Menu

teater

Pikiran dan perasaan saya terasa tenang dan senang saat menyaksikan pementasan drama berjudul “Kampung Jahe”. Tak ada sesuatu pun yang saya permasalahkan selama pertunjukan berlangsung yang berdurasi satu jam penuh. Rasanya seperti sedang nongkrong di gang kampung sambil minum es teh dan menghisap sebatang rokok. Bahkan, saya sempat tiga kali berpindah tempat duduk untuk menontonnya. Pertama, ikut serta duduk melingkar, lesehan di panggung. Kedua, di kursi depan penonton, dan ketiga, di kursi penonton paling belakang. Perpindahan tempat duduk itu hanya untuk mengubah sudut pandang saya agar mendapatkan pandangan yang berbeda-beda.

Saya menikmati dengan senyum-senyum sendiri lantaran teater garapan Aik Vela ini mengingatkan kehidupan saya pada masa lampau di sebuah kampung dekat dengan pusat kota, tetapi masyarakatnya tidak mencerminkan warga kota yang identik dengan hedonis, konsumeris, induvidualis, dan egois. Masyarakat kampung di kota masih menjaga hidup bergotong-royong, kebersamaan, saling merawat, hemat, dan jauh dari gemerlap kehidupan kota. Sebagaimana tercermin dalam pertunjukan drama yang disuguhkan oleh Institut Hidup.

Pertunjukan “Kampung Jahe” dimulai pukul 21.00 WIB, sebagai penyaji kedua dalam program Linimasa Teater yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Sebagai penonton, saya merasa cukup senang dan tidak bosan mengikuti alur ceritanya. Tidak sedikit pun rasa gelisah menghampiri saya seperti biasanya saat menonton pertunjukan lantaran melihat banyak ketidakjelasan, baik secara teknis maupun konseptual. Pertunjukan “Kampung Jahe” malam itu berhasil membuat ketenangan dalam diri. Saya sendiri merasa heran karena tidak biasanya saya membiarkan pertunjukan berjalan lancar. Banyak interupsi dalam kepala yang tentu saja tidak bisa saya utarakan langsung pada saat itu. Biasanya saya akan menulis atau mendatangi sang Sutradara untuk sedikit berdiskusi. Kali ini saya merasakan kemalasan yang berat saat hendak menuliskannya. Mungkin karena tidak ada masalah dan penuh pengertian dalam mengapresiasi pertunjukan. 

Maka saya putuskan untuk tak menulis pertunjukan “Kampung Jahe” terutama secara bentuk, estetika, dan teknisnya. Lalu apa? Baiklah, saya akan sedikit mengurai apa yang terbayangkan dalam pikiran saat berhadapan dengan drama sesi kedua di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 19 Oktober 2023.

Dinamika Pikiran

Membayangkan kemunculan sebuah gagasan rasanya lebih menarik bagi saya setelah beberapa hari usai pertunjukan. Bagaimana awal mula gagasan teater itu tercetus dalam benak sang pengkarya. Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya. Dari jalinan itulah terjadi dinamika pemikiran yang awal mulanya masih silang sengkarut, kemudian muncul usaha untuk menjumput beberapa hal yang dianggap berkesan, menarik, penting atau kontekstual. Dari titik itu Sang Pengkarya mulai berani untuk mencetuskan gagasannya.

Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya

Gambaran di atas saya tuliskan sesuai apa yang selama ini saya alami dalam proses berkesenian. Meskipun terkadang saya juga mengalami kekuatan lain dalam diri yang tak terbaca secara nalar. Kekuatan itu saya sadari beberapa bulan atau tahun, setelah mencipta sebuah karya. Terkadang muncul pertanyaan: masak sih saya bisa membuat karya seperti ini? yang membuat terheran sendiri. Saya memaknai kekuatan lain itu juga tidak serta-merta jatuh gratis dari langit, namun dari sensitivitas yang terus menerus terlatih dengan sendirinya.

Proses kemunculan gagasan Institut Hidup (IH) saya rasa proses kerjanya amatlah dinamis karena tidak bekerja secara soliter. Sebagai sebuah kelompok tentu saja ada beberapa pemikiran yang bergelut untuk menyempurnakan gagasan. Kelompok seni pertunjukan yang digawangi Aik Vela dan Ficky Tri Sanjaya telah melewati proses kerja dalam diri masing-masing yang kemudian saling berbenturan satu sama lain. Sebuah kerja yang butuh intensitas dan energi ekstra. Kemudian menggulirkan proses kerja kreatif selanjutnya yang melibatkan banyak orang.

