Ranggawarsita
Kita mafhum, tasawuf itu begitu banyak, majemuk, dan beraneka ragam. Ini karena sifat ajaran Tasawuf yang sangat individual, subjektif, dan intuitif. Abstraknya ajaran tasawuf juga menjadi penyebabnya. Sebab itu, kebanyakan Sufi tidak menyampaikan ajaran atau pemikiran mereka secara lugas dan deskriptif-ilmiah serta diskursif-ilmiah. Penyampaian seperti itu akan banyak menimbulkan pelbagai kesulitan yang selanjutnya membuat ajaran tasawuf tidak menarik. Meskipun demikian, harus dicatat juga bahwa ada juga yang menyampaikan ajaran tasawufnya secara deskriptif dan diskursif, misalnya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Tetapi, jumlahnya tidak banyak.
Para sufi gemar menyampaikan ajaran tasawufnya melalui kesenian, misalnya tari, musik, dan Sastra. Abdul Hadi WM pernah berkata bahwa “… dalam tradisi tasawuf sendiri, di samping tari dan musik, puisi memainkan peranan sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan secara deskriptif. Contohnya, Jalaluddin Rumi, sufi-penyair yang begitu kondang di dunia tasawuf dan dunia sastra, sangat gemar menyampaikan ajaran-ajarannya melalui tari, musik, dan puisi. Dengan diiringi oleh tabuhan-tabuhan rebana yang dimainkan oleh para darwis dan serentak dengan itu para darwis itu menari-nari dengan gerakan-gerakan tertentu yang indah, berpuisilah Jalaluddin Rumi meluncurkan syair-syair sufistisnya sambil ikut menari-nari, berputar ke sana ke mari dengan gemulai dan indah.
Ini berarti, gagasan tasawuf dalam sastra merupakan transformasi atau manifestasi ajaran tasawuf.
Begitu juga sufi-sufi lainnya. Setidak-tidaknya mereka menulis syair-syair yang berisi ajaran tasawufnya. Di sini sastra telah menjadi wahana gagasan tasawuf. Ini berarti, gagasan tasawuf dalam sastra merupakan transformasi atau manifestasi ajaran tasawuf. Di sini dicontohkan karya Jalaluddin Rumi. Karier kesufian dan ajaran tasawuf Rumi praktis semuanya dituangkan ke dalam puisi-puisi dan aforisme-aforisme puitisnya yang bernas. Misalnya, gagasannya sekaligus ajarannya tentang kesatuan atau persatuan wujud. Dalam mengemukakan gagasan ini, misalnya, Rumi membuat puisi berikut ini.
T’lah kusisihkan segala kegandaan: kulihat dua dunia satu adanya; Satu kucari, satu kukenal, Satu kulihat Satu kuseru;
Dia yang Awal, Dia yang akhir, Dia yang Lahir, Dia yang Batin;
Tiada kukenal lain, kecuali “Ya Huw” dan “Ya Man Huw”
Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku.
Dalam puisi di atas Rumi mengekspresikan gagasan kesatuan atau persatuan wujud dalam Tuhan. Segala kegandaan dan keanekaragaman yang wadag dan tampak saling bertentangan lebur menyatu dalam haribaan kesatuan atau persatuan wujud itu. Dikatakan Rumi:/…kulihat dua dunia satu adanya … Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku/. Gagasan seperti ini juga tertuang dalam Masnavi-i Ma’navi [Masnawi], Divan-i Syams-i Tabriz [Diwan Samsi Tabriz], dan Fihi ma Fihi – yang merupakan karya puisi dan aforisme Rumi yang paling cemerlang yang berisi gagasan dan ajaran utama tasawuf Rumi.
