Santri
Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim. Sholawat dan salam untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas Pesantren, di kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal. Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Ishaq dari Blambangan.
Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66) menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen), Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan Ario Abdullah Palembang.
Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.
Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak kesarjanaan Tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam Jawa.
Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural kemasyarakatan, yang diletakkan para Wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya, terutama abad XVII-XIX.
Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal
Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16” (KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.
Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab itu. Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.
Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya, adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal). Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peranan.
Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut, karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di antaranya:
Mantingan
Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.
Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro, Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.
Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.
Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).
Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).
Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.
Gunung Sembung/Giri Amparan Jati
Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.
Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.
Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan menjadi pusat pengiriman Santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.
Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.
Ampel Denta/Kembang Kuning
Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku Sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.
Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.
Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.
Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri, sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.
Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.
Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.
Kadilangu
Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.
. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.
Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru, yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.
Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana, mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.
Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan Giri. Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).
Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.
Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi
Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia (emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban 879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.
Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada 15 Syaban 827 H/1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di selatan Jawa.
Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.
Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu baru membangun basis di Kebumen.
Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.
Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824, dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.
Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang, mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.
Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang pesat.
Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.
Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan
Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.
Dalam soal tasawuf, diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan bahwa “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan dan model syariat telah dipelajari sejak awal.
Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).
Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6 Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak (1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.
Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa, yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi. Tentang kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini biasanya merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537); yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.
Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986). Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang Fiqh Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).
Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi (Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).
Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa, juga diedit ulang Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.”
Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut “pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”
Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain, di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal dari itu)” (KKPT, 2009: 28).
Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23) disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB, 1988: 226).
Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan Syeh Ibrahim, berdasarkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).
Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih. Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti (383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).
Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa, dan disalin pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.
Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi” (SIN, 2015: 38).
Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi (Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail, berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan, 2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).
Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan tahun 1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini disebutkan.
BTS pada bagian ke-10 yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).
Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin, dan Usul 6 Bis, yang dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits. Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.
Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani, yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.
Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis
Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili beberapa dasar dan konsep pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh, dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain.
Alfu Masail
Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.
Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali, atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa, seperti disebutkan di atas.
Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana. Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku tasawuf di Jawa.
Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:
Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi. Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.
Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama dijawab, hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima; Berapa banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada 104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?
Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh; Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam indalloh, kafir indan nas.
Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya, mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di nabi, waliyulloh dan orang beriman.
Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.
Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah khuldi? Apa pakaian Adam?
Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana, Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa (waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya? Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut dunia ini?
Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500 x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.
Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya? Kenapa langit terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman tokid, marifat?
Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya, dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan semut? Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala, tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?
Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi? Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.
Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10 perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa diberi ganjaran ketika bersetubuh (dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang berpuasa Ramadhan?
Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng (dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa banyak kejadiannya?
Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang? Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya. Bagaimana makna Alloh yang sejati? Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang disebut pembicaraan?
Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka, atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam? Apa maknanya kursi?
Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih? Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda (Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah? Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?
Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi Abdullah bin Salam.
Usul 6 Bis
Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan (Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ, 2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986: 143).
Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila laka”, demikian:
“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar baik dan buruknya dari Allah.”
“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha memberi rizki, pengatur, Raja, dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan, dan tanpa penetang.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah: “Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah, yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu) tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”
“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam ada 10 kitab; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah: “Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah (yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah syarat iman dan membenci mereka kufrun.”
“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah: “Ada 6 orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”
“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”
“Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang diangkat sebagai rasul.”
“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua, karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).
“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh, dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya. Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa tersebut , sekalipun hanya sebgiannya, faqod kafara.”
“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allohlah pencipta semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalaui janji dan ancamannya.”
“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi, karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”
“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk) Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”
“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul, kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya yang berupa perintah, larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan sesuatu selain tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”
“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”
“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan Allah, dan dia ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”
Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali
Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam kajian tersendiri, di antaranya:
Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah
Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).
Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku yang membahas biografinya.
Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah
Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah. Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya; dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH. Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:
“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut, selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang menjadi pegangan bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….” (MKG, 2014: 312).
Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin, dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja, silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah, mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan memang tidak banyak diungkapkan.
Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:
Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah, dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai kepada Imam Ali; (2) Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas (SST, 2007: 65-67).
Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).
Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).
Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal, dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.
Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah
Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara 1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.
Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa, Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa, Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam, Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).
Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah, dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui jalur Ammar al-Bidlisi.
Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya an-Nahrajuri), dari Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.
Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui silsilah Ismail al-Qashri ini, juga disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi ketika disebut Syarif Hidayatullah disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh Kubrowiyah ini wafat pada tahun 1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi. Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466 Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).
Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas, Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah. Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.
Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan, mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6 orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).
Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat 1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian orang banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).
Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan, Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru silsilah bersambung. Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.
Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara barzakhilah yang terjadi.
Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang bagus, madzhab Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin (tauhid) menganut madzhab Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).
Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya; menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang dihubungkan dengan syaikh.
Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep
Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan dan masyarakat.
Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.
Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59): Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan Guntur Maliki.
Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini, karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka), dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid Agung Tuban; dan terletak di di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban.
GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With or Attributed to The Saints of Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan, dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk, Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.
Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:
Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait 22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”
Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)
Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan: “Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).
Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan kehendak”; “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya, manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…” (SW, bait 72-73).
Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.” (SW, bait 11).
Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”
Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan Satpada memperlihatkan kepada cermin maka dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.
Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon Bonang, disebutkan “Ru’jatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-Bari: e Rijal…! Tegesing ru’jat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”
Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-af’al ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada makhluk)”
Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib, Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu), Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati), (Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).
Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan, bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas. Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren Giri oleh Sunan Giri.
Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Kalijaga
Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka. Dalam Kidung Kawedar, Sunan Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari (adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati; Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.
Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011: 137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan Kalijaga juga mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi, memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa. Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.
Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar
Penyusun konsep-konsep tasawuf berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh Siti Jenar, pupuh 6:18).
Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam, seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia yang menyebutkan begini:
“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi. Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002: 28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.
Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).
Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.
Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa
Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan setan dan jin, dan lain-lain.
Nur Muhammad
Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad), kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar dari badan, musibah atas diri mayit.
Selain itu Daoqiq juga membahas: sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan, adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar, panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.
Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan yang putih, seperti umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”
“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan tanaman padi.”
“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.
Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab yang cukup awal diajarkan di Jawa di samping kitab-kitab akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.
Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN, 2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang luas.
Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini: “Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda: “Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur. Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh, lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”
Ilmu Hikmah
Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh. Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-anugerah keramat.
Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad Tembayat, juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan dengan para penantangnya.
Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang disebut begini:
“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu, mereka orang-orang Keling yang menyerang semuanya roboh dan tidak berdaya, akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti beliau. Akhirnya mereka dapat menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti perjalanan beliau ke Cirebon.”
Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali, kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan, mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.
Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya bagi pemula.
Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis
Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat. Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar banyak melakukan kerja kultural tetapi sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik, meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.
Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab. Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup ruang pengaruh masing-masing.
Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa, para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh dibaca hanya terjadi sekali.
Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah, dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk Kahfi.
Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.
Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya, bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.
Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.
*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama, yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2, Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.
Rentang tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, pesantren merupakan salah satu objek yang banyak dikaji, ditelaah, didiskusikan, dan dibicarakan oleh para akademisi, cendekia, dan ilmuwan, baik asing maupun dalam negeri, melalui berbagai penelitian, diskusi, seminar, buku dan bentuk-bentuk publikasi ilmiah lainnya. Terlepas dari berbagai motif dan alasannya, intensitas dan gairah yang begitu tinggi semacam itu memang layak didapatkan Pesantren mengingat bahwa pesantren merupakan bagian teramat penting dari Islam Indonesia.
