Pendidikan
/1/
Berdasarkan berbagai kajian, amatan, liputan, dan rekaman para pengaji, pemerhati, peliput, dan pecinta Wayang [yang dikemukakan secara tertulis, visual, dan disampaikan secara lisan] dapat dikatakan di sini bahwa keberadaan atau kehadiran [eksistensi] wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan sudah amat tua [lama] di dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa di samping masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain di Indonesia. Dengan kata lain, hidup wayang tergolong sudah demikian panjang. Kehidupan wayang ibarat kehidupan tokoh Rama Bargawa [Rama Parasu]: demikian panjang, tak mati-mati, meski sedih gembira silih berganti.
Dalam rentang perjalanan kehidupan wayang yang demikian panjang, lakon wayang dan seni pertunjukan wayang berubah, berkembang, dan menjadi beraneka ragam pada satu pihak dan pada pihak lain juga berkurang dan berkarat akibat berbagai faktor yang bersentuhan dengan kehidupan wayang. Dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya berhadapan dengan perubahan zaman, wayang telah membuktikan diri mampu hidup secara kenyal [elastis] dan lentur [fleksibel] sehingga sampai sekarang tetap dapat hidup [eksis] sebagai pusaka budaya sekalipun kerap membuat khawatir para pemangku, pencinta, dan pengaji wayang.
wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang…
Wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan dapat hidup sampai sekarang berkat kefundamentalan dan kestrategisannya dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain, secara historis, sosiokultural, religiokultural, geokultural, dan antropo-psikologis, keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat fundamental dan strategis dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Pertama, dikatakan fundamental karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang merupakan prasyarat yang harus ada [conditio sine qua non] dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [dan lain-lain]. Di sini berlaku adagium: tanpa wayang, tidak ada kejawaan; kejawaan tiada berarti tanpa wayang. Sebagaimana dikatakan oleh orang Inggris bahwa tidak ada Inggris tanpa Shakespeare, dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa tanpa wayang [wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang]. Wayang menjadi presensi atau representasi kejawaan [dapat juga kebalian dan lain-lain], bukan sekadar menjadi identitas kejawaan; wayang [setidak-tidaknya] menjadi ”tulang sumsum”, bahkan ”jiwa-raga” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dan wayang menjadi pusat, sumbu atau hulu kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa.
Kedua, dikatakan strategis karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat penting-utama [sentral] sebagai kendaraan atau wahana mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Tidak mengherankan, wayang lazim dijadikan acuan, sumber, dan dasar berperasaan, berpikir, bernalar, berlaku, berbuat, dan atau bertindak dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan memiliki kekuatan integratif sekaligus instrumental yang kokoh dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa: kekuatan integratif wayang mampu mengutuhkan sekaligus merekatkan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, sedangkan kekuatan instrumental wayang dapat mengantarkan sekaligus ”memfasilitasi” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa mampu mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan yang dikehendaki bersama. Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [bisa juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain yang memiliki tradisi wayang].
Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa…
Dalam sejarahnya, dinamika perubahan, pergeseran, dan perkembangan wayang sangat tinggi dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dalam hal ini keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang berubah, bergeser, dan berkembang sangat dinamis dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Sebagai contoh, pada masa kuno keberadaan wayang sebagai upacara keagamaan kepada Zat Absolut; kemudian bergeser sebagai sumbu kebudayaan dan peradaban; selanjutnya bergeser sebagai rujukan dan sumber kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa; dan berikutnya berubah sebagai bentuk tontonan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa. Pada suatu masa, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan lebih kuat-dominan kedudukannya sebagai integrator masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, kemudian lebih kuat-dominan kedudukan wayang sebagai instrumen kepentingan masyarakat dan kebudayaan Jawa.
Selaras dengan itu, pada suatu masa peranan integrator wayang lebih dominan, kemudian pada masa lain peranan instrumental wayang justru lebih dominan. Selanjutnya, pada suatu masa fungsi integrator wayang sebagai presensi atau representasi keutuhan dan kerekatan masyarakat dan kebudayaan Jawa lebih fungsional [misalnya, sebagai identitas masyarakat dan kebudayaan Jawa dan sebagai mitologi-kosmologi masyarakat dan kebudayaan Jawa], kemudian pada masa berikutnya fungsi instrumental wayang lebih dominan [misalnya, fungsi spiritual, fungsi filosofis, fungsi etis-moral, fungsi politis, fungsi edukatif, dan fungsi rekreatif]. Semua hal tersebut menunjukkan adanya sebuah transformasi keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sebagai siasat mempertahankan dan mengembangkan wayang di tengah-tengah dinamika historis, antropo-psikologis, geokultural, religiokultural, dan sosiokultural masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dinamika transformasi tradisi wayang tersebut justru membuahkan keanekaragaman dan kekayaan lakon dan seni pertunjukan wayang.