Al-Hallaj juga harus dijadikan contoh seorang sufi radikal yang selalu mengungkapkan gagasan dan ajaran persatuan wujud, persenyawaan wujud, atau manunggaling kawula lan Gusti, malah sirnaning kawula marang Gusti dalam bentuk puisi. Bisa dibilang, semua gagasan dan ajaran Hallaj tentang persatuan wujud dieskpresikan dalam puisi, antara lain dalam Kitab Thawasin dan Diwan Al-Hallaj. Pada waktu mengungkapkan ajaran radikalnya, yaitu Ana al Haqq, Hallaj berucap dalam puisinya:
Aku adalah Engkau, tanpa ragu
Mahasuci Dikau, mahasuci daku
Tauhid-Mu adalah tauhidku
Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku
Membuat marah-Mu adalah membuat
marahku
Dan ampunan-Mu adalah ampunanku
Di samping itu, Hallaj juga berucap:
Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku
Seperti leburnya khamr dalam air murni
Apabila sesuatu menyentuh-Mu
Ia pun menyentuhku
Maka tiba-tiba Engkaulah daku
Dalam setiap kondisi dan situasi
Dua kutipan di atas begitu gamblang dan terang mengungkapkan ajaran persatuan wujud menurut Hallaj. Larik /Aku adalah Engkau, tanpa ragu/ dan /Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku/ menggambarkan betapa dahsyat tiada tara kerinduan dan kasmaran yang dialami oleh aku lirik dan betapa luar biasanya magnet cinta Tuhan kepada aku lirik. Kerinduan dan kasmaran itu kemudian membuat si aku lirik (Hallaj) merasa bersatu atau sirna dalam Tuhan meskipun dalam arti metaforis (tidak dalam arti sebenarnya) sebab mana mungkin Khaliq dan makhluk benar-benar bersatu. Persatuan yang disampaikan Hallaj dalam puisi di atas adalah persatuan transenden, bukan persatuan monistis.
Demikian juga Muhammad Iqbal dapat dijadikan contoh penting. Pembaru pemikiran Islam, filosof, penyair, dan sufi ini justru mewadahi sebagian besar pemikiran keagamaan, gagasan filsafat, dan ajaran tasawufnya dalam puisi. Boleh dibilang, puisi adalah wadah dan wahana utama ajaran tasawuf Iqbal. Kumpulan puisi Asrari Khudi (Rahasia Diri) dan Javid Nama serta Pesan dari Timur merupakan tiga karya utama-unggul Iqbal yang secara kuat dan terang mengeluarkan gagasan dan ajaran tasawuf Iqbal. Javid Nama atau Kitab Keabadian atau Ziarah Abadi, misalnya, mengisahkan secara gamblang stasiun-stasiun jiwa [yang dinamai berbeda-beda oleh Iqbal] yang harus dilalui setiap pribadi atau manusia agar mencapai tangga keabadian.
Dalam setiap stasiun selalu ada prasyarat yang harus dipenuhi dan kendala yang harus diatasi. Kemampuan melewati satu stasiun jiwa akan mengantarkan kepada stasiun berikutnya. Demikian seterusnya terjadi. Misalnya, kemampuan melewati stasiun Prolog di Surga akan mengantarkan setiap pribadi ke stasiun Prolog di Bumi dan setelah itu ke stasiun Cakrawala Bulan. Perjalanan dari satu stasiun jiwa ke stasiun jiwa berikutnya digambarkan oleh Iqbal seperti perjalanan Isra’ Mi’raj. Dengan wadah puisi ini diharapkan oleh Iqbal, gagasan dan ajaran sufismenya jauh lebih konkret, mudah dihayati, dan cepat dipahami oleh pembaca.
Tak heran…, di antara semua gerakan mistisisme di dunia, tasawuf merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik.
Tak heran, seperti banyak dikatakan pemerhati dan peneliti, di antara semua gerakan mistisisme di dunia, tasawuf merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik. Ratusan, bahkan tak mustahil ribuan penyair mistik atau penyair sufi telah dilahirkan oleh gerakan sufisme. Hal ini setidaknya karena empat hal. Pertama, sastra dan tasawuf bertolak dari titik yang sama, yakni penghayatan. Kedua, sastra khususnya puisi yang menawarkan pengalaman estetis dan literer dan tasawuf yang menawarkan pengalaman mistik dan ruhaniah sama-sama sangat personal dan unik. Ketiga, pengalaman mistik yang dibuahkan oleh tasawuf selalu memiliki kualitas puitis dan estetis yang dibuahkan oleh sastra khususnya puisi juga memiliki kualitas mistis. Keempat, sastra khususnya puisi memiliki kemungkinan tak terbatas dalam menciptakan hubungan baru antara gagasan keagamaan dan keduniawian, antara imaji fana dan kudus (profan dan sakral), antara dunia batin dan dunia lahir, dan antara yang ruhaniah dan lahiriah.
