verena meyer
Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Irfan sebagai penulis buku dan juga panitia pelaksana kegiatan ini karena sudah mengajak Saya untuk diskusi buku ini di ruangan teatrikal perpus UIN Sunan Kalijaga ini (24 April 2019). Buku mas Irfan Afifi ini berjudul: “Saya, Jawa, dan Islam”. Jujur, saya tertarik dengan tema Islam di Jawa sejak saya S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara, dan waktu itu kemudian saya datang ke Indonesia dan mengambil kuliah di STF Driyarkara di Jakarta selama satu tahun. STF Driyarkara itu institusi Katolik, tapi kebetulan banyak teman saya di STF itu orang Jawa NU, dan oleh karena itu waktu itu saya sering berdiskusi terkait hubungan antara filsafat Barat dan warisan intelektual Islam dan Jawa.
Kemudian, saya kebetulan juga sedang melakukan penelitian untuk disertasi saya di Columbia University yang secara umum tentang tradisionalisme dan modernisme dalam Islam di Jawa. Dalam proses itu saya tersambungkan dengan Mas Irfan sebagai interlocutor (narasumber) dalam riset saya. Saya senang sekali membaca buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya mas Irfan Afifi ini karena sangat penting untuk saya dan secara personal saya belajar banyak sekali darinya, tidak hanya tentang tradisi dan modernitas, tetapi juga — dan ini penting sekali untuk saya sebagai peneliti asing — tentang efek penelitian yang tidak baik dan tidak benar.
Saya seorang dari luar, seorang yang berasal dari akademi Barat yang mempelajari Islam di Jawa. Oleh karena itu, pengalaman saya dan kepentingan saya sendiri memang agak berbeda dari pengalaman-pengalaman yang digambarkan oleh Mas Irfan dalam buku ini. Tapi sebenarnya juga ada beberapa hal yang cukup mirip, pengalaman yang diceritakan dalam buku ini yang juga terasa dalam perkembangan saya sebagai seorang peneliti asing.
Saya tadi sudah bercerita tentang waktu saya saat S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara. Lalu saya mulai belajar bahasa Indonesia dan saya dibiasakan dengan karya-karya yang masih disebut sebagai karya klasik dalam Studi Asia Tenggara dan Studi Agama Islam.
Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah.
Saya masih ingat saat semester satu, waktu itu saya baru pertama kali belajar sedikit tentang Jawa, yakni Jawa itu tempatnya di mana, terkait geografinya dan sejarahnya, dan hal-hal yang paling dasar. Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah. Apa yang dimaksudkan dengan “religion of Java”, apa pengandainnya hanya terdapat satu agama di Jawa, karena di bahasa Inggris ‘religion’ itu singular? Lebih aneh lagi, ‘religion’ yang dimaksudkan sepertinya bukan Islam tapi… apa, ya?
Jadi, waktu itu, sebagai anak S1 yang baru belajar sedikit tentang Jawa, saya mulai tahu bahwa sebenarnya tidak hanya ada satu agama di Jawa, tapi terdapat tiga agama yang namanya abangan, santri, dan priyayi (seperti digambarkan Geertz). Dan saya segera mempercayai ini, karena profesor saya bilang bahwa Geertz adalah seorang antropolog yang besar, dan saya waktu itu belum tahu banyak tentang Jawa maupun Islam. Jadi saya percaya, waktu itu, bahwa di Jawa ada agama abangan dan agama priyayi, agama yang “asli”, “Jawa”, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama Islam.
Lalu, saya ke Jakarta, saya berteman dengan beberapa orang Jawa NU, dan saya makin merasa bahwa saya tidak bisa membayangkan apa itu budaya Jawa, yang terlepas dari Islam? Itu apa? Budaya Jawa dari zaman Majapahit? Saya merasa tidak hanya bahwa Islam dan Jawa tidak berlawanan, tetapi juga bahwa budaya Jawa itu sangat dibentuk oleh Islam. Dan waktu itu, saya merasa bahwa kalau saya ingin faham budaya Jawa, saya juga harus faham Islam. Jadi saya pindah jurusan dan saya mulai kuliah studi agama Islam.
