Wabah
Manuskrip Jawa Kuno dan Bali Perekam Wabah
Kehadiran wabah penyakit menular setidaknya terekam dalam manuskrip-manuskrip Jawa kuno dan Bali. Dari beberapa manuskrip-manuskrip tersebut Sugi Lanus dalam Bincang Naskah dengan tema “Protokol Penanganan Wabah dalam Manuskrip Bali dan Jawa Kuno” pada Kamis 23 April 2020 menggolongkannya ke dalam manuskrip-manuskrip berlatar zaman Kerajaan Kediri, manuskrip yang berasal dari zaman Kerajaan Majapahit, dan manuskrip era Kerajaan Gelgel abad 16 hingga abad 19 M.
Dalam bincang naskah yang dimoderatori oleh Aditia Gunawan, staf Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sekaligus mahasiswa S3 EPHE PSL Paris tersebut, disebutkan bahwa dari kelompok manuskrip berlatar zaman Kediri Babad Calonarang memuat berbagai jenis penyakit. Para penderitanya pagi hari terjangkit siang meninggal, sore terjangkit sore meninggal, dan seterusnya. Jumlah penderitanya juga berlipat mulai 2 orang, berlipat menjadi 4 orang, 6 orang, dan seterusnya.
Adapun dalam manuskrip lain yang masih berlatar Kediri, Keputusan Baradah, diceritakan telah terjadi wabah penyakit. Raja Airlangga, penguasa Kediri waktu itu, meminta pertimbangan penasehatnya Mpu Baradah. Mpu Baradah kemudian mengutus Mpu Bahula untuk ‘mengivestigasi’ apa yang sebenarnya terjadi. Diceritakan bahwa Mpu Bahula merupakan seorang yang teguh mengikuti jalan dharma. Di akhir ceirta disebutkan bahwa Dyah Nateng Dirah, seorang janda telah menyebabkan wabah penyakit lewat ilmu hitam yang disebut Calonarang. Mpu Bahula akhirnya menikah dengan Dyah Nateng Dirah untuk menghentikan wabah penyakit. Dalam naskah yang lain, masih berlatar Kediri, yaitu naskah Taru Permana, diceritakan Mpu Kuturan meninggalkan istrinya di suatu daerah di Jawa yang bernama Girah untuk melakukan tapa brata di Pulau Bali. Istri Mpu Kuturan yang menjadi janda ini kemudian menyebabkan wabah penyakit. Dalam persemadiannya, Mpu Kuturan yang gagal mengatasi penyakit kemudian terlibat percakapan dengan pepohonan. Diceritakan masing-masing pohon menyebutkan nama dan setiap bagian menjelaskan setiap bagian pohon dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit apa.
Ketiga naskah di atas, Babad Calonarang, Keputusan Baradah, dan Taru Permana, berlatar sama yaitu pada zaman Kerajaan Kediri sekitar 1042-1222 M. Pertanyaan selanjutnya apakah benar pada masa itu terjadi wabah penyakit? Hal ini yang perlu diverifikasi oleh sumber lain yang lebih valid. Jika benar terjadi wabah penyakit pada zaman tersebut maka, “adanya virus atau bakteri sebagai penyebab penyakit menular tidak terfahami oleh masyarakat masa lalu, maka janda yang menguasai ilmu hitam Calonarang-lah yang dipersalahkan dalam kasus ini,” tutur Sugi Lanus. Senada dengan hal tersebut, Ahmad Arif dalam wawancara di Kompas TV menjelaskan bawah nenek moyang kita mengingat bencana dalam bentuk yang lain misalnya mitos, legenda, dan seterusnya. Pada zaman sekarang mitos, legenda, dongeng tidak dapat dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah yang menceritakan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau sehingga terjadi keterputusan literasi zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Jika benar terjadi wabah penyakit pada zaman tersebut maka, “adanya virus atau bakteri sebagai penyebab penyakit menular tidak terfahami oleh masyarakat masa lalu, maka janda yang menguasai ilmu hitam Calonarang-lah yang dipersalahkan dalam kasus ini,” tutur Sugi Lanus.
Kelompok kedua adalah naskah-naskah yang saat ini masih dipakai di Bali yang berasal dari Majapahit. Setidaknya dalam naskah-naskah ini terdapat kutipan yang berbunyi iti gegelaran sami kagelar ring Majapahit yang terjemahannya ‘ini penjelasan sama dengan yang dijelaskan di Majapahit’ atau manut ring Majapahit yang terjemahannya ‘mengikuti Majapahit’. Dalam naskah Roga Sanghara Gumi disebutkan berbagai upacara yang terkait dengan peristiwa alam, pralaya, kiamat kecil, dan doa-doa yang dipanjatkan dalam suasana wabah. Berbagai macam upacara, doa pemujaan Batara Ganapati sebagai penguasa dunia bawah agar mendorong kembali semua pralaya, sanghara ke dalam dunia bawah. Yama Purwana Tattwa merupakan naskah berisi ritual kematian di Bali. Muatan naskah ini misalnya jika terjadi perang, wabah, kecelakaan, tertimpa pohon jasad harus segera dikubur. Khusus jasad penderita lepra (wabah lepra), jasad dikubur dan tidak boleh dikremasi dalam waktu 25 tahun. “Di Jawa naskah ini dipakai di Pasuruan dan Blambangan ketika wilayah itu masih beragama Siwa.” Pungkas Sugi Lanus. Selain kedua naskah di atas ada juga Puja Astawa yang berisi manual puja ketika terjadi bencana, hama padi, wabah ternak, hama tikus dan lain-lain. Puja Astawa ini merupakan pegangan umum para pandita.
