Menu

Surakarta

Belum lama ini diriku berkesempatan melakukan observasi di Gunungkidul untuk riset pribadi. Pagi hari aku diajak teman untuk menemani anak-anak SD jalan-jalan keliling desa. Musim kemarau, sejauh mata memandang hanya ada batu dan pohon yang meranggas, didukung alam Gunungkidul yang memang demikian.

Aku melihat rombongan di depan sedang berhenti di jembatan desa. Karena penasaran aku ikut nimbrung di keramaian. Seorang anak menangis karena botolnya jatuh ke sungai karena disenggol temannya. Ibu guru mengomeli karena jengkel peringatannya tidak diindahkan

“Sudah dibilangin toh. Kalau di jembatan jangan inguk-inguk, jatuh kan botolnya,” seru bu guru.

Ibu guru masih melanjutkan omelannya sambil memberi perintah pada anak yang menjatuhkan botol minuman temannya. Aku kaget. Sungai atau kali itu sungguh dalam, walaupun sedang kering.

“Sudahlah, Bu. ‘Kan Cuma botol, kasihan anaknya kok disuruh turun, apa tidak bahaya?” aku tidak tahan untuk tidak berkomentar.

“Ndak papa, Bu, anak sini biasa kok kalau cuma turun ke kali, wong biasanya kalau pas musim penghujan mereka biasa ciblon kok. Ah ini perkara yang rumit, Bu. Kalau botol itu cuma botol air mineral biasa, tak apalah, masalahnya ini botol merk TW, kalau nggak diambil nanti si anak bisa dibubur emaknya,” jelas bu guru dalam bahasa Jawa.

Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.

Aku geleng-geleng sambil menahan tawa karena teringat meme-meme tentang merk botol itu, tapi juga ngeri melihat anak yang turun ke kali. Aku jadi teringat dulu waktu kecil sempat menghanyutkan klenthing ke kali, seharian tidak berani pulang karena pasti diomeli simbah. Ah, kenangan itu tiba-tiba terdampar lagi setelah terhanyut sekian tahun.

 

Ingatan Masa Kanak dan Sungai

Dalam Konferensi Musim Sejagat, Setya dan Na’im menggambarkan sungai dengan segala masalahnya. Mau tidak mau, kenangan masa kecilku terpanggil lagi. Ketika teman-temanku anak metropolitan menanyakan tentang kampung halamanku, bayangan mereka selain sawah pasti akan ada sungai atau aku menyebutnya kali. Aku tahu pasti mereka membayangkan kali yang jernih, airnya dingin, dan banyak batu-batu besar seperti di Jenawi, Karanganyar, kampung halaman sahabatku. Ah, tentu saja mereka harus menghapus bayangan kali yang seperti itu. Kali di tempatku bukan jenis kali pegunungan macam itu. Kali yang airnya keruh dan akan mengering di musim kemarau. Ada dua jenis kali di tempatku. Kali kecil atau orang-orang di desaku menyebutnya “Kali Sin” dan kali besar yang namanya “Kali Lusi”. Di Kali Sin aku pernah mengambil air dengan jerigen lalu membawanya dengan bronjong dan mendorongnya di jalan yang menanjak. Waktu itu memang sumur bor belum berfungsi. Aku juga sering diajak ibu mencuci baju di Kali Lusi, bermain di dekat belik yang airnya jernih sambil ngobrol dengan pakdhe-pakdhe yang mengambil air di situ untuk dijadikan air minum. Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.

Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala.Mengko ana gundreng,” kata mereka.

Kali banyak disebut di karangan anak Sekolah Dasar, setidaknya itu yang pernah aku alami dulu. Berbeda dengan teman-temanku, kenanganku tentang kali tidak begitu menyenangkan. Haha. Teman-teman bisa menceritakan pengalamannya ciblon, ngguyang sapi, mengumpulkan tanaman kembang banyu, saling ledek kalau ada benda kuning mengambang (anak di tempatku menyebutnya semuning) atau menceritakan keseuran mereka bermain sepak bola di kali yang sedang mengering. Aku? Takut dengan banjir yang tiba-tiba datang ketika masih di tengah kali di saat menyeberang, takut dengan bayangan bambu yang kukira ular, takut dengan kelabang yang tiba-tiba masuk ke bajuku ketika berada di kali, dan takut terseret ke kedung yang dalam dan dimakan kalap (hantu air). Juga cerita tentang seorang guru Taman Kanak-Kanak yang ikut hanyut ke kali Lusi ketika jembatan yang dilewatinya tiba-tiba putus ketika beliau sedang perjalanan berangkat ke tempat mengajar, di TK yang sekarang menjadi tempat mengabdi ibuku. Ibu guru itu bernama Siti Aminah, jenazahnya ditemukan di Demak beberapa hari kemudian. Namanya diabadikan menjadi nama jembatan yang pernah putus tersebut. Jika kamu lewat jembatan di daerah Bandang, Wirosari, Grobogan, itulah jembatan Siti Aminah. Ingatanku tentang kali adalah semua hal yang menakutkan. Sampai sekarang aku masih takut air dan tidak bisa berenang. Payah.

