Menu

Subsisten

Seekor kucing hitam yang tengah hamil besar melintas di bawah kursi-kursi tunggu Stasiun Tawang Semarang. Saya perhatikan ia berjalan berlenggak-lenggok agak kesusahan, tak menghiraukan rombongan manusia yang terdiri dari kepolisian dan tenaga medis yang tengah melakukan pengecekan corona (Covid-19) di area stasiun. Polisi tersebut berseragam lengkap dengan masker dan sarung tangan; tenaga medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD) warna putih menutupi semua bagian tubuh dan beberapa menenteng tabung gas disinfektan. Kucing hamil berbadan kurus itu berlalu tanpa saya sempat bertanya, “Cing, apakah kamu aman dari corona?” Rasa-rasanya yang menjawab hanya nada dari lagu Gambang Semarang, anthem stasiun yang sering saya dengar ketika kereta tiba dan berangkat.

Sebelum berada di Stasiun Tawang, saya melakukan perjalanan dari tempat tinggal saya di Jalan Dewi Sartika Barat menuju Tanah Mas, Semarang Utara, dalam misi yang agak lain: mencari alamat seseorang yang saya kagumi pemikirannya sejak dulu. Seseorang yang banyak mengubah pikiran saya memandang dunia. Saya naik Trans Semarang dari Halte Dewi Sartika menuju Halte Pengampon yang di depannya ada Pasar Ikan. Di dalam bus warna merah itu kursi penumpang secara selang-seling diberi tanda silang hitam untuk memberi jarak antar satu penumpang dengan penumpang lain. Per bus hanya dibatasi 20 orang saja. Bandingkan ketika normal, Trans Semarang jurusan Unnes-Undip sering membludak bahkan penumpang sampai ditetel-tetel agar bisa masuk. Belum lagi pas jam pulang kerja dan pulang sekolah. Kali ini saya rasakan lengang, bahkan pernah saya jadi satu-satunya penumpang dalam bus sejuta umat andalan masyarakat Semarang itu.

Sial, saya turun kejauhan dari tujuan dan harus berjalan sepanjang lebih dari tiga kilo dalam kondisi mengganti puasa Ramadhan kemarin. Baiklah tak apa-apa. Selama berjalan melewati Kota Lama, ada perbedaan mencolok yang saya rasakan: udara yang saya hirup rasanya lebih segar lewat hidung menuju paru-paru. Kota Lama yang ketika weekend juga ramai saat itu sangat lengang, di jalan-jalan banyak orang yang saya temui menggunakan masker. Beberapa titik, toko, swalayan, dan rumah makan di depannya tersedia peralatan membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Saya betul-betul menikmati perjalanan itu meski agak panas dan haus.

Saya melewati Benteng Takesi yang tak terurus dan mungkin telah jadi rumah hantu, memperhatikan dua kapal penyeberang sederhana di sebuah kanal di area Pasar Boom Lama, melewati perumahan-perumahan di Jalan Bandarhardjo yang tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Mas. Siang itu saya seperti benar-benar merasakan hidup, setelah kurang lebih 2 minggu melakukan karantina mandiri—pusing juga di ruangan terus. Sedangkan koordinasi kerja beralih daring menggunakan aplikasi Trello. Di jalan saya mendengar orang-orang di pinggiran juga banyak membicarakan tentang corona. Dari selentingan jualan yang sepi, efek corona yang bahaya bagi orang yang menderita penyakit komplikasi, hingga anak-anak sekolah yang masih bisa teriak-teriak dengan temannya ketika bermain. Saya memang hanya mendengar selintas, tapi entah kenapa cerita-cerita itu begitu membekas.

Bagi para-para orang pinggiran yang saya temui sepanjang jalan itu, terutama bagi para tukang becak, penjual makanan keliling, penjual es lilin menggunakan sepeda, tukang tambal ban, dan orang-orang yang ekonominya Subsisten mereka seperti tak ambil pusing dengan isu corona. Ekonomi untuk bisa hidup lebih penting meski harus menggadaikan diri terpapar virus yang siap mengintai setiap waktu.  Akhirnya, tujuan saya sampai. Saya menemukan rumah orang itu. Saya cukup marem dengan hanya melihat wujudnya saja. Tujuan saya datang hanya ingin tahu di lingkungan seperti apa si pemikir itu tinggal. Setelah menemukan rumah yang bersahaja itu sekilas, saya pulang dalam keadaan senang—dan itu lebih dari cukup. Setidaknya saya telah mengamalkan dua dari enam ajaran Ali bin Abi Thalib tentang menuntut ilmu: kesungguhan dan dekat dengan guru.

“…orang-orang yang ekonominya subsisten, mereka seperti tak ambil pusing dengan isu corona.”