Saya merasa bahwa akademi Barat sudah lebih sadar bahwa karya Pak Geertz itu bermasalah. Trikotomi abangan – santri – priyayi memang sudah sering dikritik. Pertama-tama, “priyayi” itu bukan agama tapi status sosial. Dan bagaimana dengan dikotomi “santri” dan “abangan” — sepertinya yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz itu bahwa ada dua pilihan: Jawa atau Islam, dan dua-duanya berlawanan. Kaum Jawa yang otentik harus menolak Islam, dan kaum Muslim yang otentik harus menolak kebudayaan Jawa. Jelasnya itu sungguh tidak benar. Mas Irfan menulis (h. 13), dengan nada tegas menyatakan: “saya Jawa, saya Islam”. Kenapa Clifford Geertz tidak bisa menerima itu? Lebih aneh lagi, Clifford Geertz seorang antropolog yang tinggal di Jawa selama beberapa tahun. Dia mengalami Islam di Jawa secara langsung, bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?
Riwayat hidup Geertz sebenarnya cukup menarik untuk melihat relasi keterlibatan akademi (pengetahuan) dan politik. Ketika Clifford Geertz mendarat di Jawa, dia sudah punya beberapa keyakinan tentang Jawa yang berdasarkan iklim politik pada zaman itu, dan kalau sudah ada keyakinan yang kuat seperti itu, kita memang cenderung hanya mencari konfirmasi saja.
Ada beberapa hal yang cukup mencurigakan mengenai pendidikan dan perjalanan Clifford Geertz. Yang pertama, Clifford Geertz dipengaruhi oleh peneliti Belanda dari zaman kolonial. Mas Irfan menulis tentang agenda politik dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti kolonial. Orang Belanda punya kepentingan sendiri untuk menggambarkan Islam di Jawa sebagai “lapisan tipis”. Misionaris Kristen mau percaya bahwa Islam hanya lapisan tipis saja karena mereka berharap bahwa agama Kristen bisa diterima oleh orang Jawa. Lalu, orang Belanda juga takut gerakan Islam politik dan mereka merasa bahwa Islam sebagai sesuatu yang tidak mendalam, dan yang diresapi oleh budaya lokal, tidak begitu berbahaya. Lalu, ketika Clifford Geertz berangkat dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di Jawa, dia tidak langsung ke sini (Indonesia), dia mampir ke Belanda dulu. Di Belanda, dia bertemu dengan peneliti-peneliti senior kolonial Belanda yang menjelaskan anggapan mereka mengenai Islam di Jawa dan konsep “lapisan tipis” yang dulu muncul dari kepentingan kolonialisme. Dan sepertinya Geertz percaya juga, dia menerima anggapan peneliti yang dianggap lebih senior dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Jadi Geertz sudah punya ide yang jelas apa yang dia akan temukan di Jawa.
Apalagi, pada tahun 1950an suasana akademik di Amerika Serikat juga dibentuk oleh situasi perang dingin, dan banyak peneliti berpikir bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang lebih kompatibel dengan kapitalisme dan agenda negara Barat. Jadi agenda penelitian postkolonial tidak begitu berbeda dari agenda kolonial. Alias itu mungkin masih sama.
Sekarang banyak orang sudah faham bahwa karya Clifford Geertz sangat bermasalah. Tapi yang penting untuk saya, saya tidak mau menjelekkan Geertz sebagai individu. Jelas bahwa Clifford Geertz seorang yang cukup pintar, dan walaupun pintar dia juga tidak mungkin faham atau menyadari keterlibatan politik dalam karya akademiknya. Dia pasti tidak faham bahwa karya akademik itu mengakibatkan banyak masalah seperti yang digambarkan oleh Mas Irfan.
Secara personal, saya merasa ini agak menakutkan. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya saya tidak sepandai Clifford Geertz. Sebagai peneliti dari akademi Barat saya juga terlibat dalam agenda politik yang saya sendiri tidak faham. Apa akibat penelitian saya? Apakah penelitian saya juga akan menimbulkan masalah, seperti penelitian yang dilakukan Clifford Geertz?
Mas Irfan bercerita tentang rasa kegelisahan yang ditimbulkan oleh karya akademis yang tidak baik dan tidak benar. Secara pribadi, saya juga pernah mengalami rasa kegelisahan semacam itu, tapi dari sisi yang lain: Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?