Gambar: “Pohon Detektif” Karya Na’imatur Rofiqoh

Na’im dan Setya menyebut Kali Pepe di ceritanya “Kota Pepe” dan “Pohon Detektif”. Na’im mengimajinasikan sebagai sebuah kota air sedang Setya menyebutnya secara harfiah. Sepertinya Kali Pepe di kota Solo memang punya keterikatan emosional dengan mereka. Aku pernah ngonangi mereka melakukan aktivitas di bantaran Kali Pepe (semoga tidak salah). Beberapa teman aktivis juga pernah mengadakan acara dengan melibatkan anak-anak yang tinggal di pinggir Kali Pepe. Aku sendiri tidak terlalu memiliki kenangan dengan Kali Pepe kecuali ketika jalan-jalan dan melewati jembatan Arifin yang menghubungkan Widuran dan Kabalen. Kali Pepe seingatku hanya pernah kusebut dalam parikan-parikanku, sebatas untuk menyamakan rima.

 

Cerita yang Mengancam

Cerita anak seharusnya adalah cerita yang menyenangkan, walau mungkin di dalamnya menceritakan kesedihan, usahakan happy ending, berakhir bahagia. Aku pernah mendengar temanku, seorang penulis Cerita Anak bilang begitu. Sebelum menulis ulasan ini, aku membuka-buka lagi tulisan cerita anak punyaku. Cerita-cerita yang kutulis masih khas cerita anak konvensional, pesan moral masih terlihat jelas walau tidak menggurui. Nah, cerita yang seperti ini yang tidak kutemukan di dalam Konferensi Musim Sejagat.

Kebetulan aku mengenal Na’im dan Setya. Dua orang ini sungguh sialan. Mereka adalah orang yang wagu jika mungkin menulis fiksi (hanya penilaian subyektifku). Kesan esais mbalung gereh alias ngeri sudah tersemat di nama mereka. Hanya ketika menulis cerita anak, sepertinya aku harus mengakui bahwa aku harus waspada dengan mereka. Haha. Sungguh terlihat dedikasi mereka pada dunia anak. Cerita yang mereka tulis mempunyai ruh yang kuat, sederhana tapi mengena.

Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus Menghanyutkan Kenangan-kenangan itu

Na’im dan Setya menolak menulis cerita yang berakhir bahagia atau cerita yang bahagia dari awal. Membaca lima dari enam cerita di buku mereka, aku merasa hatiku suram. Iki cerita anak kok madesu ngene ya, gerundelku dalam hati. Apakah kalau cerita ini dibaca oleh anak-anak responnya akan sama denganku? Atau hanya aku yang kelewat baperan? Mungkin harus kutanya pada sampah-sampah di Kota Pepe.

Dalam “Hantu Sampah” karangan Setya, tokoh Mbak Ita mengancam adiknya, Adin, “Nanti aku bilangin Ibu, lho! Kan sudah dibilangin. Bahaya! Nanti kamu digondol sama ikan bermuka dua,” (hal 19). Adin dan teman-temannya malah menertawakan ancaman mbaknya itu. Mana ada yang percaya dengan keberadaan ikan bermuka dua, palingan juga sudah minggat karena takut sampah di kali. Edan, bahkan penunggu sungai pun harus takhluk dengan ganasnya sampah. Hantu pun bisa diganggu sampah. Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala.Mengko ana gundreng,” kata mereka. Gundreng adalah anak-anak genderuwo yang suka muncul tepat di tengah hari, di pinggir kali. Aduh dulu aku begitu takut. Jangan-jangan gundreng sekarang tak pernah muncul lagi karena kali sudah begitu rusaknya.

Gambar: “Kota Pepe” Karya Na’imatur Rofiqoh

Na’im tidak mau kalah dalam hal ancam-mengancam ini. Dalam ceritanya “Konferensi Musim Sejagat” dia menciptakan banyak dewa. Dewa-dewa ini berkonferensi. Ada Dewa Sungai, Dewa Hujan, Dewa Pohon, Dewa Badai bahkan Dewa Beton dan Dewa Pencakar Langit. Dalam menyelesaikan masalah mereka selalu mencari jalan terbaik kecuali Dewa Badai yang maunya merusak saja. Lihat saja apa katanya, “Benarkah? Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Akan kucari anak-anak itu. Kalau kutemukan satu saja anak yang membuang sampah di sungai, aku akan mengamuk dengan badai yang paling dahsyat! Ha ha ha!” kata Dewa Badai Keras. Tanpa menunggu, Dewa Badai melesat meninggalkan konferensi. Tak ada yang sempat mencegahnya. Berhati-hatilah saat mau membuang sampah. Dewa Badai Mengintai! (hal. 27)

Buang sampah sembarangan bukan denda ancamannya, tapi amukan Dewa Badai. Dhuh.

 

Menghanyutkan Kenangan

Aku merasakan romantisme masa lalu dalam cerita Setya “Vionisa dan Kedip”. Kedip si Ikan Cupang yang dipelihara Vionisa di akuarium rumahnya mengadu kalau dia merindukan rumahnya di sungai. Vio ingin mengembalikan Kedip, tapi teringat sungai sekarang kotor, banyak sampah dan ada pengerukan lumpur. Tentu saja itu  bukan tempat berpulang yang baik.

Kenangan masa lalu juga dirasakan oleh tokoh Idan dalam “Idan Takut Air” karangan Na’im. Bukan kenangan yang baik ketika kenangan itu adalah tentang sungai yang merenggut nyawa seorang bapak. Kenangan yang pastinya akan enggan diziarahi oleh Idan.

