Walisanga
Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktik-praktik fikih– diam-diam banyak dihayati. Ceritanya, berpuluh-puluh cerita, menetes dari bibir orang-orang yang mencintai.
Orang-orang Lemahabang.
Seh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, manunggaling kawula gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. Benar-benar merembes dan membekas dalam hati.
Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkanku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat pancaindera?
Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syekh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan ialah kembali kepada kehidupan.
Itu yang diucapkan Seh Lemahabang kepada Pangeran Tembayat –murid Sunan Kalijaga. Sebelum ia disidang dan Sunan Kudus memenggal kepalanya. Empat paragraf panjang itu, yang dinukil dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan Tan Khoen Swie dan diulang-ulang di banyak buku setelahnya, untuk menyebut beberapa, Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar (2015), Bambang Marhiyanto, Siti Jenar Menggugat (2000), Abu Fajar Al-Qalami, Legenda Siti Jenar (2005), Nizzatul Haq, Cerita Mistik Dibalik Kisah Syekh Siti Jenar (2007), Rahimsyah, Siti Jenar: Cikal Bakal Faham Kejawen (2006), bisa jadi puncak kefasihan dan perdebatan Islam Abangan dalam tradisi Jawa.
Tuhan dalam diri
Hidup bermula dari sepi
Kematian datang di tengah suara ramai
Itukah yang hendak ditunjukkan Lemahabang? Ya. Satu dari sekian banyak wali yang menolak pusat dan penyatuan kekuasaan itu ingin agar orang percaya Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingilah dunia, terbanglah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”
Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.
Saya inilah sebenar-benarnya Allah
Allah adalah badan saya
Rasul itu rahasia saya
Muhammad itu cahaya saya
Saya tak kenal maut
Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya
Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya
Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan
Saya yang meliputi seluruh alam semesta
Seh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya
Para wali marah. Menganggap omongan itu kebrutalan, sesat. Dan Lemahabang didakwa membahayakan rakyat. Ia harus dihukum atas sikapnya. Seperti kemudian kita temukan dalam ucapan Sunan Bonang. “Bagaimana caranya dan apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri hidupmu?” Sunan Giri bahkan mengecam Lemahabang dengan alasan “berani membuka ilmu rahasia dengan tak sepantasnya, diberikan pada tiap orang.” Giri pantas khawatir karena Lemahabang mengajarkan paham itu tanpa ditutup-tutupi kepada murid-muridnya yang tersebar di banyak tempat. “Islam dibangun atas dasar syariat,” ujar Sunan Kudus. “Kita tak bisa menjalankan perintah ibadah tanpa melalui tingkatan syariat.”
Sunan Kudus ingin agar Lemahabang akhirnya menuruti ucapannya, kembali dari jalannya yang menyimpang. Ia tak ingin ajaran Lemahabang berkembang. Sebab itu bisa meracuni iman yang baru saja terbentuk di masyarakat –di saat itu para wali sedang giatnya menanamkan keyakinan monoteisme dari keyakinan sebelumnya, politeisme-pantheisme.
Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”
Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”
Bagi Lemahabang, itulah awal kemerosotan. Untuk apa salat jika perangainya tetap buruk, masih suka mencuri. Untuk apa bibir lelah berdoa, jika masih menyimpan dengki. Kadang masih suka berharap imbalan.
Tuduhan itu amat telak. Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.
Bagaimana kita harus menafsirkan ucapan itu? Agak sulit dan membingungkan memang. Di dalam banyak penuturan kisahnya, ia bukan semata-mata ingin menyingkap Tuhan. Ia, dengan mengaku dirinya Allah, ingin mengutuk mereka yang bertugas menjaga kemurnian Islam. Ia menolak sikap pura-pura.
Wali pembangkang yang utama. Kata Nancy K. Florida dalam disertasinya Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) ketika menyoal Lemahabang. Dua puluh lima tahun sesudah buku itu ditulis, Lemahabang masih dianggap “orang yang mau bebas dari segala” tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.
Tak mustahil, apa yang sebenarnya terjadi lebih dari 500 tahun lalu itu pertarungan dalam memperebutkan hegemoni antara Lemahabang dan kelompok wali. Masing-masing ingin membangun imperiumnya sendiri. Satu, ingin meneguhkan batas. Lainnya, mau bebas. Ia coba menghilangkan sekat-sekat yang membelenggu diri. Tak peduli titah raja dan perintah nabi.
Untuk sikapnya itu, ia sadar betapa jauhnya ia dari yang diimpi-impikan semua orang bagi dirinya: wali suci di tanah Jawa. “Kelaparan, sakit telah saya alami sambil mencari nafkah, meskipun Tuhan ada, ia tak dapat saya mintai apa-apa…”
Karena sikapnya itulah ia hendak dibungkam dan dilupakan. Tapi, tak semua orang seperti Sunan Kudus –yang mengumpat Lemahabang sebagai “sesat” dengan alasan yang sering dipakai “mengaku Tuhan”.
Rasanya aneh sekali, sampai sekarang riwayat Lemahabang masih hidup di tengah-tengah orang Jawa. Orang-orang Lemahabang. Ia berada antara dongeng dan sejarah, antara gelap dan terang. Jelaslah, betapa besar pengaruh dari ide-idenya, bila “bahaya panteisme (lewat ajaran Lemahabang) amat dekat bahkan sudah masuk ke dalam benteng monoteisme yang dijaga demikianketat.” Kata penulis buku Manunggaling Kawula Gusti. P.J. Zoetmulder.
Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.
Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.
Gunung Jati, Cirebon –tempat leluhur saya. Sosok Lemahabang banyak dibicarakan. Orang percaya asal-usulnya dari sana, Desa Lemahabang, 15 kilometer arah timur Lemahwungkuk –yang dahulu menjadi pusat Kraton Kasepuhan.
Dalam naskah Tan Khoen Swie, dalam bait-bait Asmarandana yang terjemahannya sebagai berikut, di sana disebutkan:
Besarlah perguruan Sunan Giri (Giri Gajah)
Dicintai para ulama
Adalah seorang muridnya
Dari negeri Siti Jenar
Bernama San Ngali Ansar
Terkenal di tempat tinggalnya (Cirebon Girang)
Dipanggil Syekh Lemahabang
Juga banyak pengikutnya yang meyakini: Lemahabang meregang nyawanya di ujung keris Sunan Gunung Jati yang ditikamkan Sunan Kudus di pelataran Masjid Sang Cipta Rasa di tahun 1506. Ia, yang tak pernah mengaku diri sebagai sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, kemudian dimakamkan di Kemlaten, Anggaraksa, sekarang dikenal dengan nama Kanggraksan. Versi lain –tulisan Abdul Munir Mulkhan– menyebut Lemahabang mangkat di padepokannya Krendhasawa, Mantingan, Jepara, dengan cara menghela nafas sendiri. Para pengikutnya di Cigugur, Kuningan, yakin bahwa makamnya tak pernah ada sebab tubuhnya “moksa” usai dihukum mati. Saudara saya, yang sekarang menjaga makam Sunan Gunung Jati, membuat pengakuan bahwa kubur Lemahabang atau Syekh Abdul Jalil bin Syekh Datul Sholeh persis di samping pusara Syekh Datul Kahfi di bukit Amparan Jati.
