Menu

Sejarah

Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim.  Sholawat dan salam untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas Pesantren, di kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal. Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Ishaq dari Blambangan.

Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66) menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen), Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan Ario Abdullah Palembang.

Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.

Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak kesarjanaan Tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam Jawa.

Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural kemasyarakatan, yang diletakkan para Wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya, terutama abad XVII-XIX.

Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal

Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada  sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16” (KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.

Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab itu.  Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.

Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya, adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal).  Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peranan.

Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut, karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di antaranya:

Mantingan

Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga  tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.

Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro  (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro,  Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.

Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.

Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).

Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).

Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud  (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.

Gunung Sembung/Giri Amparan Jati

Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.

Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.

Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan menjadi pusat pengiriman Santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.

Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.

Ampel Denta/Kembang Kuning

Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku Sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.

Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.

Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.

Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri, sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.

Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.

Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.

Kadilangu

Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.

. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.

Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru, yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai  Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.

Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana, mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang,  Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.

Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan Giri.  Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).

Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.

Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi

Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan dengan Abdul Kahfi  ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia (emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban 879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.

Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya  adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada  15 Syaban 827 H/1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di selatan Jawa.

Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.

Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu  baru membangun basis di Kebumen.

Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.

Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824, dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang  Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.

Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang, mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.

Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang pesat.

Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.

 

Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan

Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.

Dalam soal tasawuf,  diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan bahwa  “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan dan model syariat telah dipelajari sejak awal.

Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).

Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6 Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak (1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.

Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa, yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi.  Tentang kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini biasanya  merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537); yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.

Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986). Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang  Fiqh Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui  Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).

Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi (Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).

Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa,  juga diedit ulang Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.”

Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan  Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut “pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”

Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain, di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal dari itu)” (KKPT, 2009: 28).

Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23) disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB, 1988: 226).

Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan  Syeh Ibrahim, berdasarkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).

Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih. Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti (383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).

Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa, dan disalin  pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.

Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi” (SIN, 2015: 38).

Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi (Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail, berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan, 2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).

Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan  tahun 1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini disebutkan.

BTS pada bagian ke-10  yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).

Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin,  dan Usul 6 Bis, yang dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits. Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.

Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani, yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.

 

Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis

Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili  beberapa dasar dan konsep pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh, dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. 

Alfu Masail

Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.

Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali, atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa, seperti disebutkan di atas.

Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana. Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku tasawuf di Jawa.

Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:

Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi. Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.

Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama  dijawab, hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima;  Berapa banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada 104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?

Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh; Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam indalloh, kafir indan nas.

Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya, mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di nabi, waliyulloh dan orang beriman.

Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.

Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah khuldi? Apa pakaian Adam?

Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana, Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa (waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya? Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut dunia ini?

Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500 x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.

Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya?  Kenapa langit terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman tokid, marifat?

Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya, dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan semut?  Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala, tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?

Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi? Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.

Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10 perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa  diberi ganjaran ketika bersetubuh (dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang berpuasa Ramadhan?

Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng (dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa banyak kejadiannya?

Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang? Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya. Bagaimana makna Alloh yang sejati?  Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang disebut pembicaraan?

Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka, atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam? Apa maknanya kursi?

Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih? Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda (Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah? Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?

Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi Abdullah bin Salam.

Usul 6 Bis

Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan (Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ, 2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986: 143).

Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila laka”, demikian:

“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar baik dan buruknya dari Allah.”

“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha memberi rizki, pengatur, Raja,  dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan, dan tanpa penetang.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah: “Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah, yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu) tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”

“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam  ada 10 kitab;  dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah: “Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah (yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah syarat iman dan membenci mereka kufrun.”

“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah:  “Ada 6 orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”

“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”

Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang diangkat sebagai rasul.”

“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua, karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).

“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh, dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya. Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa tersebut , sekalipun hanya  sebgiannya, faqod kafara.”

“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allohlah pencipta  semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalaui janji dan ancamannya.”

“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi, karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”

“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk) Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”

“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul, kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya  yang berupa perintah, larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan sesuatu selain  tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”

“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”

“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan Allah, dan dia  ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”

 

Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali

Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam kajian tersendiri, di antaranya:

 

Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah

Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).

Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku yang membahas biografinya.

Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah        

Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah. Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya; dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH. Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:

“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut, selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang menjadi pegangan  bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….” (MKG, 2014: 312).

Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin, dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja, silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah, mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan memang tidak banyak diungkapkan.

Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:

Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah, dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai kepada Imam Ali; (2)  Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas (SST, 2007: 65-67).

Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).

Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).

Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal, dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.

Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah

Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara 1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.

Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa, Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa, Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam, Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).

Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah, dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru  Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui jalur Ammar al-Bidlisi.

Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya an-Nahrajuri), dari  Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.

Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui  silsilah Ismail al-Qashri ini, juga disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi  ketika disebut Syarif Hidayatullah disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh Kubrowiyah ini wafat pada tahun  1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi. Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466 Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).

Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas, Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah. Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.

Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan, mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6 orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).

Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat 1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan  tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian  orang banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).

Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan, Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru silsilah bersambung.  Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.

Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara barzakhilah yang terjadi.

Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang bagus, madzhab  Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin  (tauhid) menganut madzhab Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).

Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya; menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang dihubungkan dengan syaikh.

 

Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep

Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan dan masyarakat.

Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.

Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59): Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan Guntur Maliki.

Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini, karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka), dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid Agung Tuban; dan terletak di  di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban.

GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With  or Attributed to The Saints of Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan, dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk, Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.

Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:

Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait 22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”

Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)

Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan: “Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).

Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan kehendak”;  “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya, manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…” (SW, bait 72-73).

Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan  pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.” (SW, bait 11).

Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”

Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan Satpada memperlihatkan kepada cermin maka  dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.

Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon Bonang, disebutkan “Rujatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-Bari: e Rijal…! Tegesing rujat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”

Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-afal ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada makhluk)”

Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib, Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu), Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati), (Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).

Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan, bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas. Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren Giri oleh Sunan Giri.

Penyusunan Konsep-Konsep  Tasawuf, Sunan Kalijaga

Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka.  Dalam Kidung Kawedar, Sunan Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari (adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati; Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.

Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011: 137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan  Kalijaga juga mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi, memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa. Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.

Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar

Penyusun konsep-konsep tasawuf  berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh Siti Jenar, pupuh 6:18).

Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam, seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia yang menyebutkan begini:

“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi. Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002: 28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.

Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).

Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.

 

Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa

Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan setan dan jin, dan lain-lain.

Nur Muhammad

Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad), kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar dari badan, musibah atas diri mayit.

Selain itu Daoqiq juga membahas:  sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan, adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar, panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.

Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan  yang putih, seperti umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”

“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan tanaman padi.”

“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.

Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab  yang cukup awal diajarkan di Jawa di samping kitab-kitab  akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.

Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN, 2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang luas.

Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini: “Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda: “Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur. Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh, lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”

Ilmu Hikmah

Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh. Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-anugerah keramat.

Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad Tembayat,  juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan dengan para penantangnya.

Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang disebut begini:

“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu, mereka orang-orang Keling yang menyerang  semuanya roboh dan tidak berdaya, akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti  beliau. Akhirnya mereka dapat menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti perjalanan beliau ke Cirebon.”

Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali, kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan, mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.

Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya bagi pemula.

 

Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis

Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat. Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar  banyak melakukan kerja kultural tetapi sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik, meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.

Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab. Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup ruang pengaruh masing-masing.

Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa, para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan  bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh dibaca hanya terjadi sekali.

Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah, dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk Kahfi.

Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.

Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya, bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.

Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.

 

*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama, yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2, Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.