Potret Pesantren di Layar Perak
Jika kita menelusuri jejak masa lalu pesantren, kita akan selalu sampai pada Islam Nusantara, sebuah jaringan kerja yang dijalin oleh para wali dan ulama masa lalu. Jaringan ini merupakan organisme aktif yang memiliki sistem kerja yang canggih, berspektrum luas–budaya, reliji, edukasi, politik, sosial–dengan cakupan geografis yang juga tidak kalah luasnya; secara regional, jaringan kerja ini meliputi wilayah yang kini kita sebut sebagai ASEAN, sementara secara internasional, para ulama Nusantara tampil sebagai aktor yang mewarnai panggung sejarah dunia Islam, sebuah peran yang sayangnya hingga saat ini belum pernah dimainkan lagi oleh umat Muslim Indonesia. Jaringan inilah yang merawat apa yang pernah dibangun oleh Majapahit di masa lalu, dan membentuk pandangan dunia (Wawasan Nusantara) mengenai kesatuan geografis, budaya, sosial, politik bagi kita sebagai sebuah bangsa di masa sekarang ini.
Menarik untuk melihat bagaimana pandangan-pandangan dan definisi tersebut terartikulasi dalam berbagai bentuk: mulai dari kebijakan negara, program-program pemberdayaan pesantren yang dilakukan oleh banyak LSM, hingga seni. Studi mengenai kebijakan negara terhadap pesantren telah banyak dilakukan dan dapat ditemukan secara melimpah di berbagai perpustakaan, demikian juga studi mengenai program-program pemberdayaan.
Saat ini, kita akan melihat bagaimana pesantren diartikulasikan melalui seni, khususnya film–tanpa perlu larut dalam perdebatan mengenai capaian estetisnya atau apakah film adalah fine art atau entertaint.
Film merupakan media yang dengan mudah dapat disimak, baik dengan serius maupun secara sambil lalu (disambi), oleh banyak orang. Selain itu, rekaman realitas dalam film juga meninggalkan jejak yang lebih dalamketimbang bentuk-bentuk lainnya.
Merekam Pesantren: Dekade 1990-an hingga Generasi Noceng
Selain masih dicirikan dengan membanjirnya film-film komedi seks, horor seks, dan roman-roman percintaan menjurus seks–seperti halnya dekade 1980-an–dekade 1990-an juga tercatat sebagai titik mula kelesuan dunia Perfilman Indonesia. Lesunya film dalam negeri ini membuat film-film impor dari berbagai negara merajai pasar perfilman kita. Selain Hollywood, yang memang telah menguasai pasar perfilman sejak masa-masa yang sangat awal, pasar film dekade 1990-an juga dipenuhi oleh film-film produksi Hong Kong, atau lazim disebut sebagai film Mandarin, dan film-film India. Di samping itu, masa ini juga mencatat adanya penyusutan jumlah Bioskop yang terjadi secara luar biasa. Jaringan bioskop yang pada masa-masa sebelumnya dapat kita temui di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan (di wilayah kecamatan saya sendiri terdapat dua buah bioskop), satu persatu gulung tikar, sementara bioskop-bioskop di kota besar pun mulai kehilangan penonton. Selain barangkali karena jenuh dengan film yang bertema itu-itu saja, banyak pengamat mengatakan bahwa merebaknya stasiun televisi swasta dan teknologi cakram padat (VCD) turut memberi andil dalam fenomena keruntuhan bioskop ini.
Namun, di tengah suasana prihatin tersebut, kita masih bisa mendapatkan film dengan latar pesantren: Nada dan Dakwah, yang lagi-lagi disutradarai oleh Chaerul Umam dan ditulis oleh Asrul Sani. Masih dengan kecenderungan menjauhi tema-tema mainstream,produksi film ini menampilkan dua sosok paling populer pada masa itu: Rhoma Irama dan K.H. Zainuddin M. Z.
Entah pertimbangan apa yang melatari keikutsertaan keduanya, terutama Kyai Zainuddin, dalam film ini, namun yang jelas film ini menuai sukses di mana-mana. Kyai Zainuddin bahkan dinominasikan sebagai pemeran pembantu terbaik pada FFI, namun beliau secara pribadi mengundurkan diri dari penominasian tersebut setelah umat keberatan ada seorang kyai bermain film.
Dalam film ini, sekali lagi kita mendapat gambaran mengenai komitmen sosial pesantren, bahkan kali ini dipertegas dengan sedikit menyinggung efek pembangunan yang digulirkan secara membabi-buta oleh rejim Orde Baru. Kisah film ini berpusar pada upaya penggusuran lahan penduduk suatu desa yang kemudian dilawan oleh penduduk dengan bantuan pesantren. Upaya tersebut berhasil. Warga desa selamat dari penggusuran, dan film ini sendiri tidak mendapat larangan dari pemerintah, meski isinya sedikit menyindir pemerintah. Dengan keberhasilan film yang ketiga ini, tak pelak duet Chaerul Umam dan Asrul Sani menjadi duet paling berhasil dalam menggarap film-film semacam itu–barangkali, keberhasilan duet ini hanya bisa disaingi oleh sinetron-sinetron religi Dedi Mizwar.
Di luar bidang perfilman, tahun 1990-an juga mencatat terjadinya diseminasi massif dari ide-ide tentang demokrasi, kesetaraan, pluralisme, feminisme, dan ide-ide baru lainnya berkenaan dengan pembentukan masyarakat sipil (atau dalam versi ICMI, masyarakat madani). Tekanan pemerintah yang begitu ketat membuat ide-ide tersebut laris manis dikonsumsi. Tahun 1998 ketika Presiden Suharto akhirnya dijatuhkan oleh gerakan mahasiswa, wacana dan ide-ide impor tersebut semakin mendapat tempat di Indonesia yang baru saja sukses melakukan Reformasi–namun belum berhasil lepas dari berbagai jebakan krisis. Hingga saat itu, para Sineas belum tergerak untuk merespon ide-ide tersebut. Meski demikian, benih-benih ide-ide tersebut telah tersemai di kepala para pembuat film masa depan dan siap diartikulasikan dalam karya mereka kelak.
Barangkali perlu juga dicatat bahwa masa-masa itu adalah masa-masa maraknya Mtv, sebuah stasiun musik luar negeri. Mungkin karena Mtv, atau hal-hal lain, para musisi kita berlomba-lomba membuat video yang bagus untuk karya musik mereka. Di tengah lesunya produksi perfilman, industri video klip merupakan ladang baru yang dapat menghidupi para sineas dan calon sineas, sekaligus tempat untuk memupuk kemampuan teknis membuat film. Tumbuhnya berbagai stasiun televisi swasta juga menjadi ladang bagi para sineas, selain juga maraknya iklan–yang berarti ladang lain lagi bagi para calon sineas.
Pada sekitar tahun 1997, terdapat eksperimen-eksperimen film pendek yang cukup mendapat sambutan dari publik yang tengah haus film-film di luar tema pasaran. Kuldesak dan Bintang Jatuh adalah dua di antara film-film yang menunjukkan adanya bakat-bakat menjanjikan, meski dunia film kita tengah lesu darah. Dan, tidak lama setelah eksperimen-eksperimen tersebut, muncullah film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), sebuah film remaja yang meramaikan kembali dunia perfilman kita. Saat itu, banyak orang tersadar akan adanya bakat-bakat baru dunia film yang eksperimennya layak untuk disimak dan diapresiasi.
Sukses AADC–saya masih ingat betapa panjangnya antrian untuk mendapat tiket film ini–mendorong kemunculan film-film Indonesia lainnya. Ditambah beberapa faktor lain, booming film pun melanda Indonesia. Namun, telikungan kaum industrialis yang terlalu dahsyat membuat harapan-harapan akan kemunculan film Indonesia yang bermutu segera padam. Kurang dari sepuluh tahun setelah kemunculan AADC, rumah-rumah produksi film di negara ini menjadi tempat kelahiran berbagai macam film hantu, seks, dan para pelawak yang, dalam bahasa gaul masa itu, jayus banget. Demikianlah, gejala yang terjadi pada masa-masa sebelumnya kembali menimpa: horor lagi, seks lagi, komedi tak lucu lagi. Herannya, rentang dekade seolah tak membuat para industrialis menjadi kreatif untuk menemukan formula baru dalam menciptakan film yang laku (hampir tiga dekade formula hantu, seks, dan komedi bodoh dipakai terus). Dan, penonton pun bosan, film Indonesia kalah lagi, dijauhi penonton yang lebih memilih film impor (dengan harga tiket bioskop yang sama, tentu menonton film impor lebih memuaskan ketimbang melihat hantu, seks yang nanggung, dan komedi bodoh yang tidak lucu).