Selain naskah-naskah di atas, ada beberapa naskah yang berasal dari zaman Kerajaan Gelgel, abad ke 16 hingga 19 Masehi, yang berisi berbagai hal tentang bencana wabah. Naskah-naskah tersebut di antaranya adalah Anda Kacacar, Usada Kacacar, Pamahayu Anda Kacacar, Usada Cukuldaki, Usada Gede, dan Usada Ila. Isi naskah-naskah ini menurut Sugi Lanus di antaranya adalah larangan sembahyang ke pura bagi desa-desa yang terkena wabah meskipun ada hari baik atau hari raya, pedoman ruwatan setelah suatu bencana telah lewat. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana ini menambahkan bahwa ruwatan masal yang melibatkan banyak orang pernah dilakukan di Bali setelah peristiwa bom Bali. Para pendeta memimpin doa upakara agar masyarakat kembali ke tatanan semula diselingi nasehat-nasehat agar para peserta sembahyang ruwatan tidak berlarut dalam bencana itu, merelakan hal (bencana) itu setulus-tulusnya kepada alam semesta, memaafkan, melepas dendam, kemarahan rasa pesimis, agar semesta yang mengatur. Upakara-upakara tersebut terbukti menyamankan masyarakat, membangun imunitas batiniyah, dan kerelaan hidup.
Di dalam Usada Gede terdapat perintah isolasi yang berbunyi “Jangan mau mengobati karena akan terkena kutuk orang yang mengobati (artinya tertular). Orang yang sakit ini (lepra) terkena kutukan dewa. Jika ada orang yang tertimpa penyakit ini harus diusir oleh penguasa, ditempatkan di pinggir pantai jauh dari desa, tidak boleh dilihat oleh masyarakat desa, jangan lama-lama di desa, jika dibiarkan lama-lama orang ini di desa akibatnya dewa-dewa akan pergi dan semua masyarakat akan terkena gering gede (penyakit akan mewabah).”
Dalam Usada Ila disebutkan bahwa jika yang sakit mandi dengan air yang dipakai mengaliri sawah mangakibatkan sawah itu terserang hama, segala yang ditanam rusak, air ini tidak boleh dipakai mandi atau dilewati orang. Apapun yang disentuh atau bahan yang-bahan yang dipakai itu tidak diperkenankan untuk dipakai untuk berangkat ke tempat sembahyang ramai. Jika ada orang berani menyembunyikan orang yang kena sakit ini dapat dikenai denda oleh raja, dendanya sebanyak 100 ribu 60 kepeng.
Berdasarkan penuturan lisan para saksi orang-orang tua di Bali, seperti yang diceritakan Sugi Lanus, didapatkan informasi bahwa Pantai Kuta dan Pantai Krobogan dahulu merupakan tempat isolasi para penderita penyakit menular. Mereka ditempatkan di sebuah gubug dan setiap hari keluarga dan masyarakat mengirim makanan, diletakkan di tempat yang agak jauh sehingga tidak perlu kontak dengan masyarakat dan keluarga. Mengapa pantai menjadi tempat isolasi penderita penyakit menular ini? Sugi Lanus menambahkan bahwa dahulu pantai-pantai ini merupakan tempat yang sepi, banyak sinar matahari, identik dengan konsep meruwat untuk melepas ‘residu batiniah’, dan berhubungan dengan konsep dunia atas-dunia bawah. Dunia atas terletak di gunung, dunia bawah terletak di laut, dan manusia hidup di antara keduanya. Dunia bawah adalah dunia di mana segala keburukan berasal, maka penyakit menular sebagai sebuah keburukan juga harus dikembalikan ke asalnya, dunia bawah, ke laut.
Konsep Wabah dalam Manuskrip Jawa Kuno dan Bali
Setidaknya ada tiga konsep wabah dalam naskah-naskah ini yaitu wabah sebagai kutukan atau karma, pemberian para dewa, dan wabah sebagai sesuatu yang lumrah. Wabah sebagai kutukan atau karma berhubungan dengan ketidakseimbangan antara bhuana alit dengan bhuana agung. Ketika bhuana alit, dunia manusia, terus menerus memproduksi kebencian, pertikaian, dendam, maka bhuana agung meresponnya dengan memantulkan kembali energi-energi negatif tersebut menjadi penyakit yang menjangkit manusia. Hal ini terdapat dalam Roga Sanghara Gumi. Wabah sebagai pemberian para Dewa mengandung arti ketika terjadi wabah para Dewa sedang melepas kala, hal ini sengaja dilakukan agar manusia menepi sejenak, menghentikan aktifitas di luar memasuki dirinya sendiri, memasuki periode hening, melakukan perenungan mendalam, melakukan perekatan dengan dirinya sendiri dengan tapa brata, puasa, doa. Wabah sebagai pemberian para Dewa ini dimaksudkan untuk kebaikan manusia. Wabah sebagai sesuatu yang lumrah terjadi, secara filosofis terdapat dalam Keputusan Baradah. Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa penciptaan bumi diikuti oleh bayang-bayang penyakit, dalam perspektifnya manusia dengan penyakit ibarat tubuh dengan bayang-bayangnya.
Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa penciptaan bumi diikuti oleh bayang-bayang penyakit, dalam perspektifnya manusia dengan penyakit ibarat tubuh dengan bayang-bayangnya.
Meskipun manuskrip-manuskrip ada yang berisi obat-obatan untuk mengobati berbagai penyakit, misalnya dalam Taru Permana, namun tidak semua hal dalam manuskrip-manuskrip ini dapat langsung diterima untuk diterapkan pada masa kini. Menurut Sugi Lanus manuskrip-manuskrip tersebut adalah rekam jejak peristiwa yang terjadi pada masa lalu kecuali yang menyangkut doa-doa dan yang menyangkut praktek penguburan yang diadakan oleh masyarakat yang agama dan keyakinan masih selaras dengan yang terdapat di dalam manuskrip. Para peneliti naskah yang berhubungan dengan pengobatan atau ramalan sepertinya sepakat dengan hal ini, bahwa semua yang terdapat dalam naskah masih perlu verifikasi dengan ilmu pengetahuan modern. Senada dengan hal tersebut Fransisca Tjandrasih Adji dalam simposium internasional kebudayaan Jawa dan naskah Kraton Yogyakarta pada Maret 2019 mengatakan bahwa sistem pengobatan tradisional dalam naskah (Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi) masih perlu diuji secara klinis. Lebih jauh lagi Mangestuti Agil dalam seminar pernaskahan nusantara 2017 mempresentasikan hasil uji klinis terhadap obat-obatan yang terdapat dalam Primbon Bental Jemur Adamakna. Uji-uji inilah mungkin yang dimaksud oleh Ahmad Arif sebagai tugas ilmu pengetahuan modern untuk meresponnya dengan menterjemahkan kembali hal-hal itu lalu mentransformasikan ke dalam pola kehidupan modern.