Apalagi, dalam akademi Barat sampai sekarang masih ada banyak masalah struktural yang menghindar dan menjauhi pengertian yang lebih produktif mengenai Jawa dan Islam. Di akademi Barat masih ada kecenderungan yang kuat untuk memisah studi agama Islam dari studi Asia Tenggara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayu belum begitu diterima sebagai bahasa Islam di jurusan-jurusan Studi Agama. Itu tidak masuk akal — banyak sekali Muslim yang menulis dan membahas pikiran Islam dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kalau seorang murid mau membaca teks-teks klasik Jawa Islam, itu sulit sekali.
Pertama-tama, hampir sama sekali tidak ada ahli di akademi Barat. Kalau ada, mereka biasanya tidak ada di jurusan studi agama Islam, tapi hanya di jurusan “area studies”, seperti jurusan studi Asia Tenggara. Di jurusan Area Studies mereka akan belajar bersama dengan orang yang, misalnya, berfokus pada teknik hidrolik di Cambodia atau pendidikan di Filipina, jarang sekali ada orang yang juga berfokus pada Islam, dan oleh karenanya sastra Jawa dipelajari secara terlepas dari bahasa Arab dan konsep-konsep Islam. Jadi ada kecenderungan menganggap sastra Jawa sebagai sastra lokal yang harus difahami dalam konteks budaya lokal saja.
Tapi sastra Jawa tidak hanya berisi kebudayaan Jawa melulu, apa lagi kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh Hinduisme atau Buddhisme, tetapi juga teks-teks yang banyak berisi ajaran Islam yang sama sekali tidak lokal, tapi global, yang ada di seluruh dunia Islam. Jadi, ini salah satu masalah politik struktural yang masih sangat nyata di akademi Barat, yakni menghindari pelajaran Islam di Jawa sebagai Islam. Jadi apa yang harus berubah? Pertama-tama, saya sangat berharap bahwa jurusan studi agama Islam di akademi Barat lebih menerima Jawa sebagai mata kuliah yang sangat penting. Tadi saya bilang, kalau ingin faham budaya Jawa, juga harus faham Islam. Kami harus lebih sadar di jurusan Islam di universitas Barat, tidak saja, jika mau memahami Jawa harus faham Islam, tetapi juga, kalau mau faham Islam harus faham Jawa.
Lalu, dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini ada beberapa hal yang saya rasa harus diperhatikan oleh akademi Barat. Yang pertama, mau tidak mau, masalah struktural politik pasti membentuk epistemologi dan konsep-konsep kita, dan kita tahu dari Michel Foucault bahwa epistemologi itu salah satu cara untuk menguasai orang lain. Misalnya, dalam buku ini Mas Irfan berbicara tentang istilah “filsafat” yang tidak begitu tepat untuk membaca ilmu pengetahuan Jawa. Sebagai mahasiswa S1 saya sering berdiskusi dengan teman-teman saya apakah pikiran-pikiran orang Jawa bisa disebut sebagai filsafat atau tidak. Waktu itu saya masih kurang sadar bahwa “filsafat” itu konsep yang sangat etnosentris, seperti banyak konsep lain yang kelihatan netral, tapi sebenarnya selalu menunjuk keterlibatan epistemologi dan politik.
Dalam pengertian banyak orang di akademi Barat, filsafat yang baik dan benar itu filsafat yang sama atau setidaknya semirip mungkin dengan filsafat Barat. Perbedaan dari perspektif Barat dianggap sebagai kekurangan. Kalau tidak cukup mirip dengan filsafat Barat, artinya itu bukan filsafat tapi… apa, ya? Tradisi rakyat, atau hikmah lokal, dan pikiran dianggap kurang sistematis, karena epistemologi Barat tidak mampu memahami sistematisasi yang berbeda. Dan dalam diskursus akademik, kita dimungkinkan mengkritik dan mendekonstruksi epistemologi Barat, tapi kalau mau ikut diskursus normatif itu, masih harus memakai metodologi Barat yang berdasarkan epistemologi yang sudah dikritik. Ini dilema dasar teori postkolonial, dan solusinya mungkin tidak ada, kecuali menyadari dilema ini dan memahami implikasi dilemanya.
