Suryomentaram
Sejarah Indonesia mengandung sejarah getir Buruh. Sejarah mencatat jejak ajaran-ajaran tentang buruh, bermisi pengabdian atas kekuasaan dan hidup. Pengabdian sering ambigu, berpengertian sadar sebagai takdir atau pilihan untuk melakoni hidup dengan afirmasi hierarki sosial, ekonomi, teologi, politik, dan kultural. Buruh menjadi pokok dan tokoh: menjelaskan kisah manusia, dari zaman ke zaman. Buruh adalah manusia dengan derita, tawa, impian, air mata, doa, keluhan, kepasrahan, ketulusan.
Ki Ageng Suryomentaram (1985) menuturkan bahwa Jiwa Buruh adalah realisasi unsur-unsur pendidikan, pengalaman, pergaulan, dan pandangan hidup. Olahan pelbagai unsur membuat jiwa buruh tampil dalam corak-corak berbeda. Buruh sering identik dengan golongan asor atau rendah. Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis. Kualitas kerja buruh bisa diakumulasi sebagai modal, menaikkan posisi meski realisasi jiwa buruh masih terkekang dan teriikat oleh “pengabdian.” Buruh hidup dengan keterbatasan. Ikhtiar “mengatasi” dilakukan melalui afirmasi terhadap pelbagai nilai-nilai mengacu pada tatanan hidup kalangan elite.
Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis.
Istilah buruh melekat ke pelbagai jenis pekerjaan. Nilai pengabdian buruh dalam anutan kultural Jawa dilegitimasi oleh penguasa sebagai kebajikan tertinggi dan terhormat. Pengabdian hampir seperti takdir, bersesuaian dengan referensi feodalistik. Pengajaran “jiwa buruh” dan pengabdian memang halus, memakai medium sastra dan seni sebagai suguhan hiburan, edukasi, dan indoktrinasi. Buruh pun terjinakkan saat posisi mengawang untuk menggapai nilai-nilai formalistik-feodalistik, berbingkai kekuasaan, etika, estetika, filosofi.
Eksistensi dan kadar kepuasan buruh menentukan keberlangsungan tipe peradaban dalam jejaring ekonomi, politik, agama, hukum, pendidikan, dan seni. Sejarah Jawa tampil lugas, mengesankan puncak-puncak dan keruntuhan peradaban menggunakan acuan peran atau otoritas kelas penguasa. Buruh absen dari pembacaan peradaban. Jiwa buruh memang diajarkan secara intensif dalam pelbagai teks sastra Jawa tapi jarang tercatat sebagai subjek menentukan dalam kronik peradaban. Sekian teks sastra Jawa gamblang mengandung ajaran mengenai kodrat, mekanisme pengabdian, pamrih, berkah, dan kepasrahan.
Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama.
Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama. Serat Wulangreh gubahan Paku Buwono IV mengandung ajaran-ajaran untuk abdi: mengekspresikan pengabdian dengan pelbagai pembenaran dan janji muluk. Abdi menemukan makna kehadiran saat mengabdikan diri pada raja. Hidup dan mati dalam doktrin pengabdian dikesankan seperti pencapaian tingkat kerohanian, mengacu ke kosmologi dan teologi. Pengabdian dikenai dalil-dalil profan dan sakral. Keringat buruh dan ketataatan pada Tuhan terepresentasikan dalam pengabdian pada raja.
Jiwa buruh tampak tampil dalam pembagian jenis perkerjaan atau pola pangkat (jabatan). Jiwa buruh terus mengalami penguatan dan pembentukan ulang sesuai situasi zaman. Nilai pengabdian buruh pun terukur melalui angka berkonteks ekonomi-politik. Penghitungan kualitatif bernalar kekuasaan tradisional segera dialihkan ke jenis kekuasan modern. Perubahan terjadi melalui klaim sosialisme, kapitalisme, modernisasi, demokratisasi, pembangunan, dan globalisasi. Jiwa buruh masih belum menemukan pintu kemerdekaan akibat dominasi dari intruksi, imperatif, dan represi.
Ajaran menjadi abdi (buruh) dalam tarikan masa lalu terkandung dalam Serat Sasanasunu gubahan Yasadipura II. Abdi cenderung diartikan sebagai sebutan untuk calon priyayi (Sukri, 2004: 265). Yasadipuro II menulis: Kalamun tinitah sira/ angabdi jroning nagari/ den taberia sewaka/ yen durung pinaring sabin/ aywa sira angincih/ mrih mbalendung ingkang wadhuk/ pandhuk sadaya daya/ yen tak durung potong kardi/ tekdena awisma neg pasewakan (Jika engkau ditakdirkan/ menjadi abdi kerajaan/ hendaklah engkau rajin menghadap/ jika belum diberi sawah/ janganlah engkau bernafsu untuk memperoleh/ untuk menuruti keinginan perutmu/ atau ingin cepat memperoleh hasil/ jika engkau belum memperlihatkan kerja/ niatkanlah tinggal di paseban). Jiwa buruh dalam impian martabat kepriyayian terasakan dalam ajaran-ajaran dengan sentuhan kerohanian Jawa.
Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh.
Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh. Impian mesti dirawat dengan formalitas takdir, diacukan ke penguasa. Nilai dan makna kehadiran diri buruh hampir tak memiliki otonomi akibat kesenjangan pemberian-penerimaan. Model lawas disalin dalam kehidupan modern. Pemerolehan ijazah dari jenjang pendidikan tinggi tak sanggup menghapus mentalitas dan jiwa buruh demi pengabdian ber pamrih materialistik dan pragmatis. Jiwa buruh tanpa otonomi diri justru dilanggengkan, berdalil modern melalui institusi pendidikan, politik, ekonomi, media massa, atau keluarga.