Namun, tidak semuanya berjalan demikian. Masih ada nama-nama seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Rudi Soejarwo, Joko Anwar, suami istri Sihasale, Hanung Bramantyo, dan beberapa nama lain yang masih berupaya tidak larut dalam arus yang diciptakan para industrialis sehingga eksperimen-eksperimen mereka layak untuk disimak. Di antara nama-nama tersebut Hanung muncul sebagai sutradara yang mengangkat film bertema religi,beberapa di antaranya berlatar pesantren. Hanung, seorang pegiat teater dari Jogja yang kemudian menggeluti film di Jakarta, dianggap sementara kalangan sebagai salah satu sutradara menjanjikan ketika dia meluncurkan film debutnya. Meski pada awal kariernya Hanung lebih banyak mengangkat tema-tema “sekuler,”namun pada fase berikutnya dia justru lebih banyak membuat film-film bertema religi.
Film religi pertamanya, Perempuan Berkalung Surban (PBS) sukses mengundang kontroversi, sementara film religi keduanya Ayat-ayat Cinta yang diadaptasi dari novel laris berjudul sama, sukses meraih keuntungan finansial fantastis. Hanung juga menggarap tema-tema yang dekat dengan religi ketika membuat film Sang Pencerah, Tanda Tanya, dan Cinta Tapi Beda.
Dan, film Hanung yang mengangkat tema pesantren dan sukses menyulut kontroversi adalah PBS. Film yang diadaptasi dari novel ini, sarat dengan tema tentang feminisme dan ide-ide turunannya, atau kerinduan perempuan untuk menciptakan lingkungan yang adil bagi eksistensinya. Kontroversi muncul karena Hanung menjadikan lingkungan pesantren sebagai latar dari filmnya, atau yang lebih tepat idenya tentang feminisme, tanpa disertai observasi yang mendalam.
Rekaman tentang dunia pesantren lainnya datang dari sutradara Nurman Hakim melalui film 3 Doa 3 Cinta. Ditilik dari kariernya, Nurman boleh disebut sebagai sutradara baru di dunia perfilman nasional. Film 3 Doa 3 Cinta adalah film panjang perdana sutradara muda ini, dan film inilah yang mengangkat namanya dalam kancah perfilman nasional. Berbeda dengan Hanung, Nurman adalah seorang yang akrab dengan lingkungan pesantren–dalam beberapa wawancara dia mengaku pernah tinggal di sebuah pesantren. Bagusnya, film ini tidak larut dalam dramatisasi yang keterlaluan. Untuk itu, sutradara menghadirkan dua tokoh lain yang memiliki latar belakang tidak sedramatis tokoh pertama. Seorang Santri lain berasal dari keluarga berkecukupan sementara satunya lagi berasal dari keluarga miskin yang terpaksa melepaskan satu persatu harta keluarga demi biaya pengobatan ayahnya yang tengah sakit. Strategi menghindar dari dramatisasi yang keterlaluan juga dilakukan dengan cara menggambarkan aktivitas ketiga santri tersebut. Di luar kegiatan mengaji dan ibadah yang lazim berlangsung di pesantren, mereka bertiga adalah para remaja yang menjalani hidup seperti umumnya remaja lain. Maka, dalam film ini kita melihat kenakalan-kenakalan khas remaja ketika mereka menyelinap keluar dari pesantren untuk menonton pentas dangdut, menonton film misbar (gerimis bubar atau layar tancap), menguntit kelompok layar tancap, atau bahkan diam-diam mendapat ciuman dari sang penyanyi dangdut.
Penting dicatat bahwa ketika film ini dibuat, isu tentang terorisme tengah mendapatkan aksentuasinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan, entah bagaimana, isu tersebut secara tidak langsung dilekatkan pada pesantren. Fenomena ini direspon oleh Nurman Hakim dalam filmnya ini–film terbaru Nurman Hakim, Khalifa, bahkan secara khusus mengangkat tentang kelompok radikal. Suatu hari, secara kebetulan ketiga sahabat ini mengikuti pengajian sebuah kelompok lain, yang saat ini lazim kita sebut sebagai Islam garis keras. Sepulang dari pengajian tersebut, dua santri langsung merasa tidak cocok dengan pengajaran yang berlangsung di sana karena dianggap berbeda dengan apa yang disampaikan kyai mereka. Sementara, si santri yang berasal dari keluarga miskin merasa mendapat pencerahan dan tertarik dengan ajaran yang disampaikan dalam pengajian tersebut.
Kita melihat bagaimana film ini menampilkan pesantren sebagai sebuah dunia yang akrab, sebagai sebuah realitas yang mendekati sebenarnya. Tanpa dibebani dengan prasangka-prasangka tertentu, kamera merekam apa yang lazim terjadi di pesantren: latar belakang para penghuninya, aktivitasnya, termasuk kenakalan-kenakalan santri-santrinya. Gambaran semacam ini barangkali tidak akan didapat seandainya tidak ada kedekatan tertentu antara sutradara dengan dunia pesantren. Lewat “kebersahajaan” semacam itu pula sutradara menyangkal anggapan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Kita melihat bagaimana sutradara berupaya menyampaikan bahwa meski barangkali ajaran yang disampaikan di pesantren dan jamaah pengajian “radikal” sama, namun penafsiran dari kedua “kubu”tersebut sangat berbeda. Di samping itu, ketertarikan orang pada gerakan-gerakan “radikal” tidak semata-mata didorong oleh ajaran, namun juga kecenderungan pribadi. Dalam kasus film ini, kita melihat kedua orang santri yang lebih “santai” menerima ajaran dari pengajian semacam itu. Sementara satu orang santri, dapat menerima ajaran “radikal”karena, agaknya, lebih sesuai dengan pengalaman personalnya.
Sebenarnya, masih ada beberapa film tentang pesantren di luar ketiga film yang kita bahas di atas. Namun,kita dapat mengamati satu gejala yang sama dalam film-film semacam itu, terutama yang diproduksi pada era 2000-an. Berbeda dengan era-era sebelumnya yang cenderung menggambarkan adanya suatu “visi sosial pesantren”–di mana pesantren berkomitmen terhadap isu-isu sosial dan secara aktif berupaya mencari solusi atas persoalan sosial yang menimpa masyarakat–film pesantren produksi era 2000-an cenderung mengamputasi komitmen sosial semacam itu. Dalam hal ini, lensa diarahkan sepenuhnya untuk “meliput” kehidupan para santri di dalam pesantren, seolah ingin memperkenalkan pada para penonton seperti inilah rupa sebuah komunitas yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub kultur ini.
Daripada menggambarkan streotipe-streotipe mengenai pesantren yang tertinggal, tradisional, tidak peka modernitas, kolot, dan atribut-atribut negatif lainnya, film-film berlatar pesantren produksi era 2000-an lebih menampilkan potret santri sebagai prototipe manusia unggulan: pintar, saleh, terpuji, tampan, dan memiliki potensi untuk mendapat kehidupan yang beruntung di dunia dan akhirat kelak. Sebuah potret yang memang digandrungi di tengah masyarakat yang semakin konsumtif terhadap segala hal yang berbau agama ini.
Pemuda-pemuda seperti Fahri dalam Ayat-ayat Cinta tentulah banyak mengisi imajinasi para wanita untuk dijadikan sebagai kekasih atau suaminya dan menjadi harapan orang tua masa kini terhadap sosok anaknya. Sayangnya, kita tidak melihat lagi adanya komitmen sosial dari para santri “cakep” tersebut.