Diplomasi Menghadapi Bencana
Wabah merupakan peristiwa bencana kesehatan. “Bencana merupakan peristiwa alam, tetapi dampaknya merupakan peristiwa sosial. Bagaimana kita meresponnya akan menentukan sedikit atau banyak korban. Bencana merupakan natural disaster tetapi responnya merupakan proses kebudayaan. Untuk itu yang paling penting mengubah cara pikir melihat negara ini. Pada masa lalu nenek moyang kita mencoba merespon dengan mengantisipasi. Pengetahuan ini kemudian terputus, mungkin karena proses panjang kolonialisasi, lalu proses literasi kebencanaan.” Pungkas Ahmad Arif dalam wawancara Kompas TV.
Hari ini kita melihat bencana dari kacamata barat di mana bencana dimaknai sebagai suatu mala petaka, sesuatu yang membawa celaka, pembawa kematian, kehancuran, dan tangis penderitaan, maka dia perlu dihindari kalau tidak dapat diantisipasi. Secara umum bagaimana pandangan kebudayaan lokal mengghadapi bencana-bencana tersebut? Dikutip dari balipost.com Sugi Lanus menjelaskan bahwa melalui berbagai ajaran lisan dan tertulis, berbagai upakara dan mantra Bhuta Yadnya, leluhur Bali telah mewariskan cara tangguh dalam menyikapi wabah: memilih kejernihan, dibandingkan kegaduhan hati, memilih hening diri dan upakara suci, dibandingkan berkata-kata kasar dan prilaku gusar. Begitulah, para leluhur mengajari kita untuk senantiasa degdeg (jernih) dan teguh menjaga relasi batiniah dengan alam, terlebih-lebih ketika sedang dilanda wabah. Sebagi contoh dalam menghadapi hama tikus leluhur Bali mengajarkan agar manusia ‘menyapa’ hama tikus dengan dalam upakara. “Mekaon mekaon jro, mekaon jrone mekaon.” (Pergi pergilah tuan dan puan, pergi pergilah tuan dan puan). Diucapkan tanpa nada benci. Jauh dari perasaan bermusuhan atau dimusuhi. Diucapkan dalam suasana ritus suci penaklukan hama, Nangkluk Mrana. Bahkan tikus sebagai pembawa hama pertanian diberi gelar kehormatan “Jro Ketut”. “Wabah (gering-mrana) tidak boleh diumpat –ten dados pisuh. Kalau diumpat mereka datang berlipat –yening pisuh medal ngeliuanang”. Dari kutipan di atas terlihat bahwa untuk menghadapi bencana dikedepankan rasa persahabatan, rasa hormat, rasa welas asih terhadap bencana.
Di Jawa teks Palilinḍon (Jawa kuno) atau Primbon Palindhon dalam versi Jawa baru kita diajari melihat suatu bencana tidak selalu berhubungan dengan kehancuran. Di dalam teks tertulis Yen lindhu Wulan Saban ngalamat kathah wong mati, wowohan suda, pangulune suker rare cili akeh mati, yen wengine kathah wong pahes manahe, beras pari murah terjemahannya adalah ‘Jika gempa pada Bulan Saban pertanda akan banyak orang mati, buah-buahan berkurang, penghulu kesusahan anak kecil banyak yang mati, jika (gempa terjadi pada) malam (hari) banyak orang bersolek hatinya, beras padi murah.’ Dari teks ini terlihat pandangan kultural masyarakat Jawa bahwa gempa yang identik dengan kehancuran, musibah ternyata juga bisa berarti pertanda kebaikan. Maka perasaan optimis harus dikedepankan.
Dari teks ini terlihat pandangan kultural masyarakat Jawa bahwa gempa yang identik dengan kehancuran, musibah ternyata juga bisa berarti pertanda kebaikan.
Ahmad Arif dalam presentasinya yang berjudul Disaster Journalism menyebutkan bahwa dalam konteks Gunung Agung dan Gunung Rinjani, gunung api bukan hanya permasalahan geologi dan geofisika, tetapi juga kebudayaan. “Di Gunung Agung kami ketemu dengan saksi mata yang selamat dari letusan Gunung Agung 1963, dia mengisahkan tentang ratusan orang dari dua desa yang sengaja menyambut datangnya awan panas. Bagi mereka meninggal karena awan panas bukanlah sebuah aib.”
Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa ada ‘ruang diplomasi’ yang memberikan peluang kepada manusia ketika bencana melanda, baik bencana alam maupun bencana kesehatan seperti yang sedang terjadi saat ini. Dari sumber-sumber di atas seolah-olah para leluhur kita mengatakan “ada pilihan lain selain meratap, menghujat, mengutuki bencana yang datang, apalagi sampai mencari kambing hitam. Tetaplah bersahabat dengan keadaan, perlakukan bencana sebagai anugerah, sapalah dengan ramah. Bahwa selalu akan ada pelangi setelah hujan yang lebat.”

Rangda (randha ‘janda’) yang Menguasai Ilmu Hitam Calonarang Penyebab Wabah dalam Sebuah Tari. (Sumber: thenotsoinnocentsabroad.com)

Ilustrasi dalam Teks Primbon Palintangan Palindhon Pakedutan (Add 12311). (Sumber: blog british library)
Sumber
Bincang Naskah “Protokol Penanganan Wabah dalam Manuskrip Bali dan Jawa Kuno” (https://www.youtube.com/watch?v=7jeHpR8QzBk)
Jurnalisme Bencana (Disaster Journalism) : Ahmad Arif at TEDxUltima (https://www.youtube.com/watch?v=g2wNmTwVtE4&t=863s)
Shaking The Disaster Literacy Ground, Ahmad Arif, TEDxJakarta
(https://www.youtube.com/watch?v=0fhBEcJJP90)
Ajaran Leluhur Bali dalam Menyapa Wabah (http://www.balipost.com/news/2020/04/07/114161/Ajaran-Leluhur-Bali-dalam-Menyapa…html?fbclid=IwAR0Yz-MWa6-9GNB4x2p6odWx7gnCSbiTThhQH-XlKng-9wNkfnlX8f5pTIE)
Prosiding Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Kraton Yogyakarta 2019
Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2017
Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya terhadap sikap salah satu kelompok Tarekat yang cukup mainstream di Indonesia dalam rangka merespon Wabah yang terjadi di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia. Saya sebut merespon karena kelompok ini telah mengambil sikap terlebih dahulu -menurut catatan saya- sejak awal Januari sebelum pemerintah Indonesia. Wabah yang dimaksudkan adalah Covid-19 atau yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai Corona.