Kau tahu? Tanah itu suci. Sumber kehidupan terlahir dari dalamnya. Manusia, tumbuhan, hewan-hewan dapat melanjutkan hidup dari apa yang tersimpan di sana. Semua yang mati pun akan lebur menyatu dengannya. Kau pun bisa membawa kehidupan untuk orang lain dari tanah itu. Jadilah seperti bapakmu ini, jadilah seperti kakekmu. Bekerjalah mengolah tanah, membalik lapisan atasnya dan tanamlah apa saja yang bisa menjadi sumber kehidupan untuk orang banyak. Uruslah tanah yang menjadi sawah ini dengan baik. Tanamlah padi, kelak kau akan mendapat berkat dari Dewi Sri, lantaran kau membaktikan hidupmu untuk orang lain lewat bulir-bulir padi.

            Ucapan itu dia dengar pertama kali bahkan ketika umurnya belum genap sepuluh tahun. Di atas tanah leluhurnya yang berupa persawahan luas itu, ayahnya kerap kali mengucapkan kalimat panjang tersebut saban kali mereka bertandang ke sawah. Tanah leluhur yang menjadi penghidupan banyak orang. Jutaan bulir padi terlahir dari tanah luas yang digarapnya selama berpuluh tahun. Kalimat itu tak ubahnya mantra baginya. Kalimat yang menjadi pegangannya selama hidup di atas dunia.

Di atas tanah leluhur itu pula kini dia berdiri. Meski dia tak tahu, sudah berapa lamakah dia berdiri di sana. Tanah yang selalu sesak dengan tangkai-tangkai padi itu, kini meranggas. Tanah yang biasanya basah, kini sekarat lantaran dihajar kemarau berkepanjangan. Tanah-tanah pecah, membentuk semacam pulau-pulau kecil di tengah tanah lapang. Dari tempatnya berdiri, dia melihat bongkahan-bongkahan tanah itu dengan ngeri. Seolah dia merasa, dari balik tanah-tanah itu akan muncul setan-setan yang bisa membuat orang-orang kelaparan. Neraka seolah ada di bawah lapisan tanah yang sekarat.

Senja kala kemerahan. Muram di tengah terik yang masih terasa membuat kering kerongkongan. Kemarau kali ini memang luar biasa menyedihkan, mata air di belik mati, sungai-sungai tak mengalirkan air hanya meninggalkan delta-delta yang tercetak di sepanjang alirannya. Sudah beberapa kali lahan gambut di gunung sebelah selatan terbakar. Panas matahari memanggang punggung gunung saban hari.

Dari kejauhan dia memandang orang-orang berduyun-duyun berjalan di tengah pematang sawah. Bagai orang-orang yang sedang melakukan perjalanan suci, mereka berjalan dengan khidmat, seolah suara mereka lenyap. Enam orang yang berjalan paling depan memanggul peti mati berwarna cokelat mengkilap. Selebihnya wajah-wajah penuh duka mengiringi upacara kematian sore itu. Dia hanya memandangi semua itu di tengah bongkahan sawah miliknya, tanpa bernafsu untuk turut bergabung. Diamati saja orang-orang itu sampai menghilang di balik grumbul bambu untuk melanjutkan ke pemakaman di balik bukit.

***

            Menjadi petani adalah nasib yang seolah digariskan di telapak tangannya. Sejak kecil hingga masa tua, mengolah sawah, membajak tanah dan melakukan tandur adalah kewajiban yang dia panggul. Tanah leluhur itu haruslah dia yang merawat, sejak ayahnya meninggal tiba-tiba di pagi buta di penghujung musim panen saat usianya baru genap dua puluh tahun.

Tanah leluhur itu tak sekadar sawah belaka, ada kesakralan yang tersimpan di baliknya. Setidaknya begitulah yang diyakini keluarganya. Bulir-bulir padi yang selalu bertumbuh di sana tak hanya sekadar dari kemurahan Dewi Sri, melainkan lantaran ada campur tangan telapak-telapak kaki kerbau yang turut menyuburkan tanah. Kerbau itulah yang harus membajak sawah.

“Kau tak boleh meninggalkan kerbau untuk membantumu mengolah sawah. Garu bajak itu harus bekerja sama dengan kerbau. Kelak jika ada alat-alat modern yang jauh lebih baik dalam membalik tanah dan jauh lebih cepat menggemburkan tanah, kau tak perlu peduli dengan itu,” ucap ayahnya ketika di satu petang mereka membersihkan garu bajak yang dipenuhi lumpur.

“Jika ada bajak yang lebih baik lagi, mengapa tak boleh kita pakai. Garu bajak ini sudah tua, dan lagipula kerbau itu pun sudah lama kita pakai juga. Jika kerbau itu mati, tentulah tak ada kerbau lagi.” Dia mencoba menyangkal ucapan ayahnya.

“Kau tahu, garu bajak ini tak sekadar garu bajak biasa. Ada kesakralan di sana. Tanah itu subur dan bisa melahirkan bulir padi yang baik karena kemampuan bajak ini!”

Mendengar ucapan ayahnya, dia tertawa. Adakah hal semacam itu? Sebuah garu bajak tua menyimpan kesakralan yang tak bisa dipikirkan akal. Lagipula hal-hal semacam itu tak perlu terlalu diyakini.

“Kau mungkin tak terlalu percaya. Tapi jika kau meninggalkan garu bajak ini dan melupakan kerbau untuk membantumu mengolah sawah kita, nantinya akan ada bala datang. Bala yang membuat keluarga kita menderita. Bahkan bala yang akan membuat orang banyak terlunta-lunta.”

Kali ini dia tertegun. Ucapan ayahnya itu tak ingin dia pikirkan, namun semalaman dia tak bisa memicingkan mata. Perihal bala yang akan datang jika dia meninggalkan garu bajak dan kerbau itu selalu terngiang di telinganya. Setelahnya, dia turut mengamini masalah garu bajak dan kerbau. Keduanya tak pernah dia tinggalkan. Garu bajak warisan keluarga selalu dia pergunakan ketika membajak sawah. Kerbau yang turut membantu membajak sawah dia rawat baik-baik.

Kerbau yang lama mati, maka secepatnya akan digantikan kerbau baru. Tanah itu subur, padi-padi yang ditanam selalu berlimpah ketika panen. Berkat dari Dewi Sri itu seakan memang benar adanya. Garu bajak dan kerbau tak pernah dia tinggalkan. Tanah leluhur itu adalah berkat bagi banyak orang. Para pekerja mendapatkan berkah setiap kali musim tandur dan panen. Orang-orang di desa kerap merasakan betapa nikmatnya beras yang pulen dengan harga murah. Bulir padi yang berlimpah adalah berkat bagi banyak orang.

Tapi tak semua orang berkeinginan bekerja membalik tanah menggunakan garu bajak. Tak semua orang berkehendak menjadi seorang petani. Bulir padi bukan segala-galanya bagi sebagian orang. Waktu yang seakan berlari mengubah pekerjaan petani bukanlah profesi yang bisa diandalkan. Ada kalanya menjadi petani adalah pekerjaan yang kampungan, ndesit, dan ketinggalan jaman. Seperti kedua anaknya, tak ada satu pun dari mereka yang tertarik menjadi petani seperti dirinya. Kedua anaknya itu lebih tertarik menjadi seorang ahli mesin dan insinyur pembangunan.

“Aku sama sekali tak tertarik menjadi petani, Ayah. Menjadi seorang ahli mesin adalah cita-citaku sejak kanak,” ucap si Sulung tatkala ia menanyakan apakah anaknya itu berkeinginan menjadi seperti dirinya.

Mendengar jawaban anaknya, seketika dia kecewa.

“Kau bisa menjadi ahli mesin yang sekalian mengolah sawah. Tanah itu tentu saja menginginkan campur tangan darimu juga,” sangkalnya cepat.