Di samping penyair sufi atau mistik, tentu tasawuf melahirkan banyak karya sastra bernafas tasawuf yang tersebar ke pelbagai penjuru bumi. Bukan hanya di wilayah-wilayah Timur Tengah atau Islam, tetapi juga wilayah Barat yang kita pandang non-Islam. Khazanah sastra bernafas tasawuf diakui oleh berbagai ahli demikian kaya luar biasa. Louis Massignon, seorang Prancis yang [bisa disebut] sangat ahli tentang Hallaj dan berpengetahuan mendalam soal tasawuf, mengakui kekayaan khazanah sastra sufi. Demikian juga Annimarie Schimmel, seorang Jerman yang sangat otoritatif di bidang tasawuf, telah menghasilkan pelbagai kajian tentang tasawuf dan sastra sufi yang terdapat di berbagai wilayah — dari Timur Tengah sampai dengan Cina.
Selain itu, berbagai antologi puisi bernafas tasawuf juga telah diterbitkan baik oleh ahli-ahli Barat maupun oleh beberapa kritikus, penyair, dan ahli sastra Indonesia. Belakangan ini puisi-puisi bernafas tasawuf banyak diterbitkan dan diminati di Indonesia. Misalnya, antologi Musyawarah Burung-burung (Attar) Pesan dari Timur, Javid Nama (Iqbal), Diwan Al-Hallaj, Akulah Kebenaran (Hallaj), Masnawi, Khasidah Cinta, Diwan Samsi Tabriz (Rumi), dan Sastra Sufi [kumpulan puisi pelbagai penyair sufi]. Ini semua merupakan bukti betapa luar biasa kayanya khazanah sastra sufistis atau bernafas tasawuf.
Berbagai antologi puisi bernafas tasawuf juga telah diterbitkan baik oleh ahli-ahli Barat maupun oleh beberapa kritikus, penyair, dan ahli sastra Indonesia. Belakangan ini puisi-puisi bernafas tasawuf banyak diterbitkan dan diminati di Indonesia. Misalnya, antologi Musyawarah Burung-burung (Attar) Pesan dari Timur, Javid Nama (Iqbal), Diwan Al-Hallaj, Akulah Kebenaran (Hallaj), Masnawi, Khasidah Cinta, Diwan Samsi Tabriz (Rumi), dan Sastra Sufi [kumpulan puisi pelbagai penyair sufi]. Ini semua merupakan bukti betapa luar biasa kayanya khazanah sastra sufistis atau bernafas tasawuf.
Kita tahu, sastra di negeri-negeri Islam dan atau negeri-negeri yang dirambah Islam senantiasa kaya akan nafas tasawuf. Sastra Arab, sastra Persia, sastra Turki, sastra Hindi dan sastra Urdu, misalnya, disarati oleh nafas tasawuf. Malahan sastra-sastra ini sering disebut sebagai sastra sufi karena sastrawannya hampir semuanya sufi atau setidaknya menghayati tasawuf secara intens.
Sastra sufi atau sastra yang bernafas tasawuf diketahui mendorong, bahkan memelopori kebangkitan sastra nasional di negeri-negeri tersebut di atas — termasuk negeri Indonesia. Ditulangpunggungi oleh sufi-sufi sekaligus penyair-penyair seperti Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Sa’id, Dzun Nun, Nikmatullah, Fariduddin Attar, al-Hujwiri, Ibnu Farid, Ibnu Atha, Abu al-Atahiyah, Haci Bayram, Umar Khayyam dan Iqbal, sosok tasawuf dalam sastra demikian menonjol dan kuat.
Sejatinya tak gampang dibuktikan apakah sufi sekaligus penyair tersebut mencipta puisi bernafaskan tasawuf ataukah menyampaikan ajaran tasawufnya melalui puisi. Tak ada petunjuk jelas untuk menentukan hal ini. Berhubung orang-orang tersebut adalah pertama-tama sufi, dan memiliki kualitas penyair, maka dapat dikatakan bahwa mereka menyampaikan ajaran tasawuf lewat sastra sekaligus bersastra. Jika kadar kesufian dan kepenyairan seorang sufi sama-sama kuat, maka boleh dikatakan orang tersebut merupakan penyair yang sufi atau sufi yang penyair. Ini mengakibatkan bahwa sastra khususnya puisi yang mereka hasilkan absah disebut sebagai sastra sufi dan absah pula disebut sastra bernafaskan tasawuf.