Barangkali menjadi tak penting letak kubur, tempat para wali mengeksekusi, dan asal-usul dari wali kutub itu. Meskipun di musala makam Lemahabang di Kemlaten tertulis asal-usul sang tokoh. Karena orang akan berdebat tak habis-habisnya.Sebab sosoknya sudah banyak bercampur dengan legenda dan dongeng. Dalam satu catatan ia dianggap bersekutu dengan setan karena bisa malih rupa menjadi cacing, kodok, dan burung.
Lepas dari semua kontroversi. Ia adalah manusia yang melihat diri sendiri sebagai makhluk merdeka dan tak kenal tingkatan antara kawula dan gusti.
Kemlaten. 30 menit dari rumah. Siang itu, di sela rimbun pohonan, antara ratusan makam sekelilingnya, cungkup makam Lemahabang –dalam kepustakaan Jawa, ia lebih sering disebut Siti Jenar, ada pendapat itu nama aslinya, banyak pula yang menampik itu sekadar julukan– tampak kecil sederhana, seorang tengah tirakat. Sudah lewat 20 hari. Ia bukan pengikut tarekat Akmaliyah. Iwak teluh sirah sanunggal. Ia hanya menyukai hal-hal gaib, datang dengan maksud khusus.
Menutup kekosongan itu. “Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”[]
Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim. Sholawat dan salam untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas Pesantren, di kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal. Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Ishaq dari Blambangan.
Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66) menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen), Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan Ario Abdullah Palembang.
Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.
Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak kesarjanaan Tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam Jawa.
Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural kemasyarakatan, yang diletakkan para Wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya, terutama abad XVII-XIX.
Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal
Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16” (KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.
Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab itu. Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.
Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya, adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal). Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peranan.
Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut, karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di antaranya:
Mantingan
Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.
Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro, Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.
Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.
Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).
Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).
Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.
Gunung Sembung/Giri Amparan Jati
Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.
Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.
Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan menjadi pusat pengiriman Santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.
Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.
Ampel Denta/Kembang Kuning
Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku Sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.
Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.
Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.
Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri, sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.
Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.
Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.
Kadilangu
Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.
. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.
Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru, yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.
Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana, mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.
Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan Giri. Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).
Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.
Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi
Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia (emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban 879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.
Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada 15 Syaban 827 H/1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di selatan Jawa.
Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.
Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu baru membangun basis di Kebumen.
Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.
Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824, dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.
Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang, mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.
Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang pesat.
Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.
Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan
Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.
Dalam soal tasawuf, diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan bahwa “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan dan model syariat telah dipelajari sejak awal.
Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).
Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6 Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak (1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.
Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa, yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi. Tentang kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini biasanya merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537); yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.
Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986). Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang Fiqh Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).
Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi (Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).
Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa, juga diedit ulang Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.”
Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut “pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”
Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain, di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal dari itu)” (KKPT, 2009: 28).
Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23) disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB, 1988: 226).
Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan Syeh Ibrahim, berdasarkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).
Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih. Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti (383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).
Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa, dan disalin pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.
Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi” (SIN, 2015: 38).
Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi (Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail, berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan, 2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).
Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan tahun 1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini disebutkan.
BTS pada bagian ke-10 yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).
Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin, dan Usul 6 Bis, yang dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits. Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.
Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani, yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.
Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis
Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili beberapa dasar dan konsep pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh, dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain.
Alfu Masail
Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.
Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali, atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa, seperti disebutkan di atas.
Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana. Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku tasawuf di Jawa.
Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:
Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi. Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.
Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama dijawab, hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima; Berapa banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada 104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?
Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh; Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam indalloh, kafir indan nas.
Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya, mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di nabi, waliyulloh dan orang beriman.
Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.
Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah khuldi? Apa pakaian Adam?
Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana, Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa (waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya? Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut dunia ini?
Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500 x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.
Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya? Kenapa langit terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman tokid, marifat?
Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya, dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan semut? Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala, tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?
Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi? Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.
Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10 perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa diberi ganjaran ketika bersetubuh (dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang berpuasa Ramadhan?
Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng (dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa banyak kejadiannya?
Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang? Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya. Bagaimana makna Alloh yang sejati? Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang disebut pembicaraan?
Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka, atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam? Apa maknanya kursi?
Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih? Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda (Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah? Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?
Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi Abdullah bin Salam.
Usul 6 Bis
Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan (Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ, 2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986: 143).
Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila laka”, demikian:
“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar baik dan buruknya dari Allah.”
“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha memberi rizki, pengatur, Raja, dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan, dan tanpa penetang.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah: “Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah, yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu) tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”
“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam ada 10 kitab; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah: “Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah (yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah syarat iman dan membenci mereka kufrun.”
“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah: “Ada 6 orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”
“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”
“Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang diangkat sebagai rasul.”
“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua, karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).
“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh, dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya. Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa tersebut , sekalipun hanya sebgiannya, faqod kafara.”
“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allohlah pencipta semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalaui janji dan ancamannya.”
“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi, karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”
“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk) Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”
“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul, kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya yang berupa perintah, larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan sesuatu selain tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”
“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”
“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan Allah, dan dia ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”
Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali
Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam kajian tersendiri, di antaranya:
Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah
Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).
Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku yang membahas biografinya.
Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah
Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah. Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya; dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH. Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:
“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut, selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang menjadi pegangan bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….” (MKG, 2014: 312).
Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin, dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja, silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah, mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan memang tidak banyak diungkapkan.
Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:
Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah, dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai kepada Imam Ali; (2) Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas (SST, 2007: 65-67).
Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).
Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).
Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal, dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.
Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah
Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara 1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.
Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa, Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa, Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam, Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).
Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah, dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui jalur Ammar al-Bidlisi.
Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya an-Nahrajuri), dari Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.
Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui silsilah Ismail al-Qashri ini, juga disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi ketika disebut Syarif Hidayatullah disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh Kubrowiyah ini wafat pada tahun 1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi. Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466 Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).
Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas, Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah. Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.
Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan, mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6 orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).
Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat 1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian orang banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).
Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan, Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru silsilah bersambung. Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.
Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara barzakhilah yang terjadi.
Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang bagus, madzhab Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin (tauhid) menganut madzhab Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).
Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya; menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang dihubungkan dengan syaikh.
Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep
Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan dan masyarakat.
Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.
Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59): Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan Guntur Maliki.
Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini, karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka), dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid Agung Tuban; dan terletak di di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban.
GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With or Attributed to The Saints of Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan, dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk, Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.
Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:
Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait 22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”
Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)
Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan: “Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).
Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan kehendak”; “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya, manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…” (SW, bait 72-73).
Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.” (SW, bait 11).
Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”
Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan Satpada memperlihatkan kepada cermin maka dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.
Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon Bonang, disebutkan “Ru’jatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-Bari: e Rijal…! Tegesing ru’jat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”
Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-af’al ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada makhluk)”
Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib, Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu), Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati), (Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).
Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan, bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas. Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren Giri oleh Sunan Giri.
Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Kalijaga
Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka. Dalam Kidung Kawedar, Sunan Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari (adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati; Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.
Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011: 137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan Kalijaga juga mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi, memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa. Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.
Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar
Penyusun konsep-konsep tasawuf berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh Siti Jenar, pupuh 6:18).
Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam, seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia yang menyebutkan begini:
“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi. Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002: 28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.
Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).
Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.
Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa
Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan setan dan jin, dan lain-lain.
Nur Muhammad
Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad), kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar dari badan, musibah atas diri mayit.
Selain itu Daoqiq juga membahas: sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan, adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar, panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.
Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan yang putih, seperti umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”
“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan tanaman padi.”
“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.
Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab yang cukup awal diajarkan di Jawa di samping kitab-kitab akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.
Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN, 2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang luas.
Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini: “Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda: “Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur. Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh, lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”
Ilmu Hikmah
Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh. Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-anugerah keramat.
Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad Tembayat, juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan dengan para penantangnya.
Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang disebut begini:
“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu, mereka orang-orang Keling yang menyerang semuanya roboh dan tidak berdaya, akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti beliau. Akhirnya mereka dapat menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti perjalanan beliau ke Cirebon.”
Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali, kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan, mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.
Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya bagi pemula.
Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis
Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat. Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar banyak melakukan kerja kultural tetapi sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik, meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.
Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab. Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup ruang pengaruh masing-masing.
Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa, para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh dibaca hanya terjadi sekali.
Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah, dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk Kahfi.
Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.
Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya, bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.
Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.
*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama, yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2, Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.
Renungan Otobiografis Seorang Penulis Pantura
Di ujung utara
Yang berlumur dosa
Kudatang mengharap
Sisa-sisa cinta
~Jhonny Iskandar, “Hitam Duniamu Putihnya Cintaku”
/1/
da tiga peristiwa budaya yang saya pakai dalam novel saya, Kambing dan Hujan (2015), untuk menandai masa sejarah sekaligus masa sosiologis dari masyarakat yang saya gambarkan di novel. Pertama, penolakan beberapa orang pemuda untuk ikut dalam upacara tayuban di kuburan. Kedua, kericuhan berdimensi kelompok yang membuat sebuah pagelaran Wayang bubar sebelum waktunya. Dan, ketiga, penolakan dua masjid terhadap pagelaran campursari, yang mengakibatkan kericuhan juga.
Tiga peristiwa itu ada dan terjadi di desa saya, dan saya anggap memang menandai perubahan dalam masyarakat desa saya, dan karena itu saya pungut dalam cerita—tentu saja dengan sedikit perubahan dan dramatisasi secukupnya. Tayuban dan wayangan di peristiwa pertama dan kedua memang demikian adanya (terjadi masing-masing sekitar awal ‘60-an dan akhir ’60-an), sementara campursari di peristiwa ketiga sebenarnya adalah tanggapan tayuban yang kesekian (terjadi sekitar sepuluh tahun lalu) yang, karena ditolak oleh dua otoritas keagamaan yang ada di desa, akhirnya sama sekali tak jadi digelar.
Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir di tengah-tengahnya
Desa saya ada sisi Pantura Lamongan, meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya bisa disebut berkebudayaan pesisir. Yang pernah membaca Dawuk (2017) mungkin pernah membaca kalimat ini: “Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir di tengah-tengahnya”. Kira-kira di situlah letak desa saya—meskipun, karena saya bukan seorang kartograf atau petugas pertanahan, tentu saja tak sepersis itu. Jalan Deandels yang ada di antara desa saya dan bibir pantai Laut Jawa memudahkan kami jadi lebih dekat ke utara dibanding ke selatan, dan itu membuat kami lebih intens bertukar-tangkap budaya dengan desa-desa nelayan. Untuk ke selatan, ke kebudayaan bercorak sungai di dua sisi nggawan (yang sebagian besarnya memberi bentuk bagi corak kebudayaan Lamongan secara umum), kami mesti menembus hutan jati yang sangat luas, walau itu sama sekali tak memutus relasi kekerabatan, tapi terutama ekonomi, dengan mereka. Meski demikian, kami juga terhubung dengan masyarakat ladang di sisi barat, yang menyambungkan kami—baik secara kekerabatan tapi terutama kebudayaan—dengan desa-desa di sisi timur Tuban, tempat tuak-tuak yang terkenal itu dihasilkan. Saya merasa, dengan merekalah kami berbagi banyak hal. Saya selalu berpikir, kami sebelumnya adalah bagian dari mereka yang bergerak terlalu ke timur.
Kami punya pantai di sisi utara, hutan di selatan, tegalan di barat, tapi juga sebuah kawasan perbukitan tepat di atas kepala kami. Di perbukitan itu, yang punya tebing, berbagai jenis goa, pohon-pohon besar, dan bukit-bukit dengan nama-nama dan bentuk yang unik, corak dan sistem kepercayaan yang sangat lokal ditambatkan. Perbukitan itu mendapatkan nama yang sangar, mitikal, dan seperti diambil dari tempat yang jauh: Rahtawu (yang biasanya dijabarkan sebagai rah yang berarti darah dan tawu yang berarti debu). Di tempat ini sadran kepada Putri Nggenuk, yang dianggap menjadi peri penjaga kawasan itu, masih dilakukan setidaknya sampai akhir ’70-an. Sampai waktu yang belum terlalu lama, mitos tentang boneka emas pembawa keberuntungan, burung walet beserta harta karun tersembunyi yang hanya akan diperlihatkan kepada yang berhak, sebuah lorong yang bercabang ke selatan menuju Samudera Indonesia dan ke utara menuju Laut Jawa yang di pintunya dijaga masing-masing oleh kerbau dan harimau pertapa, hingga ke batu tonggak raksasa yang diperkirakan menjadi patok penambatan kapal Nabi Nuh, masih jadi obrolan orang tua dan anak-anak. Seorang paman bercerita kepada saya—yang sudah saya cek kepada beberapa orang lain seumurannya dan mereka mengatakan hal yang sama—bahwa setidaknya sampai tahun ‘60-an kalimat syahadat di desa kami tidak dua, tapi tiga: bersaksi kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada Kayu dan Batu.