Baik Kedip atau Idan merasakan momen ingin merasa pulang dan “pulang”. Tapi kadang memang kita harus merelakan bahwa kita tidak bisa kembali ke masa kecil yang menyenangkan, ke kampung halaman yang masih asli. Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus menghanyutkan kenangan-kenangan itu. Tapi bukannya mereka tidak benar-benar pergi? Bisa jadi malah jadi sampah yang menyumbat dan membuat banjir di tempat lain.

Ah tenang saja, tidak semua cerita di buku ini suram sebenarnya. Ada geng detektif cilik yang suka bermarkas di “Pohon Detektif”. Mereka akan sigap membantumu di setiap kondisi. Mereka akan melaporkan kepada Pak RT ketika hujan turun dan sungai terlihat akan meluap. Tapi banjir tidak berani mengganggu karena warga sering bekerja bakti membersihkan bantaran sungai. Ahai. Mungkin mereka juga yang sudah membersihkan kenangan-kenangan sampah yang menghanyut di sungai kehidupan kita dan mencegah banjir air mata kemudian. Aih.

Mendungan, 30 Oktober 2018

Pada awal abad XX, tanah jajahan mendapat bacaan berupa surat kabar. Penantian atas berita tak lagi harus menunggu sekian hari, sekian minggu, sekian bulan. Di halaman-halaman kertas, berita demi berita disajikan untuk diketahui publik. Berita tentu tak selalu benar mutlak. Pembaca berhak meragukan berita. Pemerintah kolonial pun merasa wajib memberi “pengesahan” berita asal tak mengganggu tertib sosial-politik.

Peran jurnalis menjadi penting. Kebermaknaan atas berita-berita diimbuhi kehadiran opini. Sekian opini dikerjakan jurnalis dan penulis-penulis bermaksud memberi tanggapan: menguatkan atau melemahkan dampak berita. Opini atau artikel berkemungkinan jadi bara perlawanan atau pembuktian kepatuhan pada kolonial. Sejarah Indonesia mencatat pesona opini turut memberi pembesaran ide nasionalisme di pelbagai perhimpunan, sarekat, dan partai politik.

Di surat kabar, berita dan opini tak melulu utama. Pengumuman dan iklan pun dimuat menaburkan segala perintah, ajakan, dan bujukan dengan tatanan kata dipadu gambar. Pada iklan-iklan, orang-orang mungkin tergoda atau bercuriga itu bohong. Di kertas-kertas, kebenaran dan kebohongan lazim tersaji berbarengan. Mata pembaca ditantang untuk mengerti saat pelbagai kata, gambar, dan foto mulai dipikirkan dan direnungkan. Tindakan itu bakal bertambah panjang jika pembaca berhadapan dengan cerita dan Puisi. Surat kabar pun telah memanjakan para umat penganut “estetika” untuk bercumbu dengan gubahan-gubahan sastra. Di lembaran memuat sastra, pembaca berhak mengangguk atau menggelengkan kepala.

* * *

Kita menjenguk puisi dulu. Sekian puisi mirip pengindahan berita, belum pertaruhan kata bergelimang makna berpatokan “estetika”. Puisi menjadi penambahan atau penguatan usaha memberi warta. Puisi kadang mirip pengentalan pujian atau keberpihakan dengan “mengacaukan” kewajaran menjadi berlebihan. Puisi terlalu lama terlupakan untuk mengerti masa lalu, sebelum sejarah selalu memilih teks-teks besar dan “penting.” Kita mengambil puisi dari seabad silam, bermaksud mengerti secuil pengaruh puisi di zaman orang-orang ingin kebenaran dan menampik kebohongan melalui huruf-huruf tercetak. Djoematan suguhkan puisi berjudul “Seroean jang Singkat” dimuat di Poetri Hindia, 15 Maret 1909.

Ja inilah sekarang djaman kemadjoean

Masanja bergerak pihak perempoean

Madju kemedan pengetahoean

Hilangkan segala adat kekoenoan

Bait itu jarang teranggap bohong saat orang-orang mengetahui ketokohan Kartini. Tanah jajahan bukan lagi bertokoh lelaki saja di deru ilmu dan capaian kemajuan. Kartini tampil menginginkan pemenuhan hak bagi perempuan bersekolah, perempuan memegang buku, perempuan urun pikiran, dan perempuan menentukan nasib zaman. Sekolah-sekolah mengacu ke daftar impian Kartini mulai berdiri di tanah jajahan meski mengarah ke “kepandean poetri”, belum menguat ke pemerolehan ilmu-ilmu akademik berselera Eropa. Bait itu sulit dituduh bohong untuk mengenang Hindia Belanda awal abad XX.

Pada masa lalu, para perempuan meresmikan pembentukan “umat pembaca”. Mereka itu pembaca surat kabar. Mereka tak sekadar melihat orang sedang membaca surat kabar atau berperan sebagai pendamping bagi suami saat membaca surat kabar di serambi sambil minum teh. Poetri Hindia itu santapan bagi perempuan. Warta dan pesan di puisi pun sering mengarah ke perempuan ketimbang lelaki.