Fahmi dan Zaky (bukan nama sebenarnya) adalah diantara pengikut tarekat Syadziliyyah yang berjejaring hingga K.H. Abdul Jalil bin KH. Mustaqim Tulungagung Jawa Timur. Silsilah ini saya sebut sebagai Syadziliyyah “Jaringan Tulungagung” mengingat perkembangan tarekat ini amat pesat oleh KH. Abdul Jalil dengan pusatnya di pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung)/ Sultan Agung ’74 Tulungagung. Sepeninggal KH. Abdul Jalil kepemimpinan pesantren diberikan kepada KH. Sholahuddin atau yang lebih dikenal dengan Gus Saladdin. Selain pengasuh pesantren PETA, praktis Gus Saladdin menggantikan ayahnya sebagai mursyid Syadziliyyah.
Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung.
Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung. Pada akhir bulan Desember seluruh jama’ah Syadziliyyah jaringan Tulungagung diperintahkan untuk meminum air degan (kelapa muda). Sebelumnya telah diperintahkan untuk membuat sayur daun ketela. Instruksi tersebut tersebut berlanjut hingga awal Januari agar jamaah membuat Jenang Sumsum. Perintah ini tidak berhenti, ketika virus tersebut mulai masuk ke Indonesia awal Februari, jama’ah diminta untuk membuat sabuk dari kain hijau yang tengahnya diberi janur kuning. Teranyar bentuk ikhtiar yang disyaratkan oleh mursyid adalah menggunakan gelang dari janur yang telah direbus di pergelangan tangan kiri selama 6 bulan dan makan jenang sumsum di kasih sedikit janur setiap seminggu sekali, disamping sabuknya tetap dipakai.
Bahkan lebih jauh, dalam rangka menghindari penularan virus secara kelembagaan Sultan Agung ‘74 telah meliburkan segenap agenda yang sifatnya mengumpulkan masa seperti rutinan Kliwonan dan Khususiyyah Mingguan. Maklumat lain adalah tidak diperkenankan membicarakan tentang Covid-19 atau virus Corona per tanggal 20 Maret. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan kegaduhan dan simpang siur informasi. Hal terkait virus tersebut agar dijelaskan oleh orang yang ahli dalam hal ini adalah tenaga medis. Ketika artikel ini saya revisi pada minggu pertama bulan April ada perintah baru yaitu mblonyohi (mengolesi) pusar dengan kunyit.
Tentu saja berbagai macam instruksi tersebut menggerakan para jama’ah Syadziliyah jalur Tulungagung untuk ngestuaken dawuh mursyid (menjalankan perintah pembimbing). Para pengikut tarekat secara berkala mempersiapkan ubo rampe yang diperintahkan guru baik secara individual maupun komunal. Dari berbagai grup Whatsapp atau Facebook misalnya, mereka mem-posting persiapan Janur yang dijemur, gelang Janur, atau menjahit kain hijau. Bahkan beberapa juga membagikan secara gratis kepada sesama pengikut Syadziliyyah yang tidak membuat sendiri. Instruksi ini amat masif dijalankan dari hulu hingga hilir jaringan. Meski ada beberapa orang karena keterbatasan tidak mengenakan hal tersebut. Tetapi jama’ah yang fanatik dan meyakini wushul-nya mursyid melakukan semua instruksi tersebut.
Sekalipun sama-sama Syadziliyah, yang penulis amati instruksi semacam ini tidak muncul dari tarekat Syadziliyah jaringan Watucongol Muntilan, Somalangu Kebumen, atau Cidahu Banten. Masing-masing jaringan Syadziliyah ini sebenarnya memiliki mursyid yang tidak kalah tersohor. Bila dibandingkan dengan jalur Tulungagung bahkan bisa jadi lebih terkenal. Hal tersebut mengingat tokoh mursyid atau pengasuh pesantrennya masuk dalam jajaran ulama yang dikenal secara nasional. Namun strukturisasi jamaah yang rapi menjadikan pengikut jaringan Tulungagung bisa dibilang lebih banyak daripada yang lain.
Tentang bentuk instruksi tersebut memang tidak muncul secara langsung dari induk ajaran Syadziliyah (baca: Abu Hasan As-Syadzili) sendiri. Ini lebih dari bentuk “kreatifitas” mursyid pribadi atas kedekatannya kepada Allah hingga memperoleh petunjuk langsung. Tentu saja sangat memungkinkan terjadi perbedaan sikap antara satu mursyid dengan yang lainnya. Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.
Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.
Belajar dari Kasus di Bantul
Malam itu hari rabu, minggu ketiga setelah Majelis Ulama Indonesia mengumumkan bolehnya -bahkan cenderung melarang- untuk tidak melakukan sembahyang Jumat. Alasannya jelas, untuk memperlambat penyebaran wabah Corona. Takmir masjid Al-Islam sedang melakukan rapat untuk menentukan apakah tetap mengadakan shalat Jumat atau tidak. Tentu saja nama masjid tersebut bukan sebenarnya, bahwa itu berada di sebuah dusun di Bantul adalah benar.
