandara, namun ada simpang ke kanan, ke arah Pariaman. Lega, saya ikuti simpangnya yang penuh papan iklan, meninggalkan bandara yang dulu diusulkan bernama Bandara Tan Malaka itu—dan kita tahu, ditolak.
Jadilah saya ke Pariaman, tepatnya Kota Pariaman, melewati “pintu belakang”, jika jalan Padang-Bukittinggi diibaratkan “pintu depan”. Bila lewat depan, saya tentu akan menempuh pertigaan Lubuk Alung, kota kelahiran cendikiawan Azyumardi Azra. Atau bisa juga lewat pertigaan Sicincin yang kemacetannya mulai meniru Jakarta, sementara jalan tol sebagai solusinya masih dalam proses panjang (entah kenapa tidak semulus dan secepat proses di Jawa).
Tapi tak jauh dari situ ada sebuah tempat bersejarah, Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam, sebuah lembaga pendidikan yang menyebut dirinya sebagai “Ruang Pendidik”, sama inspiratifnya dengan sebutan “Taman Siswa”.
INS didirikan tahun 1926 oleh Muhammad Syafei, jauh sebelum ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam Kabinet Syahrir II. Sekolah alternatif ini juga pernah diasuh sastrawan A.A. Navis pada akhir tahun 90-an.
Ah, karena lewat jalur belakang, rindu saya melihat gedung-gedung bersejarah INS ditunda dulu. Jalur ini tak selapang jalan utama, tapi tak kalah mulus dan relatif sepi, melewati kampung-kampung pantai dan deretan pohon kelapa yang alhamdulillah belum berganti kelapa sawit. Adem. Tanpa terasa, tak lebih setengah jam, saya sudah masuk kawasan Kecamatan Ulakan-Tapakis di perbatasan Kota Pariaman.
Ingat Ulakan (tapi jarang ingat Tapakis), saya segera ingat Makam Syekh Burhanuddin dan Tarekat Syattariyah. Ya, makam dan sosok yang terkubur di situ tidak akan dilupakan orang ketika merujuk pusat pengembangan agama Islam di Minangkabau. Ingatan itu masih langgeng hingga sekarang, terbukti banyak peziarah yang datang. Saya dan keluarga pun ingin menjadi “barang bukti”, lengkap dengan jasad dan niat hati.
Ulakan, nagari di selatan Kota Pariaman (secara administratif masuk Kabupaten Padang Pariaman), dikenal sejak lama ketika Syekh Burhanuddin memulai dakwah dan kajian tasawufnya di Surau Tanjung Gadang. Setelah Sang Syekh wafat, makamnya di Padang Sigulandi, jadi magnet para peziarah. Di makam itulah kini saya berada.
Kompleks makam sedang dipugar sehingga kian luas dan besar seolah berpacu dengan sebuah kotak besi yang ditaruh di pintu makam. Lengkap dengan dua tulisan yang juga besar: “Kotak Imfak”. Ukuran dan warna kuning mencolok serta penempatannya yang persis di bagian kaki makam Sang Syekh, di pintu yang sempit, terasa sesak dan, terus-terang, “kurang indah”. Saya kira perlu penempatan yang pas.

Bagian depan areal makam Syekh Burhanuddin

Suasana sekitar kompleks makam Syekh Burhanuddin

Lantai papan dalam areal makam Syekh Burhanuddin

Makam Syekh Burhanuddin
Teringat Nenek
Apapun, kompleks makam Syekh Burhanuddin sekarang terasa sangat luas. Meliputi Masjid Agung, gedung-gedung madrasah, kantor, dan pelataran parkir. Sebuah pasar cendera mata berdiri di luar pagar, dengan deretan kios pedagang sebagaimana lazimnya kawasan makam wali atau tempat Ziarah lainnya di Pulau Jawa. Istri saya bahkan mendapatkan kain perca khas Minang (bersulam dan berhias pecahan kaca) yang sejak lama diinginkannya, di pedagang kaki lima Ulakan, bukan di Bukittinggi atau Payakumbuh sebagai pusat kerajinan.
Masjid yang lebih kecil juga masih berdiri di dekat pasar, tampaknya masjid lama dengan banyak kubah. Sebatang pohon beringin rimbun dibiarkan berdiri di antara pagar dan pusat makam, memunculkan kesan “mistis” dan suasana Minangkabau tempoe doeloe. Areal makam Burhanuddin berarsitektur rumah gadang gaya Koto Piliang memperkuat nuansa itu. Dindingnya bersepuh cat merah-kuning-hitam seperti warna marawah (bendera, umbul-umbul) Pagaruyung, mencuatkan kesan “ortodoks” ala Syattariyah.
Ada pun pusat makam dibuat menyerupai surau tua, beratap warna hitam, sekilas mirip atap ijuk. Area itu berlantai papan yang, uniknya, di celahnya yang terbuka terdapat deretan nisan. Saya tak tahu siapa saja dimakamkan di dalam sini, tapi salah satunya terbaca nama dan alamat: Karia Datuk Bandaharo Ambung Kapur, Sungai Sarik.
Di lantai papan itu orang sembahyang dan berzikir pada musim basapa, sebuah ritual khas di makam tersebut. Hal ini telah memancing perdebatan dari pihak yang tak setuju. Mereka menganggap itu bertentangan dengan hadis Nabi yang tak membolehkan orang berada di atas kuburan, apalagi untuk bersembahyang. Hal lain yang dikritik adalah praktek meminum air dalam wadah cangkang karang yang berserak di lokasi makam dan dipercaya ampuh mengobati penyakit. Peziarah juga biasa membawa tanah atau pasir dari makam untuk disebarkan di sawah pengusir hama pianggang (wereng).
Namun boleh dikata perdebatan semacam ini lumrah dalam tradisi ziarah makam, sebagaimana sering dialamatkan kepada kalangan NU di Jawa. Fenomena ziarah kubur yang tidak terkait langsung dengan Al-Quran dan pelaksanaannya kadang demikian khas, menurut Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007), membuat para penantangnya tak kekurangan alasan mencapnya sebagai praktek yang menyimpang. Padahal, lanjut Loir dan Guillot, jika amal sembahyang di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan budaya-budaya yang tercakup dalam dunia Islam (2007: 15).
Di samping bersetuju dengan Loir dan Guillot, saya juga melihat bahkan merasakan sendiri ketakziman saat berada di makam orang suci. Karena itulah saya menempatkan perdebatan di seputar ritual ziarah makam Ulakan sebagai “pergolakan kecil” yang tak perlu diperbesar. Semua tergantung iman dan niat masing-masing.
Saya lebih tertarik berbagi suasana makam melalui foto yang saya kirim via WA kepada seorang kawan yang suka ziarah. Ia tinggal di Buleleng, Bali, merintis sebuah pondok yang melibatkan anak-anak muda kampung. Kawan tersebut lalu meng-upload di akun facebook miliknya, dan Jumadil Alfi, perupa asal Lintau Buo yang bermastautin di Bantul, Yogyakarta, mengomentari,”Jauh berubah sekarang, ya.”
Ya, kompleks makam Syekh Burhanuddin jauh berubah, meski di kampung saya gema perubahannya justru melemah. Dulu, pada masa kanak dan remaja saya ingat betul bagaimana bersemangatnya Nenek saya (Al-Fathihah untuk beliau) bila menyebut nama Ulakan. Padahal kampung kami terletak lebih 200 km di selatan. Bukan hanya semangat menyebut, Nenek saya juga semangat untuk datang ke Ulakan menjalani ritual basapa.
Merujuk Oman Fathurahman (2008), basapa merupakan ziarah serentak dengan segala ritualnya, diadakan rutin setiap hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. Tujuannya memperingati wafatnya Syekh Burhanuddin, 10 Safar 1111 H/1691 M. Lebih dari itu, tradisi ini melebur batas kawula dan segala aliran. Maklum, yang hadir bukan hanya penganut Syattariyah melainkan masyarakat luas yang dikoordinir langsung oleh Pemkab Padang Pariaman. Di kalangan pengikut Tarekat Syattariyah sendiri, “pesauman agung” itu dijadikan momen membicarakan berbagai persoalan keagamaan. Itulah yang melandasi ikhtiar dua orang murid Syekh Burhanuddin, Syekh Kapalo Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku Katapiang Tujuh Koto menetapkan “pakem” waktu ziarah: Rabu pasca 10 Safar.
Dalam basapa, peziarah akan berzikir sepanjang waktu, kadang diikuti tarian dan nyanyian (apakah yang dimaksud ratib tegak dan salawat dulang?), sehingga Hamka pernah menuding ritual di pusara mendiang sebagai praktek-praktek keagamaan aneh (Azra, 1994: 289). Mungkin itu tidaklah kelewat aneh, tak jauh beda dengan haul di makam-makam kyai Jawa atau sholawatan di makam-makam tuan guru Banjar.
