Tradisi
Ketika Covid-19 merebak, pemerintah gencar mengkampanyekan protokol kesehatan untuk melawan penyebaran virus tersebut. Salah satu anjuran yang terus digalakkan oleh pemerintah dan pakar kesehatan adalah meminta masyarakat untuk rutin cuci tangan. Kalau bisa cuci tangan sesering mungkin, tiap kali selesai memegang sesuatu. Apalagi seusai memegang benda-benda yang dijamah banyak orang, misalnya gagang pintu, tiang pegangan saat berdiri di transportasi umum, dan barang-barang di supermarket. Benda-benda tersebut bisa menjadi sumber penyebaran virus yang tak kasat mata.
Instruksi rajin mencuci tangan ini akhirnya melahirkan inisiatif para warga. Kini di tiap-tiap sudut gang, kita mudah menjumpai sarana cuci tangan. Entah itu dari keran yang disusun dari pipa-pipa atau bahkan tempat cuci tangan yang dirancang secara kreatif oleh para warga. Sekarang juga lumrah sekali kita melihat depan rumah orang-orang ditaruh tempat cuci tangan untuk orang yang melintas ataupun untuk memfasilitasi tamu sebelum berkunjung ke rumah.
Para warga tidak kehabisan akal dalam menciptakan sarana cuci tangan. Soalnya harga wastafel cuci tangan, harganya berkisar antara Rp1.500.000 hingga Rp3.000.000. Harga ini saya ketahui setelah menjelajah laman e-commerce. Biaya yang terbilang tidak murah. Akhirnya para warga secara swadaya membuat sendiri tempat cuci tangan yang sederhana.
Bahan-bahan yang sering dimanfaatkan untuk membuat tempat cuci tangan adalah galon tidak terpakai, keran plastik, guci yang tidak terpakai, bekas kemasan cat yang berbentuk ember, ember dilubangi yang berfungsi sebagai wastafel, dispenser, gentong, dan banyak lainnya. Kreativitas para warga ini setidaknya bisa menekan biaya dan menjadikan tempat cuci tangan semakin banyak ketersediaannya.
Inisiatif para warga patut kita apresiasi. Pasalnya, apa yang digagas warga merupakan bentuk kesadaran mereka bahwa Corona ini dampaknya begitu luas dan telah menelan banyak kerugian di berbagai sektor kehidupan kita. Ekonomi semakin lesu. Orang-orang menghadapi depresi berkepanjangan dan banyak lagi imbas negatifnya.
Penyediaan sarana cuci tangan ini sekaligus supaya para warga yang belum tergerak untuk hidup bersih, mau beralih menerapkannya. Warga menginisiasi gerakan-gerakan mandiri yang menjangkau audiens lebih banyak. Mengubah pola pikir seseorang dengan memberikan contoh nyata.
Saya kemudian teringat, kebiasaan mencuci tangan dalam setiap kesempatan ini sebenarnya sudah diajarkan para tetua sejak saya kecil. Kebetulan saya tinggal di perkampungan dengan banyak para sesepuh seperti seumur nenek saya. Orang-orang yang berusia lanjut ini kerap membagikan filosofi hidup yang mereka pegang. Mereka pun masih memegang teguh setiap ajaran hidup warisan para leluhur dari mulai mempertahankan bentuk rumah tinggal yang masih asli sejak puluhan tahun lalu hingga penerapan laku hidup yang penuh filosofis. Hingga Tradisi cuci tangan yang sudah digalakkan sejak lampau.
Di lingkungan RT saya memang masih masih mudah dijumpai rumah-rumah berlanskap tradisional. Ada ciri khas dari rumah lawas di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menggunakan kayu sebagai bagian dindingnya lalu memakai anyaman bambu untuk langit-langitnya. Sedangkan bagian depan rumah memiliki tiga pintu sebagai jalur masuk. Tiap jalurnya terpasang dua pintu. Pintu yang menjulang tinggi dan pintu yang seukuran dada orang dewasa. Kemudian masing-masingnya terpasang dua daun pintu.
Selain keunikan arsitekturnya, saya juga takjub dengan tradisi menaruh gentong atau tempayan berbahan tanah liat. Di bagian perut gentong yang menggembung terdapat lubang untuk mengalirkan air (semacam pancuran). Biasanya pemilik rumah akan memasukkan air melalui bagian atas gentong yang terbuka. Air yang terkumpul dan terwadahi di gentong digunakan untuk membilas tangan dan kaki sebelum akhirnya memasuki rumah.
Karena zaman dulu sumur masyarakat Jawa terletak di luar rumah, maka Padasan ditaruh di area depan rumah dekat sumur.
Karena zaman dulu sumur masyarakat Jawa terletak di luar rumah, maka padasan ditaruh di area depan rumah dekat sumur. Untuk memudahkan saat cuci tangan atau mengisi kembali padasan yang kosong. Gentong gerabah tersebut ditempatkan di tiang tinggi yang biasanya terbuat dari batu bata. Jika ditempatkan di tempat rendah, malah tidak bisa digunakan untuk cuci tangan. Air yang mengalir justru membentuk genangan.
Saya kecil dulu sempat bertanya kepada para tetangga yang sudah sepuh juga ke nenek saya. Apa maksud ditaruh gentong seperti itu? Bukankah malah rawan jadi sarang nyamuk? Mereka menjawab, supaya tidak jadi sarang nyamuk, bagian atas gentong yang sudah terisi penuh ditutup dengan nampan atau penutup. Paling hanya dibuka saat akan mengisinya kembali.
Kata nenek dan para tetangga yang sudah sepuh, padasan ini merupakan sarana pembersihan diri sebelum seseorang memasuki rumah. Supaya kotoran yang menempel seusai beraktivitas di luar rumah tidak terbawa masuk. Dan mereka menganut kepercayaan, mencuci tangan, kaki, dan membasuh wajah di padasan juga mencegah terkena sawan. Sawan sendiri diartikan sebagai penyakit atau kotoran dari luar.