Termasuk hadir dalam rapat tersebut adalah Fahmi, praktis karena beliau adalah salah satu kordinator divisi dalam ketakmiran. Mawardi, salah seorang takmir mengawali rapat tersebut dengan memberikan gambaran tentang wabah, sikap MUI, NU dan Muhammadiyah yang meliburkan sementara aktivitas Shalat Jumat. Chamid salah seorang pengurus yang tingkat pemahamannya lebih awam lebih memilih untuk libur jumatan dengan pertimbangan keselamatan. Tetapi soal usia dan pengaruh tentu saja Chamid jauh di bawah Fahmi dan Mawardi sehingga berakhir pada kalimat “saya ngikut saja”. Mawardi adalah alumni pesantren di Bantul sekaligus menjadi pengajar untuk saat ini. Ia menguatkan pemaparannya dengan hadis yang dikutip dari beberapa kitab hadis dan fikih. Baginya instruksi 3 lembaga tersebut adalah final demi kemaslahatan. Tugas ketakmiran adalah menjelaskan kepada jamaah masjid agar tidak muncul persepsi dilarang “Jumatan” terlebih kepada orang-orang sepuh yang telah menganggap ibadah mutlak. “Kita tidak boleh kehilangan keimanan” Fahmi mengawali pendapatnya. “Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”, semakin mantap Fahmi berargumen. Fahmi sendiri, selain seorang pengikut tarekat Syadziliyyah ia adalah alumni pesantren PETA. Suatu ketika ia pernah bercerita kepada penulis bahwa ia pernah amat dekat dengan Kyai Jalil, bahkan pernah mengikuti beliau untuk laku ritual. Baginya kalau Kyai memerintahkan jalan ya jalan, kalau puasa maka ia akan puasa, tanpa sedikitpun bertanya alasan.
“Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”
Busyro sebagai ketua takmir nampaknya semakin kebingunan untuk mengambil sikap. Dua kubu saling berseberangan ini nampaknya memiliki keyakinan masing-masing. Ketokohan keduanya masing-masing bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan ketakmiran. Sekalipun Fahmi tidak memberikan alasannya, kecuali masalah keimanan. Sikap Busyro sebenarnya jelas, memilih pendapat Mawardi. Selain lebih masuk akal untuk kemaslahatan juga dia adalah ketua salah satu organisasi keagamaan di kampung. Meski nampak mengambang rapat malam itu memutuskan jumatan untuk sementara libur.
Meski keputusan takmir meliburkan Jumatan, Fahmi tetap berangkat ke masjid jumat itu. Chamid yang masih kerabat bercerita kalau lik-nya saat itu berkalung Janur. Ia tidak tahu alasannya dan tidak berani bertanya. Maka Jum’at hari itu digelar dengan 2 baris jamaah saja. Terutama orang tua yang pikirannya hanya ibadah. Menurut pengakuan salah seorang jamaah ada sekitar 20 orang. Meskipun bisa jadi jumlah tersebut terlalu dilebihkan berdasarkan pengamatan salah seorang warga.
Berbeda dengan Zaky yang menjadi Kyai Masjid sekaligus tokoh sentral. Di masjidnya yang kurang lebih berjarak 10 km dari dusun di desa Fahmi jama’ah Jumatan masih seperti biasanya. Masjid dan serambi penuh dengan jamaah, sekalipun tidak menerima jama’ah dari luar kampung. Beberapa warga sekitar masjid adalah pengikut tarekat sehingga tidak ada kontroversi soal jum’atan. Penerimaan ini sekaligus juga kesepahaman soal instruksi mursyid tentang beberapa hal yang dipersiapkan untuk menghadapi wabah. Namun demikian Zaky masih memberi batas-batas antara jamaah tarekat dan jamaah masjid, sehingga ia tidak mengumumkan hal terkait tarekat pada jamaah masjid.
Memahami Nalar Kelompok Tarekat
Sebagaimana telah kami tuliskan pada artikel sebelumnya bahwa kelompok tarekat merupakan salah satu bagian komunitas yang amat unik, solid dan berkekuatan. Kekuaatan pada kelompok ini bisa dimaknai secara ideologi dengan kuatnya keyakinan kegamaan dengan basis tasawuf yang acapkali berhadapan dengan cara pandang kelompok legal formal syariat yang mengacu pada fikih murni (tasawuf vis a vis fiqih); atau kekuatan dalam makna yang sebenarnya yaitu sebagai sebuah gerakan masa. Untuk contoh yang pertama seperti kasus pada Fahmi. Sedangkan untuk contoh kedua adalah sebagaimana Zaky dengan mudah menggerakkan jamaahnya untuk tetap bertahan mengadakan Jumatan.
Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tareka
Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tarekat. Ketidakpahaman ini acapkali menimbulkan sikap kecurigaan atau kesan negatif terhadap kelompok tarekat. Garis tindakan kelompok tarekat tidak didasarkan arahan (fatwa) ulama secara umum. Mereka digerakkan oleh instruksi yang diberikan oleh mursyid sebagai pimpinan tertinggi kelompok ini. Mempertanyakan perintah mursyid adalah suatu pantangan, mengingat sifat ketundukan murid (orang yang mengikuti) kepada mursyid (orang yang menunjukkan) bersifat mutlak. Sikap Fahmi yang tidak menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan Janur, atau asumsi bahwa dirinya telah kebal penyakit tentu saja tidak dapat dilepaskan. Ia hanya tunduk pada mursyid tanpa perlu merasa mengeluarkan dalil agama.
Sebagai catatan penting, bahwa pengetahuan kelompok sufistik diproduksi dari proses irfani. Yakni sebuah pengetahuan yang diterima melalui mata batin dalam bentuk -yang saya sebut dengan- al-isyarah as-sirriyyah (isyarat yang rahasia), sebuah bisikan ilahiyyah yang adakalanya diterima melalui proses khalwat (menyendiri), berziarah ke makam orang shalih, i’tikaf di masjid atau muncul secara tiba-tiba begitu saja. Sehingga tidak mengherankan kalau tindakan yang diperintahkan itu terkadang semacam tidak logis, aneh atau kehilangan konteksnya. Untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada intuisi ini tidak semua guru tarekat mendapatkannya. Hanya orang-orang yang telah wushul saja yang medapatkan pengetahuan ini.
