rasa
Saya tak benar-benar tahu, apakah gejala formalisme beragama kita yang kian marak di Indonesia belakangan ini, yang bahkan pada taraf tertentu punya dimensi atau semangat untuk mengekslusi atau menyingkirkan kelompok (agama) lain, pada ambang tertentu, sudah membuat kita sebagai bangsa, semakin menjauh dari prinsip dan nilai kebersamaan, dan kegotong-royongan, atau sebut saja pesatuan Indonesia, sebagaimana dulu nilai-nilai tersebut dipancangkan oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdekaan negeri ini. Saya tak punya kapasitas menilainya.
Namun, saya tiba-tiba mengingat sebuah istilah yang dulu dikenalkan Soekarno di rapat BPUPK, tanggal 1 Juni 1945, saat ia berkesempatan menyodorkan gagasannya terkait dasar filsafat Negara Indonesia (philosofische grondslag)—yang kemudian ia namai sendiri dengan nama “Pancasila”, yang berarti “lima asas” atau “lima dasar”. Saat mengemukakan sila yang kelima (Soekarno tak mementingkan urutan sila ini, karena baginya hanya sekadar “urut-urutan kebiasaan saja”), ia menyarankan Indonesia Merdeka harus berdasar prinsip Ketuhanan. Yakni bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, namun masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan (menurut kepercayaan) Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara Kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1984: 147-154).
Apa makna kalimatnya? Atau bagaimana tepatnya kita merespon istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” yang ia sorongkan, di saat Sekularisme telah meresapi bangun ruang hidup kita secara keseluruhan—sebagaimana dulu dicetuskan dalam bingkai nalar sains abad modern yang memang berusaha menyingkirkan sejauh-jauhnya peran agama juga Tuhan menyingkir di sisi pinggir peradaban dunia? Atau Juga bagaimana memaknai istilah Soekarno tersebut, di saat agama telah terdomestifikasi sebagai ajaran ritual peribadatan semata, sehingga membuatnya saling hadap perhadap dengan wilayah “kebudayaan” di satu sisi, maupun gejala sains (paradigma modernisme yang telah menyangga bangun keseluruhan pranata sosial modern kenegaraan kita saat ini) yang secara umum telah memilah ranah-ranah politik, kebudayaan, seni, dan agama—terutama dalam arena diskursus politik publik demokrasi liberal—sebagai sesuatu yang saling memisahkan dan saling bediri hadap-perhadap satu dengan yang lain di sisi lainnya? Dan lalu bagaimana kita menyambungkan makna prinsip ketuhanan, yang senyatanya telah kita sepakati menjadi satu bagian dasar negeri kita, juga bagaimana menyambungkan makna agama sebagai “petunjuk keseluruhan hidup” dalam konteks kebangsaan kita yang semakin larut dalam diskursus politik demokrasi liberal yang mendomestifikasi peran agama ke dalam ruang privat?
Saya ingin menjawabnya dengan mengais khazanah tradisi dari “Serat Wedhatama” dalam literatur Jawa. Dalam pembendaharaan serat ini, terdapat sebuah istilah penting terkait definisi “kebudayaan” yang dari khasanah pengetahuan tersebut barangkali istilah kebudayaan itu kita ambil: yakni “olah budi” atau “budya”. Jika kita bersepakat arti kebudayaan—sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat sebagai “hasil olah Cipta, karsa, dan rasa manusia”, maka kebudayaan dalam konotasi tertentu merupakan sebuah proses “olah budi” kemanusian, tentu jika kata “budi” kita maknai seturut dengan pemaknaan Wedhatama dimana istilah “budi” menunjuk aspek terdalam keseluruhan diri manusia: yakni Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah Budi dengan demikian adalah proses mengolah unsur terdalam bagian diri (sifatnya rohani), atau proses mengolah Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa kita agar kemanusiaan kita menjadi lebih utuh.