Jika kadar kesufian dan kepenyairan seorang sufi sama-sama kuat, maka boleh dikatakan orang tersebut merupakan penyair yang sufi atau sufi yang penyair. Ini mengakibatkan bahwa sastra khususnya puisi yang mereka hasilkan absah disebut sebagai sastra sufi dan absah pula disebut sastra bernafaskan tasawuf.
Sastra sufi atau bernafaskan tasawuf (karena di dalamnya terkandung gagasan-gagasan sufisme) tampak selalu lekat dengan agama Islam. Sepertinya ada dalil: sadar sastra sufi, sadar akan Islam. Tak ayal, sewaktu Islam berkembang dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, sastra sufi atau bernafaskan tasawuf juga ikut berkembang dan tersebar ke berbagai penjuru dunia. Pada waktu Islam masuk ke nusantara, sastra sufi atau bernafaskan tasawuf pun ikut masuk. Di dunia Melayu malahan tasawuf atau sastra sufi membangkitkan sastra Melayu baru. Estetika sastra Melayu sangat kental dan tebal dimensi-dimensi dan anasir tasawuf.
Ditokohi oleh sufi sekaligus sastrawan seperti Hamzah Fansuri, Nurruddin Arraniri, Syamsudin al-Sumatrani, Bukhari al-Jauhari, dan Abdurrauf Singkel, sastra Melayu yang bernafaskan tasawuf mencapai kemajuan-kemajuan yang begitu berarti. Buktinya, karya-karya monumental seperti Syair Perahu dan Rubaiyat (Hamzah Fansuri), Kitab Seribu Masalah (Abdurrauf Singkel), dan Tajus Salatin (Bukhari al Jauhari) dan Gurindan XII (Raja Ali Haji). Gagasan-gagasan tasawuf begitu kental-tebal dalam karya-karya tersebut.
Lebih jauh, tasawuf ini masuk ke dalam sastra-sastra daerah, antara sastra Jawa, sastra Bugis, sastra Bima, sastra Banjar, sastra Buton, dan sastra Sunda. Dalam sastra Jawa hal itu tercermin terutama dalam karya-karya Walisanga, utamanya karya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Selain itu, tampak pula pada karya Yasadipura, Ranggawarsita, dan lain-lain. Larik-larik puitis Cermin dan Desas-desus karya Yasadipura begitu kuat memantulkan gagasan tasawuf atau nafas tasawuf. Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita menampakkan gagasan kuat sekalipun dipadu dengan berbagai unsur lain di luar Islam. Bisa dibilang, karya-karya pujangga Jawa penutup ini “basah kuyup” dengan gagasan tasawuf al-Ghazali.
Dari kajian-kajian Simuh, kita juga bisa tahu, suluk dan serat dalam sastra Jawa Abad XVII kental-tebal dengan gagasan tasawuf pantheistis yang berpadu dengan tradisi pra-Islam dan Kejawen. Sementara itu, dalam sastra Sunda gagasan tasawuf tercermin dalam suluk-suluk Cirebon. Suluk-suluk Cirebon pada umumnya bernafaskan tasawuf syuhudi atau sunni dan mengajarkan masalah martabat tujuh.
Dalam sastra modern atau kontemporer jejak gagasan tasawuf dapat ditemui antara lain dalam karya Kahlil Gibran dan Muhammad Iqbal. Karya-karya kedua orang ini demikian sarat dengan gagasan tasawuf. Ini bisa disimak dalam karya Sang Nabi dan Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran) dan Asrari Khudi dan Javid Nama (Muhammad Iqbal). Dalam sastra Indonesia jejak gagasan tasawuf masih tetap ada dan tampak, bahkan dalam hal tertentu bisa dikatakan kuat sekali.