Apakan lagi Hindia Poetri

Hendaknja masjhoer makin sehari

Wadjahnja tambah elok berseri

Djadi pemimpin poen para isteri

 

Dari djaoeh hamba berseroe

Keliling Hindia tanah antero

Toentoelah pengetahoean djangan keboeroe

Poetri ini soedah mendjadi goeroe

Ingatan pada kapitalisme dicetak di tanah jajahan menempatkan kaum perempuan di kesadaran literasi, tak harus menunggu kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan kewarasan kaum feodal. Perempuan telah menulis dan membaca di surat kabar. Perempuan ada di selebrasi berita. Perempuan bersantap ilmu beranggapan surat kabar itu “goeroe”. Masa lalu itu sangkalan atas tuduhan berlaku selama ribuan tahun: kaum perempuan terlena dengan gosip. Poetri Hindia melampaui gosip, memberi rangsang membedakan kebenaran dan kebohongan sebelum ditularkan ke sesama.

Poetri Hindia mengingatkan kita pada tokoh bernama Tirto Adhi Soerjo. Ia berada di balik pembentukan bacaan bagi perempuan. Tirto Adhi Soerjo dalam sejarah pers tercatat sebagai pendiri Poetri Hindia, berkala awal di tanah jajahan. Poetri Hindia terbit perdana 1 Juli 1908. Misi berkala bentukan Tirto Adhi Soerjo: “Soerat kabar dan advertentie boeat poetri Hindia.” Cerita mengenai Poetri Hindia tak berlangsung lama. Pada 1912, berkala itu berakhir dengan sesalan dan ratapan. Kaum perempuan merasa kehilangan bacaan dan merindukan para penulis perempuan saat sejarah sering menokohkan para lelaki sebagai penulis berita, opini, dan sastra (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1995).

Kemunculan surat kabar memberi halaman bagi berita, opini, dan puisi memungkinkan kita mengetahui siasat orang melakukan sebaran informasi, ide, dan imajinasi melalui tulisan-tulisan. Umat membaca-menulis itu minoritas di tanah jajahan dengan kesanggupan jadi panutan, pemuka, atau penjelas ke publik. Kebenaran dan kebohongan memiliki pembesaran atau penggandaan saat orang-orang tak lagi mengurusi segala hal bersumber mulut. Di kertas-kertas, situasi baru terbentuk untuk memajukan atau menistakan.

Situasi persuratkabaran itu beriringan dengan kebiasaan para pemuka di Jawa memilih gubahan sastra berbagi nasihat berkaitan manusia dan berita. Adab hidup bersama bergantung keinsafan mengerti posisi diri dalam mengurusi segala berita.

Pada zaman kemajuan, urusan warta dan sikap penerimaan-penolakan dimuat dalam gubahan sastra berjudul Serat Panitibaya, berisi petuah-petuah Paku Buwono X. Di Solo, terbitan surat kabar dan kemunculan perhimpunan modern memberi dampak keberlimpahan berita. Pemahaman orang atas politik, pengajaran, agama, etika, ekonomi, dan hiburan mulai dipengaruhi surat kabar. Sekian berita dianggap bohong, menghasut, dan fitnah. Pelbagai tanggapan dan bantahan berlaku untuk serbuan argumentasi. Penggubahan Serat Panitibaya berbarengan dengan  hasrat orang-orang mulai berpihak ke surat kabar. Di Solo, surat kabar pernah berpengaruh adalah Darmo Kondo, Doenia Bergerak, dan Medan Moeslimin. Haluan di pers itu berbeda dengan segala pesan atau petuah raja ingin berlaku modern di Jawa. Kita mengutip bait-bait petuah Paku Buwono X berkaitan berita dan sikap.

Ping tridasa-catur aja

ngandel catur miwah maido warti

karo-karo iku luput

predinen akal nyata

ya ginugu nanging tan pantes ginugu

yen tan tinengah watara

toging prana aniwasi

Bait itu berisi ajakan agar orang memiliki pertimbangan atas peredaran kata atau berita. Sikap menerima dan menolak berita kadang malah salah jika tak berpatokan nalar-argumentatif. Pendengar atau pembaca berita dianjurkan sanggup berpikir sebelum memberi cap atas berita: kebenaran atau kebohongan. Gagal dalam mengerti kata atau berita bakal menghasilkan salah, sengsara, dan bohong kolosal. Gagal itu semakin berakibat fatal bagi orang menumpuk pamrih ingin terperhatikan oleh sesama. Paku Buwono X melanjutkan memberi “peringatan” keras.

Kaping seket iku aja

wewadul lan tumbak cucukan cengil

lan don ngemyang juwal tutur

murih den suba-suba

ruba dora dasanya wutuh rinemuk

yeku kawingnyaning setan

tan pandak: rongeh niwasi

Bait itu memuat ajakan ke orang-orang menghindari nafsu gemar mengadu, kasak-kusuk, dan memfitnah. Semua ulah itu terselenggara untuk “menjual berita” agar mendapat ketenaran. Ulah buruk dengan mengedarkan atau mewabahkan kebohongan berisiko menistakan kebaikan dan kebenaran. Orang bernafsu kebohongan itu terbujuk “kepandaian setan.” Orang-orang dilanda gelisah dan menanggung petaka jika fitnah dan kebohongan merajalela.