Pada perbukitan itu juga, saya kira, kami terhubung (secara sangat samar) dengan apa yang digambarkan sebagai falsafah dan cara pandang dunia orang Jawa pada umumnya: kisah wayang. Sebuah tebing memanjang, yang tampaknya merupakan patahan yang mencuat ke permukaan, dianggap tak akan pernah runtuh meskipun kondisinya secara alami berantakan dan kacau balau, sebab ia diikat oleh ikat pinggang (Bima) Sena. Sementara sebuah telaga batu kecil, yang tepiannya menyerupai jejak kaki manusia raksasa, dianggap sebagai jejak kaki Sena. Apakah Sena punya ikat pinggang? Dan jejak kakinya sebesar itu? Kalau saja saya punya ketertarikan dengan kisah wayang, dan sedikit mau mengekplorasi, saya mungkin saja menemukan nama tempat atau sesuatu yang bisa diacu sebagai nama perbukitan di desa saya dalam kisah Dewa Ruci.
Sayangnya, saya tidak begitu tertarik dengan kisah wayang. Tapi, terutama, saya tidak merasa terikat dengannya. Dan untuk itu saya punya penjelasannya.
/2/
Seperti saya ceritakan di atas, wayang (baik sebagai pertunjukan maupun sebuah khazanah) bukannya tidak pernah ada di desa saya. Selain pertunjukan wayang yang kisruh, yang saya angkat dalam novel itu, sepanjang usia saya, setidaknya saya pernah melewatkan dua kali pagelaran wayang di desa saya. Dan, berdasar beberapa cerita, ada beberapa pagelaran juga sebelum-sebelumnya. Jadi, yang bisa dikatakan, ia ada tapi tidak menonjol, dan karena itu orang mungkin tak terlalu memikirkannya ketika ia sama sekali tak ada lagi.
Sebagai khazanah, selain dalam soal tebing dan telaga yang mencatut nama Sena itu, saya tak banyak menemukannya. Kakek-nenek dan 0rang-orang tua kami bercerita tentang kisah asal-usul desa, legenda-legenda hutan, anekdot-anekdot tegalan, kisah-kisah hantu (dari yang lucu, aneh, hingga yang mengerikan), dan tentu saja kisah para Nabi, sahabat, dan cerita-cerita hikmah. Tapi, saya tak mengingat sedikit pun soal kisah-kisah dari cerita wayang. Tidak dalam bentuk yang sederhana, apalagi yang lebih rumit dan lebih dalam.
Tidak juga ada gambar-gambar atau apa pun yang bisa dihubungkan dengan wayang di rumah-rumah. Dinding-dinding rumah orang NU biasanya diisi oleh poster-poster Walisongo, Syekh Abdulqodir Jaelani, atau Hadratush Shekh, atau potret-potret kyai khos tempat anak-anak mereka mondok, juga tentu saja Surah Yasin, selain yang paling umum adalah poster kaligrafi syahadat dalam bentuk orang duduk tasyahud. Orang-orang Muhammadiyah, seperti doanya yang sederhana, biasanya cuma ada lambang Muhammadiyah dan Aisyiyah di dinding rumahnya (lengkap dengan plakat Allah dan Muhammad). Sisanya, dalam suatu masa, dinding-dinding rumah banyak diisi oleh poster-poster Rhoma Irama, Nasidaria dalam formasi lengkap, atau tim/pemain sepakbola. Gambar wayang yang bisa saya ingat adalah gambar-gambar di wayang umbul produksi pabrik poster Gunung Kelud. Gambar itu berisi tokoh-tokoh wayang dengan nama di bawahnya. Tapi, gambar-gambar yang tampak serupa satu sama lain itu tentu saja kalah mengesankan dibanding gambar-gambar wayang umbul dari jenis yang bercerita, dan jenis yang terakhir inilah yang jauh lebih populer.
Saya sendiri mengenal cerita wayang, khususnya Mahabarata, nyaris untuk pertama kali, dari sandiwara radio. Dari sini saya lumayan bisa mengenali mana yang termasuk Pandawa, mana yang Kurawa, dan bagaimana dua saudara itu terbentuk kemudian saling berperang. Tapi, kalau bicara sandiwara radio, Mahabarata jelas bukan kisah yang paling membekas. (Ia boleh jadi hanya diingat oleh yang terlalu gila sandiwara macam saya, itu pun dengan kritik: kok bisa semua tokohnya sakti?) Saur Sepuh dan Tutur Tinular saya pikir menancap jauh lebih dalam bagi para pendengar sandiwara radio, sehingga sampai sekarang masih terus diingat dan dibicarakan.
Jika saya pernah mendengarkan orang dewasa membicarakan wayang, itu adalah ketika TVRI habis menyiarkan pagelaran wayang orang Sumatri Sukesrono.
Omong soal radio, wayang kulit (dalam bentuk audio) sebenarnya bukan sesuatu yang sulit ditemukan. Ia biasanya bisa ditemukan di malam hari, sebagaimana kita bisa juga menemukan siaran ludruk. Dan ia bukannya tidak diputar di rumah-rumah, setidaknya ketika saya masih kecil, saat tradisi mendengarkan radio yang dominan. Tapi, tampaknya, ia tidak banyak menginspirasi para pendengarnya untuk membicarakannya di tempat-tempat terbuka atau membuat orangtua bersemangat menceritakannya kepada anak-anaknya. Jika saya pernah mendengarkan orang dewasa membicarakan wayang, itu adalah ketika TVRI habis menyiarkan pagelaran wayang orang Sumatri Sukesrono. Tapi, itu tentu saja tak terlalu berbeda dengan orang membicarakan Rano Karno setelah menontonnya di Film Cerita Akhir Pekan.
Hal ini berbeda dengan ludruk. Meskipun menontonnya secara langsung adalah momen yang sangat langka (saya, misalnya, hanya mengingat beberapa pentas tari ngremo yang dilakukan para penjual obat), ludruk jauh lebih populer di kalangan para pendengar radio. Sampai akhir ‘90-an, masa yang bisa ditandai sebagai akhir era radio, ludruk yang diproduksi RRI Surabaya dan disiarkan setiap Senin malam dan Jumat malam sangatlah digandrungi dan ditunggu-tunggu, dan merupakan sarana hiburan massal sebelum televisi mengambil alih. Orang-orang bisa berkumpul dalam jumlah banyak di beranda rumah seseorang hanya untuk mendengarkan cerita ludruk hingga larut malam bersama-sama. Dan seperti sekarang ibu-ibu bercerita tentang sinetron yang ditontonnya, mereka akan saling bertukar cerita tentang cerita ludruk semalam.