Tak mengherankan jika kita mendapati, salah satu defenisi kebudayaan berbunyi sebagai olah “men-daya-kan budi kemanusian kita (baca: budaya, budi-daya) yakni agar kita bergerak dari kecenderungan sifat-sifat hewan yang memang secara alami menggerakkan hidup kita (nature), menuju kondisi kemanusiaan yang lebih utuh dalam berelasi mengatur hidup bersama yang lebih memanusiakan orang (culture). Dalam konteks ini sebenarnya kata “budaya” dengan segenap konotasi “ruhaninya” tak benar-benar sepadan dengan kata “cultuur” (belanda) ataupun “culture” (inggris) yang lebih punya asosiasi kepada aktivitas “bercocok tanam”.
Masalahnya dulu, terutama dalam pengertian tradisi Jawa, juga bahkan di Nusantara secara keseluruhan, kata olah budi masih berkait sesuatu yang ruhani, alias masih menyandarkan Tuhan dalam bangun proses mengutuhkan potensi kedirian kemanusiaan tersebut. Karena sejatinya olah potensi Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa, (olah-budi, atau budaya) dari keseluruhan potensi yang tersimpan dalam diri kita adalah sejenis usaha mengolah potensi “ilahiah” atau “ruhaniah” di dalam diri yang seringnya kalah dengan dominasi dorongan “kehewanan” yang menghambat proses kita menjadi “manusia”. Oleh karenanya, di dalam literatur “Serat Wedhatama” proses “olah budi” atau proses berbudaya tersebut masih diembel-embeli dengan kata “sembah”: yakni Sembah Karsa, sembah Cipta, sembah Jiwa, dan sembah Rasa.
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama).
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama). Dan bukankah ini, mengambil contoh ajaran Islam, merupakan tujuan puncak diturunkan ajaran agama: yakni menyempurnakan akhlak utama. Yakni budi-pekerti yang dicapai manusia setelah melalui proses perjuangannya mengolah-budinya atau setelah proses olah “berkebudayaan”nya, dari kondisi status kemanusiaannya yang sebelumnya terbelenggu dorongan-dorongan alami hewaninya (basyar) menuju diri kemanusiaan yang dilimputi oleh akhlak dan budi-pekerti utama untuk mengatur hidup bersama yang saling mengamankan dan menebarkan kedamaian, kebersamaan, dan rahmat kepada siapapun (insan).
Dalam koridor penafsiran ini, ajaran inti beragama adalah mengolah budi kemanusiaan dari status “kehewanan” kita menuju potensi “kemanusiaan” kita, alias ajaran berkebudayaan atau bahkan proses berkebudayaan itu sendiri, dalam visi ketuhanan yang membantu kita memperindah pola kehidupan bersama dalam sebuah tata-kemasyarakatan. Dan dengan kerangka ini pula, agama—beserta ajaran tentang ketuhanannya—seharusnya tak bediri terpisah dengan “kebudayaan”, serta hendaknya mengukuhkan “olah-kedirian” berkebudayaan atau olah proses kemanusiaan sebuah masyarakat, yang memang secara factual bersifat particular-lokal (Indonesia) dan memang berbeda-beda pada setiap bangsa dan masyarakat. Inilah ajaran ketuhanan yang telah membantu menegakkan jati-diri olah-kebudayaan kebangsaan masyarakat tertentu, yakni telah melampaui ajaran hitam-putihnya (syari’at) sebagai batu bata-utama awal dalam menata hidup yang telah mengantarkannya kepada capaian “hikmat”, “kebijaksanaan”, dan “kearifan” (satu akar kata dengan ma’rifat). Sebuah agama yang tidak lagi mengawang dalam ajaran dan doktrin yang masih berjarak dan memisahkan diri pergulatan kebudayaan sebuah masyarakat, melainkan ajaran keagamaan dan ketuhanan yang membantu mengutuhkan jati-diri “kebudayaan” sebuah bangsa dalam mengekplorasi olah potensi “ilahiyah” yang bersemanyam dalam “fitrah” kemanusiaan yang berkecenderungan lurus (hanif) tersebut.
“Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai salah satu sila dari Pancasila seperti disorongkan Soekarno di atas, dengan sendirinya sekarang memiliki relevansi dan memungkinkan kita memaknainya untuk kebutuhan kita hari ini. Bahwa dalam visi dan prinsip ketuhanan dan ajaran agama, hendaknya membantu kita untuk mengatur hidup bersama dalam bingkai kerakyatan yang tidak semata dipandu olah ajaran hitam-putih (parsial menurut egoisme kelompok maupun golongan [agama] tertentu) melainkan seharusnya dipandu oleh penglihatan utuh dalam bingkai “hikmat” (mengambil hikmah “baik” dari peristiwa “buruk”, alias telah melampaui baik-buruk), maupun dalam bingkai kebijaksanaan dan kearifan (ma’rifat) yang tidak lagi mencari menang-menangan dalam payung “musyawarah”. Yakni olah kemanusiaan dalam mengatur hidup bersama dalam semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan”. Dalam bahasa Soekarno, olah kemanusian dalam bingkai ketuhanan tersebut dengan sendirinya bersifat “kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’” yang tidak membenarkan “egotisme kebenaran” dari prinsip ketuhanan tertentu.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur. Yakni sebuah prinsip ketuhanan yang telah membantu olah budi-pekerti dalam proses menjadi manusia seutuhnya dalam mengejar kecenderungan fitrahnya sesuai konteks pergulatan kebangsaannya yang memiliki tantangan dan kondisi yang memang berbeda dengan bangsa lain. Nah, prinsip ketuhanan dan ajaran agama seperti inilah yang telah terbukti membantu manusia Indonesia menemukan jati-diri kemanusiaannya. Ketuhanan yang mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi-pekerti luhur dan ketuhanan yang tidak lagi mengekslusi, menyingkirkan, dan menghina “tuhan” kelompok lain, alias ketuhanan—dalam bahasa Soekarno—“ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Sebuah prinsip ketuhanan dan agama yang justru membantu memperkokoh jati-diri kebudayaan sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Ajaran agama yang dengan sendirinya bisa menebar rahmat bagi alam semesta.
“Rasa” bagi orang Jawa sering dimaknai sebagai bagian “terdalam” di diri manusia dalam menangkap “Kebenaran”. Tentu dengan tingkat dan jenjang tertentu, orang bisa menempelkan kata “rasa” terkait makna perasaan “sakit” saat kulit kita tersayat misalnya, atau rasa “manis” saat Anda sedang mencecap gula, rasa “patah hati” saat Anda ditinggal kekasih, rasa “tercekat” saat memandangi sebuah keindahan, atau rasa “bahagia” saat melihat anak-cucu hidup harmonis, atau “rasa” dalam menangkap “Kebenaran”, atau bahkan “rasa” dalam “merasai” hidup ini (urip).
Jika Anda mau sedikit bersibuk menelisik, untuk menyebut kata “makna” atau “arti”, orang Jawa menyebutnya dengan kata “surasa” atau “suraos” (krama-inggil rasa). Saat anda mendengar Khotbah Jumat dalam bahasa Jawa, setelah membaca ayat Quran dalam bunyi Arab-nya, sang khatib akan menambahkan, Ingkang suraos-ipun, alias “yang artinya”. Di dalam perbendaharaan beberapa manuskrip kesusastraan “serat” maupun “suluk”, kadang-kadang kata “surasa” dikembangkan dalam bentuk kata lain seperti “wirasa” maupun “wiraos”, atau juga “sawirasa” persis seperti Kitab Bonang menyebut istilah wirasa-ning usul suluk, atau dalam kasus istilah Serat Cebolek dalam kata rasa-ning kawi.