“Tidak mau, Ayah. Mana bisa menjadi seorang ahli mesin tapi juga menjadi seorang petani. Nantinya jika menjadi petani akan seperti ayah ini. Terkungkung di dunia tandur dan memanen. Tak ada kegiatan lain. Menjadi petani bukan pekerjaan yang cocok denganku.”

Lalu dia memilih diam selepas mendengar ucapan putranya. Baginya tak ada gunanya lagi berdebat dengan putra sulungnya. Dia mungkin kecewa, tapi setidaknya ada harapan kepada putra keduanya. Mungkin dia tertarik meneruskan tanah leluhur itu. Mungkin putranya yang selalu patuh itu akan bersedia bekerja membajak sawah.

“Kau tahu, tanah leluhur berupa persawahan itu haruslah dirawat pemiliknya sendiri. Tentu saja setelah ayah setua ini haruslah ada penggantinya. Abangmu menolak meneruskan mengolah tanah leluhur itu. Tentu saja jika dia tak mau, kaulah yang harus menggantikannya,” dia mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati, khawatir jika dia akan menerima jawaban yang tak kalah mengecewakannya.

“Apakah harus kita sendiri yang mengurus tanah itu? Mengapa tidak kita serahkan saja tanah itu agar diurus orang lain. Kita tambah pekerja yang selama ini membantu mengolah sawah itu,”

“Tidak bisa seperti itu. Tanah itu harus dirawat langsung oleh tangan keturunan keluarga ini. Meski kita memiliki pekerja yang membantu mengolah sawah.”

Wajah putra keduanya seakan sedang berpikir. Dahinya berkerut, matanya terpejam. Setelahnya dia memandangi ayahnya dengan ragu.

“Aku sama sekali tak tertarik menjadi seorang petani, Ayah. Entah, setelah melihat Pak Ali Bey tersambar petir bertahun lalu, menjadi petani bukan pilihan hidupku lagi,”

“Alah, kematian Ali Bey yang tersambar petir kan hanya kebetulan saja. Banyak orang yang mati tersambar petir meski dia bukan petani. Abangmu menolak menjadi petani, jadi ayah berharap kepadamu.” Dia mengucapkan itu dengan kalimat sedikit memelas. Jika putra bungsunya menolak, putus sudah rantai keluarga dalam mengolah tanah.

“Tidak, Ayah. Saya tak ingin menjadi seorang petani. Saya ingin menjadi insinyur. Saya akan membangun jembatan-jembatan dan jalan. Saya benar-benar tak bisa menjadi seorang petani.”

Kekecewaan itu seketika menyergap hatinya. Tapi dibanding kecewa, dia jauh lebih ketakutan. Bagaimana jika tak ada yang meneruskan mengolah tanah leluhurnya. Lalu bagaimanakah jadinya tanah itu selepas kematiannya nanti.

***

            Hujan baru saja reda, ketika putra bungsunya tergopoh-gopoh menemuinya yang sedang membersihkan garu bajak dari lumpur. Kini, seperti kakaknya, putra bungsunya itu menjadi seorang ahli dalam membangun jembatan dan jalan. Proyek-proyek besar sering dia kerjakan. Karirnya sebagai seorang insinyur melesat. Putra bungsunya itu semakin jauh dari gambaran seorang petani.

“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan. Penting sekali,”

“Kau bahkan belum menaruh pantatmu di kursi, tapi sudah berbicara seolah ada hal begitu pentingnya,”

“Memang penting sekali, Ayah. Menyoal proyek jembatan yang sedang aku bangun di kota sebelah itu, ayah tahu kan?”

Dia mengangguk. Bagaimana bisa tak tahu tentang proyek anaknya itu. Di manapun anaknya itu bekerja membangun jembatan atau jalan, dia selalu tahu.

“Penunggu tanah itu tak menghendaki dibangun jembatan, Ayah. Dia meminta penebus jika kami ingin meneruskan membangun jembatan itu,” ujar bungsunya itu dengan hati-hati.

“Kau percaya dengan hal semacam itu?” Dia tersenyum simpul mendengar ucapan anaknya. Dia mengira bahwa anaknya yang pandai dan modern itu tak akan memercayai hal-hal yang menyangkut masalah hal-hal gaib.

“Awalnya aku tak percaya, Ayah. Tapi setelah satu pekerja proyek tiba-tiba terjatuh dan terluka parah, mau tak mau aku harus percaya. Terlebih setelah kami memanggil seorang tua untuk menerawang apa yang sebenarnya terjadi,” jawab putra bungsunya itu dengan hati-hati.

“Lantas?” Dia bertanya meski sebenarnya dia tak terlalu tertarik dengan masalah yang sedang dihadapi putranya itu.

“Dia menginginkan kepala manusia untuk persembahan. Sebagai ganti kami membangun jembatan di rumahnya.”

Kali ini dia terbahak. Ada kengerian ketika mendengar itu, tapi lebih menggelikan kedengarannya di telinganya masalah persembahan itu.

“Kau akan memberikan kepala manusia untuk penunggu itu?”

“Tentu tidak, Ayah. Orang pintar itu sudah berhasil merayu penunggu itu. Kami berhasil mengganti persembahan itu. Dari kepala manusia menjadi kepala seekor kerbau. Aku ingin membeli kerbau milik ayah itu, untuk menjadi persembahan di proyekku.”

Seketika dia berdiri dari duduknya. Keterkejutan itu tak bisa disembuyikannya. Bagaimana bisa putra bungsunya itu meminta kerbau yang selama ini membajak sawah milik mereka.

“Kau tahu? Kerbau itu tak sekadar hewan yang bekerja menarik garu bajak semata. Tapi lebih dari itu, tanah yang subur di persawahan kita itu ada campur tangan dari telapak kaki-kakinya. Sejak buyutmu, kerbau itu harus dipekerjakan. Jika kau butuh seekor kerbau, pergilah ke pasar hewan. Belilah kerbau baru di sana, jangan kau ambil kerbau milikku!” Suaranya terdengar meninggi.

“Tapi di pasar hewan kami tak menemukan kerbau yang seperti dikehendaki penunggu itu, Ayah. Dia meminta kerbau yang seperti milik ayah itu,” sahut putra bungsunya dengan memelas.

“Tidak bisa!”

“Tolonglah aku, Ayah. Akan kuganti dengan traktor mesin paling baru atau kerbau baru jika ayah tak ingin kuganti dengan traktor mesin.”

Perdebatan menyoal kerbau itu sedikit berkepanjangan. Sebisa mungkin dia menolak permintaan anaknya. Tapi meski dia menolak sekuat tenaga, rasa sayang kepada putra bungsunya membuat mengalah. Kerbau bernama Legi itu dituntun putranya menjauhi kandang. Dari tempatnya duduk, dia hanya memandangi kepergian Legi dengan pandangan masygul.

Kerbau baru tak didapat, akhirnya traktor mesin untuk membajak keluaran terbaru yang menggantikan Legi. Dia ragu tatkala melihat traktor baru itu. Tapi tak ada pilihan, musim tandur akan segera tiba. Dia secepatnya harus menggemburkan tanah.

Suara traktor yang berisik mengganggu pendengarannya, tapi dia tak bisa berhenti. Di atas mesin itu dia terus bekerja membalik tanah. Garu bajak yang selalu dipakai turun temurun dalam mengolah tanah leluhur miliknya terlupa. Teronggok begitu saja di samping kandang Legi yang kosong tanpa penghuni.

***

            Kemarau datang lebih cepat dari yang seharusnya. Padi-padi yang baru melahirkan bulir-bulir muda dengan cepat meranggas. Air-air di belik turut mati. Dia tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Musim seharusnya masih penghujan, tapi tiba-tiba saja langit yang seharusnya kelabu berubah benderang. Terik matahari memanggang punggung-punggung bukit. Panen gagal. Sawah yang basah mengering, meninggalkan bongkahan-bongkahan tanah yang pecah.