Dalam sastra Indonesia jejak gagasan tasawuf masih tetap ada dan tampak, bahkan dalam hal tertentu bisa dikatakan kuat sekali.
Misalnya, karya-karya Amir Hamzah mencerminkan nafas sekaligus gagasan-gagasan tasawuf. Dalam berbagai bukunya Abdul Hadi WM memasukkan beberapa puisi Amir Hamzah ke dalam antologi puisi yang berjudul Sastra Sufi, yaitu Do’a, Berdiri Aku, Padamu Jua, dan Tetapi Aku. Bila kita resapi dan renungi, bisa dibilang bahwa puisi Padamu Jua bisa disebut puisi puncak sufistis Amir Hamzah.
Novel, puisi, dan cerpen Kuntowijoyo juga sangat sarat dengan gagasan tasawuf, misalnya Kotbah di Atas Bukit, Pasar, Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Suluk Awang-Uwung, Ma’rifat Daun, dan Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Bisa dikatakan, Kotbah di Atas Bukit, Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Suluk Awang Uwung, dan Ma’rifat Daun merupakan kitab utama pemikiran tasawuf dari Kuntowijoyo.
Jika dikaji secara mendalam, tak pelak lagi, puisi-puisi Sutardji C. Bachri pada periode 1970-an yang terhimpun dalam antologi O, Amuk, dan Kapak, terlebih puisi periode 1980-an, kental dan pekat warna tasawuf. Puisi-puisi Sutardji pasca-antologi O, Amuk, dan Kapak malah sangat pekat dengan warna tasawuf.
Hampir semua cerpen Fudoli Zaini, antara lain Kota Kelahiran, Arafah, dan Batu-batu Setan mengembuskan nafas tasawuf sangat kuat dan pekat. Demikian juga karya-karya Emha Ainun Najib (99 Tuhanku, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, dan Cahaya Maha Cahaya) mencerminkan nafas sekaligus gagasan tasawuf. Say ingin sebut nama Arini Hidayati yang menulis dua kumpulan aforisme puitis, yaitu Jiwa-jiwa Pencinta dan Budak Tuan Raja, yang menggunakan gaya pengungkapan seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan tentu saja sarat gagasan tasawuf.
Hal tersebut membuktikan bahwa tasawuf sudah merasuk ke dalam sastra kontemporer Indonesia. Dalam sastra modern atau kontemporer nafas sekaligus gagasan tasawuf justru dimanfaatkan atau didayagunakan untuk menyegarkan, mencerahkan, dan memperkaya pengucapan sastra. Seingat saya, Teeuw pernah berkata bahwa sastra Indonesia dan sastrawan Indonesia telah memanfaatkan nafas tasawuf pantheistis (baca: bukan monisme) untuk memperkaya dan menganekaragamkan pengucapan sastra Indonesia.
Sebelumnya, mari mendoakan para korban Corona (Covid-19) yang telah meninggal dunia, terlepas darimana dia dan apa agamanya. Mugya padhang laku lan jembar kubure, diterima di sisi Tuhan kepercayaan masing-masing.
Pada 31 Desember 2019, tepat di hari pergantian tahun, China mengumumkan tentang munculnya kasus Corona. Selang beberapa bulan, virus Corona telah menyebar ke semua negara di dunia. Tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa Corona telah menjadi pandemi global.
Kota-kota besar di dunia dalam kondisi lockdown. Tempat-tempat suci beribadah pun mengalami nasib yang serupa, termasuk Ka’bah. Menariknya, walaupun Ka’bah ditutup, di Twitter, akun @hsharifain, memublikasikan sebuah video yang menunjukkan kawanan burung merpati terbang dengan begitu bebas memutari Ka’bah, seolah kawanan merpati tersebut melakukan thawaf.
Frank M. Snowden, penulis Epidemic and Society: From Black Death to the Present, dalam wawancaranya dengan situs The New Yorker, menjelaskan bahwa kejadian luar biasa karena Wabah selalu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lepas dari aksi teknis nan taktis demi menekan dampak Corona, selagi para ilmuwan bekerja mencari vaksin maupun obat penawarnya, hampir semua manusia memiliki pertanyaan; Apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia? Apa yang akan terjadi pada umat manusia?