Dari keterangan ini, meski memiliki keterkaitan semantik, kata “surasa” sebagai padanan kata “makna” atau “arti” sebenarnya tak benar-benar bisa secara sepadan disejajarkan. “Surasa”—yang sering diterjemahkan “arti” itu—seolah ingin menekankan sebuah “makna” yang ada, bukan semata dalam sebuah ujaran teks-tulisan dan diskursus (seperti tertangkap pikiran semata), melainkan sebuah “makna” yang telah meresap dalam “hati”, alias telah meresap dalam “rasa” terdalam manusia (weh reseping ati).
Oleh karenanya, selain sebagai fakultas epistemologi diri dalam menangkap “kenyataan” yang berjenjang-menaik, Ia, kata “rasa” itu sering dimaknai sebagai “inti”, yang kita tahu sepadan dengan kata “galih” yang juga berarti “inti” atau “hati”. Kata ini dengan begitu, tak hanya sebatas fakultas “epistemologis”, tapi merupakan “fakultas ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup ini. Atau dalam bahasa lain, dalam menangkap lukita-nya Alam, yakni sebuah susunan huruf yang membentuk kesatuan ayat melalui rasa. Sebuah sasmita dan pasemon Agung sang “Kebenaran” hidup. Rasa iku rasul, wijile rasa-ning urip.
Tak aneh misalnya, jika dalam sebuah percakapan, dalam menimbang masalah tertentu, orang diminta dengan perkataan, “mangga dipun penggalih” (galih) atau “mangga dipun rasa-rasa piyambak” (rasa), alias “silakan dipertimbangkan” (dengan rasa). Tidak hanya dengan menggunakan fakultas akal kita an sich seperti diajarkan sekolah kita, melainkan dengan mengaktifkan “hati” (galih) dan “rasa” kita. Dengan cara tersebut, kebenaran yang begitu misterius, adiluhung, dan begitu “rahasia” itu bisa kita rengkuh sedikit demi sedikit, yang sebenarnya merupakan sebuah proses tak henti dengan jalan rendah “hati”, dalam menyingkap yang “benar” dalam Alam semesta (baca: alam, alamat-Nya). Persis seperti kita “merasa”-i misteri hidup yang tak terperi ini. (sang urip).
Dalam merasai dan memaknai hidup, Anda tak mungkin mengandalkan “akal” dalam memahami keseluruhannya. Bukan bermaksud merendahkan fakultas tersebut, melainkan setiap “fakultas” diri semestinya memiliki “porsi” (baca: isti’dad) kebenarannya masing-masing. Kulit Anda mungkin bisa merasakan lengketnya cairan gula, tapi tak bisa merasakan rasa manisnya. Pandangan mata anda bisa menangkap “putih”-nya kain, tapi (putih) tak benar-benar bisa didefinisikan oleh nalar pikiran Anda. Atau ihwal ketak-berhinggaan batas pemikiran anda, yang tak bisa dijelaskan oleh panca-Indra yang berbatas. Juga “rasa” bahagia Anda yang tak benar-benar bisa Anda jelaskan menurut pemikiran Anda.
Kata “rasa” itu sering dimaknai sebagai “inti”, yang kita tahu sepadan dengan kata “galih” yang juga berarti “inti” atau “hati”. Kata ini dengan begitu, tak hanya sebatas fakultas “epistemologis”, tapi merupakan “fakultas ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup ini.
Begitupun Hidup, ia mengundang kita untuk terjun dalam sebuah “penerimaan” utuh dari seluruh bagian diri ini, dalam menyelaraskan “gerak rasa”-Nya. Ya sebuah ajakan untuk tenggelam dalam “laku” berdedikasi dengan mengikuti “arah”-Nya. Lelakon hidup ini ternyata telah dan sedang menuju sesuatu dalam sebuah gerak teleologis berarah, Sangkan Paraning Dumadi. Lelaku atau perjalanan hidup itu ringkasnya, sebenarnya tidak terjadi “di luar”, melainkan sebuah perjalanan menuju “ke-dalam”. Yakni sebuah “perjalanan” dalam (1) mengendalikan keinginan (Karsa) ego yang merusak, (2) menajamkan pikiran (Cipta) dengan menepis jebakan pamrih diri, maupun (3) menjernihkan hati dari kealpaan akan tujuan hidup (Jiwa). Dengan cara itu, bagian terdalam dari diri kita itu, yakni (4) “rasa” terdalam kita, bisa sedikit-demi-sedikit menjadi cermin bening bagi kebenaran “Alam” atau “Jagad” atau hidup itu sendiri.
