Sekolah
“Jika, untuk sampai ke langit ada tangganya. Mungkinkah aku yang pincang bisa melaluinya ….?”
Aku Nirmala, sekat-sekat keluguan yang tercampak karena kuasa takdir dan ketidakinginan semesta kecilku atas kehadiran diri yang tak sempurna. Tapi tidakkah kita sepakat bahwa tidak ada manusia biasa yang diciptakan dengan sempurna? Dengan kuasa-Nya kita memang diciptakan berbeda, diberkahi dengan anugerah yang tak sama. Mungkin agar kita saling menjaga keselarasan antar makhluk di dunia, memaknai perbedaan sebagai perekat kerukunan di atas kata beda. Dan sebagaimana artinya, nirmala boleh kau maknai suci, bersih, tidak bernoda ataupun tanpa cela. Tapi aku nirmala yang lain. Di dunia ini, namaku hanya sebait do’a yang berharap dikabulkan, karena nyatanya aku penuh cela, aku dianggap orang tuaku sebagai kutukan. Aku terlahir cacat.
***
Selepas lulus Madrasah Tsanawiyah, aku tak melanjutkan pendidikan formal lagi. Alasan biaya dan orang tua yang tidak mendukung membuatku membesarkan hati. Semula aku memiliki semangat tak terbendung, aku punya cita-cita tinggi sebagai seorang dokter yang dermawan. Namun pada gilirannya orang di sekeliling mulai berhitung untung-rugi bahwa tak ada formasi pekerjaaan layak untuk seorang cacat sekalipun ia cerdas dan berpendidikan tinggi. Aku memaklumi ucapan semua tetangga, terlebih orang tua yang sejak semula tidak bisa menerima keadaanku. Aku selalu disalahkan sebagai anak yang tidak membawa keberuntungan bagi keluarga.
Aku memaklumi ucapan semua tetangga, terlebih orang tua yang sejak semula tidak bisa menerima keadaanku.
“Besuk sambil nunggu ijazahmu keluar, kamu bantu ibu jualan di kantin madrasah. Biar lusa-lusanya saat ibu tidak bisa bekerja, kamu tidak perlu diajari lagi. Sudah tidak perlu berpikir Sekolah lagi, La. Ujung–ujungnya juga cari kerja, memenuhi kebutuhan ekonomi,” ucap Ibu sambil menaruh sayur di meja untuk dagangan besuk.
Aku menangis. Terjerembab dalam kalut. Ingin aku melawan tapi tak ada alasan kecuali sesuatu yang menunjukkan keinginan. Ku lihat ibu pergi setelah berkata-kata. Sementara aku terdiam, sesekali mengusap air mata, membiarkan kesibukan menggulung waktu hingga aku lupa pernah menginginkan sesuatu yang tak aku mampu.
Ucapan ibu adalah bahasa lain karena ia tidak berhasil membujuk bapak. Bapak yang memiliki tingkat pendidikan minim sejak awal tidak setuju aku disekolahkan tinggi. Di keseharian, orang yang cacat baginya hanya buang uang dan tenaga jika disekolahkan. Lebih baik waktunya digunakan untuk bekerja, membantu kesibukan orang tua. Hal yang sejak awal diperlihatkan, bahwa mempunyai anak cacat adalah aib yang tak lekas pudar. Itulah sebabnya ia sering cari hiburan di luar, mengesampingkan ibu yang tidak memberinya keturunan yang ia dambakan. Mungkin karena bapak tidak pernah membuka wawasan pada dunia yang luas, ia hanya menggunakan paketan internet untuk mendengar lelucon absurd yang nir-faedah. Andai dia tahu, di luar sana banyak pemikir besar yang semula dinilai memiliki kekurangan, banyak tenaga ahli yang memiliki fisik sepertiku tapi ia berprestasi dan membawa kemanfaatan pada dunia yang luas. Tapi biarlah.
Menurut cerita tetangga, sejak dua puluh tiga tahun lalu aku sering menjadi alasan pertengkaran keluarga. Alasannya karena aku tidak diinginkannya. Aku memang tidak jadi dibuang atau dibunuh, tapi ketidakikhlasan menerima kehadiranku secara utuh lebih menyakitkan di hari hari yang lewat. Bapak abai dengan pertumbuhanku, ia lupa tanggung jawab sebagai orangtua yang diamanahi anak sebagai karunia Tuhan. Aku hanya tidak memiliki organ tubuh sesempurna milik bapakku, tapi kelima indera ku bekerja dengan normal. Saat aku dikucilan dengan kata-kata atau perlakuan dengan sikap yang berbeda, aku merasakan sakit hati.
