Tulisan Pilihan Langgar
Tulisan ini diterjemahkan oleh Muhammad Haikal dan Irfan Afifi dari tulisan M.C. Ricklefs, “Rediscovering Islam in Javanese History”, Storied Island: New Explorations in Javanese Literature, (edited by: Ronit Ricci), Published by Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, Volume 316, 2023. Tulisan ini diterjemahkan dan disebarkan untuk tujuan pendidikan (non-commercial use). Pada bagian abstrak serta penomoran sengaja dihilangkan untuk penyesuaian pada jenis tulisan web serta perulangan paragraf. Penerjemahnya Muhammad Haikal adalah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan sarjana di University of Malaya dengan fokus studi Sastra Melayu, sedangkan Irfan Afifi adalah penulis, budayawan, penerjemah, dan pengelola, serta pendiri media kebudayaan Langgar.co.
***
Kajian sejarah Jawa menyuguhkan (banyak) contoh-contoh penting baik terkait tafsiran-tafsiran baru maupun warisan-warisan yang telah mengubah bagaimana cara kita melihat masa lalu maupun masa kini orang Jawa sepanjang abad-abad Islamisasi, serta, sebagai akibatnya, (mengubah) bagaimana cara kita membayangkan masa depan mereka. Belum lama ini, Islam cenderung dilihat sebagai aspek pinggiran (marginal) bagi budaya Jawa ‘arus utama’: Ini warisannya. (Dan) sekarang, kita bisa menyaksikan Islam sebagai topik yang memiliki signifikansi utama dalam sejarah orang Jawa: Ini tafsiran barunya. Dalam bab ini, kita (juga) akan memeriksa baik atas warisan maupun tafsiran barunya, untuk mengetahui bagaimana kita akan dituntun pada pandangan-pandangan baru terkait sejarah, masyarakat, dan budaya Jawa, maupun kepada pemahaman yang lebih jernih (terkait) bagaimana realitas Islam dipahami serta dijalani dalam kehidupan nyata.
Pemeriksaan ulang, baik atas warisan-warisan maupun tafsiran-tafsiran barunya dari sejarah Jawa ini menyuguhkan pada kita sebuah contoh, bagaimana pandangan-pandangan kita terhadap masa lalu sering kali dibentuk oleh pengalaman akan situasi kekinian. Hal ini juga mengingatkan kita betapa bisa menipunya, menyesatkan, dan berbahaya secara analitis stereotipe-stereotipe tersebut, serta betapa pentingnya secara aktual untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji ide-ide semacam itu. Tentu saja, ini sama sekali bukanlah pengamatan baru: namun cukup mengherankan, begitu tegarnya stereotipe-stereotipe itu hinggap dalam kasus sejarah orang-orang Jawa.
Warisan
Di dalam beberapa literatur lama, kita dapat menemukan sebuah gagasan bahwa terdapat dua ranah kebudayaan yang cukup berbeda, yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Salah satunya adalah ranah keislaman, yang didefinisikan dengan membaku-standarkan stereotipe-stereotipe yang akan kita lihat contohnya di bawah ini. Penggambaran akan praktik-praktik masyarakat Islam sejak paruh pertama abad ke-20 lebih banyak dipengaruhi oleh gambaran Islam Wahabi di Arab Saudi, sedangkan gambaran teologinya cenderung didominasi oleh pandangan para cendekiawan modernis yang terdidik. Jika kebanyakan orang Jawa tidak sesuai dengan gambaran-gambaran tersebut, maka tampaknya mereka tidak layak dikatakan Muslim (sejati).
Pada sisi mereka, orang Jawa juga sering dilihat melalui kacamata-kacamata berlensa esensialis. Gaya hidup Muslim nominal atau Muslim abangan dipandang asli (dari) Jawa—dijadikan norma. Ada sebuah pernyataan yang mengungkapkan bahwa seorang abangan hanya menaati kewajiban Islam sebanyak empat kali dalam hidupnya: Saat lahir, saat sunatan, saat pernikahan, dan saat kematian. Untuk yang pertama, kedua, dan terakhir, orang lain harus melakukannya untuk mereka. Adat-gaya keraton diambil sebagai paradigma yang menentukan keaslian ini, namun budaya dan masyarakat Islaminya hanya (dianggap) sekadar nominal. Para priyayi (dipandang) mewakili kelas-atas yang terpandang dari corak kejawaan asli masyarakat Jawa tersebut.
Kita mesti berhati-hati untuk tidak membesar-besarkan bahasan kita terkait pandangan-pandangan yang telah terwarisi ini. Sudah tersedia beberapa hasil karya kesarjanaan yang telah dikerjakan di periode sebelumnya yang kita semua berhutang budi atasnya. Namun terdapat pula (secara merata) sebuah paradigma yang serba-mencakup (overarching paradigm) yang nyata-nyata ada di sebagian besar paradigma kesarjanaan tersebut. Hal inilah yang kini ditantang oleh penelitian-penelitian terbaru maupun oleh perubahan-perubahan kontemporer yang sedang terjadi.
Contoh menonjol tentang stereotipe-stereotipe warisan ini terdapat dalam esai terkenal berjudul, “The world of Southeast Asia: 1500–1650,” tulisan J.C. van Leur. Seorang sarjana muda cerdas dari Belanda yang tertarik pada sejarah, serta cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Max Weber. Karirnya terhenti secara tragis ketika terbunuh dalam peperangan laut Jawa pada Februari 1942, (yakni) pada usia yang baru saja 34 tahun. Esai ini ditulis sebelum terjadinya peperangan tersebut, serta diterbitkan secara utuh di tahun 1947 dengan terjemahan Bahasa Inggris yang muncul pada tahun 1955.
Penting dicatat bahwa pandangan-pandangan Van Leur terbentuk di tahun 1930-an, (yakni) di tengah masa genting polarisasi sosial, budaya, agama, dan politik di Jawa (Ricklefs: 2007), yang sudah secara wajar mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah. Dalam esainya ditemukan sebuah pernyataan yang sekarang terlihat sedikit tak biasa (aneh), namun pada saat itu, dianggap secara definitif:
“Ekspansi agama baru ini [yang dia maksud Islam] tidak menghasilkan perubahan revolusioner apa pun, maupun (menjadikan) kolonis asing yang baru saja tiba ini meraih kuasa (penuhnya)—rezim Indonesia tidak mengalami satu pun perubahan, karenanya… juga tak perlu ditanyakan lagi mengenai pengaruh yang lebih dalam terhadap aspek-aspek kebudayaannya. Islam tidak membawa satu pun inovasi “tingkat tinggi dalam pengembangannya” untuk Indonesia, secara sosial maupun ekonomi, baik dalam tata kenegaraan maupun dalam perdagangan. Kedua agama ini [yaitu, Hindu dan Islam] hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas pada tubuh besar peradaban pribumi (indigenous). (Van Leur 1955:168-9)”
Pada tahun 1953 hingga 1954, sebuah tim peneliti antropolog Amerika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghabiskan beberapa bulan di Kota Pare, dekat Kediri di Jawa Timur yang mereka juluki “Modjokuto.” Peneliti paling terkenal dari tim ini adalah Clifford Geertz (1926-2006), bukunya The Religion of Java diterbitkan tahun 1960. Sejak awal, sudah ada orang Indonesia dan Belanda (e.g., Koentjaraningrat 1963) yang mengkritik buku ini dan terbebani keteledoran Bahasa Jawa yang memalukan dalam dedikasinya.[1] Kendati pun demikian, karya ini tetap saja dianggap secara luas sebagai sebuah catatan otoritatif terkait kehidupan beragama orang Jawa. Pengaruhnya di Indonesia juga mendalam, sampai-sampai istilah yang lazim digunakan untuk kaum muslim saleh serta pejabat keagamaan di kalangan orang Jawa: (seperti) muslimin, putihan, kaum, dll. — tergantikan dalam penggunaan hariannya dengan istilah santri yang digunakan Geertz, meski biasanya diterapkan secara lebih khusus kepada murid-murid sekolah agama (pesantren). [2]
Momentum penelitian MIT sangatlah penting karena Geertz dan timnya berada di Jawa Timur pada periode meningkatnya eskalasi ketegangan sosial, politik, dan agama. Peristiwa ganas pada masa Revolusi (Kemerdekaan) dan lingkungan yang telah terpolitisi pada tahun 1950-an memicu meningkatnya polarisasi di Jawa. Akhirnya, ketegangan tersebut mengakibatkan munculnya pembantaian massal pada pertengahan tahun 1960-an. (Ricklefs 2012: bab 4).
Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan” (Koentjaraningrat 1963: 188). Trikotomi ini menjadi cara umum dalam menggambarkan pemilahan di dalam masyarakat Jawa, walaupun ini jelas-jelas merupakan kebingungan terkait varian agama (santri vs abangan) dengan kelas-kelas sosial (priyayi vs orang biasa, wong cilik, yang terlewatkan dari kerangka Geertz). Sekali lagi, kita bisa menemukan sebuah pernyataan yang cukup mengherankan untuk saat ini:
“Adalah sangat sulit, dengan tradisi dan struktur sosialnya yang terberi, bagi seorang Jawa menjadi “muslim sejati”… (dengan) karakter asingnya, keagungan, serta kemuliaan Tuhannya, (sifat) moralnya yang begitu pekat, keketatannya dalam soal ajaran, maupun eksklusivisme-nya yang bersifat intoleran, yang menjadi bagian kuat dari Islam, adalah begitu asing bagi pandangan tradisional orang-orang Jawa. (Geertz 1960:160)”
Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan” (Koentjaraningrat 1963: 188).
Perhatikan stereotipe-stereotipe ini. Terdapat (a) “tradisi” Jawa—warisan dari masa lampau— (b) “struktur sosial”—yakni santri, abangan, dan priyayi— dan (c) “pandangan tradisional” yang sedikit mendapat pengaruh Islam, keseluruhan gabungan dari tiga hal ini menjadikan “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’.” Sehingga didapatilah Islam (bertentangan dengan tradisi, struktur sosial, dan pandangan Jawa yang melekat padanya) yang secara ketat berfokus pada ajaran, sifat intoleran, serta karakter eksklusifnya. Dengan menengok kembali sejarah pada tahun 1950-an, seseorang mungkin akan dimaklumi karena mengira bahwa hal ini lebih tepat untuk menggambarkan Gereja Katolik dibanding berbagai penampakan wajah Islam di seluruh dunia. Tentu saja tidak ada pengamat serius yang berani membuat klaim tersebut sampai hari ini. Namun perlu diingat, bahwa Geertz sedang mengamati dan menulis di saat polarisasi semakin menukik, di saat batas-batas antara santri dan abangan semakin mengeras secara parah. Publikasi tim MIT tetap sangat berharga untuk pemotretan polarisasi ini. Robert Jay, anggota tim lainnya, merangkum kejadian ini sebagai “sebuah perpecahan keagamaan yang membelah masyarakat lokal” (Jay 1969: 4-5) serta mengamati bagaimana perpecahan itu semakin mengeras selama bulan-bulan penelitiannya di Pare.
Jay menerbitkan sebuah monograf dengan judul terkenalnya, Religion and Politics in Rural Central Java — terkenal dikarenakan penelitian itu dilakukan di daerah Jawa Timur, bukan Jawa Tengah —daerah tempat ia berusaha memproyeksikan ketegangan abangan-santri dengan menariknya jauh ke masa lalu sejarah Jawa, dengan hasilnya yang tidak (terlalu) meyakinkan. Dia jelas melihat sejarah (Jawa) ini sebagai pertarungan antara Islam—sebuah kekuatan invasi baru—dengan kekuatan pra-Islam dan tradisi kebudayaan Jawanya yang secara implisit (dianggap) lebih asli. Pada abad ke-17, dia menulis, “Para penguasa pesisir dalam perlawanannya terhadap Mataram menyerukan Islam yang secara religius lebih murni sebagai standar menyatukan, terutama melawan Sultan Agung (1613-1646) dan penerusnya” (Jay 1963:10). Ada sebuah ironi tersendiri di sini, karena sebagaimana akan kita lihat di bawah, pemerintahan Sultan Agung merupakan masa penting bagi proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton. Lebih luas lagi, Jay mengemukakan skenario sejarah yang penuh stereotipe dari abad ke-14 atau ke-15 hingga seterusnya:
“Dimulai sekitar lima abad atau jika tidak enam abad yang lalu, Islam yang sedang menyebar, dengan perlengkapan falsafah keesaan maupun sifat eksklusifnya, serta kemampuannya memberi penganutnya rasa (persaudaraan) kuat akan komunitas, melibatkan dirinya dengan falsafah intelektual-adiluhung masyarakat Jawa yang didasarkan pada kepercayaan kuno dan ikatan sosial serta loyalitas yang menuntut luas.… Sementara unsur-unsur keagamaan yang lebih formal dari posisi tradisionalnya, yang mencakup bentuk ritual penyembahan dewa-dewa kuno Hindu-Jawa telah musnah, keutuhan ideologi corak tradisional Jawanya tetap saja bertahan. Di sisi yang lain, Muslim ortodoks yang lebih ekstrim telah berhasil menolak banyak bentuk-bentuk kebudayaan yang tersisa, terutama dalam estetika dan teologi. Akan tetapi, di antara kedua ekstrim ini jalan tengah luas akan proses akomodasi sungguh dapat berkembang, meskipun bukan tanpa gesekan. (Jay 1963: 101)”
Kita perlu mencatat lagi di sini bahwa stereotipe-stereotipe yang dibaku-standarkan. Islam (dianggap) memiliki sebuah “falsafah keesaan dan sifat eksklusif” serta termasuk memiliki jenis (kaum) “ortodoks yang lebih ekstrim.” Orang Jawa, sebaliknya, (dipandang) memiliki “falsafah intelektual yang adiluhung” beserta “bentuk-bentuk tradisionalnya.” Dalam pengantar untuk karya monografnya, sejarawan Harry Benda mengungkapkan kritisisme yang pasti membuat Dr. Jay yang masih junior akan (merasa) tak nyaman saat membacanya: “(sungguh) berharga serta sangat diperlukannya penelitian Dr. Jay ini… namun proyeksinya tentang perpecahan sejarah masyarakat Jawa pada masa lebih awal mungkin (akan) tumbang oleh beberapa kesangsian” dan catatannya terkait tahun 1930-an “saya pikir adalah keliru dan menyesatkan” (Jay 1963: iv). Hari ini mungkin kita akan mendukung kritik Harry J. Benda, karena saat ini kita memiliki banyak penelitian substantif untuk mendukungnya ketimbang yang dia miliki pada saat itu.
Pembedaan antara apa yang disebut Islam dengan apa yang asli Jawa tidak hanya ditemukan dalam publikasi sosiologis dan antropologis saja. Karya G.W.J Drewes (1899-1992) juga mencerminkan pandangan-pandangan demikian. Drewes tinggal di Indonesia dari tahun 1925 hingga tahun 1938, serta pada tahun 1946-7, jadi sekali lagi, dia merupakan seseorang yang jejak personalnya berasal dari era sebelum Perang Dunia II dan Era Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia. Setelah Perang Dunia II dia menduduki jabatan professorial di Universitas Leiden dalam kajian Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Studi Islam, dan Bahasa Arab. Mungkin seseorang akan berpikir bahwa ia memenuhi syarat untuk menjembatani sekat-sekat konvensional budaya. Pada tahun 1954, dia menerbitkan edisi baru karya primbon Jawa tentang ajaran-ajaran Islam yang jelas berasal dari abad ke-16. Karya ini sebelumnya telah diedit pada tahun 1921 oleh B.J.O Schrieke (1890-1945), yang menemukan terdapatnya bukti bahwa Islam telah diadaptasikan ke dalam latar masyarakat Jawa. Drewes menolak semua itu: “Hasil penelitian ini mengecewakan sejauh ini, karena tampak tidak terdapat bukti mengenai ‘proses adaptasi tersebut ke dalam lingkungan kebudayaan Jawa’ yang Schrieke pikir telah ia temukan indikasinya di dalam teks.” (Drewes 1954: 3). Selanjutnya, “Sosok guru yang di dalam pengajaran-pengajarannya, keseluruhan isu-isu ini muncul (di dalam teks), tidak diragukan lagi adalah seorang penganut mistisisme ortodoks,” tulis Drewes (1954: 4), yang jelas-jelas menyiratkan bahwa “proses adaptasi ke dalam lingkungan Jawa” akan sama saja dengan heterodoksi.
Kesimpulan Drewes dalam hal ini cukup mengherankan (aneh), yakni dengan menimbang istilah yang ditemukan di dalam teks primbon ini. Di sana, kita temukan (istilah) Allah digunakan dalam ungkapan perbendaharaan bahasa Arabnya, namun selain itu juga (ditemukan) istilah untuk Tuhan dalam Bahasa Jawanya pangeran (penguasa, dalam Bahasa Jawa dimaksudkan untuk penguasa dunia-sementara maupun penguasa yang mengatasi alam). Untuk surga, kita temukan kata swarga atau syarga, untuk jiwa ditemukan kata sukma dan untuk asketisme ditemukan kata tapa. Ini merupakan semua kosa-kata bahasa Jawa yang berakar dalam bahasa Jawa kuno dan/atau Sansekerta yang memuat konotasi pra-Islamnya. Kasus yang paling mencolok adalah penggunaan kata Jawa sembah dan sembahyang untuk (mengganti kata) salat. Sĕmbah adalah sikap badan untuk menghormat atau menyembah dengan cara meletakkan telapak tangan secara bersamaan tepat di depan hidung. Dalam kasus kata sembahyang, ini adalah sembah terhadap hyang, alias para dewa-dewa. Bagaimanapun, Drewes menerjemahkan sembah atau sembahyang tidak dengan kata Belanda untuk menunjuk ritus kebaktian tertentu, namun lebih memilih istilah Arab salat (Drewes 1954: 54-5) yang dengan demikian (justru) memperteguh di dalam terjemahannya (sendiri) kesan ortodoksi Islam tanpa “proses adaptasinya ke dalam lingkungan kejawaan.”
Dalam beberapa keadaan memang dapat ditemukan konflik antara Islam dan Jawa dalam pengertian identitas, corak budaya, maupun sistem kepercayaan. Hal ini bisa dilihat pada teks Jawa lain yang juga diedit oleh Drewes (1978), yang jelas berasal dari tahap awal proses Islamisasi di beberapa tempat di Jawa. Penanggalan atas teks ini yang merujuk pada abad ke-16 atau abad ke-17 adalah sepenuhnya spekulatif: teks ini bisa jadi berasal, katakanlah, dari Blambangan yang sekurang-kurangnya (baru) pada abad ke-18. Alhasil, ini jelas merefleksikan fase awal proses Islamisasi di masyarakat transisi. Satu kutipan terkenalnya agama Selam lawan gama Jawa, yakni, agama Islam vs agama Jawa, sementara kutipan lain mengecam pemakaian “busana kafir” (wong kapir…. pangganggone) (Drewes 1978:36-7).
Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.
Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.
Contoh lain warisan-warisan paradigmatik ini bisa dilihat dalam (buku) sejarah umum Indonesia karya B.H.M Vlekke (1899-1970). Sementara para sarjana yang telah dibahas di atas meyakini pandangan tentang Indonesia yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi mereka sebelum Perang Dunia II, Vlekke sendiri tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Dia dididik sebagai sejarawan Eropa dan akhirnya menjadi Profesor Hubungan Politik Internasional di Leiden. Selama perang berlangsung dia berada di Amerika Serikat. Di sanalah dia menuliskan bukunya, khususnya ditujukan untuk memperkenalkan Indonesia kepada orang-orang Amerika, yang sedang menjadi isu kebijakan penting dikarenakan pendudukan Jepang atasnya. Edisi pertamanya muncul di tahun 1943. Meskipun kurangnya pengalaman pribadi, namun sejarah Indonesia karya Vlekke ini sangat bagus dan selama bertahun-tahun menjadi rujukan standar bagi para pembaca berbahasa Inggris. Kendatipun demikian, kita (masih) menemukan refleksinya di sana terkait pemilahan yang penuh stereotipe antara apa yang (dianggap) asli Jawa dengan apa yang asli Islam. Sebagai contoh, dia menulis bahwa bagi sebagian besar penguasa Jawa di abad ke-16, “penerimaan Islam hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, dan untuk masa yang lama, banyak dari mereka enggan mengenal Islam sebagaimana seharusnya ia dikenali, yakni, sebagai ajaran tertutup (exclusive) bagi semua ajaran kepercayaan lainnya” (Vlekke 1965; 97). Sekali lagi, kita bisa melihat Islam sejati sebagai berkarakter tertutup/eksklusif dan dalam versi (penerapan) Jawanya sebagai sejenis (bentuk) pengelakan oportunistik atas karakter selayaknya ekslusifitas Islam.
Dalam karya-karya kesarjanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya, kita melihat sebuah paradigma tersirat yang menempatkan budaya Jawa “tradisional” asli yang berbeda dari pemahaman Islam yang benar. Budaya Jawa tersebut pada dasarnya adalah bercorak pra-Islam, masa kunonya adalah kerajaan Majapahit pada puncaknya di abad ke-14. Budaya ini didatangkan dari “falsafah adiluhung intelektual” masa lalunya (tulis Jay). Pada budaya Jawa asli ini datanglah Islam —sebuah kekuatan invasi asing yang (lebih) dibawa oleh para pedagang atau Sufi dibanding para prajurit/ksatria. Hal inilah yang menyebabkan konflik dengan budaya Jawa asli yang menolak perubahan. Hasilnya, dalam paradigma ini, adalah pertumbuhan Islam yang begitu lambat dan sangat terbatas pada kebudayaan Jawa. Maka Islam, mengulangi amatan Van Leur, “hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas.” Dalam istilah Geertz, abangan dan priyayi dipandang sebagai perwakilan yang masih hidup dari kebudayaan Jawa asli. Para santri mewakili sifat invasif dengan kepercayaan Islam terbatasnya, dari budaya identitas baru Islam.