Oleh karena ketidakberhinggaan “terdalam” rasa yang ingin dipahami, maka rasa sering dikatakan sebagai sebuah “misteri” yang terus-menerus mengundang tanya. Ia sering dikatakan sebagai “rahsa” alias “rahasia” terdalam dari diri. Oleh karenanya kata “rahsa”—sepadan dengan arti “sirr” dalam bahasa suluk (tasawuf)—sering dialih-lapalkan dengan kata “rasa”, alias “inti” atau “rahasia” terdalam pada “jagad” diri manusia sendiri. Keterangan ini sekaligus ingin mengatakan bahwa pada proses awal Islamisasi di pulau ini, kata “dzauq”—yang sering diterjemahkan sebagai “rasa” sebagai fakultas diri dalam menyerap kebenaran—belum dikenal. Kata “sirr” lebih masuk akal.
Dalam sebuah paragraph di “Primbon Attasadur Adam Makna”, terutama saat menerangkan serat “Wirayat Jati” ihwal bab “gegelaran kahananing pengeran” (keber-ada-an Tuhan), Anda akan bertemu sebuah kutipan, yang menurut keterangan dalam primbon ini, diatributkan sebagai hadis (qudsi) Nabi: “Al insanu sirri, wa ana sirruhu”. Yang menarik, primbon ini menerjemahkan bait-bait hadis ini dengan arti, “Sejatine menungsa iku rahsa-ningsun, lan Ingsun (Allah) iku rahsa-ning menungsa”. Atau jika dibunyikan dalam bahasa Indonesia menjadi, “Manusia itu rahasia-Ku (Allah), dan Aku itu rahasia-nya manusia”. Dalam perkataan Nabi tersebut, kata “sirr” (Arab), yang memang secara harafiah bermakna “rahasia”, diterjemahkan dengan kata “Ra(h)sa”.
Bait-bait kutipan perkataan Nabi (baca: hadis qudsi) tersebut, juga bisa ditemukan dan termaktub di Serat Wirid karya Ronggawarsita, terutama di bagian yang menjelaskan ihwal “gelaran kahananing Dzat”, persis verbatim seperti terjemahan perkataan Kanjeng nabi yang telah disebut sebelumnya. Malah, dalam Serat Tuhfah (basaning tuhfah)—sebuah manuskrip berbahasa Jawa seperti ditemukan oleh A.H. Jhons—terutama pada “pupuh” kedua (Asmaradana) di “pada” ke-9 (bait 9)—saya mendapat afirmasi ihwal permainan kata “rahsa” dan “rasa” yang saling dipertukarkan: “Manusa rahsa-ningwang, pan i(ng)sun rasa-ne iku”. Manusia itu ra(h)sa-Ku, dan Aku (Allah) “rasa”-nya manusia.
Tak aneh jika, jika kita sering mendengar, “Jawa iku panggone rasa”, alias kebudayaan Jawa meletakkan (kata) “rasa” pada tempat yang begitu tinggi. Persis seperti adagium, “Jawa itu nggone semu”, Ia, pada kebudayaan ini, juga dianggap tempat hal-hal yang “samar” (semu) dan “tersembunyi” (rahsa) diberi perhatian lebih (pasemon). Orang, dalam konteks ini, diminta menyesap dan tenggelam dalam sebuah semesta tanda (sasmita), yang sebenarnya menyelubungi secara berlapis kenyataan hidup dan alam ini. Sebuah sasmita agung (ayat), yang sebenarnya telah ada dan tercermin dalam “jagad cilik” (mikrokosmos) dalam diri manusia sendiri. Ya sebuah undangan untuk mengawasi dan melihat diri-sendiri (“mulat sarira”), yakni tempat “rasa” hidup beserta kebenarannya dapat ditangkap dalam dimensinya secara menyeluruh dan utuh. “Rasa” itu “Aku”, dengan A besar, kata “wedharan wirid” yang terkenal.