Yang jelas, “pakem” dan tradisi ritual itu telah menggerakkan Nenek saya datang ke Ulakan bersama rombongannya mencarter kendaraan, dan sebagian berangkat dalam kelompok-kelompok kecil menumpang angkutan umum. Karena waktunya sudah ditentukan, maka sejak awal Nenek mengumpulkan uang beserta keperluan lainnya, saya bayangkan persis orang mau umroh atau naik haji.
Nenekku jelas pelakon Tarekat Syattariyah yang taat, dan orang-orang yang sesurau dengan beliau (Surau Ambacang Pasar Taratak) sering bilang bahwa Ulakan adalah Makkah kedua. Ibaratnya (ibaratnya lho ya!) jika tak bisa menunaikan rukun Islam yang kelima ke Makkah, minimal ke Ulakan tujuh kali cukuplah. Tapi saya sendiri tak pernah mendengar ungkapan itu langsung dari Nenek. Sebagaimana kini saya tak pernah lagi mendengar nama Ulakan diucapkan orang kampungku setakjub waktu dulu.
Adakah mereka tahu bahwa makam itu sudah jauh berubah atau pertanda lenyapnya para pewaris tasawuf “ortodoks” di kampungku?

Masjid lama Ulakan
Sekilas Syekh Burhanuddin
Syekh Burhanuddin atau Burhan Al-Din (1056-1104) yang kemudian dikenal sebagai Syekh atau Tuanku Ulakan merupakan ulama penyebar Islam di Minangkabau pada awal abad ke-17, utamanya melalui praktek Tarekat Syattariyah. Beliau berguru kepada seorang mujaddid terpenting di Nusantara sebagaimana disebut Azyumardi Azra dalam buku babon-nya, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (1994). Sang guru mujaddid itu adalah ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105 H), yang namanya merujuk kota kelahirannya sekaligus tempat ia berkubur: Singkil. Masih menurut Azra, Al Sinkili memiliki koneksi jaringan inti ke Haramayn melebihi Al-Raniri.
Singkil berada di pinggiran Kesultanan Aceh, tapi merupakan pusat Islam penting dan titik penghubung antara orang Melayu dengan muslim Asia Barat dan Asia Selatan. Letak Singkil, jika ditarik garis pantai dari Pariaman atau Ulakan, sejajar dengan sejumlah tempat penting lainnya di pantai barat Sumatera: Tiku, Air Bangis, Natal dan Barus di bagian utara; Bayang, Bandar Sepuluh dan Indrapura di bagian selatan.
Setelah berguru hampir 10 tahun kepada Al-Sinkili, Burhanudin kembali ke Pariaman dengan mendirikan sejenis ribat atau dayah, surau atau pesantren di Ulakan. Surau Ulakan segera menjadi pusat Islamisasi kuat di tengah masyarakat Minangkabau, melalui murid-murid sang syekh yang menyebar dari pesisir hingga darek dan rantau—seolah membenarkan pola sebuah bidal Minangkabau bahwa “syara’ mandaki, adat manurun”.
Artinya, orang Minangkabau meyakini bahwa agama berasal dari pesisir (dataran rendah) dibawa ke pedalaman (dataran tinggi, darek); sedangkan adat diturunkan dari darek ke pesisir dan rantau. Pertemuan keduanya itulah yang menguatkan konsepsi alam Minangkabau,”Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”.
Meskipun Burhanudin bukan penyebar Islam pertama di Minangkabau sebagaimana dinyatakan sejumlah pihak, tapi jelas ia berperan memperkuat Islamisasi di pantai barat. Ia dikenal penyebar Tarekat Syattariyah yang berhasil sebagaimana diinisiasi sang guru, Al-Sinkili. Meski begitu, Syattariyah yang berkembang di kawasan Melayu-Nusantara, menurut Azra bukanlah jenis yang awal seperti di India, atau yang berkembang di Arab, Turki, dan Iran. Al-Sinkili telah memperbaruinya sedemikian rupa. Kawan seperguruan Burhanuddin yang dianggap berhasil menyebarluaskan Tarekat Syatariah yang diperbaruhi itu di wilayahnya masing-masing, adalah ‘Abd Al Muhyi asal Pamijahan, Tasikmalaya dan Abd Al Malik atau Tok Pulau Manis di Trengganu. (Azra, 1995: 209).
Syattariyah (dan) Pembaharuan
Tarekat Syattariyah bersama Tarekat Qadariah dan Naqsabandiyah menyumbang pembaharuan kehidupan keagamaan di Minangkabau, meskipun menghadapi sejumlah pergolakan. Tapi pergolakan di kalangan Syattariyah lebih soft. Kesadaran untuk memperkuat praktek tasawuf dengan syariat—sebagaimana dasar yang dikembangkan Al Sinkili—misalnya, muncul di tengah mengendornya unsur syariat di Ulakan tapi tanpa mengencangkan urat saraf. Juga tak harus dengan embel-embel neo-sufisme.
Suryadi (2001: 195) mencatat bahwa praktek tasawuf di Ulakan sangat kompromistis pada adat. Akibatnya ada celah untuk diserang para pembaharu yang lebih progresif dan modernis. Golongan “saudara tua” mereka dari Tarekat Naqsabandiyah misalnya, menolak konsep Martabat Tujuh yang dianut kalangan Syattariyah.
Salah satu pembaharu adalah Tuanku Nan Tuo. Namun, sekeras-kerasnya Tuanku Nan Tuo, ia masih berperan jadi rem bagi pola pembaharuan yang keras lagi “revolusioner”. Sikap ini bisa saja dianggap merujuk Al Sinkili, Sang Guru Besar Tarekat Syattariyah Nusantara, yang disebut Azra memiliki suatu ciri yang mencolok: toleransi pribadinya sangat tinggi. Dalam kasus silang-pendapat tentang kekuasaan Sultanah (sultan perempuan) di Aceh, misalnya, Al-Sinkili tidak memberi penjelasan gamblang apakah perempuan boleh menjadi penguasa atau tidak. Di satu pihak, itu tidak memecahkan masalah secara layak, bahkan terkesan mengkompromikan integritas intelektualnya karena ia hidup dalam lindungan Sultanah, tapi di pihak lain, alih-alih itulah “toleransi” pribadinya, tulis Azra.
Sikap semacam ini, saya duga menitis ke Burhanuddin, yang mempunyai murid Tuanku Mansiangan, dan Tuanku Mansiangan “menitiskan” pula ke muridnya, Tuanku Nan Tuo. Tak ada yang meragukan sikap reformis Tuanku Nan Tuo—di mana suraunya sendiri, Surau Cangkiang, dianggap bertolak-belakang dengan Surau Ulakan. Tapi tak pelak tetap membuat rasa tak puas dari salah seorang muridnya, Tuanku Nan Renceh.
Nan Renceh ingin Tuanku Nan Tuo lebih keras lagi menghadapi praktek-praktek adat yang dianggap tak sesuai ajaran Islam. Kelak Renceh dapat kawan sepadan atas kepulangan tiga orang haji dari Makkah (Haji Miskin dkk) yang memuncak pada Gerakan Paderi. Awal abad ke-20 pergolakan muncul kembali setelah kepulangan empat orang haji (Haji Rasul cs), yang mempersempit ruang gerak tarekat Syattariyah. Itu pun memuncak pada perdebatan panjang “Kaum Muda” vs “Kaum Tua” sebagaimana dicatat Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (1990).
Pergesekan kaum Syattariyah dengan kaum adat di pantai barat tidak terlalu terasa, bahkan menurut catatan Suryadi, sebuah surau di Pariaman dinamakan “Surau Gelanggang” karena masih memberi ruang bagi tempat adu ayam. Tapi kita juga bisa menilai bahwa posisi “Surau Gelanggang” tidak persis seperti ditafsirkan Ajo Suryadi. Boleh jadi apa yang disebut “Surau Gelanggang” itu merupakan surau yang didirikan “di atas bekas” gelanggang adu ayam, bukan dalam pengertian,”selesai mengaji orang masih boleh mengadu ayam”.
Tugu Tabuik di Kota PariamanApapun, unsur adat memang mewarnai praktek keagamaan di Pariaman, karena itu pula kita melihat kompleks makam Syekh Burhanuddin kental bernuansa lokal Minang, termasuk membangun pasar dan mempertahankan pohon beringin besar. Namun demikian, pelan dan pasti ajaran-ajaran syekh dijamin oleh keilmuan yang mumpuni oleh penerus beliau, salah satunya Ungku Kali atau Syekh Lubuk Ipuh yang terbukti memiliki keluasan pengetahuan dalam sebuah perdebatan yang akan kita lihat sebentar lagi.

Gerbang Kota Pariaman

Syekh Ipuh vs Syekh Daud
Alkisah, sikap kompromistis, kata lain dari sinkretis, ala Syattariyah Ulakan, mendapat serangan telak dari Syekh Daud, seorang ulama putra Sunur. Sunur merupakan kampung di sebelah utara Ulakan, jadi dua kampung yang bertetangga dekat. Tapi Syekh Daud memilih berguru ke Surau Cangkiang di darek (Luhak Agam). Surau ini didirikan Tuanku Nan Tuo yang tadi kita singgung. Serangan Syekh Daud atas Ulakan menciptakan plot dan narasi menarik, dan saya pikir perlu dieksplorasi dalam sebuah karya sastra mutakhir, hmmm….