Jiwa buruh pada masa sekarang identik dengan inferiorisasi dan mengandung stigma buram. Pola hubungan buruh-majikan masih diliputi godaan-godaan negatif dan destruktif. Ki Ageng Suryomentaram menuturkan: “Seorang buruh berjiwa persahabatan akan memandang majikan sebagai teman untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama, teman untuk memberantas malas dan boros bersama, dan menjaga jangan sampai ada kekayaan digunakan untuk sewenang-wenang.” Tuturan mengandung kebajikan tapi susah direalisasikan pada zaman sekarang. Majikan nakal dan korupsi adalah kelumrahan. Buruh marah dan menderita adalah konsekuensi. Ajaran itu dimaksudkan untuk mencapai jiwa buruh merdeka dan bahagia. Begitu.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Irfan sebagai penulis buku dan juga panitia pelaksana kegiatan ini karena sudah mengajak Saya untuk diskusi buku ini di ruangan teatrikal perpus UIN Sunan Kalijaga ini (24 April 2019). Buku mas Irfan Afifi ini berjudul: “Saya, Jawa, dan Islam”. Jujur, saya tertarik dengan tema Islam di Jawa sejak saya S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara, dan waktu itu kemudian saya datang ke Indonesia dan mengambil kuliah di STF Driyarkara di Jakarta selama satu tahun. STF Driyarkara itu institusi Katolik, tapi kebetulan banyak teman saya di STF itu orang Jawa NU, dan oleh karena itu waktu itu saya sering berdiskusi terkait hubungan antara filsafat Barat dan warisan intelektual Islam dan Jawa.
Kemudian, saya kebetulan juga sedang melakukan penelitian untuk disertasi saya di Columbia University yang secara umum tentang tradisionalisme dan modernisme dalam Islam di Jawa. Dalam proses itu saya tersambungkan dengan Mas Irfan sebagai interlocutor (narasumber) dalam riset saya. Saya senang sekali membaca buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya mas Irfan Afifi ini karena sangat penting untuk saya dan secara personal saya belajar banyak sekali darinya, tidak hanya tentang tradisi dan modernitas, tetapi juga — dan ini penting sekali untuk saya sebagai peneliti asing — tentang efek penelitian yang tidak baik dan tidak benar.
Saya seorang dari luar, seorang yang berasal dari akademi Barat yang mempelajari Islam di Jawa. Oleh karena itu, pengalaman saya dan kepentingan saya sendiri memang agak berbeda dari pengalaman-pengalaman yang digambarkan oleh Mas Irfan dalam buku ini. Tapi sebenarnya juga ada beberapa hal yang cukup mirip, pengalaman yang diceritakan dalam buku ini yang juga terasa dalam perkembangan saya sebagai seorang peneliti asing.
Saya tadi sudah bercerita tentang waktu saya saat S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara. Lalu saya mulai belajar bahasa Indonesia dan saya dibiasakan dengan karya-karya yang masih disebut sebagai karya klasik dalam Studi Asia Tenggara dan Studi Agama Islam.
Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah.
Saya masih ingat saat semester satu, waktu itu saya baru pertama kali belajar sedikit tentang Jawa, yakni Jawa itu tempatnya di mana, terkait geografinya dan sejarahnya, dan hal-hal yang paling dasar. Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah. Apa yang dimaksudkan dengan “religion of Java”, apa pengandainnya hanya terdapat satu agama di Jawa, karena di bahasa Inggris ‘religion’ itu singular? Lebih aneh lagi, ‘religion’ yang dimaksudkan sepertinya bukan Islam tapi… apa, ya?
Jadi, waktu itu, sebagai anak S1 yang baru belajar sedikit tentang Jawa, saya mulai tahu bahwa sebenarnya tidak hanya ada satu agama di Jawa, tapi terdapat tiga agama yang namanya abangan, santri, dan priyayi (seperti digambarkan Geertz). Dan saya segera mempercayai ini, karena profesor saya bilang bahwa Geertz adalah seorang antropolog yang besar, dan saya waktu itu belum tahu banyak tentang Jawa maupun Islam. Jadi saya percaya, waktu itu, bahwa di Jawa ada agama abangan dan agama priyayi, agama yang “asli”, “Jawa”, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama Islam.
Lalu, saya ke Jakarta, saya berteman dengan beberapa orang Jawa NU, dan saya makin merasa bahwa saya tidak bisa membayangkan apa itu budaya Jawa, yang terlepas dari Islam? Itu apa? Budaya Jawa dari zaman Majapahit? Saya merasa tidak hanya bahwa Islam dan Jawa tidak berlawanan, tetapi juga bahwa budaya Jawa itu sangat dibentuk oleh Islam. Dan waktu itu, saya merasa bahwa kalau saya ingin faham budaya Jawa, saya juga harus faham Islam. Jadi saya pindah jurusan dan saya mulai kuliah studi agama Islam.
Saya merasa bahwa akademi Barat sudah lebih sadar bahwa karya Pak Geertz itu bermasalah. Trikotomi abangan – santri – priyayi memang sudah sering dikritik. Pertama-tama, “priyayi” itu bukan agama tapi status sosial. Dan bagaimana dengan dikotomi “santri” dan “abangan” — sepertinya yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz itu bahwa ada dua pilihan: Jawa atau Islam, dan dua-duanya berlawanan. Kaum Jawa yang otentik harus menolak Islam, dan kaum Muslim yang otentik harus menolak kebudayaan Jawa. Jelasnya itu sungguh tidak benar. Mas Irfan menulis (h. 13), dengan nada tegas menyatakan: “saya Jawa, saya Islam”. Kenapa Clifford Geertz tidak bisa menerima itu? Lebih aneh lagi, Clifford Geertz seorang antropolog yang tinggal di Jawa selama beberapa tahun. Dia mengalami Islam di Jawa secara langsung, bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Riwayat hidup Geertz sebenarnya cukup menarik untuk melihat relasi keterlibatan akademi (pengetahuan) dan politik. Ketika Clifford Geertz mendarat di Jawa, dia sudah punya beberapa keyakinan tentang Jawa yang berdasarkan iklim politik pada zaman itu, dan kalau sudah ada keyakinan yang kuat seperti itu, kita memang cenderung hanya mencari konfirmasi saja.
