Soemarsam
Suatu malam, aku masih bertahan di sebuah lobi hotel di Solo. Sebenarnya acara yang kuikuti sudah selesai. Aku hanya perlu memanggil ojek dan pulang ke kos. Tapi hujan menahanku untuk beranjak dari kursi empuk yang kududuki. Tentu saja aku bisa memanggil taksi kalau tidak ingin kehujanan, tapi aku lebih memilih kebetheng, terjebak hujan. Selain itu, aku masih ingin menikmati permainan rebab dan gender oleh dua orang pengrawit di depanku. Permainan rebab gendernya sungguh benar-benar menghipnotis telinga siapapun yang ada di situ. Rebab itu dimainkan oleh seorang gadis yang kutaksir usianya lebih muda di bawahku beberapa tahun, sedangkan gendernya dimainkan oleh seorang laki-laki yang sepertinya seusia bapakku. Aku tidak tahu gending apa yang mereka mainkan. Permainan berakhir ketika langit juga sudah selesai menuntaskan hajatnya. Sebelum pulang, aku memberanikan diri untuk bertanya pada bapak pemain gender, tadi gending apa yang dimainkannya.
“Asmarandana Madenda,” jawab bapak itu sambil tersenyum. Aku mengucap terima kasih dan beranjak pergi tanpa paham apa maksud gending itu.
***
“Itu satu rangkaian judul gending. Asmaradana itu judulnya, Mbak. Madenda itu larasnya. Madenda itu salah satu jenis slendro miring, Mbak, alias minir,” dahiku berkerut karena tidak mengerti apa yang diomongkan Leny, temanku anak ISI, ketika aku bertanya Asmarandana Madenda itu nama gending atau apa.
Leny masih melanjutkan penjelasannya “Sebenarnya pengertian gending itu ada dua, Mbak. Gending dalam arti umum untuk menyebut lagu dalam karawitan Jawa, dan gending dalam arti khusus yang merupakan salah satu bentuk lagu dalam karawitan Jawa. Kalau Asmarandana Madenda itu bentuknya ladrang, Mbak. Mangga menyebutnya mau gending Asmarandana atau ladrang Asmarandana,”
Aku bertambah bingung, karena tidak paham ladrang itu apa. Haha.
“Itu berkaitan dengan jumlah ketukan nada per gongnya, Mbak. Tabuhan beberapa instrumen yang disebut struktural. Sebut saja ladrang Asmarandana Madenda, Mbak,”
Tetap saja aku kurang bisa membayangkan apa yang dijelaskan oleh Leny. Tapi untuk orang awam, penyebutan gending sudah benar katanya. Entahlah aku memang buta musik. Aku hanya penikmat saja.
Tentang Gamelan, aku hanya sebatas tahu nama-nama instrumennya. Mana gender, mana bonang, mana kenong, demung, rebab, dan sebagainya. Sebatas itu saja, sebatas penikmat, tidak tahu cara memainkannya.
Suatu hari aku dan beberapa teman dari Buletin Sastra Pawon berkesempatan sowan ke rumah Mbah Kris alias Bu Pringgo alias Bu Sum alias Drigul. Beliau adalah salah satu pengrawit perempuan sepuh yang masih aktif menabuh gender. Tentang gender ini sebelumnya aku sudah pernah ngobrol dengan Diki, mahasiswa ISI yang juga seorang pengrawit aktif, siang itu dia ikut menemaniku ngobrol dengan Mbah Kris.
Mbah Kris perempuan yang rock n roll. Entah sudah berapa kali aku kena semprot beliau. Haha. Sambil merokok beliau menceritakan suka duka menjadi pengrawit, terutama penabuh gender. Kami juga ditemani oleh Pak Lumbini, putra Mbah Kris yang juga seorang pengrawit. Dari cerita beliau aku tahu bahwa beliau adalah orang bebas, tidak mau terikat oleh sanggar. Siapa yang membutuhkan beliau, ayo saja. Dalang-dalang kondang hampir sudah pernah beliau ikuti pentasnya. Sebut saja Ki Manteb Soedarsono atau Ki Purbo Asmoro, semua sudah pernah merasakan diiringi genderannya Mbah Kris.
Keluarga Mbah Kris adalah keluarga seniman. Ayahnya seorang dalang. Beliau belajar gender secara otodidak, seperti mendapat wahyu. Kisah beliau yang mengilhami diriku untuk menulis cerita pendek berjudul “Perempuan Penabuh Gender”, salah satu cerpen dalam antologi “Tabuh Tak Tabu” sebagai rangkaian acara dari International Gamelan Festival (IGF) Solo, 9-16 Agustus 2018 lalu. Dalam cerpen itu aku menceritakan tiga perempuan beda generasi yang berkelindan dengan gamelan, wayang, kesedihan dan pengkhianatan.
***
Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama
Dari Diki, aku banyak mendapat hal menarik tentang gamelan. Diki adalah spesialis penabuh gender. Kadangkala juga menggesek rebab atau menabuh kendang. Kata Diki, gender adalah instrumen yang sulit. Biasanya seorang penggender bisa memainkan instrumen lainnya, tapi belum tentu pengrawit yang lain bisa menabuh gender. Karena itu penabuh gender harus selalu siap siaga di depan gendernya sampai pementasan wayang tancep kayon, karena belum tentu ada yang bisa menggantikannya nabuh.
“Memangnya nggak bisa izin ke belakang gitu, Dik?” tanyaku polos.
“Lha yen dhalang lagi sulukan piye, Mbak?” jawab Diki sambil tertawa. “Biasanya aku kalau pentas nggak terlalu resmi, aku pilih pakai sarung, tidak lupa membawa botol, jadi nek kebelet ya tinggal diwadahi saja, Mbak. Buang aja di kolong panggung, paling sesuk sing mbongkar ya misuh-misuh,” cara bercerita Diki yang lucu itu sampai membuatku keselek waktu minum.