Seperti Mas Irfan, Ia membahas persoalan istilah “filsafat” yang kurang pas untuk Jawa karena ada dimensi epistemologi-politik seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih cocok menurut Mas Irfan untuk menyodorkan konsep “ngelmu”, yakni sebuah istilah yang ada di diskursus Jawa sendiri. Saya mengutip (h. 42): “Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.” Tapi ngelmu juga bukan hanya “kearifan lokal” atau “penyatu identitas kejawaan” semata. Melainkan ngelmu itu juga merupakan sebuah konsep yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Alquran yang tidak bisa terpisah dari konteks itu. Dan selain itu, konsep ngelmu dalam manifestasinya yang sekarang ini mungkin juga tidak bisa terpisah dari modernitas karena, dalam buku ini, diucapkan dalam suatu diskursus akademik. Jadi, dalam buku ini dimensi-dimensi tersebut disadari, dan saya merasa bahwa kesadaran itu sangat penting, apa lagi untuk kami, orang dari luar.
Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.
Yang kedua, ngelmu atau konsep lain yang ada di pikiran Jawa juga bukan konsep yang primordial yang selalu ada dalam bentuk yang sama dan tidak pernah berubah. Ini juga keyakinan yang dulu sangat populer dalam penelitian-penelitian: ada “esensi” pikiran Jawa yang selalu sama, tidak hanya terhadap Islam saja tapi juga modernitas yang juga dianggap hanya merupakan lapisan tipis saja. Ini juga sesuatu yang sering muncul dalam karya Clifford Geertz.
Di sini, Mas Irfan juga membahas keterlibatan tradisionalisme dan modernitas, yang sebenarnya tidak berlawanan. Jadi Mas Irfan juga membahas pertanyaan, apa yang terjadi dengan tradisi dalam zaman modern? Tradisi memang tidak hilang; tapi kita juga tidak bisa lepas dari modernitas karena modernitas sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak, modernitas juga tidak pernah berarti modernitas yang mutlak, karena modernisme tetap diucapkan melalui tradisi. Misalnya, di sini Mas Irfan membahas pemikir Suryomentaram dari awal abad ke-20, dan Mas Irfan menulis bahwa Pak Suryomentaram mengalami “godaan” atau “pilihan” antara tradisi dan modernitas. Tapi Suryomentaram dan Mas Irfan dua-duanya melihat bahwa itu bukan pilihan yang total, bukan satu yang diadopsi dan yang kedua ditolak, karena tradisi dan modernitas dua-duanya selalu maujud dalam pikiran kita. Apa lagi, karya Suryomentaram juga menjadi contoh bagaimana bisa menggunakan modernitas rasional untuk menjelaskan tema-tema pengetahuan lama.
Yang ketiga, saya belajar dari dua-duanya, Pak Suryomentaram dan Mas Irfan, bahwa pengetahuan tentang warisan Jawa itu tidak hanya untuk tujuan pengetahuan saja, alias untuk dirinya sendiri. Bagi keduanya, pengetahuan itu juga ada tujuan yang sangat praktis. Kalau mengenai Suryomentaram, Mas Irfan menulis, (mengutip dari halaman 96), “Warisan pengetahuan Jawa lama, baginya, semakin tak tersentuh, alih-alih menjadi solusi praktis atas kesengsaraan dan penderitaan rakyat sebagai bangsa terjajah”. Dan (h. 97), “Melalui corak pengetahuan seperti ini bukan hanya masyarakat dapat mengambil manfaat pengetahuan yang ia munculkan secara lebih pragmatis, melainkan juga bisa menjadi pengetahuan baru yang ‘responsif’ dengan tuntutan rasionalisme zaman yang pada saat bersamaan memiliki niat yang kukuh menyelesaikan problem masyarakat kebanyakan tanpa menanggalkan alur pokok kesinambungan akar pemikiran yang ada dalam masyarakatnya.”
Dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini Mas Irfan juga tidak mencari “otentisitas” dalam arti sebuah warisan yang tidak terkontaminasi oleh pikiran yang kurang “otentis”, yakni suatu “otentisitas” yang tidak ada kecuali dalam pembayangan dan “khayalan” kolonial. Tapi pertanyaan utama dari keduanya Suryomentaram dan Mas Irfan itu sangat eksistensial: Apa yang bermanfaat? Atau, secara lebih umum, apa akibat karya kita? Apa yang bisa membantu, apa yang bisa menimbulkan masalah? Saya berharap bahwa kami, di akademi Barat, juga lebih memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karya akademik tidak netral, tapi bisa bermanfaat ataupun bisa menyakiti juga. Semoga semakin banyak bermanfaat.