Akhirnya, kita bisa mendapati bahwa di era 2000-an ini para produsen film telah menemukan formula lain untuk menciptakan film laris: sosok religius yang mumpuni dalam segala bidang kehidupan yang dihasilkan dari pesantren. Namun bagaimana nasib pesantren dan para santrinya sendiri? Tampaknya, di luar eksperimen yang dilakukan oleh Nurman Hakim melalui 3 Doa 3 Cinta, nasib pesantren belum bergeser jauh: dari sasaran streotipikasi menjadi sebuah komoditas.
Namun, semoga saja kita bisa membaca gejala ini sebagai sebuah proses dalam membentuk pandangan yang lebih dewasa terhadap pesantren. Semoga. Paling tidak, setiap masa mempunyai generasi dan pola usahanya sendiri. Untuknya,selain memang diperlukan ketekunan, tirakat, pula tentunya penting untuk kemudian mendudukkan bersama antar stakeholder untuk kembali menggairahkan proses pembentukan pandang terhadap pesantren. Setidaknya,tidak hanya sebagai komodifikasi atau pelahuran streotifikasi, tapi pula mengembangkan segmentasi di wilayah tersebut pula memperluas varian dalam dunia perfilman itu sendiri. Demikian kira-kira harapannya.
Beberapa hari ini kami berada di bukit ini, tepatnya di bukit Syarok, Darmacaang, Cikoneng, Ciamis, Jawa Barat. Sebelumnya, tentu saja kemelut di hati telah kumenangkan, antara keinginan untuk mendalami kehidupan “nyantri kembali” yang jelas memuat konsekuensi-konsekuensi baru atau tidak.
Adalah kawan Soerjo, yang tiba-tiba mengatakan: aku ikut. Lho, padahal tidak ada rembuk apa-apa sebelumnya. Rupanya ia merasa tertarik dan secara diam-diam mempersiapkan diri, packing pakaian dalam tas ransel dan tentu saja dengan kesiapan mental yang sudah dibungkusnya dengan niat rapi.
Udara terasa begitu segar di sini. Maklum, ini daerah perbukitan yang masih asli. Belum banyak di jamah oleh manusia. Beberapa tahun yang lalu, Kiai memutuskan untuk membuka lahan ini dengan diawali menanam salak, disamping memang banyak tanaman jangka panjang yang sudah ada. Banyak pohon mahoni dan sengon, juga tanaman kebun lainnya. Kelak, Kiai akan menetap di sini dan setiap riyadhoh, Suluk Ilahiyah dilaksanakan di sini. Tak lagi di jogja, Ploso Kuning.
Selang tiga harian kami di sini, berbaur dengan para jamaah yang lain dari seluruh pelosok tanah air, suatu pagi, kita santai sembari ngopi. Kawan Soerjo sambil senyum-senyum berkata, “Hebat ya… Siang kerja, malam dzikir”, “orang-orang ini seperti memiliki kekuatan super, hutan yang selebat itu bisa bersih dan rapi dengan kerja yang hebat dan kompak kayak tentara”.
Entahlah bagaimanapun kami juga merasakan bahwa kami seperti memiliki kekuatan berlipat ganda, bekerja dengan riang gembira walau fisik terasa pegal-pegal.
Dalam kegiatan Suluk Ilahiyah ini memang diisi dengan aktivitas fisik yakni kerja, seperti yang diperintahkan Guru pada siang hari kemudian, sholat, dzikir, tawajjuh dan angkat senjata lagi, pacul, parang, shin-saw, golok, kapak, dan lainnya. Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya. Pada malam harinya lebih banyak diisi dengan dzikir-dzikir seperti yang dibebankan pada masing-masing Santri sesuai “kelasnya”.
Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya.
Tiba-tiba obrolan itu sampai juga pada kebiasaan kami untuk main-main analisis, seperti biasanya aktivis di kampus. “Padahal kerja ini tanpa upah lho, ini penindasan kalau menurut Marx”, imbuhnya. “hahaha…”, kita tertawa.
Secara sosiologis memang bisa terbaca demikian. Mengapa demikian, lihatlah, seorang kiai hanya dengan dawuh-nya saja bisa menggerakkan ratusan orang untuk mengerjakan seperti apa yang ia inginkan. Ini menandai sebuah superioritas tersendiri. Dalam struktur sosial, hanya kelas yang lebih tinggi posisinya yang memiliki kekuasaan ini, kekuasaan untuk dipatuhi. Menurut teori, ini lebih dekat dengan tradisi feodalisme –dari sisi kepatuhannya pada yang memberi perintah, walau hubungan yang terbentuk bukan berdasar pada kepemilikan terhadap alat produksi dan fungsi sosial-ekonominya. Namun, di sini lebih pada kepatuhan yang berdasar pada istiadat “adab murid pada Guru”, bukan berdasar pada hasil dari alat produksi.
Sekonyong-konyong pula, pikiranku dipenuhi ingatan tentang beberapa konsep epistemologi Islam yang pernah kubaca. Di dalamnya dijelaskan tentang tiga sumber/cara ilmu pengetahuan diperoleh dalam islam: 1) Bayani: adalah ilmu yang bersumber pada Teks-teks suci yaitu, Alquran dan Hadits. Ilmu ini bersifat dogmatis, kebenarannya tidak boleh di otak-atik, hanya yakini saja dan perkembangannya adalah melalui metode penafsiran yang sesuai dengan kaedah-kaedah yang ketat. 2) Burhani: ilmu ini bersumber pada hasil analisa atas data yang diteliti dengan metode-metode yang ilmiah. Artinya saja sudah argumentatif, maka kebenaran ilmu ini tergantung kekuatannya bertahan terhadap argumen-argumen yang menentangnya. Cara berpikir ini melingkupi ilmu-ilmu sosial dan eksakta juga ilmu alam. Karena berbasis penelitian ia adalah ilmu yang sangat berkembang dan kasat mata. 3) Irfani: Cara memperoleh ilmu dengan metode “pencahayaan” secara spiritual. Alat pencerapnya adalah hati. Pendekatannya adalah dengan “mengalami” langsung dan dilakukan dengan cara-cara yang ketat di bawah bimbingan syeikh yang telah memiliki wewenang untuk membimbing.
Dengan kesadaran yang terakhir inilah, kita mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang sedang dijalani ini bukanlah hal sia-sia. Berat nian, di hati ini bila menggunakan cara berpikir yang dua pertama itu di sini. Hampir semua seratus delapan puluh derajat bertentangan dengan tradisi-tradisi “memberontak” yang selalu menjadi sifat kami. Kini harus berhadapan dengan fakta bahwa kepatuhan untuk melakukan perintah Kiai yang tentu saja langsung menghantam Ego kami. Menghancurkan “aku” yang selalu bangga pada dirinya ini. Pikiran ini semakin menguat memprovokasi apabila kondisi badan sedang lelah-lelahnya, badan sakit dan harap di ketahui suhu di sini begitu dingin! Lengkaplah penderitaan fisik ini. Ngapain kamu bercapek-capek di sini? Sepertinya memang sulit untuk melewati situasi ini. Seperti hendak menyeberangi dua pulau yang lautnya berapi.
Sebagian ilmu yang kita pegangi adalah yang berasal dari dua metode epistemologis di atas. Di sinilah letak tantangan untuk pelaksanaan Adab, “Saat di hadapan Gurumu bakarlah Kitab-kitabmu”. Lakukan saja apa yang diperintahnya, “Dirimu laiknya sesosok mayat di hadapan tukang memandikan mayat”. Seperti Nabiyullah Musa AS di hadapan Sayyidina Khidir AS yang pasrah tanpa syarat. Demikian pula seperti yang syairkan Maulana Rumi. “Bakarlah kitab-kitabmu saat kau bersama kekasih yang membawa pengetahuan di hatinya, untuk dituangkan di hatimu”.
Bersama dengan raungan nafsu dan gemuruh pikiran yang terus berusaha menyajikan argumentasi pelan-pelan, perjalanan suluk ini membuktikan bahwa ada satu cara berilmu pengetahuan yang sangat orisinal dalam islam yang selama ini kita jauhi.