Dalam dinamika transformasi tradisi wayang tersebut berbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan ikut campur, campur tangan, atau ”ikut bermain” secara berarti [signifikan] dan menentukan mengingat demikian fundamental dan strategisnya wayang dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, bahkan juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain. Tak mengherankan, dunia wayang menjadi habitus, ranah, arena, dan atau ruang kontestasi [bertarung, bertanding, bersanding, dan atau berunding] aneka kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, antara lain agama, etika-moral, sosial, politik, ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai contoh, aneka kepentingan, kekuatan dan kekuasaan agama silih berganti bertanding, bersanding, dan berunding di dalam dunia wayang sehingga menjadikan lakon wayang, tafsir wayang, dan seni pertunjukan wayang beraneka ragam; ada lakon, tafsir, dan pertunjukan wayang bercorak pra-Hindu, Hindu, Islam, dan Kejawen [perhatikan, misalnya, lakon beserta tafsir dan pemaknaan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu]; seni pertunjukan wayang semakin beraneka ragam dan kaya, misalnya tokoh wayang diperkaya oleh Sunan Kalijaga, dan cerita diperkaya oleh ajaran Islam dan Nasrani.
Demikian juga pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan politik berkontestasi [bertanding, bersanding, dan atau berunding] dalam lakon dan pertunjukan wayang [terutama wayang kulit], misalnya pada zaman Orde Baru lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi, sosialisasi program, dan promosi hasil-hasil pembangunan Orde Baru [ingat lakon sekaligus pertunjukan wayang Semar Mbabar Jatidiri] pada satu sisi dan pada sisi lain dijadikan instrumen perlawanan kelompok masyarakat tertentu kepada Orde Baru. Pada zaman sekarang [Zaman Reformasi?] lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi dan sosialisasi penegakan hukum [lihat, misalnya, buku Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2010].
Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan sosial berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang kulit, misalnya lakon dan pertunjukan wayang kulit oleh pabrik-pabrik gula di Jawa dijadikan sarana legitimasi dan sosialisasi masa penggilingan tebu selain sarana hiburan bagi masyarakat; lakon dan pertunjukan wayang sebagai sarana konservasi ingatan masyarakat akan keberadaan pemerintahan tertentu [ingat wayangan pada peringatan ulang tahun pemerintah daerah]. Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan malah sangat kuat-dominan berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang sehingga wayang menjadi penggelaran pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi instrumen sekaligus katalisator pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi sumber, rujukan, bahan, dan ruang pendidikan bagi masyarakat. Tegasnya, wayang [baca: lakon, pertunjukan, dan komunitas wayang] selalu menjadi habitus, arena, atau ranah kontestasi beraneka ragam kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, satu di antaranya yang kuat-dominan adalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan.
/2/
Sebagai habitus, arena atau ranah kontestasi kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] menghadirkan, menampilkan, memantulkan, menggambarkan, menunjukkan, dan atau mencontohkan konfigurasi pendidikan yang membentuk sebuah corak atau ”mazhab” pendidikan tertentu, yang demi kemudahan dapat disebut corak atau ”mazhab” pendidikan wayang. Mazhab pendidikan wayang ini bukan saja menjadikan wayang sebagai instrumen pendidikan, tetapi membentuk sebuah konfigurasi atau karakteristik tertentu berkenaan dengan pendidikan. Di sini timbul pertanyaan: seperti apakah konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang? Secara ringkas ciri konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang Jawa dapat diuraikan sebagai berikut.
Falsafah pendidikan wayang Jawa [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas seperti padepokan] dapat digolongkan ke dalam pendidikan holistik, paling tidak paralel dengan pendidikan holistik. Sebagaimana pendidikan holistik yang dinyatakan oleh berbagai pakar modern, falsafah pendidikan wayang Jawa meyakini bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh dimensi dan potensi manusia baik dimensi dan potensi spiritual, humanis, sosial maupun personal; baik dimensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik; baik potensi ruhaniah, batiniah, maupun lahiriah; baik potensi spiritual, intelektual, emosional maupun fisikal-kinestetis manusia secara serempak. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mengasah-tajam ke-waskita-an, ke-lantip-an, ke-wasis-an, ke-prigel-an, dan sejenisnya. Semua itu dapat disebut sebagai rasionalitas integratif atau holistis [berbeda dengan pendidikan Barat yang cenderung membentuk rasionalitas instrumental]. Hal ini memerlukan proses memerdekakan, memanusiakan, menjadi terus-menerus, dan mengutamakan manusia [liberasi, humanisasi, hominisasi, dan transendensi] sehingga manusia terdidik menjadi manusia merdeka, manusiawi, menjadi, dan utama. Karna, Sumantri, dan Arjuna adalah contoh figur manusia utama, merdeka, dan terus menjadi. Jadi, menurut perspektif wayang Jawa, pendidikan perlu mengikuti falsafah pendidikan holistik.
Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku.
Falsafah pendidikan wayang mengedepankan praksis pendidikan daripada teori pendidikan, paling tidak menempatkan teori pendidikan di belakang praksis pendidikan atau tidak membedakan secara tegas antara teori pendidikan dan praksis pendidikan. Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku. Di sini laku dipandang lebih tepat sebagai jalan menguasai pengetahuan. Tokoh-tokoh wayang seperti Bima, Ajurna, dan Karna harus menjalani laku tertentu untuk menguasai pengetahuan tertentu. Demikian juga pendidikan calon dalang wayang di berbagai lembaga pedalangan menekankan laku, dalam hal ini praktik memainkan wayang secara intensif. Semua itu paralel dengan perkataan Konghucu sebagai berikut: //apa yang saya dengar, saya lupa/apa yang lihat, saya ingat/apa yang saya kerjakan, saya pahami//. Paralel juga dengan doktrin utama pemelajaran aktif [active learning] yang sekarang sedang ”digadang-gadang” [ditimang-timang] berikut ini: //yang saya dengar, saya lupa/yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat/yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan dengan orang lain, saya mulai pahami/yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan/yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai//. Malah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa laku pendidikan ala wayang selaras atau paralel dengan empat pilar pendidikan UNESCO berikut:/pemelajaran mengetahui [learning to know]/pemelajaran melakukan [learning to do]/pemelajaran hidup bersama [learning to tilve together]/pemelajaran menjadi diri sendiri [learning to be]/. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa praksis atau laku pendidikan ala wayang memiliki universalitas sekaligus aktualitas pada masa sekarang selain memiliki paralelisme dengan kebutuhan pendidikan pada masa sekarang.
Tujuan utama pendidikan wayang adalah membentuk manusia penuh pengertian yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil dengan laku tertentu yang ”tidak mudah” atau ”tidak gampangan”. Dalam hubungan ini muatan pendidikan [pedagogies content] berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang menjadi dambaan bersama. Sebagai contoh, tokoh Arjuna, Karna, Pandu, dan Sumantri, bahkan Sukrasana masing-masing merupakan figur manusia pangerten yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil. Dalam bahasa sekarang, masing-masing tokoh tersebut merupakan tokoh penuh pengertian yang berkompeten [memiliki kompetensi] dan berkarakter [memiliki akhlak mulia]. Mengapa demikian? Bukankah pengertian kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai yang digunakan untuk berpikir dan bertindak? Bukankah pengertian karakter adalah kesadaran etis-moral seseorang yang didasari oleh pemikiran, perasaan, dan perilaku? Jika memang demikian, bukankah tujuan pendidikan wayang paralel atau selaras dengan fungsi pendidikan nasional yang intinya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa? Hal ini mengimplikasikan bahwa tujuan pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi bagi pendidikan nasional.
Dalam pendidikan [ala] wayang diyakini bahwa ilmu atau pengetahuan bertautan dengan kepentingan atau kekuasaan tertentu sehingga tidak ada netralitas ilmu atau pengetahuan; selalu ada pertautan kepentingan atau kekuasaan dengan ilmu atau pengetahuan. Penyesalan Rama Bargawa [Rama Parasu] yang telah memberikan ilmu atau pengetahuan dan keterampilan kepada Bisma, Durna, dan Karna menyiratkan adanya pertautan pengetahuan dan keterampilan dengan kepentingan tertentu. Demikian juga lakon-lakon Ramayana yang bercerita seputar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau Sukesi-Wisrawa telah memantulkan secara jernih pertautan erat pengetahuan dengan kepentingan: pengetahuan tentang rahasia kesempurnaan hidup yang menjadi hak milik istimewa para dewa ternyata terlarang bagi perempuan seperti Sukesi sehingga Sukesi-Wisrawa menerima kutuk. Doktrin pertautan ilmu atau pengetahuan dengan kepentingan tertentu tersebut paralel dengan pernyataan Francis Bacon: pengetahuan adalah kekuasaan [knowledge is power]; selaras pula dengan pernyataan Fachry Ali tentang ilmu dan teknologi sebagai kekuasaan: dalam kasus Habibie pengetahuan menunjukkan diri sebagai kekuasaan [lihat bukunya Esai Politik tentang Habibie]; selaras pula dengan pandangan Edward Said bahwa ilmu atau pengetahuan selalu menjadi wahana imperialisme [lihat bukunya Orientalisme]. Di samping itu, juga paralel dengan doktrin Mazhab Kritis Frankfurt atau setidak-tidaknya paralel dengan pemikiran Jurgen Habermas tentang pertautan pengetahuan dengan kepentingan [lihat bukunya Knowledge and Human Interest]. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan wayang Jawa tentang ketidaknetralan ilmu atau pengetahuan memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pandangan filsafat ilmu modern.