Memang logika pengetahuan tersebut tidak jarang terjadi benturan antara nalar kaum fiqih (baca: fuqaha’) dengan kelompok sufistik (Bayani vis a vis ‘Irfani); kelompok sufi dengan filosof (Irfani vis a vis Burhani) dan filosof melawan sufi (Burhani vis a vis ‘Irfani). Formulasi nalar ini termanifestasikan dalam tiga bentuk penalaran: (1) Bayani, adalah sistem strukturalitas epistemologi yang muncul dalam bidang filologi, ushul fiqih, teologi dan balaghah difungsikan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dengan model analogi (qiyas) dengan tendensi kembali pada teks sebagai sandaran. Mengenai hal ini setiap fan ilmu memilih menggunakan istilah mereka sendiri agar terlihat lebih mandiri. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiyas. Ahli balaghah menamainya al-Tasybih. Ahli teologi menyebutnya al-Istidlal bi al-Syahid (far’) ‘ala al-Ghaib (asl); (2) ‘Irfani adalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, Syi’ah dan Isma’iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan dan filsafat iluminasi yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kasyf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme; (3) Burhani adalah model epistemologi demonstratif berdasarkan nalar observatoris-rasionalis-empiris (al-Istintaj al-‘Aqli) secara umum digunakan oleh filosof.
Bagi penulis, al-isyarah al-sirriyyah yang diperoleh oleh mursyid sejajar dengan syatahat para sufi. Produksi pengetahuan ini adalah manifestasi dari bahasa al-Quran “hudan lil muttaqin” (petunjuk bagi kaum yang bertaqwa). Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.
Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.
Di sisi lain ada hal yang secara sosial tidak boleh dilewatkan, popularitas sebuah tarekat seringkali dikarenakan intuisi kosmik guru tarekat. Yang dalam ranah lebih luas menjelma menjadi kontestasi kelompok tarekat, sekalipun terkadang beraliran sama. Munculnya Babad Kedung Kebo selain sebagai Pledoi Cokronegoro 1 atas sikapnya yang lebih membela Belanda juga sebagai penegasan asumsi bahwa spiritualitasnya lebih matang daripada Diponegoro. Sebagaimana belakangan diketahui bahwa Cokronegoro 1 dan Diponegoro adalah sama-sama pengikut tarekat Shattariyah dari jalur Kyai Taftazani Mlangi. Bentuk pencarian petunjuk Diponegoro melalui Joyomustopo di Pajimatan Imogiri yang menghasilkan “perang darah” serta kegagalan pencarian Kembang Wijoyokusumo oleh Kiai Janodin, Abu Kasan dan Kyai Mufid di Pulau Nusakambangan sebenarnya suatu al-isyarat al-sirriyah yang amat jelas. Andaikan Diponegoro tetap memberontak melawan Belanda konsekuensinya adalah timbulnya banyak korban dan mempertegas bahwa ia bukan Ratu Adil yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya, Raja Kediri. Dalam perspektif Cokronegoro 1 Diponegoro sedang dilanda kesombongan (takabbur). Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk memihak antara Diponegoro atau Cokronegoro 1, hanya saja untuk mempertegas bahwasannya terdapat ruang kontestasi secara sosial antara satu kelompok tarekat dengan tarekat lainnya.
Walhasil, mari kita hilangkan sikap kecurigaan pada kelompok tarekat, terlebih memandangnya sebagai kelompok yang irrasional. Sembari kita mengikuti perkembangan instruksi dari mursyid tarekat Syadziliyyah dalam menyikapi wabah sebagai bentuk ikhtiar. Kita juga bisa mengamati perkembangan popularitas dan bargaining kelompok tarekat ini dibandingkan kelompok tarekat lain yang hari ini tidak semasif ini arahan mursyidnya. Mursyid yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Ibu Nyai Umi Zahra, istri dari Almarhum KH. Abdul Jalil. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang.
*Wushul secara sederhana berarti pencapaian seorang salik terhadap maqam ma’rifat billah (mendapat petunjuk dari Allah)
Bantul, 07 April 2020 pukul 01.53 WIB.

Gelang janur.

Sabuk hijau dari kain di dalamnya ada janur.
Sumber Bacaan:
https://langgar.co/jejaring-tarekat-abdusshomad-al-palimbani/
Peter Carey, Babad Kedung-Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017.
Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Al-Jabiri.Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql ‘Arabi, 1990.
Sebelumnya, mari mendoakan para korban Corona (Covid-19) yang telah meninggal dunia, terlepas darimana dia dan apa agamanya. Mugya padhang laku lan jembar kubure, diterima di sisi Tuhan kepercayaan masing-masing.
Pada 31 Desember 2019, tepat di hari pergantian tahun, China mengumumkan tentang munculnya kasus Corona. Selang beberapa bulan, virus Corona telah menyebar ke semua negara di dunia. Tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa Corona telah menjadi pandemi global.
Kota-kota besar di dunia dalam kondisi lockdown. Tempat-tempat suci beribadah pun mengalami nasib yang serupa, termasuk Ka’bah. Menariknya, walaupun Ka’bah ditutup, di Twitter, akun @hsharifain, memublikasikan sebuah video yang menunjukkan kawanan burung merpati terbang dengan begitu bebas memutari Ka’bah, seolah kawanan merpati tersebut melakukan thawaf.
Frank M. Snowden, penulis Epidemic and Society: From Black Death to the Present, dalam wawancaranya dengan situs The New Yorker, menjelaskan bahwa kejadian luar biasa karena Wabah selalu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lepas dari aksi teknis nan taktis demi menekan dampak Corona, selagi para ilmuwan bekerja mencari vaksin maupun obat penawarnya, hampir semua manusia memiliki pertanyaan; Apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia? Apa yang akan terjadi pada umat manusia?
Dua pertanyaan bersifat hipotikal di atas tentu sulit untuk dijawab secara ilmiah. Sebagai gantinya, atas kementokan ‘dunia ilmiah’, setiap jawaban yang muncul tidak lepas dari latar belakang serta motif si penjawab.