Perlu dicatat bahwa terdapat sarjana-sarjana yang berbeda pendapat dari paradigma di atas. Pandangan Vlekke mungkin saja tidak lepas dari gagasan-gagasan penuh stereotipe, namun dia juga melihat kompleksitasnya. Tulisnya, “Apapun motif Sultan Agung, penerimaannya yang sungguh-sungguh atas keyakinan Islam tak diragukan lagi [menghasilkan] ketaatan yang lebih dekat pada aturan-aturan agama ini di dalam kerajaannya” (Vlekke 1965:150). Jadi Vlekke (tidak seperti Jay) memiliki gagasan terkait peran Sultan Agung dalam mendamaikan tradisi Jawa dan Islam, meskipun pada waktu itu belum ada penelitian yang signifikan mengenai pemerintahan Sultan Agung.
Sejarawan Jawa paling terkemuka pada masanya tidak diragukan lagi adalah H.J. de Graaf (1899-1984). Ketika menyelesaikan doktoralnya di tahun 1935, dia merupakan sarjana pertama yang dilatih baik sebagai sejarawan (dia merupakan murid dari Johan Huizinga di Leiden) maupun sebagai sarjana yang menguasai Bahasa Jawa. Dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun di Jawa, termasuk masa penahanannya di kamp penjara Jepang selama Perang Dunia II. De Graaf banyak dipengaruhi oleh sarjana Jawa terkemuka, yaitu Poerbatjaraka. Karyanya Geschiedenis van Indonesia memiliki otoritas yang tak akan pernah dicapai oleh karya Vlekke. Di dalamnya dia menulis proses akomodasi kultural antara Islam dengan masyarakat sekitar: “Islam hanya bisa berjaya jika memenuhi dalam beberapa takaran keinginan-keinginan orang Jawa. Maka bagian penting dari agama Hindu serta apa yang mendahuluinya dapat diselamatkan. Tradisi mempertahankan kesepakatan ini,” tulisnya (de Graaf 1949: 84). Selama tahun 1935 hingga 1942, De Graaf mengajar di Gereformeerd Belanda-Cina dan sekolah pelatihan guru untuk Belanda-Pribumi di daerah Surakarta. Dia memberitahukan saya bagaimana ia membawa murid-murid kelas sejarahnya berkeliling ke situs-situs bersejarah Jawa, yang sering dikaitkan dengan Islam, seperti Demak dan Kudus. Ini membuatnya mendapat masalah dengan otoritas Kristen ultra-ortodoks di sekolah itu, namun ia tetap bersikeras. Pada tahun 1958 De Graaf menerbitkan karya monografnya tentang pemerintahan Sultan Agung dan pendahulunya Panembahan Seda ing Krapyak. Dia menulis (terkait) ketergantungan nyata Sultan Agung atas penasihat Muslim yang dihormatinya, kehadiran regularnya di masjid, dan para pejabatnya diwajibkan untuk mengikutinya, pemaksaan pindah agama bagi tawanan perang Eropa ke Islam, serta (rekaman) tradisi saat setelah Sultan Agung wafat (Ia) dianggap sebagai orang suci [waliullah] (De Graaf 1958: 103-4). Saya tidak berpikir jika De Graaf—dia sendiri seorang penganut taat Calvinist konservatif —pernah tertarik dengan gagasan bahwa menjadi orang Jawa dan pada saat bersamaan seorang Muslim adalah (seperti diklaim Geertz) “sangat sulit.”
De Graaf bergabung dengan temannya Th.G.Th. Pigeaud (1899-1988) untuk menulis sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masa awal-awal pada abad ke-15 dan ke-16. Mereka bekerja dengan sumber-sumber sulit dan pelik untuk memberi makna sebaik mungkin yang mereka bisa mengenai sejarah periode tersebut. Hasilnya mau tak mau bersifat spekulatif di banyak tempat. Berkait dengan jurang pemisah antara apa yang disebut Jawa dengan apa yang disebut Islam, mereka memiliki pendapat ini:
“Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3). Spekulasi mereka dalam masalah ini, bagaimana pun, kerapkali melampaui bukti-bukti remeh yang bisa mendukung. Satu contohnya adalah komentar mereka bahwa “Pada periode ini… Kehidupan rumah tangga dan masyarakat Jawa di luar lingkungan keraton dipengaruhi oleh Islam dengan kecenderungan egaliternya, yang dalam hal ini berbeda secara kontras dengan masyarakat pra-Islam yang sarat (hierarki) kelas yang sakral serta aristokratik.”
(De Graaf dan Pigeaud 1974: 6). Sumber-sumber yang ada tidak bisa mendukung analisis pembedaan kelas macam itu.
Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3)
Walhasil, gagasan mengenai identitas Jawa dan identitas Muslim yang mustahil didamaikan dalam takarannya yang lebih luas adalah tidak diterima oleh semua sarjana. Tidak lebih hal itu hanya satu tafsiran semata, meski sangat luar biasa pengaruhnya. Pengaruhnya merentang melintasi studi politik, masyarakat, budaya, sejarah, dan agama. Dan itu merupakan sebuah paradigma yang saat ini lekas mati, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang saatnya kita bisa menimbang bagaimana transformasi tersebut akan berlangsung.
Tafsiran Baru
Dalam pandangan saya, ada dua alasan utama untuk meninggalkan paradigma lama serta menerima paradigma baru, yakni bergerak meninggalkan gagasan bahwa Islam adalah bersifat pinggiran (marginal) bagi sejarah Jawa mainstream menuju kepada gagasan bahwa Islam merupakan aspek utama di antaranya. Alasan pertama adalah peran Islam dalam masyarakat Jawa berubah secara tiba-tiba dari sekitar pertengahan 1960-an hingga seterusnya. Kedua adalah penelitian baru yang telah dikerjakan.
Perubahan sosial itu (begitu) signifikan, karena dari sejak pertengahan tahun 1960-an, Islam telah menjadi ciri yang lebih menonjol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panggilan salat (azan) mulai terdengar secara reguler, dikarenakan pemasangan listrik yang menyebar beserta keuntungan sistem alamat publiknya. Gaya hidup abangan menyusut di bawah pengaruh Islam yang lebih luas. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa lembaga-lembaga utama yang menyokong dan menguatkan identitas abangan menghilang atau secara dramatis melemah di bawah rezim Orde Baru Suharto. Penduduk desa abangan dalam banyak kasus, umumnya cenderung tidak simpatik terhadap otoritas dan lembaga yang terstruktur dan hirarkis. Ekspresi utama identitas abangan yang terlembagakan adalah partai-partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). PKI dibumihanguskan dalam pembantaian tahun 1965-6. PNI secara dramatis dilemahkan dan menghilang lalu “melebur” ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di tahun 1973. Partai-partai politik di pihak santri juga dikebiri, namun para santri mempunyai lembaga lain yang mendukung dan menghidupkan gaya hidup dan aspirasi kesalehannya, utamanya masjid-masjid: sekolah-sekolah agama: organisasi-organisasi besar, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persis; jaringan luas lembaga kesejahteraan sosial maupun tokoh-tokoh besar nasionalnya. Tidak ada yang sebanding ini di pihak abangan.
Rezim Orde Baru juga mempunyai agenda Islamisasinya sendiri. Hal ini diungkapkan melalui diwajibkannya pendidikan agama di sekolah-sekolah, proyek-proyek dakwah seperti PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) dan P2A (Pembinaan Pengamalan Agama), pengembangan sistem IAIN (Institut Agama Islam Negeri), pembangunan masjid, kewajiban pengumpulan zakat bagi pegawai negeri, dan berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia). Rezim ini tidak mentolerir persaingan politik dari organisasi keagamaan. Malah sebaliknya, ia mau mengatur dan mengarahkan Islam berdasarkan kepentingan prinsipnya sendiri untuk kontrol masyarakat dan penghancuran komunisme. Walhasil, salah satu buah dari pendekatan ini adalah (semakin) mendalamnya Islamisasi, yang sejalan dengan aspirasi para aktivis Islam. Ketika masyarakat Jawa menjadi terlihat lebih Islami dalam gaya tampilannya, para sarjana mulai sadar bahwa toh tidak “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’,” seperti yang diandaikan oleh Geertz.
Berkenaan dengan penelitian mutakhir yang menuntun kepada pemahaman berbeda terkait peran Islam dalam sejarah Jawa, akan lebih baik jika saya menguraikan pengalaman saya sendiri. Sejak dari masa awal-awal karier saya, saya sudah penasaran akan dikotomi santri-abangan. Saya meniti sebagai sejarawan muda pada tahun 1960-an, dengan harapan bisa menemukan (fenomena) abangan di Jawa pada abad ke-17 dan ke-18 serta sangat penasaran untuk melihat peran apa yang mereka mainkan. Tetapi abangan tidak pernah muncul, baik dalam sumber-sumber Belanda maupun Jawa. Oleh karena itu, pertanyaan segera muncul di benak saya terkait kapan dan bagaimana pemilahan sosial tersebut tampil. Saat saya untuk pertama kalinya tinggal di Jawa di tahun 1969, dikotomi tersebut jelas terlihat bagi saya, namun selama tahun-tahun setelahnya tampaknya kelihatan menyusut secara signifikan. Keingintahuan historis saya terus saja mengusik.
Di tahun 1990-an saya melakukan penelitian yang akhirnya akan menjadi (buku) The Seen and Unseen Worlds in Java (Ricklefs 1998), yakni mengenai masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-49). Sumber-sumber primer Bahasa Jawa yang tersisa dari periode itu lebih sedikit daripada periode selanjutnya, terutama dikarenakan keraton dijarah sebanyak dua kali pada tahun 1742, pertama oleh para pemberontak Cina beserta sekutu Jawanya, dan yang kedua oleh orang-orang Madura. Sehingga, saya kira saya sendiri bisa memulai tugas saya untuk memeriksa semua dokumen-dokumen asli yang tersisa dari masa pemerintan itu yang dapat diakses di koleksi MSS (manuscript and special collections) di Indonesia maupun di Eropa. Ahli sejarah Jawa, dalam memprioritaskan sumber-sumber primer yang perlu dirujuk, umumnya cenderung memilih babad, dokumen kontrak, surat-surat atau semacamnya, dibanding karya sastra (belles-lettres). Ini mungkin telah menyebabkan sikap meremehkan terkait pentingnya masalah-masalah agama, karena tampaknya telah menjadi konvensi sastra bahwa babad sudah semestinya menceritakan intrik-intrik keraton, konspirasi, peperangan, dan perselingkuhan, namun hanya memberi perhatian terbatas pada agama. Pada saat itu saya membaca semua sumber yang tersedia, termasuk karya-karya yang akan dikategorikan sebagai karya sastra (belles-lettres) serta mistisisme Islam. Dan oleh karenanya, saya menemukan diri saya—secara tidak terduga—berada di tengah-tengah episode utama proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton di dalam sejarah Jawa.
Saya membaca roman-roman memikat yang didasarkan pada tokoh-tokoh dari sejarah Islam, yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran keagamaan. Carita Sultan Iskandar adalah versi yang lebih panjang dari kisah perjalanan sosok Iskandar Agung (Alexander the Great) atau Zulkarnain (seperti yang dapat) ditemukan di dalam al-Quran (18: 82-98). (Juga) Serat Yusuf yang didasarkan dari cerita (Nabi) Yusuf di Mesir sebagaimana bisa ditemukan di dalam al-Quran surat ke-12. Tidak seperti Carita Iskandar, kisah Yusuf juga menjadi cerita popular di masyarakat dengan versi yang berkaitan meski lebih ringkas dibandingkan dengan versi keraton dari masa Pakubuwana II (Ricklefs 1998: 60-1). Dalam versi Jawanya, kisah Al-Quran tentang Nabi Yusuf telah menjadi cerita panjang tentang kesalehan serta keindahan (paras). Yang paling memukau dari semua karya-karya ini adalah Kitab Usulbiyah. Sebuah judul yang dimaksudkan untuk menggemakan cerita-cerita Nabi-Nabi Arab sebagaimana ditemukan dalam qisas al-anbiya [kisah para nabi], meskipun [episode] pertemuan Nabi Isa dengan Nabi Muhammad yang terjadi di bumi— sebuah item sentral dari cerita Uulbiyah—(sejauh yang saya tahu) tidak memiliki kesamaannya dalam qisas al-anbiya. Bagaimanapun juga, bisa kita anggap jika penulis Usulbiyah mengetahui kisah kenaikan Nabi Muhammad ke langit (Ar. mi’raj), di mana saat itu ia bertemu Ibrahim, Musa, dan Isa di Yerusalem. Karya-karya utama sastra ini jelas ditulis dalam konteks latar Jawa. Karya-karya ini juga semuanya sama-sama ditulis pada tahun 1729, pada awal pemerintahan Pakubuwana II, (yakni) atas perintah neneknya yang tangguh yang merupakan seorang Sufi saleh, Ratu Pakubuwana (lhr. 1657, m. 1732). Semua karya ini digambarkan memiliki kekuatan-kekuatan supranatural (daya kekeramatan), yang (sengaja) dikerahkan oleh Ratu Pakubuwana untuk menyempurnakan pemerintahan cucu laki-lakinya Pakubuwana II, seseorang yang telah menaiki tahta pada usia 16 dan sekurang-kurangnya bisa dikatakan, telah menunjukkan beberapa tanda-tanda kepiawaiannya. Sang ratu telah berhasil dalam tujuannya, setidaknya sampai rentang waktu itu, yakni pada tahun 1741, (menjadikan) sang raja menampilkan dirinya sendiri sebagai sosok pemimpin model Sufi dalam sebuah Perang Jihad (holy war) di saat dia berhasil menyerang bala tantara VOC di keratonnya sendiri.
Terdapat juga karya-karya pendek yang minat bahasannya bisa ditemukan dalam karya-karya yang telah disebut di atas, utamanya adalah Suluk Garwa Kancana: karya ini menggambarkan sosok raja ideal sebagai seorang ksatria-sufi saleh, yang ini barangkali mewakili sebuah visi kerajaan Jawa yang merujuk kembali kepada (sosok) Sultan Agung (untuk hal ini, lebih lanjut akan diurai di bawah). Masa pemerintahan ini pulalah sumber alamat asal sebuah karya wejangan moral dan agama yang dikatakan disusun sendiri oleh Pakubawana II, yakni Wulang-dalem Pakubuwana II. (Juga) Serat Cabolek meski hanya dikenal dalam MSS di kemudian hari, tetapi menceritakan kontroversi keagamaan di keraton pada tahun 1731, yaitu dalam rangkaian ceritanya, salah seorang tokoh protagonis secara mengesankan mencontohkan (model) sintesis Islam-Jawanya dengan menyatakan bahwa “makna dari kitab kawi Bima Suci dan Arjunawiwaha… seperti halnya kawi Ramayana, semuanya adalah (karya) tasawwuf (tesawup, Ar. tasawwuf)” (Ricklefs 1998: 149).
Semua karya-karya sufisme yang dikarang di lingkaran keraton ini mengkonfirmasikan (sesuatu) dalam benak saya bahwa Islam (perannya) begitu sentral untuk memahami pemerintahan Pakubuwana II yang dramatis dan berakhir secara mengenaskan itu. Karya-karya ini juga menuntun saya untuk melihat kembali pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-46), ketika ‘daya keramat’ karya-karya Carita Iskandar, Serat Yusuf, maupun Kitab Usulbiya-nya Ratu Pakubuwana ini, kesemuanya jelas mewakili versi baru dari karya-karya yang sebelumnya pernah disusun pada masa Sultan Agung. Dikatakan sendiri di dalam Suluk Garwa Kencana-nya bahwa ini merupakan sebuah karya “dari Susunan Ratu” (salah satu gelar yang dipakai oleh Sultan Agung di tahun 1630 sebelum mengadopsi gelar Sultan), karya ini, juga, mungkin didasarkan pada acuan dari masa Sultan Agung. Menjadi jelas bagi saya jika pemerintahan masa Sultan Agunglah yang mewakili denyut utama proses Islamisasi yang dipimpin keraton. Juga, masa pemerintahan inilah yang berusaha dicipta-kembali oleh Ratu Pakubuwana beserta para pengikutnya dalam denyut Islamisasi kedua seabad setelahnya. Jelas masih banyak yang perlu dimengerti terkait peran Islam dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad lalu.
Dan hal inilah yang menuntun saya kepada keputusan untuk mencoba menuliskan sejarah keseluruhan proses Islamisasi di kalangan masyarakat Jawa, (yakni) dari sejak bukti permulaannya pada abad ke-14 hingga hari ini. Hasilnya adalah tiga buku yang telah diterbitkan pada tahun 2006, 2007, dan 2012. Buku-buku tersebut menentang paradigma warisan yang telah dijelaskan di bagian pertama tulisan ini dan juga malah mengajukan sebuah sodoran pemahaman baru, yang mengakui peran sentral Islam dalam sejarah Jawa.
Buku pertama, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the fourteenth to the Early Nineteenth centuries (Ricklefs 2006) berusaha untuk memahami arti dari bukti-bukti yang berlimpah, namun remeh yang kerapkali gagal hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan utama yang muncul dalam pikiran kita. Dari abad ke-14 bukti-bukti tersebut menyarankan (akan) sebuah masa ketika identitas dan keyakinan agama saling bersaing, sebagaimana orang menduganya. Terdapat bukti-bukti terkait proses akomodasi antara identitas Jawa dan Muslim, maupun terkait konflik pada masa-masa awal ini. Sultan Agung muncul sebagai sosok rekonsiliator agung dari dua tradisi dan identitas tersebut pada awal abad ke-17. Setelah itu, datang lagi sebuah masa kontestasi, tantangan, dan peperangan, di saat para penantang dinasti Mataram mengibarkan panji Islam terhadap keraton yang, selama beberapa waktu setelah tahun 1670-an, telah banyak beraliansi dengan kafir-kafir VOC. Semakin keraton kehilangan legitimasi, maka semakin dibutuhkan dukungan militer VOC, dengan demikian, semakin berkobarlah rasa kesadaran Islam terhadap musuh-musuhnya. Pertempuran tersebut berakhir sekitar 1720-an dengan kemenangan dinasti keraton. Situasi inilah yang menciptakan adegan bagi pemerintahan Pakubuwana II beserta usaha rekonsiliasi keduanya atas identitas Jawa dan Islam di bawah pengaruh Ratu Pakubuwana.
Hasilnya adalah, menjelang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, apa yang saya namai sebagai “mistik sintesis” Jawa yang bertumpu pada tiga ciri khusus dalam (bingkai) batasan-batasan tasawuf yang bersifat longgar. Yang pertama adalah perasaan kuat akan identitas, bahwa menjadi Jawa adalah berarti menjadi muslim. Seperti yang telah dikatakan seorang tokoh utama dalam Serat Centhini, “telah menganut agama suci ini/ setiap helai rumput di tanah Jawa,/ mengikuti Nabi yang terpilih” (Ricklefs 2006: 202).
Karakteristik kedua mistik sintesis adalah tersebarluasnya ketaatan pengamalan lima rukun Islam: syahadat, salat, zakat, puasa selama bulan Ramadan, dan penunaian ibadah haji ke Mekah bagi yang mampu. Bukti praktik-praktik keagamaan ini di tingkat masyarakat Jawa rendahan sayangnya begitu terbatas, sehingga unsur kehati-hatian senantiasa sangat diperlukan. Tetapi bukti yang kami miliki menunjukkan adanya ketaatan yang meluas. Pada tahun 1822 Cornets de Groot melaporkan dari wilayah Gresik di Jawa Timur bahwa “pokok utama kepercayaan Islam”—yang dia maksud khususnya adalah lima rukun Islam— “dikerjakan oleh orang banyak… puasa dijalani oleh kebanyakan orang-orang Jawa dari semua kalangan” (Cornets de Groot 1852: 271-2; Ricklefs 2006:204-5). Raflles mengira bahwa Islam di Jawa “tampaknya hanya menembus lapisan permukaannya saja,” namun meski demikian tetap saja teramati (olehnya) bahwa “semua orang memandangnya sebagai simpul penghormatan (penting) baik untuk menyokong maupun menghormati ajaran-ajarannya.” “Ziarah ke Mekah adalah hal lumrah,” tulisnya, dan “setiap desa memiliki pendetanya [pemimpin Islam] masing-masing, serta… di setiap desa yang penting terdapat sebuah masjid maupun sebuah bangunan terpisah yang disesuaikan sebagai tempat ibadah keagamaan.” Raffles menganggap masyarakat Jawa, bagaimanapun juga, sebagai “Mohamedans yang tidak begitu sempurna” karena mereka gagal membenci orang-orang Eropa (Raflles 1830: 11, 3-5; Ricklefs 2006: 215-16). John Crawfurd, sebaliknya, secara keras mengingkari orang-orang Jawa, yang dia nilai sebagai “semi-barbar” dengan pemahaman dangkalnya mengenai Islam: hal ini barangkali justru memberi tahu kita lebih banyak tentang gagasan (aliran agama) Presbiterian Skotlandia yang dipeluk oleh Crawfurd terkait bagaimana agama-agama seharusnya dijalani daripada tentang (Islamnya) orang-orang Jawa (Ricklefs 2006: 216).
Karakteristik ketiga dari sintesis mistik adalah penerimaan kekuatan-kekuatan spiritual lokal. Ratu Kidul: Sunan Lawu; dhanyang desa; demit atau jin penunggu gua, gunung, serta hutan; memedi atau hantu yang mencuri anak-anak di malam hari, maupun yang (bisa) mengubah diri mereka menjadi harimau; kekuatan gaib lainnya yang secara tebal mengisi kesadaran mental orang-orang Jawa yang telah berkembang dalam pementasan wayang kulit dan bentuk-bentuk pentas lainnya—semua ini diterima sebagai nyata. Jika standar kepekaan modern (kita) mengira ini tidak konsisten dengan dua karakteristik sebelumnya, kita mesti sadar bahwa kombinasi gagasan-gagasan demikian ini bisa ditemukan secara merata di dunia Islam, sebelum (munculnya) gerakan reformasi (Islam) yang dimulai pada abad ke-18 dan ke-19, sebagaimana juga, memang, kompromi sejenis ini (juga) bisa ditemukan pada agama-agama dunia lainnya.
Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang berserakan) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya.
Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang remeh) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya
Buku berikutnya dalam seri Islamisasi Jawa (Ricklefs 2007) meninjau periode tahun 1830-1930 serta, sesuai judulnya, tentang Polarisasi Masyarakat Jawa: Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions. Setelah penaklukan definitif Belanda atas Jawa di tahun 1830, yang menjerumuskan masyarakat Jawa ke dalam pengalaman penjajahan sesungguhnya, di periode sekitar pertengahan abad, gerakan reformis Islam mulai menyebar. Kegiatan ini dipimpin serta didukung oleh kelas menengah yang baru lahir di Jawa yang utamanya berbasis di kota-kota Jawa yang seringkali memiliki hubungan bisnis dengan pedagang Arab. Mereka mengadopsi gaya hidup muslim yang lebih saleh, dan, ketika kekayaan mereka bertumbuh, semakin bertambah jumlah orang-orang yang menunaikan ibadah haji, dengan demikian mencipta mata rantai hubungan dengan pusat tersuci Islam serta dengan gerakan-gerakan reformis di Timur Tengah. Ada juga pertumbuhan tiba-tiba dalam jumlah pesantren di Jawa. Orang-orang Jawa saleh ini menyebut diri mereka sebagai kaum putihan, yang membedakan diri mereka dari yang kurang saleh, kurang terdidik, kurang berpengalaman, dan dari kerumunan miskin. Dari para reformis putihanlah muncul penolakan terhadap kepercayaan pada kekuatan spiritual lokal Jawa yang merupakan bagian dari mistik sintesis.
Meskipun begitu, terdapat juga reaksi negatif terhadap versi Islam yang lebih saleh dan ortodoks ini. Di antara penduduk desa biasa, tampaknya banyak yang menolak tuntutan para reformis tersebut. Jika memang benar ini Islam, mereka akan mengatakan bahwa itu bukanlah untuk mereka. Para putihan merendahkan mereka sebagai abangan—yang coklat atau merah, sebuah istilah yang pada waktunya akan mereka gunakan sendiri, (dengan) menghilangkan konotasi negatifnya. Istilah ‘abangan‘ tidak dapat ditemukan di sumber manapun sebelum pertengahan abad ke-19 maupun berbagai pemunculan gagasan terkait ciri ketidaksalehannya, yakni gagasan Muslim nominal atau abangan sebagai kategori sosial terpisah juga tidak ditemukan. Baik pengertian abangan sebagai kelompok sosial yang berbeda maupun sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan mereka, dengan demikian, jelas baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Setelah beberapa abad berlalu, istilah dan pemunculan gagasan abangan sebagai kategori sosial yang terpisah tersebar (luas) di seluruh pedalaman Jawa, sebuah proses yang hanya bisa kita lihat secara samar-samar karena tidak memadainya bukti. Maka tidak diragukan lagi bahwa abangan merupakan kelompok mayoritas di kalangan masyarakat Jawa. Tampaknya mereka (segera) menarik diri dari dua karakteristik awal sintesis mistik lamanya, dengan melemahnya (1) kekuatan komitmen atas identitas Islam serta menurunnya (2) ketaatan terhadap lima rukun Islam. Meskipun bukti untuk masyarakat kalangan rendah lebih baik pada abad ke-19 daripada sebelumnya, kita mesti harus akui bahwa itu semua masih terbatas. Namun tampaknya Carel Poensen—seorang misionaris-sarjana yang tinggal di Kediri selama tiga dasawarsa—sungguh tepat ketika dia mengamati bahwa “di antara mayoritas besarnya terdapat aliran arus lain yang… menyebabkan arus sebelumnya—yang dalam banyak hal terjadi begitu saja —agama akhirnya lambat laun menghilang di masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang mulai menjadi kurang religius dan saleh. [3]
Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam. Pada awal abad ke-20, partai-partai politik muncul di Jawa dan perbedaan antara putihan dan abangan menjadi terpolitisasi dan terlembagakan. Maka lahirlah apa yang dikenal sebagai politik ‘aliran‘ di Indonesia, yaitu kesetiaan sosial dan keagamaan lebih penting daripada kelas sosial. Pada akhir abad ke-19 kita bahkan (bisa) menemukan orang Jawa yang menolak Islam secara total sebagai sebuah kesalahan peradaban (civilizational mistake). Juga, untuk yang pertama kalinya, sebuah komuntias kecil Jawa Kristen muncul.
Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam.
Kelas sosial sangatlah penting dalam masyarakat Jawa dan pada kalangan kelas atasnya tantangan lain proses Islamisasi yang lebih dalam, (segera) muncul. Para elit birokrat, para priyayi, tertarik dengan modernitas yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, yang dengan perkembangan ilmu saintifiknya, menghubungkan (mereka) dengan peristiwa dunia serta kecurigaan terhadap “fanatisme” Islam. Acara-acara sosial bergaya Eropa, klub membaca, perabotan rumah, dan gaya pakaian juga menarik perhatian para priyayi. Dengan demikian mereka menjadi lebih berjarak dari masyarakatnya sendiri, khusunya dari kalangan putihan yang saleh.
Demikianlah, bahwa menjelang tahun 1930 masyarakat Jawa secara gawat telah terpolarisasi pada garis-batas identitas keagamaan, kelompok sosial, maupun politiknya. Lokasi juga penting, dengan perbedaan signifikan antara penduduk pedesaan dan perkotaan serta bahkan beberapa perpindahan penduduk di kalangan masyarakat pedesaan yang sejalan dengan garis aliran. Menjadi jelas bagi saya bahwa ini bukanlah situasi yang “sudah ada sejak mulanya” yang berakar jauh ke masa lalu, seperti yang Dr. Jay bayangkan, maupun secara jelas-jelas diasumsikan oleh para sarjana lain. Sebaliknya, ini adalah fenomena historis yang tak menentu (terus berubah), tanpa kedalaman temporal yang relevan. Pada tahun 1930 fenomena ini kurang lebih berusia satu abad di manapun di Jawa, maupun di banyak tempat tidak lebih dari satu atau dua generasi (saja).
Buku terakhir dari seri ini (Ricklefs 2012) berusaha (sebagaimana judulnya) untuk memotret kisah [Islamisasi dan Para Penentangnya di Jawa]: Islamisation and its Opponents in Java from c.1930 to the present, yakni melalui “sejarah politik, budaya, sosial, dan keagamaan.” Selama periode tersebut, polarisasi masyarakat Jawa yang telah terpolitisasi meningkat menjadi kekerasan selama masa Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia—terutama di Madiun pada tahun 1948. Hal ini menyediakan nutrisi bagi kekacauan politik dan gejolak sosial pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, yang memuncak dengan pembantaian mengerikan pada 1965-1966. Seperti yang telah dicatat sebelumnya, PKI hancur dalam pembantaian ini. PNI melemah dan selanjutnya lebih jauh bubar melalui “peleburannya” ke dalam PDI pada tahun 1973. Seluruh partai politik dilarang melalui kebijakan “massa mengambang”-nya untuk memiliki struktur organisasi di bawah tingkat kabupaten, terkecuali selama masa kampanye pemilu. Dengan demikian, lembaga-lembaga utama yang mengungkapkan serta menguatkan identitas abangan —yakni para penentang Islamisasi yang disebut dalam judul—sekarang dianggap telah impoten. Dari sisi masyarakat santri Jawa, sebaliknya, memiliki lembaga-lembaga yang masih bertahan yang bertumbuh menguat dan semakin menguat dalam masyarakat, meskipun dicegah untuk mempunyai ekspresi politik yang efektif.
Ketika Islamisasi berkembang dari akhir 1960-an, maka kalangan abangan menjadi impoten secara politik dan berkurang secara sosial, padahal jelas-jelas mayoritas. Walaupun bukti statistik pada masalah rumit ini umumnya tidak terlalu kuat, sangat memungkinkan bahwa (jumlah) presentase populasi orang Jawa yang dianggap sebagai abangan akan menjadi minoritas sebelum akhir periode kekuasaan Orde Baru di tahun 1998. Usaha saya untuk menilai perimbangan antara santri dan abangan di awal tahun 1950-an berdasar bukti yang kurang sempurna menunjukkan (bahwa) sekira antara 10 hingga 40 persen orang Jawa adalah saleh, alias santri taat pada sekitar pertengahan 1950-an, dan sekira 60 hingga 90 persennya adalah abangan (Ricklefs 2012: 81-5). Boland mengutip survei yang menunjukkan rendahnya tingkat ketaatan atas lima rukun Islam di tahun 1960-an. Pada periode tersebut, di desa-desa Jawa Tengah sekitar 0 sampai 15 persen responden Jawa melaksanakan ritual ibadah sholat, dan pada tahun 1967 hanya 14 persen dari warga Yogyakarta membayar zakat, sementara hanya 2 persen saja yang menjalankan ibadah puasa (Boland 1971: 186). Angka-angka tersebut konsisten dengan gagasan bahwa abangan adalah mayoritas pada saat itu. Sebuah gambaran kontras muncul dari survei sosial yang diadakan sepanjang periode 2006-2010. Pada waktu itu, sekitar 90% responden Jawa mengaku bahwa mereka selalu melaksanakan sholat dan ibadah puasa, atau secara rutin ataupun “cukup sering.” Ini tidak harus membuktikan bahwa orang-orang tersebut (sungguh-sungguh) berperilaku seperti itu dalam praktiknya, namun hal demikian benar-benar memberi tahu kita terkait respon apa yang telah bisa diterima secara sosial. Permintaan besar di kalangan masyarakat Jawa untuk menunaikan ibadah haji—dengan daftar tunggu bertahun-tahunnya (waiting list) untuk mendapatkan tempat—juga mencerminkan betapa dominannya baik identitas (Jawanya) yang telah terislamisasi maupun wacananya dalam masyarakat Jawa kontemporer (Ricklefs 2012: 268-72).
Komentar Penutup
Sangat krusial bagi pemahaman kita berkait paradigma historis—yakni sebuah gagasan tentang adanya jurang pemisah dalam antara apa yang disebut Jawa dengan Islam—yang telah mengawali pembahasan-pembahasan kita, untuk mencatat kembali penentuan kelahiran paradigma tersebut. Ia muncul dalam diskusi-diskusi kesarjanaan pada periode berkembangnya polarisasi pemilahan yang berbahaya dalam masyarakat Jawa dari awal abad ke-20 selama tahun 1950-an. Apa yang diamati Geertz dan rekan-rekannya adalah benar memang sebuah rasa permusuhan serius antara santri-abangan yang terus meningkat. Tempat mungkin penting sebagaimana pentingnya penentuan waktu, karenanya sangat berharga untuk mencatat (apa) yang dikerjakan Geertz dkk. di daerah Pare, Kediri. Bukti historis menunjukkan (jelas tak diketahui oleh tim MIT) bahwa dari sejak akhir abad ke-19, inilah daerah dengan polarisasi sosial, budaya, dan keagamaan yang kuat. Buku-buku anti-Islam yang mengolok-olok Islam serta yang menggambarkan Islamisasi Jawa sebagai kesalahan peradaban ditulis di sana pada tahun 1870-an: Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandul (Ricklefs 2007: 181-211). Di sana Partai Komunis Indonesia sudah cukup kuat sebelum tahun 1965. Jadi Geertz dan rekan-rekannya tidak salah dalam pengamatan mereka, namun mereka salah dalam asumsi bahwa situasinya sudah lama seperti ini. Oleh karena itu mereka memeluk, menyokong, dan mempromosikan paradigma tersebut, yang sekarang bisa kita katakan terbukti salah sebagai sebuah pandangan atas sejarah Jawa. Apa yang mereka amati bukanlah manifestasi kontemporer dari konflik lama yang merujuk ke masa belakang pada permulaan perkembangan Islam di Jawa. Alih-alih mereka melihat sebuah keadaan sejarah yang terus berubah, mereka malah (memilih) fase jeda atau terhentinya sesuatu seperti rentang abad dalam sejarah panjang Islamisasi masayarakat dan kebudayaan Jawa. Mereka salah berasumsi—sebagaimana yang diusulkan Jay dalam monografnya—bahwa ketegangan dan rasa permusuhan santri-abangan sudah lama berlangsung. Belum ada yang berhasil (sebelum ini) membuktikan lewat penelitian sejarah bahwa gagasan-gagasan mereka tersebut adalah salah.
Penggulingan paradigma lama yang berpengaruh tersebut adalah penting, dan tidak hanya untuk pemahaman kita mengenai masa lalu. Ia juga memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang situasi kontemporer akan perubahan agama di Indonesia dan bahkan bisa membantu kita untuk berpikir lebih jernih tentang kemungkinan masa depannya.
Sangat menyenangkan bisa mengatakan bahwa banyak penelitian untuk (kemunculan) perspektif-perspektif baru kita, telah dikerjakan oleh para sarjana Indonesia. Telah lama menjadi pandangan saya bahwa kepemimpinan internasional untuk studi Islam Indonesia harus muncul dari Indonesia sendiri. Dalam penelitian saya sendiri, saya mengandalkan baik dari karya-karya sarjana-sarjana mapan maupun dari sarjana Indonesia yang lebih muda.[4] Di sanalah, menurut pandangan saya, terdapat masa depan studi Islam bagi keseluruhan masyarakat Jawa.
Tulisan ini merupakan publikasi ulang, dengan sedikit variasi, dari makalah yang diterbitkan dengan judul yang sama di Studia Islamika 21.3 (2014): 399-418. Ia didasarkan pada paparan utama (keynote lecture) pada Agustus 2014 dalam sebuah konferensi di Jakarta dalam perayaan ulang tahun ke 20 Studia Islamika, yang mempunyai tema khusus “South Asian Islam: Legacy and New Interpretation.”
[1] Buku ini didedikasikan untuk “Wedono, Modin, dan tuan rumah abangan saya: “Nuwun Pangestunipun Sedaya Kalepatan Kula,” yang memohon orang-orang ini untuk memberkati semua kesalahan-kesalahan Geertz. Apa yang dimaksudkannya adalah nuwun pangapunten: mohon dimaafkan.
[2]Penggunaan istilah santri untuk kelompok sosial yang lebih luas sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya. Lihat Ota 2006: 183 n. 47; Ricklefs 2007:49, 248.
[3] Diskusi dan terjemahan yang lebih lengkap dari pengamatan Poensen dari tahun 1880-an dapat ditemukan di Ricklef 2007: 96-102.
[4] Pembaca akan menemukan karya-karya penulis Indonesia berikut (antara lainnya) yang dikutip dalam tiga buku Islamisasi di Jawa: Azyumardi Azra, Jamhari Makruf, Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, Kuntowijoyo, Onghokham, Hermawan Sulistyo, Najib Burhani, Muhamad Hisyam, Irwan Abdullah, Arbi Sanit, Zamakhsyari Dhofier, Bachtiar Effendy, Fauzan Saleh, Amelia Fauzia, Noorhaidi Hasan, Masdar Hilmy, Luthfi Assyaukanie, Fajar Riza Ul Haq, Ihsan Al-Fauzi, Himawan Soetanto, Muhaimin, Abdul Munir Mulkhan, Raharjo Suwandi and Soegijanto Padmo.
Sumber Pustaka
Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. VKI 59. The Hague: Martinus Nijhoff.
Cornets de Groot, A.B. 1852. “Bijdrage tot de kennis van de zeden en gewoonten der Javanen.” Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 14. 2: 257–80, 346–67, 393–422.
Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1954. Een Javaanse primbon uit de zestiende eeuw, opnieuwuitgegeven en vertaald. Leiden: E.J. Brill.
Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1978. An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Bibliotheca Indonesica 18. The Hague: Martinus Nijhoff.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. London: The Free Press.
Graaf, H.J. de. 1949. Geschiedenis van Indonesië. ’s Gravenhage and Bandung: N.V. Uitgeverij W. van Hoeve.
Graaf, H.J. de. 1958. De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram 1613–1645, en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak 1601–1613. VKI 23. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Graaf, H.J. de, and Th.G.Th. Pigeaud. 1974. De eerste Moslimse vorstendommen op Java: Studiën over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw. VKI 69. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Jay, Robert R. 1963. Religion and Politics in Rural Central Java. [New Haven:] Cultural Report Series no. 12, Southeast Asian Studies, Yale University.
Jay, Robert R. 1969. Javanese Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto. Cambridge MA, and London: The MIT Press.
Koentjaraningrat. 1963. “Review of Geertz, The Religion of Java.” Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia 1.2: 188–91.
Leur, J.C. van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Social and Economic Histor the Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.
Ota Atsushi. 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, 1750–1830. Leiden and Boston: E.J. Brill.
Raffles, Thomas Stamford. 1830. The History of Java. 2 vols. 2nd ed. London: John Murray.
Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726–1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. St. Leonards, New South Wales: Allen Unwin; Honolulu: University of Hawai’i Press.
Ricklefs, M.C. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: EastBridge.
Ricklefs, M.C. 2007. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830–1930. Singapore: Singapore University Press; Honolulu: University of Hawai’i Press; Leiden: KITLV Press.
Ricklefs, M.C. 2012. Islamisation and its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present. Singapore: National University of Singapore Press; Honolulu: University of Hawai’i Press.
Vlekke, Bernard H.M. 1965. Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve Ltd.
Sumber ilustrasi: Winged horse in a Javanese manuscript of Serat Sela Rasa, 1804. British Library, MSS Jav 28, f. 68r.
Editor: Mohammad Hagie
Beberapa bulan lalu tempat kami, Langgar.co, kedatangan tamu salah satu mahasiswa dari Kobe University, Jepang. Namanya Saki Maeta. Perempuan. Usianya masih sangat muda, kira-kira baru 21 tahun. Walaupun begitu, ia sudah menempuh jenjang pendidikan S2 di kota Kobe, kampusnya berada. Yang membuat saya kaget adalah ketika ia menceritakan maksud dan tujuannya. Yaitu ia tertarik untuk meneliti soal weton atau perhitungan Jawa. Suatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya di benak saya: seorang anak muda dari negeri jauh ingin meneliti salah satu khasanah pengetahuan kita yang hari ini mungkin sudah hampir banyak ditinggalkan oleh generasi muda Jawa.
Terlepas dari hal itu, soal maksud dan tujuan Saki Maeta di atas, saya jadi teringat salah satu peristiwa yang kadang membuat saya mau tidak mau harus belajar lagi terkait diskursus pengetahuan weton ini. Pasalnya, di Pantura daerah saya tumbuh dan besar, keyakinan perihal tradisi pengetahuan ini masih melekat begitu kuat dan menjadi satu instrumen penting dalam menentukan peristiwa daur hidup acara-acara masyarakat, terutama seperti acara pernikahan. Kaitannya dengan weton pernikahan ini, saya ingin bercerita terlebih dahulu agar konteks tulisan ini bisa tergambar dengan utuh.
Jadi, saya mempunyai teman dari daerah Pantura. Teman saya ini sedang gandrung dengan seorang perempuan. Saya tidak ingin menceritakan detil kenapa keduanya bisa dipertemukan. Apakah dari proses pandangan pertama atau yang lain, tentu saya tidak tahu. Singkat cerita, kedunya kemudian saling mencintai dan akhirnya menjalin hubungan khusus. Tetapi, setelah teman saya itu sudah mengikat dalam ikatan cinta, sebut saja pacaran, keduanya lantas memutuskan untuk saling memperkenalkan kepada orang tua masing-masing. Sebenarnya dalam proses saling mengenalkan pasangan satu sama lain ini menjadi hal biasa dalam suatu hubungan. Tapi yang tidak biasa adalah menurut kepercayaan dari pihak laki-laki, bahwa suatu hubungan harus sesuai dengan perhitungan weton seperti orang-orang tuanya pernah lakukan. Soal hitungan ini, pada dasarnya tidak menjadi soal selama kebetulan hitungannya pas/cocok dan sesuai. Namun naasnya nasib teman saya itu hitungan weton dengan calon yang akan dipinangnya, menurut pandangan orang tuanya––hasil tanya orang tua (orang pintar)––tidak baik, bahkan menandakan hal buruk.
Hasil perhitungan weton tidak cocok itu lantas mengubah kisah cinta keduanya. Menurut teman saya, keputusan orang tua terutama bapaknya sendiri sudah bulat. Bahkan sudah tidak bisa diganggu gugat. Bagi bapaknya , soal hitungan ini menjadi batu pijakan pertama dalam menjalin suatu hubungan. Bapaknya meyakini bahwa weton sangat berpengaruh terhadap bahagia dan celaka dalam relasi rumah tangga.
Maka, sebagai anak yang berbakti, teman saya tampaknya pasrah dengan keputusan bapaknya yang kukuh itu sehingga akhirnya sampai tulisan ini dibuat, kabarnya hubungan mereka kandas. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana hasil dari hitungan weton antara mereka, sehingga membuat hubungan mereka tidak bisa diselamatkan.
Terlepas dari itu semua, yang ingin saya tekankan dari cerita di atas ialah di era hari ini dengan segala kemajuan gagasan rasionalnya, ternyata cengkeraman tradisi masih begitu kuat dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa terutama sebagian besar masyarakat Pantura, daerah saya. Dalam kasus di atas, bahkan sampai mengakibatkan kisah cinta teman saya akhirnya kandas. Saya tidak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi dalam diri saya, ketika saya sudah benar-benar mencintai pasangan saya, tiba-tiba hanya karena perhitungan weton ini saya tidak bisa menikahi calon pasangan saya. Suatu hal yang membuat saya bertanya, apakah tidak ada alternatif lain untuk memecahkan persoalan cinta dalam belenggu tradisi itu? Karena dengan penuh curiga, saya merasa dalam banyak tradisi yang tersisa di tengah masyarakat termasuk mengenai keilmuan weton ini banyak pengetahuan yang terputus, bahkan tidak terhubung lagi dengan gagasan awalnya. Maka dari itu, tulisan ini mencoba mendudukkannya.
Konsep Weton Dalam Jantung Keilmuan Jawa
Cerita singkat di atas sebenarnya sering saya temui dalam lingkungan sosial saya sendiri. Bahkan kasus tersebut terjadi dalam keluarga saya sendiri. Ceritanya sering kali berujung pada dilema. Dalam takaran tertentu, keluarga saya juga masih memegang konsep hitungan weton, walaupun tidak terlalu fanatik. Bahkan sampai sekarang, Pak Lek (adik bapak saya) bisa dikatakan menjadi salah satu praktisi yang sering ditanya mengenai persoalan Weton banyak orang di desa. Konteks inilah, dengan pantikan cerita di atas, membuat saya tergerak untuk membaca ulang tradisi weton kesadaran orang Jawa hari ini.