Ada beberapa hal yang cukup mencurigakan mengenai pendidikan dan perjalanan Clifford Geertz. Yang pertama, Clifford Geertz dipengaruhi oleh peneliti Belanda dari zaman kolonial. Mas Irfan menulis tentang agenda politik dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti kolonial. Orang Belanda punya kepentingan sendiri untuk menggambarkan Islam di Jawa sebagai “lapisan tipis”. Misionaris Kristen mau percaya bahwa Islam hanya lapisan tipis saja karena mereka berharap bahwa agama Kristen bisa diterima oleh orang Jawa. Lalu, orang Belanda juga takut gerakan Islam politik dan mereka merasa bahwa Islam sebagai sesuatu yang tidak mendalam, dan yang diresapi oleh budaya lokal, tidak begitu berbahaya. Lalu, ketika Clifford Geertz berangkat dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di Jawa, dia tidak langsung ke sini (Indonesia), dia mampir ke Belanda dulu. Di Belanda, dia bertemu dengan peneliti-peneliti senior kolonial Belanda yang menjelaskan anggapan mereka mengenai Islam di Jawa dan konsep “lapisan tipis” yang dulu muncul dari kepentingan kolonialisme. Dan sepertinya Geertz percaya juga, dia menerima anggapan peneliti yang dianggap lebih senior dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Jadi Geertz sudah punya ide yang jelas apa yang dia akan temukan di Jawa.
Apalagi, pada tahun 1950an suasana akademik di Amerika Serikat juga dibentuk oleh situasi perang dingin, dan banyak peneliti berpikir bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang lebih kompatibel dengan kapitalisme dan agenda negara Barat. Jadi agenda penelitian postkolonial tidak begitu berbeda dari agenda kolonial. Alias itu mungkin masih sama.
Sekarang banyak orang sudah faham bahwa karya Clifford Geertz sangat bermasalah. Tapi yang penting untuk saya, saya tidak mau menjelekkan Geertz sebagai individu. Jelas bahwa Clifford Geertz seorang yang cukup pintar, dan walaupun pintar dia juga tidak mungkin faham atau menyadari keterlibatan politik dalam karya akademiknya. Dia pasti tidak faham bahwa karya akademik itu mengakibatkan banyak masalah seperti yang digambarkan oleh Mas Irfan.
Secara personal, saya merasa ini agak menakutkan. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya saya tidak sepandai Clifford Geertz. Sebagai peneliti dari akademi Barat saya juga terlibat dalam agenda politik yang saya sendiri tidak faham. Apa akibat penelitian saya? Apakah penelitian saya juga akan menimbulkan masalah, seperti penelitian yang dilakukan Clifford Geertz?
Mas Irfan bercerita tentang rasa kegelisahan yang ditimbulkan oleh karya akademis yang tidak baik dan tidak benar. Secara pribadi, saya juga pernah mengalami rasa kegelisahan semacam itu, tapi dari sisi yang lain: Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Apalagi, dalam akademi Barat sampai sekarang masih ada banyak masalah struktural yang menghindar dan menjauhi pengertian yang lebih produktif mengenai Jawa dan Islam. Di akademi Barat masih ada kecenderungan yang kuat untuk memisah studi agama Islam dari studi Asia Tenggara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayu belum begitu diterima sebagai bahasa Islam di jurusan-jurusan Studi Agama. Itu tidak masuk akal — banyak sekali Muslim yang menulis dan membahas pikiran Islam dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kalau seorang murid mau membaca teks-teks klasik Jawa Islam, itu sulit sekali.
Pertama-tama, hampir sama sekali tidak ada ahli di akademi Barat. Kalau ada, mereka biasanya tidak ada di jurusan studi agama Islam, tapi hanya di jurusan “area studies”, seperti jurusan studi Asia Tenggara. Di jurusan Area Studies mereka akan belajar bersama dengan orang yang, misalnya, berfokus pada teknik hidrolik di Cambodia atau pendidikan di Filipina, jarang sekali ada orang yang juga berfokus pada Islam, dan oleh karenanya sastra Jawa dipelajari secara terlepas dari bahasa Arab dan konsep-konsep Islam. Jadi ada kecenderungan menganggap sastra Jawa sebagai sastra lokal yang harus difahami dalam konteks budaya lokal saja.
Tapi sastra Jawa tidak hanya berisi kebudayaan Jawa melulu, apa lagi kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh Hinduisme atau Buddhisme, tetapi juga teks-teks yang banyak berisi ajaran Islam yang sama sekali tidak lokal, tapi global, yang ada di seluruh dunia Islam. Jadi, ini salah satu masalah politik struktural yang masih sangat nyata di akademi Barat, yakni menghindari pelajaran Islam di Jawa sebagai Islam. Jadi apa yang harus berubah? Pertama-tama, saya sangat berharap bahwa jurusan studi agama Islam di akademi Barat lebih menerima Jawa sebagai mata kuliah yang sangat penting. Tadi saya bilang, kalau ingin faham budaya Jawa, juga harus faham Islam. Kami harus lebih sadar di jurusan Islam di universitas Barat, tidak saja, jika mau memahami Jawa harus faham Islam, tetapi juga, kalau mau faham Islam harus faham Jawa.
Lalu, dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini ada beberapa hal yang saya rasa harus diperhatikan oleh akademi Barat. Yang pertama, mau tidak mau, masalah struktural politik pasti membentuk epistemologi dan konsep-konsep kita, dan kita tahu dari Michel Foucault bahwa epistemologi itu salah satu cara untuk menguasai orang lain. Misalnya, dalam buku ini Mas Irfan berbicara tentang istilah “filsafat” yang tidak begitu tepat untuk membaca ilmu pengetahuan Jawa. Sebagai mahasiswa S1 saya sering berdiskusi dengan teman-teman saya apakah pikiran-pikiran orang Jawa bisa disebut sebagai filsafat atau tidak. Waktu itu saya masih kurang sadar bahwa “filsafat” itu konsep yang sangat etnosentris, seperti banyak konsep lain yang kelihatan netral, tapi sebenarnya selalu menunjuk keterlibatan epistemologi dan politik.