Dia tak ingin meyakini, mungkinkah perkataan mendiang ayahnya dulu itu benar. Garu bajak dan kerbau tak dipakainya dalam mengolah tanah, kini ucapan itu terjadi. Kesengsaraan itu benar adanya. Melihat keadaan yang demikian mengerikan itu, dia jatuh sakit. Selama berminggu-minggu dia hanya tergolek di atas tilam. Kakinya tak bisa digerakkan, dia seakan lumpuh, tak bisa berjalan ke mana-mana. Kecuali sore itu, entah bagaimana mulanya, dia sudah berdiri di atas tanah leluhurnya. Berdiam diri di sana, melihat orang-orang yang berbondong-bondong memanggul sebuah peti mati menuju pemakaman di balik bukit.

Orang-orang yang seolah sedang melakukan perjalanan suci sudah lama menghilang, tapi dia tak ingin beranjak dari atas sawahnya yang mengering dengan menyedihkan. Matanya terpejam, sebelum dia mendengar ada suara yang berjalan mendekatinya. Perlahan matanya terbuka, dia melihat Legi menarik garu bajak yang selama ini teronggok di samping kandang miliknya. Perlahan kerbau itu mendekat. Gurat kemerahan semacam sisa leher yang terputus bagai kalung di leher Legi. Perlahan dia menepuk kepala kerbau miliknya itu.

“Kau sengaja ingin menjemputku kan? Marilah kita pergi kalau begitu, hari juga sudah sedemikian sore.” Ucapnya perlahan sembari menarik Legi meninggalkan sawah yang mengering.

Perlahan dia mengajak Legi berjalan ke arah bukit di sebelah selatan. Di balik bukit itu ada persemayaman baru miliknya. Legi dan garu bajak yang dulu mengolah tanah leluhurnya harus melihat upacara persemayam dirinya sebelum mereka terlambat. Perlahan dia dan Legi meninggalkan tanah leluhurnya, yang kini sedang meranggas lantaran sekarat diterkam kemarau yang berkepanjangan.[]

Kamis, 3 Mei 2018 lalu, tepat 188 tahun dari hari ketika Pangeran Diponegoro diasingkan. Pengasingan ini telah menjadi pengalaman pertama Pangeran meninggalkan Jawa. Sepeninggalnya itu, Pangeran tak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Meski demikian, seperti semua pahlawan yang diasingkan, sosok Diponegoro diafirmasi sebagai seorang manusia berdaulat. Pangeran Diponegoro tentu bukan simbol kekalahan pribumi melawan kelicikan kolonialisme. Sebaliknya ia adalah salah satu penanda perlawanan dan perjuangan ‘kaum Muslim’ melawan kezaliman yang ditumbuhkan Belanda di negeri ini.

Oleh karena simbol perjuangan itu, Pangeran hidup di dalam memori bangsa Indonesia. Ia dimaknai dalam kehadirannya sebagai seorang pahlawan. Kehadirannya sebagai seorang pahlawan seringkali menuntut pengesahan total bahwa dirinya bukan berjuang karena ambisi kekuasaan politik semata. Sejarawan Peter Carey bahkan menegaskan bahwa betapa bermaknanya perjuangan lima tahun orang Jawa dalam Java Oorlog yang dipimpin oleh Pangeran sendiri. Bahkan Perang Jawa menjadi unik dibandingkan perlawanan-perlawanan lainnya, karena “… untuk pertama kali pemberontakan [sic!] pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah-Selatan, yang pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton.” (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”, a.b. Parakirti T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. xxxix).

Dalam kezaliman yang terus dilestarikan misi penjajahan itulah Diponegoro diasingkan dengan segenap kehinaan yang ditayangkan oleh Belanda. Seorang Pangeran muda dari Belanda sewaktu mengunjungi pengasingan Diponegoro di Fort Rotterdam, Makasar, bahkan memperlihatkan rasa simpatinya. Sebab, Prince Hendrik de Zeevaarder, pangeran muda itu, bahkan menceritakan bagaimana Belanda memperlakukan Pangeran Jawa ini. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, ia mengatakan:

“Hari pertama [di Makassar] melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tahanan kita yang kelihatan tidak bahagia, Diepo Negoro … yang jatuh ke tangan kita secara curang. Ia mendatangi saya, menggandeng tangan dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai satu, ia mengatakan … bahwa ia sangat gembira ada seseorang yang datang mengunjunginya di tempat kediaman yang menyedihkan itu. … ia tertawa lebar, tetapi raut kegirangannya itu terlihat dipaksakan, tidak spontan, tidak wajar … orangnya menyenangkan dan saya dapat melihat semangatnya yang masih membara” (Dikutip dari Peter Carey, “Destiny: The Life of Prince Dipanegara, 1785-1855”, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 407).

Sebuah Refleksi Kezaliman yang Aktual

Perjuangan Pangeran Diponegoro memang perlu dihidupkan kembali. Dalam hayat bangsa ini, Diponegoro tidak hanya hidup dalam tradisi dan dimaknai dalam konteks historisnya yang telah mati. Pemaknaan yang tepat untuk membawa ‘semangatnya yang masih membara’ itu terkadang memerlukan refleksi yang mendalam. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menjelaskan arti kehadiran sosok pahlawan dalam kekinian kita. Sejarawan senior itu berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah Sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungan itu terjadilah suatu penggabungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh” (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 6).

Dalam kesadaran ‘semangat yang terus membara’ pada memori kolektif bangsa, kita memilih Pangeran Diponegoro sebagai sosok pahlawan. Penyimbolannya sebagai penentang kezaliman-pun senantiasa hadir dalam semangat historical booming seperti pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan sejarah tanpa anakronisme-anakronisme atau interpolasi kekinian-pun kini telah mampu menjelaskan bulatan-bulatan riwayat dari kelahirannya, pembulatan tekad, pembentukan keteguhan kepribadian melalui agama Islam, dan perang-perang yang dilaluinya, hingga nanti ia diasingkan dan wafat dalam pengasingan. Oleh karenanya, kenyataan sejarah yang telah jelas itulah, sosok Pangeran Diponegoro bersama pejuang-pejuang yang lainnya selalu aktual dalam masa yang sedang kita jalani atau ke masa-masa lain yang akan kita tempuh. Jika demikian, maka siapa kiranya yang meragukan bahwa semangat penentangannya melawan ketimpangan yang terjadi di masanya akan tetap aktual?

Bersama dengan ‘dua aktual’ itu, kita menghayati kontekstualitas kepahlawanan Diponegoro yang dihidupkan dalam renungan peradaban oleh kaum pergerakan, untuk melawan ‘kezaliman’ kontekstual-aktual dalam bentuknya yang selalu bersifat kekinian. Keyakinan atas hidupnya imaji kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam memori bangsa Indonesia menyebabkan ia terus dikenang secara inspiratif, dijadikan simbol perlawanan terhadap penjajahan, sosok yang berdaulat, dan anti penindasan.