Sebelumnya, saya ingin memulai dengan menelisik makna kata dan bagaimana logika keilmuan ini berkembang. Misalnya, kata weton dari kata wetu berarti lahir (derivasi: metu, artinya keluar—red), sedangkan weton berarti waktu kelahiran. Dalam kerangka keilmuan Jawa, weton dalam kategori primbon (asal: per-imbu-an, sesuatu yang di-imbu, disimpan—red) yang berarti simpanan, bentuknya kini berupa kitab catatan kumpulan ilmu-ilmu keseharian orang Jawa. Biasanya, dalam kitab primbon terdapat berbagai jenis keilmuan yang tersimpan. Mulai dari perhitungan hari-hari baik, peramalan nasib, peramalan watak manusia, ritual “slametan,” membaca karakter alam “pranata mangsa,” cara melakukan ritual pengantin, membuat rumah, jenis-jenis tumbuhan pengobatan, mantra tolak balak, dan ilmu kesaktian hingga rajah kekebalan. Sejauh ini yang saya temukan primbon itu dalam 11 jenis buku––mungkin jumlahnya bisa lebih banyak dari itu. Beberapa jenis primbon tersebut antara lain: Lukman Hakim, Betal jemur Adammakna, Atassadhur, Adammakna, Bektidjamal dan sebagainya.
Pertanyaannya kemudian dari mana nama-nama asing itu diambil? Setelah saya lacak lebih jauh, nama-nama tersebut ternyata terinspirasi dari Serat Menak. Sebuah kitab epos besar yang bernafaskan Islam dari Persia yang menceritakan paman Nabi Muhammad, Amir Hamzah yang kemudian populer di tanah Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Cerita epos ini kemudian berkembang ke tanah Jawa yang hari ini menyisakan sekuel-sekuel cerita dalam bentuk lakon Wayang Golek dan tari Wayang Orang. Sebelumnya, Serat Menak digubah secara kreatif oleh pujangga besar Jawa Pangeran Yasadipura I, dari Kasunanan Mangkunegaran, sehingga melalui kitab gubahan ini nama-nama tokoh yang terdapat dalam kisah Menak dijadikan nama-nama buku primbon seperti diuraikan. Lebih jauh, saya sendiri kurang bisa menjelaskan perihal kenapa nama-nama primbon diidentikkan dengan serat tersebut. Tetapi seturut pelacakan saya memang dalam cerita Serat Menak, ada sekuel cerita yang diperankan Lukman Hakim, tokoh yang diberi anugerah oleh Tuhan mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan makhluk selain manusia, seperti hewan dan jin. Seperti dikisahkan bahwa dalam suatu perjalanan, Lukman bertemu salah satu jin, lalu oleh sang jin, ia diajari cara mengakses prenik-prenik keilmuan terkait daur hidup manusia. Dugaan saya, dari cerita itulah kemudian salah satu nama kitab primbon identik dengan nama tokoh tersebut.
Kita bisa ambil contoh lagi misalnya dalam kitab primbon Adammakna kategori petungan, dijelaskan panjang lebar bahwa konsep hari dan pasaran baik dan buruk sebenarnya didasarkan pada hukum kosmologi yang dipercayai masyarakat Jawa. Secara sederhana, konsep petungan ini didasarkan pada ilmu falak atau astrologi, yaitu ilmu yang mempelajari orbit dan garis edar bintang-bintang. Ilmu perbintangan ini merupakan salah satu jenis ilmu peninggalan peradaban lama. Bahkan, setiap bangsa-bangsa besar pasti mempunyai khasanah keilmuan ini.
Jika di peradaban Eropa kita mengenal Zodiak, di Timur Tengah Ilmu Falak, di China ilmu Shio, dan di Jawa kita mengenal Ilmu petungan weton ini.
Jamak kita ketahui bahwa perkembangan Islam di Jawa cukup mewarnai dialektika keilmuan petungan yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Dalam kasus masyarakat Jawa Islam, ilmu falak lalu berkembang sedemikian rupa, dan puncaknya terjadi pada zaman Sultan Agung di paruh awal abad ke-17. Saat itu, entah dapat wisik seperti apa, Sultan Agung mempunyai gagasan untuk memadukan konsep penanggalan Jawa kuna (Saka) yang didasarkan pada perhitungan Matahari, Suryasengkala atau Syamsiyah, (lebih tepatnya Lunisolar, perpaduan matahari dan rembulan, seperti kalender Yahudi—red) dengan konsep perhitungan Islam (maksudnya Hijriyah—red) yang didasarkan pada hitungan bulan Candrasengkala atau Qomariyah. Hasil perpaduan itu pada akhirnya menjadikan penanggalan baru yang khas orang Jawa yang mungkin tidak ditemukan di tempat lainnya, dan penanggalan itu lamat-lamat masih dijadikan pandu oleh masyarakat kita hingga sekarang.
Melalui perubahan besar itulah lalu berkembang khasanah ilmu petungan weton, yakni ilmu untuk menghitung segala kebutuhan daur hidup manusia Jawa berdasarkan bulan dan hari-hari penting sesuai koridor peredaran bulan, matahari, dan bintang-bintang. Tidak hanya itu, turut berkembang pula ilmu “jangka”, bisa kita sebut “ramalan”. Jangka yang didasarkan pada perhitungan peredaran gerak alam semesta ini, tentu tidak sekonyong muncul begitu saja. Jika kita telisik lebih jauh, apa yang disebut jangka pada dasarnya adalah kemampuan orang zaman dahulu untuk membaca pola dari gerak alam, sehingga memunculkan ungkapan yang disebut “sasmita,” tanda-tanda atau gejala-gejala hukum alam yang tergelar di setiap waktunya. Melalui kemampuan membaca tanda-tanda alam itulah, leluhur kita mestrukturasi temuan-temuannya dengan berbagai pralambang, mulai dari angka-angka dan cerita mitologi yang sangat sistematis dan matematis untuk menjadi acuan agar manusia selalu bisa belajar dan selaras dengan gerak alam. Gagasan utamanya adalah bahwa setiap pergerakan semesta, dalam hal ini semua unsur alam seisinya pasti akan selalu berkorelasi dan mempengaruhi tumbuh kembangnya manusia. Pergerakan unsur-unsur alam yang dipengaruhi oleh peredaran alam semesta inilah yang akhirnya menjadi titik pijak, dan menjadi ilmu petungan berkembang.
Dari konteks sejarah dan teorisasi yang cukup rumit itu, saya kemudian mulai bisa memahami bahwa tujuan dari ini semua, leluhur kita sebenarnya ingin menciptakan tatanan hidup yang selaras antara manusia dan alam semesta. Karena, seperti ajaran yang tersimpan dalam serat dan babad, mereka selalu mengingatkan kita bahwa manusia sendiri pada dasarnya merupakan bagian dari alam yang juga terbentuk dari saripati unsur-unsur alam: mulai air, tanah, api, dan udara. Maka dari itu, manusia tentu tidak bisa lepas dari segala perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri.
Belum lagi dalam kesadaran orang Jawa bahwa alam semesta ini terbagi menjadi dua, yaitu jagad gede (besar) dan jagad cilik (kecil). Jagat besar adalah semesta batin yang ada dalam diri kita, dan jagat cilik ini adalah alam semesta yang ada di luar diri kita. Kedua alam ini pada dasarnya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dari konsep antara dunia yang lahir dan yang batin ini, kemudian memunculkan satu paradigma atas relasi antara satu unsur alam dengan unsur yang lainnya yang saling terhubung antara manusia dan alam yang saling terikat dan tidak bisa dipisahkan. Jadi keutuhan pandangan antara realitas yang ada di luar dan di dalam ini menjadikan semua kejadian dari alam yang tergelar di luar manusia itu mempunyai pengaruh terhadap batin/jiwa yang berada di dalam diri manusia.
Dari gagasan dasar yang sangat filosofis tersebut, saya kemudian bisa membayangkan bagaimana konsep hitungan weton lebih spesifik pada urusan hubungan sebuah pasangan, pada akhirnya bisa menjadi satu pengetahuan yang sistematis dan logis. Bahwa setiap hari kelahiran yang didasarkan pada gabungan hitungan penanggalan Jawa (Saka) biasanya disebut pasaran dengan Islam (Hijriyah), semuanya menyimbolkan bilangan angka. Dalam bilangan angka itu, rekam jejak karakter manusia bisa dibaca, lalu dititeni (ditandai) menjadi simpul-simpul pengetahuan terkait diri seseorang. Misalnya dalam perhitungan Jawa seperti Pahing = 9, Wage = 5, Pon = 7, Kliwon = 8 dan Legi = 5, begitu pula perhitungan hari-hari dalam kalender Hijriah, hari Ahad 5, Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6 dan Sabtu 9. Angka-angka dari kedua perhitungan tersebut lalu dijumlahkan. Seperti halnya saya lahir pada hari Senin Pon, berarti menunjukkan angka (4+7 = 11). Jumlah nominal 11 menunjukkan karakter seseorang yang interpretasinya bisa berbeda-beda.
Dalam konteks hubungan pernikahan jumlah nominal sebelas tersebut dijumlahkan dengan tanggal kelahiran sang calon pasangan dengan konsep perhitungan yang sama. Misalnya hari kelahiran pasangan saya Selasa Kliwon (3 + 8 = 11), dari angka 11 kemudian dijumlah dengan 11 dari saya, jadinya 22, artinya dalam buku primbon diprediksi akan berjodoh dan murah rezeki. Logika sederhana perhitungannya begitu. Tetapi lagi-lagi, hal tersebut tidak serta merta bisa kita yakini secara bulat begitu saja. Karena bagaimanapun kedudukan keilmuan ini masih sangat bersifat spekulatif. Hingga akhirnya saya sendiri mulai mencoba memposisikan bagaimana bangunan nalar keilmuan di konteks dunia modern hari ini.
Satu hal yang penting dicatat di sini ialah proses olah batin atau yang dilakukan oleh para leluhur, sehingga mampu merumuskan sistem tanda yang ada dalam keilmuan primbon ini. Karena yang saya pahami tidak mungkin muncul pengetahuan bersifat holistik seperti itu tanpa ada laku rohani atau tirakat sebelumnya. Jadi, kualitas rohani dalam hal ini mempunyai posisi penting. Karena seperti sedikit diulas tadi, bahwa penangkapan fenomena yang ada di luar tersebut tergantung sejauh mana seseorang bisa menyelam pada dunia batinnya. Walaupun begitu, yang harus digaris bawahi dalam khasanah keilmuan primbon ini, jika kita meminjam kerangka keilmuan Ki Ageng Suryamentaram baru masuk dalam level “kawruh,” belum menjadi “ngelmu” (baca: ontologi ngelmu). Artinya primbon ini baru menjadi pengetahuan/informasi, tetapi belum menjadi ilmu yang mempunyai sifat kebenaran mutlak. Hal ini dijelaskan dalam pengantar buku-buku primbon bahwa apa yang ada dalam primbon bukanlah suatu kebenaran mutlak, tetapi menjadipengetahuan yang diisyaratkan dari catatan pengalaman lahir batin dari leluhur, sehingga semua penentu dari segala kejadian dikembalikan pada Gusti Allah.
Nalar Tradisi dan Kedudukannya Hari ini
Apa yang saya uraikan panjang di atas terkait bangun historis dan filosofis dari tradisi keilmuan weton, tentu akan lebih mempermudah kita untuk memahami kenapa tradisi pengetahuan tersebut bisa menyebar luas dan banyak diyakini oleh masyarakat Jawa. Namun di lain sisi, melalui hal ini kita bisa melihat diskoneksi dari beberapa fenomena yang terjadi, sebagaimana cerita di awal.
Gerak sejarah yang berjalan sedemikian rupa tentu banyak mempengaruhi operasionalisasi tradisi keilmuan Weton di tengah masyarakat. Tidak jarang keilmuan weton hari ini sudah menjadi dogma dan kehilangan fleksibilitasnya sebagai produk budaya. Dari hal itu, sebagai produk budaya tradisi weton mestinya berkembang secara dinamis mengikuti logika perkembangan zaman. Bukan semata merawat atau bahasa sekarang di-uri-uri, tetapi seharusnya harus ada upaya menumbuh-kembangkan, sehingga tradisi tersebut bisa terus relevan seiring pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini saya tidak sedang mengatakan bahwa tradisi weton sekarang tidak relevan, tetapi yang ingin saya katakan adalah tradisi seharusnya mampu terus di-ngelmui kembali, agar pengetahuan yang ada di dalamnya bisa terus hidup atau setidaknya terjelaskan bagaimana operasionalisasi gagasan tradisi tersebut di era hari ini.
Karena, dalam hipotesis saya, banyak tradisi kita hari ini terbelenggu pada platform (bentuk), tetapi kehilangan spirit, esensi, dan nilai-nilai primer di dalamnya. Dengan demikian, tradisi hanya menyisakan dogma adiluhung yang harus dijaga, tetapi tidak menemukan relevansinya di tengah pertumbuhan logika zaman hari ini.
Dalam kasus tradisi petungan weton itu sendiri, saya ingin mengatakan bahwa tradisi ini sedang mengalami apa yang saya sebut involusi. Dalam artian tradisi ini tidak mengalami pertumbuhan secara baik, tetapi sebaliknya, tradisi ini mengalami penurunan dalam arah gerak kejumudannya. Maka wajar ketika hari ini banyak orang dengan nalar modernitas dalam artian rasionya menggelinding sedemikian rupa, tradisi yang sebenarnya mempunyai akar jauh dalam jantung peradaban Jawa semakin dianggap tidak relevan, bahkan dikecam sebagai penghambat kemajuan.
Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di masyarakat akar rumput, di satu sisi banyak dari mereka belum mau meninggalkan khasanah pengetahuan ini, tetapi di sisi lain mereka juga sudah banyak kehilangan nalar keilmuannya. Bahkan yang saya temukan, misalnya Pak Lek saya sendiri atau mungkin banyak praktisi weton lainnya, biasanya hanya mewarisi pengetahuan itu dari orang tuanya. Mereka biasanya hanya tahu cara menggunakan kerangka keilmuan ini hanya berdasarkan pada hafalan saja. Namun secara nilai rujukan dan kemampuan yang didasarkan pada kualitas rohani yang saya uraikan di atas hampir banyak yang tidak terjelaskan. Hal ini sering kali membuat persoalan baru, ketika penentuan hubungan hanya didasarkan angka-angka matematis weton yang mungkin bisa jadi benar, tetapi jika diulik lebih jauh konstruksi keilmuannya bisa jadi sangat rapuh jika dihadapkan pada bangun keilmuan rasional hari ini.
Padahal setelah saya ulik lebih jauh, keilmuan weton bisa jadi hanyalah pandu bagi seorang pasangan. Bahwa setiap manusia mempunyai karakter yang berbeda termasuk seorang pasangan yang sudah saling mencintai. Perbedaan yang dibaca melalui sistem tanda yang melibatkan unsur-unsur alam melalui kelahiran seseorang tersebut, dalam kerangka keilmuan weton sebenarnya bertujuan agar kedua pasangan saling memahami dan mengerti karakter masing-masing. Nah ketika kedua pasangan saling bisa memahami, hal itu diharapkan bisa membuat hubungan pernikahan lebih harmonis dan terhindar dari malapetaka perpisahan atau perceraian. Terus bagaimana bila sejak awal hitungan weton-nya sudah tidak cocok? apakah kita bisa memaksakannya? Tenang saja, sebenarnya ada mekanisme ketika kejadian ketika sudah saling mencintai tetapi secara hitungan tidak cocok, yaitu dengan adanya syarat. Biasanya hal ini diwujudkan dalam bentuk sesajen, hal ini sebenarnya sebagai bentuk doa agar banyak ketidakcocokan itu bisa terhindarkan dari kedua pasangan. Jadi karena hanya hitungan, jangan sampai hasil prediksi dari hitungan itu kita mutlakkan. Kendati demikian,tidak ada kehendak yang lebih menentukan dari Tuhan bukan?
Tabik
Daftar Bacaan
M. C. Ricklefs. 2013. Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dari 1930 sampai sekarang. Jakarta: Serambi.
Irfan Afifi. 2018. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Nancy Florida. 2020. Jawa Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta: Buku Langgar.
Ny. Siti Woeryan Soemardiyah Noeradya. Tahun 1979. Kitab Primbon, Antassadhur Seri Adammakna, Jilid ke Tiga. Yogyakarta. Soemodidjojo Maha Dewa.
–––––––––––––– Tahun 2008. Kitab Primbon, Lukman Hakim Adammakna Seri Adammakna, Jilid ke Tiga. Yogyakarta. Soemodidjojo Maha Dewa.
Cinta gadis Amerika ini pada naskah-naskah Jawa Kuna, mampu membuatnya bekerja 18 jam sehari selama 2 tahun.
Hari itu Nancy sebenarnya masih mendapat cuti sakit dari dokter. “Kata dokter, paru-paru saya kotor kerena terkena debu buku,” ujarnya tersenyum tanpa terbesit sedikit pun. Tapi, seminggu tidak melihat pekerjaan, cukup membuat Nancy gelisah. Tanpa peduli nasihat dokter. Nancy pun mencoba “masuk kerja” hari itu. “Lagipula, saya sudah berjanji dengan seseorang yang akan menggarap naskah-naskah kuna tersebut, “begitu alasannya.
Tanggung jawab semacam itulah yang jarang ditemui. Selain itu, jasa-jasanya dalam melestarikan naskah-naskah kuna Jawa, memang patut dihargai. Sehingga tak heran jika kalangan Kraton Surakarta menganugrahinya bintang Sri Kedadyo kelas II bulan Mei lalu.
Buku-buku tua dan berdebu dalam ruangan perpustakaan pengap mengakibatkan paru-paru nancy kotor.
Kerja seperti Nancy memang memerlukan tanggung jawab dan kecintaan besar. Selama dua tahun belakangan ini, Nancy menggumuli naskah-naskah Jawa kuna, menelitinya halaman demi halaman, membaca, mencatat, menyusunnya menurut klasifikasinya atau kronologinya, membuat katalognya, dan merekam naskah-naskah tersebut ke dalam film mikro. Setidaknya jumlah 4000 judul buku atau sekitar 700.000 halaman naskah yang ditelitinya.
Tak jarang ia harus memebenahi sedikit-sedikit naskah kuna tersebut di sana-sini, agar bisa dibaca. Padahal, tulisan-tulisan tersebut berhuruf Jawa, huruf yang kini semakin jarang diminati oleh anak-anak muda kita karena dianggap ruwet dan tidak komersial, Nancy sendiri belum lama belajar huruf tersebut tanpa bimbingan orang lain. “Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.
“Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.
Dengan segala kerepotannya itu, Nancy masih bersemangat untuk berkerja dalam tempo tinggi dan waktu panjang. “Setiap harinya saya harus mengerjakan seribu sampai seribu lima ratus halaman serat-serat tersebut.” Dan jam kerjanya dimulai sejak pukul tiga dini hari, “Dengan istirahat dua kali untuk makan.”
Oleh karena itu, tempat kerjanya bukan saja di Perpustakaan Kraton Surakarta, Perpustakaan Mangkunegaran, atau Perpustakaan Radya Pustaka saja, tapi juga di tempat tinggalnya. Sore hari, ketika karyawan musium telah pulang, Nancy melanjutkan kerjanya di rumah, di tempat kerjanya yang khas duduk di lantai, beralasan tikar dengan meja kecil dan proyektor di hadapannya. “Saya senang lesehan begini,” katanya sambil memperlihatkan tempat kerjanya. Kelihatannya memang lebih santai.
Tapi tak semua tempat kerjanya bisa membuatnya santai. Di Perpustakaan Mangkunegara misalnya, ia harus membenahi buku-buku tua dan berdebu yang terletak di dalam ruangan perpustakaan yang pengap. Tak heran jika paru-paru Nancy kotor karena itu.
Dalam keadaan masih buruk inilah, ia menyelamatkan untuk datang juga ke tempat yang pengap itu untuk mengawasi dan memberikan pengarahan dalam pelestarian naskah-naskah kuno di tempat itu. Meskipun Ketika sampai di sana ia agak kecewa, tak seorang pun kerabat kerjanya di tempat itu yang terlihat. Hanya beberapa petugas perpustakaan yang menegurnya, “lho, ngendikane mbak Nancy gerah?” (lho, ngendikane mbak Nancy sakit?) Dengan senyum-senyum Nancy hanya menjawab pendek, “Inggih, pak.” Ia membuka-buka beberapa naskah sebentar, kemudian segara kembali ke perpustakaan Kraton Surakarta, melanjutkan pekerjaanya. Memberi pengarahan dan kadang-kdang mengerjakan sendiri proyek pelestarian naskah kuno tersebut. “Proyek pembuatan film mikro dari naskah-naskah ini memang sudah selesai. Sekarang kami mulai menggarap pengawetan dan perbaikan naskah ini.”
Cara kerjanya memperlihatkan tanggung jawabnya yang besar. Dengan teliti ia menanyakan apa saja yang telah dikerjakan kerabat kerjanya selama ia sakit, proses demi proses. Diperiksanya hasil pekerjaan kerabat kerjanya dan tak segan-segan ia menegur jika ada sesuatu yang kurang benar, atau bahkan yang menggunakan untuk pengawetan mutunya kurang baik. “Lain kali beritahu dulu pada saya kalau kertas yang dibutuhkan tidak ada, “ ujarnya tegas, meskipun masih bahasa Jawa yang halus.
Selasa Kliwon dan malam Jumat, Nancy membakar kemenyan dan menyediakan sesajinyan bunga.
Di luar urusan pekerjaanya, ketegasan dan kediisiplinan Nancy menjadi lentur. Bahkan dengan luwesnya ia bisa bertindak sebagai gadis Jawa dalam kehidupan sehari-harinya kini.