Setelah diberitahu hal tersebut, saya memang tak pernah melewatkan cuci tangan sebelum masuk rumah. Soalnya, konstruksi yang dibangun para tetua memang menyeramkan soal sawan itu. Mereka berhasil memberi pemahaman yang begitu menancap kepada saya bahwa sawan itu akan mendatangkan malapetaka yang tidak bisa hilang sepanjang hidup. Jelas saya takut. Apalagi saya masih kecil, tidak ingin cepat-cepat meninggal dan berharap panjang umur supaya bisa memberi manfaat ke sesame.
Dulu memang orang-orang benar-benar takut terkena sawan. Karena ada juga yang berpedoman bahwa sawan itu merupakan bentuk ketempelan makhlus halus yang akan menguntit ke manapun kita pergi. Dan kehadirannya bisa menghilang jika kita mengguyur anggota tubuh dengan air. Kepercayaan mistis semacam ini memang ampuh untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Setelah saya besar, saya pun memahami bahwa sawan bisa diartikan sebagai penyakit yang sukar disembuhkan. Jadi lebih baik melakukan upaya pencegahan, salah satunya mencuci tangan. Apalagi dunia kesehatan zaman dulu belum seberkembang sekarang. Pengobatan untuk beberapa penyakit berat belum ditemukan. Sehingga apabila diserang penyakit tersebut, akan makin memperpanjang penderitaan hidup.
Selain karena faktor kesehatan, ada nilai tenggang rasa yang coba diajarkan dari kebiasaan menaruh padasan di depan rumah. Padasan ini bisa digunakan untuk memudahkan para orang yang melintas jika membutuhkan air untuk berwudu. Bisa juga membantu orang lain mendapatkan kesegaran setelah melakukan perjalanan baik jalan kaki atau berkendara. Orang zaman dulu mempersilakan orang lain untuk mengambil air di padasan untuk membasuh muka supaya tidak tegang dan sedikit melepas penat. Jika musim hujan, air di padasan juga bisa dimanfaatkan untuk membilas dan membersihka anggota tubuh atau pakaian yang terkena cipratan tanah atau tetesan air hujan.
Nenek dan para sesepuh di kampung tidak menaruh curiga kepada orang yang meminta air dari padasan. Soalnya, mereka juga tidak pernah menjumpai ada orang yang sengaja membawa jeriken untuk menampung air padasan. Toh, misalnya ada yang membutuhkan air karena debit air di rumahnya sedang menipis, mereka tidak segan untuk memberikan air padasan.
Dari padasan inilah saya memahami bahwa tradisi cuci tangan ala orang Jawa juga menyimpan filosofi yang mendalam. Sayangnya padasan sempat menghilang keberadaannya setelah masyarakat Jawa membangun rumah bergaya arsitektur modern. Sumur sebagai sumber untuk mengisi air di padasan juga letaknya bukan lagi di depan rumah. Sumur menyatu dengan area dalam rumah, atau bahkan sama sekali tidak ada sumur karena keterbatasan lahan serta kelangkaan mata air. Orang zaman sekarang mengandalkan air PAM supaya lebih praktis.
Pamor padasan kembali lagi semenjak wabah Corona merebak.
Pamor padasan kembali lagi semenjak wabah Corona merebak. Orang-orang kembali timbul kesadaran untuk menyediakan sarana cuci tangan di depan rumahnya sebagai langkah antisipasi penularan virus Corona. Selain memburu wastafel dari alumunium, orang-orang juga melirik padasan dari gerabah. Karena dianggap lebih bernilai estetik dan mengingatkan kembali pada ajaran leluhur masa kuno. Kesan tradisionalnya juga lebih terpancar.
Tak masalah mau wastafel atau padasan, esensinya adalah bisa untuk cuci tangan. Yang terpenting, kita tidak melupakan pentingnya cuci tangan karena itu menjadi tameng pelindung dari virus, kuman, bakteri, dan kotoran yang akan menyerang sistem imun tubuh. Tak sekadar cuci tangan dengan air saja, tapi juga harus disempurnakan stepnya dengan pakai sabun.
Pesantren merupakan warisan penyangga penting Tradisi muslim Jawa yang sampai hari ini masih terus eksis dan berkembang, meskipun di sana sini terdapat Pesantren yang awalnya dikenal besar dan mati, tetapi juga ada pesantren baru yang dibuat. Pesantren di kalangan Islam Jawa ini banyak menyumbangkan kader santri dan masyarakat yang memengaruhi terhadap kondisi kultural bangsa Indonesia. Kontribusi itu berhubungan dengan nilai-nilai, pola pemahaman, dan keilmuan (turats) yang dikembangkan pesantren, yang kemudian meresap dan menjadi pendorong dalam sikap dan mewujud dalam perilaku di tengah-tengah masyarakat; pada saat yang sama tetap melestarikan tradisi Jawa; dan menjadi pelestarian komunikasi dengan bahasa Jawa.
Satu hal penting yang dilihat dalam tulisan ini adalah dimensi ijazahan Amalan wirid-ilmu Hikmah di pesantren, sebagai khazanah pesantren yang jarang dilihat. KBBI tidak memiliki definisi dari kata ilmu hikmah ini, meskipun mendefnisikan kata ilmu: “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala di bidang pengetahuan; pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin dan sebagiannya).” Rangkaian dari kata ilmu ini, berjumlah tidak kurang dari 129 kata, misalnya ilmu administrasi, ilmu batin, ilmu tauhid, dan lain-lain, tetapi tidak ada yang digandeng dengan kata hikmah.
10 Kettlebell Exercises For Everyone | Fitness | MyFitnessPal where to buy anabolic steroids online fitness-2
Ilmu hikmah adalah ilmu yang diperoleh dari menjalankan berbagai amalan Wirid-wirid dan riyadhoh, dengan menjadikan Alloh sebagai sandaran, sehingga mampu merasakan efek-efek dari amalan-amalan itu, dan merasakan ada khowash-khowash di dalamnya melalui marifat batin. Karena level marifat batin berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, penguasaan terhadap ilmu hikmah berbeda sesuai dengan tingkat pencapaian yang diperoleh sang pengamal dan anugerah yang diberikan Alloh; yang perwujudannya bisa berupa pengobatan, ahli ilmu-ilmu syariat, ahli penumbalan, ahli menggerakkan masyarakat, dan sejenisnya.