Ludruk juga mendominasi media publik yang tak begitu dinikmati wayang, yaitu speaker hajatan. Bersama musik kasidah Nasidaria, musik melayu Sinar Kemala, Awara/Ida Laila, Soneta, dan musik tayuban (nanti akan saya singgung lebih jauh), kaset ludruk haruslah ada dalam daftar putar jika ada orang punya pesta kawinan atau sunatan. Karena mungkin jumlah produksi yang beredar di pasar tidak banyak, cerita yang diputar pun tidak banyak, bahkan terkesan itu-itu saja: Joko Sambang, Jaran Putih Mayang Seto, Joko Gondok, Joko Dolok, Joko Jumput, Joko Rawono, Raden Branjang Kawat, Sarip Tambak Oso, Rangga Janur, Maling Sakti Gagak Setro, Semanggi Suroboyo, Geger Pabrik Gulo Kedawung, selain ludruk-ludruk dalam format dagelan. Tapi karena tidak banyak itulah, orang-orang bisa menjadi sangat hapal dengan kisah-kisah tersebut. Bukan saja jalan ceritanya, tapi hingga dialog-dialognya yang paling sepele. Dalam obrolan-obrolan di warung kopi atau tepi jalan atau beranda masjid, dialog di cerita Joko Sambang bisa nyelonong begitu saja, dan kemudian mendapat sahutan meriah dari lawan bicara. Anak-anak TK mengulang-ulang lirik nyanyian Pak Colok “Markasan, Subakri, Markasan, Subakri, Markasan, Subakri,” dua nama pembunuh Raden Branjang Kawat, di antara Tepuk Ame-Ame dan Gelang Sipaku Gelang. Sementara bocah-bocah baru akil balig senang sekali dengan mengulang-ulang dagelan agak mesum dua tentara Kompeni di kisah Jaran Putih Mayang Seto: “Yu no Mundomae?// Apa Mundomae?// Temu rondo sak omae (ketemu janda sekalian rumahnya)”. Kata kompeni atau gupermen menjadi kosa kata sehari-hari, baik untuk perumpamaan maupun umpatan, tampaknya juga karena ludruk.
Kembali ke wayang, ketika budaya menonton televisi datang, dan tradisi-tradisi audio mulai melemah, bocah-bocah dengan usia di bawah saya mungkin menemukan “cerita wayang” pertama kali di layar kaca. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mengudara di tahun 1991, dan langsung punya trademark dengan serial Ramayana dan Mahabarata-nya. Tapi, saya pikir para penonton generasi ini tidak akan mengenang serial yang diproduksi B.R. Chopra itu terlalu dalam, kecuali untuk sekuen adu senjatanya yang aneh, sebab mereka segera ditimpa bom yang lebih besar: film dan lagu India.
Tanpa mencoba meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya di belahan Jawa yang lain, untuk konteks desa Pantura macam desa saya, dan saya pikir itu bisa diperluas setidaknya untuk kawasan yang memanjang antara di sepanjang Pantai Surabaya sampai Pati (apakah juga Jepara hingga Semarang?), wayang tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa. Dan dalam hal ini, ia kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.
Untuk mencoba menguliknya, saya hendak membandingkannya dengan budaya massa lain, yang kadar ke-Jawa-annya mendekati wayang (meskipun biasa dianggap lebih rendah, terutama karena karakter profannya yang kental), namun bisa bertahan lebih lama, yaitu tayuban.
/3/
Orang desa saya menyebut tayuban dengan nama yang sedikit berbeda, yaitu gambyong. Itu nama yang juga banyak dipakai di kaset-kaset rekaman Tayub. Namun, dalam versi cakapan, banyak juga yang menyebut dengan lebih sederhana: gong. Saya tidak tahu kenapa begitu. Mungkin itu semacam pars pro toto saja. Yang bisa saya pastikan, sebutan sederhana itu tampaknya membuat saya tidak terkesan dengan musik gamelan—sampai sekarang—sekeras apa pun saya berusaha.
Dilihat dari asal kebanyakan grup tayub yang diundang bermain di desa saya dan desa-desa sekitarnya, tayuban yang saya kenal tampaknya datang dari dari arah barat, tempat dari mana tuak juga datang. Dan saya kira saya tidak salah. Tuban memang tempat yang subur untuk grup-grup tayub. Dalam sebuah berita online bertahun 2017, sebuah ritual siraman para waranggono tayub dilakukan di pemandian Bektiharjo, tempat wisata yang tidak asing dan tidak terlalu jauh dari tempat kami. Dan kebetulan, dalam berita itu dikutip seorang narasumber yang namanya sangat familiar, Endang Mursiah. Dia adalah rockstar tayub tahun ’90-an. Ia melantai (karena tayub tak pakai panggung) berkali-kali di desa kami. Dan nyaris tak ada kaset rekaman tayub yang tidak mencantumkan namanya.
Tayuban semestinya tak seprofan yang orang pandang di masa-masa yang lebih belakangan. Ia, sebagaimana hasil dari kombinasi seni musik dan tari di mana pun, jelas punya sisi religius—dan itu bisa dibuktikan dengan berita tentang prosesi ritus yang saya kutip di atas. Itu kenapa pada masa lalu kesenian ini adalah bagian tak terpisahkan dari ritual-ritual keagamaan di desa saya, sebagaimana yang saya gambarkan di Kambing dan Hujan, dan tampaknya masih ada dan bertahan di desa-desa nelayan atau tegalan di sekitaran Tuban-Bojonegoro (mungkin juga di daerah-daerah lain, dengan nama yang sedikit berbeda). Namun, ketika paham modernis masuk ke desa, yang datang dari arah timur, dengan semangat pemurniannya, tayub segera saja mendapat tantangannya.
Ketika masuk dan perkembang pertama kali di awal tahun ‘60an, kalangan Islam modernis menjadikan tayuban sebagai anasir yang mesti disingkirkan. Maka, pembangkangan beberapa pemuda terhadap tayuban di kuburan dianggap sebagai momen besar mereka, dan karena itu diceritakan dengan heroik. Momen besar lain yang sering diceritakan ulang, yang tidak saya masukkan di novel, adalah ketika semua orang santri dikurung di dalam masjid agar mereka tidak bisa menonton pagelaran tayub yang sedang berlangsung di desa. Sebagian besar dari mereka kemudian tumbuh menjadi orang-orang yang menyingkiri gelaran-gelaran tayub dan menjadi orangtua-orangtua yang melarang keras anak-anaknya menyukainya. Salah satu dari mereka adalah bapak saya.
Minuman keras, judi, dan membuat lalai dari ibadah, adalah alasan utama kenapa tayub harus dijauhi. Tapi, sejujurnya, kalangan Islam modernis memang selalu mencurigai semua jenis kesenian (tradisional), apalagi yang ditempelkan pada agama. Lagi pula, corak Islam modern yang masuk desa saya, memang dari jenis yang paling keras. Datang dari arah timur, ia berkarakter pesisir, kota, dan punya kaitan kuat dengan Persis-nya A. Hassan di Bangil.