Konon, setelah lama berguru di Cangkiang, Syekh Daud pulang kampung ke Sunur. Ia segera membuka ruang “pergolakan” di jantung Ulakan, dengan menyerang praktek keberagamaan kaum Syattariyah. Selain menyerang ritual yang dianggap bid’ah, ia juga menilik kehidupan sosial jemaah. Ia misalnya menyerang Sutan Bandaharo, tokoh adat setempat yang punya istri lima orang.
Semua cerita dan perdebatan itu dicatat cukup lengkap oleh Suryadi, putra Sunur, yang kini sebagai staf pengajar di Leiden Universitet—karena itu ia kadang menulis namanya jadi Suryadi Sunuri. Catatan Suryadi tersebut saya temukan dalam sebuah kertas kerja “Yang Pergi dengan Dendam dan Kembali dengan Cerita: Sekilas tentang Latar Belakang Sejarah dan Isi Syair Makah dan Madinah” dalam buku Penelitian Naskah Nusantara dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara (Masyarakat Pernaskahan Sumbar, 2001).
Untuk kebutuhan bagian ini, saya menukil semuanya dari Suryadi. Ia menceritakan bahwa Syekh Lubuk Ipuh, murid Burhanuddin, akhirnya mengajak Syekh Daud berdebat. Syekh Ipuh sudah tak tahan melihat orang-orangnya yang “berkiblat” ke Ulakan diserang Syekh Daud terus-menerus. Syekh Daud menerima tantangan itu. Perdebatan pun dilangsungkan di tengah gelanggang orang banyak.
Alhasil, perdebatan dimenangkan Syekh Ipuh. Syekh Daud merasa malu. Pamornya jatuh. Ia kemudian memutuskan pergi dari kampung halaman meninggalkan istri dan seorang anak perempuan yang disayanginya. Kekalahan positif itu membuatnya bukan hanya memperdalam ilmu agama, tapi juga belajar sastra, khususnya syair. Ia berkelana di beberapa pelabuhan transit Aceh untuk akhirnya pergi ke Makkah. Di jazirah Arabia selain berhaji, ia menulis “Syair Mekkah dan Madinah” yang segera populer di kalangan orang yang datang atau pulang dari tanah suci. Syair itu bahkan dikenal sebagai “Syair Rukun Haji”.
Setelah bertahun-tahun pergi, Syekh Daud pulang ke Pariaman untuk kembali berdakwah. Boleh jadi ia akan berhadapan lagi dengan Syekh Ipuh. Jika itu terjadi, tentu Syekh Ipuh akan mendapat lawan yang lebih sebanding, sebab orang yang dulu ia kalahkan sudah menambah ilmunya sampai ke Mekkah.
Tapi pergolakan di lapangan tak terjadi. Yang terjadi adalah pergolakan dalam diri Syekh Daud sendiri—tentu saja tak kalah besar—ketika mengetahui bekas “lawan beratnya”, Syekh Ipuh, telah menikahi anak perempuannya, Umi Salamah!
Syekh Daud merasa kecewa dan tak lama kemudian ia pun putar haluan. Ia berniat kembali ke Tanah Suci. Namun dalam perjalanan melalui pelabuhan transit Aceh, tepatnya di Trumon, sebuah kerajaan lokal dekat Singkil, ia jatuh sakit. Beruntung, setelah sembuh, ia diterima di istana Trumon. Syekh Daud menikah di situ, punya seorang putra, Syekh Muhammad Adam namanya, anak yang kelak punya hubungan baik dengan guru-guru tarekat di Minangkabau. Di Trumon pula Syekh Daud berhasil menggubah karyanya yang lain “Syair Sunur” yang antara lain berisi kerinduannya pada putri semata wayangnya yang ia tinggalkan di kampung. Syair ini sudah dialihbahasakan oleh Suryadi dan terbit dalam sebuah buku sekitar tahun 2000-an.
Syekh Daud meninggal di Singkil dan dimakamkan tak jauh dari kompleks makam Al-Singkili, guru Syekh Burhanuddin yang punya murid Syekh Ipuh, yang pernah dilawannya. Inilah takdir sejarah.

Daerah Sunur, kampung Syekh Daud
Aru Palaka, Kota dan Ziarah yang Berubah
Di luar pergolakan keagamaan, termasuk pergolakan batin seorang ulama plus “tukang syair”, pergolakan tak henti Pariaman tempat Ulakan dan Sunur berada, juga dalam bentuk politik dan peperangan. Maklumlah, Kota Pariaman merupakan bandar penting pengumpul rempah, budak dan kuda. Menurut Rusli Amran (1981), kalau Pariaman punya teluk atau muara sungai yang lebih menguntungkan, pastilah ia tak kalah, jika bukan lebih besar, dibanding Padang. Amran bahkan memuji Pariaman sebagai “kota cendekia”.
Kolonial Belanda, Inggris dan Kesultanan Aceh berebut menguasai Pariaman. Aceh kuat di sebuah kota agak ke utara, Tiku, namun sekali-dua merangsek juga ke Pariaman kota. Inggris membawa pasukan dari Kerala, India, yang meninggalkan tradisi Tabuik di Pariaman, atau Tabot di Bengkulu, sebagai ritual mengenang wafatnya cucu Baginda Nabi, Hussein, di Karbala. Sejauh ini tak ada yang mempersoalkan ritual itu “berbau” Syiah, sebab mungkin berhubungan dengan pariwisata bahkan identitas daerah (lihatlah Tugu Tabuik di perempatan Kota Pariaman).
Ada pun Belanda hilir-mudik di Pariaman setelah dapat dukungan para orang kaya, lalu mereka mulai menggergoti Pariaman dari dalam. Menilik kajian Elizabeth E. Graves (2007), boleh jadi itu salah satu strategi Belanda untuk menciptakan pusat orientasi baru orang Minangkabau, dengan membesarkan Padang di selatan dan (sengaja) meninggalkan kota lain seperti Indrapura, Painan dan Pariaman. Dengan begitu kaum elit Minangkabau modern cepat terbentuk, terlokalisir, dan mudah dikendalikan.
Tapi itu bukan tanpa resiko. Berkali-kali pertempuran pecah di Pariaman dan sekitarnya. Pertempuran paling diingat adalah ketika VOC mengirim pasukan dari Batavia. Komandannya Komisaris Verspreet. Ikut dalam pasukan itu 400-an “tentara” Bugis yang dikomando Aru Palaka dan 200-an “tentara” Ambon yang dikomando Kapten Jonker. Setelah sukses menggempur Pauh, Koto Tangah dan tempat-tempat “militan” lain di Kota Padang, tanggal 28 September 1666, Verspreet menggempur Pariaman. Maklum daerah ini termasuk juga basis “garis keras” tempat “kaum radikal” Padang bersembunyi. Ulakan diduduki pasukan Bugis dan Arung Palaka diberi gelar “Raja Ulakan”, sedangkan Kapten Jonker sukses menjadi “Panglima Pariaman” melalui perjanjian sepihak yang dipaksakan (Rusli Amran, 1981: 180).
Demikianlah Ulakan dan Pariaman, dulu dan kini. Jika dulu ia dikenal dalam selarik lagu indang “Pariaman tadanga langang” (Pariaman terdengar lengang)—mungkinkah efek dikalahkan Aru Palaka?—kini Pariaman menggeliat ramai. Sejak otonomi daerah diberlakukan, Pariaman naik status menjadi kota sendiri. Pada era Orde Baru, Pariaman pernah berstatus Kota Administratif, bersama Klaten, Batu dan Purwokerto. Kini Klaten, Batu dan Pariaman “sukses” jadi kota baru, Purwokerto tidak (sekadar membandingkan bahwa kota pantai di Sumatera ini “mengalahkan” sebuah kota di pusat Pulau Jawa!).
Tahun 90-an ketika masih berseragam putih abu-abu, sebagai koresponden Harian Semangat, Padang, saya pernah menyusup dalam rombongan atlet Kabupaten Pesisir Selatan yang berlaga di Pekan Olahraga Daerah (Porda), entah yang keberapa. Pariaman waktu itu jadi tuan rumahnya. Kesempatan tersebut saya gunakan menyusuri Pariaman (kota ketiga yang saya lihat setelah Painan dan Padang). Jalanan dan simpang-simpangnya masih sepi, meski saya akui lebih hidup dibanding kota kabupaten saya sendiri, Painan, di selatan. Pariaman juga selalu banyak mendapat liputan media, baik RRI Padang maupun koran-koran yang terbit di Padang, dan bagi saya selalu menarik perhatian. Misalnya tentang tokohnya yang visioner, Anas Malik, yang berhasil mentransformasikan spirit badoncek (menyumbang bersama) dalam membangun nagari.