Dua pertanyaan bersifat hipotikal di atas tentu sulit untuk dijawab secara ilmiah. Sebagai gantinya, atas kementokan ‘dunia ilmiah’, setiap jawaban yang muncul tidak lepas dari latar belakang serta motif si penjawab.
Apabila si penjawab seorang dokter, tentu ia akan memberi jawaban yang berlandaskan ilmu kedokteran ditambah pengalamannya. Beda lagi kalau yang menjawab seorang sejarawan, karena telah membaca banyak referensi sejarah, kebanyakan sejarawan akan memberi jawaban, “itu hal biasa”.
Namun, yang belum cukup diamati ialah seperti apa jawaban spiritualitas sastra Jawa bernafas Islam dalam memandang sekaligus menyikapi Corona? Akankah Corona menjadi indikator kuat bahwa hari ini, manusia sedang berada di dalam masa transisi zaman Kalatidha menuju Kalabendu?
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Psikologi Manusia Akhir Zaman
Umat manusia telah berkali-kali ditimpa wabah. Mulai dari Pes, Malaria, Flu Spanyol (H1N1), Flu Burung, SARS, MERS, hingga Covid-19. Anehnya, Corona, yang jumlah kematiannya tidak mencapai angka jutaan seperti yang terjadi pada kasus Black Death, menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa melalui distribusi berita di media-media. Lantas, sebenarnya, apa yang membuat panik? Corona atau berita?
Kepanikan dipicu ketakutan yang berlebihan, sehingga muncul beragam skenario menakutkan di pikiran. Untuk menghindari skenario-skenario buruk pikiran, manusia melakukan tindak ketergesaan. Puncaknya, akibat kepanikan, terkuak fakta tentang betapa manusia menyembah egonya.
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Ingat pada awal bulan Maret 2020. Tatkala pemerintah baru saja mengumumkan adanya dua kasus Corona di Depok, seketika harga masker disetel penjualnya pada harga tinggi, masyarakat memborong masker sampai habis, satu pembeli minimal membeli tiga kotak masker, dan bahan makanan di minimarket pun ikut tumpas.
Bagi yang cukup uang, sangat mudah untuk berjaga-jaga, bagi yang kere senjata terbaik untuk mendapat keselamatan semata doa. Peristiwa ini sekiranya menjadi implementasi faktual dari bait Sinom Serat Kalatidha yang masyhur berikut ini.
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Hidup di zaman kegilaan
tidak mudah berbuat kebaikan
ikut gila tidak tahan
kalau tidak ikut gila
tidak mungkin mendapat keinginan
lapar pada akhirnya
untungnya takdir Allah
beruntung-untungnya orang lupa
masih untung orang yang ingat dan waspada
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Respon pemerintah berjalan lamban. Bukannya mencegah kepanikan, pemerintah Indonesia justru menambah kepanikan masyarakat dengan mendiskon tiket pesawat, dan menginstruksikan agar sektor pariwisata tetap beroperasi seperti biasanya.
Kekacauan terjadi secara serentak dari tingkat bawah hingga atas struktur sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia memrioritaskan keberlanjutan ‘uang’ sementara masyarakat mengedepankan keselamatan masing-masing akibat pengaruh media.
Semuanya mbingungi karepe dhewe, uang sangat penting untuk menjaga nyawa, tapi apakah mungkin mencari uang tanpa pakai nyawa?
Dhasar karoban pawarta
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayěkti
mundhak apa anèng ngayun
andhědhěr kaluputan
sinaraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Namanya juga ditimpa berita
ingin jadi yang di depan
ternyata malah di belakang
biar apa berada di depan?
(hanya akan) membuka kesalahan
disirami air lupa
kalau tumbuh jadi suburnya sengsara
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Sajian terjemahan di atas masih berupa terjemahan literal. Apabila dikontekstualisasikan terhadap peristiwa kepanikan Corona, dapat diambil satu benang merah bahwa semua manusia bernafsu ingin berada di depan, paling depan untuk mewujudkan kepentingan pribadi akibat ketergesaan. Bukannya memperoleh apa yang diinginkan malah menunjukkan keegoisan yang pada akhirnya menebarkan kesusahan bagi sesama.