Tapi, tayuban tentu saja tidak begitu saja tersingkir karena dibenci oleh para penganut Islam modernis. Ia hidup dan dilestarikan oleh kalangan yang di desa saya disebut sebagai abangan, meskipun abangan di sini lebih dekat dengan istilah yang lebih dikenal, yaitu wong warungan (para pengunjung warung), dibanding dengan pengertian yang dipakai Gertz. Mereka biasanya adalah kalangan perangkat desa (pamong), para pedagang ternak (blantik), pedagang pada umumnya (juragan atau daukeh/tauke), blandong, dan orang-orang yang hidup dari dan bersentuhan dengan mereka. Merekalah yang secara berkala mendatangkan rombongan tayub ke desa, biasanya untuk menunjukkan gengsinya kepada relasi-relasinya. Dalam keseharian, karena sebagian adalah orang berpunya atau terlihat berpunya, mereka memutar keras-keras musik tayub dari rumahnya, sebagaimana kalangan santri yang berpunya menyetel tilawah atau musik kasidah.
Masa saya tumbuh, antara tengah 80-an hingga awal ’90-an, kebetulan adalah puncak-puncaknya keriuhan dan popularitas tayuban di desa saya. Tayuban bisa diselenggarakan tiap tahun, biasanya setelah panen. Itu bukan hanya menciptakan pasar malam yang bukan main ramainya, tapi membuat desa kami untuk sehari semalam jadi pusat dunia; tamu-tamu dari jauh berdatangan, orang-orang dari desa-desa sekitar berduyun-duyun datang. Anak-anak tentu saja gembira. Mereka risih tapi juga tertarik dengan para penari tayub yang menari dikelilingi para lelaki, dan sesekali di-singuk (dicium). Mereka takjub melihat orang-orang mabuk, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup. Mereka diam-diam mengintip orang-orang yang main judi dalam keremangan, dan mulai memupuk keinginan untuk kelak ikut ambil bagian. Para orangtualah yang mumet.
Salah satu faktor penting riuhnya tayub di dekade itu saya kira adalah keberadaan Petinggi (lurah) Sulhan, kepala desa kami waktu itu. Saya rasa ia menyukai kesenian, atau setidak-tidaknya keramaian. Ialah orang yang membuat saya menonton wayang untuk pertama kalinya, dan tampaknya sekali-kalinya itu. Ia secara pribadi menginisiasi tanggapan tayub, dan patut diduga memudahkan pihak-pihak lain menanggap tayub di desa. (Secara lebih personal, ia akan saya kenang sebagai orang yang berulang-ulang nanggap video, yang dari situ kemudian muncul seorang bocah yang keranjingan film—soal pengalaman dengan film video, lihat Aku dan Film India Melawan Dunia [Buku I].)
Yang menarik, Petinggi Sulhan adalah salah seorang yang dianggap sebagai generasi pertama, mungkin salah satu yang terbaik, para modernis “pembenci kebudayaan” itu. Para pengritiknya biasanya akan bilang, ia adalah santri yang terseret pergaulan kalangan pamong era Orde Baru yang ingin terlihat mriyayeni. Itulah kenapa ia menanggap wayang dan mengundang rombongan tayub (dan beberapa hal lain yang identik dilakukan para pamong masa itu).
Selain ditanggap secara live, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, tayub sangat populer diputar di speaker-speaker hajatan. Kaset tayub adalah jenis yang pasti ada di kotak penjaja jasa speaker. Jika kasidah punya spesialisasi diputar setelah Subuh atau menjelang Magrib, kaset tayub biasa diputar saat siang terik. Jika diputar jenis musik lain, akan lumrah terdengar hardikan, “Cah, awan-awan yo enake gambyongan leh” (Siang-siang yang paling enak ya putar gambyong-lah). Musik tayub juga diputar di rumah-rumah atau di tempat orang bekerja, seperti di penggergajian dan pembakaran gamping.
Saya tidak pernah bisa menyukai musik tayub, dan selalu gagal setiap mencobanya. Namun, karena hampir setiap saat mendengarnya diputar, saya setidaknya menghapal salah satu yang paling populer, dan tidak lupa sampai sekarang:
E-e, ana perawan ayu
Mripat bunder karo plerak-plerok
Tak takoni mesem-ngguyu
Bareng kenal jenenge Palupi
Pelantunnya siapa lagi kalau bukan Endang Mursiah.
Ketika Petinggi Sulhan tidak terpilih lagi sebagai kepala desa, kira-kira sekitar 1992, pamor tayub tidak langsung anjlok, meskipun mengalami penurunan kepopuleran dan frekuensi tampil. Ketika sekitar sewindu lalu perwakilan Muhammadiyah dan NU bersepakat untuk menolak dilangsungkannya sebuah tanggapan tayub, sejak itu saya tak menemukan lagi tanggapan tayub di desa saya. Untuk membuat perbandingan yang menarik, lenyapnya (gelaran) tayub dari desa saya terjadi ketika selama tiga dekade terakhir, puncak kepemimpinan politik dan administrasi desa dipegang oleh kalangan Nahdliyin.
/4/
Tanggapan tayub telah hilang tak kurang dari sepuluh tahun terakhir. Tapi, musik tayub tetap terdengar dari speaker-speaker hajatan, juga rumah-rumah. Dan teman-teman sebaya saya, yang kini sudah menjadi bapak-bapak dengan kualifikasi yang cocok untuk penggemar tayub, masih kerap bercerita bahwa mereka baru saja menonton tayuban dari desa tetangga—meski saya belum mendengar nama baru yang menggantikan Endang Mursiah. Hal yang sama tak terjadi dengan wayang. Wayang tampaknya sudah tidak ditonton, juga tak dibicarakan.
Dalam percakapan dengan seorang teman sekampung, faktor yang segera tampak menjadi penentu adalah soal kedekatan. Desa saya, yang hanya berbatas dua desa di sebelah barat dengan wilayah Tuban, bagaimana pun, memang masuk area edar tradisi tayuban. Tuban memiliki sangat banyak grup tayub, dan karena itu lebih mudah dan tampaknya relatif lebih murah dibanding wayang. Hal itu memudahkan tayuban ditonton dan dikonsumsi. Wayang musti dicari ke daerah-daerah yang jauh di selatan atau barat, atau bahkan mesti ke sekitar Solo atau Jogja.
Sementara tayuban mendapat tentangan dari kalangan agama, dan mesti berjuang melawannya, wayang tampaknya tak mengalami itu. Saya tak pernah mendengar orang mejid-an bicara buruk tentang wayang, tidak di dalam khotbah-khotbah atau pengajian, tidak juga dalam obrolan. Namun, dalam kasus desa saya, sepertinya wayang tak memiliki jenis kelompok sosial tertentu yang membela dan merasa berkepentingan menjaganya, sebagaimana tayuban punya wong warungan.
Sama-sama awam atasnya, saya bayangkan, tak seperti para penyuka tayuban yang terkesan lebih entengan, sing penting rame, kadang dengan fokus perhatian dan pembicaraan pada hal yang bersifat seksual, semisal “sindire ayu gak” (apakah penarinya cantik atau tidak), penyuka wayang tampaknya membutuhkan tingkat sofistikasi tertentu. Anda mesti memiliki seperangkat pengetahuan tertentu untuk memilih satu lakon wayang dibanding saat rekues tembang “Perawan Ayu”, ya ‘kan?