Dalam pengertian banyak orang di akademi Barat, filsafat yang baik dan benar itu filsafat yang sama atau setidaknya semirip mungkin dengan filsafat Barat. Perbedaan dari perspektif Barat dianggap sebagai kekurangan. Kalau tidak cukup mirip dengan filsafat Barat, artinya itu bukan filsafat tapi… apa, ya? Tradisi rakyat, atau hikmah lokal, dan pikiran dianggap kurang sistematis, karena epistemologi Barat tidak mampu memahami sistematisasi yang berbeda. Dan dalam diskursus akademik, kita dimungkinkan mengkritik dan mendekonstruksi epistemologi Barat, tapi kalau mau ikut diskursus normatif itu, masih harus memakai metodologi Barat yang berdasarkan epistemologi yang sudah dikritik. Ini dilema dasar teori postkolonial, dan solusinya mungkin tidak ada, kecuali menyadari dilema ini dan memahami implikasi dilemanya.
Seperti Mas Irfan, Ia membahas persoalan istilah “filsafat” yang kurang pas untuk Jawa karena ada dimensi epistemologi-politik seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih cocok menurut Mas Irfan untuk menyodorkan konsep “ngelmu”, yakni sebuah istilah yang ada di diskursus Jawa sendiri. Saya mengutip (h. 42): “Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.” Tapi ngelmu juga bukan hanya “kearifan lokal” atau “penyatu identitas kejawaan” semata. Melainkan ngelmu itu juga merupakan sebuah konsep yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Alquran yang tidak bisa terpisah dari konteks itu. Dan selain itu, konsep ngelmu dalam manifestasinya yang sekarang ini mungkin juga tidak bisa terpisah dari modernitas karena, dalam buku ini, diucapkan dalam suatu diskursus akademik. Jadi, dalam buku ini dimensi-dimensi tersebut disadari, dan saya merasa bahwa kesadaran itu sangat penting, apa lagi untuk kami, orang dari luar.
Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.
Yang kedua, ngelmu atau konsep lain yang ada di pikiran Jawa juga bukan konsep yang primordial yang selalu ada dalam bentuk yang sama dan tidak pernah berubah. Ini juga keyakinan yang dulu sangat populer dalam penelitian-penelitian: ada “esensi” pikiran Jawa yang selalu sama, tidak hanya terhadap Islam saja tapi juga modernitas yang juga dianggap hanya merupakan lapisan tipis saja. Ini juga sesuatu yang sering muncul dalam karya Clifford Geertz.
Di sini, Mas Irfan juga membahas keterlibatan tradisionalisme dan modernitas, yang sebenarnya tidak berlawanan. Jadi Mas Irfan juga membahas pertanyaan, apa yang terjadi dengan tradisi dalam zaman modern? Tradisi memang tidak hilang; tapi kita juga tidak bisa lepas dari modernitas karena modernitas sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak, modernitas juga tidak pernah berarti modernitas yang mutlak, karena modernisme tetap diucapkan melalui tradisi. Misalnya, di sini Mas Irfan membahas pemikir Suryomentaram dari awal abad ke-20, dan Mas Irfan menulis bahwa Pak Suryomentaram mengalami “godaan” atau “pilihan” antara tradisi dan modernitas. Tapi Suryomentaram dan Mas Irfan dua-duanya melihat bahwa itu bukan pilihan yang total, bukan satu yang diadopsi dan yang kedua ditolak, karena tradisi dan modernitas dua-duanya selalu maujud dalam pikiran kita. Apa lagi, karya Suryomentaram juga menjadi contoh bagaimana bisa menggunakan modernitas rasional untuk menjelaskan tema-tema pengetahuan lama.
Yang ketiga, saya belajar dari dua-duanya, Pak Suryomentaram dan Mas Irfan, bahwa pengetahuan tentang warisan Jawa itu tidak hanya untuk tujuan pengetahuan saja, alias untuk dirinya sendiri. Bagi keduanya, pengetahuan itu juga ada tujuan yang sangat praktis. Kalau mengenai Suryomentaram, Mas Irfan menulis, (mengutip dari halaman 96), “Warisan pengetahuan Jawa lama, baginya, semakin tak tersentuh, alih-alih menjadi solusi praktis atas kesengsaraan dan penderitaan rakyat sebagai bangsa terjajah”. Dan (h. 97), “Melalui corak pengetahuan seperti ini bukan hanya masyarakat dapat mengambil manfaat pengetahuan yang ia munculkan secara lebih pragmatis, melainkan juga bisa menjadi pengetahuan baru yang ‘responsif’ dengan tuntutan rasionalisme zaman yang pada saat bersamaan memiliki niat yang kukuh menyelesaikan problem masyarakat kebanyakan tanpa menanggalkan alur pokok kesinambungan akar pemikiran yang ada dalam masyarakatnya.”
Dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini Mas Irfan juga tidak mencari “otentisitas” dalam arti sebuah warisan yang tidak terkontaminasi oleh pikiran yang kurang “otentis”, yakni suatu “otentisitas” yang tidak ada kecuali dalam pembayangan dan “khayalan” kolonial. Tapi pertanyaan utama dari keduanya Suryomentaram dan Mas Irfan itu sangat eksistensial: Apa yang bermanfaat? Atau, secara lebih umum, apa akibat karya kita? Apa yang bisa membantu, apa yang bisa menimbulkan masalah? Saya berharap bahwa kami, di akademi Barat, juga lebih memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karya akademik tidak netral, tapi bisa bermanfaat ataupun bisa menyakiti juga. Semoga semakin banyak bermanfaat.
***
Tulisan ini dipresentasikan pada acara bedah buku, “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi (Tanda Baca; 2019) yang bertempat di Ruang Teatrikal Perpus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pukul 09.00-12.00, 24 April 2019. Diselenggarakan oleh American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lakpesdam PWNU DIY, dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).
Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.
Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.
Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):
Bener luput ala becik lawan begja
Cilaka apan saking
Ing badan priyangga
Dudu saka wong liya
Pramila den ngati-ati
(pupuh VII, durma 3)
Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan
Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan
Dalam tiap-tiap diri kita
Dan bukan dalam diri orang lain
Maka dari itu kita mesti berhati-hati
Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.
Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).
Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.
Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.
Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).
Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan
Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.
1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.
2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).
KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.
(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).
KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).
Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).
KAS, Kawruh pamomong.
KAS, Djiwa persatuan.
KAS, Djiwa buruh.
KAS, Ilmu djiwa.
KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).
KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.
KAS, Pandangan keadaan dunia.
KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).
KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.
KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).
(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).
KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.
KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.
KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.
KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).
KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.
KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.