Dulu, kebohongan itu bersumber dari mulut. Kata-kata diucap dengan mulut. Sumber sebelum diucapkan tentu pikiran dan perasaan. Tatanan hidup di Jawa berpatokan etis kadang rusak oleh pesta kebohongan dan pergosipan berbarengan kemunculan hal-hal baru sejak awal abad XX. Berita dan opini di surat kabar tak mencukupi bagi orang-orang untuk mengerti pelbagai hal. Bekal secuil dari deretan berita atau pengetahuan sering digunakan orang ingin tampil sebagai pengabar sakti. Di Serat Panitibaya dimuat peringatan ke orang-orang berlagak mengetahui dan pintar.

Ping saptadasa-astha ja

arerasan kang sepi lawan pamrih

kang marojol saking wuruk

lan dudu gawenira

cacad gedhe ngilangken daulatipun

paitan gedhe pangucap

yen tan rineksa niwasi

Omongan tanpa faedah dan bermakna itu abai nasihat bijak. Orang  dianjurkan mawas diri bila memang tak diwajibkan bicara atau menjelaskan suatu perkara. Nafsu mengoceh tanpa pengetahuan berarti cela besar, berkonsekuensi merusak atau menghilangkan martabat. Omongan besar dan panjang malah membikin gerah, kacau, dan sengketa. Ulah pengoceh goblok berlagak pintar diharapkan jangan ditiru demi tata hidup bersama dalam damai, rukun, dan bahagia. Kita mengerti peringatan itu tak berlaku di masa lalu saja. Kini, bait-bait  lawas masih mungkin dimengerti dengan teknik komunikasi telah terlalu ramai dan ribut menggunakan teknologi-teknologi ajaib.

* * *

Kenangan dari awal abad XX itu sengaja dihadirkan untuk mengerti kita di abad XXI. Petaka demi petaka ditanggungkan akibat gagal mengerti dan menggembala kata-kata bercap berita. Kemauan bersastra berdalih santun, renungan, kritis, dan religius pun perlahan mengendur akibat godaan-godaan berpakem kecepatan dan mewabah. Kita gampang berpetaka ketimbang menggirangkan diri tanpa tergesa mengalami hidup keseharian dengan berita atau cerita.

Indonesia sedang memiliki tema besar berita bohong, belum cerita bohong. Kita menganggap ada beda antara berita dan cerita. Beda itu sering tak terpegang saat orang-orang berpesta kata, gambar, dan foto di media sosial. Pesta  jarang berjeda. Pesta membarakan segala sangkaan, kecaman, hujatan, penghinaan, dan ratapan. Detik demi detik sering sengketa berkepanjangan membikin capek dan gelisah. Konon, segala hal beredar dan disengketakan itu dijuluki berita bohong. Berita kadang bersalin rupa dan rasa menjadi “cerita.” Di tatapan mata, benda ajaib gampang mencipta neraka-neraka.

Pada berita bohong, orang-orang sibuk memikirkan (lagi) pengertian bahasa, alat, manusia, pesan, waktu, dan tempat. Kerja berpikir itu sulit mengejar wabah berita bohong. Kemauan menghentikan pun memerlukan satu ton keringat dan doa sepanjang seribu meter. Tabah mungkin sulit berlaku di abad XXI. Tabah cuma milik orang-orang masih bersuntuk dengan masa lalu dijuduli kuno, tradisi, purba, dan kolot.

Pada cerita-cerita, perkara bersengketa menggunakan “bukti” dan argumentasi memuat kecenderungan agak berbeda. Kita memilih saja penjelasan-penjelasan digagalkan rampung oleh Mario Vargas Llosa. Ia memberi penjelasan bukan untuk bumiputra di tanah jajahan awal abad XX. Penjelasan mungkin saja bisa dituruti umat pembaca sastra di Jawa saat terlalu menghormati gubahan sastra dari keraton. Llosa menulis dan berbagi penjelasan ke pembaca sastra mutakhir di Amerika Latin dan Eropa, menular ke Indonesia. Kita telat ditulari tapi pantas mengucap terima kasih.

Penjelasan belum menggunakan ungkapan-ungkapan bersumber dari teknologi-komunikasi mutakhir. Ia masih mengacu ke teks sastra dan cara komunikasi bercap abad XX, puluhan tahun lalu. Penjelasan mengikutkan masa lalu, pengembalian pengertian kebenaran dan kebohongan ke epos, mitos, dan kehidupan sastra tradisi di pelbagai negeri. Kita mencomot penjelasan Llosa di buku berjudul Matinya Seorang Penulis Besar (2018). Buku berisi esai-esai garapan Llosa, tersaji ke bahasa Indonesia dengan terjemahan Ronny Agustinus.

“Sebetulnya, novel memang berbohong–mereka tak bisa berbuat lain–tetapi ini cuma separuh cerita. Separuh lainnya, bahwa dengan berbohong, mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkap dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya,” tulis Llosa. Bohong ada di peradaban fiksi atau sastra, dari masa ke masa. Bohong itu siasat, bukan pokok penghancuran martabat kesusastraan.