Tradisi ilmu ilmu amalan hikmah-tarekat di tengah kalangan pesantren di Jawa, dilihat dari sudut: apa saja amalan-amalan ijazahan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, dan dimana sumber-sumber pengambilan ijazahnya; kitab-kitab apa saja yang dirujuk di kalangan pesantren dalam soal ilmu hikmah; mengapa pengamalan ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat ini diperlukan seorang guru di pesantren; dan apa makna pentingnya ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat bagi pesantren dan masyarakat pada zaman sekarang?
Ijazahan Amalan Wirid-Ilmu Hikmah dan Tarekat di Pesantren
Amalan-amalan wirid yang dijalankan di pesantren, berbeda-beda di antara mereka, sejalan dengan perbedaan jenis amalan yang dimiliki oleh kyai yang mengasuhnya, atau amalan pendiri pesantren yang terus menerus disambungkan, dalam tiga bentuk: (1) amalan yang dikhususkan untuk pribadi santri dan masyarakat, diminta Ijazah amalan atau karena diberi langsung oleh sang kyai; (2) amalan wirid kolektif santri-santri di hari-hari tertentu yang dijalankan secara langgeng; dan (3) amalan kolektif masyarakat sebagai perluasan dari jangkauan pengaruh kyai di luar pesantren, di tengah masyarakat di luar pesantren.
Amalan Khusus untuk Murid
Amalan seperti ini adalah untuk pribadi seseorang peminta amalan, yang amalan ini dimiliki seorang kyai dan telah menjadi wirid di dalam kehidupannya. Amalan jenis ini, ditentukan jumlah bilangan yang harus diwiridkan, waktu bacaan (apakah setiap shalat maktubah, setiap hari sekali, dan lain-lain), jenis bacaan, dibaca dan cara mewiridkannya. Amalan ini diberikan lewat dua cara: (1) kyai diminta oleh santri-murid tertentu atau masyarakat tertentu, kemudian kyai memberikan amalan wirid disesuaikan dengan tingkatan orang yang meminta dan jenis kebutuhannya, termasuk dosisnya; (2) kyai memberikan kepada orang tertentu yang dipilihnya, atau diberikan kepada mereka yang dianggap penting dari orang-orang yang dekat dengannya untuk meneruskan dan menjaga wirid yang telah diamalkannya.
Sebagai contoh, KH. Achmad Shidiq memiliki amalan mewiridkan surat al-Fatihah selama 100 x dalam sehari, yang diteruskan oleh anak cucu dan murid-muridnya. Sebagian masyarakat memperoleh ijazah amalan ini dari jalur keturunan KH. Achmad Shidiq. Amalan ini, ihda fatihah-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad; lalu ditambah beberapa guru, yaitu KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Mundzir Mangunsari, dan KH. Dalhar Watucongol, dan Mbah Abdul Hamid Pasuruan; setelah itu Gus Miek (KH. Hamim Thohari Jazuli), KH. Achmad Shidiq, shohibul ijazah, dan kepada keluarga pengamal, dan kaum muslimin. Bagi sang pengamal, lebih diutamakan sebelum mengamalkan, harus menjalani wirid Dzikrul Ghafilin selama 40 hari.
Jenis lain dari ijazahan amalan seperti ini, contohnya seorang pengasuh pesantren mendawamkan (melanggengkan) wirid laqad ja’akum rasulun min anfusikum sampai akhir ayat, setelah selesai shalat maghrib selama 7 x setiap hari. Amalan wirid ini, dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh, yang diijazahkan kepada salah seorang anaknya, dan kemudian ada yang meminta ijazah untuk diwiridkan setiap hari. Ada juga seorang kyai pesantren yang mendawamkan wirid tarekat, dan dia memberikan amalan tarekat itu, untuk beberapa muridnya dan masyarakat yang meminta baiat kepadanya. Pesantren-pesantren lain, dan kyai-kyai lain juga memiliki amalan-amalan yang diwiridkan, yang bermakna dilanggengkan setiap hari, waktu tertentu, dengan jumlah bilangan tertentu.
Amalan-amalan yang dilakukan kyai dan diijazahkan itu, dibedakan menjadi dua: Pertama, amalan wirid ijazahan tarekat, dan kedua, amalan-amalan ijazahan non-tarekat. Pengertian tarekat di sini adalah wirid yang dilakukan di kalangan ordo sufi, diajarkan oleh guru mursyid, sesuai dengan tradisi di dalam tarekatnya. Tarekat Syathariyah, dalam sebagian sanad yang saya kenal, misalnya memudawamahkan wirid kalimah tahlil (la ilaha illallah) sampai pada kalimah Hu (HUWA), dengan jumlah: 100 x setelah ba’dha shalat isya dan shubuh. Di luar itu, setiap pengamalnya harus bisa meningkatkan pelanggengan dzikir dengan meningkatkan dosis sampai 70.000 x, dan begitu terus menerus diulang-ulang ketika mencapai angka pengamalan dzikir tahlil 70.000 x itu.
Amalan-amalan wirid yang diijazahkan itu, biasanya diberikan setelah sang guru ditemui oleh pemohon ijazahan, dengan mengemukakan maksud dan persoalan-persoalan yang dihadapinya: ada yang mengeluh keluarganya terus menerus mengalami sakit yang beruntun; ada yang terkena ilmu-ilmu ghaib atau gangguan jin; ada yang karena menanggung hutang begitu banyak; ada yang ingin pergi merantau dalam waktu yang panjang; dan lain-lain maksud. Jenis amalan yang diberikan sang kyai kepada pemohon, berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan maksud yang meminta; dan juga tergantung amalan wirid yang dimiliki seorang kyai.