Dari kisah hidup Pangeran Diponegoro kita mampu memahami betapa panji-panji agami Islam yang dipupuk oleh nenek buyut Sang Pangeran sedari kecil menjadi pilihan untuk mengatasi seluruh kekacauan sosial-ekonomi dan agama sebelum meletusnya perang Jawa. Pangeran Diponegoro memahami, ia tengah berada pada sebuah ambang peradaban. Di balik punggungnya ia merasakan tenggelamnya tatanan lama Jawa dengan segenap kewibawaan dan harga dirinya. Sedangkan ‘Orde Baru’ Daendels dan kekalahan menyakitkan dari Inggris yang menjarah kekayaan literasi perpustakaan keraton Yogyakarta terletak di depannya. Seakan dari semburat peradaban Barat itulah, ‘kehancuran Tanah Jawa’ menjadi suatu kepastian. Sejak zaman bubrah-nya tatanan lama Pulau Jawa itu, pajak-pajak dibebankan terlalu berat, mental pribumi dirusak, harga diri kaum perempuan sering dihinakan di keputren keraton, gagal panen, penyakit yang mewabah, candu, dan kerusuhan-kerusuhan menggejala. Dari kesemua itu, Jawa sebagai sebuah bangsa menghadapi bencana yang berdampak lama bagi peradabannya: keruntuhan adab dan moralnya. Dalam bahasa cendikiawan Muslim paling berpengaruh saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, rusaknya tatanan Jawa dalam berbagai aspeknya disebut de-Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2010, hlm. 57).

De-Islamisasi Konseptual: Sejarah Diponegoro sebagai Pokok

‘Kezaliman’ bisa menjelaskan bagaimana keruntuhan dan kehancuran Tanah Jawa dan bubrah-nya tatanan lama itu bisa disebut sebagai ‘de-Islamisasi’. Di lain pihak, dari puncak-puncak pemikiran Prof. Al-Attas, Islamisasi menjadi salah satu telaah paling penting dalam merenungkan proses terjadinya satu tatanan yang ideal dan di mana de-Islamisasi merenggut idealitasnya. Islamisasi menjadi konsep paling baik dan tepat untuk menjelaskan aktualitas kezaliman, dan mengapa ia tidak terputus pada satu rangkaian peristiwa dalam sejarah tertentu.

Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme)

Menurut Prof. Al-Attas, hakikat Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan. Pembebasan yang hendak disasar oleh Islamisasi adalah ruh manusia daripada jasad-jasmaninya. Tindakan yang paling bermakna bagi manusia adalah berpangkal dari ruhnya, dan oleh sebab itu segala bentuk ‘keruntuhan’ dan ‘kebubrahan’ sama dengan menyasar unsur ruh dibanding ‘kerusakan’ jasmani. Kerusakan jasmani hanyalah satu dampak kecil dari kerusakan ruh yang telah menjauh dari Islamisasi. Ia menjadi salah satu saja korban dalam de-Islamisasi yang bertentangan dengan Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 55).

Dari tatanan pembebasan itulah, Islamisasi menjadikan kehidupan termaknai dengan harmonisme dan ketentraman bahkan secara jasmaniah (sebagai dampak dari pembebasan ruh itu), dan juga wujud akurnya manusia dengan alam. Dalam hubungan-hubungan inilah kita mampu mengerti mengapa suatu kondisi yang penuh dengan pembebasan yang menyasar sistem ruh dalam manusia menyebabkan manusia mencapai kesadarannya sebagai penjaga alam lingkungannya. Sementara dalam rangkaian situasi yang de-Islamistis, wisdom manusia mengalami kehancurannya. Keadaan dan proses ini menyebabkan pembudakkan dan kehancuran tatanan yang berpangkal dari pikiran sampai hidupnya eksploitasi alam dan kacaunya aspek-aspek dalam kehidupan.

Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung.

Islamisasi, menurut Prof. Al-Attas, adalah sebuah devolusi atau penyerahan pada keadaan asalnya. Sebaliknya, dalam keadaannya yang merusak ruh, manusia hanya terjelma dalam diri jasmani yang alpa, jahil, dan zalim. Dalam keadaan individu demikian, manusia yang kehilangan ruh, bukanlah manusia yang sempurna. Sehingga dalam pengertian kolektif (non-individu), sosial, historis, dalam paparan Prof. Al-Attas, Islamisasi merujuk pada perjuangan suatu komunitas menuju pencapaian kualitas moral dan etika sebagai sebagian dari kesempurnaan sosial yang telah dicapai pada zaman Nabi, shalallahu ‘alayhi wassalam, di bawah tuntunan Allah Subhanawata’ala (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 56).

Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme), dan juga sebagai ‘khalifatur Rasul’ yang seakan mengemban misi kenabian, sebagaimana misi ‘Islamisasi’ itu dijalankan untuk ‘kesempurnaan sosial menuju kualitas moral dan etika’. Sebab, kesaksian Pangeran terhadap kerusakan tatanan adalah kematian peradaban Jawa itu sendiri. Dalam keruntuhan itu, moral dan etika manusia Jawa mengalami kemerosotan dan menghalanginya mencapai kesempurnaan sosial—atau keadilan sosial.

Konteks kisah hidup Diponegoro oleh karenanya bukan saja menjadi satu rangkaian sejarah yang terputus dalam perjalanan sejarah agama di Nusantara. Ia menjadi satu bagian dari hayat islamisasi sejak pertama kali menyentuh dan memberikan peran rasionalisasi daya berpikir dan berjiwa bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu-Nusantara. Itulah sebab Prof. Al-Attas secara konseptual-aktual melekatkan gambaran Islamisasi dari akar-akar filosofisnya menuju pada cabang-cabang praktisnya di Nusantara, yakni secara historis menggejala dalam rangkaian peristiwa-peristiwa. Di antara Islamisasi yang secara historis menggejala itu kelahiran, kehidupan, dan tragedi Pangeran Diponegoro adalah satu babakan tersendiri dalam salah satu perjuangan Islamisasi di Nusantara, tatkala ia akhirnya menemukan konfrontan peradabannya: peradaban Barat melalui kolonialisme Belanda yang de-Islamistis.

Sejarah perkembangan realitas Islam di Nusantara salah satunya terbentuk melalui kedirian Diponegoro sebagai pusat, dengan lingkungan historisnya adalah alam yang melingkupinya. Di bawah panji-panji agami Islam yang ditawarkan Diponegoro, serta kesaling-terkaitnya komunitas santri dalam perjuangannya itu, memperlihatkan betapa agami Islam memberi kekuatan yang aktual. Karena kekuatannya pula, kedirian Diponegoro menjadi sosok inspiratif pada zaman-zaman setelah kematiannya sekalipun. Diponegoro bukan hanya dimaknai sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai suatu hayat yang berada di tengah-tengah permasalahan segala zaman. Karena suatu tatanan baru yang berdaulat hendak ditegakkan maka relevansi kehadiran Diponegoro menjadi selalu kontekstual pula.

Kehadiran Barat dalam peradaban Jawa itulah yang disaksikan Diponegoro sebagai de-Islamisasi—bukan hanya dalam bidang agama itu sendiri, tapi juga aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi Jawa. De-Islamisasi berkembang karena keruntuhan moral individual orang Jawa. Di sanalah terletak kemerosotan mental Jawa dihadapan peradaban kompeni yang eksploitatif. Ketika Jawa dihadapkan dengan ragam pilihan dalam mengembalikan tatanan lama ataukah menuruti arus penguasaan Belanda, akhirnya ‘pemimpin-pemimpin palsunya’ memilih mendekatkan diri pada kejahilan dan kekeliruan (zulm) yang dipraktekkan Belanda. Maka menjadi terang bahwasannya ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam perspektif Islamisasi itu sendiri.