***
Tulisan ini dipresentasikan pada acara bedah buku, “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi (Tanda Baca; 2019) yang bertempat di Ruang Teatrikal Perpus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pukul 09.00-12.00, 24 April 2019. Diselenggarakan oleh American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lakpesdam PWNU DIY, dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Tanggal 12 Februari 2019, seorang antropolog berkebangsaan Jerman, Verena Meyer, berkunjung ke kantor kami Langgar.co. Ia sempat mewawancarai kami seputar tema ziarah dan silsilah darah dan sanad keilmuan dalam spektrum perspekstif Islam tradisional dan modern di Jawa untuk keperluan disertasi Ph.D-nya di Columbia University, Amerika Serikat. Di sela-sela kunjungannya, kami, Langgar, juga balik mewawancarainya secara ringan dalam suasana ngobrol-ngobrol berkait tema Islam Indonesia yang juga merupakan tema yang digelutinya. Berikut hasil wawancara ringan dengan peneliti berumur 35 tahun ini, yang saat ini, seperti diceritakannya, telah resmi menetap dan tinggal di Amerika.
Langgar: Pertanyaannya, dalam kajian Anda, Anda mengkaji Jawa, ziarah, silsilah, dan lain-lain. Sepenting apakah Jawa, atau Indonesia secara umum, bagi orang Eropa pada hari ini?
Verena Meyer: Yang menarik menurut saya, kuliah dalam bidang studi agama Islam di negara Barat, di akademi Barat, Jawa atau Indonesia pada umumnya masih sangat dimuliakan. Islam di Indonesia biasanya. Hal itu ada misalnya di pusat studi Asia Tenggara. Tapi di pusat studi Asia Tenggara biasanya tidak ada ahli agama Islam. Jadi masih terpisah antara Islam dan Indonesia. Dan oleh karena itu masih ada kecenderungan menganggap Islam di Indonesia (atau Jawa khususnya) sebagai kejawen atau sinkretisme. Kepentingan saya itu, Islam di Jawa harus dikuliahkan, harus dipelajari dalam bidang studi agama Islam di negara Barat. Karena kalau tidak, tidak bisa dimengerti.
Langgar: Berarti mulai ada kemajuan?
Verena Meyer: Ya sedikit demi sedikit.
Langgar: Kemajuan dalam pengertian bahwa kajian Islam Jawa di dalam studi Islam, yang sebelumnya dilihat sebagai isu sinkretis?
Verena Meyer: Iya isu sinkretis. (Tidak hanya) ahli, misalnya, dari orientalis-orientalis Belanda (saja), tapi juga dari Amerika belajar bahasa sansekerta. Lalu pergi ke Jawa untuk kuliah Islam tapi dengan bahasa sansekerta dan sastra sansekerta, tidak bisa mengerti, (oleh karenanya) seharusnya belajar bahasa Arab.
Langgar: Terus selama ini apakah sudah ada para peneliti pioner yang bergerak ke sana?
Verena Meyer: Ya ada. Ibu Nancy (maksudnya Nancy K. Florida, seorang Antrolopog yang menyadari peran penting Islam dalam studi Jawa–red) salah satunya.
Langgar: Anda muridnya?
Verena Meyer: Tidak secara formal.
Langgar: Pernah membaca bukunya Nancy?
Verena Meyer: Iya. Pernah. Dan saya ada kerjasama juga. Saya sering bicara dengan ibu Nancy.
Langgar: Dari rintisan itu bagaimana perkembangan di sana melihat Jawa, Islam Jawa?
Verena Meyer: Masih jarang sebenarnya. Kalau di jurusan saya, saya sendiri yang fokus pada Asia Tenggara. Tapi sedikit demi sedikit, mahasiswa di negara Barat mulai belajar bahasa Arab, dan ada pendidikan yang sama. Ada Qur’an, tradisi, (alias) harus mengerti (secara utuh) sejarah Islam di Indonesia. Lalu memang (ada) juga terfokus pada tradisi lokal, tapi tidak boleh hanya itu, karena ada transmisi lain dari bahasa Arab, bahasa Persia ke bahasa Jawa. Sedikit demi sedikit ada perubahan.