Amalan Kolektif di Pesantren
Amalan ini untuk umum-kolektif yang harus dijalankan khusus di pesantren sebagai bagian dari wirid yang dijalankan oleh para santri. Guru atau pengasuh pesantren biasanya memperoleh amalan ini dari gurunya, lalu diteruskan di pesantrennya. Di antara jenis ini, sebagian pesantren mengamalkan wirid Ratib al-Haddad dan beberapa ratib lain. Penulis menemukan berbagai koleksi dan jenis wirid ini dilakukan di berbagai pesantren, hampir merata dari Jawa Timur sampai Banten, tetapi tentu saja tidak untuk seluruh pesantren. Meski Ratib al-Haddad ini disusun oleh al-Habib Abdullloh bin Alwi al-Haddad sebagai bagian dari wirid di kalangan tarekat Alawiyah dengan baiat dan ditambah wirid-wirid lain, tetapi untuk keperluan wirid, yang telah dipraktikkan tidak mesti berhubungan dengan pembaitan tarekat Alawiyah, tetapi cukup ijazahan yang diberikan guru, dan tidak ditambah dengan wirid-wirid lain yang ada di kalangan tarekat Alawiyah.
Di antara jenis lain wirid ini, adalah sholawatan dan maulid, pembacaan burdah, pembacaan al-Barzanji, dan tahlil. Tradisi pembacaan sholawatan dan pembacaan Maulid Shimtuddurar sekarang berkembang pesat, bukan hanya di pesantren-pesantren di kalangan Islam Jawa, tetapi juga sampai ke belahan dunia Islam. Khazanah Maulid Shimtuddurar, yang pusat ijazahannya, di antaranya dari habib Anis di Solo, dan banyak kyai mengambil ijazahan dari Habib Anis ini.
Menurut salah seorang pengasuh pesantren di Jawa Timur yang memiliki sanad dari Habib Anis yang ikut menyebarkan pembacaan Maulid Shimthuddurar ini, mengatakan kepada saya: “Kitab ini disusun dengan dibimbing oleh Nabi Muhamamd Saw, untuk menyempurnakan tradisi yang sudah ada sebelumnya…” Maksud tradisi yang ada sebelumnya adalah pembacaan sholawat dan kitab maulid yang ada di kumpulan Maulid ad-Daiba`i dan Maulid Syarful Anam, yang telah beredar secara luas dan merata di kalangan masyarakat Islam Jawa.
Saya pun bertanya, maksud penyempurnaan itu, dia menjawab: “Dalam kumpulan Maulid ad-Daiba’i dan Maulud Syarful Anam, di kitab kumpulan itu juga terdapat syiir-syiir yang tidak dikenali lagi siapa pengarangnya, tentang pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu.” Dalam konteks ini, Maulid Shimtuddurar jelas pengarangnya, yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsy. Ihda Fatihah dan keperluan memperoleh kerberkahan dari sang pengarang dan bersambungnya sanad, yang menurut ceritanya, penyusunanan kitab itu langsung dibimbing Kanjeng Nabi Muhammad, menjadikan kumpulan Maulid Simthuddurar lebih mantab dan meyakinkan bagi sang kyai untuk diamalkan sebagai wirid Maulid.
Amalan Jama`i di Masyarakat
Amalan di pesantren atau amalan dari kyai tertentu yang kemudian dikembangkan di majlis-majlis pengajian, majlis shalawatan, dan majlis dzikir, melampaui lokalitas di pesantren sang kyai. Hal ini bisa terjadi, karena fungsi kyai di pesantren sebagai pendidik, selalu tidak terlepas dari fungsi sebagai orang yang dipandang sebagai “guru” di masyarakat, dan karenanya tidak jarang sang kyai atau pengasuh pesantren diminta untuk mengisi pengajian, majlis taklim, dan majlis dzikir; dan fungsi ta’lim di masyarakat sebagai bagian dari pengabdian seorang kyai untuk menyempurnakan kehidupan tauhidnya.
Dari jenis ini, lalu lahir gerakan-gerakan majlis dzikir, seperti Dzikril Ghafilin, Dzikir Sholawat Wahidiyah, pengajian Ratib al-Haddad, manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Ratib al-Kubro, dan banyak lagi yang lain di tengah-tengah masyarakat umum. Amalan jama`i ini, biasanya mengambil hari-hari tertentu dalam sebulan sekali, atau selapanan sekali. Mereka yang mengamalkan dzikir jama`i ini, cukup sebulan sekali membacanya, atau setiap selapanan. Akan tetapi juga ada, di antara pengamal sebulan sekali ini di dalam jama`i, tetapi diamalkan setiap hari untuk amalan fardi. Seperti pengajian rutinan Ratib al-Haddad sebulan sekali, dan pada saat yang sama, oleh pengamal tertentu diamalkan untuk diri pribadi setiap hari berdasarkan ijazah dari seorang guru.
Sebagian Pusat Mengambil Ijazah Beberapa Jenis Amalan
Beberapa jenis amalan untuk pribadi murid atau masyarakat yang meminta, mencakup amalan-amalan yang berefek, untuk kelancaran rizki dan hidup istiqomah, pengobatan dan gangguan setan-jin, agar kuat berkiprah dimasyarakat dan disenangi keluarga-masyarakat, pertahanan diri dari serangan musuh, menghilangkan putus asa dan kebingungan, agar hajatnya terkabul, dan lain-lain, dengan disandarkan kepada Alloh. Di antara jenis-jenis wirid ini di antaranya: ayat-ayat hifzhi, ayat-ayat syifa’, doa nur buat, wirid hasbunalloh wani’mal wakil, wirid surat al-Fatihah, amalan Yasin Fadhilah, amalan Sholawat Nariyah, wirid tahlil, wirid tarekat, wirid asmaul husna, hizib-hizib, ratib, dan lain-lain.