Selaras dengan hal tersebut, dalam perspektif wayang, fungsi pendidikan adalah memberikan penyadaran atau penggugahan kepada subjek didik [baca: siswa] tentang diri siswa [jati diri, keberadaan, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab siswa]. Dengan kompetensi dan karakter [pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai] tertentu siswa diharapkan memiliki kesadaran atau ketergugahan diri di dunia. Wejangan filosofis dan etis-moral Kresna yang demikian panjang lebar kepada Arjuna yang tengah dilanda kegamangan menggambarkan pembentukan kesadaran atau ketergugahan Arjuna akan tugas dan tanggung jawab dirinya di dunia. Demikian juga ujaran Karna yang demikian panjang kepada Kunti sang ibunda tentang makna kesetiaan, martabat, dan pengorbanan menyiratkan adanya kesadaran atau ketergugahan Karna. Bahkan proses pendidikan calon dalang yang dipenuhi dengan wejangan dan latihan menunjukkan pembentukan kesadaran calon dalang. Uraian tersebut menunjukkan pendidikan ala wayang sebagai proses penyadaran atau penggugahan. Hal tersebut paralel atau selaras dengan pandangan Paulo Freire: Freire memandang pendidikan sebagai proses pembebasan dengan melakukan proses penyadaran [konsientisasi] siswa, dalam hal ini penyadaran kritis-transitif, bukan sekadar pemberian motivasi. Mazhab pendidikan kritis pada umumnya juga memandang proses pendidikan sebagai proses menyadarkan, bukan proses menabung di bank. Uraian tersebut jelaslah menyiratkan bahwa fungsi pendidikan dalam wayang paralel atau selaras dengan pandangan mazhab pendidikan kritis khususnya pandangan Freire. Oleh karena itu, fungsi pendidikan ala wayang memiliki universalitas dan aktualitas pada zaman sekarang.
/3/
Berlandaskan paparan ringkas di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi atau mazhab pendidikan [ala] wayang Jawa memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pemikiran pendidikan [pasca]-modern atau zaman sekarang selain memiliki universalitas dan aktualitas pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan. Hal ini mengimplikasikan bahwa mazhab pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi berarti bagi pendidikan modern atau zaman sekarang. Secara khusus mazhab pendidikan wayang dapat memberi kontribusi bagi pembentukan jatidiri pendidikan nasional Indonesia [sesuatu yang belum kita miliki, dalam arti bahwa sampai sekarang pendidikan nasional Indonesia belum memiliki jatidiri yang jelas dan utuh yang berpijak pada bumi sendiri]. Dengan kata lain, mazhab pendidikan wayang dapat dijadikan pijakan pendidikan nasional kita. Bukankah orang-orang terkemuka dan negara-negara terkemuka selalu berpijak pada bumi sendiri?
Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela menjadi terkemuka berkat kekayaan kultural dan moral yang digali dari bumi sendiri. Demikian juga pendidikan Finlandia dan Jepang menjadi terkemuka berkat pijakan bumi sendiri. Oleh sebab itu, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] perlu dipertahankan, dipelihara, dan bahkan dikembangkan agar mampu memberi sumbangsih bagi dunia pendidikan zaman sekarang, lebih-lebih zaman akan datang. Di samping itu, perlu diubah-suaikan [ditransformasikan] dan diadaptasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. Di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemertahanan, pemeliharaan, perlindungan, dan pengembangan serta perlindungan wayang Jawa, bahkan juga wayang-wayang lain yang ada di berbagai gugusan kebudayaan lokal di Indonesia. Semoga!
Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.
Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.
Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.
Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )
Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.
Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.
Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.
Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”
Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )
Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.
Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.
Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.
Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.
Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.