Selain ritual basapa dan tabuik, Pariaman punya cerita lain yang bikin penasaran: kawin bajapuik. Sementara kesenian indang dan salawat dulang, tak usah lagi dibilang, sudah mendarah-daging. Sampai juga pada cime’eh (cemooh) tentang “jamban terpanjang di dunia”. Adapun kesenian rabab dan beruk (monyet terlatih pemetik kelapa) kabupaten saya juga punya. Rabab pasisie dan rabab piaman, satu rumpun kesenian tapi beda style. Hanya beruk di Kabupaten Pesisir Selatan mulai langka karena kurangnya peremajaan kelapa dan kelapa sawit merajalela; di Pariaman malah ada sekolah beruk!
Ya, Pariaman kini jauh berkembang. Kota tertata, bersih dengan trotoarisasi, Tugu Tabuik di perempatan dan papan iklan. Meski tak ada toko swalayan berjejaring besar, tapi toko sejenis ada di tiap sudut kota. Hanya namanya yang beda. Wisata Pariaman juga terbilang maju, didukung moda kereta api dari Padang (satu-satunya jalur kereta yang masih bersisa di Ranah Minang). Menariknya, seolah tak mau kalah dengan Ulakan, kota ini juga punya titik ziarah di Pulau Angso Duo. Itulah makam Syekh Katik Sangko, sahabat Syekh Burhanuddin. Pulau kecil ini hidup dalam pantun klasik Minang: Pulau Pandan jauh di tangah/ Di balik Pulau Angso Duo/ Hancur badan dikandung tanah/ Budi baik dikenang juo.
Sementara itu, Kabupaten Padang Pariaman, meski ditinggal Kepulauan Mentawai yang memisahkan diri jadi kabupaten sendiri, tapi rasanya tak mengurangi julukannya yang klasik itu, yakni “Piaman laweh” (Pariaman luas)!
Sebelum ditutup, kita kembali ke Ulakan. Sebelum merantau ke Bali dan Jawa, setidaknya dua kali saya pernah “mampir” ke kompleks Makam Syekh Burhanuddin. Waktu itu kompleks makam masih kecil dan sederhana (saya juga belum mengenal istilah “ziarah” seperti di Jawa). Situasi saat saya “mampir” dulu dibanding berkunjung akhir November lalu (saat saya sudah mengenal kata “ziarah” ala Jawa) memang pas dengan ungkapan Alfi, ”Jauh berubah.”
Lalu apakah perubahan itu mempengaruhi makna “mampir” dan “ziarah” dalam diri saya? Semoga suatu saat nanti bisa saya jawab, mungkin lewat puisi, sebagaimana Syekh Daud menulis pergolakan batinnya dalam syair-syair rindu-dendamnya. Wallahu’allam bissawab.
Ketika bersilaturahim dengan salah seorang Buya muda pengamal tariqah Naqsyabandi dan peminat kajian filologi, saya berkesempatan mendengar uraian beliau tentang besarnya semangat orang-orang muda di daerahnya untuk belajar tariqat. Buya muda ini tinggal di salah satu nagari yang terkenal banyak melahirkan ulama tariqah di Kab. 50 Kota. Dia mencermati perkembangan mutakhir dunia pendidikan, terutama pendidikan Islam di daerahnya. Di sana belakangan ini banyak berdiri sekolah-sekolah “Islam Terpadu” dengan haluan paham yang berbeda dari haluan pendidikan agama Islam yang lebih awal berkembang di sana. Di sekolah-sekolah ini para murid dididik dengan kurikulum mutakhir sekaligus dibekali dengan disiplin dan aturan khas pesantren modern. Mereka harus menghapal al-Quran, shalat berjamaah, belajar Bahasa Arab untuk percakapan, dan sebagian besar harus tinggal di asrama. Meski perkembangan lembaga pendidikan Islam modern ini demikian pesat di daerah itu, namun minat kalangan muda dengan rentang usia 20-40 tahun untuk belajar tariqah di Surau-surau yang lebih “tradisional” dibanding sekolah-sekolah terpadu tadi tetap besar.
Buya ini menjelaskan pengamatannya tentang alasan orang muda mau belajar di surausurau itu. Mereka ingin belajar agama meski sedang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan umum yang disediakan negara atau swasta, atau bahkan sudah bekerja di berbagai sektor. Di surau-surau itu mereka belajar pada seorang “inyiak” surau (kiai-nya) tentang amalan-amalan zahir ibadah sehari-hari lewat pembacaan kitab-kitab fiqh standar tentang amalan-amalan batin lewat tariqat. Selain alasan belajar ilmu agama, mereka juga ingin mempelajari ilmu dan keterampilan yang tidak selalu bisa dibicarakan dan dibuka secara terangan-terangan di depan publik. Ilmu dan keterampilan ini misalnya silat, ilmu kanuragan, ilmu pengobatan tradisional untuk penyakit zahir dan batin. Istilah sehari-hari untuk jenis ilmu dan keterampilan ini adalah ilmu pamaga badan (ilmu pembentengi diri).
Bagi Buya yang saya temui sebagai teman sekaligus guru tersebut, tidak ada kekhawatiran bahwa khasanah pengetahuan yang sudah berkembang di masyarakat Minangkabau di daerahnya akan tergusur oleh khasanah pengetahuan baru yang dibawa oleh sekolahsekolah mentereng yang muncul belakangan. Dari pembicaraan dengan dia, tidak sedikit pun muncul pendapat dan pernyataannya yang menunjukkan bahwa ada pertentangan antara ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu/keterampilan yang bukan Islam seperti ilmu “ambuih-ambuih” (ilmu hembus-hembus. Disebut demikian karena salah satu ritual yang harus dilakukan berdasarkan ilmu jenis ini adalah menghembuskan napas/meniup obat yang telah dirapali doa dan mantra sebelum diberikan kepada si sakit). “Bagi mereka yang belajar ilmu agama ke surau, tidak ada pertentangan antara keduanya. Adat dan Syarak itu tidak bisa dipisahkan. Saya berkeyakinan demikian, karena guru-guru sayalah yang mengajarkan. Sanad keilmuan agama saya bersambung dengan Inyiak-inyiak, buya-buya, ulama-ulama dulu yang ahli agama sekaligus ahli adat,” kata Buya ini menegaskan.
Surau adalah lembaga penting dalam transformasi pengetahuan keagamaan Islam di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau surau adalah tempat di mana orang belajar agama Islam dan sekaligus belajar adat.
Cerita singkat di atas adalah cuplikan dari suatu gambaran umum tentang kondisi keberagamaan di Minangkabau. Dari berbagai literatur yang ada, surau adalah lembaga penting dalam transformasi pengetahuan keagamaan Islam di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau surau adalah tempat di mana orang belajar agama Islam dan sekaligus belajar adat. Inilah fungsi utama surau, setidaknya di masa lalu1. Sedangkan masjid, yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan “sidang” berfungsi sebagai tempat untuk membahas hal-hal yang lebih umum dan menyangkut kepentingan bersama. Makanya diistilahkan dengan “sidang”, karena masjid sering dipakai untuk memusyawarahkan masalah-masalah bersama selepas salat Jumat. Dalam keseharian, adalah hal yang biasa misalnya seorang ibu berkata pada anaknya “Pai lah lai ka surau mangaji” (Berangkatlah ke surau untuk mengaji) di mana mengaji di sini yang dimaksud adalah belajar membaca al Quran. Dalam kesempatan lain, biasa pula kita jumpai percakapan antaribu-ibu yang bertanya pada sesamanya “Bilo wak mangaji lai di surau” (Kapan kita mengaji lagi di surau?) di mana yang dimaksud mengaji di sini adalah mendengarkan ceramah dari inyiak surau atau buya yang didatangkan dari luar kampung. Di lain kesempatan pula, para pemuda biasa mempercakapkan soal pelajaran silat atau pelajaran keterampilan pasambahan (pepatah-petitih adat yang dipakai dalam kesempatan-kesempatan formal seperti acara pernikahan dan kematian) yang mereka pelajari di surau.
Gambaran umum ini sama sekali tidak memperdengarkan adanya pertentangan antara apa yang disebut dengan pelajaran-pelajaran agama Islam dan pelajaran-pelajaran adat. Sebab dalam konteks praktik, keduanya sudah membaur begitu rupa. Ketika seorang Minang melakukan suatu tindakan positif (tidak bertentangan dengan nilai yang berlaku di lingkungannya), dia akan kesulitan menjelaskan apakah tindakan itu berdasarkan ajaran Islam atau ajaran adat.