Langgar: Terus yang kedua, ini juga penting mungkin bagi generasi di Indonesia, khususnya di Jawa. Kenapa orang Barat melihat Islam Jawa sebagai kejawen dalam pengertian dia dipisahkan dari Islam. Dan Kemudian kesimpulannya hanya terbatas pada sinkretisme? Itu dipengaruhi oleh apa kira-kira?
Verena Meyer: Saya kira oleh kolonialisme. Karena pada zaman Kolonial ada peneliti-peneliti kolonial memang sangat terpengaruhi oleh pandangan budaya. Mereka masih pikir Islam itu bukan agama universal, tapi agama Arab. Dan oleh karena (mereka) itu tidak bisa membayangkan Islam yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Dan oleh karena itu, mereka pikir, “O ya, itu bukan Islam yang sebenarnya.” Tapi mereka telah salah. Salah mengerti.
Langgar: Selain ke Jawa pernah berkunjung ke daerah mana? Kira-kira yang menjadi representasi persentuhan Islam dengan sebuah negara, misalnya di Afrika?
Verena Meyer: Ya saya sudah ke Maroko. Dulu saya belajar bahasa Arab di Maroko. Dan saya sudah ke Palestina juga.
Langgar: Ada gak fenomena ke-khasan mereka? Yakni terkait Islam, seperti kita, yang membentuk dan dipeluk di Jawa, tapi tentu menurut ke-khasan mereka?
Verena Meyer: Ada ya. Misalnya, di Maroko ada tradisi musik yang sangat kuat yang juga termasuk tradisi sufisme di situ, yang sangat berbeda dengan sufisme di sini. Tapi juga ada orang yang menolak, yang bilang itu bukan Islam.
Langgar: Termasuk di Maroko ada juga yang menolak bahwa itu bagian dari islam?
Verena Meyer: Iya.
Langgar: Terus selanjutnya. Adakah perubahan orientasi paradigma di dalam melihat kebudayaan (terutama perihal relasi Islam dan Indonesia) di Jawa atau di Maroko tadi. Itu dimulai dari mana menemukan kesadaran seperti itu?
Verena Meyer: (maksudnya) menemukan apa?
Langgar: Menemukan bahwa ternyata ini memang bagian dari Islam. Itu maksud saya. Apa itu merupakan kegelisahan semata atau memang pencarian atau bagaimana?
Verena Meyer: Saya juga (kurang) belum paham, tapi saya kira yang penting itu bahwa budaya dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak pernah bisa. Kalau Islam murni tanpa budaya sama sekali, tidak ada, sudah (pasti) tercampur dengan kebudayaan.
Langgar: Lalu bagaimana kondisi kajian studi Indonesia sekarang semenjak perkembangan tradisi orientalisme Tasawuf Eropa itu berkembang. Apakah hal itu memengaruhi perkembangan kajian pemikiran Islam Indonesia di sana? Sejauh apa itu dampaknya di Eropa? Apakah itu mengubah cara pandang para orientalis dalam melihat ke-Islaman di indonesia?
Verena Meyer: Ya mungkin. Kalau sufisme di Eropa. Menurut kaum muslim atau kaum biasa?
Langgar: ‘Kan sekarang ada banyak sekali buku-buku tasawuf yang sudah dikerjakan, diedit, dianotasi oleh para sarjana orientalis Barat. Yang itu tentu membuat para sarjana (kajian Asia Tenggara) semakin tahu apa itu tasawuf. Nah apakah ini berpengaruh terhadap kajian-kajian Asia Tenggara, terutama Indonesia? Karena yang selalu dibayangkan Islam itu, ya Islamnya Arab saat ini. Semacam acuan untuk menilai. Padahal dulu yang masuk ke sini Islam tasawuf. Nah, apa kajian-kajian keislaman tasawuf oleh para sarjana Barat itu membantu menyuplai gagasan tentang tasawuf, sehingga pemahaman mereka menjadi lebih baik terhadap perkembangan setidaknya terkait studi Islam awal di Indonesia?