Aku hanya tidak memiliki organ tubuh sesempurna milik bapakku, tapi kelima indera ku bekerja dengan normal. Saat aku dikucilan dengan kata-kata atau perlakuan dengan sikap yang berbeda, aku merasakan sakit hati.
Dalam kesadaran utuh, aku mengakui bahwa aku tak sempurna, tapi objektifikasi atas kebertubuhanku oleh orang lain terus mereduksi kemanusiaanku yang hanya dinilainya setengah. Iya, aku dianggapnya manusia, tapi dengan catatan sebagai manusia yang tak sempurna. Bapak tak sendiri, banyak orang di sekelilingku memperlakukanku demikian. Orang-orang ini lupa bahwa merundung keterciptaan makhluk artinya ia ingkar dengan kuasa Tuhan sebagai pencipta. Lagipula apa dosa aku yang terlahir cacat? bukankah sebagai orangtua atau manusia lain harusnya ia ikhlas dalam menerima keberagaman? Mengapa manusia menerima hal indah tapi ia lupa bahwa sesuatu yang menurutnya buruk adalah keindahan lain yang tak bisa ia nikmati? Sekali waktu aku disuruh-suruh oleh bapakku atau oleh tetangga, tapi dalam waktu yang sama aku diperlakukan sebagai yang lain dalam pandangannya.
***
Saat kecil, kecemasan atas perundungan membuat aku berpikir apa menariknya hidup dengan kekurangan. Nyatanya tak pernah sekalipun aku meminta terlahir seperti ini, pun demikian bukan sesuatu yang tidak pernah aku syukuri. Semacam ketidakberdayaanku melawan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang, mereka yang dianugerahi keistimewaan lain tapi menempatkan perbedaan sebagai ketidakadaan atas kebernilaian. Maka sungguh, aku saat menginjak remaja memilih mati tanpa harus terlahir ke dalam dunia.
Seperti hari-hari di mana aku dipaksa keadaan untuk dewasa sedini mungkin. Sejak setingkat sekolah dasar, aku pernah mengutuk diri karena fisik yang aku miliki, seluruh teman seperti memiliki kata sepakat bahwa aku memang berbeda. Saat lomba baris berbaris, aku tidak pernah berkesempatan mengikuti, atau dalam hal pertunjukan menari aku selalu menarik diri. Aku pada gilirannya hanya menjadi penonton setia, entah di dalam kelas saat yang lain berlatih atau juga menjadi penonton saat yang lain sedang pertunjukan. Aku yang takjub, diam-diam menangis.
“Jika, untuk sampai ke langit ada tangganya. Mungkinkah aku yang pincang bisa melaluinya Bu? Apakah aku bisa sampai ke sana?” Ungkapku di serambi depan saat Bu Nina wali kelas enam hadir menjenguk dan membujukku untuk sekolah lagi. Ucapan ngelantur di atas keputusasaan seorang anak usia sekolah.
“Untuk mencapai langit tentu ada tangganya, La. Tapi bukan tangga biasa. Bukan kaki yang hanya bisa berjalan atau menapaki jalanan beraspal, tapi langkah dan arah menuju kebaikan. Bukan tangan lengkap yang bisa dipakai memegang tangga, ia adalah uluran kasih yang selalu berbelas terhadap sesama,” ucap Bu Nina di saat aku menangis. Tangis anak-anak yang merasa terkucil.
“Untuk mencapai langit tentu ada tangganya, La. Tapi bukan tangga biasa…”
Aku tak mengerti kenapa Bu Nina saat itu tidak menjawab dengan jawaban umum, seperti halnya untuk mencapai langit orang bisa naik pesawat atau naik helikopter dengan membeli tiket. Tapi karena jawaban itulah aku selalu semangat berangkat sekolah, bahkan lebih. Aku bersemangat berbuat kebaikan.
Benar saja, setelah tamat Madrasah Tsanawiyah aku membantu ibu di kantin madrasah. Awalnya aku merasa berat hati, lingkungan madrasah membuatku mengulang suasana bersekolah. Namun berlalunya waktu, membuat aku percaya dalam satu titik kita hanya bisa menerima. Lalu untuk keperluan dagangan kantin aku memilih menggeluti kegeramanku memasak. Sela-sela waktu yang santai, sesekali aku pakai untuk membaca buku yang aku pinjam dari kawan atau murid-murid yang sering bolos sekolah yang memilih makan di kantin. Lewat membaca inilah, aku mendapat banyak wawasan terlebih untuk mengingat pelajaran yang tidak dapat aku jalani. Salah satu kegemaran yang kerap dimiliki para orang yang gemar menyendiri, terpuruk dan setia.