Ya inilah bentuknya. Dunia dalam kita (Bathin) dibakar dengan dizikir-dzikir dan fisik kita digerakkan dengan perintah yang bukan maunya kita, metode Khidmah. Inilah tirakat yang sejati. Tirakat yang benar. Tirakat yang terbimbing. Bukan waton tirakat yang seperti kita dengar dari dongeng-dongen itu, yang melakukannya dengan menyepi di goa-goa dan tanpa petunjuk dari ahlinya. Memasuki dunia spiritual yang serba halus sangatlah penuh bahaya ketergelinciran, jika tanpa pembimbing bisa saja kita berlabuh pada alam jin yang menyerupai alam syurga yang menyesatkan. Bukan ridho-Nya yang kita dapatkan tapi laknat-Nya yang kita tuai.
Saat begini, lepaslah ilmu akalmu. Ikuti hatimu, kalau hatimu masih remang-remang, percayakan pada ahlinya. Ahlillah yang telah melewati ribuan jarak cahaya perjalanan spiritual. Biarkan berbagai jenis ilmu itu berfungsi pada tempat dan waktunya masing-masing. Aku masih ingat, satu prinsip kawan-kawan: jangan pernah mengharamkan sebuah ilmu pengetahuan! Saat menyelam dalam samudra hakikat kita tanggalkan ilmu-ilmu duniawi dan hening di bawah telunjuk pimpinan sang Mursyid tapi saat di dunia fisik ini kita bergabung dengan aneka unsur sosiologis dan hukum alam. Aktifkan segenap perangkat ilmu akal kita. Biarlah dunia di tangan kita serta Cahaya Cintanya di hati kita.
Begitulah, selama sepuluh hari akhirnya bisa dilewati. Suluk dikhatami oleh Kiai dan kami pulang kembali ke rumah masing-masing.
Apakah outputnya? Tentu saja ini adalah tahap awal yang tidak mudah menilai apa yang telah berubah, karena ini adalah proses pendidikan seumur hidup maka keistiqomahan, kesetiaan dan pemebelajaran sampai mati. Minal mahdi ilal lahdi.
Di Jogja, kita ngopi lagi, diskusi lagi, sesekali ngopi lagi. Hati butuh kopinya sendiri, fisik juga.
*Catatan ini ditulis penulisnya pada penghujung tahun 2013. Dimuat kembali di sini dengan tujuan pendidikan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Irfan sebagai penulis buku dan juga panitia pelaksana kegiatan ini karena sudah mengajak Saya untuk diskusi buku ini di ruangan teatrikal perpus UIN Sunan Kalijaga ini (24 April 2019). Buku mas Irfan Afifi ini berjudul: “Saya, Jawa, dan Islam”. Jujur, saya tertarik dengan tema Islam di Jawa sejak saya S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara, dan waktu itu kemudian saya datang ke Indonesia dan mengambil kuliah di STF Driyarkara di Jakarta selama satu tahun. STF Driyarkara itu institusi Katolik, tapi kebetulan banyak teman saya di STF itu orang Jawa NU, dan oleh karena itu waktu itu saya sering berdiskusi terkait hubungan antara filsafat Barat dan warisan intelektual Islam dan Jawa.
Kemudian, saya kebetulan juga sedang melakukan penelitian untuk disertasi saya di Columbia University yang secara umum tentang tradisionalisme dan modernisme dalam Islam di Jawa. Dalam proses itu saya tersambungkan dengan Mas Irfan sebagai interlocutor (narasumber) dalam riset saya. Saya senang sekali membaca buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya mas Irfan Afifi ini karena sangat penting untuk saya dan secara personal saya belajar banyak sekali darinya, tidak hanya tentang tradisi dan modernitas, tetapi juga — dan ini penting sekali untuk saya sebagai peneliti asing — tentang efek penelitian yang tidak baik dan tidak benar.
Saya seorang dari luar, seorang yang berasal dari akademi Barat yang mempelajari Islam di Jawa. Oleh karena itu, pengalaman saya dan kepentingan saya sendiri memang agak berbeda dari pengalaman-pengalaman yang digambarkan oleh Mas Irfan dalam buku ini. Tapi sebenarnya juga ada beberapa hal yang cukup mirip, pengalaman yang diceritakan dalam buku ini yang juga terasa dalam perkembangan saya sebagai seorang peneliti asing.
Saya tadi sudah bercerita tentang waktu saya saat S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara. Lalu saya mulai belajar bahasa Indonesia dan saya dibiasakan dengan karya-karya yang masih disebut sebagai karya klasik dalam Studi Asia Tenggara dan Studi Agama Islam.
Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah.
Saya masih ingat saat semester satu, waktu itu saya baru pertama kali belajar sedikit tentang Jawa, yakni Jawa itu tempatnya di mana, terkait geografinya dan sejarahnya, dan hal-hal yang paling dasar. Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah. Apa yang dimaksudkan dengan “religion of Java”, apa pengandainnya hanya terdapat satu agama di Jawa, karena di bahasa Inggris ‘religion’ itu singular? Lebih aneh lagi, ‘religion’ yang dimaksudkan sepertinya bukan Islam tapi… apa, ya?
Jadi, waktu itu, sebagai anak S1 yang baru belajar sedikit tentang Jawa, saya mulai tahu bahwa sebenarnya tidak hanya ada satu agama di Jawa, tapi terdapat tiga agama yang namanya abangan, santri, dan priyayi (seperti digambarkan Geertz). Dan saya segera mempercayai ini, karena profesor saya bilang bahwa Geertz adalah seorang antropolog yang besar, dan saya waktu itu belum tahu banyak tentang Jawa maupun Islam. Jadi saya percaya, waktu itu, bahwa di Jawa ada agama abangan dan agama priyayi, agama yang “asli”, “Jawa”, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama Islam.

Gambar : Acara Bedah Buku “Saya, Jawa dan Islam” di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga bersama verena meyer (Kiri), Irfan Afifi (Tengah) dan Muhammad Ali Usman (Kanan).
Lalu, saya ke Jakarta, saya berteman dengan beberapa orang Jawa NU, dan saya makin merasa bahwa saya tidak bisa membayangkan apa itu budaya Jawa, yang terlepas dari Islam? Itu apa? Budaya Jawa dari zaman Majapahit? Saya merasa tidak hanya bahwa Islam dan Jawa tidak berlawanan, tetapi juga bahwa budaya Jawa itu sangat dibentuk oleh Islam. Dan waktu itu, saya merasa bahwa kalau saya ingin faham budaya Jawa, saya juga harus faham Islam. Jadi saya pindah jurusan dan saya mulai kuliah studi agama Islam.
Saya merasa bahwa akademi Barat sudah lebih sadar bahwa karya Pak Geertz itu bermasalah. Trikotomi abangan – santri – priyayi memang sudah sering dikritik. Pertama-tama, “priyayi” itu bukan agama tapi status sosial. Dan bagaimana dengan dikotomi “santri” dan “abangan” — sepertinya yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz itu bahwa ada dua pilihan: Jawa atau Islam, dan dua-duanya berlawanan. Kaum Jawa yang otentik harus menolak Islam, dan kaum Muslim yang otentik harus menolak kebudayaan Jawa. Jelasnya itu sungguh tidak benar. Mas Irfan menulis (h. 13), dengan nada tegas menyatakan: “saya Jawa, saya Islam”. Kenapa Clifford Geertz tidak bisa menerima itu? Lebih aneh lagi, Clifford Geertz seorang antropolog yang tinggal di Jawa selama beberapa tahun. Dia mengalami Islam di Jawa secara langsung, bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Riwayat hidup Geertz sebenarnya cukup menarik untuk melihat relasi keterlibatan akademi (pengetahuan) dan politik. Ketika Clifford Geertz mendarat di Jawa, dia sudah punya beberapa keyakinan tentang Jawa yang berdasarkan iklim politik pada zaman itu, dan kalau sudah ada keyakinan yang kuat seperti itu, kita memang cenderung hanya mencari konfirmasi saja.