Apabila si penjawab seorang dokter, tentu ia akan memberi jawaban yang berlandaskan ilmu kedokteran ditambah pengalamannya. Beda lagi kalau yang menjawab seorang sejarawan, karena telah membaca banyak referensi sejarah, kebanyakan sejarawan akan memberi jawaban, “itu hal biasa”.
Namun, yang belum cukup diamati ialah seperti apa jawaban spiritualitas sastra Jawa bernafas Islam dalam memandang sekaligus menyikapi Corona? Akankah Corona menjadi indikator kuat bahwa hari ini, manusia sedang berada di dalam masa transisi zaman Kalatidha menuju Kalabendu?
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Psikologi Manusia Akhir Zaman
Umat manusia telah berkali-kali ditimpa wabah. Mulai dari Pes, Malaria, Flu Spanyol (H1N1), Flu Burung, SARS, MERS, hingga Covid-19. Anehnya, Corona, yang jumlah kematiannya tidak mencapai angka jutaan seperti yang terjadi pada kasus Black Death, menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa melalui distribusi berita di media-media. Lantas, sebenarnya, apa yang membuat panik? Corona atau berita?
Kepanikan dipicu ketakutan yang berlebihan, sehingga muncul beragam skenario menakutkan di pikiran. Untuk menghindari skenario-skenario buruk pikiran, manusia melakukan tindak ketergesaan. Puncaknya, akibat kepanikan, terkuak fakta tentang betapa manusia menyembah egonya.
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Ingat pada awal bulan Maret 2020. Tatkala pemerintah baru saja mengumumkan adanya dua kasus Corona di Depok, seketika harga masker disetel penjualnya pada harga tinggi, masyarakat memborong masker sampai habis, satu pembeli minimal membeli tiga kotak masker, dan bahan makanan di minimarket pun ikut tumpas.
Bagi yang cukup uang, sangat mudah untuk berjaga-jaga, bagi yang kere senjata terbaik untuk mendapat keselamatan semata doa. Peristiwa ini sekiranya menjadi implementasi faktual dari bait Sinom Serat Kalatidha yang masyhur berikut ini.
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Hidup di zaman kegilaan
tidak mudah berbuat kebaikan
ikut gila tidak tahan
kalau tidak ikut gila
tidak mungkin mendapat keinginan
lapar pada akhirnya
untungnya takdir Allah
beruntung-untungnya orang lupa
masih untung orang yang ingat dan waspada
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Respon pemerintah berjalan lamban. Bukannya mencegah kepanikan, pemerintah Indonesia justru menambah kepanikan masyarakat dengan mendiskon tiket pesawat, dan menginstruksikan agar sektor pariwisata tetap beroperasi seperti biasanya.
Kekacauan terjadi secara serentak dari tingkat bawah hingga atas struktur sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia memrioritaskan keberlanjutan ‘uang’ sementara masyarakat mengedepankan keselamatan masing-masing akibat pengaruh media.
Semuanya mbingungi karepe dhewe, uang sangat penting untuk menjaga nyawa, tapi apakah mungkin mencari uang tanpa pakai nyawa?
Dhasar karoban pawarta
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayěkti
mundhak apa anèng ngayun
andhědhěr kaluputan
sinaraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Namanya juga ditimpa berita
ingin jadi yang di depan
ternyata malah di belakang
biar apa berada di depan?
(hanya akan) membuka kesalahan
disirami air lupa
kalau tumbuh jadi suburnya sengsara
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Sajian terjemahan di atas masih berupa terjemahan literal. Apabila dikontekstualisasikan terhadap peristiwa kepanikan Corona, dapat diambil satu benang merah bahwa semua manusia bernafsu ingin berada di depan, paling depan untuk mewujudkan kepentingan pribadi akibat ketergesaan. Bukannya memperoleh apa yang diinginkan malah menunjukkan keegoisan yang pada akhirnya menebarkan kesusahan bagi sesama.
Serat Kalatidha, sebagai hasil interpretasi Ranggawarsita atas Jangka Jayabaya, memiliki arti ‘zaman penuh kesamaran’, memberi sinyal masuknya zaman Kalabendu setelah terjadinya zaman Kalatidha. Bahwa zaman Kalatidha yang serba tidak pasti menimbulkan kebingungan bertindak terkait apa yang harus dilakukan. Sebab semua orang pasti sudah tahu harus menyelamatkan apa dan siapa, namun belum tentu tahu apa yang harus dilakukan secara benar.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media. Kekhawatiran yang terlanjur dengan cepat menjalari kemudian memicu munculnya satu gagasan, “alangkah tenangnya kalau tidak tahu” Padahal, sebelumnya menuntut untuk tahu.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media.
Akumulasi yang Akan Datang
Untuk sementara, para peneliti menduga bahwa Corona yang bermula di Cina dikarenakan kegemaran warga Wuhan memakan hewan liar. Bagi sebagian orang, memakan kelelawar, trenggiling, katak, ular, dan lain sebagainya merupakan perilaku tidak lazim. Akan tetapi bagi yang doyan, makan hewan yang ‘tidak biasa’ jelas sudah jadi kebiasaan.
Seandainya diruntut, kemunculan wabah yang menimpa manusia selalu berawal dari perilaku menyimpang manusia ketika berinteraksi dengan alam, terutama binatang. Wabah Pes, Flu Spanyol, Malaria, SARS, MERS, dan Corona, bukankah semuanya terlontar dari tubuh binatang?
Tuhan yang telah menundukkan alam bagi manusia (Qs. Ibrahim 13:32-34) ternyata ditafsirkan secara berlebihan. Agenda manusida dalam perusakan alam tidak sekadar dijalankan pada tataran fisik, namun juga mengacaukan putaran rantai makanan. Bisa jadi penyebabnya berasal dari pelajaran biologi di sekolah yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi rantai makanan adalah manusia.