Sekeras apa pun para pengklaim yang menyatakan bahwa Islam dan wayang adalah dua keping mata uang, keberjarakan (atau boleh jadi hubungan saling menegasikan) antara wayang dan kalangan santri adalah kenyataan yang mesti diakui.
Sekeras apa pun para pengklaim yang menyatakan bahwa Islam dan wayang adalah dua keping mata uang, keberjarakan (atau boleh jadi hubungan saling menegasikan) antara wayang dan kalangan santri adalah kenyataan yang mesti diakui. Dan inilah yang terjadi di tempat saya—dan saya kira bisa kita pakai untuk membuat gambaran lebih besar untuk wilayah yang lebih luas, setidaknya mencakup tiga kabupaten di Pantura Jawa Timur (atau mungkin bisa lebih diperluas lagi). Padahal, di luar kalangan santri, yang tersisa adalah minoritas “abangan”, yang malangnya, “hanya” cocok dengan tayuban. Sementara, dalam masyarakat tegalan yang terpapar kebudayaan nelayan dan punya hubungan yang khas dengan hutan, masyarakat seperti desa saya tak memungkinkan akan melahirnya priyayi kecil, seperti yang tercipta di masyarakat di bekas kota-kota kolonial, dan pada saat yang sama belum mampu melahirkan kelas sosial baru yang karakternya mendekati itu, katakanlah Pegawai Negeri.
Upaya mriyayeni, atau setidaknya terlihat seperti itu, yang dilakukan oleh Petinggi Sulhan, misalnya, tidak bertahan. Mungkin karena upaya itu punya keterkaitan dengan cara beroperasinya kekuasaan pada level paling bawah di masa Orde Baru, sehingga ia tak bertahan manakala Orde Baru jatuh. Atau, boleh jadi, ia adalah sebuah ujicoba lemah dari seorang elit lokal berkarakter santri dari sebuah desa tegalan, yang kemudian tak memiliki cukup pesona untuk diteruskan oleh penerusnya yang juga santri. Saya lebih cenderung ke kemungkinan pertama, meskipun kedua-duanya bisa saja terjadi secara bersamaan.
Faktor keberjarakan dan tidak munculnya kalangan yang pembelanya, menjadikan wayang tidak muncul dengan karakter edi-peni-nya (ketinggian mutu musik dan susastranya, karakter didaktiknya, tapi terutama kakayaan filsafatnya dan segala atribus magis-mitisnya). Ia, seperti yang saya sebut di depan, pada akhirnya hanya tinggal sebagai tontonan rakyat yang biasa, alias budaya massa. Dan untuk itu, wayang mesti menghadapi tarung bebas dengan budaya massa lain. Pada akhirnya “pasar”-lah yang menentukan. Jika ia tak memiliki karakter seliat tayuban, coba bayangkan bagaimana ia melawan koplonya Sodiq atau ceramah Anwar Zahid.
Sampai di sini, saya pikir kita bisa menambahkan faktor-faktor lain, yang lebih berlaku umum, juga yang lebih kompleks, yang membuat wayang mesti berjuang lebih keras untuk mempertahankan eksistensinya dan mendapatkan audiens baru, bahkan di tempat-tempat wayang memperoleh pemujaan dan penghormatan lebih besar.
/5/
Saya dididik oleh orangtua yang membenci tayuban, tak pernah membicarakan wayang, dan mengajari beberapa saja kosa-kata bahasa Jawa madya untuk perangkat menghormati orang yang lebih tua, dengan sesekali peringatan: “mbok karo wong tuwo iku basa” (jika bicara dengan orang tua berbahasalah yang baik). Selebihnya adalah mengaji dan shalat, shalat dan mengaji. Dan, saya rasa, apa yang saya alami dialami oleh anak-anak di desa kami. Dengan kata lain, jelas sekali, dibanding dididik menjadi Jawa, kami tampaknya lebih dididik untuk menjadi Islam.
Tapi, apakah hidup kami sekering itu, dan kemudian kami tumbuh menjadi orang Jawa yang tak memiliki kebudayaan? Saya harap tidak, dan saya kira tidak.
Bapak saya pencerita yang bersemangat. Dan di antara cerita para Nabi, juga kisah-kisah sejarah yang ia sukai, juga tentu saja tentang sepakbola, ia bercerita tentang musik yang ia sukai, pentas Rhoma Irama yang pernah ditontonnya, kisah di balik perceraian Rhoma Irama dan Veronica, kisah tentang Orkes Melayu Sinar Kemala dan proses perpecahannya dan kelak menjadi apa saja, kisah di balik pernikahan Muchsin Alatas dan Titiek Sandora, dari mana asal A. Rafiq, dari mana asal Koes Plus dan kenapa mereka bernama begitu, dan masih banyak lagi. Ketika saya bisa membaca, salah satu buku pertama yang saya baca adalah buku tulis kecil berisi lirik-lirik lagu Melayu yang ditulis dengan tangan bapak saya sendiri. Ya, pembenci budaya profan ini rupanya menyimpan ketertarikan dengan keprofanan yang lain. Lagu-lagu seperti “Kudaku Lari”, “Hilang Tak Berkesan”, “Boneka India”, “Di Lembah Duka”, “Anjing dan Sampah” mungkin sudah saya kenali liriknya sebelum benar-benar mendengar lagunya. Meski kami baru memiliki tape rekorder saat SMA, saya kira kepala dan terutama kuping saya sudah dipersiapkan untuk musik.
Teman-teman yang langsung mendapati tape rekorder di bufet rumah mereka begitu lahir, saya kira jauh lebih beruntung. Mereka sudah mendengar suara Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Ida Laila, A. Rafiq, Nasidaria, juga suara Kartolo sejak kecil. Sementara teman yang tak punya bapak pencerita dengan album lagu dalam tulisan tangan dan juga tak punya tape rekorder, mereka tumbuh di antara tetangga-tetangga yang memutar lagu-lagu Rhoma Irama, Ida Laila, dan Nasidaria, baik dari tape rekorder daru rumah-rumah, maupun speaker-speaker hajatan.
Keluar rumah, di usai yang sangat dini, saya terpukau dengan misri yang dimainkan dengan serius oleh kakak-kakak baya saya. Digelar dengan tata panggung mini, sebab dibuat, dimainkan, dan ditujukan untuk anak-anak, lengkap dengan tata cahaya dari lampu senter dan berko sepeda, yang dinyalakan dengan batu baterei kering yang dirangkai sangat panjang setelah sebelumnya dipukuli (yang diyakini bisa menaikkan dayanya yang sudah habis), misri memainkan lakon-lakon pendek yang dicuplik dari cerita-cerita ludruk yang populer. Saya pikir, ini boleh jadi sejenis tafsir dan peniruan tidak lengkap dari kesenian gambus misri (gambus dari Mesir) yang banyak dimainkan di kota-kota santri di Jawa Timur—dan saya tidak tahu bagaimana ia bisa sampai ke sebuah desa tegalan. Meski segera saja lenyap, barangkali karena butuh dikerjakan dengan sangat serius—bahkan untuk yang bukan anak-anak, ia meninggalkan kesan yang dalam.