Amalan 100 x Al-Fatihah
Amalan wirid 100 x surat Al-Fatihah, di antara pusatnya sekarang ini dikembangkan oleh para penganut Dzikrul Ghafilin, peninggalan Gus Miek dan KH. Achmad Shidiq, sehingga ijazahnya mengambil dari dua syaikh ini. Amalan ini juga dikenal sebagai amalan yang diambil dari beberapa kyai ternama, yang kemudian disebut dalam ijazah wasilah surat al-Fatihah di kalangan Dzikrul Ghafilin, yaitu KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Dalhar Watucongol, dan KH. Mundzir Mangunsari. Dalam tradisi Dzikrul Ghafilin, wirid surat Al-Fatihah ini bisa dicicil setiap selesai sholat, dan disebutkan dalam buku kecil Dzikrul Ghafilin, wirid ini diamalkan oleh Imam al-Ghazali.
Sebagian kyai juga mengamalkan dzikir ini, ada yang berjumlah 41 x, dan di antara yang mengamalkan ini, salah satu pusatnya di Geger Menjangan, Purworejo di kalangan keluarga penerus Mbah Imam Puro. Kyai-kyai di Jawa juga banyak mengamalkan witid surat Al-Fatihah ini, bahkan ada yang 500 x, dan juga 1000 x. Beberapa orang yang mimpi dengan Gus Dur, yang penulis temui, juga mengakui diminta mengamalkan wirid surat Al-Fatihah 100 x.
Amalan Sholawat Nariyah
Sholawat ini dikenal di seluruh dunia Islam, sebagai amalan wali bernama Imam Ibrahim at-Taji, dan sholawat ini disebut juag dalam kumpulan sholawat yang ditulis Imam Yusuf bin Ismail an-Nabhani berjudul Afdhalus Sholawat `ala Sayyidis Sadat. Di kalangan muslim Jawa, banyak kyai Jawa mengamalkan amalan ini. Nahdlatul Ulama pada masa kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bahkan pernah menyerukan gerakan 1 milyar membaca sholawat Nariyah. Pengamalan dilakukan sehari semalam dalam jumlah 4444 kali, dan setelah itu dibaca setiap hari atau setelah selesai sholat sesuai pengijazah amalan ini, bisa 7 x atau 15 x.
Salah satu pusat yang dijadikan sanad ijazah ini adalah Mbah Ma’shum Lasem, salah seorang pendiri NU dan kyai yang sangat dihormati, ayah dari KH. Ali Maksum. Di Banyuwangi, salah satu kyai yang mengamalkan ini adalah KH. Mawardhi Secawan Srono. Di tanah Jawa paling Barat, di Banten, pusat pengijazahnya di antaranya KH. Muhtadi Dimyati, putra dari ulama Banten terkenal, KH. Dimyati Banten; dan juga KH. Thobari Sadzili, salah satu dari cucu Syaikh Nawawi al-Bantani.
Di beberapa tempat juga ada Majlis Sholawat Nariyah, misalnya di Blitar yang dikaji oleh Umi Choisaroh dalam skripsinya, Sejarah Perkembangan Majlis ta’lim dan Dzikir Jamiyah Sholawat Nariyah Mustaghitsu al-Mughits di Dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Blitar 2011-2018 (UIN Sunan Ampel, 2019), dan Majlis ini cukup terkenal di Jawa Timur, yang diasuh oleh KH. Muhammad Sonhaji Nawal Karim Zubaidi (Gus Shon). Amalan ini sebelumnya dilaksanakan oleh kakek dan ayahnya, dan kini telah memiliki cabang yang cukup banyak tidak kurang dari 60 cabang.
Amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani
Amalan manaqib Syaikh Abdul al-Jailani sudah lama dikenal di Jawa, baik oleh penganut tarekat Qadiriyah atau masyarakat secara umum, di masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Beberapa jenis Manaqib Syeh juga berbeda-beda, ada yang berbentuk nazhaman dan ada yang berbentuk prosa: yang berbentuk nazhaman disebut Manaqibul Akbar dengan wasilah kepada beberapa syaikh, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan; ada yang berbentuk prosa, seperti yang terkenal adalah Al-Lujainud Dani, yang banyak diterjemah ke dalam bahasa pegon; ada yang dengan judul Lubabul Ma`ani, An-Nurul Burhani, ada juga Jawahirul Maani, dan lain-lain.
Di Banyuwangi pusat ijazah amalan Manaqibul Akbar ada di Pesantren Darussalam Blokagung, dan para murid-murid mereka yang telah mendirikan pesantren. Di Jember Manaqib Syaikh di antaranya diamalkan jama`i oleh KH. Muzakki Syah, dengan ribuan jamaah; di Pasuruan ada Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Nongko Jajar, Pasuruan; dan yang terkenal di Pasuruan, pengijazah manaqib dengan judul Jawahirul Ma`ani adalah KH. Ahmad Jauhari Umar (1945-2006), berpusat di Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Pusat-pusat yang lain dimiliki oleh pusat-pusat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, seperti di Mranggen yang berpusat pada KH. Muslih al-Maraqi dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi dan para murid-muridnya, penerus tarekat KH. Mustain Ramli (di antaranya diteruskan Gus Mujib); KH. Abah Anom Suryalaya dan para muridnya di Tasikmalay; di Cilacap, Pesantren Kesugihan yang didirikan KH. Badawi Hanafi sekarang ini juga termasuk yang menyelenggarakan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani; dan di banyak tempat dari cabang-cabang tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa.
Amalan Hizib Autad
Hizib ini selain diamalkan banyak kyai di Jawa juga diamalkan masyarakat muslim Jawa di berbagai majlis ta’lim dan pengajian, dimulai dengan Allohul Kafi Robbunal Kafi Qoshodnal Kafi Wajadnal Kafi, dan seterusnya. Pusat-pusat pengambilan amalan Hizib ini, terdapat di pusat-pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Hizib Nahsar-Hizib Bahr-Hizib Bar
Amalan Hizib ini juga dimiliki oleh banyak kyai di Jawa, dan sumber hizib-hizib ini adalah dari Syaikh Abul Hasan as-Sadzili. Pusat-pusat tarekat Sadziliyah di Jawa, adalah juga pusat pengambilan ijazah hizib-hizib Syaikh Sadzili ini.