KAS, Tata negara.
KAS, Djiwa Ngajogjakarta.
KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.
KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.
KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
1) Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;
2) Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.
Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.
Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.
Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.
Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.
Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 137–39.
Habis…
Monggo dibaca lagi:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III
Catatan Kaki:
1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.
2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).
3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.
Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.
Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.
4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.
5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.
6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.
7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.
8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
“Sang Pemimpin” dan Para Pengikutnya
idorong oleh perhatian yang nyata terhadap “pengajaran”, KAS merefleksikan secara panjang lebar perihal pendekatan yang perlu dipakai oleh seseorang yang mempelajari “Ilmu Jiwa”.[1] Yang pertama, dia harus menyadari bahwa ilmu ini sangat sederhana dalam ajaran-ajarannya, namun (sekaligus) sangat sulit ketika akan dipraktikkan.
Sederhana dalam hal cara dia menggambarkan pikirannya. Hal tersebut diujarkan dalam perumpamaan, di mana setiap gagasan ditampilkan melalui peristiwa sehari-hari, meski sering kali mengandung risiko, karena hal itu di hadapan kita nampak sebagai sesuatu yang remeh-temeh. “Hal pertama kali yang mesti seseorang lakukan untuk memastikan keberlanjutan keturunannya adalah memiliki mertua, istri, lalu anak, kondisi yang tidak berlaku bagi sapi-sapi, misalnya, karena mereka tak perlu memiliki mertua dan istri.”[2] Menciptakan secara konstan perumpamaan-perumpamaan seperti itu sesuai dengan gagasan bahwa pengalaman seseorang merupakan sumber utama bagi kebangkitan kesadarannya.
Elemen-elemen dari setiap pernyataan yang berbeda secara hati-hati didefinisikan dan dianalisis satu per satu. Alasan-alasan disampaikan melalui serangkaian antitesis, dirancang secara dialektis, untuk menggugah para pendengar dan pembacanya tentang citra harmoni dalam setiap argumen yang dia sampaikan.
Sangat sedikit kata-kata dalam bahasa asing, bahkan Indonesia sendiri, yang bisa ditemukan. Meski KAS menemukan sendiri istilah-istilah yang digunakannya (kramadangsa, ukuran kaping sakawan, raos sewenang-wenang, dan lain-lain), namun secara umum dia sebenarnya menggunakan kosa-kata yang sederhana untuk menghindari perangkat-perangkat literer yang baku. Jika kalimat yang dia gunakan kemudian tidak selamanya baku, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa versi asli ceramah-ceramahnya bersumber dari bahasa lisan, sama halnya dengan kegemarannya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paradoks.
Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Pendek kata, teknik-teknik gaya bahasanya menarik perhatian penulis. Hal itu merefleksikan bagaimana sikap pengajarannya yang menunjukkan sebuah penekanan untuk merasionalkan hal-hal, sesuatu yang sangat berbeda dengan “bualan” yang dapat ditemukan di berbagai ajaran kebatinan; hal itu juga menegaskan rasa hormat Ki Ageng terhadap para pengikutnya. Hal-hal tersebut Ki Ageng sampaikan dalam bahasa krama, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari penggunaan istilah-istilah yang berlebihan (krama inggil) yang berkonotasi feodalistik. Sebaliknya, dia menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa) untuk percakapan-percakapan pendek atau komentar-komentar mendadak dalam ceramah-ceramahnya semata-mata sebagai tanda dari sebuah keakraban, sehingga menciptakan suasana santai ketika dia sedang berbicara dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Bagi orang Jawa, nada bicara (dalam percakapan) dan kata-kata yang digunakan sangat penting maknanya, karena hal itu berdampak secara emosional. Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia, Ki Oto Suastika memberikan sejumlah peringatan: “Kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam penerjemahan karya ini bersumber dari banyaknya istilah-istilah pengungkapan dan bentuk-bentuk ujaran dalam bahasa Jawa yang menggunakan konsep rasa.”[3] Begitu juga dengan Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), salah seorang yang pertama kali menyebarkan ajaran-ajaran Ki Ageng (atau nasihat-nasihatnya, yaitu wejangan), menyebutkan dalam sebuah pengantar untuk pembaca di majalah Poesara, bahwa dia tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap wejangan-wejangan KAS “seperti yang berhubungan dengan pemahaman tentang konsep kepekaan (rasa) dan perangai”, meski dia akhirnya juga memberikan pemakluman terhadap penggunaan huruf latin ketimbang huruf Jawa.[4]
Memahami Ajaran KAS
Bagi para pengikut Kawruh Jiwa (pelajar), ajaran-ajaran KAS, baik yang terucap maupun tertulis, baru merupakan langkah pertama. Memahami ajaran-ajaran tersebut dalam kaitannya dengan situasi kehidupan nyata (setelah mampu menguasai prinsip-prinsip umumnya dan memiliki pemahaman yang mencukupi untuk mempraktikkannya selama proses belajar) itu lebih penting. Seorang pelajar harus mampu “memahami caranya memahami” (ngertos carane ngertos) agar mendapatkan inti pemahaman tentang hal-hal (nandhes), yaitu mencapai pemahaman yang kokoh (kekah pangertosanipun). Mungkin agak bermasalah jika anjuran tersebut dibakukan dalam sistem pengajaran, sebab anjuran-anjuran tersebut lebih sebagai asupan bagi pikiran. Apa yang kemudian penting bagi para pengikut Kawruh Jiwa adalah mereka perlu memperdebatkan gagasan-gagasan yang terkandung dalam ajaran-ajaran tersebut. Pelajar yang lebih berpengalaman akan membimbing para pelajar baru dalam sebuah “pertemuan” (bahkan meski hanya dilakukan oleh dua orang) yang dikenal dengan Junggring Salaka.[5] Pada hakikatnya periode pembelajaran tersebut bersifat seumur hidup; setiap kali menjumpai ketidakberuntungan (raos cilaka), kondisi ini perlu dilihat melalui sudut pandang ajaran, yang kemudian akan memungkinkan perasaan seseorang tentang dirinya menjadi lebih jernih. Namun demikian, adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Ada dua jenis pertemuan di antara para pelajar: pasinaon dan jawah kawruh. Yang pertama adalah kesanggupan untuk belajar (sinau) dan mengembangkan teknik-teknik analisis diri. Ketika mereka telah sampai pada tahap menguasai prinsip-prinsip dan istilah-istilah dalam ajaran, para pelajar kemudian dapat melanjutkan pada jenis pertemuan yang kedua, yaitu “kehujanan ilmu” (papanggihan jawah kawruh). Tahapan ini berupa upaya-upaya memberikan bantuan kepada mereka yang menderita akibat gangguan psikologis tertentu dengan secara teliti menganalisis penyebab-penyebab masalah mereka itu (ngudari reribed). Untuk jenis psikoterapi ini (mungkin bisa diistilahkan demikian), sangat penting untuk menguasai dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), yaitu kemampuan “merasakan apa yang orang lain rasakan” (feel what others are feeling).
Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.
Secara umum, terlepas dari pertemuan-pertemuan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dan langsung tersebut, seorang pelajar harus mampu, melalui contoh yang dia tentukan sendiri dan dengan kemampuan yang dia miliki sendiri, memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.
Akhirnya, untuk melihat peran dari ajaran-ajaran Kawruh Jiwa, perlu juga dilihat suplemen-suplemen yang terkandung di dalamnya, yaitu syair dan drama. Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.[6] Tembang-tembang itu dibaca dan disenandungkan secara bersama-sama dalam pertemuan. Sementara untuk drama, dalam sebuah pentas alegoris—Raos Mlenet (perasaan tertekan)—KAS mengulang kembali gagasan terpentingnya tentang pernikahan: bahwa seseorang harus bebas memilih siapa yang bakal dia nikahi. Diceritakan dalam sebuah keluarga terdapat tiga tokoh protagonis: ayah, ibu, dan anak perempuan, di mana masing-masing pihak telah memiliki pilihan perihal calon suami untuk si anak perempuan. Hal itu kemudian melahirkan konflik di antara mereka. Si anak mengancam akan bunuh diri jika orang tuanya tetap memaksakan pilihan mereka (perlu dicatat bahwa dorongan untuk bunuh diri adalah sebuah gangguan psikologis, seperti yang disebutkan dalam karya-karya KAS). Konflik tersebut akhirnya bisa terselesaikan berkat bantuan salah seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang membimbing mereka untuk memahami bahwa konflik tersebut terjadi semata-mata karena masing-masing pihak kurang memiliki pemahaman terhadap motivasi mereka dan memiliki egoisme di antara mereka.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa KAS menemukan sosok pendukung setia bagi gagasan-gagasannya pada diri Prawirowiworo. Ki Prono, mantan anggota Perkumpulan Selasa Kliwon, juga bisa disebut sebagai salah seorang yang pertama-tama memberikan dukungannya. Bagi Ki Haditomo, salah seorang pengikut KAS, dua orang itu bersama dengan Ki Ageng, merupakan semacam tritunggal, di mana Ki Prono mewakili pikiran (cipta), Ki Prawiro mewakili hati (manah), dan Ki Ageng adalah tubuhnya (raga).[7]
Warisan KAS Untuk Bangsa
Salah satu ceramah publik pertama KAS diterbitkan dan diberi komentar oleh M. Soedi,[8] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Imam Moehni dengan judul Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soerjomentaram (Pengantar untuk Kebahagiaan Abadi, terbit 9 Maret, 1930).[9] Penerjemah memberikan sebuah penjelasan tentang istilah-istilah Jawa yang digunakan KAS dalam sebuah pengantar panjang, serta memberikan komentar-komentar atas pernyataan-pernyataan KAS, yang waktu itu masih menyandang sebutan “Pangeran.” Dengan cara yang sama, di Surakarta pada 1931, dasar-dasar ajaran KAS juga diterbitkan namun dalam bentuk yang lebih lengkap.[10] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak saat itu KAS telah memiliki sejumlah pengikut yang menyebarkan gagasan-gagasannya.
Pada 1932 dilanjutkan dengan pertemuan yang bertajuk Junggring Salaka Agung—sebuah pertemuan tahunan untuk mempertemukan perwakilan-perwakilan dari perkumpulan pelajar di berbagai daerah.[11] Namun, KAS dan para pengikutnya menolak untuk membuat sebuah perkumpulan yang terstruktur: perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak terbentuk secara formal, para pengikutnya tidak diwajibkan membayar iuran masuk dan dapat keluar dari perkumpulan sewaktu-waktu ketika mereka menghendakinya—perlu disebutkan bahwa kelompok belajar itu dapat diselenggarakan hanya oleh dua orang, bersifat luwes (non-directive), dan tak seorang pun diperkenankan mengklaim dirinya sebagai guru, bahkan Suryomentaram sendiri, yang oleh para pengikutnya hanya disebut sebagai “bangkokan”.[12] Meski begitu, sejenis panitia lokal tetap dibutuhkan untuk bekerja sama dan menjalin koordinasi dengan panitia umum (Panitya Umum) yang berkedudukan di Surakarta.