Ketika masuk halaman Kraton, ia mengajak femina membuka alas kaki. “karena sudah terbiasa setiap hari, ke mana-mana saya jadi pakai alas kaki begini”, ujarnya sambil melirik ke sandalnya. Di halaman Kraton, ia langsung lewat jalur terluar dari jajaran pohon-pohon sawo kecik yang ada di halaman itu. “Jalur-jalur ini untuk lewat para abdi dalem sesuai dengan pangkatnya. Untuk pangkat yang tinggi atau Putra Dalem (maksudnya para pangeran), diperbolehkan lewat di jalur yang paling dalam. Kita lewat sini saja” ajaknya. Padahal Nancy bisa saja memintas di jalur paling dalam, tapa ada yang menegur. Namun dengan kesadarannya sendiri, Nancy menyesuaikan diri pada peraturan yang ada di situ tanpa ada rasa terpakasa. Seperti Ketika sampai di teras bawah perpustakaan Kraton, ia lalu menghadap ke pintu tengah Keraton dan langsung menyembah, baru menyapa kerabat kerjanya. Juga Ketika naik di tangga perpustakaan, ia melakukan sembah seperti itu tanpa canggung.
“Aku percaya tenan, lho!” ujarnya menegaskan hal-hal seperti itu.
Tak heran jika pintu kamar tidurnya juga tergantung seuntai melati yang sudah kering. “Oh, itu kembang bekas pakai penari bedaya beberapa waktu yang lalu, “ katanya menerangkan. Ditambahkannya, jika Anggara Kasih (Selasa Kliwon) dan malam Jumat, ia selalu menyempatkan membakar kemenyan dan menyediakan sesajian bunga.
Gadis berusia tiga puluhan ini memang sudah lekat dengan kehidupan di sekitarnya, dari mulai makan sampai mandi. Nancy sudah terbiasa makan makanan Jawa, seperti nasi dengan lauk tampe atau tahu seperti yang tersedia di lemari makanannya hari itu. Ia juga biasa disapa dengan Mbak Nancy oleh kerabat kerjanya, tukang soto ayam langganannya di Nonongan.
Lucunya, karena selama ini ia terbiasa berbicara dalam bahasa Jawa dengan hampir setiap orang disekitarnya, maka ketika dosennya dari Amerika datang ke Solo, ia pernah keseleo menjawab pertanyaaan dosennya dalam bahasa Jawa. Di samping bahasa Inggris, Nancy tampaknya memang lebih fasih bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Ia tampaknya begitu menikmati hidup dalam kebudayaan Jawa dengan sepenuh hati.
Bahkan setelah membaca tentang watak-watak yang ditentukan oleh hari kelahiran pada kepercayaan Jawa, ia seperti diingatkan pada persoalannya pribadinya. “ternyata selama ini pacar-pacar saya wetonnya wage, pantes mereka tak pernah cocok dengan saya yang lahir weton pahing…”
Falsafah Jawa dengan Arti berbagi sisi menggerakan Nancy untuk mengikuti pusarannya lebih dalam dan lebih jauh
Nancy, putri bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari keluarga Edwin L. Florida ini memang sejak kecil mempunyai kebiasaan “lain” dari saudara-saudaranya. Ia lebih banyak tenggelam dalam bacaan daripada bermain, dan sejak kecil ia merasa mempunyai kpribadian yang agak berbeda dengan orang-orang di lingkungannya.
Ia mula-mula tertarik pada kesenian Jawa ketika melihat pergelaran karawitan Jawa di Connecticut College tahun tujuh puluhan.”Sesudah itu hidup saya hanya ada di antara karawitan Jawa,” kata Nancy yang sempat meraih gelar BA dalam bidang filsafat dengan predikat summa cum luude. Dan memang, sejak itu setiap ada kesempatan Nancy selalu tampil untuk memainkan gamelan, atau mengajar teman-temannya. Kesempatan untuk lebih mendalami karawitan didapatnya di Solo, Ketika ia memperoleh bea siswa dari Center For Word Music Berkley pada tahun 1975-1977.
Sepulangnya dari Solo, Nancy lalu memutuskan untuk masuk ke Universitas Cornell jurusan Sejarah Asia Tenggara. Lewat progam Asia Tenggara (South Asia Progam) dari Universitas Cornell, Amerika serikat dan bantuan dari National Egowment for the Humanities inilah Nancy dikirim kembali ke Solo untuk mengerjakan Surakarta Manuscript Project. Proyek untuk membuat mikro film Jawa kuna yang ada di Solo, atas bantuan Ford Foundation.
“yah, kalau orang-orang dapat menyumbangkan tenaganya sebagi dokter atau insinyur, saya juga ingin menyumbangkan tenaga saya dalam bidang ini,” katanya. Disamping itu, ia sendiri kini sedang mempersiapkan disertasinya mengenai pandangan masa lalu dalam sastra sejarah Jawa yang ditulis pada pertengahan abad ke-19, untuk meraih doktornya.
Sebagai mahasiswa Amerika yang masuk dalam kebudayaan Jawa, Nancy melihat adanya kebiasaan tradisional yang unik pada perempuan Jawa. “Dari pelajaran yang saya terima di bangku kuliah dulu, saya telah membaca bahwa sejak dulu di Jawa sudah ada Wanita-wanita yang cukup menonjol peranannya dalam masyarakat. Misalnya Ratu Pembayun, Putra Dalem VII (Putra Paku Buwono VII), atau Nyai Adisara, seorang pujangga Wanita dari Surakarta. Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional lebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat. Kalau pun di kalangan tertentu ada tradisi yang merendahkan kedudukan Wanita, itu mungkin tradisi Barat yang ditiru oleh kalangan tertentu sehingga menjadi kebiasaan di sini.”
Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional kebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat.
Dasar falsafah yang dimilikinya, ditambah dengan pelajaran mengenai sejarah Asia Tenggara, terhadap pengelanaannya terhadap kebudayaan Jawa menjadi lebih kental ketimbang orang-orang di sekitarnya. “Falsafah Jawa itu tidak bisa diterjemahkan dalam suatu bungkusan yang jelas, kerena hal itu berkembang dan dapat diartikan dalam berbagai sisi,” tuturnya. “Mungkin dari suatu falsafah dapat saya artikan sesuatu hal, sedang bagi orang lain dapat diartikan lain. Satu sama lainnya memang berbeda, tapi tidak ada yang salah,” Lanjut Nancy.
Keunikan-keunikan tersebut rupanya menarik Nancy untuk mendalaminya dan ikut dalam pusarannya lebih jauh. Dan kini, dalam keunikan-keunikan tersebut ia seperti menemukan sesuatu yang cocok darinya. Dengan mengumam ia mengaku, bahwa dalam hal-hal tertentu, “Aku angel srawung karo bangsaku dewe” ( Saya sulit bergaul dengan bangsaku sendiri).
Hai, sudah menjadi orang Jawakah Nancy?
“Saya rasa tidak. Saya seperti hidup dalam dua dunia. Saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengalami hal ini, dan saya ingin menikmatinya, “katanya. Namun diakuinya jika segala “tugasnya” di Jawa ini sudah usai, ia begitu sulit menentukan masa depannya. “yang, saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan kebudayaan Jawa, sehingga kalau ada yang bertanya mengenai masa depan, saya sendiri tak tahu jawabannya. Tak berani membayangkannya, “ucapnya pelan sambal menerawang.
Cinta memang tak selamanya ditandai dengan harus selalu berdampingan dengan apa yang dicintai. Begitu pula mungkin Nancy terhadap kebudayaan Jawa dan ribuan naskah kuno Jawa yang pernah dibelainya.
“... Tend to see all pasts through [the] creedal difference” (Manan Abdul Asif, 2016: 4)
“Because we are non-Western people from a civilization that has always been in conflict with the West. The world of Islam has always been a historical competitor, and it has never capitulated…. ” (Edward Said, 2002: 288)
Rasa Syukur dan Hantu Islam dalam Sejarah Modern Indonesia
Saya sangat berbahagia dengan ikhtiar intelektual Mas Nur Khalik Ridwan, terutama dengan telah diterbitkan karya berserinya, yakni Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa. Saya juga terkesan dengan kerja penerbitannya oleh buku Langgar, Yogyakarta.
Di antara ijma intelektual muslim Indonesia, bahwa abad XIII-XVII adalah periode terpenting dalam perjalanan sejarah umat Islam di bumi Nusantara. Periode terpenting sekaligus paling abu-abu, bahkan bisa dikatakan paling gelap (periode yang ditelan kabut waktu “ in the midst of time”). Dibutuhkan keberanian dan tekad intelektual menulis tentang periode ini tanpa perlu memaksakan diri, tanpa pretensi, menjawab kajian para sejarawan formal-modern terkait periode ini. Kajian sejarah modern Indonesia, baik bule maupun sejarawan pribumi, memberikan porsi kecil tentang sejarah umat Islam pada tiga abad krusial tersebut. Tidak saja porsi kecil tentang Islam (seukuran nasi bungkus kucingan di angkringan), tapi cenderung menganggap tiga ratus tahun paling penting itu sebagai sesuatu yang selesai dengan kesimpulan : periode ini adalah periode lahirnya masyarakat Islam di gugus kepulauan Nusantara, di mana umat anyaran ini dianggap menumpangi kekacauan politik yang sedang terjadi di antara penguasa-penguasa Hindu, dan Islam sebagai kepercayaan baru tidak pernah menjadi sumber pembentukan sejarah maupun manusia di gugus kepulauan Nusantara.
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara. Laporan-laporan para pelancong dari Ibnu Batutah sampai Tom Pires dianggap sebagai gambaran tentang baru-tumbuhnya komunitas minor muslim di banyak bagian dari kepulauan di Nusantara. Mereka (komunitas muslim) tidak memiliki peran, apalagi pengaruh, politik dan ekonomi saat itu. Pertumbuhan mereka dianggap tidak signifikan secara jumlah dan kualitas pertumbuhan, tidak memberikan pengaruh historis apapun. Walaupun tidak secara eksplisit, mereka dianggap licin dalam memanfaatkan disrupsi politik yang terjadi di antara penguasa Hindu pada masa itu sehingga mereka bisa menegakkan kekuasaan berupa kesultanan Islam di sebagian kecil wilayah di Nusantara pada abad XV (terutama gambaran tentang kesultanan Islam di Jawa).
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara.
Selain lingkup para penguasa Islam digambarkan sangat kecil, mereka juga digambarkan kurang diterima oleh masyarakat pribumi, selain karena dianggap merebut kekuasaan lama para penguasa Hindu dengan cara “main kayu”, juga masyarakat pribumi di Nusantara (terutama jawa) dianggap memiliki kebudayaan yang telah mapan dan lebih hebat dari ajaran Islam. Ada resistensi sangat kuat terhadap pertumbuhan kekuasaan umat Islam dari kaum pribumi.
Akhir trayek dari penggambaran minor historiografi-kolonial demikian: Di saat umat Islam yang baru tumbuh dan berkembang dan secara politik tidak stabil, maka umat Islam tidak memiliki pengaruh apapun di tengah masyarakat masyarakat pribumi, datanglah kolonialisme Eropa dengan tujuan ekonomi semata tanpa membawa misi agama (suatu sejarah kolonial yang paling janggal dalam sejarah kolonialisme di dunia). Perlawanan Umat Islam seperti perlawanan Sultan Demak Pati Unus, Fatahillah, dan Sultan Hasanuddin dianggap bukan bentuk resistensi pribumi terhadap kolonialisme, mereka berperang melawan kolonial Eropa (Portugis maupun Belanda) karena hanya mempertahankan kekuasaannya (kepentingan ekonomi juga) sehingga antara pertumbuhan politik umat Islam di Nusantara saat itu tidak lebih tua dari kedatangan kaum kolonial Eropa. Umat Islam Nusantara yang baru tumbuh itu memiliki tujuan-tujuan yang sama dengan kolonialisme Eropa: berebut sumber daya ekonomi dan politik Nusantara. Artinya : Penjajah Eropa dan umat Islam Indonesia saat itu adalah kaum yang sama: pendatang dan penjajah.
Kedua, konstruksi sejarah kolonial sedemikian rupa tentang pertumbuhan dan perkembangan umat Islam pada abad XII-XVI, dilanjutkan dengan konstruksi kolonial tentang minornya peran umat Islam dalam bidang kebudayaan, dalam hal membentuk cara pandang hidup orang Nusantara. Dengan pertumbuhan yang tidak pernah disebut cepat (rapid) dan besar, kekuasaan politik mereka tidak diterima pribumi Nusantara, dan penuh dengan pragmatisme, maka Islam dan umat Islam Nusantara tidak memiliki sumbangan apapun bagi kebudayaan Nusantara. Islam dan umat Islam (di)tetap(kan) sebagai bagian yang asing dalam batang-tubuh kebudayaan Nusantara, termasuk kebudayaan Jawa.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah. Banyak sejarawan modern, baik bule maupun pribumi, menyoal “ketakutan akut terhadap Islam” di kalangan orientalis, Indonesianis, dan para sejarawan modern Indonesia tetapi hanya dinamika dan kejutan proyek-sejarah saja, dan bukan suatu ikhtiar intelektual yang penuh tekad dalam menegakkan suatu fakta kosmopolitanisme Nusantara, suatu gejala sejarah (bukan kosmopolitanisme teoritik, kolonial dan liberal) yang beragam di nusantara di mana umat Islam adalah bagian penting dari fakta sejarah tersebut.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah.
Sejarah Islam: Antara Indonesia, Hindustan dan Arab
Saya mendapatkan penyegaran pandangan tentang hilangnya “unsur Islam” dalam historiografi kolonial, ketika membaca beberapa karya dari Shahid Amin, sejarawan Muslim-India (pengajar di Universitas Delhi), salah seorang sejarawan yang tergabung dalam kelompok Subaltern Studies. Dalam berapa karyanya, seperti Conquest and Community: The Afterlife of Warrior Saint Ghazi Miyan ( terbitan University of Chicago Press, 2016). Dari Amin kemudian saya membaca buku bagus dari sejarawan dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, yang keturunan Pakistan bernama Manan Abdul Asif, terutama karya terbarunya The Loss of Hindustan: The Invention of India ( terbitan University of Chicago Press, 2020). Poin singkat dari dua sejarawan anak benua ini bahwa baru pada akhir abad 19 Masehi penyebutan Hindustan digantikan dengan India. Hindustan dalam sumber-sumber sejarah pribumi dan para sejarawan Barat adalah sebutan untuk seluruh wilayah yang sekarang menjadi India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka dengan segala keragaman keyakinan dan etnisnya. Dan nama Hindustan juga mengandaikan adanya penerimaan terbuka seluruh komponen etnis dan keyakinan di seluruh Hindustan terhadap kehadiran Islam selama abad-abad yang panjang sebelum kolonialisme Eropa tiba di Hindustan. Islam diterima sebagai kekuasaan, agama dan sebagai pembentuk kebudayaan Hindustan oleh seluruh komponens Hindustan.
Amin dan Asif mempertanyakan kultur India Modern yang dikuasai oleh nalar-kolonial: Sejak kapan Hindustan sebagai dinamika dan fakta kosmopolitan dalam sejarah hilang, dan bagaimana proses rapid dari penghapusan peran kebudayaan umat Islam Hindustan dalam ingatan India Modern? Kedua sejarawan ini menyadari adanya proses cepat (rapid) dari translasi (bukankah setiap penerjemahan artinya pengaburan dan penghapusan) Hindustan menjadi India oleh penjajah Inggris sebagai petaka awal sejarah anak-benua sehingga harus dipartisi berdasarkan agama, menjadi India dan Pakistan.
Kedua sejarawan India-Pakistan menyadarkan kita bahwa penciptaan India dengan pengarusutamaan Hinduisme secara semena-mena oleh kolonial Inggris adalah bukti riil kerangka historiografi- kolonial Eropa pada umumnya, terutama dalam reka-sejarah (invention): Sejarah diberi tjap agama-agama sebagai upaya untuk meniadakan peran Islam. Dalam historiografi kolonial, unsur agama menjadi penting bukan karena kebaikan intrinsik dari agama tersebut, tapi pengarusutamaan agama dalam sejarah-kolonial sebagai upaya pemecahbelahan dan pemastian kontrol sejarah, terutama untuk meminggirkan semua satuan dari kekuatan perlawanan yang mereka hadapi.
Bisa saja para pelancong masa lalu seperti Ibnu Battuta menulis tentang dinamika masyarakat yang disinggahinya tanpa ada pretensi di benaknya untuk datang mengevaluasi atau menekankan informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di wilayah yang disinggahinya. Hanya saja dalam pandangan para sejarawan kolonial dan modern, informasi tentang agama ditekankan dan dibesar-besarkan untuk menginvensi hal lain demi tujuan mempertahankan kolonialisme.
Penyegaran yang sama pernah saya dapatkan ketika membaca beberapa tulisan Hanna Mikhail, seorang guru besar asal Lebanon di Universitas New York yang menulis disertasi tentang sistem politik dalam kitab Ahkamul Sulthaniyah nya Imam al-Mawardi. Sebagai orang Lebanon yang tumbuh di tengah keluarga kristen Timur, Hanna merasa aneh dengan invensi historis terhadap Arab yang berkarakter parokial, perang suku, perang aliran, dan terbelakang karena disebabkan oleh Islam dalam arsip kolonial Inggris dan Prancis. Hanna mengingatkan bahwa masa depan Arab modern yang saat ini terdiri dari berbagai negara sangat ditentukan oleh kemampuan orang Arab melakukan pilihan-pilihan mandiri dan keluar dari semua jebakan kolonialitas, terutama sikap Barat yang terlalu membenci Islam. Hanna memastikan bahwa masa depan bangsa Arab, terutama bagi komunitas Kristen dan Yahudi di Arab, sangat ditentukan oleh rekognisi (pengakuan-penerimaan) mereka terhadap kenyataan sejarah masa lalu yang menunjukkan peran besar Islam-Arab dalam membentuk sejarah dan kebudayaan Arab.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern. Di samping itu, bagaimana umat Islam Indonesia memahami sejarah mereka secara mandiri, tidak melihat keislaman mereka di Nusantara sebagai copy paste dari Islam di berbagai tempat lain, dan kesiapan umat Islam Indonesia menerima hubungan kontrapuntal mereka dengan berbagai unsur modern Indonesia.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern.
Pribumisasi Islam di Jawa: Sunnisme ala Wali Jawa
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru. Ada kesimpangsiuran tentang sumber, nama dari tokoh-tokoh utama, periode, dan konteks historisnya pada tiga abad penting ini.
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru.
Dalam buku IDJ ini berbagai sumber terkait kesimpangsiuran tokoh-tokoh utama seperti siapa itu Dyah Kertawijaya yang dikenal sebagai ayah Raden Fattah dan Arya Dhamar (Penguasa Palembang). Siapa Pangeran Pandansalas, penguasa Majapahit pasca Dyah Kertawijaya. Siapakah Raden Kasan (raden Hasan yang konon mewarisi kegantengan Sayyidina Hasan sang cucu Nabi SAW) alias Raden Fatah (Pete Rodim). Siapakah Arya Damar yang memiliki jaringan keluarga dari Madura, Jawa, Bali sampai Palembang?
Setelah menjajar penjelasan sumber-sumber (yang menurut sangat kaya mulai Negarakertagama, Pararaton, Babad Tanah Jawa, Serat Walisana, sumber Cina, dan sumber modern—Yamin, Slamet Mulyana, dll), kemudian di bagian akhir diambil kesimpulan untuk menemukan nama tokoh historis beserta konteks sinkroniknya yang dianggap lebih kuat di antara sumber-sumber yang dijajar tersebut. Dengan pendekatan semacam ini, akan tampak bagi pembaca bahwa tidak ada satu kajian sejarah oleh para sejarawan terkait periode ini yang bisa dianggap final, apalagi mengatasi kajian lainnya, periode ini justru periode terbuka dan membutuhkan (mengharuskan) penafsiran-kembali atas data data sejarah pada periode ini.
Salah satu contoh kehatian-hatian IDJ dalam menentukan perbedaan penyebutan nama tokoh, perbedaan periode hidupnya, dan hubungannya dengan berbagai tokoh lain yang memiliki peran bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa adalah ketika menentukan fakta faktual historis sosok Raden Fatah. Siapakah ayah Raden Fatah, Dyah Kertawijaya ( Brawijaya Lima menurut mendiang KH Agus Sunyoto) atau Kertabhumi? IDJ membenarkan sejumlah sumber yang menyebut Dyah Kertawijaya sebagai ayah Raden Fatah. Sedangkan dalam menentukan masa hidup dan masa berkuasa Raden Fatah di Demak Bintoro, IDJ menjadikan sengkalan Masjid Demak sebagai patokan penentuan masa hidup dan masa berkuasa Raden Patah sebagai sultan Demak Bintoro di antara sumber-sumber lain.
IDJ menekankan penjelasan tentang nama tokoh dan masa hidupnya yang memiliki peran terhadap pertumbuhan dan perkembangan-awal komunitas muslim di Jawa pada tiga periode yang menjadi fokus IDJ. Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Bagian-utama dari IDJ terdapat pada halaman 250 dan setelahnya, yakni periode yang dianggap sebagai pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi adalah reclaiming fakta Islam pra-kolonial, dan fakta historis Jawa sebelum diterjemahkan oleh kaum kolonial. Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan. Pribumisasi Islam mengingatkan pada jarak tempuh dari kenyataan atau fakta Jawa sebagai cangkang bagi penafsiran kaum muslimin Jawa atas aspek sakral Islam, di mana pribumisasi Islam menghidupkan agensi muslim Jawa yang telah dimatikan oleh sinkretisme. Antara agensi muslim dan penafsiran atas aspek sakral Islam dalam wadah Jawa telah melahirkan suatu bentuk keberislaman yang kenyal, luwes tapi susah ditaklukkan. Pribumisasi Islam lebih menunjukkan fakta sejarah bagaimana umat Islam adalah manusia seperti manusia lainnya yang melakukan pilihan-pilihan sejarah secara mandiri. Di mana umat Islam menyadari hidupnya bergantung pada kemampuan mereka sebagai manusia mengarungi kekuatan dari fakta sosial di Jawa dan kemampuan mereka menerjemahkan ajaran agama yang mereka seteguhi. Pribumisasi Islam adalah upaya mengumpulkan kekuatan material dari sejarah umat Islam untuk menunjukkan keberadaan sekaligus bagaimana kekuatan material sejarah itu membentuk mereka dalam lintasan sejarah.
Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan.