Dari Diki juga aku tahu bahwa ada julukan untuk gender, yaitu pamangku gendhing. penggender harus hafal vokal, balungan gending. Bisa juga dikatakan sebagai “pasangan” dalang. Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh gender atau penabuhnya, aku jadi paham kenapa Mbah Kris memilih menjadi penggender. Gender itu istimewa, menjadi penggender, apalagi perempuan, tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi beliau, mungkin saja begitu.
Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama, Aku belum banyak ngobrol tentang kendang dengan Diki. Aku langsung tanya tentang rebab. Ternyata rebab pun punya julukan, yaitu pamangku lagu. Pamangku lagu ini maksudnya yang mengatur irama, yang membuat laya. Laya itu dinamika atau keras lirih dan tebal tipisnya tabuhan. Jadi tugas pamangku lagu adalah mengatur dinamika agar karakter gending yang diinginkan bisa muncul. Bisa juga dikatakan kalau rebab adalah “pasangan” sinden.
“Kapan nanti tak ajak ke tempat guruku, Mbak. Kita ngobrol-ngobrol tentang rebab, ya,” ajak Diki yang langsung kuiyakan tanpa ragu.
***
Aku memandang laki-laki di hadapanku itu. Sorot matanya tajam, bibir hitamnya menyunggingkan senyum yang manis. Dia menyalamiku.
“Subroto,” katanya memperkenalkan diri.
Wajah Pak Broto ini tidak asing, batinku. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku berjumpa beliau. Oh iya, sepertinya beliau adalah orang yang kutemui di lobi hotel beberapa saat yang lalu.
“Pak Broto, sepertinya saya pernah berjumpa jenengan, di suatu lobi hotel di Solo?” tanyaku meyakinkan.
“Oh nggih napa, Mbak? Ndak keingat saya, hehe,”
“Oh nggih, benar, Pak. Saya pernah tanya gending apa yang bapak mainkan, kata jenengan, yang jenengan mainkan itu Asmarandana Madenda. Waktu itu jenengan menabuh gender dan yang main rebab seorang gadis cantik,”
“Oh itu anak saya, Mbak. Sekar. Sekar itu temennya Diki pas sekolah di SMKI.”
Tak lama yang dipanggil Sekar muncul, menghidangkan minuman dan menyalami kami dengan ramah. Aku membatin, Pak Broto memberi nama anaknya dengan Sekar, sekar tidak hanya berarti bunga, tapi juga tembang. Ah dasar pengrawit.
Lalu kami ngobrol banyak hal tentang gamelan. Diki bercerita kalau genderannya banyak dipengaruhi oleh genderan Pak Broto. Tawa pun tak terhindarkan ketika menyinggung hal-hal yang lucu. Ternyata dulu Diki belajar rebab dari Sekar, dan sering kena omelannya.
“Lha Diki kuwi nggesek rebab jan ora nganggo perasaan kok, Mbak, grag greg kaya lawang sing engsele amoh,” cerita sekar. Katanya Diki kalau main rebab tanpa perasaan, seperti bunyi pintu yang engselnya rusak. Diki hanya tertawa mengingat masa lalunya.
Pak Broto dan Sekar bergantian menjelaskanku tentang rebab dari yang paling dasar. Mereka sungguh sabar menjelaskan padaku, seseorang yang buta musik ini.
“Ini yang namanya rebab, Mbak. Ricikan rebab ini bisa berbunyi bila digesek menggunakan senggreng.” Kata Pak Broto sembari menunjukan ricikan yang dimaksud.*
“Itu yang memberi jarak antara senar yang berwarna kuning dengan dengan membran berwarna putih itu apa, Pak?” tanyaku penasaran*
“Oh, itu namanya srenten, Mbak. Sengaja dipasang tidak di bagian bawah dari badan rebab dan tidak ditengah-tengah. Srenten dipasang berjarak dua jari dari atas, Mbak,” ucap Pak Broto kepadaku.*
Sekar mengajariku cara memegang rebab, mengakrabinya dulu.
“Rebab itu gambaran dari rasa kasih sayang, Mbak. Nggak bisa rebab itu dimainkan keras seperti ricikan-ricikan gamelan yang lain,” jelas Sekar kepadaku.*
Diki tertawa ketika aku mencoba menggesek rebab. Memang sungguh seperti membuka pintu yang engselnya sudah rusak dengan paksaan.
Bermain rebab itu harus dengan cinta kasih, sabar, dan telaten. Rebab itu gambaran dari pemainnya, begitu kata Sekar. Dalam setiap pidakan dan setiap gesekan senggreng merupakan gambaran dari sifat dan watak pemainnya.
Aku ingat kata-kata Diki dulu bahwa ricikan rebab itu bukan hanya sebagai alat yang bisa menghasilkan bunyi. Ricikan rebab sejatinya adalah gambaran sifat manusia yang nyata.
”Kalau kamu ingin cepat bisa mengakrabi ricikan ini, kamu harus belajar sabar, telaten, dan dan buang sifat egoismu. Yang paling penting, salurkan rasa cinta, kasih, kelembutan dan kedamaian di setiap gesekan senggreng dan pidakan tangan kirimu,” tutup Pak Broto siang itu. *
Ah begitulah. Semua memang butuh harmoni atau kesesuaian agar mendapatkan irama yang bagus. Tidak hanya dalam gamelan, tapi dalam lingkup yang lebih luas lagi, yaitu kehidupan.
***
*Dialog yang digambarkan Diki dalam cerpennya “Batok Kelapa dan Jari-Jari yang Manis.”
Solo, September 2018