Amalan Ayat Lima
Di antara beberapa jenis amalan ayat Al-Qur’an adalah Ayat Lima, Ayat 7, dan Ayat 15; dan di antara pusat yang menyebarkan Ayat Lima di antaranya dimiliki oleh para mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung, yang diwariskan kepada KH. Hasan Anwar ke KH. Madchan bin Abdul Manan. Dalam amalan mereka ini, pengamalan dilakukan puasa dan diamalkan selama 3 hari diamalkan sebanyak 313 x, dengan wasilah keguruan mereka; dan setelah itu diamalkan setiap hari. Di antara kyai lain yang menjaid pusat amalan ini adalah di Krapyak yang diamlkan oleh KHR. Abdul Qodir.
Amalan Yasin Fadhilah
Amalan Yasin Fadhilah banyak dilakukan kyai-kyai di Jawa, dan di antara pusat penyebaran amalan ini adalah para keluarga Mbah Imam Puro. Di Banyuwangi Yasin Fadhilah juga disebarkan melalui Pesantren Blokagung dalam kumpulan wirid-wirid yang sudah tercetak. Di Ceroben, tepatnya di Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Cirebon, Yayasan PATWA (Yayasan At-Tarbiyatul Wathoniyah), dengan otoritas KH. Amad Syathori, juga menyebarkan amalan ini; dan beberapa doa dari Yasin Fadhilah di sini, variasinya ada yang diperoleh dari Syaikhona Kholil Bankalan.
Di Jawa Tengah, Mbah Maemun Zubair juga termasuk yang dikenal memberi ijazah Yasin Fadhilah; di Yogyakarta, Pesantren Wahid Hasyim, yang didirikan KH. Abdul Hadi juga mengamalkan Yasin Fadhilah, di Asrama Al-Hikmah; dan masih banyak lagi di Pesantrfen-pesantren di Jawa.
Sholawat Kubro
Amalan Sholawat Kubro yang merupakan sholawat yang dikenal diamalkan para wali di tanah Jawa di masa awal, di antaranya adalah KH. Imroni Abdullah di Jepara. KH. Imroni mengamalkan bersamaan dengan mujahadah Sholat Tasbih. Selain itu, Sholawat Kubro juga diamalkan keluarga dari Mbah Imam Puro yang terhimpun dalam kitab Manaqib-nya, dan tokoh ini makamnya ada di Geger Menjangan, Purworejo.
Ratib Al-Haddad
Banyak kyai di Jawa, baik yang keturunan langsung dari Sayyid atau Habib, atau yang dari suku Jawa-Madura, mengamalkan Ratib al-Hadad, yang disusun Al-Habib bin Abdullah bin Alwi al-Haddad. Di antara pusat pengijazah ini, bersumber dari KH. Asad Syamsul Arifin di Situbondo; KH. Abdul Hamid di Pasuruan; KH. Mufid Masud di PP Sunan Pandanaran; KH. Abdul Mukhit di Jejeran; Abuya Muhtadi Dimyati Banten, dan masih banyak Habib-Sayyid-syarif, dan kyai-kyai lain membaca Ratib ini, dan tersebar dari Banyuwangi, Cirebon sampai Banten.
Dalam tulisan di tebuireng online yang ditulis Arif Khuzaini, berjudul “Sejarah, Khasiat & Bacaan Ratib al-Haddad”, di antaranya dia menyebut pemberi ijazah Ratib ini yang di Indonesia, diperoleh dari beberapa guru: Habib Ali bin Husain al-Haddad Surabaya, Habib Ali Al-Jufri Jombang, Habib Muhammad as-Segaf Solo, Habib Alwi al-Haddad Peterongan, dan K. Ahmad Muntaha Pesantren Gedongsari Nganjuk, dan yang satu dari Yaman (Habib Ahmad bin Husain Aidid).
Ratib Kubro
Amalan Ratib Kubro juga dibaca oleh sebagian masyarakat-kyai di Jawa, dan sumber pengijazah dari amalan ini di antaranya adalah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Rotib ini disusun Habib Thoha bin Hasan bin Yahya Ba `Alawi, adalah putra dari Habib Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang, dan terhitung amalan ratib yang disusun lebih belakangan dibanding dengan Ratib Al-Haddad, ratib al-Atasy, dan ratib yang sejenis dari Hadhramaut. Dari Habib Luthfi, lalu menyebar ke berbagai muridnya, dan di antara penyebarannya melalui KH. Abdullah Saad di Pesantren al-Inshof, Karanganyar. Termasuk pengamalan Ratib Kubro di Yogyakarta, bertempat di Pesantren Kyai Khairani Cepokojajar Piyungan, juga dari Habib Muhammad Luthfi Pekalongan, dan kemudian berhubungan dengan KH. Abdullah Saad, Karanganyar.
Simtud Durar
Kitab Maulid Simtud Durar, disusun oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi asal Hadhramaut (w.1915), yang dibaca seminggu sekali di Masjid Riyadh, Syaiun, Hadhramaut. Yang membawa ke Indonesia ada dua jalur, seperti disebutkan Muhammad Asad dalam alif.id (31 Juli 2019): pertama, dari kalangan murid, bernama Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (w. 1917) di Cirebon, lalu ke Bogor, dan kemudian pindah ke Surabaya; lalu pembacaan Simtud Durar ini diteruskan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968), yang disebut Habib Ali Kwitang, yang juga murid penyusun Simtud Durar (Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi); dan mengadakan pembacaan Simtud Durar ini di kantor pusat Jamiat Khoir, dan kemudian di Masjid Kwitang yang terkenal pada tahun 1930-an.
Kedua, Simtud Durar juga dikenalkan oleh Habib Alwi, keturunan Habib Ali Al-Habsy penyusun Simtud Durar (w. 1953) sendiri. Putra Habib Ali penyusun Simtud Durar ini, ke Nusantara, menetap di Jakarta, kemudian ke Semrang, dan terakhir di Solo. Tahun 1934, Habib Alwi mendirikan masjid Riyadh di Solo. Setelah itu, penyebaran Simtud Durar dilakukan putra Habib Alwi yang bernama Habib Anis bin Ali al-Habsy (w. 2006), yang sangat terkenal. Ijazah Simtud Durar banyak bersumber dari Solo, dari Habib Anis dan murid-muridnya.