Pergulatan menuju gagasan kali ini tidak dapat disepelekan apalagi dibiarkan lewat begitu saja. Mengapa demikian? Karena gagasan tersebut bagi saya bukan semata kerja untuk membuat pementasan drama. Drama menjadi salah satu kanal atau saluran yang telah mewujud, sebab gagasan tersebut tak hanya melibatkan satu komunitas saja, tetapi mengalami pertemuan dengan elemen masyarakat lainnya. Dalam hal ini ibu-ibu dan dunianya juga para anak-anak muda. Karena tak hanya seniman yang menjadi pelaku dan mewujudkan gagasan. Tentu menjadi nilai lebih yang tidak dapat disepelekan. Pertemuan itu akan membuahkan banyak gagasan dan konsep jika terus disirami dengan imajinasi dan wacana. Di sini komunikasi yang setara menjadi kunci penting untuk membuka pemikiran. Segala sesuatu yang bersentuhan dengan masyarakat akan menjadi nilai yang akan terus berjalan.

Bayangan Proses

Terwujudnya pementasan drama “Kampung Jahe” merupakan keberhasilan dari sebuah pertemuan dan komunikasi. Selama menonton pertunjukan saya turut membayangkan proses kerja kreatif yang sarat akan perhitungan. Tidaklah mudah menjalani sebuah proses di luar lingkaran pergaulan. Pengaturan waktu, ruang kerja, emosi, psikologi, komunikasi, ekonomi, dan mungkin masih ada yang lainnya. Semuanya dijalani secara bersamaan dalam setiap pertemuan. Memang melelahkan, tapi senyatanya membuahkan manfaat yang menyebar dalam diri setiap pribadi di dalamnya.

Tidak semua ibu-ibu memahami apa itu seni teater apalagi pernah mengalami atau melakoni proses produksi. Secara teknis harus membimbing dan mengarahkan dengan energi ekstra. Secara emosi musti terjaga agar tak menimbulkan prasangka yang membuat kurang nyaman. Bagaimana agar para ibu pelaku semakin tambah semangat dan lebih percaya diri di atas panggung nantinya. Proses kerja ini tampaknya sederhana dan biasa saja, memang jika dilihat dari sudut pandang pelaku profesional, berbeda dengan ibu-ibu yang notabenenya warga kampung biasa. Saya meyakini IH mempunyai metode-metode tertentu untuk mengatasinya.

Sebagai penonton, saya hanya dapat membayangkan bagaimana proses kerja kreatif tersebut bergulir. Dan bagaimana perasaan, pikiran, juga kesan dari para pelakunya terutama ibu-ibu. Rasa penasaran itu membuat saya tersenyum sendirian di atas bangku penonton. Terasa berat tapi indah dalam bayangan dan tak akan hanya menjadi kenangan, namun menjadi pengalaman berharga. Tidak sekadar kesan dan kesulitan, juga jalinan peristiwa menjadi catatan penting untuk melangsungkan proses selanjutnya. Sebuah kesederhanaan yang menawarkan nilai yang begitu berharga, meskipun tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk, yaitu sebuah laku bersahaja dan sepanjang masa.

Kehadiran Teater

Hadirnya sebentuk teater di atas panggung pertunjukan saya maknai bukan hanya peristiwa seni. Namun, sebuah kelahiran ruang dan wacana baru di tengah masyarakat yang layak untuk diapresiasi bersama. Sebab peristiwa pementasan akan menjadi ingatan bersama yang tak lekang oleh waktu. Menjadi gaung dalam kehidupan sosial lintas generasi tanpa membedakan kelas dan usia.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari. Tak banyak yang menyadari bahwa laku kreativitas dapat menularkan energi yang membangun banyak lini kehidupan masyarakat. Maka, sangatlah disayangkan jika proses kreatif tersebut berhenti pada satu titik pementasan.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari

Dalam proses kreatif perlu juga keberhati-hatian saat menjalani dan mewujudkan karya bersama, karena jika tidak berhati-hati akan banyak kepentingan yang tak tersaring dan mengotori proses kreatif. Akibatnya, hanya akan menjadi corong untuk kepentingan tertentu dan menjadi proses yang tak sehat serta membosankan.

Tirto, 9 November 2023

Editor: Mohammad Hagie