Bagi orang Minang, setidaknya bagi saya, patokan yang diajarkan paling awal untuk menjalani hidup adalah adat. Di sini adat adalah takaran patut-tidaknya suatu tindakan berdasarkan alua jo patuik (asas prosedural dan asas kepatutan). Ada kalanya suatu tindakan sudah sesuai alur (prosedur), namun tidak patut, maka tindakan itu tidak pantas menurut adat. Sebaliknya, ada kalanya suatu tindakan sudah sangat patut, namun karena tidak mengikuti prosedur, dia juga keliru menurut adat. Inilah yang jadi bekal awal seorang Minang menjalani hidup sehari-harinya, baik di kampung maupun di rantau. Ini berarti yang dimaksud dengan adat di sini bukanlah hukum dan aturan yang terkodifikasi secara Formal seperti regulasi-regulasi yang dapat dilihat dalam arsip Lembaran Negara.
Dalam proses transformasi nilai oleh masyarakat maupun oleh keluarga kepada seseorang, ajaran Islam atau hukum-hukum seperti yang ada dalam khasanah fiqh tidak disebut secara eksplisit, karena dia sudah inheren dalam transformasi pengetahuan adat dalam pengertian alua jo patuik tadi. Dalam pandangan orang Minang, tindakan menyalahi adat yang dilakukan seorang laki-laki Minang, misalnya tidak menjaga kehormatan saudara perempuan dengan membiarkannya bebas ditemui oleh teman laki-lakinya atau tidak peduli dengan pendidikan kemenakan (anak saudara perempuan), adalah otomatis juga menyalahi ajaran Islam. Seorang laki-laki Minang yang menggebuki teman cowok saudara perempuannya karena berteman dengan cara yang menyalahi alur dan patut tidak akan bisa menjelaskan alasannya menggebuki si cowok itu, apakah karena ajaran adat atau karena ajaran Islam.
Ilustrasi-ilustrasi di atas ingin menyatakan bahwa dalam kehidupan nyata (wacana sehari-hari) masyarakat Minangkabau yang saya hayati, hubungan adat dan Islam tidak ada masalah. Keduanya dipandang berhubungan baik-baik saja.
Sekarang persoalannya adalah hubungan adat dan Islam ini ketika dibicarakan di wacana lain yang formal seperti wacana akademis dan politis, keduanya tidak sedang baik-baik saja.Dalam pembicaraan di wacana-wacana itu, keduanya bertengkar dan sampai saat ini tetap bertentangan. Hal ini akan langsung terasa dalam wacana akademis yang memakai perpektif historis.
Sampai di sini muncul pertanyaan mengapa di wacana-wacana formal, adat dan Islam dibicarakan sebagai dua hal yang bertentangan dalam masyarakat Minangkabau. Apa faktor-faktor yang melahirkan paradigma konflik yang mengerangkakan wacana formal ketika membicarakan adat dan Islam di Minangkabau? Dua pertanyaan ini akan saya coba jawab dengan lebih dahulu menjawab yang pertama karena lebih konkret.
Wacana formal dalam artian pembicaraan/pembahasaan yang memiliki bentuk-bentuk yang relatif teratur tentang hubungan adat dan Islam di Minangkabau sebagaimana yang ditemukan dalam wacana akademis mulai terbentuk sejak masyarakat Minangkabau kedatangan orang Barat. Pada mulanya mereka datang untuk berdagang, lalu memonopoli perdagangan, lalu berkuasa. Singkatnya, formalisasi hubungan seteru keduanya sebagai sebuah topik kajian disiplin akademis berawal dari proses pencatatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kolonial, entah itu pegawai administratif ataupun ahli-ahli ilmu tentang masyarakat yang di-“hire” oleh pemerintah kolonial, entah itu Belanda, Inggris maupun portugis. Pencatatan ini pada awalnya adalah perekaman atas segala sesuatu yang dilihat dan diamati oleh penjajah. Karena saat itu bentuk perekaman yang paling lazim adalah dalam bahasa verbal atau sketsa-sketsa, maka laporan-laporan mereka ke pusat otoritas baik di Nusantara maupun di Eropa biasanya berupa surat-surat, catatan lapangan, catatan harian dan lain-lain.
Berdasarkan catatan-catatan itulah kemudian segala sesuatu dipetakan. Analisis-analisis ilmiah maupun analisis kebijakan atas catatan-catatan itu memetakan berbagai macam hal mulai dari hubungan kekerabatan, kelembagaan-kelembagaan, mata pencaharian untuk memenuhi hajat hidup, hukum dan aturan, konflik-konflik kekuasaan, kepercayaan dan ekspresi seni, dan lain sebagainya. Tulisan-tulisan tentang Minangkabau yang terbit pada masa kolonialisme, sekitar awal abad 16 sampai Indonesia merdeka pada intinya berisi penggambaran dan pemetaan! Semua hal dideskripsikan dan dipetakan, baik yang zahir maupun yang batin. Misalnya buku J.C. Beelhouwers yang terbit 1841 berjudul Herinneringen van mijn verblijf op Sumatra’s Westkust guderende de jaren 1831-1834 (Kenangan-kenanganku Semasa Hidup di Pantai Barat Sumatera pada 1831-1834), buku William Marsden berjudul The History of Sumatera (terbit 1811), atau buku P.W. Korthals berjudul Topografische schets van een gedeelie van Sumatra (Sketsa Topografis Salah Satu Bagian Sumatra, terbit 1847).
Proses ini berlangsung terus menerus selama masa kolonisasi orang Barat, terutama Belanda, sehingga melahirkan tulisan-tulisan yang jadi babon. Tulisan-tulisan ini mau tak mau harus dirujuk oleh mereka yang ingin membahas Minangkabau, termasuk ketika ingin membahas apa yang jadi panduan orang Minangkabau dalam menjalani hidupnya. Dalam tulisan-tulisan tersebut terbacalah bahwa orang Minangkabau hidup dengan dua macam panduan, adat dan Islam, di mana menurut analisis para penulis tadi, keduanya bertentangan. Buku-buku babon itu mulai dari H.A. Steijn Parve berjudul De Secte der Padaries (Kaum Paderi,1853); L.C Westenenk berjudul De inlandsche Berstuurshoofden ter sumatra’s westkust (Kepemimpinan Pribumi di Pantai Barat Sumatera, terbit 1913) atau De Minangkabausche Nagari (Nagari di Minangkabau, terbit 1913), buku A.W.P Pistorius Verkerk berjudul Studien over de inlandsche huishouding in de padangsche bovenland (Studi atas Rumah Tangga Pribumi di Dataran Tinggi Padang, terbit 1871)2 sampai ke tulisan-tulisan yang lebih belakangan seperti karya B.O. Schrieke, Ph. S. van Ronkel, Josselin de Jong, dan masih banyak lagi.
Kolonialisme secara faktual adalah faktor terpenting dalam formalisasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau.
Kolonialisme secara faktual adalah faktor terpenting dalam formalisasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau. Proses formalisasi itu pada awalnya berlangsung demi kepentingan administratif, namun lambat laun berjalin berkelindan dengan kepentingan akademis-ilmiah. Dalam sejarah kolonialisme, hubungan saling menguntungkan antara kepentingan politik dengan akademis ini sudah tak bisa lagi dimungkiri. Diakui atau tidak, keduanya saling topang!
Faktor selanjutnya adalah peristiwa sejarah akibat perubahan sosial, baik karena perubahan situasi ekonomi maupun situasi politik-kekuasaan. Kedua situasi ini saling berkaitan sehingga mengatakan yang satu jadi penyebab yang lain selalu masih bisa diperdebatkan. Perubahan sosial-ekonomi akibat berkembangnya ekonomi uang, makin intensnya pergaulan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat-masyarakat dari luar budayanya, membuat penguasa kolonial menetapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan hajat hidup orang banyak. Keresahan sosial pun timbul dan kemudian dibungkus dengan konflik antarpandangan hidup. Inilah yang jadi pendapat Christine Dobbin dalam bukunya tentang Perang Paderi.
Di lain pihak, kebijakan politis penguasa kolonial juga menyebabkan keresahan sosial. Misalnya, pengoeloe ordinantie (peraturan tentang penghulu yang harus ada besluit [SK] dari pemerintah Belanda) atau guru ordonantie (peraturan tentang guru agama yang harus punya besluit). Kebijakan-kebijakan ini pertama-tama bukan diambil untuk mendamaikan adat dan agama maupun memperuncing konfliknya, melainkan untuk membuat patuh semua orang. Namun dampaknya adalah tatanan sosial-ekonomi yang sudah ada jadi goyang sehingga menimbulkan keresahan. Ada hak warga masyarakat yang dirampas dan ada pula keistimewaan yang muncul dari kebijakan ini, baik untuk pihak yang dianggap mewakili adat maupun yang mewakili kaum agama.
Faktor-faktor historis ini kemudian diamati, dicatat, dilaporkan dan dianalisis oleh para ahliahli colonial sehingga makin memantapkan pandangan mereka bahwa adat dan Islam adalah dua hal berbeda dan diametrikal di Minangkabau. Karena berbeda, masyarakatnya selalu berproses menyelaraskan keduanya.