Setelah halaman 300, IDJ memberikan argumen memadai tentang bagaimana Islam ditumbuhkan dan dikembangkan di Jawa, terutama memberikan jawaban tentang besarnya jumlah orang Islam pada masa setelah abad-XVI. Tokoh-tokoh utama dari pribumisasi Islam yang disebutkan secara runut, dan periode kehidupan mereka, mengembangkan Islam melalui berbagai instrumen pendidikan, dedepokan dan lembaga pengajaran lain. Suplemen pada bagian ini berupa kutipan karya para tokoh pribumisasi Islam yang disertai keterangan penulis sangat membantu melihat pencapaian dari pribumisasi Islam.
Dari IDJ saya kira perlu menegaskan bahwa ajaran Sunni yang ditumbuh-kembangkan para tokoh pribumisasi Islam adalah Sunni versi para wali-Jawa. Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya. Unsur tasawuf sangat penting dalam penulisan sejarah umat Islam di Jawa karena para sejarawan modern Indonesia tidak memiliki otoritas apapun atas ilmu-ilmu Islam, apalagi tasawuf. Banyak sekali simbol dan konstruksi material sejarah umat Islam Jawa adalah kerja kewalian, kerja budaya dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan umum.
Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya.
Pendekatan kultural berbasis ajaran Sunni versi Wali Jawa dalam mengembangkan Islam di Jawa tidak harus dipahami tanpa tegangan dan tantangan. Kultural tidak harus dipahami sebagaimana digunakan anak muda NU milenial dalam pengertian tanpa persaingan, tanpa persitegangan, dan berbagai tantangan dari kelompok lain.
Wallahu a’lam bil shawab.
*Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Bedah Buku “Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa” yang diselenggarakan oleh PMII IIQ An Nur, PMII Bantul, bekerjasama dengan Buku Langgar, pada Sabtu 11 Desember 2021, di Auditorium Kampus IIQ An Nur, Bantul, Yogyakarta. Judul asalnya adalah “Buku ‘Islam di Jawa Abad ke XIII-XVI’: Pribumisasi Islam dan Dekolonisasi Sejarah Umat Islam”, yang diubah sesuai kepentingan website langgar.co.
“Islam Nusantara” dan Tempatnya dalam Sejarah Islam Dunia
Saya pernah punya pengalaman tersinggung dan marah, namun tidak tahu kepada siapa (mungkin mesti ditujukan kepada diri sendiri), ketika membaca buku Karen Armstrong berjudul Islam A Short History yang terbit pertama kali tahun 2000 dan dalam edisi Indonesia tahun 2002. Buku sejarah yang “lengkap dan ringkas” ini berkisah tentang pasang surut sejarah Islam di dunia yang fana ini, disertai kronologi dari mulai zaman Jahiliyah dan lahirnya Nabi Muhammad SAW (abad VI–VII M) sampai dengan era Muhammad Khatami, Presiden Iran yang pada tahun 1998 membebaskan pemerintahannya dari fatwa Khomeini atas Salman Rushdie yang novelnya dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Armstrong juga berbicara tentang problem minoritas muslim di Eropa dan Amerika, wacana tentang “negara Islam modern”, “fundamentalisme” dan sejenisnya. Tapi “aneh” tak ada satu pun kata Indonesia disebut dalam bukunya itu apalagi mengenai sejarah keislamannya maupun dilema-dilema dan eksperimentasi keberagamaan penduduk muslimnya, yang konon terbesar di dunia ini. Apa makna dari fakta ini? Paling tidak kita tahu bahwa eksperimentasi umat Islam Indonesia, yang berakar pada “Islam Nusantara”, masih sering diabaikan atau belum menemukan (ditemukan) makna dan tempatnya yang layak dalam peta dunia Islam.
Adakah yang bisa disebut “Islam Nusantara”? Adakah bedanya dengan “Islam di tempat lain”, juga bagaimana kaitannya dengan “universalisme Islam”? Apakah “Islam Nusantara” hanya efek atau gema dari “pusat dunia Islam”? Sejauh mana kita bisa membicarakan karakteristiknya? Apakah kita bisa berbicara tentang era kodifikasi (asrut tadwin) dari “Islam Nusantara” itu? Bagaimana kita menentukan korpus-korpus yang menjadi rujukan otoritatif periode (juga konfigurasi) sejarah yang membentuknya? Apakah “Islam Nusantara” mempunyai “manhajul fikr” yang spesifik, atau bahkan unik? Bagaimana kita mesti membincangkan, meneladani, dan mengembangkannya untuk konteks zaman sekarang? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membutuhkan elaborasi yang komprehensif dan pendekatan yang multidisipliner, sekaligus merupakan agenda kerja kolektif suatu generasi. Ruang untuk menjawabnya pun tentu bukanlah artikel yang sangat terbatas semacam ini. Oleh karena itu, di sini saya tidak berpretensi untuk menjawab tuntas persoalan itu. Namun hanya menyampaikan hipotesis yang bisa saya sampaikan berdasarkan pembacaan kritis terhadap naskah-naskah dan kitab-kitab karya ulama nusantara abad-abad lalu (abad XVI–XIX), dengan berbagai konteks historisnya.
Adakah yang bisa disebut “Islam Nusantara”? Adakah bedanya dengan “Islam di tempat lain”, juga bagaimana kaitannya dengan “universalisme Islam”? Apakah “Islam Nusantara” hanya efek atau gema dari “pusat dunia Islam”? Sejauh mana kita bisa membicarakan karakteristiknya? Apakah kita bisa berbicara tentang era kodifikasi (asrut tadwin)dari “Islam Nusantara” itu? Bagaimana kita menentukan korpus-korpus yang menjadi rujukan otoritatif periode (juga konfigurasi) sejarah yang membentuknya? Apakah “Islam Nusantara” mempunyai “manhajul fikr” yang spesifik, atau bahkan unik? Bagaimana kita mesti membincangkan, meneladani, dan mengembangkannya untuk konteks zaman sekarang? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membutuhkan elaborasi yang komprehensif dan pendekatan yang multidisipliner, sekaligus merupakan agenda kerja kolektif suatu generasi.
Tampaknya perdebatan para ahli untuk berteori tentang “kapan mereka ke Nusantara”, “dari mana awalnya”, “siapa pembawanya” dan “apa sekte keagamaannya” tidaklah mesti dibaca sebagai semacam perlombaan lari atau teka-teki untuk mencari satu pemenang yang paling cepat dan paling benar. Tetapi hendaknya dinikmati seperti puzzle di mana setiap penemuan teori dianggap sebagai “satu yang tidak sempurna”, yang harus dicarikan potongan teori lainnya untuk digabungkan atau dihubung-hubungkan atau dikombinasikan dengan berbagai cara, baik menyamping, menyilang, atau memutar, sehingga memperoleh bentuk atau gambar yang semakin mendekati kesempurnaan, demikian terus-menerus. Oleh karena tidak dapat dibayangkan, bahwa lslam masuk ke Nusantara pada satu waktu tertentu, dari satu tempat tertentu, oleh seorang atau sekelompok orang dengan profesi, motif, dan identitas keagamaan yang homogen, kemudian secara linear berkembang dan menyebar ke seluruh Nusantara, ini jelas tidak realistis. Pembawa Islam ke Nusantara berasal dari wilayah yang beragam, dari Arab, India, Campa, Tiongkok, Persia, Asia Tengah, dan lain-lain, dengan status, profesi dan motif serta mazhab yang berbeda-beda, dan walau pun waktunya beragam (antara abad VII–XV), tapi bisa jadi mereka semua adalah sama-sama yang “pertama”, karena konteks wilayah mereka pertama kali mendarat yang berbeda-beda.
Pedagang Arab Muslim zaman Khalifah Ustman bin Affan (jadi jelas dia bukan Sunni/Syiah/Khawarij/Muktazilah) yang singgah di Palembang atau Barus (Sumatera Utara) mungkin saja dia (sengaja atau tidak sengaja) mengislamkan satu-dua orang di sana atau meninggalkan salah satu anggota rombongan di sana, dan ia bisa disebut sebagai pembawa Islam yang pertama di Nusantara. Lalu, ketika pada abad IX ada serombongan “pelarian politik” Syiah yang dikejar-kejar pasukan Dinasti Umayyah mendarat di Perlak (Aceh Timur) membangun komunitas Muslim dan mendirikan kerajaan Islam di sana, mereka juga bisa disebut yang pertama membawa Islam ke sana. Demikian pula antara abad X–XII, ketika pangeran Dinasti Umayyah atau Abbasiyah beserta pasukannya yang Sunni, atau dari Dinasti Fatimiyah yang Syiah, entah karena perpecahan politik wilayahnya masing-masing atau karena berekspansi (diaspora) lalu mendarat di berbagai wilayah Aceh lainnya, dan membangun kerajaan Islam yang lain. Atau juga ketika Syekh “Samsu Zen” datang ke Kediri pada abad X–XI dan menjadi guru rohani Prabu Jayabaya. Atau ketika rombongan Fatimah binti Maimun datang ke Gresik dari Persia lalu membangun komunitas muslim di sana. Demikian pula, para sufi yang mengembara pada abad-abad berikutnya dan menyebarkan Islam ke berbagai wilayah Nusantara lainnya (Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Lombok) yang belum ada umat Islamnya di sana, mereka dalam derajat tertentu juga bisa disebut yang pertama membawa Islam ke Nusantara.
Oleh karena itu, setelah kita kombinasikan dengan berbagai teori “kedatangan lslam” di atas yang perlu kita lakukan adalah menempatkannya dalam konteks “sejarah dunia” khususnya “dunia Islam” waktu itu di satu sisi, dan di sisi lain “sejarah lokal-Nusantara” sendiri pada waktu yang bersamaan. Tentu saja, maksud konteks sejarah di sini dalam pengertian studi sejarah yang multidisipliner, meliputi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dengan demikian, kita akan memperoleh “gambar” tentang sejarah “Islam Nusantara” secara lebih jelas dan hidup. Kemudian, di dalam “gambar hidup” itulah kita menempatkan dan melakukan pembacaan secara kreatif, produktif, terhadap teks-teks keagamaan dalam berbagai bentuknya, yang ditulis oleh para ulama Nusantara. Sehingga gambar hidup itu semakin hidup, dan dari situ kita bisa lebih mengenali karakteristik dari “Islam Nusantara” secara lebih baik.
Oleh karena itu, setelah kita kombinasikan dengan berbagai teori “kedatangan lslam” di atas yang perlu kita lakukan adalah menempatkannya dalam konteks “sejarah dunia” khususnya “dunia Islam” waktu itu di satu sisi, dan di sisi lain “sejarah lokal-Nusantara” sendiri pada waktu yang bersamaan.
Dalam kerangka ini, “Islam Nusantara” yang bisa diartikan sebagai kultur Islam yang berkembang dalam konteks Nusantara yang khas, terutama pada abad XIII–XIX M, dapat menjadi wilayah studi yang penting. Untuk itu, ia mesti dibedakan dengan studi “Islam lokal” dan “Islam lndonesia” karena muatan, konteks, dan kronologi historisnya yang memang berbeda. Walaupun ketiganya berkaitan erat dan saling mengandaikan namun studi “Islam Nusantara” masih lemah. Padahal sesungguhnya studi “Islam Nusantara” adalah wilayah studi yang semestinya dikembangkan untuk menjadi jembatan kreatif antara studi “lslam lokal” dengan “lslam lndonesia”.
Tasawuf, Spirit Ibnu Arabi dan Karakteristik “Islam Nusantara”
Sepertinya perubahan dahsyat “dunia” di abad XIII – ketika bangsa Mongolia menghancurkan pusat terpenting dari kebudayaan Islam era Bagdad, serta menundukkan sebagian besar Asia dan menyusup ke dalam wilayah Eropa, dan dengan demikian menghentikan tata susunan politis yang telah lama mapan dan membinasakan wilayah-wilayah luas kebudayaan (termasuk di sini paradigma ilmu keagamaan) yang telah sangat berkembang – justru menghasilkan, berkebalikan dengan pembinasaan itu, terjadinya suatu peningkatan aktivitas mistik, gagasan-gagasan, spiritualitas, dan literasi puitis. Tidak hanya dalam dunia Islam, tetapi juga seluruh Eropa dan Asia, termasuk wilayah Nusantara.
Tak pelak lagi, salah satu sumber utama dalam “kebangkitan spiritual dunia” tersebut adalah ajaran-ajaran, hikmah-hikmah, serta skema “futuhat” dari seorang pengembara, ahli hadis, fikih, teolog, pemerhati politik, filosof, dan sastrawan, Syekh Muhyiddin lbnu Arabi yang lahir di Murcia Spanyol tahun 1165 M dan wafat di Damaskus, Syria tahun 1240 M. Ahmad Sirhindi yang biasanya dianggap penentang Ibnu Arabi, harus mengakui: “Para sufi sebelum lbnu Arabi bila mereka membicarakan perkara ini hanya menyinggung sedikit saja dan tidak menguraikannya panjang lebar. Para sufi sesudah dia memilih mengikuti jejaknya dan menggunakan peristilahannya. Kita yang datang kemudian ini juga memanfaatkan berkah orang besar ini dan belajar dari pandangan-pandangan mistisnya. Semoga Tuhan memberikan kepadanya pahala yang terbaik bagi jasanya”.
lbnu Arabi[1] tumbuh di lingkungan Sunni, pada masa Dinasti Al-Muwahidun, di Andalusia. Beliau belajar Quran, hadis, tasawuf, teologi, fikih, dan ilmu-ilmu kebahasaan kepada para sufi Barat (Maghrib) dan ulama-ulama Malikiyyah yang memang dominan di sana dan juga para ulama Dzahiriyyah pengikut Ibn Hazm. Demikian pula beliau berguru kepada para sufi dan ulama Timur (Masyriq). Namun, beliau tidak terikat pada satu mazhab mana pun. Sistem-sistem mazhab itu tidak dijadikan “kerangkeng” bagi jiwanya sendiri atau pada jiwa orang lain para pengikutnya, namun justru jadi titik tolak “pengembaraan” spiritualnya. Dalam pengembaraan spiritual itu, hatinya menjadi lentur, luwes dan mengembang luas, sehingga dia bisa mengatasi perbedaan-perbedaan berbagai sistem keyakinan dan syariat, baik di kalangan internal umat Islam, antar agama-agama Ibrahimiah, antar agama-agama langit dan bumi, bahkan para ateis, dan mengajak mereka bersama-sama memasuki dan menempuh “agama cinta”.
Intoleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah agama seperti termanifestasi di dalam mazhab-mazhab fikih, yang disebabkan karena ulama berhenti pada segi lahir dari ajaran dan dipasangi dengan kesempitan jiwa yang melahirkan sikap fanatisme ekstrim terhadap mazhab, dalam pandangan lbnu Arabi merupakan musibah terbesar dan rintangan terberat dalam beragama, yang mesti dikritik dan diatasi:
“Allah telah menjadikan perbedaan pendapat dalam menyikapi persoalan hukum sebagai rahmat bagi para hamba-Nya dan kelonggaran (ittisa’) atas perintah-Nya yang mereka laksanakan demi kebaikan mereka. Namun terkait, dengan orang-orang yang mengikuti fukaha di zaman kita, para fukaha ini telah melarang dan mempersempit apa yang telah diperluas Hukum Suci bagi mereka. Mereka mengatakan pada pengikut mazhab mereka, misalkan ia seorang Hanafiyyah; “jangan mencari rukshah (hal yang meringankan) dari Syafi’i mengenai persoalan yang tengah kamu hadapi”; dan demikian seterusnya. Ini musibah terbesar dan rintangan terberat dalam masalah agama. Allah berfirman: ‘Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan’ (QS. Al-Hajj (22): 78). Hukum telah menyatakan kebenaran status siapapun yang berijtihad untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang mengikutinya. Tapi zaman kita, para ahli hukum telah mencela ijtihad dengan menyebutnya sebagai upaya mendorong umat untuk menghina agama. Bagi mereka, ini tindakan yang sangat bodoh.”[2]
Oleh karena itu lbnu Arabi mendorong dirinya sendiri dan murid-muridnya untuk mengatasi kemandekan beragama dengan mengembangkan aspek-aspek penalaran lahiriah di mana setiap persoalan hukum agama berhenti di situ. Manusia mesti mengembangkan sisi lain dari kehidupan yaitu dimensi batin yang mesti dieksplorasi:
“Aku berniat, jika Allah memberi umur panjang menyusun sebuah kamus penting yang akan membahas semua persoalan hukum yang berkisar pada aspek aspek lahirnya: pertama-tama dengan merumuskan dan menguraikan setiap persoalan dari sudut pandang lahir, lalu menelaah kedudukannya terkait dengan sisi batin manusia (hukumuha fi bathin insan).”[3]
Walaupun Ibnu Arabi tidak berkesempatan mewujudkan niatnya, namun di dalam Futuhat, beliau meluapkan beratus-ratus halaman untuk membahas rukun Islam dan persoalan hukum yang sedang berkembang pada massanya. Ibnu Arabi mempertimbangkan sekaligus mengabsahkan pertimbangan akal dalam kaitannya dengan syariat hukum Islam, menghargai pluralitas yang berkembang, dengan tujuan sistemik untuk seluas mungkin meringankan beban taklif setiap muslim. Kelonggaran “ekstrem” ini, mesti dipahami dalam konteks keseluruhan ajarannya yang berkaitan dengan fungsi kasih sayang (rahmaniyah) yang beliau tanamkan pada dirinya. Hal ini tidak bisa ditafsirkan sebagai sebentuk “kebebasan tiranis”, karena Ibnu Arabi tetap mempertahankan keteguhan luar biasa dalam melaksanakan syariat:
“Aku yakin bahwa aku termasuk orang yang berpegang teguh kepada Allah dan tidak mengkhianati perjanjian (mitsaq)… Ke sanalah aku membimbing manusia, dan berlandaskan prinsip inilah aku mendidik murid-muridku. Aku tidak akan membiarkan siapapun yang mengikat sebuah perjanjian (‘ahd) bersama Allah dan menerima ajaran yang kusampaikan untuk mengkhianati perjanjian itu, terlepas dari besar-kecilnya manfaat yang diperolah. Aku tidak mengizinkannya untuk melakukan hal itu, bahkan atas nama keringanan hukum (rukhshah) yang membenarkannya untuk melakukan hal itu tanpa dosa.”[4]
Dalam kedisiplinan yang tinggi dalam memegang mitsaq dan ‘ahd bersama Allah yang dicintai dan mencintainya, dengan bertumpu secara kukuh pada syariat yang diyakininya, namun dengan toleransi yang tinggi terhadap pluralitas syariat –syariat yang ada di dunia, yang diyakininya semua berasal dari Allah, Ibnu Arabi bersyair, mengajak seluruh agama, kepercayaan, dari segenap bangsa dan bahasa, dalam perbedaan-perbedaan, untuk bersama-sama bersatu dalam tajribah rohaniah (eksperimentasi rohani), melalui jalan cinta menuju Sang Maha Cinta:
Hatiku telah siap menerima segala bentuk
Menjadi padang rumput bagi rusa, biara bagi para rahib
Menjadi candi bagi penyembah berhala, kakbah bagi para thaifiin
Menjadi alwah bagi Taurat, dan mushaf bagi Quran
Aku beragama dengan agama cinta, ke mana pun kendaraannya mengarah
Cinta adalah agamaku dan keyakinanku[5]
Berkah Ibnu Arabi, seperti yang disampaikan Ahmad Sirhindi di atas, tampaknya terletak tidak hanya pada pencapaian rohaninya pada makam yang sangat tinggi, tetapi Ibnu Arabi meninggalkan catatan-catatan yang lengkap dan detail menstrukturkan segala pengalaman rohani, insight-insight dan “penglihatan” batinnya terhadap segala maujud dalam semua martabatnya, di dalam segenap lapis-lapis alamnya, dengan segenap interkoneksitas di antara yang maujud itu menjadi sistem wujud yang lengkap, terus membentuk mata rantai hingga pada intinya, pusat segala pusat: “Sang Wujud Mutlak, Sumber dari segala sumber wujud, Yang sekaligus menjadi tempat kembalinya segala sesuatu, Dia Yang Awal dan Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin”. Semua catatan Ibnu Arabi tersebut dimaksudkan sebagai pengajaran untuk semua manusia, karena pada akhirnya, di dalam sistem wujud tersebut, manusia yang mampu mewujudkan kesempurnaan dirinya, “Insan Kamil”, menduduki derajat yang sangat mulia dan tertinggi sebagai Cermin Tuhan, sebagai puncak manifestasi dari Sang Wujud.
Ajaran-ajaran yang sangat kompleks tersebut, menjadi lebih sederhana dan semakin populer, berkembang ke berbagai penjuru, ketika disistemkan dan diberi penjelasan oleh murid dan penerjemah utama Ibnu Arabi, yaitu Shadr Al-Din Qunawi yang membentuk dan membingkai dalam nama “Wahdlatul Wujud”. Sementara gagasan tentang “Insan Kamil” menjadi populer dan mendapat sambutan yang luas, setelah dikembangkan dan disistematisasikan oleh Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jili (w. 805 H) di dalam kitab Al-Insanul al-Kamil, fi Ma’rifatul Awakhir wal Awail. Pandangan-pandangan tentang sistem “Wahdatul Wujud” dan konsep “Insan Kamil” tersebut, kemudian diringkas lagi menjadi skema tentang manifestasi-manifestasi Dzat, di dalam aforisme-aforisme yang juga memuat panduan “praktis-operasional” untuk mengenali “Kesatuan Wujud” tersebut oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620 M) melalui kitabnya yang sangat terkenal Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi yang berlaku di wilayah Nusantara disebut “Martabat Alam Tujuh”, karena menjelaskan tentang tujuh martabat manifestasi wujud Tuhan yang disebut ke dalam istilah-istilah teknis: “Ahadiyah”, “Wahdah”, “Wahidiyah”, “Alam Arwah”, “Alam Mitsal”, “Alam Ajsam”, dan “Alam Insan Kamil”. Di luar kitab-kitab ini, dan kitab-kitab lain yang banyak mengulas ajaran-ajaran Ibnu Arabi, sebetulnya jauh lebih banyak penyebaran lagi pengaruh Ibnu Arabi yang dibawa oleh para sufi dari berbagai jaringan tarekat-tarekat ke berbagai penjuru dunia, tidak melalui tulisan-tulisan, melainkan melalui laku dan praktik.