Kemanusiaan Diponegoro: Suatu Simpulan

Berada pada puncak-puncak nalar Islamisasi, di mana Diponegoro berusaha untuk mengembalikan tatanan baru yang suci dari pengaruh kekeliruan (zulm), Pangeran telah menjadi sosok yang merepresentasikan esensi kesejatian dari kemanusiaan. Ia menjadi sosok yang mengabdikan diri dan jasadnya pada satu pendekatan esensial dalam memperbaiki jiwa peradaban melalui individu-individunya. Sebagai seorang Muslim-Jawa, Pangeran sadar betul tingkah laku bangsa-bangsa Barat yang pernah berhubungan dengan keraton. Sejak era kedatangan Daendels sebuah awal keruntuhan Jawa dimulai– lalu diikuti dengan Inggris, dan dikembalikan pada Belanda yang telah menjajaki watak kesewengannya dalam merenggut harga diri orang Jawa– orang Jawa selalu ditimpa kemalangan. Dalam bahasa Pangeran, kemalangan yang menimpa orang Jawa salah satu bermusabab dari dijauhkannya orang Jawa dari ‘hukum Ilahi yang disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.’ (Peter Carey, Takdir …, hlm.288, 289 dan 195).

Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan Budaya yang melingkupinya.

Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung. Ini senada dengan definisi de-Islamisasi yang disampaikan Prof. Al-Attas: “Deislamisasi adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan kelalaian terhadap Islam dan kelalaian terhadap kewajiban kepada Allah dan Nabi-Nya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya sebenarnya. Oleh karena itu, kelalaian ini juga adalah ketidakadilan (zulm) …” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 57) Kemerosotan yang dialami oleh manusia Jawa pada berbagai aspek dalam situasi ketidak-adilan yang merenggut keadaan semestinya dari kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, dan serta hayat keagamaan dalam keseharian mereka merupakan bentuk de-Islamisasi yang mengakibatkan kejahilan dan kekeliruan.

Sebab, menurut Alija Ali Izetbegovic, “Tanpa sentuhan ilahi, hasil evolusi [dalam pandangan Darwinisme] tidak akan berupa manusia, melainkan binatang yang berkembang, seekor binatang super, atau makhluk bertubuh manusia dan memiliki kecerdasan manusia tapi tanpa hati dan kepribadian. Kecerdasannya yang tanpa pertimbangan-pertimbangan moral mungkin sekali akan lebih efisien, tapi pada saat yang sama juga akan lebih kejam. Sebagian orang membayangkan jenis makhluk ini sebagai datang dari sebuah planet yang jauh di alam semesta ini; sebagaian yang lain melihatnya sebagai produk peradaban kita pada tingkat perkembangannya yang tinggi.” (‘Aliya ‘Ali Izetbegovic, “Islam between East dan West”, a.b. Ahsin Mohammad, Islam antara Timur dan Barat, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 34).

Artiannya, makhluk materi dalam tradisi Darwinian telah gagal dalam melakukan penggambaran manusia. Kenyataannya, manusia adalah makhluk ‘Ilahiyah’ yang mau dan mampu melakukan perjuangan untuk mencapai ‘sentuhan ke-Ilahi-an’ untuk melawan kezaliman—yakni kondisi terhadap kebutaan total atas eksistensi. Dalam kondisi ke-ilahi-an tersebutlah manusia bisa dilihat dari kemanusiaannya. Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan budaya yang melingkupinya. Pangeran hidup bersama misi yang diembannya dalam mengembalikan tatanan Jawa yang berdaulat di bawah ‘ajaran keselamatan Kanjeng Nabi dan Gusti Allah’. Allahu a’lam.

 

Cilodong, 12 Mei 2018

Berbicara Sejarah Banyuwangi, tak bisa terlepas dari arsip-arsip Belanda. Terhitung sejak 1767, kolonialisme Belanda telah bercokol di Bumi Blambangan. Lebih-lebih, tak banyak sumber lokal yang bisa dirujuk sehingga hal ini menempatkan arsip Belanda menjadi sumber primer.

Celakanya, arsip-arsip Belanda tersebut, melahirkan dua kesulitan sekaligus. Pertama, arsip-arsipnya hampir tak ada yang tersimpan di Banyuwangi. Jika tidak di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, ya ada di Lieden, Belanda. Butuh waktu, tenaga dan juga biaya, bukan?

Soal bahasa adalah ihwal yang lebih menyulitkan lagi. Semua arsip tersebut, sudah barang tentu berbahasa Belanda. Bahasa yang berlaku pada masa itu. Tak banyak penggiat sejarah di Banyuwangi yang memiliki kompetensi tersebut.

Di tengah kesulitan demikian, datanglah seorang bernama Pitoyo Boedi Setiawan. Ia dilahirkan dari pernikahan seorang serdadu sukarelawan berkebangsaan Belanda yang menikahi blesteran Jawa-Negro. Ia lahir dan tumbuh di Purworejo, Jawa Tengah bersama kelima saudaranya.

Pada masa Jepang, ia bersama beberapa saudaranya sempat di tahan. Kemudian, dilepaskan setelah pasukan Dai Nippon itu hengkang usai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tiga saudaranya, mengikuti kewarganegaraan sang ayah dan tinggal di Belanda, sedangkan Pitoyo bersama seorang saudaranya memilih tetap menjadi warga Indonesia.

Pitoyo tinggal di Surabaya, ia bekerja di pelayaran sekaligus memiliki biro travel. Di kota itu ia membangun biduk rumah tangga pertamanya. Meskipun akhirnya harus bercerai, namun perceraian itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia memutuskan untuk pindah ke Banyuwangi. Ia meminang seorang gadis yang dikenalnya kala mengantar tamu dari Perancis untuk berwisata di Banyuwangi dan Bali. Perempuan yang disuntingnya tersebut adalah Artatik. Seorang janda dari seniman Banyuwangi, Fatrah Abal.

Keputusan Pitoyo menikahi Artatik dan memilih tinggal di Banyuwangi, mengantarkan hidupnya pada takdir yang lain. Kemampuannya berbahasa Belanda (dan juga Inggris) sejak kecil, menjadikannya sebagai penerjemah arsip-arsip Belanda tentang Banyuwangi.

Dwi Pranoto, seorang penggiat sejarah di Banyuwangi mendapat tugas untuk mencari sejarah lahirnya Banyuwangi. Ia pun mengakses arsip-arsip Belanda di ANRI. Arsip-arsip tersebut kemudian diserahkan kepada Pitoyo untuk diterjemahkannya. Bisa jadi, Pranoto mengetahui kemampuan Pitoyo itu dari Fatrah Abal. Meskipun telah bercerai, ia masih menjalin hubungan baik dengan bekas istrinya itu, bahkan dengan suami barunya.

Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht.

Dengan penuh ketekunan, Pitoyo menerjemahkan arsip-arsip tersebut. Bahkan, ia meminta saudaranya di Belanda untuk mengakses arsip-arsip lain yang tersimpan di Belanda. Atas jasa-jasanya inilah, banyak kisah tentang Banyuwangi yang terkuak. Mulai dari peperangan Puputan Bayu (1771 – 1772) hingga perkembangan tari Gandrung yang menjadi ikon Banyuwangi.

Hasil terjemahan dari Pitoyo itulah kemudian menjadi rujukan para penulis dan penggiat sejarah di Banyuwangi. Seperti terjemahnya atas De Indische Gids II yang ditulis oleh C. Lekkerkerker (1923), Blambangansch Adatsrecht karya Dr. Y.W. de Stoppelaar (1926), hingga Gandroeng van Banjoewangi karya John Scholte (1927).

Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht. Karya tersebut diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) pada 1991 dengan judul Hukum Adat Blambangan.

Selain itu, karya terjemah Pitoyo hanya ditemukan dalam kutipan di artikel karya penulis-penulis Banyuwangi. Seperti Hasan Ali, Fatrah Abal, Dwi Pranoto, Armaya dan lain sebagainya.

Karya terjemah Pitoyo atas arsip-arsip Belanda itu, kini kembali menggema. Sengker Kuwung Belambangan, sebuah NGO kebudayaan berbasis di Banyuwangi kembali menerbitkan karya terjemah Pitoyo. Kali ini adalah terjemah jilid kesebelas dari De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Nederlandsch-Indie/ Java yang disunting oleh Jhr. Mr. J.K.J de Jonge dan M.L. van Deventer.