Dalail Khairat
Amalan Dalail Khairat berasal dari Imam al-Jazuli juga dilakukn oleh banyak kyai di Jawa, dan dilakukan berbagai pengikut tarekat. Sanad mereka banyak bersambung kepada Syaikh Mahfudz Termas, dan beberapa syaikh lain di Hijaz. M Bagus Irawan telah menerjemahkan Dalail Khoirot ini ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan Keira Publising ( 2019) dan menulis “Sanad Dalail Khairat di Nusantara” (iqra.id., 3 Oktober 2019). Amalan Dalail Khaoirot ini banyak diamalkan disertai dengan puasa, ada yang setahun, lalu ditambah beberapa tahun, dan ditambah harus rajin membaca Al-Quran.
Di antara pusat penyebaran dan pengambilan ijazah adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas Empang Bogor (w. 1932) dan para muridnya; Abah Anom juga disebut penyambung rantai sanad Dalail Khoirot; di Pekalongan ada KH. Thohir bin Abdul Lathif (w. 1946). Sementara di Kudus, mujiz terkenal adalah KH. Ahmad Basyir, di Pesantren Darul Falah Jekulo; di Jombang ada KH. Djamaluddin Ahmad Tambakberas dan KH. Abdul Aziz Mansur Paculgowang; dan amalan Dalail Khoirot juga ada di Pesantren Lirboyo Kediri dan KH. Djazuli Usman di Ploso; di Blitar ada KH. Mahdi di Pesantren Miftahul Huda; di Malang, ada KH. Achmad Masduqi Mahfudz di PP Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda; dan di Yogyakarta ada KH. Ali Maksum, dan di PP Sunan Pandanaran Yogyakarta, KH. Mufid Masud juga pengamal Dalail Khoirot yang memperoleh dari KH. Ma’ruf Surakarta dan KH. Abdul Muid Klaten; dan di Jawa tengah ada KH. Muhammadun Pondowan dan murid-muridnya.
Tarekat Qadiriyah
Di antara pemegang sanad tarekat Qadiriyah di Jawa, sekarang ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat Banyuwangi, yang memperoleh dari Syaikh Abdul Karim al-Mudarris Irak, seperti disebutkan di blokagung.net (30 Oktober 2014).
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Amalan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, pusat baiat dan pengijazahannya di antaranya, melalui pusat-pusat seperti Syaikh Abdul Karim Banten dan murid-muridnya, Syekhona Kholil Bangkalan dan murid-muridnya, KH. Hasan Basuni Madura dan murid-muridnya, Syaikh Ibrahim Brumbung dan murid-muridnya, Abah Anom di Suryalaya dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi di Surabaya dan para penerusnya, KH. Mustain Romli dan para penerusnya, KH. Muslih Mranggen dan para penerusnya, KH. Hasan Anwar Purwodadi dan para penerusnya, Habib Ali Alhinduan Madura, dan lain-lain. Jaringan mereka ditulis oleh Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning.
Tarekat Syathariyah
Pusat Tarekat Syathariyah dulu ada di Pamijahan, bersumber dari KH. Abdul Muhyi dan jaringan murid-muridnya yang sangat luas; Ronggowarsito dan Ronggosasmito di Kartasura; Kyai Asy’ari Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kyai Guru juga menjadi rantai sanad penting tarekat ini; dan di Yogyakarta kini tarekat ini ada di Jejeran (dari sanad Mbah Nawawi Jejeran) dan Giriloyo (Mbah Marzuqi Giriloyo). Sementara gabungan Sadziliyah-Syathariyah berpusat baiatnya dari Mbah Imam Puro dan keturunannya serta murid-muridnya yang tersebar.
Tarekat Syadziliyah
Pusat Sadziliyah yang cukup tua adalah Pesantren al-Kahfi atau Pesantren Sumolangu melalaui Kyai Sumolangu dan murid-muridnya; KH. Idris Jamsaren di Solo; KH. Dalhar di Pesantren Darussalam Watucongol dan para murid-muridnya; KH. Abdul Malik Purwokerto (Sadziliyah dan Naqsyabandiyah) dengan jaringan para muridnya yang luas; KH. Abdul Jalil Mustaqim di Pondok Peta Tulungagung dan para murid-muridnya, Habib Muhammad Luthfi di Pekalongan dan para murid-muridnya; KH. Siroj Payaman Magelang, KH. Ahmad Ngadirejo Klaten, KH. Abdullah Kaliwungu, KH. Siradj Panularan Surakarta, KH. Abdul Muid Tempursari Klaten, KH. Maruf Mangunwiyoto Jenengan, KH. Idris Kacangan Boyolali, dan beberapa yang lain.
Tarekat Naqsyabandiyah
Amalan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa telah dijelaskan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Mizan, 1996), yang pusat-pusatnya di antaranya: KH. Usman Gedang dan para muridnya, KH. Muhammad Ilyas di Sokaraja Banyumas dan para muridnya; Syaikh Abdul Hadi Giri Kusumo dan para murid-muridnya, sebelah tenggara Semarang; KH. Abdurrahman Kebumen; tarekat ini juga pernah ada di Pesantren Benda Kerep Cirebon; dan KH. Zain putra KH. Tholchah Cirebon. Di antara cabang-cabang penting yang sekarang berkembang-terkenal adalah KH. Mansur Popongan dan para penerusnya, KH. Arwani Kudus, Mbah Mangli Magelang, dan banyak lagi yang lain.
Dalam buku Zamaksyari Dhofier berjudul Tradisi Pesantren (LP3ES, 2011), disebut Syaikh Abdul Jalil Tegalsari Salatiga (w. 1916) termasuk penyebar Naqsyabandiyah awal dan mendapat langsung dari Mekkah, di luar jalur yang selama ini ada. Di Madura, beberapa mursyid Naqsyabandiyah juga disebut Martin adalah perempuan, seperti Nyai Thabibah (yang memperoleh dari KH. Ali Wafa) dan Syarifah Fatimah yang memiliki pengikut cukup banyak.