Verena Meyer: Ya mungkin ada. Ada juga istilah-istilah sufisme di dalam sejarah Islam, misalnya Rumi (maksdunya jalaluddin rumi-red). Rumi (juga sangat digemari) dan dibaca di negara Barat. Tapi banyak orang tidak paham Rumi seorang muslim. Jadi tasawuf itu (dianggap) terpisah dari Islam. Campur semua. Ya (di Eropa) sedikit Budhisme, ya sedikit Rumi, dan ini semua (dianggap) sama. Seperti itu.
Langgar: Jadi Rumi pun dibaca sebagai Rumi, bukan sebagai muslim?
Verena Meyer: Iya. Hehehe. Rumi itu tentang cinta, tentang apa ya, keindahan dunia, ya begitu.
Langgar: Sebenarnya kalau di Amerika atau di Eropa, Islam tradisinya seperti apa? Maksudnya penduduk Islam tradisi di sana itu bagaimana?
Verena Meyer: Ya ada. Kalau di Amerika berbeda sedikit, karena kaum muslim pertama di Amerika, kaum hitam. Dan (itu) Nation of Islam.
Langgar: Malcolm-X itu ya?
Verena Meyer: Ya, ya. Itu juga campur dengan budaya kaum itu. Dan ada kecenderungan sufisitik.
Langgar: Cara pandang mereka terhadap sufisme yang dibedakan atau terpisah dari Islam itu kenapa? Apakah karena belum utuh melihat sejarah Rumi atau memang orang-orang Eropa dan Amerika memang tidak terlalu paham Islam?
Verena Meyer: Ya pasti tidak terlalu paham Islam. Apalagi sekarang dalam media, Islam itu selalu digambarkan sebagai ancaman politik. Ya kalau orang yang terpelajar mungkin sedikit mengerti. Tapi dalam persepsi umum yang paling kuat itu ya apa yang ditampakkan di media.
Langgar: Islam itu terorisme, begitu?
Verena Meyer: Iya.
Langgar: Nah sejauh mana, teman-teman Anda, misalnya Bu Nancy, memandang tasawuf. Bagaimana pandangan mereka atau Anda tentang tasawuf?
Verena Meyer: Kalau menurut saya tasawuf tidak bisa terpisah dari Islam, juga tidak bisa terpisah dari Islam syar’i. Itu hanya ada dua yang (merupakan) satu (dalam) kesatuan. Mungkin tasawuf itu dimensi batin dan ada dimensi lahir yang bukan dimensi batin. Ya tasawuf tidak bisa terpisah dari syariat. Dan tasawuf itu sebenarnya satu paket. Menurut semua tokoh-tokoh Islam klasik, mereka semua setuju (bahwa tasawuf tak terpisahkan dari Islam). Bahkan Ibnu Arabi (seorang sufi besar dari Andalusia–red), dia juga sangat terfokus pada syariat.
Langgar: Soalnya di banyak kasus, misalnya di Jawa, kalau Anda juga mencermati, banyak sekali pengaruh pemikiran tasawuf ini. Misalnya yang paling dirasakan adalah Ibnu Arabi di sini (Indonesia) daripada misalnya Rumi. Jadi ada banyak misalnya Junaid, juga masih terasa. Nah, Sejauh mana bacaan Anda, bagaimana orang-orang Belanda dulu, penjajah kolonial mendefinisikan ke-Islaman orang Jawa atau Indonesia secara umum?
Verena Meyer: Sinkretisme. Ada juga definisi sinkretisme, tapi selain itu juga sudah ada ide “ancaman” (terhadap penjajah kolonial Belanda–red). Oleh karena itu mereka sudah, apa ya, coba membatasi orang, seperti naik haji, karena ada ketakutan kalau naik haji mereka ada radikalis. Jadi ada ide: “Islam Jawa itu bukan Islam, dan itu baik karena kalau ada sinkretisme itu bukan ancaman”.
Langgar: Jadi jinak kira-kira.
Verena Meyer: Iya. Hehe.
Langgar: Kalau sudah murni malah berontak.
Verena Meyer: Iya. Hehehe.
Langgar: Yang murni siapa kalau menurut orang Eropa?
Verena Meyer: Arab.
Langgar: Di Indonesia golongan apa?
Verena Meyer: Ya kaum putihan.