Serat Kalatidha, sebagai hasil interpretasi Ranggawarsita atas Jangka Jayabaya, memiliki arti ‘zaman penuh kesamaran’, memberi sinyal masuknya zaman Kalabendu setelah terjadinya zaman Kalatidha. Bahwa zaman Kalatidha yang serba tidak pasti menimbulkan kebingungan bertindak terkait apa yang harus dilakukan. Sebab semua orang pasti sudah tahu harus menyelamatkan apa dan siapa, namun belum tentu tahu apa yang harus dilakukan secara benar.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media. Kekhawatiran yang terlanjur dengan cepat menjalari kemudian memicu munculnya satu gagasan, “alangkah tenangnya kalau tidak tahu” Padahal, sebelumnya menuntut untuk tahu.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media.
Akumulasi yang Akan Datang
Untuk sementara, para peneliti menduga bahwa Corona yang bermula di Cina dikarenakan kegemaran warga Wuhan memakan hewan liar. Bagi sebagian orang, memakan kelelawar, trenggiling, katak, ular, dan lain sebagainya merupakan perilaku tidak lazim. Akan tetapi bagi yang doyan, makan hewan yang ‘tidak biasa’ jelas sudah jadi kebiasaan.
Seandainya diruntut, kemunculan wabah yang menimpa manusia selalu berawal dari perilaku menyimpang manusia ketika berinteraksi dengan alam, terutama binatang. Wabah Pes, Flu Spanyol, Malaria, SARS, MERS, dan Corona, bukankah semuanya terlontar dari tubuh binatang?
Tuhan yang telah menundukkan alam bagi manusia (Qs. Ibrahim 13:32-34) ternyata ditafsirkan secara berlebihan. Agenda manusida dalam perusakan alam tidak sekadar dijalankan pada tataran fisik, namun juga mengacaukan putaran rantai makanan. Bisa jadi penyebabnya berasal dari pelajaran biologi di sekolah yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi rantai makanan adalah manusia.
Apabila benar Corona merupakan rangkaian dari Kalabendu, maka tidak meleset nubuat yang disampaikan di dalam Jangka Jayabaya bahwa Kalabendu dimulai dari rusaknya alam. Sunan Pakubuwana IX, kompetitor Ranggawarsita, dalam Sekar Kusumawicitra menyebut Kalabendu sebagai Kaliyuga, “dan masuknya zaman Kaliyuga ditandai dengan eksploitasi pepohonan hutan”.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV mendesrkipsikan melalui tembang Pocung, Ringgit Madya Lampahan Jaya Purusa, peristiwa yang dialami manusia sebelum dan selama masa Kalabendu berlangsung.
datan dangu kadhatengan kalabendu
angancik pailan
larang sandhang lawan bukti
wewulanan tan ana tibaning jawah
sumur-sumur kali-kali kalenipun
sendhang myang bengawan
sadaya kasatan warih
tanem tuwuh tiwas tan tuwuh palastra
buron banyu pitik iwen akeh lampus
tan antuk pasaban
sumawana para janmi
ting bilulung keh mati saking kalapan
kuwur-kawur saparan-parane bingung
kang samyarsa pindhah
mring nagari Malawapati
malah kesah ngungsi mring praja Widarba
saya dangu janma wimbuh ura-uru
rebut sandhang boga
rusuh rina lawan wengi
tanpa kendhat lakuning bangsat beradhat
Terjemahan:
tidak lama datanglah Kalabendu
menapak (masa) paceklik
mahal pakaian dan makanan
berbulan-bulan tidak ada turun hujan
sumur-sumur, sungai-sungai, dan parit
sumber air hingga sungai besar
semua kekeringan air
menanam hanya sia-sia
air langka ayam dan unggas semua mati
tiada tempat berkumpul
begitu juga para manusia
berlarian kesana-kemari banyak yang mati (akibat) kepanikan
berlarian tanpa arah kebingungan
yang semua ingin pergi
(dari) nagari Malawapati
mengungsi pergi ke negeri Widarba
semakin hari semakin gelap hati
berebut pakaian dan makanan
bertengkar (di) siang dan malam
tak ada hentinya bertindak jahat
Tidak dapat dipungkiri, muncul dan sebaran suatu wabah tidak lepas dari faktor alam, di samping otoritas pemangku pemerintahan. Layaknya penduduk Malawapati yang cari selamat dari masa sengsara dengan cara mengungsi ke negeri tetangga, Widarba. Ketakutan membuat manusia ibarat tidur malam berselimut takut.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir. Di hari kemudian, entah kapan, mungkin saja muncul wabah lain yang lebih menakutkan daripada Corona. Menakutkan di sini bukan selamanya dalam artian sifat wabah itu sendiri, melainkan distribusi berita.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir.