Al insanu sirri, wa ana sirruhu. Manusa rahsa-ningwang, pan i(ng)sun rasa-ne iku. Manusia itu ra(h)sa-Ku, dan Aku (Allah) “rasa”-nya manusia.
Budaya “rasan-rasan” dengan seluruh atribut negatifnya hari ini mungkin pada awalnya adalah sebuah latihan untuk menangkap, menebak, serta menerka “semu” (yang samar) dari apa yang “dirasakan” orang lain. Alias merasakan apa yang dirasakan orang lain. “Ng-raos-aken rasa-ning tiyang sanes.” Ya, sebuah latihan untuk mengetahui apa yang dirasakan orang lain (tepa sarira), bukan pertama untuk menderet keburukan-keburukan yang diperbuat orang-lain, melainkan agar tindak-tanduk perbuatan dan rasa kita selaras dengan rasa orang lain, alias agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Oleh karena itu, orang harus dituntut waspada terhadap “kesamaran” atau “semu”—yang juga bisa berarti “gelagat” dan “raut muka” seseorang dalam bahasa Jawanya—dari perbuatan, respon, tanggapan, maupun rasa terdalam orang-lain. Dengan cara mengenali yang samar itu, orang akan bisa meng-enak-kan perasaan orang lain, sehingga apapun yang keluar dari tingkah laku dan ucapannya dalam sebuah pergaulan selalu selaras dan manis. Atau dalam bahasa “Serat Wedhatama”, “waspadeng semu, sinamun samudana, sesadon ing adu manis”.
Oleh karena itu, konsep tentang “olah rasa”, “rasa-pangrasa”, “rumangsa” atau “ilmu rasa” menjadi sebuah kosakata yang tidak asing di telinga. Malah, saya menduga konsep dari turunan kata “rasa” ini benar-benar telah membentuk skema besar pandangan dunia yang merangkai semesta lingkaran semantik—sebut saja begitu—atas “makna” serta “kebermaknaan” hidup ini seperti dijalani oleh bangsa Jawa, atau bahkan mungkin oleh masyarakat Indonesia secara gradatif. Konsep ini dengan seluruh turunan katanya, seolah ingin menggeret kita dalam sudut spektrum tertentu untuk menilik ulang meneliti “rasa” dan “kedirian” sejati diri sendiri (manusia).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita akan kata “jati diri”, dimana laku “olah diri” mengenali “ra(h)sa” terdalamnya adalah sebuah pertaruhan yang berujung pada pertemuan dengan “diri (se)jati”-nya, yang memang merupakan jangkar dari universum “makna” atas perjalanan dan lelakon hidup ini. Dalam perjalanan mencari makna “ra(h)sa” atau “rahasia” kehidupan ini, orang kita dengan rendah hati memilih bersibuk “menjalani” -nya (nglakoni), daripada alih-alih menjelaskan dalam bangun “makna” yang jelas dan padu. Namun, jika orang bersabar dan rendah hati dalam olah diri untuk melatih “kepekaan rasa” atas lapisan “samar” dari hidup dan semesta kehidupan ini, yakni dalam sebuah laku etis berdedikasi untuk mengindahkan diri (akhlak utama), kebenaran hidup beserta “misteri”, “kesamaran” (semu), dan “ke-ghaib-annya” akan tersingkap dan merembesi “rasa terdalam” diri Anda—meminjam istilah Wedhatama, “wis bisa nuksmeng pasang semu, pasemoning hebing kang Maha Suci.” Karena pada akhirnya hidup berserta kebenaran-nya itu adalah diri kita, “rasa” kita. Dan “rasa” itu “Aku”. Ya Hayyu.
Irfan Afifi
Cepokojajar, 24 April 2018.