Pandangan-pandangan tentang sistem “Wahdatul Wujud” dan konsep “Insan Kamil” tersebut, kemudian diringkas lagi menjadi skema tentang manifestasi-manifestasi Dzat, di dalam aforisme-aforisme yang juga memuat panduan “praktis-operasional” untuk mengenali “Kesatuan Wujud” tersebut oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620 M) melalui kitabnya yang sangat terkenal Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi yang berlaku di wilayah Nusantara disebut “Martabat Alam Tujuh”, karena menjelaskan tentang tujuh martabat manifestasi wujud Tuhan yang disebut ke dalam istilah-istilah teknis: “Ahadiyah”, “Wahdah”, “Wahidiyah”, “Alam Arwah”, “Alam Mitsal”, “Alam Ajsam”, dan “Alam Insan Kamil”.
Nusantara tampaknya menjadi salah satu tempat di mana berkah dari Futuhat Ibnu Arabi tersebut, tidak semata-mata dikutip dan diajarkan sehingga berguna, melainkan dieksperimentasikan di dalam ruang historis yang riil, sehingga tidak saja membentuk jiwa bangsa ini, tetapi juga jejak kultural yang nyata.[6] Namun di sini saya tidak mengatakan bahwa para guru sufi “pengemban berkah” ajaran Ibnu Arabi-lah pembawa Islam pertama dan menyebarkannya ke seluruh Nusantara. Namun yang ingin saya katakan adalah bahwa melalui merekalah berbagai “gelombang” Islam yang datang susul-menyusul ke berbagai wilayah Nusantara, dengan segala pertentangan aliran/mazhab dan afiliasi politik, perbedaan suku bangsa, profesi, motif, dan kedudukan sosial mereka semua, tidak membuat wilayah Nusantara ini semata-mata menjadi “tempat penampungan pengungsi dan pelarian politik”, atau hanya menjadi objek penderita dari perluasan wilayah pertikaian politik di negeri lain, atau hanya menjadi negara boneka, taklukan dan koloni bangsa asing. Para guru sufi itu, pada umumnya bertransformasi menjadi manusia kreatif, yang mengolah perbedaan-perbedaan, merangsang sintesis-sintesis antarkultur dan langsung maupun tak langsung ikut “menciptakan” identitas baru secara terus menerus. Kita tahu, yang lahir pada masa-masa itu adalah kerajaan-kerajaan Islam yang berdaulat, dari mulai Pasai, Aceh Darussalam, Deli, Aru, Minangkabau, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Pajang, Mataram, Banjarmasin, Makassar, Bugis, Buton, Bima, Dompu, Selaparang, dan seterusnya. Mereka muncul dengan adat/identitas kulturalnya yang beragam, ekspresi kesenian yang kaya dan bermakna, sastra-sastra suluk dan didaktik yang bermutu tinggi, etika-etika sosial dan lingkungan yang penuh hikmah dan sebagainya.
Nusantara tampaknya menjadi salah satu tempat di mana berkah dari Futuhat Ibnu Arabi tersebut, tidak semata-mata dikutip dan diajarkan sehingga berguna, melainkan dieksperimentasikan di dalam ruang historis yang riil, sehingga tidak saja membentuk jiwa bangsa ini, tetapi juga jejak kultural yang nyata.
Membangun Tatanan Sosial-Politik: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Adat
Di dalam sebuah salinan manuskrip[7], dijelaskan tentang “akta” pendirian Kerajaan Aceh Bandar Darussalam pada tanggal 12 Rabiulawal 913 Hijriah dan “Pohon Kerajaan” yang di-istikhar-kan (diupayakan) oleh paduka Sri Sultan ‘Alaidin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Shah[8], Yang disebut “Pohon Kerajaan” atau dasar kerajaan adalah sebagai berikut:
“Bahwasanya kita semua satu negeri, satu bangsa, dan satu kerajaan, dan satu ‘alam (bendera) dan satu ajaran yakin Islam dengan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW atas jalan Ahlussunnah Waljama’ah dengan mengambil hukum dari pada Qur’an dan Hadits Nabi dan Qiyas dan Ijma’ ‘alim ulama Ahlussunnah Waljamaa’ah dengan hukum, dengan adat, dengan reusam, dengan qanun yaitu syara’ Allah, syara’ Rasulullah, dan syara’ kami bernaung di bawah panji-panji syari’at Nabi Muhammad SAW dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa.
… (dilanjutkan dengan deskripsi 21 pasal kewajiban rakyat Aceh)
(penutup)… mudah-mudahan Insya-Allah Ta’ala dapat selamat bahagia segala umat manusia dalam negeri Aceh Bandar Darussalam khususnya dari Aceh jajahan takluk umumnya yaitu supaya menjadi manusia yang baik dan berkelakuan tabiat yang baik secara tertib sopan majelis dan hormat yang mulia yang sempurna dengan berkat syafa’at Nabi SAW supaya peliharalah bangsa kami Aceh dari pada mara dan bahaya dengan selamat sejahtera bahagia sepanjang masa dan jauh dari pada lembah kehinaan dan kesusahan sepanjang hidupnya supaya terpelihara negeri kami Aceh dan bangsa Aceh dengan usaha yang baik supaya dapat meraih kesenangan bersama-sama yaitu antara rakyat dengan kerajaan dengan tabah dan tawakal kepada Allah Ta’ala dapat … kebajikan bersama-sama dengan saudara Islam yang dalam negeri Aceh dan berkasihan dengan mengikut syara’ Allah dan syara’ Rasulullah dan syara’ kerajaan yang mufakat dengan Qur’an dan Hadits dan Qiyas dan Ijma’ ulama Ahlussunnah Waljama’ah r.a. dan hukum adat dan hukum qanun dan hukum reusam.
Syahdan bermula maka barang-siapa yang tidak mengikut dan tidak menurut seperti yang tersebut itulah Ijma’ sabda mufakat kerajaan kami Aceh ke atas tiap-tiap mereka itu yang mungkar dengan dua hukum yaitu syara’ dan hukum adat. Sekianlah sabda mufakat kerajaan kami Aceh Bandar Darussalam Madinatussultan Al-Asyie Al-Kubra dan jajahan takluknya.”
Banyak hal menarik dari isi manuskrip di atas, dan kita dapat menganalisisnya dari berbagai sudut pandang. Pertama, tentu saja informasi tentang wacana ”Ahlusunnah Wal Jama’ah” yang dalam konteks ini dilegalisasi menjadi dasar kerajaan Aceh. Lepas dari sahih tidaknya isi manuskrip ini bahwa Kerajaan Aceh waktu itu bermazhab Sunni, karena informasi lain menyebutkan pada abd XV-XVI M, Kerajaan Aceh yang bermazhab Syiah mengirimkan ekspedisi ke Pariaman, Sumatera Barat, dipimpin oleh Pangeran Burhanuddin Syah,[9] tapi bahwa wacana “Ahlusunnah Wal Jama’ah” vis a vis Syiah di luar Jawa, khususnya Sumatera, sudah berlangsung sejak lama sekali. Sebuah informasi mengatakan sejak abad IX M, pada masa Kerajaan Perlak.[10] Di dalam perdebatan tentang “Pembaharuan Aswaja di Lingkungan NU” (di Jawa) beberapa tahun lalu, aspek historisitas seperti itu hilang, tidak dapat dikenali. Tampaknya ada missing link, karena hampir semua penulis dalam hal ini mengatakan “gelap”. Padahal di dalam kitab-kitab kuning melayu (arab-pegon) yang ditulis oleh para ulama “al-Jawi”, seperti Syekh Abdurrauf Singkel, Syekh Abdusshamad al-Palimbani, bahkan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, mereka seringkali menyebut paham mereka sebagai “Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Hal menarik lainnya adalah informasi mengenai hubungan genealogis antara sultan-sultan Aceh dengan Kesultanan Bani Seljuk di Bagdad, bahkan nasab mereka sampai pada Iskandar Zulkarnain. Ini tentu saja membutuhkan ilmu dan pembahasan tersendiri.
Namun yang menarik bagi saya dan relevan dengan konteks tulisan ini – lepas dari ke-sunni-an atau ke-syiah-an Kerajaan Aceh – adalah karakteristik tentang hubungan agama dan kerajaan di satu sisi, dan hubungan antara syara’ dan adat di sisi lain. Bagaimanakah watak dari hubungan-hubungan ini? Apakah bersifat formal dan totalitarianistik, dengan menjadikan Aswaja satu-satunya ukuran untuk semua aspek kehidupan? Dalam hal ini, Aswaja dalam pengertian yang bagaimana? Kalau kita memperhatikan kedua puluh satu pasal-pasal di dalam “Pohon Kerajaan” tersebut akan tampak bahwa hubungan-hubungan itu tidaklah totalitarianistik seperti yang diklaim para pendukung penerapan Syariat Islam dewasa ini. Menarik memperhatikan bahwa hanya tiga dari dua puluh satu pasal itu yang “langsung” berkaitan dengan agama (Aswaja), dan ini pun bersifat keilmuan, yaitu kewajiban rakyat untuk belajar dan mengajar ilmu agama Islam syariat Nabi Muhammad SAW atas mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah, kewajiban untuk menjauhkan diri dari pada mengajar dan belajar ilmu kaum 72 golongan di luar Ahlusunnah Wal Jama’ah, kewajiban memegangi mazhab Syafi’i (qaul jadid) dalam setiap kasus hukum syara’, kecuali darurat, boleh memegangi mazhab yang tiga. Satu lagi pasal yang berkaitan dengan syara’, namun lebih berwatak etis, karena berisi larangan pengunaan harta zakat untuk keperluan masjid atau meunasah karena itu berarti mengambil hak fakir miskin, dan keharusan bersegera membagikannya kepada ashnaf yang delapan.
Namun yang menarik bagi saya dan relevan dengan konteks tulisan ini – lepas dari ke-sunni-an atau ke-syiah-an Kerajaan Aceh – adalah karakteristik tentang hubungan agama dan kerajaan di satu sisi, dan hubungan antara syara’ dan adat di sisi lain.
Sebagian besar pasal berisi tentang kewajiban (penguatan) ekonomi seperti bertani utama lada (juga lainnya), belajar mengajar pandai emas, tembaga, ukir-ukiran bunga, khusus perempuan untuk pandai menenun kain sutera, kain benang, menjahit, menyulam, melukis bunga pada pakaian (dan lain sebagainya), juga ada kewajiban (unik) untuk belajar mengajar berdagang di dalam maupun luar negeri dengan bangsa asing, … kewajiban untuk belajar … mengukir kayu, batu bata dengan memperhatikan komposisi (pasir, tanah liat, kapur, air kulit, batu karang yang ditumbuk, dll.), juga belajar mengajar indang emas, juga kewajiban memelihara ternak segala macam. Kemudian, ada beberapa pasal dengan “Pengaman dan bela diri/negara” seperti kewajiban selalu membawa senjata, belajar ilmu kebal, dan belajar menggunakan senjata. Kemudian, menarik juga adanya pasal-pasal tentang kultur/adat, yakni kewajiban setiap tahun untuk menyelenggarakan khanduri (kenduri) laut di bawah kewenangan penuh Amirul … yaitu Panglima Laut, khanduri (kenduri) blang (sawah) pada tiap-tiap di bawah kewenangan penuh Panglima Meugoe dengan Kejruen Blang (Pejabat Urusan Sawah) khanduri maulid Nabi yang mana waktunya diatur bergiliran satu sama lain dalam jangka waktu tiga bulan agar bisa saling mengunjungi. Juga ada kewajiban (unik) dalam setiap membangun rumah/meunasah/balai/masjid, untuk memasang kain warna merah putih pada tiap tiang di atas puting di bawah bara’.[11] Juga ada kewajiban yang saya kira lebih dekat kepada Syiah yaitu larangan kepada rakyat untuk memakai kain, sutera, payung dan lain-lain yang berwarna kuning atau hijau,[12] karena warna-warna itu khusus untuk keluarga kerajaan dan syarif-syarif Bani Hasyim dan Bani Muththalib yang silsilahnya bersambung kepada Sayidina Hasan dan Husein, putera Fatimah, cucu Rasulullah SAW.
Karakteristik yang penting dicatat lagi di sini adalah kesejajaran dan keseimbangan hubungan antara syara’ dan adat. Di dalam dua paragraf yang terakhir terdapat penegasan tentang hubungan yang erat antara syara’ dengan hukum adat, hukum qanun dan hukum reusam. Seperti tercermin di dalam isi pasal-pasal di atas, hukum antara syara’ dan adat benar-benar erat tak terpisahkan, tidak saling bertentangan atau saling intervensi satu sama lain.[13] Di dalam masyarakat sampai sekarang masih sering dikutip ungkapan-ungkapan tradisional: Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Laksamana, Reusam bak Putri Phang (Adat adalah kewenangan Sultan Iskandar Muda, Hukum adalah kewenangan Syekh Abdurrauf, Qanun adalah kewenangan Laksamana dan Reusam adalah kewenangan Puteri Pahang). Sayang sekali, makna hubungan-hubungan yang sejajar dan tidak saling intervensi, namun tetap berkaitan erat, tidak bertentangan dan tidak terpisahkan ini, sulit sekali terpahami dan justru makna sebaliknya tercermin di dalam UU NAD yang lalu. Demikian pula dengan ungkapan lain: Hukom ngon adat, lagee dzat ngon sifeut (Hubungan hukum syara’ dengan adat adalah tak terpisahkan, seperti dzat dan sifat), sering direproduksi namun dengan makna yang kehilangan konteks dan kerangka pemaknaannya.
Seperti tercermin di dalam isi pasal-pasal di atas, hukum antara syara’ dan adat benar-benar erat tak terpisahkan, tidak saling bertentangan atau saling intervensi satu sama lain.
Tentang hubungan syara’ dan adat dengan karakteristik sebagaimana dibicarakan di atas, tampaknya tidak hanya berlaku di Aceh saja. Di berbagai wilayah lain di Nusantara, seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok kecenderungan seperti itu juga merata. Saya pernah membaca suatu naskah dari Barus[14] (Sumatera Utara) yang mengisahkan antara lain terjadinya peperangan yang terus-menerus antara kerajaan pesisir dengan pedalaman, yang kemudian dalam suatu perundingan damai yang juga dihadiri wakil dari Kerajaan Pagaruyung Padang, Sumatera Barat, ditengahi oleh seorang “Syekh dari Singkil”, dengan memakai formula “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Adat”.[15]
Pada umumnya kita sulit mendapatkan klarifikasi terhadap asal-usul, makna, dan paradigma dari ungkapan-ungkapan tradisional seperti di atas. Namun menurut saya, ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan satu karakteristik “Islam Nusantara” yang dipengaruhi oleh spirit dan berkah futuhat Syekh Ibnu Arabi. Di dalam kitabnya, al-Futuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi ketika membicarakan ber-tajalli-Nya nama-nama Tuhan, “al-Mudabbir”, “al-Mufashil” dan “ar-Rabb”, seperti terungkap dalam ayat al-Qur’an, dalam kaitannya dengan keseimbangan hukum realitas melalui penataan kerajaan secara baik (ishlahul mamlakah), demi suatu maslahat, sejalan dengan makna ayat “wa likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja” (dan bagi setiap umat, Kami jadikan sebuah syir’ah dan minhaj), mengatakan:
“Sesungguhnya Allah menjadikan ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kerajaan (ishlahul mamlakah) ke dalam dua bentuk: pertama, as-siyasatul hikamiyah (kebijakan lokal/adat) yang sebetulnya berasal dari ilham Allah, namun tidak disadari oleh perumusnya, dan kedua adalah as-siyasatu as-syar’iyyah (ketentuan syara’).[16]
Jadi, dari sini kita tahu, kenapa hubungan antara adat dan syara’ itu mesti sejajar, seimbang, dan tak terpisahkan, karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah. Bedanya, yang satu melalui ilham kepada jenius lokal atau filsuf atau cerdik pandai, dan satunya lagi langsung berupa tasyri’ melalui wahyu kepada Nabi. Keduanya penting, tidak semata-mata demi keseimbangan alam, tetapi juga demi kemaslahatan. Dalam ajaran Ibnu Arabi, yang disebut kemaslahatan bersifat nyata dan langsung, yaitu terpenuhinya kebutuhan warga kerajaan. Ukuran kebesaran seorang raja adalah seberapa banyak dalam setiap hari ia dapat menyelesaikan masalah dan kebutuhan warga yang diajukan kepadanya. Demikian pula sebaliknya, kalau seorang raja berbuat zalim atau membunuh seorang warganya, maka itu berarti ia sedang menghancurkan kerajaannya sendiri.
Jadi, dari sini kita tahu, kenapa hubungan antara adat dan syara’ itu mesti sejajar, seimbang, dan tak terpisahkan, karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah. Bedanya, yang satu melalui ilham kepada jenius lokal atau filsuf atau cerdik pandai, dan satunya lagi langsung berupa tasyri’ melalui wahyu kepada Nabi. Keduanya penting, tidak semata-mata demi keseimbangan alam, tetapi juga demi kemaslahatan.
Jalan Pembentukan Integritas dan Kesejatian Diri (Insan Kamil):
Sejauh ini, saya menggambarkan paham “wahdatul wujud” dengan tokoh utamanya Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi sebagai “katalisator” yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”. Mungkin akan ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa begitu? Bukankah paham itu tertolak di Nusantara, juga di dunia Islam pada umumnya? Pertanyaan semacam ini bukan mengada-ada, karena kita memang lebih sering disuguhi gambar dengan segala citranya yang menempatkan paham ini dan tokoh-tokohnya sebagai “antagonis” di dalam sejarah “Islam Nusantara”. Semua ini tampaknya berpangkal pada “cerita” di dalam babad, serat, suluk, atau legenda rakyat tentang eksekusi hukuman mati terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sesat dan membuat kekacauan di masyarakat karena menganut paham ini di berbagai wilayah Nusantara: Syekh Siti Jenar di Jawa pada abad XV–XVI, Syekh Hamzah Fansuri di Aceh abad XVI–XVII, dan Syekh Abdul Hamid Abulung di Martapura (Banjarmasin) pada abad XVIII. Menarik, cerita-cerita itu mempunyai plot dan latar panggung yang hampir mirip, yaitu ada tokoh penyebal, yang bidah, membuat onar masyarakat, kemudian ia dipanggil raja untuk dimintai keterangan, tapi malah menunjukkan kebidahannya, sehingga kemudian oleh Ulama/Wali yang otoritatif, diadili dan divonis sesat, lalu dijatuhi hukuman mati dan seluruh pengikut-pengikutnya dikejar-kejar, disuruh tobat, ditangkap atau dibunuh.
Sejauh ini, saya menggambarkan paham “wahdatul wujud” dengan tokoh utamanya Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi sebagai “katalisator” yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”. Mungkin akan ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa begitu? Bukankah paham itu tertolak di Nusantara, juga di dunia Islam pada umumnya? Pertanyaan semacam ini bukan mengada-ada, karena kita memang lebih sering disuguhi gambar dengan segala citranya yang menempatkan paham ini dan tokoh-tokohnya sebagai “antagonis” di dalam sejarah “Islam Nusantara”.
Cerita-cerita ini terus bertahan, walaupun sesungguhnya banyak mengandung paradoks dan anakronisme sejarah, sebagian mungkin karena “dijaga” dan “dinormalkan” melalui asumsi-asumsi akademis, walaupun sesungguhnya berupa klaim atau kesalahpahaman yang rapuh. Sebagai contoh, misal apa yang ditulis Dr. Simuh di dalam disertasinya Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito:
“Di kalangan para penganut paham Manunggaling Kawula-Gusti, memang ada segolongan kecil yang berpaham pantheisme, yang memandang bahwa hakekat alam, manusia dan Tuhan, adalah sama. Yakni serba Tuhan, yang dianut oleh Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, Samsudin Pasai, dan dalam cerita Serat-Babad Syekh Siti Jenar. Namun, sebagian besar pengikut paham Manunggaling Kawulo-Gusti, masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah, dan kawulo yang wajib menyembahnya. Seperti halnya Husain Ibn Mashur Al-Hallaj, Abdurra’uf al-Singkili, Ar-Raniri, dan lain-lain.”
Satu paragraf singkat dan padat dari dari Dr. Simuh di atas menunjukkan beberapa hal tentang asumsi-asumsi dan stereotip terhadap paham “Manunggaling Kawulo-Gusti”, istilah Jawa untuk menyebut “Wahdatul-Wujud”. Beserta “pemetaan” beberapa tokohnya dan pembedaan “aliran/varian” di dalam paham “Manunggaling Kawulo-Gusti” itu sendiri antara panteisme (paham serba Tuhan) yang berarti cenderung meninggalkan “syariat” dengan para pengikut yang tetap memegangi “syariah” dan masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah dan hamba yang wajib menyembahnya.
Dengan mengikuti model penilaian seperti di atas, kita sebetulnya dengan mudah bisa menunjukkan beberapa kesalahan dalam kesimpulan pada paragraf di atas atau yang sejenisnya. Beberapa kutipan dari ajaran-ajaran Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhatul Makkiyyah pada pembahasan-pembahasan di awal sudah cukup untuk menunjukkan kesalahan ini. Juga, kalau kita baca sendiri secara langsung, ajaran-ajaran Hamzah Fansuri, guru sufi abad XVI ini, di dalam kitab kita Syarabul ‘Asyikin, Asrarul ‘Arifin, dan sebagainya, maka stigma di atas jelas sekali kesalahannya. Barangkali dua kutipan dari Kitab Syarabul ‘Asiqin ini bisa mewakili ajaran-ajaran Hamzah Fansuri:
Barangsiapa tiada menurut fi’ilnya (Nabi), ia itu naqis (kekurangan) dan sesat hukumnya, karena shari’at [dan tariqat] dan haqiqat pakaian Nabi. Apabila kita tinggalkan suatu daripada tiga itu, naqis hukumnya. Adapun barangsiapa mengerjakan sembahyang fardlu, dan puasa fardu, dan makan halal, dan meninggalkan haram, dan berkata benar, dan tiada laba, dan tiada dengki, dan tiada minum tuak, dan tiada mengumpat orang, dan tiada mengadu-ngadu, dan tiada zina, dan tiada ujub, dan tiada riya’, dan tiada takabbur – banyak lagi mithalnya ini – ia itu memakai shari’at. Kerana perbuatan itu perbuatan Muhammad Rasulullah (shalla’llahu ‘alaihi wa sallam) yogya kita turut supaya dapat kita ke dalam tariqat, karena tariqat tiada lain daripada shari’at[17].