Faktor kolonialisme dan faktor sosio-historis ini telah melahirkan berbagai teks yang begitu banyak. Kumpulan teks ini membentuk suatu formasi wacana, yakni kumpulan pernyataanpernyataan yang saling terkait secara mutualistik –baik saling mengafirmasi ataupun saling mengkritik. Kumpulan pernyataan ini melahirkan efek yang sama, yakni menyodorkan pemahaman kepada pembaca/pendengar bahwa adat dan Islam bersimpangan. Secara konkret di dalam praktik, terbentuknya formasi wacana itu terjadi melalui proses saling kutip dan saling rujuk.
Di lain pihak, selain dua faktor tadi, terdapat faktor ketiga yang juga bersifat faktual-historis, namun berlangsung dalam skala yang lebih luas. Kolonialisme dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi selama kolonialisme melahirkan proyek modernisasi dan purifikasi pemahaman keagamaan Islam di belahan dunia lain. Pengaruh gerakan ini terasa ke tengah masyarakat Minangkabau karena pergaulan dengan dunia luar, baik karena merantau semisal ke Makkah dan wilayah lain di Timur Tengah maupun karena terpapar melalui media cetak.
Kesan pertentangan adat dan Islam diperkuat di satu sisi dengan menyatakan keislaman yang berkembang di tengah masyarakat tidak lagi murni karena sudah bercampur dengan “kepercayaan dan peribadatan lokal”
Faktor modernisasi dan pemurnian ini mencapai puncaknya di awal abad kedua puluh di Minangkabau. Lewat faktor ketiga ini, wacana hubungan bersitegang antara adat dan Islam yang semula hanya pemetaan dan deskripsi sosiologis dan antropologis mendapat pasokan alat analisis baru yang intinya berpijak pada asumsi bahwa ada yang asli baik dalam hal adat maupun Islam. Kesan pertentangan adat dan Islam diperkuat di satu sisi dengan menyatakan keislaman yang berkembang di tengah masyarakat tidak lagi murni karena sudah bercampur dengan “kepercayaan dan peribadatan lokal”, dan di sisi lain praktikpraktik adat yang ada dianggap sebagai rekayasa kolonial dalam politik adu-dombanya.
Pendek kata, adat dan Islam yang berlaku di tengah masyarakat dipandang bukan yang sebenarnya. Oleh karena itu keduanya harus dibersihkan, diperbarui dan dimajukan.
Setelah uraian faktor-faktor penyebab munculnya formasi wacana yang mempertentangkan adat dan Islam di atas, berikut ini kita akan membahas pertanyaan mengapa wacana pertentangan itu yang muncul, mengapa bukan wacana asimiliasi, atau wacana di mana salah satu mengalahkan yang lain?
Pertentangan antara adat dan Islam muncul sebagai implikasi epistemik di tataran wacana. Wacana ini adalah hasil pencatatan kolonial atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial itu ditimbulkan oleh kolonialisme Belanda. Kehidupan masyarakat yang guncang akibat penjajahan melahirkan perseteruan berbagai pihak dan kepentingan dengan beraneka bungkus. Sistem pengetahuan di era-era awal penjajahan hanya memungkinkan pencatatan berdasarkan pemetaaan hitam-putih. Positivisme seperti inilah yang dengan gampang mendeteksi adanya perseteruan vis a vis antara adat dan Islam, antara kaum adat dan kaum ulama. Pemetaan, taksonomi, kategorisasi, dan formalisasi struktur adalah langkah analitik lanjutan dari penggambaran deskriptif yang lahir dari buah pena para pelancong, pegawai, ilmuwan pemerintah kolonial yang melakukan “riset lapangan.”
Catatan dan kajian-kajian awal para ahli kolonial tentang masyarakat Minangkabau adalah kajian-kajian rintisan yang kemudian menimbulkan hegemoni epistemik di tingkat wacana. Artinya, orang yang datang belakangan tidak dapat tidak harus berpikir, berbicara, membahas, menganalisa, berdebat melalui semacam pakem yang telah dicetuskan oleh para perintis ini.
Memang, kajian-kajian ilmiah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Tidak mungkin wacana-wacana akademis yang membahas masyarakat Minangkabau masih sama dengan era abad 18 dan 19. Namun karena sifatnya yang hegemonik, pernyataan-pernyataan yang lahir dari formasi wacana ini tak mungkin menghindar dari asumsi awal bahwa adat dan Islam bertentangan di Minangkabau. Pertentangan ini adalah cetusan kajian-kajian rintisan yang terus menerus dan berulang-ulang dirujuk. Mereka selalu dirujuk karena perjalanan waktu yang dilewati formasi wacana konflik antara adat dan Islam ini telah memberi mereka otoritas! Otoritas inilah yang membuat mereka tak dapat tidak harus selalu diacu jika seseorang masih ingin berbicara, mengeluarkan pernyataan, ber-statement, di dalam bentuk wacana ini. Proses historis rujuk-merujuk dan pemberian otoritas pada kajian-kajian perintis inilah yang membuat wacana konflik adat dan Islam di Minangkabau ter-formalisasi sehingga ketika seseorang akan bicara dalam lingkup wacana formal ini, dia tak dapat punya bahasa lain selain mengandaikan keduanya bertentangan. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana proses rujuk-merujuk itu terjadi.
Buku berjudul Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-political Structure in Indonesia adalah salah satu acuan utama dalam wacana akademis ketika berbicara struktur sosial dan politis Minangkabau. Penulisnya, Josselin de Jong, mengutip Snouck Hurgronje yang menyanggah penulis lain (Westenenk) yang memandang orang Minang belum muslim, melainkan masih menganut “pagan”. de Jong mengutip Hurgronje dengan simpatik karena menurut dia, Hurgronje mencoba melihat lebih dalam lagi pertentangan antara adat dan Islam yang tergambar lewat praktik-praktik yang menurut Westenenk masih pagan. Pernyataan retoris Hurgronje yang dikutip de Jong dari Verspreide geschriften (Serbaneka Tulisan) vol. IV hlm. 23-24 berbunyi:
Before we grant you the right to call the inhabitants of the Archipelago bad Muslims because the broad masses are attached to externals, and understand little or nothing of the true nature of their religion, we demand that you show us one nation on earth of which the masses have progressed further in knowledge of their religion.3
Nada simpatik Hurgronje ketika melihat pertentangan adat dan Islam di tengah masyarakat jajahan Belanda ini juga dikutip oleh ahli kelahiran Minangkabau sendiri. Taufik Abdullah menulis dalam artikel klasiknya “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau” sebagai berikut:
As the ideal pattern of behavior in Minangkabau society, adat consists of all the elements that have been absorbed into one undifferentiated value system. Snoυck Hurgronje addressed himself to a similar phenomenon in his classic book on Atjehnese society when he criticized a commentator who argued that, because the Atjehnese are Moslem, conflict within their society arises not from questions of ideology, but from human weaknesses. According to Snouck, people –as individuals or as a community– experience the religious and the non-religious elements of their lives as an inseparable development. Consequently, he argues that it is not sufficient to look only at the dogma —and for that matter the ideal pattern of behavior— but to “observe also the Muslim as the individual and as a member of a community, as a social being, and see what happens to the teaching of Islam in the practice of every day life.” Thus Snouck stresses the cleavage between the ideal pattern of behavior and the actual practice, subtracting from the social system the non-Islamic elements —the adat, used in its narrower sense.4
Menurut Taufik Abdullah, pandangan Hurgronje tentang konflik adat dan Islam di masyarakat Aceh penting diperhatikan dan dipakai untuk melihat konflik adat dan Islam di Minangkabau. Di paragraf selanjutnya dia menulis sembari juga mengutip Schrieke, ilmuwan Belanda lain yang juga ahli Minangkabau. Kutipannya adalah sebagai berikut:
In the Minangkabau context the distinction make by Snouck Hurgronje is certainly a crucial one. Not only is adat supposed to be contradictory to Islam but it is also assumed that in Minangkabau society the individual as well as the community are divided into two opposing systems of behavior. It is assumed that a person’s attitude toward fellow members of the society is mostly governed by adat, while his relation to the transcendental being is determined by religion. The inability of individuals to reconcile these two opposing values may result in social fragmentation. Thus it is assumed that in Minangkabau there is a continuing struggle between the adat and the religious groups, a conflict which is called by Schrieke the “political myth” of Minangkabau.5
Contoh selanjutnya dapat pula kita lihat dalam karya putra Minangkabau lain, Azyumardi Azra. Dalam karyanya berjudul Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Pada Bab 2 yang berjudul Surau Minangkabau: Latar Belakang Historis, Sosiokultural” pada Subbab “Minangkabau: Adat dan Islam,” Azra menulis demikian:
“Dengan demikian, meskipun Islam secara aktif dipraktikkan di kebanyakan surau, tapi kedatangannya tidak mengakibatkan hapusnya takhayul dan kepercayaan terhadap magik dan jimat di kalangan masyarakat muslim. Sebaliknya, praktik-praktik ini jalin-menjalin dengan agama secara luas. Sebuah manuskrip mendeskripsikan Wilayah Darek Minangkabau ‘sebagian besar masih pagan atau lebih tepatnya tanpa agama, dengan pengecualian para tokoh terkemukakanya yang menganggap diri mereka sebagai pengikut Muhammad.’”6
Di akhir kutipan di atas, Azra membubuhkan catatan kaki menerangkan bahwa karya yang dia kutip adalah karya Ph. S. van Ronkel, Rapport Betreffende de Godsdienstige Verschijnselenter Sumatra’s Westkust (Laporan tentang Fenomena Keagamaan Orangorang di Pantai Barat Sumatera). Patut diperhatikan, karya van Ronkel ini juga dikutip Taufik Abdullah dalam artikel tadi, tepatnya di catatan kaki nomor 2.