Sebelum pulang saya menyempatkan berjalan-jalan ke Kota Lama lagi.  Landmark Semarang satu ini rasa-rasanya dari awalnya pasar malam saat ini lebih mirip necropolis (kota mati). Banyak gedung-gedung, wisata sejarah, dan café yang tutup sementara. Sebut saja dari pusat Taman Sri Gunting, Gereja Blenduk, Gedung Marba, Spiegel Café, Galeri UMKM, Gedung Monodhuis, Semarang Contemporary Art Gallery, dan lain-lain pada tutup. Kota Lama mendadak sepi. Keadaan kota jadi lumpuh untuk sementara. Seorang Bapak pemilik galeri barang antik terlihat hanya menunggu pengunjung yang entah kapan datangnya. Dua orang ibu yang bekerja sebagai tukang parkir di dekatnya juga nampak termenung menunggu motor bisa terparkir. Di sisi lain, ibu penjaga otoped dan sepeda listrik kesal mendapati seorang pengemis yang meminta-minta di tengah sepinya wisawatan untuk menyewa. “Aku juga susah, mikir otak mau pecah,” begitu selintas kalimat yang saya dengar, tapi pakai bahasa Jawa Semarangan.

Hal yang tak jauh berbeda saya temukan di area Simpang Lima. Masjid Baiturrahman ditutup untuk sementara, sedangkan mall legendaris Citra Land milik Ciputra Grup yang selalu ramah ketika hari Sabtu dan Minggu juga lockdown, nyaris seperti gedung tak bernyawa. Hal yang paling kelihatan pula adalah areal Pujasera. Pusat jajanan kuliner (street food) Semarang berada. Jika dalam kondisi normal Pujasera  ramai dengan hiasan lampu kelap-kelip dan warna-warni, di tengah pageblug corona jadi sangat sepi.

Kondisi yang sama pun terjadi di area Tugu Muda, wisata seperti Lawang Sewu ditutup. Sementara, institusi-intitusi pendidikan di Semarang baik yang negeri maupun yang swasta pun demikian. Seperti terjadi di UDINUS, selain meliburkan mahasiswanya untuk sementara waktu, Rektor Edi Noersasongko mengambil keputusan wisuda yang rencananya akan digelar pada Maret terpaksa ditunda hingga Agustus. Dari pantauan lewat kaca Trans Semarang, saya juga melihat kampus-kampus yang saya lewati secara berjejer-jejeran dari Unika Soegijapranata, Untag Semarang, Akademi Teknik Perkapalan, Universitas Ivet, dan STIP Farming sepi tak seperti biasanya. Dari teman yang masih kuliah di Undip dan Unnes pun kabarnya sama, ada imbauan untuk mengkarantina diri.

Akibat yang ditimbulkan corona pun tak main-main, khususnya dalam sektor ekonomi. Kebijakan seperti social distancing membuat warteg, kedai kopi, hingga pengusaha resto anjlok pendapatannya. Akhirnya sejumlah cara seperti take away (dibawa pulang) dan delivery (pengiriman) dilakukan. Beberapa juga memperpendek shift kerja jadi lebih awal, menyemprot disinfektan, dan memberi jarak meja setidaknya satu meter.

Kebijakan seperti social distancing membuat warteg, kedai kopi, hingga pengusaha resto anjlok pendapatannya.

Saya pun membaca-baca berita, Walikota Semarang Hendrar Prihadi atau Hendi lewat surat edaran nomor B/1395/440/III/2020 menyatajan Kota Semarang meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan virus corona. Semua pihak dari jajaran pemerintah, BUMN/BUMD, instansi pendidikan, hotel, mal, tempat ibadah, dan lain-lain untuk aktif melakukan pencegahan Covid-19. Langkah yang dilakukan yaitu dengan sosialisasi dan edukasi pencegahan virus corona, menunda kegiatan yang melibatkan banyak orang, membikin posko informasi terpadu, meliburkan sekolah, pembersihan fasilitas umum (BRT, mesin ATM, finger print, alat permainan), kapal-kapal tertentu seperti Viking Sun tak boleh bersandar, dan membentuk Satgas Covid-19. Hal yang sudah sepatutnya.

Dan kota paling sibuk di Jawa Tengah ini pun menolak statis di masa kritis. Roda ekonomi harus tetap berjalan meski kota mengancam. Terlebih para pekerja yang hidup dari jalan-jalan yang ramai itu.[]

Kursi-kursi di Kota Lama diberi tanda silang untuk mencegah penyebaran virus corona. (Dok. Penulis)

Sebagian besar kedai-kedai makanan legendaris di Kota Lama juga tutup selama waktu tertentu. Penjualan mengalami penurunan. (Dok. Penulis)

Di beberapa titik di Kota Lama disediakan alat mencuci tangan. (Dok. Penulis)