Ada beberapa hal yang cukup mencurigakan mengenai pendidikan dan perjalanan Clifford Geertz. Yang pertama, Clifford Geertz dipengaruhi oleh peneliti Belanda dari zaman kolonial. Mas Irfan menulis tentang agenda politik dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti kolonial. Orang Belanda punya kepentingan sendiri untuk menggambarkan Islam di Jawa sebagai “lapisan tipis”. Misionaris Kristen mau percaya bahwa Islam hanya lapisan tipis saja karena mereka berharap bahwa agama Kristen bisa diterima oleh orang Jawa. Lalu, orang Belanda juga takut gerakan Islam politik dan mereka merasa bahwa Islam sebagai sesuatu yang tidak mendalam, dan yang diresapi oleh budaya lokal, tidak begitu berbahaya. Lalu, ketika Clifford Geertz berangkat dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di Jawa, dia tidak langsung ke sini (Indonesia), dia mampir ke Belanda dulu. Di Belanda, dia bertemu dengan peneliti-peneliti senior kolonial Belanda yang menjelaskan anggapan mereka mengenai Islam di Jawa dan konsep “lapisan tipis” yang dulu muncul dari kepentingan kolonialisme. Dan sepertinya Geertz percaya juga, dia menerima anggapan peneliti yang dianggap lebih senior dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Jadi Geertz sudah punya ide yang jelas apa yang dia akan temukan di Jawa.
Apalagi, pada tahun 1950an suasana akademik di Amerika Serikat juga dibentuk oleh situasi perang dingin, dan banyak peneliti berpikir bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang lebih kompatibel dengan kapitalisme dan agenda negara Barat. Jadi agenda penelitian postkolonial tidak begitu berbeda dari agenda kolonial. Alias itu mungkin masih sama.
Sekarang banyak orang sudah faham bahwa karya Clifford Geertz sangat bermasalah. Tapi yang penting untuk saya, saya tidak mau menjelekkan Geertz sebagai individu. Jelas bahwa Clifford Geertz seorang yang cukup pintar, dan walaupun pintar dia juga tidak mungkin faham atau menyadari keterlibatan politik dalam karya akademiknya. Dia pasti tidak faham bahwa karya akademik itu mengakibatkan banyak masalah seperti yang digambarkan oleh Mas Irfan.
Secara personal, saya merasa ini agak menakutkan. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya saya tidak sepandai Clifford Geertz. Sebagai peneliti dari akademi Barat saya juga terlibat dalam agenda politik yang saya sendiri tidak faham. Apa akibat penelitian saya? Apakah penelitian saya juga akan menimbulkan masalah, seperti penelitian yang dilakukan Clifford Geertz?
Mas Irfan bercerita tentang rasa kegelisahan yang ditimbulkan oleh karya akademis yang tidak baik dan tidak benar. Secara pribadi, saya juga pernah mengalami rasa kegelisahan semacam itu, tapi dari sisi yang lain: Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Apalagi, dalam akademi Barat sampai sekarang masih ada banyak masalah struktural yang menghindar dan menjauhi pengertian yang lebih produktif mengenai Jawa dan Islam. Di akademi Barat masih ada kecenderungan yang kuat untuk memisah studi agama Islam dari studi Asia Tenggara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayu belum begitu diterima sebagai bahasa Islam di jurusan-jurusan Studi Agama. Itu tidak masuk akal — banyak sekali Muslim yang menulis dan membahas pikiran Islam dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kalau seorang murid mau membaca teks-teks klasik Jawa Islam, itu sulit sekali.
Pertama-tama, hampir sama sekali tidak ada ahli di akademi Barat. Kalau ada, mereka biasanya tidak ada di jurusan studi agama Islam, tapi hanya di jurusan “area studies”, seperti jurusan studi Asia Tenggara. Di jurusan Area Studies mereka akan belajar bersama dengan orang yang, misalnya, berfokus pada teknik hidrolik di Cambodia atau pendidikan di Filipina, jarang sekali ada orang yang juga berfokus pada Islam, dan oleh karenanya sastra Jawa dipelajari secara terlepas dari bahasa Arab dan konsep-konsep Islam. Jadi ada kecenderungan menganggap sastra Jawa sebagai sastra lokal yang harus difahami dalam konteks budaya lokal saja.

Gambar: Suasana Ruang Seminar Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga saat diselenggarakannya agenda bedah buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi.
Tapi sastra Jawa tidak hanya berisi kebudayaan Jawa melulu, apa lagi kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh Hinduisme atau Buddhisme, tetapi juga teks-teks yang banyak berisi ajaran Islam yang sama sekali tidak lokal, tapi global, yang ada di seluruh dunia Islam. Jadi, ini salah satu masalah politik struktural yang masih sangat nyata di akademi Barat, yakni menghindari pelajaran Islam di Jawa sebagai Islam. Jadi apa yang harus berubah? Pertama-tama, saya sangat berharap bahwa jurusan studi agama Islam di akademi Barat lebih menerima Jawa sebagai mata kuliah yang sangat penting. Tadi saya bilang, kalau ingin faham budaya Jawa, juga harus faham Islam. Kami harus lebih sadar di jurusan Islam di universitas Barat, tidak saja, jika mau memahami Jawa harus faham Islam, tetapi juga, kalau mau faham Islam harus faham Jawa.
Lalu, dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini ada beberapa hal yang saya rasa harus diperhatikan oleh akademi Barat. Yang pertama, mau tidak mau, masalah struktural politik pasti membentuk epistemologi dan konsep-konsep kita, dan kita tahu dari Michel Foucault bahwa epistemologi itu salah satu cara untuk menguasai orang lain. Misalnya, dalam buku ini Mas Irfan berbicara tentang istilah “filsafat” yang tidak begitu tepat untuk membaca ilmu pengetahuan Jawa. Sebagai mahasiswa S1 saya sering berdiskusi dengan teman-teman saya apakah pikiran-pikiran orang Jawa bisa disebut sebagai filsafat atau tidak. Waktu itu saya masih kurang sadar bahwa “filsafat” itu konsep yang sangat etnosentris, seperti banyak konsep lain yang kelihatan netral, tapi sebenarnya selalu menunjuk keterlibatan epistemologi dan politik.
Dalam pengertian banyak orang di akademi Barat, filsafat yang baik dan benar itu filsafat yang sama atau setidaknya semirip mungkin dengan filsafat Barat. Perbedaan dari perspektif Barat dianggap sebagai kekurangan. Kalau tidak cukup mirip dengan filsafat Barat, artinya itu bukan filsafat tapi… apa, ya? Tradisi rakyat, atau hikmah lokal, dan pikiran dianggap kurang sistematis, karena epistemologi Barat tidak mampu memahami sistematisasi yang berbeda. Dan dalam diskursus akademik, kita dimungkinkan mengkritik dan mendekonstruksi epistemologi Barat, tapi kalau mau ikut diskursus normatif itu, masih harus memakai metodologi Barat yang berdasarkan epistemologi yang sudah dikritik. Ini dilema dasar teori postkolonial, dan solusinya mungkin tidak ada, kecuali menyadari dilema ini dan memahami implikasi dilemanya.
Seperti Mas Irfan, Ia membahas persoalan istilah “filsafat” yang kurang pas untuk Jawa karena ada dimensi epistemologi-politik seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih cocok menurut Mas Irfan untuk menyodorkan konsep “ngelmu”, yakni sebuah istilah yang ada di diskursus Jawa sendiri. Saya mengutip (h. 42): “Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.” Tapi ngelmu juga bukan hanya “kearifan lokal” atau “penyatu identitas kejawaan” semata. Melainkan ngelmu itu juga merupakan sebuah konsep yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Alquran yang tidak bisa terpisah dari konteks itu. Dan selain itu, konsep ngelmu dalam manifestasinya yang sekarang ini mungkin juga tidak bisa terpisah dari modernitas karena, dalam buku ini, diucapkan dalam suatu diskursus akademik. Jadi, dalam buku ini dimensi-dimensi tersebut disadari, dan saya merasa bahwa kesadaran itu sangat penting, apa lagi untuk kami, orang dari luar.
Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.
Yang kedua, ngelmu atau konsep lain yang ada di pikiran Jawa juga bukan konsep yang primordial yang selalu ada dalam bentuk yang sama dan tidak pernah berubah. Ini juga keyakinan yang dulu sangat populer dalam penelitian-penelitian: ada “esensi” pikiran Jawa yang selalu sama, tidak hanya terhadap Islam saja tapi juga modernitas yang juga dianggap hanya merupakan lapisan tipis saja. Ini juga sesuatu yang sering muncul dalam karya Clifford Geertz.

Gambar: Buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi
Di sini, Mas Irfan juga membahas keterlibatan tradisionalisme dan modernitas, yang sebenarnya tidak berlawanan. Jadi Mas Irfan juga membahas pertanyaan, apa yang terjadi dengan tradisi dalam zaman modern? Tradisi memang tidak hilang; tapi kita juga tidak bisa lepas dari modernitas karena modernitas sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak, modernitas juga tidak pernah berarti modernitas yang mutlak, karena modernisme tetap diucapkan melalui tradisi. Misalnya, di sini Mas Irfan membahas pemikir Suryomentaram dari awal abad ke-20, dan Mas Irfan menulis bahwa Pak Suryomentaram mengalami “godaan” atau “pilihan” antara tradisi dan modernitas. Tapi Suryomentaram dan Mas Irfan dua-duanya melihat bahwa itu bukan pilihan yang total, bukan satu yang diadopsi dan yang kedua ditolak, karena tradisi dan modernitas dua-duanya selalu maujud dalam pikiran kita. Apa lagi, karya Suryomentaram juga menjadi contoh bagaimana bisa menggunakan modernitas rasional untuk menjelaskan tema-tema pengetahuan lama.
Yang ketiga, saya belajar dari dua-duanya, Pak Suryomentaram dan Mas Irfan, bahwa pengetahuan tentang warisan Jawa itu tidak hanya untuk tujuan pengetahuan saja, alias untuk dirinya sendiri. Bagi keduanya, pengetahuan itu juga ada tujuan yang sangat praktis. Kalau mengenai Suryomentaram, Mas Irfan menulis, (mengutip dari halaman 96), “Warisan pengetahuan Jawa lama, baginya, semakin tak tersentuh, alih-alih menjadi solusi praktis atas kesengsaraan dan penderitaan rakyat sebagai bangsa terjajah”. Dan (h. 97), “Melalui corak pengetahuan seperti ini bukan hanya masyarakat dapat mengambil manfaat pengetahuan yang ia munculkan secara lebih pragmatis, melainkan juga bisa menjadi pengetahuan baru yang ‘responsif’ dengan tuntutan rasionalisme zaman yang pada saat bersamaan memiliki niat yang kukuh menyelesaikan problem masyarakat kebanyakan tanpa menanggalkan alur pokok kesinambungan akar pemikiran yang ada dalam masyarakatnya.”
Dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini Mas Irfan juga tidak mencari “otentisitas” dalam arti sebuah warisan yang tidak terkontaminasi oleh pikiran yang kurang “otentis”, yakni suatu “otentisitas” yang tidak ada kecuali dalam pembayangan dan “khayalan” kolonial. Tapi pertanyaan utama dari keduanya Suryomentaram dan Mas Irfan itu sangat eksistensial: Apa yang bermanfaat? Atau, secara lebih umum, apa akibat karya kita? Apa yang bisa membantu, apa yang bisa menimbulkan masalah? Saya berharap bahwa kami, di akademi Barat, juga lebih memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karya akademik tidak netral, tapi bisa bermanfaat ataupun bisa menyakiti juga. Semoga semakin banyak bermanfaat.
***
Tulisan ini dipresentasikan pada acara bedah buku, “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi (Tanda Baca; 2019) yang bertempat di Ruang Teatrikal Perpus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pukul 09.00-12.00, 24 April 2019. Diselenggarakan oleh American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lakpesdam PWNU DIY, dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Mari kita mulai dengan merujuk sejarah lama tentang Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M ./ 7 Rajab 475 H.) atau Makhdum Ibrahim Asmara yang dimakamkan di Gresik. Maulana Malik Ibrahim di sebut oleh HJ De Graaf dan TH Pigeaud sebagai generasi awal dari Wali Sanga dan peletak dasar islamisasi di tanah Jawa ( KIP, hlm 22). Tokoh ini meninggalkan satu karya tanpa judul, yang kemudian dikenal dengan Kropak Ferrara, karena tulisan ini tersimpan di Perpustakaan Ferrara, Italia.
Naskah ini kemudian dikirim ke Belanda untuk di-transliterasi-kan oleh GJ W Drewes ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada tahun 1978. Drewes mengaku bahwa teks aslinya menggunakan bahasa Jawa tua sebagaimana teks Pararaton (Drewes, hlm.5). Isi dari karya tersebut adalah pedoman bagi para pengkojah (Wali) di masa awal kedatangan Islam, untuk mewejangkan kabar keselamatan dan kedatangan Islam di tanah Jawa.
Karya Maulana Malik Ibrahim yang dinamakan Kropak Ferrera ini merupakan rujukan tertua untuk melihat praktik Islam awal yang dikembangkan oleh Wali Sanga di Nusantara. Dalam karya itu belum ada penyebutan istilah “santri”. Semua yang telah ber-sahadat disebut orang Islam atau wong Slam. Setelah penyebutan wong Slam ini selesai dijabarkan kemudian masuk ke dalam jenjang peng-amalan-nya yaitu : muslim, mukmin, dan takwa, yang menekankan pada keseimbangan antara pengamalan lahir (syariat Islam) dan pendalaman batin seperti perbaikan akhlak, membatasi nafsu, dan lain sebagainya.
Dalam Kropak tertua itu, tidak disebutkan strategi penyebaran Islam, kecuali penekanannya pada perbaikan akhlak pribadi, dan sebuah kewajiban wong Slam, yaitu: “hendaklah membimbing orang lain ke arah kebajikan, serta mencegah orang lain berbuat jahat” (Drewes, hlm. 19). Rujukan beberapa isi dari Kropak tersebut diperkirakan berasal dari beberapa kitab tasawuf utama yang menjadi bacaan masyarakat Islam di abad ke-13, diantaranya al-Bidayah karya Imam al-Ghazali, tafsir al-Baghawi, serta beberapa kitab lain yang membahas mengenai hukum-hukum fiqih yang berlaku pada periode tersebut.
Merujuk penelusuran yang saya lakukan tentang penggunaan istilah Santri di Jawa, saya menemukannya dalam Susuluk Besi yang dikarang oleh Pangeran Wijil Ing Kadilangu (keturunan Sunan Kalijaga). Susuluk Besi bercerita tentang seorang wali yang dipanggil Ki Besi (Habesi), yang bertapa di sebuah goa, dan di tempat itu, di sekitarnya sudah ada sebuah pesantren. Pemimpin pesantrennya bernama Ki Umat/Ki Penghulu/Kyai Guru/Ki Santri.
Dalam Susuluk Besi itu, Pangeran Wujil ing Kadilangu menyebutkan salah satu dialog Kyai Guru dengan Ki Besi :
“Basa kene panggonan ing santri // mbok manulari ing mumurid ing wang // ingsun pamulangan gedhe”
“Di sini tempat para santri // nanti mempengaruhi murid-murid saya. // Aku ini guru besar…” (dalam Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta, hlm. 111).