Terjemah yang diterbitkan dengan judul Belanda di Bumi Blambangan: Naskah-Naskah Arsip Kolonial Lama yang Belum Diterbitkan (Oktober: 2018) itu, memang tak keseluruhan. Hanya beberapa bagian buku saja yang diterjemahkan. Utamanya yang berkaitan langsung dengan Banyuwangi.  Paling banyak adalah arsip berupa surat yang ditulis oleh seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda G.J Petrus Albertus van der Parra (w. 1775), ada delapan surat yang diterjemahkannya. Adapula empat arsip yang ditulis oleh Johannes Vos, seorang Gubernur dari Pesisir Timur Laut Jawa yang menjabat pada 1761-1765.

Setidaknya, ada tiga orang yang turut berjasa dalam mewujudkan buku primer dalam kajian sejarah Banyuwangi ini. Ialah Kang Munawir dan Banjoewangi Tempoe Doeloe (BTD) yang telah meluangkan waktu untuk mengarsipkan manuskrip terjemah karya Pitoyo dan mengetiknya ulang. Kemudian, Mas Emha Aji Rawamidi yang mengeditorinya, serta Mas Antariksawan Jusuf yang berusaha untuk mewujudkannya sebagai buku.

Waba’du, buku ini amat penting untuk para pengkaji sejarah Banyuwangi. Menyajikan sumber-sumber primer. Namun, bagi kalangan pemula (awam), membaca buku ini perlu bacaan-bacaan pendamping agar bisa mengerti alur ceritanya dengan baik. Selain Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012) karya Sri Margana, juga ada Suluh Blambangan 1 & 2 (Banyuwangi: SKB, 2017) karya M. Hidayat Aji Rawamidi.

Selamat Membaca.

Sore menjelang malam dan toko wallpaper saya di Gading Serpong menjadi sepi. Di luar gelap gulita: angin kenceng dan hujan lebat. Pikir pulang pada sore hari yang tidak bersahabat ini membuat saya resah. Langganan tidak ada. Rupanya sore ini akan saya tutup awal supaya anak buah saya bisa pulang tidak terlalu malam. Tapi Takdir tidak menghendak demikian! Baru pikir mau tutup awal, tiba-tiba datang seorang laki-laki berambut cepak memakai moto-cross (trail bike) yang 250 cc. “Kok aneh!” pikirku, Si lelaki bermotor gede ini tidak berminat membeli apa-apa! Ia tidak tertarik memilih wallpaper buatan Korea atau tegel buatan Italia, tapi datang untuk nongkrong saja di bawah bagian atap depan toko saya. Di sana ia cari tempat teduh untuk berlindung dari hujan yang semakin deras. Siapa sosok yang misterius ini?

Anak buah saya, Jaenal, menegor saya: “Ayo! Mr Peter, ajak masuk dong! Kasihan kalau dia tetap di luar! Pasti kehujanan dan terguyur basah!”

“OK, Jaenal, suruhlah masuk! Cepatlah!” Lelaki setengah baya masuk dengan kesan kikuk seperti sama sekali tidak merasa nyaman.

Waktu saya menatap muka dan cari tahu siapa tamu baru ini, Jaenal berbisik keras di telinga saya: “Mr Peter! Awas! Lihatlah di paha sang tamu ada pistol semi-otomatis!” Mata saya langsung bergeser kepada Glock 17 9x19mm buatan Austria isi standar untuk Pasukan Gegana yang diikat kepada kaki atas sang lelaki. Saya merinding! Mau memberi pelindungan, datang seorang polisi anti-teror! Seketika Gading Serpong beralih menjadi zona amat tidak nyaman di benih otak saya!

Apa yang sedang terjadi? Saya langsung membuka suara: “Maaf, Pak, tapi siapa dirimu? Mengapa berkeliaran dengan pistol begini?” Saya menoleh kepada Glock 17 yang bersandar di paha sang tamu. “Mungkin bagi orang Indonesia melihat polisi bersenjata lengkap masuk toko hal biasa-biasa saja tapi untuk seorang Inggris seperti saya amat tidak normal!” Saya panasaran sambil was-was. Lelaki dengan amat lelah menjawab: “Ya, begini, Pak, sekarang sudah dua hari dua malam saya tidak bisa tidur! Beronda terus untuk menjaga Polres Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, dan melindung 100 vihara Budhis dari serangan teroris yang mau membela penderitaan bangsa Rohingya di Rakhine! Sungguh situasi yang gawat nih!”

Rohingya? Rakhine? Myanmar? Daerah perbatasan barat Myanmar yang dihuni keturunan orang Arab Islam sejak abad ke-7 yang disebut warga Rohingya? Apakah daerah ini yang dibela teroris Tangsel ini, yang menjadi biang keladi sang tamu bersenjata ini? Langsung saya merenung. Apakah semua ini tidak melibatkan temanku dari Oxford, Daw Aung San Suu Kyi, yang sejak 6 April 2016 menjadi State Counsellor (Penasihat Negara) Myanmar? Apakah nasib saya kena imbas teror Tangsel terkait langsung dengan penolakan Daw [Tante] Suu untuk membicara Truth to Power (Kebenaran kepada Kekuasaan)? Setiap langkah ada akibatnya! Tapi mana bisa seorang Daw Suu, yang telah saya kenal baik sejak tahun 1980-an, bertindak demikian?

**

Waktu saya kenal beliau dan keluarganya ia begitu gagah berani melawan Angkatan Bersenjata Myanmar – Tatmadaw – yang brutal itu! Ia sosok yang mengalami tahanan rumah berkepanjangan! Selama 16 tahun, ia hidup terkurung di rumahnya, 54 University Avenue, Yangon, jauh dari keluarga. Begitu kuat batin hingga ia memilih panggilan sebagai pembela masa depan bangsa daripada mendampingi suaminya – juga teman baikku – Michael Aris (1946-1999) – waktu ia menderita kanker prostat sampai meninggal tepat pada Hari Ulang Tahun ke-53 pada 27 Maret 1999!

Ini pejuang demokrasi yang mengumumkan bahwa perjuangannya adalah “perang kemerdekaan kedua” (Burma’s Second Struggle for Independence), yang pertama melawan kolonialis Inggris, yang kedua melawan tentara Myanmar! Ialah putri pendiri Myanmar, Bogyoke (Jenderal) Aung San (1915-1947), yang sempat membuat perjanjian Panglong (12 Februari 1947) yang dirayakan setiap tahun sebagai Union Day – Hari Berserikatan Myanmar. Hari itu tiga minoritas terkemuka Myanmar (Shan, Kachin dan Chin) diberi janji oleh pemerintah bahwa mereka akan meraih  “otonomi daerah penuh dalam administrasi intern sebagai daerah perbatasan” dan serangkaian ‘state’ (pemerintah daerah yang otonom) direncanakan akan disahkan oleh Konstituante (Constitutional Assembly).

Sejak mendirikan partai pro-demokrasi, National League for Democracy (NLD), pada 27 September 1988, Daw Suu menjadi searah dengan mantan Perdana Menteri U Nu (1907-1995; menjabat, 1948-1956/1957-58/1960-1962), pendiri League for Democracy and Peace (LDP), yang telah mengumumkan pada tahun 1948 – tahun kelahiran saya di Yangon (30 April) – bahwa Rohingya mempunyai hak penuh sebagai warga Myanmar dan bisa meraih otonomi daerah sama seperti etnis lain dalam Perserikatan Myanmar (Union of Burma). Demi menjaga bahwa daerah Myanmar yang dihuni mayoritas Islam selalu diwakili di Dewan Perwakilan Rakyat – sang perdana Menteri, yang terkenal seorang Budhis saleh, mengharuskan bahwa selalu ada paling sedikit dua anggota Muslim di Parlemen Myanmar. Kebijakan politik yang tercerah ini bertahan sampai Maret 1962 waktu terjadi coup d’etat oleh Jenderal Ne Win (menjabat 1962-1987) dan sebuah resim fasis militer mulai menindas semua minoritas di Myanmar, sampai Rohingya dan warga Myanmar Muslim yang lainnya dicabut kewarganegaraannya pada 1982!