KAS juga menyampaikan ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Hanya sedikit organisasi atau bahkan nyaris tidak ada yang bisa dianggap sebagai wadah bagi penyebaran pemikiran-pemikiran KAS. Yang muncul di tahun 1930-an hanyalah sejenis gerakan, seperti sebuah pertemuan yang diikuti dengan pertemuan lainnya (meskipun demikian, hal ini tetap penting untuk dilihat sebagai penanda bagi perluasan gagasan-gagasan KAS waktu itu—penerj.). Pertemuan-pertemuan awal tersebut mengundang sejumlah opini bernada mengejek, meski kemudian segera lenyap. Bagaimanapun juga, setelah Junggring Salaka Agung menyelenggarakan sejumlah diskusi dan publikasi, ajaran-ajaran KAS kemudian menjadi lebih mapan. Pertemuan di Yogyakarta pada 1937 merupakan yang terakhir diselenggarakan sebelum perang. Apakah kemudian gerakan tersebut kehilangan momentum? Selama pendudukan Jepang, memang benar bahwa situasi negeri ini tidak memungkinkan bagi tumbuhnya diskusi-diskusi filosofis tentang kebahagiaan personal sebagaimana yang dilahirkan KAS. Seperti yang sudah diungkapkan, KAS yang disibukkan oleh perlawanan terhadap kekuasaan penjajah ikut terlibat dalam arena politik dan mendukung semangat perlawanan yang bisa dilihat dari keikutsertaannya dalam perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Namun Ki Ageng tidak kekurangan pengikut. Pada 1948, setelah terjadi Peristiwa Madiun, dia menyampaikan sebuah seruan untuk persatuan kepada para pengikutnya melalui Djawah Kawruh, terbitan berkala yang dia dirikan namun hanya mampu terbit selama dua bulan. Sejak awal 1950-an, ketika suasana damai mulai terwujud, dia mulai sering berkunjung ke daerah-daerah untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah. Dia memberikan sejumlah kuliah di Jawa Barat (Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung) untuk mengenalkan gerakannya.[13]
Pada penyelenggaraan Junggring Salaka Agung di Megelang tahun 1953, dia menjelaskan dasar-dasar tentang dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), sebuah gagasan yang disebarkan dalam majalah Dudu Kowe, publikasi lainnya yang juga berumur pendek.[14] Pada 1953 juga berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta, yang menerbitkan atau menerbitkan ulang ceramah-ceramah KAS. Bersamaan dengan itu, di Magelang Ki Djasoewadi juga mendirikan perusahaan dengan nama CV Harapan yang menerbitkan karya-karya KAS. Sejak saat itu, penyebarluasan gagasan-gagasan filosofis KAS semakin berkembang dan telah memberikan pemasukan rutin bagi perkumpulan. KAS sendiri kemudian berterima kasih atas penerbitan itu karena sedikit banyak dia juga menerima pemasukan darinya.[15]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.
Dapatkah gerakan ini dikatakan sepenuhnya memisahkan diri dari kehidupan politik, sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpinnya? Untuk menilai hal ini, kita bisa melihat misalnya melalui selebaran yang dibuat oleh Panitya Kawruh Jiwa Klaten di tahun-tahun menjelang pemilu 1955. Ternyata perkumpulan ini tidak sepenuhnya steril dari politik, karena dalam selebaran tersebut terdapat sebuah syair yang disenandungkan dengan diiringi gamelan (sendhoman) yang menyerukan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keterlibatan tersebut merupakan wujud sumbangsih bagi perkembangan negeri, serta sarana untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan rakyat (wong cilik).[16] Seperti yang bisa dilihat, pada tahun-tahun itu KAS sendiri juga menyampaikan ceramah yang agak berbeda, yaitu ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, beberapa kali gerakan Kawruh Jiwa menjadi sasaran kecurigaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, pelajar disarankan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang ingin mengenal gerakan ini: semua buku yang dipelajari, di mana KAS sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab, harus ditunjukkan secara jujur kepada mereka yang kemungkinan akan atau ingin meneliti.[17]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru. Apakah hanya kesalahan penilaian yang dibuat oleh para pengamat, atau semata penilaian berdasar fakta yang nampak dari luar dan dari perilaku-perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh para pelajar, gerakan ini bisa dibilang menunjukkan semua ciri dari sebuah “aliran kebatinan”. Dalam sebuah kesempatan, Clifford Geertz memasukkan gerakan Kawruh Jiwa ke dalam aliran kebatinan, berdasarkan pada pengamatannya dan komentar-komentar yang disampaikan oleh seorang guru Kawruh Jiwa dari Pare (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur). Namun demikian, bagi Geertz sendiri gerakan ini lebih memilih menggunakan “analisis fenomenologis” (untuk menemukan/mencapai kebenaran—penerj.) ketimbang meditasi/semedhi, sebuah teknik yang merupakan bagian terpenting dari ajaran-ajaran kebatinan.[18] Ketika Ki Ageng meninggal, sebuah tulisan yang dimuat di terbitan berkala Varia menyebutkan bahwa dia merupakan “tokoh di dalam dunia kebatinan”.[19] Dalam sebuah entri “Surya Mataram, Ki Ageng” yang tercantum dalam Ensiklopedi Umum (hal. 1270–71), disebutkan informasi: ‘Pangeran Surya Mataram yang kemudian menggunakan nama Ki Ageng adalah guru dari aliran kebatinan yang dikenal sebagai Ilmu Begdja. Pengikutnya tersebar luas dan berasal dari berbagai daerah, meski kurang ada informasi dan organisasi yang bisa menjelaskan gerakan ini. Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’ Namun pada 1953 gerakan Kawruh Jiwa tidak dimasukkan sebagai aliran kebatinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.[20]
Pada pertemuan Junggring Salaka yang terakhir, digelar di Purwokerto[21] tahun 1959, dibagikan buku kecil kepada para peserta yang di dalamnya terdapat fakta-fakta menarik seputar pertemuan dan informasi berharga tentang latar belakang sosial serta asal-usul para anggota.
Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh panitia lokal yang diketuai Ki Notoamidjojo. Setelah upacara pembukaan dan semua tamu telah menempati tempatnya, KAS memberikan sebuah ceramah. Selain itu, sebuah sandiwara dengan judul Tjipta Djiwa juga dimainkan selama dua hari saat pertemuan berlangsung. KAS memimpin debat dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh pelajar kepada sejumlah pembicara (KAS sendiri, Ki Kartosumanto, dan Ki Prono). Para peserta kemudian diminta untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan serta perkembangan yang telah mereka capai dalam mempelajari “Ilmu Jiwa” di perkumpulan mereka masing-masing.
Nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa).
Dalam publikasi tercatat 257 nama dan alamat anggota panitia lokal yang berasal dari lima puluh kota di Jawa, baik kota besar maupun menengah. Terdapat sejumlah kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang pertumbuhan gerakan ke berbagai daerah. Di Temanggung, Magelang, juga Jember, terdapat lebih banyak panitia lokal daripada di kota-kota lainnya. Kota-kota dari bagian barat Pulau Jawa juga memiliki panitia, seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Dalam dokumen tersebut juga tercatat perwakilan dari Madura dan Lampung.