Di bagian lain, Ki Besi memberikan jawaban:
“Eh Kyahi menawa // kawasa jawab suale // itung ing tyas pukulun // ingkang santri tan pesti swarghi // yen pegata lan nalar // nalara puniku kalamun tan tinandangan // nadyan silih tandangana”
“Hai kyai,// apakah bisa menjawab soal, // yang ada pada hatiku, // para santri belum tentu masuk ke surga // bila tidak dengan nalar. // Nalar juga tidak, // bila tidak diamalkan, // walaupun kecil amalkanlah setiap hari…” ( dalam Ibid., hlm. 113).
Susuluk Besi ini adalah bagian dari berbagai suluk yang terhimpun dalam Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta. Naskah asli berada di perpustakaan Surakarta, Sasono Pustoko, dan telah ditransliterasikan ke dalam huruf latin oleh Nancy K Florida yang kemudian dicetak pada tahun 1984. Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta adalah hasil karya zaman keemasan sastra Islam Jawa di Surakarta, yang masa ini tercatat antara tahun 1757-1881. Antara tahun-tahun itulah naskah itu ditulis, karena setiap suluk yang ditulis tidak disebutkan tahunnya. Hanya pengarangnya saja yang disebutkan, yaitu: Pakubuwono III, Pakubuwono IV, Pangeran Wijil dari Kadilangu, Sastrawijaya dari Kajoran, Yosodipuro Posliyun, Tumenggung Arung Binang, Sastranegara, (Yasadipuro II), Ngabehi Wongsoniti, Ronggosutrasana, dan Panembahan Cakraningrat.
Istilah santri pada saat itu digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang belajar di pesantren guna mendalami ilmu agama. Istilah ini mulai eksis dalam khasanah perbendaharaan kata masyarakat Jawa pada abad ke-16. Seperti tertuang dalam Serat Centhini, yang dipandang sebagai ensiklopedi tebal tentang peradaban dan kebudayaan Islam Jawa yang ditulis pada zaman Surakarta. Dalam Serat tersebut diriwayatkan bahwasanya telah berdiri banyak pesantren yang menjadi tempat di mana seorang ‘Kyai’ atau ‘Ki’ mengajar murid-murid yang disebut ‘santri’.
“… Ciptanipun punopo Seh Jayengrogo, boten karenan dhateng awakipun. Wekasan sadaya santri bubaran” ( Serat Centini , X: xvi). Di sini kata ‘santri’ merujuk pada murid-murid seorang kyai.
Kata santri mulai terlembagakan pada masa kolonial Hindia Belanda, ketika pemerintah mulai menginisiasi banyak penelitian antropologi. Kemudian istilah-istilah baru pun bermunculan dalam catatan-catatan para antropolog Belanda. Kemunculan istilah-istilah baru itulah yang menjadi sumber centang perenang definisi santri kedepannya. Di sini kemudian muncul istilah-istilah baru seperti: ‘putihan’ dan ‘abangan’. Konsep santri kemudian dioposisikan dengan abangan. Hal ini telah dikaji secara luas oleh MC Ricklefs dalam The Birth of Abangan menurut temuan Ricklefs istilah-istilah tersebut dipopulerkan oleh para misionaris, di antaranya dari NZG (Masyarakat Misionaris Belanda). Kelompok ini memiliki jurnal MNZG (Mededeelingen van wege het Nederlansche Zendelinggenootschap).
Referensi terawal yang ditemukan MC Ricklefs adalah tahun 1855, dengan mendasarkan pada terjemahan Hoezoo dari risalah Kristen, yang berbunyi: “Dan jangan pikir bahwa hal ini hanya berlaku di antara orang-orang profan (jawa: tiyang abangan), tapi juga di antara teman-temanku yang religius (jawa : tiyang putihan)”. (Ricklefs, hlm . 38-40)
Tesis Ricklefs tentang para misionaris Hindia Belanda inilah yang membuat pembedaan tegas antara santri dan abangan ini diperkuat dengan ditemukannya laporan Hartoon pada tahun 1856 yang menyebutkan: “Jumlah santri (pelajar-pelajar keagamaan) adalah besar dan tumbuh secara konstan. Hal ini susah dimengerti, untuk kebebasan mereka dari tugas-tugas wajib, yang sangat membantu persebaran ide-ide Muhammad. Santri ini, dan semua yang mematuhi waktu-waktu ibadah, disebut orang-orang putih, orang suci. Untuk membedakan sekelompok besar orang yang tidak mengambil bagian dari hal ini, dan oleh karena itu dengan penuh ejekan disebut orang merah” (Ricklefs, hlm. 41).
Ketika Perang Jawa mulai berkecamuk, istilah santri semakin menguat menjadi sebuah gerakan sosial yang turut mengancam kekuasaan kolonial. Perang Jawa berlangsung antara tahun 1825 hingga 1830. perang ini adalah perlawanan terbesar masyarakat Jawa terhadap kolonial yang lekat dengan jargon-jargon Islam yaitu Perang Sabilollah. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Dipanagara, di mana para pengikut sang pangeran kebanyakan berasal dari kalangan santri dari pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa. Akibat dari perang ini, Peter Carey mencatat dalam bukunya bahwa lebih dari 2 juta penduduk Jawa terpapar kerusakan perang, ¼ lahan pertanian rusak, dan lebih dari 200.000 orang meninggal akibat perang yang berkecamuk (Carey, hlm. xxi).
Dalam perkembangannya, istilah santri sebagai sebuah Identitas Nasional mulai terbentuk pada awal abad ke-20, terutama ketika masa Revolusi Kemerdekaan. Para santri pesantren di berbagai penjuru Nusantara kala itu, bertekad akan membela negaranya walau harus mengorbankan nyawa, tidak kurang dari 70 ribu pejuang. Dan, tekad perjuangan tersebut telah menjadi seruan utama di banyak pesantren di berbagai daerah, seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bahkan hingga Nusa Tenggara Barat. Saat itu dua organisasi Islam pun berdiri di Indonesia (baca : Hindia Belanda) untuk pertama kalinya, Muhammadiyah pada 1912 dan Nahdhlatul Ulama (NU) pada 1926. Kehadiran dua organisasi Islam ini turut memicu semangat para santri untuk membela Negara yang sebentar lagi akan berdiri. Para kyai dari pelosok-pelosok desa siap menjadi ujung tombang revolusi. Identitas santri kemudian semakin kukuh merasuk dalam semangat kebangsaan di Indonesia, mengejawantah menjadi entitas yang meng-“ada” hingga hari ini. Santri dan pesantren tidak lagi menjadi istilah lokal, yang erat kaitannya dengan citra ndesa dan udik. Kini santri telah bertransformasi menjadi sebuah identitas nasional Bangsa Indonesia.
Harus diakui santri hari ini telah menjadi identitas nasional (semenjak Hari Santri disahkan). Oleh karena itu santri harus sadar bahwa pengakuan simbolik tersebut, haruslah dibarengi dengan bangkitnya tanggung jawab untuk terus mengembangkan kemampuan mereka sendiri dan keberdayaan mereka sendiri dalam mengelola pesantren dan masyarakat. Tanpa harus terjebak pada sikap anti pada negara, apalagi anti asing, dan anti kemajuan, kita (baca: santri) harus belajar dari sejarah: santri tidak diajarkan untuk bersikap demikian. Kini, santri memiliki tugas berat, yaitu berjuang mempertahankan keutuhan bangsa. Menjaga tanah tumpah darah yang kini dipijak sebagai ‘sajadah’ untuk mengabdi kepada Allah, di dalam lapangan masyarakat dan kebangsaan, tanpa harus ‘nyinyir’ dengan kelompok lain. Di sisi lain, tanpa harus rendah diri dalam berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Referensi :
G.J.W. Drewes, Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah, _________, Surabaya, 2002
Kamadjaya, Serat Centhini, Balai pustaka, Yayasan Centhini Indonesia, Yogyakarta 1988
M.C. Ricklefs, The Birth of Abangan, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 2006
Nancy K. Floryda, Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta, ____________, 1984
Peter L. Carey, The Power of Prophecy :Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855, KITLV Press, 2007