Perdebatan bohong mustahil selesai di sebiji esai. Llosa mengaku ingin memberi cuilan-cuilan saja asal umat sastra berkemauan mencari jalan perdebatan panjang berbekal tumpukan referensi lama dan baru. Llosa tak lupa menaruh novel di pembedaan derajat bohong bersaing dengan artikel di surat kabar dan kitab sejarah. Kalimat-kalimat berhak direnungkan kita: “Tidakkah semuanya tersusun dari kata-kata? Tidakkah mereka memenjarakan dalam waktu artifisial penceritaan suatu arus tak bertepi yang bernama waktu riil itu? Jawaban saya adalah: mereka ini sistem-sistem yang saling bertentangan dalam mendekati realitas. Bila novel memberontak dan melampaui kehidupan, genre-genre yang lain itu hanya bisa menjadi hambanya. Gagasan tentang bohong atau benar berfungsi dengan cara yang berbeda dalam masing-masing kasus.” Penjelasan itu bertahun 1989, tahun masih belum seriuh dan seganas sekarang. Llosa menulis tanpa terlibat dengan media sosial berlimpahan sengketa di lakon besar berita bohong. Kita mengingat penjelasan Llosa, sebelum berani mengadakan penjelasan-penjelasan lekas usang di hitungan hari.

Begitu.


* Ilustrasi oleh Rahmad Afandi, ia menggambarkan sastra yang kita sebut “puisi” ini tergelar beraneka ragam dalam wujud yang menghijab fungsi utamanya: yaitu sebagai petuah. Dan, seakan ilustrasi tersebut menyiratkan sebuah pertanyaan terkhusus bagi generasi hari ini: “bagaimana wujud sastra hari ini, apakah kesakralan fungsinya sebagai petuah masih ada?”

 

Suatu malam, aku masih bertahan di sebuah lobi hotel di Solo. Sebenarnya acara yang kuikuti sudah selesai. Aku hanya perlu memanggil ojek dan pulang ke kos. Tapi hujan menahanku untuk beranjak dari kursi empuk yang kududuki. Tentu saja aku bisa memanggil taksi kalau tidak ingin kehujanan, tapi aku lebih memilih kebetheng, terjebak hujan. Selain itu, aku masih ingin menikmati permainan rebab dan gender oleh dua orang pengrawit di depanku. Permainan rebab gendernya sungguh benar-benar menghipnotis telinga siapapun yang ada di situ. Rebab itu dimainkan oleh seorang gadis yang kutaksir usianya lebih muda di bawahku beberapa tahun, sedangkan gendernya dimainkan oleh seorang laki-laki yang sepertinya seusia bapakku. Aku tidak tahu gending apa yang mereka mainkan. Permainan berakhir ketika langit juga sudah selesai menuntaskan hajatnya. Sebelum pulang, aku memberanikan diri untuk bertanya pada bapak pemain gender, tadi gending apa yang dimainkannya.

Asmarandana Madenda,” jawab bapak itu sambil tersenyum. Aku mengucap terima kasih dan beranjak pergi tanpa paham apa maksud gending itu.

***

“Itu satu rangkaian judul gending. Asmaradana itu judulnya, Mbak. Madenda itu larasnya. Madenda itu salah satu jenis slendro miring, Mbak, alias minir,” dahiku berkerut karena tidak mengerti apa yang diomongkan Leny, temanku anak ISI, ketika aku bertanya Asmarandana Madenda itu nama gending atau apa.

Leny masih melanjutkan penjelasannya “Sebenarnya pengertian gending itu ada dua, Mbak. Gending dalam arti umum untuk menyebut lagu dalam karawitan Jawa, dan gending dalam arti khusus yang merupakan salah satu bentuk lagu dalam karawitan Jawa. Kalau Asmarandana Madenda itu bentuknya ladrang, Mbak. Mangga menyebutnya mau gending Asmarandana atau ladrang Asmarandana,

Aku bertambah bingung, karena tidak paham ladrang itu apa. Haha.

“Itu berkaitan dengan jumlah ketukan nada per gongnya, Mbak. Tabuhan beberapa instrumen yang disebut struktural. Sebut saja ladrang Asmarandana Madenda, Mbak,”

Tetap saja aku kurang bisa membayangkan apa yang dijelaskan oleh Leny. Tapi untuk orang awam, penyebutan gending sudah benar katanya. Entahlah aku memang buta musik. Aku hanya penikmat saja.

Tentang Gamelan, aku hanya sebatas tahu nama-nama instrumennya. Mana gender, mana bonang, mana kenong, demung, rebab, dan sebagainya. Sebatas itu saja, sebatas penikmat, tidak tahu cara memainkannya.

Suatu hari aku dan beberapa teman dari Buletin Sastra Pawon berkesempatan sowan ke rumah Mbah Kris alias Bu Pringgo alias Bu Sum alias Drigul. Beliau adalah salah satu pengrawit perempuan sepuh yang masih aktif menabuh gender. Tentang gender ini sebelumnya aku sudah pernah ngobrol dengan Diki, mahasiswa ISI yang juga seorang pengrawit aktif, siang itu dia ikut menemaniku ngobrol dengan Mbah Kris.

Mbah Kris perempuan yang rock n roll. Entah sudah berapa kali aku kena semprot beliau. Haha. Sambil merokok beliau menceritakan suka duka menjadi pengrawit, terutama penabuh gender. Kami juga ditemani oleh Pak Lumbini, putra Mbah Kris yang juga seorang pengrawit. Dari cerita beliau aku tahu bahwa beliau adalah orang bebas, tidak mau terikat oleh sanggar. Siapa yang membutuhkan beliau, ayo saja. Dalang-dalang kondang hampir sudah pernah beliau ikuti pentasnya. Sebut saja Ki Manteb Soedarsono atau Ki Purbo Asmoro, semua sudah pernah merasakan diiringi genderannya Mbah Kris.