Apabila benar Corona merupakan rangkaian dari Kalabendu, maka tidak meleset nubuat yang disampaikan di dalam Jangka Jayabaya bahwa Kalabendu dimulai dari rusaknya alam. Sunan Pakubuwana IX, kompetitor Ranggawarsita, dalam Sekar Kusumawicitra menyebut Kalabendu sebagai Kaliyuga, “dan masuknya zaman Kaliyuga ditandai dengan eksploitasi pepohonan hutan”.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV mendesrkipsikan melalui tembang Pocung, Ringgit Madya Lampahan Jaya Purusa, peristiwa yang dialami manusia sebelum dan selama masa Kalabendu berlangsung.
datan dangu kadhatengan kalabendu
angancik pailan
larang sandhang lawan bukti
wewulanan tan ana tibaning jawah
sumur-sumur kali-kali kalenipun
sendhang myang bengawan
sadaya kasatan warih
tanem tuwuh tiwas tan tuwuh palastra
buron banyu pitik iwen akeh lampus
tan antuk pasaban
sumawana para janmi
ting bilulung keh mati saking kalapan
kuwur-kawur saparan-parane bingung
kang samyarsa pindhah
mring nagari Malawapati
malah kesah ngungsi mring praja Widarba
saya dangu janma wimbuh ura-uru
rebut sandhang boga
rusuh rina lawan wengi
tanpa kendhat lakuning bangsat beradhat
Terjemahan:
tidak lama datanglah Kalabendu
menapak (masa) paceklik
mahal pakaian dan makanan
berbulan-bulan tidak ada turun hujan
sumur-sumur, sungai-sungai, dan parit
sumber air hingga sungai besar
semua kekeringan air
menanam hanya sia-sia
air langka ayam dan unggas semua mati
tiada tempat berkumpul
begitu juga para manusia
berlarian kesana-kemari banyak yang mati (akibat) kepanikan
berlarian tanpa arah kebingungan
yang semua ingin pergi
(dari) nagari Malawapati
mengungsi pergi ke negeri Widarba
semakin hari semakin gelap hati
berebut pakaian dan makanan
bertengkar (di) siang dan malam
tak ada hentinya bertindak jahat
Tidak dapat dipungkiri, muncul dan sebaran suatu wabah tidak lepas dari faktor alam, di samping otoritas pemangku pemerintahan. Layaknya penduduk Malawapati yang cari selamat dari masa sengsara dengan cara mengungsi ke negeri tetangga, Widarba. Ketakutan membuat manusia ibarat tidur malam berselimut takut.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir. Di hari kemudian, entah kapan, mungkin saja muncul wabah lain yang lebih menakutkan daripada Corona. Menakutkan di sini bukan selamanya dalam artian sifat wabah itu sendiri, melainkan distribusi berita.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir.
Waktu Untuk Manekung Anungku Samadhi
Tingkat kematian Corona yang tidak setinggi SARS dan MERS mengundang satu pertanyaan penting, kenapa sampai hari ini belum ada vaksin penangkal yang ditemukan?
Belum ditemukannya vaksin Corona tersebut mengakibatkan diberlakukannya lockdown pada daerah-daerah yang dinilai sedang dalam masa genting menghadapi Corona.
Jeff McMahon dalam Forbes menuliskan satu fakta penting, bahwa kebijakan lockdown sebenarnya membuat manusia lebih aman dari kematian akibat pencemaran lingkungan daripada virus Corona itu sendiri.
Apabila ditelusuri, kebijakan lockdown pada dasarnya memiliki dua fungsi. Pertama, mencegah penyebaran virus yang lebih massif di suatu wilayah. Kedua, menjadi momen bagi masyarakat, secara kolektif, untuk lebih merenungkan kehidupan.
Selama ini, sebelum Corona menimpa, umat manusia memburu cita-cita dan pencapaian tiada henti. Bekerja terus menerus tanpa sempat berdiam diri lalu melakukan instropeksi. Bagai mesin yang dituntut terus bekerja tanpa diperbolehkan untuk cooling down oleh mandor atau majikan.
Kebijakan lockdown yang berimbas pada berbagai aktifitas manusia seolah menjadi tanda dari Tuhan, bahwa manusia diperintah untuk ngunjal ambegan (mengambil nafas panjang) dari kepadatan hidup sembari menutup mata dalam keheningan (manekung anungku samadhi) bukan dalan ketakutan. Oleh sebab itu, langkah paling efektif menekan sebaran Corona tidak lain hanyalah lockdown.
Dari manekung dalam momen lockdown, mungkin manusia tidak akan pernah tahu apa yang hendak disampaikan Tuhan, namun setidaknya manusia bisa lebih menyadari posisinya yang semata makhluk sekalipun telah melakukan banyak pencapaian di berbagai aspek kehidupan. Tidak lebih.
dene sarananipun badhe anyumerepi Gusti Allah saha kaananipun alam kelangenan, punika namung saking semedi, semedi mekaten anentremaken roh tuwin ngeningaken cipta. Saha salebetipun semedi, sampeyan anyipta angekoki Allah.
(Martadarsana, Wedha Sanyata)
Adapun metode untuk mengenal Tuhan juga keadaan alam yang sejati, hanyalah lewat semedi, semedi itu menentramkan roh dan menenangkan pikir. Pun di dalam semedi, Anda rapaljan nama ‘Allah’.
(Martadarsaba, Wedha Sanyata)
Corona dan Sebuah Peradaban Akhir
Pada tahun 1963, Nikolai Kardashev, seorang fisikawan terkemuka Rusia, mencetuskan teori Type of Civilization. Sebuah teori yang menentukan peringkat peradaban manusia. Type I, umat manusia mengonsumsi energi dari planetnya sendiri.
Type II, umat manusia mampu memaksimalkan sumber energi yang terdapat di tata surya, termasuk komet, matahari, asteroid, dan planet di tata surya. Type III, galaksi Bima Sakti telah ditundukkan umat manusia.
Dalam hal ini, Michio Kaku, fisikawan kuantum setengah Jepang, menyebutkan bahwa saat ini manusia sedang berada di Type I dari teori Type of Civilization.
Michio Kaku dengan optimis percaya bahwa di masa depan, manusia mampu mencapai type III. Namun, sebelum beranjak ke type II, mengingat tingginya ego manusia setelah merefleksi peristiwa Corona, akan lebih baik bagi manusia jika Tuhan menghendaki kiamat saja.