Kecuali untuk Suryomentaram (Ki Ageng) dan Pronowiworo (Kyahi), nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa); jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki. Disebutkan juga perihal latar belakang profesi para peserta: pegawai, guru sekolah rakyat, kepala desa, mantri pengairan, dan bahkan dalang. Meski sejumlah pegawai tinggal di kauman, sangat sedikit yang menggunakan nama-nama bernuansa Islam. Nama-nama Cina juga jarang; namun kontribusi keuangan mereka, yang bisa dilihat dari iklan-iklan yang tercantum dalam selebaran publikasi tentang sejumlah usaha yang mereka kelola (batik, percetakan, otobus, dan pusat-pusat perbelanjaan), tetap penting. Perlu juga disebut bahwa tidak ada nama yang berakhiran ningrat (sebuah indikasi kehormatan), dan berdasarkan nama serta profesi yang telah tercatat, mereka umumnya berasal dari golongan priyayi kelas menengah atau rendah.
Setelah penyelenggaraan kongres yang terakhir ini, KAS hanya menyisakan tiga tahun waktu hidupnya, dan dalam beberapa bulan dia dalam keadaan sakit. Setelah kematiannya, para pengikutnya di Yogyakarta kemudian mengumpulkan karya-karya KAS dan menerbitkannya dengan Ki Atmosutidjo sebagai pemimpin dan pemberi dukungan moral. Beberapa publikasi selanjutnya diedarkan.[22]
Hari ini (merujuk tahun ’60-an, setelah kematian Ki Ageng—penerj.), di kota tempat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada zaman dulu, perkumpulan Kawruh Jiwa yang dipimpin oleh Ki Haditomo, selalu menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari, yaitu setiap Minggu Pon, hari di mana sang Filsuf wafat. Terlihat juga Nyi Suryomentaram, janda KAS, berperan dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran suaminya. Sementara Grangsang (putra dari pernikahan pertama KAS) dianggap sebagai pewaris ajaran spiritual sang ayah dan sosok yang akan melanjutkan gerakan tersebut. Meski tanggung jawab profesionalnya (Grangsang adalah dokter di kesatuan Angkatan Laut berpangkat letnan kolonel) sering kali membuatnya harus meninggalkan tugas memimpin perkumpulan, namun dia tetap berusaha menghidupkan gagasan-gagasan ayahnya dengan dibantu oleh Ki Oto Suastika dan Yayasan Idayu; dia juga berkomitmen untuk membangun/mengembangkan gerakan yang telah ayahnya rintis.
Bersambung…
Baca juga:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Catatan Kaki:
[1.] Bagian yang paling menjelaskan prosedur ini terdapat dalam Tandesan.
[2.] Raos Pantja Sila, hal. 5.
[3.] Cf. Filsafat Rasa Hidup, hal. 7.
[4.] Ki Sangoebrangta, “Pendidikan oentoek ketentraman doenia, wedjangan Toeankoe Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” dalam Poesara 1: 10 (Januari 1932).
[5.] Dalam wayang, Junggring Salaka dijelaskan sebagai rumah para dewa dan tempat mereka menyelenggarakan pertemuan.
[6.] Dalam bagian Uran-uran Bedja.
[7.] Dari sebuah wawancara dengan Ki Haditomo (Mei 1975).
[8.] M. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah. Edisi keenam karya ini menyertakan sebuah pengantar tertanggal 15 April 1929. Sulit untuk menyusun kronologi terhadap publikasi-publikasi yang paling awal; seperti Uran-uran Bedja dan Pangawikan pribadi (kemungkinan ditulis oleh Prawirowiworo), kemungkinan terbit tahun-tahun itu juga.
[9.] Penulis berterima kasih kepada Mr. Tsuchiya yang telah menyediakan tulisan ini.
[10.] Wedjangan.
[11.] Junggring Salaka yang pertama diselenggarakan di Salatiga; pada 1933 diselenggarakan di Surakarta, 1934 di Kudus, 1935 di Madiun, 1936 di Wonosobo, dan 1937 di Yogyakarta. Setelah jeda selama tiga belas tahun, Junggring Salaka yang ketujuh diselenggarakan di Magelang pada 1953, kemudian di Surabaya pada 1954, di Semarang pada 1956, di Tulungagung pada 1957, dan yang terakhir di Purwokerto pada 1959. Dalam buku peringatan untuk pertemuan yang terakhir ini (21, 22, 23 Maret), sebuah tulisan Kjai Pronowidigdo menjelaskan tentang sejarah gerakan Kawruh Jiwa (“Riwajatipun Kawruh Djiwa”).
[12.] Istilah ini digunakan untuk merujuk binatang tertentu yang karena kekuatan dan usianya kemudian dianggap lebih mampu untuk memimpin kelompoknya. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “patriarch”.
[13.] Pada 1952 di Jakarta dia berbicara kepada Panitya Filsafat dan Kebatinan (Philosophical and Kebatinan Commitee), kepada Yayasan Hidup Bahagia (Happy Life Foundation) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro, dan kepada perkumpulan masyarakat Cina, yakni Sam Kauw Hwee dan Khong Kauw Hwee.
[14.] Peristiwa tersebut juga dimuat dalam terbitan berkala Siaran.
[15.] Dari wawancara dengan Ki Haditomo.
[16.] Sendona bab Pemilihan Umum.
[17.] “Manawi Junggring Salaka kedhatengan wakiling Pamarintah ingkang gadhah tugas naliti pakempalan-pakempalan dan grombolan-grombolan kanca-kanca cekap namung nyaturaken buku-buku Kawruh Jiwa wau….” (Buku Peringatan).
[18.] Clifford Geertz, The Religion of Java, 2nd ed. (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1976), hal. 344–345.
[19.] Varia 5: 206 (28 Maret 1962). Tulisan tersebut ditulis oleh Siauw Tik Kwie, seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya KAS yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu dengan nama Ki Oto Suastika.
[20.] Republik Indonesia: Daerah Istimewa Jogjakarta (Jakarta: Kementrian Penerangan, 1953); cf. hal. 675–82.
[21.] Lihat catatan 54.
[22.] Ki Atmosutidjo, Gandulan… ; Ki Djojodinomo, Ular-ular… ; Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil… (diterbitkan oleh Panitya Kawruh Jiwa di Magelang yang tetap aktif pada 1970).