Tarekat Tijaniyah
Pengambilan amalan tarekat Tijaniyah bersumber di Pesantren Buntet, dan jaringan yang mengambil dari Pesantren Buntet.
Hizib Ghazali
Di antara sumber penting pengijazah Hizib Ghazali adalah KH. Chudlori di API Magelang dan para murid-muridnya, sebagaimana disebutkan oleh Bambang Pranowo dalam Memahami Islam Jawa (2009). Amalan Hizib Ghazali dilakukan dengan berpuasa selama 7 hari, dan dibaca setiap selesai sholat 5 waktu minimal 7 x dan maksimal 40 x. Di Banyuwangi, Hizib Ghazali juga diajarkan melalaui Pesantren Manbaul Ulum, Muncar Banyuwangi, dan di beberapa pesantren lain di Jawa.
Hifdzul Quran
Amalan menghafal Al-Qur’an di Jawa yang paling terkenal dan cukup tua adalah Pesantren Krapyak melalaui sanad KH. Munawwir. Dari KH. Munawwir kemudian banyak dikembangkan para muridnya di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Beberapa pesantren yang menjadi pusat menghafal Al-Qur’an, di antaranya, selain Krapyak adalah PP. An-Nur Ngrukem, Bantul; juga ada di PP Sunan Pandanaran; juga ada di Wonosobo, dibawah otoritas KH. Muntaha; dan beberapa pesantren lain.
Amalan Ngaji Shahih Bukhari
Di antara pengijazah amalan dengan tirakat ngaji Shahih Bukhari, yang ternama adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari (dan para murid yang mengambil ijazah darinya) dari Syaikh Mahfudh at-Tirmasi; KH. Zubair (ayah Mbah Maemun Zubair) dan para miuridnya; KH. MA Sahal Mahfuzh dari Syaikh Zubair dan Syaikh Yasin al-Fadani; KH. Maruf Amien yang memperoleh dari KH. Idris Kamali (menantu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari); dan sebagian pusat-pusat yang lain.
Amalan Puasa Ndawud
Amalan Puasa Ndawud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Amalan ini banyak pula diamalkan oleh banyak kyai di Jawa. Salah satu pemegang ijazah amalan ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat (Pesantren Blokagung Banyuwangi), yang sering memberi ijazah setiap tahun tepat menjelang tahun baru Hijriyah; di Yogyakarta, di antara pesantren yang mengijazahkan ini adalah Pesantren Ash-Sholihah Jonggrangan Sumberadi Mlati Sleman, yang didirikan KH. Muhamamd Zahid; dan di beberapa pesantren yang mengijazahkan Dalail Khoirot, biasanya juga mengijazahkan Puasa Ndawud.
Amalan Doa Nurbuat
Di antara amalan yang banyak pula dilakukan kyai-kyai di Jawa dan habaib adalah Doa Nurbuat. Di antara sumber pengijazah amalan ini di Yogyakarta di antaranya bersumber dari KH. Khalil Harun Segoroyoso dan para muridnya yang mengambil ijazah mereka. Pengamalannya yang bersumber dari kyai yang memperoleh dari KH. Kholil Harun, Doa Nurbuat ini diamalkan setiap hari 3 x atau 5 x, dengan dipungkasi Sholawat Tunjina 15 x.
Ayat-Ayat Syifa
Ayat-ayat Syifa adalah ayat-ayat yang diguankan menjadi wasilah memohon kesembuhan dan obat dari sakit badan dan batin. Di antara pusat dari jazahan ini bersumber dari Kyai Asyari Kaliwungu, KH. Munthaha dan KH Faqih Muntaha, yang telah terhimpun dalam sebuah rangkaian wirid Ayat Syifa, dipungkasi dengan sholawat Thibbil Qulub. Mursyid Sadziliyah-Syathariyah di Purworejo, KH. Adib Luthfi Hakim juga mengamalkan Ayat Syifa; dan banyak kyai lain juga mengamalkan ini.
Ayat-Ayat Hifzhi
Ayat-ayat Hifzhi adalah doa-doa untuk penjagaan dari segala gangguan jin setan dan hal-hal buruk lain. Di antara, yang menjadi sumber pengijazah amalan Ayat-Ayat Hifzhi, sebagaimana ada dalam amalan sebagian keturunan Mbah Imam Puro di manaqib-nya, adalah berasal dari Pesantren Poncol Salatiga, yang didirkan KH. Misbach, dan diteruskan para murid-muridnya.
Hasbunalloh wani’mal Wakil
Amalan hasbunalloh wani’mal wakil, di antara sumber pingijazahnya adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan: ada yang dalam jumlah 450 x setiap hari, dan ada yang siang 450 x dan malam 900 x, sebagaimana yang diceritakan sebagian pengamalnya kepada saya; dan banyak kyai lain di Jawa.
Mantra Jawa di Pesantren
Meskipun kyai-kyai Pesantren di kalangan muslim Jawa menggunakan amalan wirid dalam bahasa Arab, tetapi mereka juga berbahasa Jawa dalam kebiasaan hariannya; dan tidak sedikit yang memiliki mantra-mantra berbahasa Jawa untuk keperluan-keperluan tertentu sebagai wirid, sebagai pelengkapnya. Di antara mereka yang memiliki mantra Jawa ini ada Guru Marzuki Giriloyo (Syathariyah), KH. Dalhar Watucongol (Syadziliyah), KH. Madchan Abdul Manan (Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah) di Purwodadi, Mbah Imam Puro di Purworejo (Sadziliyah-Sathariyah), dan beberapa kyai lain.
Apa yang disebutkan dari beberapa amalan dan sebagian penyebar amalan-amalan itu, hanya sebagian kecil saja, dan tentu banyak sekali kyai-kyai di Jawa yang mengamalkan amalan-amalan wirid yang tidak disebutkan di sini, dan di luar jangkauan yang saya ketahui.