Di paragraf yang sama, Azra juga merujuk artikel Christine Dobbin berjudul “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century.” Artikel ini adalah semacam rangkuman dari buku utama Dobbin berjudul Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847. Dalam versi bahasa Indonesia buku ini, yang diterbitkan Komunitas Bambu, Dobbin menulis:
“Islam adalah agama luar yang masuk ke dalam dunia Minangkabau. Hal inilah yang menjadi pusat perhatian kita di sini. Agama ini harus menghadapi beberapa faktor yang hampir menjamin bahwa ia tidak akan berhasil di terima di dalam masyarakat.”7
Selain mengutip van Ronkel dan Dobbin, Azra juga mengutip buku William Marsden The History of Sumatra hlm. 346 ketika menyatakan “Kecuali bagi para pemimpin keagamaan, menurut Marsden, kaum Muslimin Minangkabau pada umumnya jarang melakukan kewajiban-kewajiban agama, seperti salat dan puasa; dan masjid-masjid juga jarang sekali dihadiri.8
Contoh-contoh di atas berasal dari karya-karya babon. Artinya, karya-karya utama yang dipandang otoritatif ketika membahas hubungan adat dan Islam di masyarakat Minangkabau. Hegemoni epistemik dari formasi wacana pertentangan adat dan Islam tempat karya-karya babon ini bernaung membuat nyaris seluruh pembahasan tentang Minangkabau merasa haram hukumnya jika tidak mempersoalkan hubungan kisruh antara adat dan Islam. Untuk membuktikan hal ini, kita baca saja bagian-bagian awal skripsi, tesis dan disertasi yang membahas Minangkabau dari aneka rupa perspektif dan topik kajian.
Menurut hemat saya, hubungan antara adat dan Islam di Minangkabau menjadi menarik dan mempesona secara akademis maupun secara politis bukan karena pada dirinya memang ada yang sangat waww! Melainkan karena formasi wacana yang ada dengan hegemoni epistemiknyalah yang menetapkan demikian. Sebab di dalam formasi wacana inilah berbagai pihak terus menerus merumuskan pertanyaan, mengumpulkan data, mencari jawaban lewat analisa, mempublikasikan jawaban yang ditemukan, lalu mengulangi langkah awal dengan merumuskan pertanyaan baru sehingga menciptakan sebuah siklus yang berputar terus menerus.
Pada pertengahan 1990-an, artinya sekitar 150-an tahun setelah generasi perintis kajiankajian tentang Minangkabau, seorang pemuda Amerika meneliti ke Sumatera Barat. Hasil penelitiannya ini kemudian ditulis jadi disertasi. Disertasi ini kemudian diterbitkan tahun 2008 oleh Cornell University Press dengan judul Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism. Buku ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Freedom Institute pada 2010 dengan judul Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau.
Di bagian Pengantar edisi Indonesia penulis menulis dalam bahasa Indonesia demikian:
Terjemahan ini adalah suatu perbaikan dibandingkan dengan aslinya yang berbahasa Inggris. […] saya bisa mengganti judul asli (yang dipaksakan oleh departemen pemasaran penerbit [edisi Inggris]) dengan judul yang selalu saya inginkan. Sengketa Tiada Putus diambil dari schoolschrift yang menggambarkan “sangketo nan tiada poetoes” dalam sebuah perkawinan, dan saya pikir ini adalah metafora sempurna untuk sengketa dan debat tiada putus yang membuat Minangkabau begitu enak dipelajari.9
Kata “enak” dalam kutipan di atas dengan persis menggambarkan kelezatan yang dilahirkan oleh hegemoni epistemik formasi wacana adat dan Islam di Minangkabau. Setelah hampir dua abad lebih orang menulis dan membahas secara akademik masyarakat Minangkabau, namun hubungan adat dan Islam tetap saja jadi “gosip” yang asyik diperbincangkan. Penyebabnya adalah hegemoni epistemik dalam formasi wacana ini tidak memungkinkan orang membahas hal lain, karena memang tidak ada kosa kata yang tersedia untuk mewakili bahasan lain itu.
Selanjutnya, ketika memperhatikan tumpukan “teks” yang ada dalam lingkup formasi wacana pertentangan adat dan Islam di Minangkabau ini, kita dapat mengelompokkan setidaknya tiga gugus tuturan atau cara-ungkap.
Pertama, tuturan yang disuarakan para ahli kolonial di masa lalu dan ahli dari luar negeri di masa Minangkabau pasca 1945. Satu saja yang mencirikan tuturan asing ini: adat dan Islam di Minangkabau ibarat minyak dan air. Manalah mungkin keduanya bersatu. Kalaupun ada terlihat keduanya berbaur, itu karena yang berhubungan dan bercampur sama-sama tidak asli lagi. Dengan kata lain, tuturan jenis pertama ini mengandaikan ada Islam yang asli dan adat Minangkabau yang asli. “Yang asli” ini sama-sama dianggap telah atau dapat dikenali oleh para ahli tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh pandangan Snouck Hurgronje yang dikutip sebelumnya ketika dia mendebat pandangan sejawatnya: “Sebelum kami memberi hak pada Anda untuk menyebut masyarakat Kepulauan Nusantara ini sebagai muslim yang buruk karena mereka masih terikat pada hal-hal di luar Islam dan sedikit atau bahkan tak paham sama sekali tentang agama mereka, kami minta Anda untuk menyebut satu saja masyarakat di muka bumi ini yang pengetahuan mereka tentang agama mereka sendiri telah mengalami kemajuan.” Di sini berarti Hurgronje yakin dia punya patokan yang jelas untuk mengenali pengetahuan suatu masyarakat tentang agama mereka sudah maju atau belum.
Kedua, tuturan cerdik pandai yang merupakan anak nagari Minangkabau sendiri. Tuturan ini adalah turunan dari wacana rintisan ahli-ahli kolonial di masa sebelumnya, sebab para cerdik pandai ini adalah murid mereka. Para cerdik pandai ini, sesuai ajaran guru mereka di sekolah, memanglah memandang adat dan Islam itu ibarat dua orang sepayung yang berjauhan hati. Hanya saja mereka tak mau berhenti pada sekadar menyatakan keduanya berkonflik. Sebab pengalaman hidup sebagai anak nagari Alam Minangkabau menuntut mereka untuk mencari akal. Mereka tak mau berhenti pada ajaran guru tanpa mempersoalkan apa langkah maju yang dapat ditempuh kalau adat dan Islam itu memanglah bertentangan. Dua teks dari putra Minangkabau yang telah dikutip di atas adalah contoh dari tuturan cerdik pandai ini.
Adapun tuturan ketiga disuarakan oleh para ulama. Inyiak-inyiak surau ini menguasai ilmu agama Islam sekaligus juga memiliki pengetahuan adat. Bagi beliau-beliau adat dan Islam itu bak aur dengan tebing. Bulat keyakinan mereka bahwa jika rumpun aur dibongkar, tebing akan runtuh; jika tebing diruntuhkan, aur akan mati. Tak ada yang istimewa dalam posisi mereka ini sebenarnya, kecuali bahwa tuturan mereka tak lain tak bukan adalah respon terhadap dua tuturan pertama. Kalau lah tak ada rintisan kajian-kajian para kolonialis dan modifikasi sana-sini oleh murid-murid mereka atas formasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau, para ulama tak akan membahas-bahas masalah ini. Urusan mereka hanya beribadah pada Allah, mengabdi pada ummat. Mana mungkin ikan di air jernih akan susah payah menguraikan hakikat dan seluk-beluk air, kalau tak ada yang bertanya padanya tentang apakah air itu?
Perlu sedikit digarisbawahi bahwa yang saya maksud dengan ulama di sini adalah sosok yang mengerti dan menghidupi agama Islam dan adat sekaligus, bukan sekadar orang yang pernah belajar agama Islam secara formal akademis namun terasing dari masyarakatnya di mana adat Minangkabau itu dihidupi. Catatan ini bertujuan untuk memasukkan salah seorang anak nagari Minangkabau yang rentan disalahkaprahi sebagai sosok yang termasuk ke kelompok kedua di atas karena diwacanakan berpaham pembaharu. Beliau adalah HAMKA.