Waktu Untuk Manekung Anungku Samadhi
Tingkat kematian Corona yang tidak setinggi SARS dan MERS mengundang satu pertanyaan penting, kenapa sampai hari ini belum ada vaksin penangkal yang ditemukan?
Belum ditemukannya vaksin Corona tersebut mengakibatkan diberlakukannya lockdown pada daerah-daerah yang dinilai sedang dalam masa genting menghadapi Corona.
Jeff McMahon dalam Forbes menuliskan satu fakta penting, bahwa kebijakan lockdown sebenarnya membuat manusia lebih aman dari kematian akibat pencemaran lingkungan daripada virus Corona itu sendiri.
Apabila ditelusuri, kebijakan lockdown pada dasarnya memiliki dua fungsi. Pertama, mencegah penyebaran virus yang lebih massif di suatu wilayah. Kedua, menjadi momen bagi masyarakat, secara kolektif, untuk lebih merenungkan kehidupan.
Selama ini, sebelum Corona menimpa, umat manusia memburu cita-cita dan pencapaian tiada henti. Bekerja terus menerus tanpa sempat berdiam diri lalu melakukan instropeksi. Bagai mesin yang dituntut terus bekerja tanpa diperbolehkan untuk cooling down oleh mandor atau majikan.
Kebijakan lockdown yang berimbas pada berbagai aktifitas manusia seolah menjadi tanda dari Tuhan, bahwa manusia diperintah untuk ngunjal ambegan (mengambil nafas panjang) dari kepadatan hidup sembari menutup mata dalam keheningan (manekung anungku samadhi) bukan dalan ketakutan. Oleh sebab itu, langkah paling efektif menekan sebaran Corona tidak lain hanyalah lockdown.
Dari manekung dalam momen lockdown, mungkin manusia tidak akan pernah tahu apa yang hendak disampaikan Tuhan, namun setidaknya manusia bisa lebih menyadari posisinya yang semata makhluk sekalipun telah melakukan banyak pencapaian di berbagai aspek kehidupan. Tidak lebih.
dene sarananipun badhe anyumerepi Gusti Allah saha kaananipun alam kelangenan, punika namung saking semedi, semedi mekaten anentremaken roh tuwin ngeningaken cipta. Saha salebetipun semedi, sampeyan anyipta angekoki Allah.
(Martadarsana, Wedha Sanyata)
Adapun metode untuk mengenal Tuhan juga keadaan alam yang sejati, hanyalah lewat semedi, semedi itu menentramkan roh dan menenangkan pikir. Pun di dalam semedi, Anda rapaljan nama ‘Allah’.
(Martadarsaba, Wedha Sanyata)
Corona dan Sebuah Peradaban Akhir
Pada tahun 1963, Nikolai Kardashev, seorang fisikawan terkemuka Rusia, mencetuskan teori Type of Civilization. Sebuah teori yang menentukan peringkat peradaban manusia. Type I, umat manusia mengonsumsi energi dari planetnya sendiri.
Type II, umat manusia mampu memaksimalkan sumber energi yang terdapat di tata surya, termasuk komet, matahari, asteroid, dan planet di tata surya. Type III, galaksi Bima Sakti telah ditundukkan umat manusia.
Dalam hal ini, Michio Kaku, fisikawan kuantum setengah Jepang, menyebutkan bahwa saat ini manusia sedang berada di Type I dari teori Type of Civilization.
Michio Kaku dengan optimis percaya bahwa di masa depan, manusia mampu mencapai type III. Namun, sebelum beranjak ke type II, mengingat tingginya ego manusia setelah merefleksi peristiwa Corona, akan lebih baik bagi manusia jika Tuhan menghendaki kiamat saja.