Langgar: ‘Kan pembagiannya jadi gitu, akhirnya. Umat Islam yang banyak, dianggap abangan. Kira-kira gitu. Nah, kalau Anda memandang, sejauh apa kajian-kajian akademis Barat memengaruhi para sarjana-sarjana Indonesia, apakah mereka hanya membebek, menjadi catatan kaki, atau gimana menurut Anda?
Verena Meyer: Yang lama atau yang baru? Kalau yang lama, saya kira ada perubahan, tidak selalu, tapi ada. Hal itu sangat memengaruhi persepsi orang Jawa sendiri juga. Kayak (Clifford) Geertz, memisahkan santri, abangan, dan priyayi. Tapi sebenarnya tidak ada tiga golongan kelompok yang selalu terpisah di Jawa. Dan priyayi ada yang sangat santri juga. Dan santri itu orang yang mondok di pesantren, juga bukan Islam Arab.
Tapi saya kira, sudah ada beberapa murid Ibu Nancy, satu orang Indonesia sendiri, Habib Aji Alatas (maksudnya Ismail Fajri Al-Atttas–red). Dan temannya, (namanya) Daniel, dia juga fokus. O ya, saya kira Michael Laffans juga bagus karena dia menggambarkan bagaimana persepsi kolonial tentang Islam di Jawa, dan bagaimana itu juga berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi orang Belanda. Bukan (semata) kepentingan karena mau pertahankan koloni. (yakni) Tentang bagaimana keilmuan Islam di Indonesia membentuk politik kolonial. O ya, ada beberapa artikel Ibu Nancy yang sangat menarik tentang bagaimana penelitian-penelitian meminggirkan Islam.
Langgar: Ya semoga arah baru ini bersambut. Jadi kami hampir mengumpulkan semua tulisan-tulisan Nancy Florida yang di luar disertasinya. Dan Kami juga ingin menerbitkan buku Bu Nancy. Beberapa sudah saya terjemahkan. Saya juga sudah mendapatkan tulisannya terkait Ronggawarsita meski itu sebuah paper yang belum boleh dikutip. Beberapa yang lain belum kami miliki.
Verena Meyer: Mungkin saya punya, nanti saya bisa cek.
Langgar: Kalau misalnya, dari tulisan-tulisan itu tersedia kami berencana menerbitkan buku Ibu Nancy dalam satu karya utuh. Itu sangat diperlukan. Terutama kegelisahan kami, bagaimana Islam di Jawa itu disingkirkan terus-menerus sampai hari ini. Bahkan oleh sarjana Indonesia sendiri.
Verena Meyer: Ya, ya, ya. Nanti saya cek kalau ada artikel lain.
Langgar: Terus mungkin ini tanggapan terakhir. Kira-kira “gerakan” ini, sebut saja begitu. Maksud kami menempatkan secara jujur peran Islam dalam pembentukan identitas bangsa ini sungguh kami sangat mendukung. Dan kita berharap kita bisa saling sering bekerjasama. Soalnya kalau kita-kita yang ngomong, nggak dipercaya sama orang sini. Orang Indonesia banyak yang inferior. Jadi kalau yang ngomong bule, itu selalu diagung-agungkan. Kami punya sedikit kerja kebudayaan yang kira-kira akan berguna untuk membantu masyarakat untuk kembali menggali khazanah itu, di mana orang mulai harus jujur tentang Islam. Karena bagaimanapun, untuk mengkaji ke-Indonesiaan, Islam punya sumbangsih begitu besar atas pembentukan identitas sejarah bangsa ini.
Verena Meyer: Ya, ya, ya.
Langgar: Terima kasih atas wawancaranya ini. Kapan-kapan Anda kalau mau main lagi ke sini, mangga, lho. Hehe.
Verena Meyer: Iya. Mauuu. Hehehe.
Verena Meyer merupakan antropolog yang concern mendalami studi Indonesia, khususnya Jawa. Ia adalah kandidat Ph.D di Columbia University, Manhattan, Amerika Serikat. Verena, demikian Ia minta dipanggil, sedang mengkaji Islam Jawa terutama konsep ziarah dan silsilah dalam spektrum kalangan Islam tradisionalis dan modernis di Jawa, untuk kepentingan disertasinya. Tesis masternya yang berjudul “Why Shinta had to Die: Human Rights and Javanese Ethics” tuntas pada 2012 di jurusan Study of Religion, Oxford University, Inggris.