Kalau perjuangan kedua Myanmar yang dipimpin Daw Suu adalah melawan tentara Myanmar yang bengis itu mengapa ia sekarang bisa sejoli dengan  jenderal-jenderal?  Apalagi, mengapa ia bisa membiarkan genosida di Rakhine yang dilancarkan dengan operasi bumi-hangus dan pembantaian besar-besaran sesudah 25 Agustus 2017 sebagai tindak balik kepada serangan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)? Menurut laporan PBB operasi ini telah mengakibatkan lebih dari 7.000 anak dipaksa menyaksikan orang tua disembelih di muka mata mereka, 17.000 lebih perempuan diperkosa saling bergantian (gang rape), 34.000 warga dilempar ke api puing-puing rumahnya dan 750.000 terpaksa melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazaar di Bangladesh.

Kejahatan ini mirip yang dilakukan pemerintah Turki Ottoman pada bangsa Armenia pada Perang Dunia pertama  (1914-1918) waktu selama dua tahun (1915-1917) 1.5 juta warga minoritas imperium Ottoman dibantai secara sistematis oleh tentara Turki. Layak benar dijuluk genosida oleh komisi khusus PBB – yang salah satu anggota adalah mantan jaksa agung Indonesia, Marzuki Darusman (menjabat 1999-2001). Layak benar juga bahwa mantan Komisaris Tinggi (High Commissioner) Komisi Hak Azasi Manusia PBB, Pangeran Zeid bin Ra’ad al-Hussein (menjabat 2014-2018), seorang diplomat kawakan Jordania, mengarisbawahi bahwa Daw Suu juga terlibat dalam genosida tersebut berkat statusnya sebagai kepala pemerintah sipil Myanmar. Dan tanggung jawab tidak behenti di sana, menurut Sang Komisaris Tinggi, sebab ada tindakan kejahatan pribadi dari pihak Daw Suu yang telah menggelapkan secara sistematis bukti pemerintah yang terkait genosida dan membiarkan ‘hate speech’ disebarkan di medsos dan internet tentang partai NLD, yang nota bene sekarang menjadi partai yang tidak ada satu pun perwakilan bangsa Muslim Myanmar di barisnya.  Betapa beda situasi di bawah Perdana Menteri U Nu pra-1962!

Tugas seorang Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, dengan status sebagai pemimpin bangsa dan pemenang Hadiah Nobel (1991) adalah memberi teladan kepada bangsa.  Seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), yang selalu konsisten dalam perjuangan untuk persahabatan Hindu-Muslim dan hak dalit (orang yang di luar kasta) sehingga ia dengan senang hati mengumumkan akan menggulung bendera dan mengungsi ke pegunungan Himalaya kalau tidak ada warga yang mau mengindahkannya! Kalau contoh Gandhi terlalu tinggi bagi Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, paling minim yang bisa dilakukan sang pemenang Hadiah Nobel Myanmar adalah untuk mengundurkan diri dari pemerintah dan kembali kepada tahanan rumah. Dengan demikian dia akan menjadi sebuah mercusuar (moral example) untuk bangsa.

Tapi kenyataan tidak demikian! Mengapa?

**

Kalau saya bisa panggil Daw Suu dan secara “ghaib” menatap muka dengan dia – apa yang kita bisa sharing? Dari pihak Daw Suu pasti dia akan bilang – “Tapi kamu, Peter, tidak pernah kenal saya dengan sesungguhnya! Saya bukan seorang Jeanne d’Arc versi Myanmar, atau seorang Mahatma Gandhi, Mandela, Martin Luther King atau pun seorang Gus Dur yang membela hak minoritas di negaramu pada zaman Reformasi! Saya sama sekali tidak hidup di cakrawala besar itu. Dunia saya kecil dan sangat terbatas! Bukan pejuang hak azasi manusia atau pemimpin moral dunia, cakrawala saya adalah Birma Budhis (Burman Buddhist)! Yang lain saya sama sekali tidak peduli! Saya boleh dikatakan “katak di bawah tempurung” versi Birma! Isu refoulement (bergeser kembali ke luar negara) orang-orang Benggala yang telah datang ke negaraku akibat kebijakan bangsamu, Inggris, pada zaman kolonial (1826-1948), menurutku layak! Dan gembar-gembor pembantaian massal oleh PBB, Amnesty Internasional dan Human Rights Watch itulah hoax news doang! Dua negara yang penting bagi kita (orang Myanmar) sekarang adalah India dan Tiongkok!

Yang lain kita tidak peduli – apalagi negara tetangga ASEAN beragama mayoritas Islam seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka sama sekali tidak penting bagi kita! Saya tidak heran sama sekali bahwa Mas Peter berhadapan dengan tamu bersenjata di toko – itulah ciri khas negaramu baru-baru ini! Dan ingat benar, Peter, saya anak tangsi! Bapak saya adalah seorang jenderal yang dengan tangan dingin pernah membunuh seorang kepala desa berkebangsaan India waktu Burma Independence Army (BIA) masuk Myanmar dengan tentara kekaisaran Jepang pada bulan Februari-Maret 1942 dan lempar mayat ke kandang babi! Jadi insting saya adalah nasionalis Birma! Pun saya masih mewakili dapil yang sama dengan ayahku di parlemen Myanmar (Pyithu Hluttaw)– kacang ora ninggal lanjaran!

Dan jawaban saya?

“Daw Suu, setiap pagi saya bangun jam lima pagi untuk merenung sejam dan melatih meditasi. Setiap pagi saya memakai selimut Chin yang kamu telah memberi kepada saya waktu saya berkunjung ke rumahmu di Yangon pada 19 Juni 1996 untuk merayakan HUT ke-61 anda. Bagi saya, apa yang terjadi adalah kenyataan yang tidak akan merobah memori dari persahabatan kita berdua pada tahun-tahun penuh harapan di Oxford. Ini romantisisme-ku!

“Tapi dari sisi lain saya merasa anda telah memilih jalan yang serba salah! Dengan sengaja anda telah memberi pelindungan dan justifikasi untuk tindakan kejahatan tentaramu yang sama sekali tidak bisa diterima. Keselamatan dari begitu banyak orang ada di tanganmu dan anda telah menyia-nyiakan mereka. Alih-alih memberi pelindungan, anda dengan aktif telah menolong pihak militer dengan tindakan yang iblis itu. Semua keluhuran moralmu sudah menjadi berkeping-keping! Sirna seperti salju di siang  bolong! Dan ingatlah, walaupun anda dan sekutu anda di Tatmadaw (tentara Myanmar) mengakui mau melindungi Perserikatan Myanmar dan kedaulatan negaramu dari wong liyan, pada kenyataan tindakan anda telah merugikan negaramu dan menyerahkan Myanmar terikat kaki dan tangan kepada Tiongkok. Dari sekarang, Beijing akan menjadi pelindung utamamu! Dalam waktu singkat anda akan mengalami nasib sama dengan negara-negara Baltik di zaman Uni Soviet (1922-1991), dan negaramu akan menjadi jaringan kecil dalam proyek “One Belt, One Road” Tiongkok. Semua kedaulatanmu akan hilang! Inilah karmamu. Yang menyebar angin akan menuai topan! Adieu!”