Demikian juga kalau kita baca secara langsung tanpa apriori ajaran Syamsuddin al-Sumatrani (wafat tahun 1630 M), pensyarah Hamzah Fansuri, dalam kitab Tibyan Mulahadhatil Muwahhid wal Mulhid fi Dzikrillah, maka tidak ada perbedaannya dengan isi kitab Nuruddin Ar-Raniri: Hujjatus Shiddiq li Daf’iz Zindiq. Beberapa disertasi sudah ditulis di Indonesia yang menunjukkan tuduhan-tuduhan terhadap Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani selama ini adalah suatu kezaliman.[18] Agus Sunyoto juga tidak saja telah mensistematisasi ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar di dalam proporsinya dan menunjukkan ketauhidannya, bahkan mendekonstruksi sejarahnya untuk mengatasi secara meyakinkan berbagai keterbatasan atau penyimpangan yang menyembunyikan realitas di dalam babad-babad.[19]
Keyakinan saya bahwa spirit Ibnu Arabi[20]-lah yang menjadi “katalisator” terpenting (baik secara intelektual maupun spiritual) dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”, juga didukung oleh fakta bahwa – sejauh bisa ditelusuri – keseluruhan korpus karya Ulama-ulama Nusantara (abad XV–XIX), baik yang akrab di lingkungan kaum santri atau pesantren, maupun yang dipegangi di lingkungan kaum abangan (Keraton dan sekitarnya), baik di Jawa maupun di luar Jawa, menunjukkan derajat keterpengaruhan yang tinggi terhadap ajaran-ajaran Ibnu Arabi. Di luar naskah-naskah sejenis Babad, yang persis “sejarah” dan sejenis kisah atau epos, seperti Serat Menak atau Hikayat Amir Hamzah, maka hampir kesemuanya berupa naskah-naskah suluk, tasawuf, yang bersifat didaktis, teoritis maupun praktis. Dan kalau kita baca secara seksama, akan tampak bahwa semuanya berakar pada paham “Wahdatul-Wujud”, bermuara pada upaya membuka jalan bagi pembentukan “Insan Kamil”, manusia sempurna. Siapa “Dia”? Ia yang di dalam dirinya sendiri sudah merealisasikan segala kemungkinan yang mungkin bisa dicapai oleh makhluk. Sehingga dapat menjadi teladan untuk setiap orang, sebab, pada kenyataannya, setiap makhluk terpanggil untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ia bawa sejak lahir sesuai dengan nama Ilahi yang menjadi Rabb-nya yang khusus. Bagaimana mencapainya? Mari kita baca sekali lagi puisi Hamzah Fansuri di atas:
“Ketahuilah anak Adam/ Engkaulah haqiqat ‘alam
Isyiqmu jangan kau padam/ Supaya dapat berpayung iram
Campurkan yang empat ‘alam/ Hancurkan di laut dalam/
Syar’iy nabi yang khatam/ Kerjakanlah daim siang dan malam.”
Catatan Kaki:
[1] Untuk pembacaan terhadap Ibnu Arabi, disamping bercermin pada syarah-syarah tradisi, saya juga berhutang pada buku biografi intelektual dan spiritual Ibnu Arabi yang ditulis oleh Claude Addas, Mencari Belerang Merah, terj. Zaimul Amin. (Jakarta: Serambi, 2004). Juga kepada analisis Nasr Hamid Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibnu Arabi (Beirut: al-Markazuts Tsaqafil Arabi. 2004), cet II.
[2] Al-Futuhat Makkiyah, Kairo, 1293 H. Juz I, h. 392
[3] Futuhat, Juz I. H. 334.
[4] Futuhat, I, hlm. 723.
[5] Adz-Dzakhairul A’laq fi Syarh Tarjumanil Asywaq, tahqiq: Muhammad Abdurrahman al-Kurdi, Kairo, 1968.
[6] Masa-masa yang paling dinamis dalam Ashru at-Tadwin “Islam Nusantara” memang antara abad ke-15-ke-18, tepat beriringan dengan kemunculan karya-karya “implementatif” Al-Jili dan Al-Burhanpuri di atas. Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, Sunan Kalijaga dkk menghasilkan karya-karya yang tidak hanya menerjemahkan konsep-konsep seperti “Insan Kamil” dan “Maratibul Wujud” saja, tetapi secara kreatif juga mengembangkan dan mengkontekstualisasikan dengan kultur Jawa yang ada saat itu, seperti yang selama ini dikenal sebagai suluk-suluk pesisiran, Serat Menak, Serat Martabat Alam Pitu, dan sebagainya. Pada dekade berikutnya, Hamzah Fansuri muncul dengan syair-syair dan prosa-prosa yang menggelora tentang hakikat wujud dan jalan-jalan menuju pembentukan “Insan Kamil”, peralihan abad berikutnya, tampil Syekh Syamsuddin al-Sumatrani, abad ke-17 muncul Syekh Abdurra’uf al-Singkili, Mbah Mutamakin Kajen dan Syekh Yusuf al-Makassari yang cemerlang dan abad berikutnya, abad ke-18, kita bertemu dengan Syekh Abdushomad al-Palimbani dan Syekh Muhammad Nafis Banjar.
[7] Salinan manuskrip ini adalah kitab Tadzkiratul Tabaqat, Qanun Syara’ Kerajaan Aceh, susunan Syekh Syamsul Bahri, yang disalin oleh Tengku di Mulik Sayyid Abdullah al-Jamalullail atas titah Tuanku Ibrahim al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Mansyur Syah pada tahun 1272 Hijriah. Untuk informasi ini, saya berterima kasih kepada Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian.
[8] Di dalam sebuah manuskrip lain, yang tersimpan di Universitas Kebangsaan Malaysia, ada diceritakan tentang kedatangan kabilah dari Bagdad sebanyak 500 orang pada tahun 510 Hijriah atau 1116 Masehi di bawah pimpinan Makhdum Abi Abdillah Syaikh Abdurrauf al-Mulaqqab Tuan di Kandang Syaikh Bandar Darussalam dan membawa agama Islam kepada penduduk kampung Pande di Aceh. Putranya ialah Sultan Johan Syah yang menjadi Sultan di kampung Pande, dan seterusnya sampai kepada Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah ini. Manuskrip tersebut juga menyebutkan bahwa sultan-sultan Aceh ialah zuriah Sultan Iskandar Zulkarnain melalui cabang Turkestan, Bukhara, yang dimulai dari Sultan Malik Ilik Khan Syah Saljuq. Untuk data ini, saya berterima kasih kepada Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian.
[9] Slamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LKIS, 2006). Jejak dominasi Syiah masih dapat dikenali di daerah-daerah Pariaman, Jambi dan Bengkulu sampai saat ini, yang setiap tanggal 10 Muharram menyelenggarakan Festival Tabut untuk memperingati peristiwa Karbala, dan konon tradisi ini dimulai sejak zaman Burhanuddin Syah.
[10] Baca laporan hasil seminar masuknya agama Islam di Indonesia, A. Hasjmy, dkk., Medan, 1969, yang kesimpulan-kesimpulan terpentingnya banyak mendasarkan pada sebuah naskah Idzharul Haq fi Mamlakati Perlak yang mengkisahkan tentang kedatangan “armada” dari Persia di Perlak pada abad VIII–IX M, dan berhasil mendirikan kerajaan Islam yang pertama di sana. Naskah ini juga banyak bercerita tentang perkawinan-perkawinan “politik” antara pendatang-pendatang Muslim itu dengan keluarga “pemegang otoritas lokal”, dan kemudian membangun silsilah raja-raja di Perlak dan bersambung ke Pasai dan Malaka. Juga, pada akhirnya, sultan-sultan Aceh.
[11] Sampai sekarang, di berbagai desa di Jawa, saya masih melihat banyak orang yang memasang kain/bendera merah putih pada blandar, ketika membangun rumah, (mungkin) tanpa tahu asal-usulnya.
[12]. Menurut informasi, di Banjarmasin masih ada “tabu” bagi orang kebanyakan untuk mengenakan pakaian dengan warna kuning dan hijau.
[13] Bandingkan dengan karakteristik hubungan-hubungan itu di dalam UU NAD atau RUU Pemerintahan Aceh yang sekarang.
[14] Jane Drakard, Hikayat Raja-raja Barus (Jakarta; Gramedia, 1998).
[15] Bandingkan dengan slogan Sumatera Barat saat ini yang berubah menjadi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” (ABSSBK), yang juga belum ada penjelasan resminya tentang asal-usul dan kerangka pemikirannya, baik secara filosofis maupun praktisnya.
[16] Futuhat, juz 1.
[17] Baca Disertasi Dr. Kautsar Azhari Noer tentang Ibnu Arabi, dan Disertasi Dr. Abdul Hadi WM, tentang Hamzah Fansuri. Kedua disertasi ini diterbitkan oleh Penerbit Paramadina
[18] Lihat novel-novel sejarah Agus Sunyoto tentang Syekh Siti Jenar, jilid 1–7 diterbitkan LKIS Yogyakarta.
[19] Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa yang saya maksud dengan spirit atau “futuhat” Ibnu Arabi di sini, bukanlah semata-mata kitab-kitab Ibnu Arabia atau murid-murid/pengikutnya langsung, melainkan ini berkaitan dengan posisi “unik” ajaran-ajaran Ibnu Arabi di antara ajaran-ajaran sufi sebelum dan sesudahnya, yang “merangkum” keseluruhannya tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada, bahkan menempatkannya dalam “martabat”-nya masing-masing. Jadi, maksudnya lebih kepada keseluruhan para sufi dan ajaran-ajarannya di dalam perbedaan varian di antara mereka, dan mungkin pertentangan-pertentangan di antara mereka juga, yang sudah “dirangkum” oleh Ibnu Arabi.
*Tulisan ini merupakan bagian dari salah satu tulisan dalam buku “Islam Berkebudayaan; Akar Kerarifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan”, (Pusataka Kaliopak: 2019).
Feminisme istilah dari luar Nusantara yang mungkin diimport sejak kasus Kartini di masa penjajahan. Kartini, seorang perempuan bangsawan Jawa dari Jepara yang merasa keluarganya memperlakukannya dengan tidak adil. Dia merasa harus menuruti keinginan keluarga karena harus mengikuti tradisi dan tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Tradisi kemudian “dikoreksi” sehingga perempuan Jawa tidak lagi hanya terkurung masalah domestik saja tapi melebarkan sayapnya dengan dapat bekerja di luar. Perempuan tidak keluar dari “tugasnya” dalam rumah tangga namun boleh bekarya di luar.
Dalam banyak sejarah di Barat, perempuan dibatasi dalam pekerjaan rumah, sementara “dunia luar” merupakan urusan laki- laki. Di abad pertengahan, perempuan di Eropa tidak boleh memiliki propertinya sendiri, belajar, atau bergabung dalam urusan “dunia luar”. Sehingga mereka menuntut kesejajaran perempuan dengan laki- laki. Maka muncullah gerakan feminisme, tujuan gerakan ini yang saya tangkap, adalah menuntut kesejajaran dengan laki- laki, atau menuntut keadilan, bukan sekedar kebebasan, atau bukan untuk menyaingi laki- laki. Entah kenapa sampai di Nusantara, mungkin ini hanya dipahami sebagai “pembebasan” perempuan. Adil bukan berarti bebas, dan bebas juga bukan berarti adil. Jika perempuan lebih memilih mengurus rumah tangga namun segala kebutuhannya tercukupi dan dia bahagia, apakah dia harus juga bekerja? Atau kalau perempuan sudah bekerja di luar rumah, tapi urusan rumah tangga juga harus dia yang selesaikan sendiri apakah ini adil?
Adil bukan berarti bebas, dan bebas juga bukan berarti adil. Jika perempuan lebih memilih mengurus rumah tangga namun segala kebutuhannya tercukupi dan dia bahagia, apakah dia harus juga bekerja?
Saya sangat setuju jika feminisme ala Barat tidak serta- merta diaplikasikan di Indonesia. Mohanty, peneliti India, dalam artikelnya “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” merupakan salah satu contoh begaimana feminisme ala Barat yang meleset diterapkan dalam konteks masyarakat India. Sehingga wacana yang muncul, Barat seolah menjadi “penolong” bagi perempuan India yang tertindas. Keadilan memang harus ditegakkan entah dalam bingkai feminisme atau apa pun itu, namun apa yang saya lihat disini, gagalnya pengkontekstualisasian itu dan justru menjadikan generalisasi keadaan yang pada akhirnya malah menimbulkan masalah baru. Ibaratnya, karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena kesalahan satu kasus, seolah semua perempuan di dunia merasakan ketertindasan yang sama seperti di Barat. Pun Nusantara tak luput dari “nilai yang setitik“ ini, misalnya pada kasus Kartini yang membuat seolah seluruh perempuan di Nusantara pada saat itu merasa tertindas dan budaya yang dikambing-hitamkan. Kemudian muncullah semacam “resistensi” budaya lokal dengan dilema: seolah-olah budaya lokal perlu mengkoreksi dirinya dengan perspektif feminisme ala Barat hingga (terkadang terlalu dipaksakan) perlu mengkolaborasikan ide feminism ala Barat ini dengan menghasilkan rumusan yang menggeneralisir: “perempuan Jawa boleh berkarir di luar asal tidak meninggalkan akarnya di rumah tangga.” Rumusan yang saya rasa, belum diikuti dengan kontekstualisasi dan pengujian yang cukup. Akhirnya keputusan yang cenderung “saklek” dan menggeneralisir ini malah menimbulkan masalah baru: perempuan seolah identik dengan urusan rumah tangga dan menjadi dobel pekerjaannya, rumah tangga dan berkarir.1 Kemudian jika ternyata perempuan protes karena pekerjaannya menjadi lebih banyak, perlukah rumusan baru lagi? Bolehkan perempuan hanya memilih salah satu? Lalu bagaimana dengan peran laki- laki? Apakah kemudian akan ada rasa ketakutan tradisi hilang hanya karena perempuan ternyata memilih tidak lagi mengurus rumah tangga karena semuanya sudah diurus oleh asisten, rumah tangga?
Dari rumusan ini saya membaca sebuah pola pikir bahwa: tradisi tidak boleh ditinggalkan, tapi kita juga harus maju (dengan mengelaborasi ide dari luar). Apakah mengurus rumah tangga berarti menjaga tradisi? Apakah memasak, mencuci baju, membersihkan rumah berarti melestarikan tradisi? Apa hubungan membereskan urusan rumah tangga dengan menjaga tradisi? Apakah akar tradisi terletak dan hanya terletak pada urusan rumah tangga? Lalu apakah bekerja di luar berarti menjadi lebih maju? Apakah ide dari luar (baca Barat) selalu membawa kemajuan? Saya sangat setuju jika tradisi tidak boleh ditinggalkan, namun saya pikir masalahnya tidak sesedarhana itu.
Untuk mengurai jebakan yang sungguh kompleks ini, saya mencoba meraba konteks yang terjadi pada kasus Kartini. Saya curiga, Kartini menjadi objek atau korban di masa penjajahan. Kartini merasa orang tuanya mengekangnya, tidak memberikan dia kebebasan untuk belajar ke Eropa, malah menyuruhnya menikah. Perkenalannya dengan sahabat penanya di luar Nusantara hingga bertulis surat yang berarti dia dapat menulis latin adalah tentu suatu hal yang luar biasa. Kartini sudah tersentuh pendidikan baca dan tulis menunjukkan dia sudah mendapatkan “privilige“ pada masa itu yakni bisa mendapatkan pendidikan ala Barat. Kemudian, setelah mendapat sedikit pendidikan itu, Kartini merasa dia masih perlu belajar lebih banyak lagi, dia ingin belajar hingga ke Eropa. Namun rupanya keinginan itu tidak tercapai. Dia merasa keluarganya kolot, sehingga berpikir bahwa pengekangan ini tidak menjadikannya maju, namun disisi lain dia juga tahu betapa tidak adilnya penjajah terhadap bangsanya. Hal itu membuatnya berkeinginan agar semua orang harus diperlakukan adil, harus terdidik (sepertinya), bisa bebas dan tidak terbelenggu (sepertinya). Pertanyaannya, tradisi manakah yang dia lawan, samakah tradisi keluarganya dengan tradisi bangsawan Jawa lain? Bagaimana dengan tradisi Jawa di luar lingkungan bangsawan pada masa itu? Bagaimana dengan tradisi Jawa sebelum masa kolonial? Bagaimana dengan tradisi di luar pulau Jawa pada masa itu? Apakah sama seperti yang dirasakan Kartini yang sangat spesifik itu? Mungkin perempuan di luar bangsawan malah lebih bebas dari Kartini, dan bisa jadi pembagian tugas rumah tangga-bekerja lebih “luwes” di setiap rumah tangga rakyat biasa. Lalu kenapa harus distandarisasikan seperti itu? Saya curiga pandangan Jawa terhadap perempuan justru berubah setelah masa kolonial. Saya kembali curiga (maaf banyak sekali yang saya curigai di sini) Kartini merupakan korban pembentukan paradigma bahwa kebudayaan Jawa itu berlaku tidak adil pada perempuan (padahal itu baru kasus di Jepara), lalu kemudian menjadi paradigma tradisi Jawa seluruhnya. Saya merasa perlu mengaitkan dengan per-gundik-an di jaman penjajahan dimana para perempuan pribumi dieksploitasi penjajah, dan malah dianggap naik derajat jika menjadi gundik penjajah, siapakah disini yang berlaku tidak adil terhadap perempuan?
Saya merasa perlu mengaitkan dengan per-gundik-an di jaman penjajahan dimana para perempuan pribumi dieksploitasi penjajah, dan malah dianggap naik derajat jika menjadi gundik penjajah, siapakah disini yang berlaku tidak adil terhadap perempuan?
Untuk menguji konteks lain, dari konteks perempuan bangsawan Jawa lain ada peran penting yakni Ratu Pakubuwana di abad 18, juga ada Cut Meutia, ada Cut Nya Dhien, yang kita kenal sebagai pahlawan perempuan, hidup di masa penjajahan, namun di Aceh. Apakah yang diperjuangkan Cut Nya Dien dan Cut Meutia? Saya tidak melihat perempuan tangguh dari Aceh ini berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke Eropa. Mereka menjadi bagian dari pasukan melawan penjajah. Bahkan tanpa perlu istilah feminisme, perempuan ini telah bebas, bahkan ikut berjuang. Saya tidak bilang Kartini tidak berjuang, tidak sama sekali, keduanya sama- sama tidak setuju atas penjajahan, atas nama apa pun, dan mereka memiliki musuh yang sama: ketidak-adilan. Jadi jelas bahwa bukan tradisi secara umum yang salah, melainkan ketidak-adilan yang terjadi pada lingkungan Kartini pada saat itu yang perlu diperbaiki. Apakah kemudian artinya seluruh tradisi Jawa menjadi salah? Dan apakah kemudian Jawa merasa perlu mengimport feminisme ala Barat dengan menyesuaikan, mengkolaborasi, menyatukan, atau apa pun untuk “mengkoreksi” tradisinya? Maka diperlukan pembacaan konteks yang jeli di sini.
Jadi jelas bahwa bukan tradisi secara umum yang salah, melainkan ketidak-adilan yang terjadi pada lingkungan Kartini pada saat itu yang perlu diperbaiki. Apakah kemudian artinya seluruh tradisi Jawa menjadi salah? Dan apakah kemudian Jawa merasa perlu mengimport feminisme ala Barat dengan menyesuaikan, mengkolaborasi, menyatukan, atau apa pun untuk “mengkoreksi” tradisinya? Maka diperlukan pembacaan konteks yang jeli di sini.
Terlepas dari itu, Jawa sudah terlanjur menjadi “gegeran”, hingga dilabeli kolot, kuno, mengekang, dan sebagainya. Dan terpatrilah dalam pemikiran bahwa seolah Jawa harus terus-menerus dikoreksi ala penjajah yang menamakan diri “Barat”. Yang saya utarakan disini bukan berarti bahwa feminisme ala Barat itu salah. Saya sangat setuju bahwa keadilan harus ditegakkan di seluruh penjuru dunia, namun apakah harus dengan cara Barat? Dan apakah harus menunggu inisiatif dari Barat?
Saya sama sekali tidak anti Barat atau anti mana pun. Pun saya tidak ingin meninggikan Jawa pada khususnya dan Nusantara pada umumnya. Saya hanya berusaha mengurai “kebundetan” yang terus- menerus menyerang pemikiran saya, karena seolah kok budaya saya ini bolong di sana sini, dan penjajahan itu, yang dikenal kejam, tapi seolah- olah masih juga dianggap membawa jasa atas nama “kemodernan”. Kenapa praktek pergundikan, yang mengorbankan betapa banyak perempuan Jawa biasa, bisa tertutupi karena kasus Kartini? Lebih herannya lagi, kenapa praktek gundik, yang menjadi “simpanan“ penjajah justru dianggap meningkatkan “derajat” semu perempuan pribumi? Dari kasus ini rupanya, masih banyak yang harus saya pelajari dengan melacak sejarah semampu yang saya bisa, juga berwaspada dengan berpikir kritis, agar tidak lagi terjebak pada kesimpulan-kesimplan sesaat yang cenderung menggeneralisir, memukul rata, tanpa melihat dari berbagai perspektif dan data. Saya tidak merendahkan Barat, tapi saya juga harus jeli dan kritis, karena satu doktrin yang tidak benar jika seringkali diulang bisa terpantri, bisa terlanjur dipercaya menjadi kebenaran. Dialektika ini mengantarkan saya pada sebuah persimpangan: terseok- seok membaca kembali, menganalisis, dan meneruskan pesan-pesan nenek moyang meskipun jalannya “sukar dan curam” dengan tetap berpikir adil dan kritis. []
1 Saya tidak yakin Kartini harus memasak, membersihkan rumah atau mencuci baju, bukankah dia seorang bangsawan?
Sumber bacaan;
Mohanty, C. (1988). Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses. Feminist Review, (30), 61-88. doi:10.2307/1395054
Baay, Reggie. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.