Keluarga Mbah Kris adalah keluarga seniman. Ayahnya seorang dalang. Beliau belajar gender secara otodidak, seperti mendapat wahyu. Kisah beliau yang mengilhami diriku untuk menulis cerita pendek berjudul “Perempuan Penabuh Gender”, salah satu cerpen dalam antologi “Tabuh Tak Tabu” sebagai rangkaian acara dari International Gamelan Festival (IGF) Solo, 9-16 Agustus 2018 lalu. Dalam cerpen itu aku menceritakan tiga perempuan beda generasi yang berkelindan dengan gamelan, wayang, kesedihan dan pengkhianatan.

***

Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama

Dari Diki, aku banyak mendapat hal menarik tentang gamelan. Diki adalah spesialis penabuh gender. Kadangkala juga menggesek rebab atau menabuh kendang. Kata Diki, gender adalah instrumen yang sulit. Biasanya seorang penggender bisa memainkan instrumen lainnya, tapi belum tentu pengrawit yang lain bisa menabuh gender. Karena itu penabuh gender harus selalu siap siaga di depan gendernya sampai pementasan wayang tancep kayon, karena belum tentu ada yang bisa menggantikannya nabuh.

“Memangnya nggak bisa izin ke belakang gitu, Dik?” tanyaku polos.

“Lha yen dhalang lagi sulukan piye, Mbak?” jawab Diki sambil tertawa. “Biasanya aku kalau pentas nggak terlalu resmi, aku pilih pakai sarung, tidak lupa membawa botol, jadi nek kebelet ya tinggal diwadahi saja, Mbak. Buang aja di kolong panggung, paling sesuk sing mbongkar ya misuh-misuh,” cara bercerita Diki yang lucu itu sampai membuatku keselek waktu minum.

Dari Diki juga aku tahu bahwa ada julukan untuk gender, yaitu pamangku gendhing. penggender harus hafal vokal, balungan gending. Bisa juga dikatakan sebagai “pasangan” dalang. Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh gender atau penabuhnya, aku jadi paham kenapa Mbah Kris memilih menjadi penggender. Gender itu istimewa, menjadi penggender, apalagi perempuan, tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi beliau, mungkin saja begitu.

Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama, Aku belum banyak ngobrol tentang kendang dengan Diki. Aku langsung tanya tentang rebab. Ternyata rebab pun punya julukan, yaitu pamangku lagu. Pamangku lagu ini maksudnya yang mengatur irama, yang membuat laya. Laya itu dinamika atau keras lirih dan tebal tipisnya tabuhan. Jadi tugas pamangku lagu adalah mengatur dinamika agar karakter gending yang diinginkan bisa muncul. Bisa juga dikatakan kalau rebab adalah “pasangan” sinden.

“Kapan nanti tak ajak ke tempat guruku, Mbak. Kita ngobrol-ngobrol tentang rebab, ya,” ajak Diki yang langsung kuiyakan tanpa ragu.

***

Aku memandang laki-laki di hadapanku itu. Sorot matanya tajam, bibir hitamnya menyunggingkan senyum yang manis. Dia menyalamiku.

“Subroto,” katanya memperkenalkan diri.

Wajah Pak Broto ini tidak asing, batinku. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku berjumpa beliau. Oh iya, sepertinya beliau adalah orang yang kutemui di lobi hotel beberapa saat yang lalu.

“Pak Broto, sepertinya saya pernah berjumpa jenengan, di suatu lobi hotel di Solo?” tanyaku meyakinkan.

Oh nggih napa, Mbak? Ndak keingat saya, hehe,”

“Oh nggih, benar, Pak. Saya pernah tanya gending apa yang bapak mainkan, kata jenengan, yang jenengan mainkan itu Asmarandana Madenda. Waktu itu jenengan menabuh gender dan yang main rebab seorang gadis cantik,”

“Oh itu anak saya, Mbak. Sekar. Sekar itu temennya Diki pas sekolah di SMKI.”

Tak lama yang dipanggil Sekar muncul, menghidangkan minuman dan menyalami kami dengan ramah. Aku membatin, Pak Broto memberi nama anaknya dengan Sekar, sekar tidak hanya berarti bunga, tapi juga tembang. Ah dasar pengrawit.

Lalu kami ngobrol banyak hal tentang gamelan. Diki bercerita kalau genderannya banyak dipengaruhi oleh genderan Pak Broto. Tawa pun tak terhindarkan ketika menyinggung hal-hal yang lucu. Ternyata dulu Diki belajar rebab dari Sekar, dan sering kena omelannya.

“Lha Diki kuwi nggesek rebab jan ora nganggo perasaan kok, Mbak, grag greg kaya lawang sing engsele amoh,” cerita sekar. Katanya Diki kalau main rebab tanpa perasaan, seperti bunyi pintu yang engselnya rusak. Diki hanya tertawa mengingat masa lalunya.

Pak Broto dan Sekar bergantian menjelaskanku tentang rebab dari yang paling dasar. Mereka sungguh sabar menjelaskan padaku, seseorang yang buta musik ini.