***
Hari ini, aku tertunduk sedih, wajahku yang semula ceria karena bisa hadir dalam acara umum kini memerah karena terbawa emosi. Entah karena aku lemah atau aku yang tersentuh situasi, yang pasti aku menangis. Mataku sedari awal khidmad memperhatikan mahasiswa KKN itu bicara di muka, kini suaranya memekik menjadi muara tangis atas air mata yang tumpah dengan derasnya.
“Selain bertawakal dan berdo’a, kita harus berusaha agar kita bisa sukses Bapak-Ibu sekalian. Jangan menjadikan kekurangan sebagai halangan untuk berbuat amal dan meningkatkan kesejahteraan. Yang berbakat memasak bisa menjadi pengusaha catering, yang mengerti ilmu saraf tubuh bisa jadi tukang pijat profesional, atau mungkin kesempatan lain yang menunjang karier di keseharian. Maka seminar kewirausahaan ini hadir dengan maksud meningkatkan keterampilan di bidang usaha, serta menjadi media bersama dalam bekerja sama antar masyarakat terlebih karena sumberdaya alam di sini melimpah,” ucap salah satu mahasiswa berjas almamater warna hijau yang berdiri di muka.
Balai Desa pagi ini tidak hanya dihadiri oleh masyarakat dengan kondisi sepertiku. Pagi ini ruangan menjadi demikian majemuk oleh orang-orang, undangan dipenuhi dari elemen masyarakat, mulai dari ketua lembaga desa, tokoh masyarakat, perwakilan perempuan, sampai masyarakat disabilitas yang memiliki usaha rumahan. Kesempatan memperoleh hak bagi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali seolah mendorong penghormatan atas segala unsur tak terkecuali masyarakat diskriminasi karena keterbatasan yang dimiliki.
Sejak mahasiswa itu berbicara, aku mendengarkannya dengan seksama. Aku tak peduli dengan wirausaha yang katanya bisa menopang kesejahteraan ekonomi keluarga. Tanpa dia bicara aku telah selesai menjadi perempuan pekerja dengan jualan di kantin madrasah. Aku hanya terkesima tentang caranya memaknai kesadaran akan penghormatan hidup, sebuah keselarasan untuk menjunjung perbedaan sebagai kerukunan. Ia mengajak setiap yang ada di ruangan untuk senantiasa merangkul kekurangan dan penghormatan atas kemanusiaan. Kami dianggap memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Kata-kata yang lama tidak aku dengar semenjak Bu Nina pindah mengajar beberapa tahun silam.
Tangisku pecah, seorang teman yang ada di sampingku lalu memberiku tisu, ia juga menepuk pundakku. Aku merasa itu seolah ungkapan untuk bersabar. Kesabaran yang mungkin ia mengerti tanpa ia perlu bertanya aku mengapa. Ia tetanggaku, tukang cukur di kampung yang seorang bisu. Air mataku tumpah tersebab mengingat orang tuaku yang sampai sekarang sulit menerima keadaanku. Aku yang seharusnya diterima sebagai buah cinta yang dianugerahkan dan seharusnya dirawat dengan kasih atas rasa syukur kepada Tuhan.
Aku juga beruntung diberi waktu mengecap surga-neraka nyata bernama dunia dengan seambrek realitas munafiknya, sekalipun aku tahu; aku hanya liyan lain yang tersisih dari perhitungan untung rugi kehidupan.
Kini, di usia dua empat, seiring dengan pengalaman dan lingkar pertemanan yang beragam, aku bersyukur menjalani dharmaku di dunia. Aku juga beruntung diberi waktu mengecap surga-neraka nyata bernama dunia dengan seambrek realitas munafiknya, sekalipun aku tahu; aku hanya liyan lain yang tersisih dari perhitungan untung rugi kehidupan. Sebuah kasta rendah tak hanya membuatku nisbi, aku juga terbuang jauh karena hadir ke dunia dengan ketidakbermaknaan bagi sekeliling. Tapi aku merasa tidak ada kesia-siaan dalam alasan keterciptaan. Dan setiap manusia punya dharmanya masing-masing di dunia. Tuhan adil dengan caranya, barangkali ini adalah jalan yang harus aku lalui untuk mencapai kemuliaanku sebagai manusia, dan menghadapi ketidakramahan sebagian ujianku dalam hal kesabaran. []/ Ty//
Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.
Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.
Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.
Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )
Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.
Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.
Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.
Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.
Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”
Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )
Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.
Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.
Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.
Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.
Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.