Dalam buku, Islam dan Adat Minangkabau, Bab “Hubungan Timbal Balik Adat dan Syara’ dalam Kebudayaan Minangkabau, Buya HAMKA menulis demikian:
Kalau terjadi sikap keras kadang-kadang dari Kaum Agama, terutama dengan timbulnya Perang paderi, bukanlah karena Islam memerangi orang kafir. Kaum Adat yang diperangi Tuanku Nan Renceh atau Tuanku Imam Bonjol bukanlah orang kafir. Dan Tuanku-tuanku itu bukan pula orang-orang yang tidak beradat. … Melainkan [karena] Kaum Ulama kadang-kadang bersikap menantang adat apabila adat itu telah membeku atau digosokgosok dan dihasut-hasut oleh fihak luar, terutama fihak penjajahan Belanda untuk menghalangi proses peragamaan dan per-Islaman Adat Minangkabau.10
Sementara salah satu contoh par excellence dari sosok ulama yang bertutur tentang hubungan adat dan Islam itu bagai aur dengan tebing adalah Syeikh Sulaiman Arrasuli. Beliau mengarang kitab berbahasa Arab Melayu berjudul Pertalian Adat dan Syara’, sebuah karya ke mana tulisan ini dipersembahkan. Dalam kitab ini, di bawah bab pendek berjudul “Pasal Perdamaian antara Adat dan Syara’,” beliau menjelaskan perselisihan antara ulama dan kaum adat yang masih mempraktikkan hal-hal yang dilarang agama Islam. Perselisihan ini akhirnya didamaikan lewat jalan “kebijaksanaan pengulu-penghulu, tuangku-tuangku, alim-ulama,tetua cerdik-pandai di alam Minangkabau.” Perdamaian antara adat dan Islam itu menurut beliau ditempuh dengan cara arif-bijaksana (moderat). Cara moderat ini diungkapkan dengan ibarat:
Bak cando mamalu ula dalam baniah, tungkek pamalu jan patah, tanah dipalu jan lumpang, baniah dan kanai jan rusak, ula dipalu iyo mati. (Bagaikan memukul ular dalam persemaian [padi]. Tongkat pemukul jangan patang, tanah yang terpukul jangan berlubang, benih padi yang terkena jangan rusak, ular yang dipukul dapat mati.11
Hasil perdamaian tersebut menghasilkan hubungan harmonis antara adat dan Islam yang tergambar dalam pepatah yang beliau karang sebagai berikut:
Babelok jalan ka rambauBakotat ayam di parakDari parak tabangka baratElok aturan di MinangkabauAdatnyo disandi syarakSyara’nyo ditolong dek adat
|
Berbelok jalan ka RambauBerkotek ayam di parak (ladang)Dari parak terbang ke baratElok aturan diMinangkabauAdatnya disandi SyarakSyara’nya ditolong oleh adat.
|
Babelok jalan karambauLuruih labuah ka TalawiDi kida parak si HasimElok aturan di MinangkabauTubuahnyo adat nan kawiJiwanyo syara’ yang lazim.
|
Berbelok jalan ka RambauLuruslah jalan ke TalawiDi kiri parak si HasimElok aturan diMinangkabauTubuhnya adat nan kawiJiwanya syarak yang lazim
|
Babelok jalan ka rambauBaparak sabalah ka bandaPananam kacang balimbiangElok aturan di MinangkabauAdat jo syara’ sanda manyandaUmpamo aua dengan tabiang.
|
Berbelok jalan ka RambauBerparak (berladang) sebelah bandar (selokan)Ditanami kacang belimbingElok aturan diMinangkabauAdat dan syarak sandar menyandarUmpama aur dengan tebing
|
Babelok jalan karambauBararak mambao bangkaiElok aturan di MinangkabauSyara’ mangato adat mamakai
|
Berbelok jalan ka RambauBeriringan membawa bangkaiElok aturan di MinangkabauSyarak mengata adat memakai
|
Babelok jalan ka rambauParak si Hasim nan ditinjaunyo
|
Berbelok jalan ka RambauParak (ladang) si hasim yang dilihatnya
|
Elok adat di MinangkabauSyara’ yang lazim suluah bendangnyo.12 |
Elok aturan diMinangkabauSyarak yang lazim suluh-bendangnya |
***
Tujuan saya dalam bahasan ini bukanlah untuk menyatakan bahwa adat dan Islam di Minangkabau sama sekali tidak bertentangan atau pernah bertentangan namun kemudian akur; bukan pula meneguhkan pendapat-pendapat yang sudah jelas-jelas menyatakan pertentangan. Masalah saya adalah bahwa sebagai orang yang ketika berbicara dalam wacana formal akademis-ilmiah, saya tidak punya bahasa lain selain memakai kosa kata dari bahasa-bahasa penulis yang ada. Mereka telah merumuskan hubungan konfliktual antara keduanya dengan beragam variasi, mulai dari bahasa penuh kepentingan seperti Hurgronje dan sejawatnya, bahasa yang keras seperti Dobbin, sampai bahasa yang moderat seperti para ulama.
“jangan-jangan hubungan konfliktual antara adat dan Islam itu ada gara-gara wacana yang proses pembentukannya telah dirintis ratusan tahun lalu sebagai salah satu ekses kolonialisme.”
Persoalan pokok yang ingin dipicu oleh bahasan ini adalah soal kemungkinan menemukan bahasa lain untuk membicarakan hubungan adat dan Islam di Minangkabau di tingkat wacana formal selain bahasa konfliktual tersebut. Pertanyaan ini muncul dalam diri saya karena dalam keseharian sebagai orang Minangkabau, baik ketika di ranah Minang maupun di rantau, pertentangan antara keduanya tidak terasa, tidak terartikulasi dengan konkret. Kasarnya, saya baru tahu kalau keduanya bertentangan atau pernah bertentangan lalu berdamai setelah membaca! Di titik ini di kepala saya muncul pikiran “jangan-jangan hubungan konfliktual antara adat dan Islam itu ada gara-gara wacana yang proses pembentukannya telah dirintis ratusan tahun lalu sebagai salah satu ekses kolonialisme.”Artinya konflik itu ada karena wacana, bukan sebaliknya.
Saya menilai masalah ini perlu ditelusuri lebih jauh karena implikasinya tidak sederhana. Antara lain, saya tidak memiliki bahasa lain untuk mengisahkan diri sendiri sebagai orang Minangkabau selain yang tersedia dalam formasi wacana yang mempertentangan adat dan Islam. Saya harus meminjam mulut orang lain untuk menceritakan diri saya. Implikasi selanjutnya adalah formasi wacana formal yang ada cenderung memosisikan adat sebagai sesuatu yang beroposisi dengan ortodoksi Islam. Dalam wacana formal keagamaan Islam misalnya, kaum adat dicap sebagai kaum yang menyempal dari aturan-aturan agama. Sementara dalam keseharian yang konkret dan riil, setiap orang Minang akan marah besar jika dikatakan orang yang “tidak beradat”.
Keambiguan subjektif di tengah formasi wacana hubungan adat dan Islam ini kemudian melahirkan implikasi berikutnya yang jadi kecenderungan umum orang Minangkabau, setidaknya menurut penilaian saya pribadi, yakni menduga ada yang asli dan karena itu berkeinginan kuat untuk menemukannya. Kecenderungan inilah yang ada di balik gelombang purifikasi dalam paham keagamaan Islam dan di balik semangat baliak ka nagari (kembali ke sistem pemerintahan Nagari) yang dimungkinkan oleh era otonomi daerah belakangan ini.
Kecenderungan inilah yang ada di balik gelombang purifikasi dalam paham keagamaan Islam dan di balik semangat baliak ka nagari (kembali ke sistem pemerintahan Nagari) yang dimungkinkan oleh era otonomi daerah belakangan ini.
Saya akui, tugas berat menemukan bahasa lain untuk mengisahkan diri sebagai orang Minang selain bahasa yang tersedia dalam formasi wacana hubungan konflik adat dan Islam tidak mampu saya lakukan dalam kesempatan ini. Alangkah baiknya, jika saya dan pembaca tolong-menolong dalam menemukan bahasa tersebut dengan cara bertukar pikiran.
Wallahu a’lamu bi al-shawwab.
1. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003.
2. Buku-buku dari abad 18 ini dapat dilihat antara lain di daftar pustaka buku Muhamad Radjab, Perang Paderi, Jakarta: Perpustakaan Keguruan Kementerian PP&K, 1954.
3. De Jong, Josselin, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-political Structure in Indonesia, Den Haag:Martinus Nijhoff Uitgeverij, 1980, hlm. 26.
4. Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau,” Indonesia, 2 (1966), hlm. 2
5. Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau,” Indonesia, 2 (1966), hlm. 3
6. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003, hlm. 62.
7. Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hlm. 188.
8. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003, hlm. 63-64.
9. Jeffrey Hardley, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. xiv.
10. HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 133-134.
11. Syeikh Sulaiman Arrasuli, Pertalian Adat dan Syarak, (edisi transliterasi), Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 23.
12. Syeikh Sulaiman Arrasuli, Pertalian Adat dan Syarak, (edisi transliterasi), Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 24.