“Ini yang namanya rebab, Mbak. Ricikan rebab ini bisa berbunyi bila digesek menggunakan senggreng.” Kata Pak Broto sembari menunjukan ricikan yang dimaksud.*

“Itu yang memberi jarak antara senar yang berwarna kuning dengan dengan membran berwarna putih itu apa, Pak?” tanyaku penasaran*

“Oh, itu namanya srenten, Mbak. Sengaja dipasang tidak di bagian bawah dari badan rebab dan tidak ditengah-tengah. Srenten dipasang berjarak dua jari dari atas, Mbak,” ucap Pak Broto kepadaku.*

Sekar mengajariku cara memegang rebab, mengakrabinya dulu.

“Rebab itu gambaran dari rasa kasih sayang, Mbak. Nggak bisa rebab itu dimainkan keras seperti ricikan-ricikan gamelan yang lain,” jelas Sekar kepadaku.*

Diki tertawa ketika aku mencoba menggesek rebab. Memang sungguh seperti membuka pintu yang engselnya sudah rusak dengan paksaan.

Bermain rebab itu harus dengan cinta kasih, sabar, dan telaten. Rebab itu gambaran dari pemainnya, begitu kata Sekar. Dalam setiap pidakan dan setiap gesekan senggreng merupakan gambaran dari sifat dan watak pemainnya.

Aku ingat kata-kata Diki dulu bahwa ricikan rebab itu bukan hanya sebagai alat yang bisa menghasilkan bunyi. Ricikan rebab sejatinya adalah gambaran sifat manusia yang nyata.

”Kalau kamu ingin cepat bisa mengakrabi ricikan ini, kamu harus belajar sabar, telaten, dan dan buang sifat egoismu. Yang paling penting, salurkan rasa cinta, kasih, kelembutan dan kedamaian di setiap gesekan senggreng dan pidakan tangan kirimu,” tutup Pak Broto siang itu. *

Ah begitulah. Semua memang butuh harmoni atau kesesuaian agar mendapatkan irama yang bagus. Tidak hanya dalam gamelan, tapi dalam lingkup yang lebih luas lagi, yaitu kehidupan.

***

*Dialog yang digambarkan Diki dalam cerpennya “Batok Kelapa dan Jari-Jari yang Manis.”

 

Solo, September 2018

Sumarsam : Gamelan, Wayang, dan Dakwah

Salah satu hal yang mendarah daging diyakini oleh orang Jawa adalah kisah mengenai Sunan Kalijaga yang menyebarkan Islam dengan Wayang. Argumen tersebut juga sangat diyakini oleh Sumarsam –seorang profesor etnomusikologi, di Universitas Wesleyan, Amerika– beliau mengajukan satu pandangan yang sangat bijak –mengutip sikap dari Soedjatmoko– bila ada orang yang meminta pertimbangan beliau terkait sejarah wayang di Indonesia.

Bila ada orang yang meminta beliau menjelaskan ihwal tersebut maka beliau akan berangkat dari argumen lokal, meski dengan konsekuensi data historiografinya memang sangat minim dalam perspektif akademik. Satu hal yang selalu beliau tekankan adalah “Jawa memiliki cara pandang sendiri yang berbeda dengan cara pandang ‘akademik’ mainstream, ada Historiografi Jawa dan ada Historiografi Konvensional”, terang Sumarsam.

“Sikap bijaksana dalam berfikir seperti itu menjadi penting untuk dimiliki seorang akademisi bila ingin penelitannya kontekstual”, tandas Sumarsam. Bila seorang akademisi hanya memakai Historiografi Konvensional saja untuk mendekati Jawa, maka sudah barang tentu tidak akan mendapatkan hasil yang objektif. Oleh karena itu disinilah letak pentingnya memberikan tempat kepada Historiografi Jawa (baca: lokal) itu sendiri untuk menjelaskan dirinya, dengan perspektifnya sendiri. Dengan demikian suatu penelitian akademik akan lebih otentik dan mengakar.

Namun, sikap Sumarsam ini justru sering dibantah oleh para akademisi di Indonesia sendiri, hal yang berbeda ketika beiau mempresentasikan temuannya di luar negeri.

Ketika beliau diminta untuk menjelaskan tentang wayang oleh mahasiswanya di Amerika, maka sikap itulah yang beliau utarakan dan penerimaan mahasiswa terhadapnya baik adanya..Kuliahnya selalu diapresiasi ketika beliau memulai kelas dengan sebuah analogi, beliau sangat sadar bila mahasiswanya langsung diajak berdiskusi tentang wayang dalam pengertian yang konvensional, jelas tidak akan mengerti secara utuh –bahkan berpotensi gagal dalam mengkontekstualisasnyai– ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa sebenarnya wayang itu? Dan apa yang dirasakan oleh orang-orang Jawa ketika menonton wayang?. Ia senang membuat  analogi dengan teori Joseph Campbell —Professor Literature bidang Mythology dan Comparative Religion— ketika dirinya dimintai pendapat oleh George Lucas –Sutradara film Starwars– saat membuat film itu.

Joseph Campbell menjelaskan bahwa Mitologi, dongeng dan legenda adalah metafora kehidupan masyarakat atau analogi dari kehidupan masyarakat, sehingga tidak bisa ditangkap mentah-mentah, namun bisa ditangkap sari-sarinya. Pada titik ini penjelasan lokal pasti akan mendapatkan ruang rasionalisasinya, meskipun tidak memiliki data-data yang lengkap, namun penjelasan lokal sudah barang pasti yang mampu menggambarkan konteks-konteks sosial yang ada secara mendalam, kebudayaan harus tetap hadir tanpa ada ruang berdebat lagi.

***