Cerita dari misri yang digarap kakak-kakak baya ini mendekatkan kami pada ludruk, lalu membuat kami bertekuk lutut di depan sandiwara radio. Di sisi lain, bersama dengan layar tancap film-film Rhoma Irama, mereka memperkenalkan kami lebih dini kepada tontonan dengan cerita profan, mendahului film-film perjuangan yang diputar pemerintah bersama kampanye Keluarga Berencana, Film Cerita Akhir Pekan TVRI, dan akhirnya film-film Suzanna dan Barry Prima dari video-video yang ditanggap orang punya hajat.
Cerita dan tontonan, yang tampaknya tidak dilanjutkan oleh tradisi membaca dan tak didukung keterjangkauan bioskop (malah kemudian bioskop kota-kota kecil bertumbangan karena monopoli Grup 21 di awal ‘90-an), tak pernah bisa keluar dari kerangka televisi setelah benda itu muncul di ruang tamu rumah-rumah dan segera menjadi penguasai. Tapi musik yang kami warisi dari orang tua kami adalah pondasi tempat berdirinya musik-musik kami selanjutnya.
Kemelayuan selera orangtua kami membuat musik rock meleleh Malaysia menepi dengan mulus, apalagi setelah desa kami menjadi salah satu sentra migrasi.
Kemelayuan selera orangtua kami membuat musik rock meleleh Malaysia menepi dengan mulus, apalagi setelah desa kami menjadi salah satu sentra migrasi. Musik Dangdut memudahkan kami memamah dan merayakan musik India. Koplo masuk dengan catatan dan resistensi, tapi pada akhirnya diakui juga dan menemukan pendengar barunya. Sementara musik kasidah yang berhenti di Nasidaria, di “Tahun 2000”-nya, membuatnya tak pernah tergantikan.
Musik-musik lain bisa datang dan pergi, berkembang, berubah, atau sekadar bersiasat untuk bertahan menjadi bagian dari keseharian kami. Tapi, jika bicara speaker hajatan, yang walaupun mulai didesak oleh jenis sound system tetap menjadi pilihan utama, maka musik seperti berhenti berkembang. Sinar Kemala, Awara, dan Soneta masih terus saja diputar dan mendominasi. Nasidaria tetap menjadi penanda pagi dan petang. Ketika siang bolong, jika bukan Koplo yang mencuri kesempatan, musik tayub masih sayup-sayup terdengar, meski sekarang mereka berbagi tembang dengan campursari dan Dangdut Koplo. Ludruk, yang tampaknya alpa memindahkan rekaman-rekaman kasetnya ke kepingan CD atau ke file MP3, mulai menjadi jarang.
Begitulah, kami adalah orang Islam Jawa yang berbudaya dan menikmati kesenian. Mungkin sedikit berbeda. Boleh jadi tampak rendahan, tidak dalam dan rumit, atau bahkan nirfaedah. Tapi, begitulah adanya kami.
/6/
Kalimat terakhir di bagian sebelumnya saya tulis dengan kerendahan hati, sedikit bumbu ironi, tapi yang jelas—sebagaimana yang tampak—ia adalah bentuk rasa rendah diri. Ia tak berbeda nadanya dengan saat kebanyakan orang Pantura dan nyaris seluruh Jawa Timur mengakui dirinya “kasar”, sembari mengglorifikasi sifat “jujur” yang sebenarnya tak selalu bisa dibuktikan. Ia juga senada dengan saat Kartolo dkk. bicara tentang betapa rumitnya “cara kulonan” (cara orang sebelah barat) dalam lawakan mereka.
Sepertinya, sekolah dan pengetahuan mengajari kami untuk demikian.
Di kelas 2 SD, saya masih ingat ketika diberitahu oleh guru saya yang berasal dari Magetan bahwa sebagian bahasa Jawa krama yang diajarkan para orangtua kami ke anak-anaknya salah kaprah—saya pikir, itu adalah untuk pertama kalinya saya mendengar frasa tersebut diucapkan. Katanya, memberi contoh, kalau dangu itu artinya bukan bengi tapi suwe, sementara krama dari bengi, yaitu dalu justru dipakai secara ngoko untuk menggantikan kata sore.
Apakah yang diajarkannya salah? Tentu saja benar. Lagipula, ia seorang guru yang didatangkan dari tempat yang sangat jauh, mana mungkin dia salah. Dan karena itu, sejak itu saya menaati nasihatnya, ber-krama seperti yang dinasihatkannya. Kadangkala, saya bahkan memberitahu orangtua saya atau orangtua teman tentang kesalahan dari apa yang mereka ajarkan kepada anaknya-anaknya. Yang salah adalah: ia membuat seorang bocah meyakini bahwa masyarakatnya adalah orang Jawa yang kurang beradab, yang para orangtuanya bahkan tidak bisa mengajari anak-anaknya basa yang benar.
Saya mungkin berpikir terlalu berlebihan. Tapi apakah seberlebihan itu? Saya kira tidak. Saya tidak berharap bahwa guru yang saya hormati itu berpikir demikian, tapi saya tak akan kaget jika memang benar demikian. Sebab, bukankah demikian yang dipikirkan oleh para guru yang dikirim ke daerah-daerah “terpencil”, dari masa entah kapan sampai sekarang? Mereka ingin memberadabkan kami. Dan langkah pertama untuk menuju ke sana itu adalah dengan menunjukkan kepada kami betapa tak beradabnya kami.
Maka, diajarilah kami “dadi wong Jawa” dengan buku-buku yang ditulis dan dicetak di Solo atau Klaten, atau sekitarnya, atau yang menyerupainya. Kami diperkenalkan dengan “bahasa yang benar”, yang disusun dan diciptakan “para leluhur”, yang sebenarnya itu sama sekali baru bagi kami, sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau bahasa-bahasa lain yang diperkenalkan oleh bangku sekolah.
Jika ada guru yang berpikir demikian, tentu saja tak ada yang salah. Sebab, negara, lewat kementerian pendidikan, niscaya juga berpikir demikian—dan saya kira hal itu berlaku sampai sekarang. Maka, diajarilah kami “dadi wong Jawa” dengan buku-buku yang ditulis dan dicetak di Solo atau Klaten, atau sekitarnya, atau yang menyerupainya. Kami diperkenalkan dengan “bahasa yang benar”, yang disusun dan diciptakan “para leluhur”, yang sebenarnya itu sama sekali baru bagi kami, sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau bahasa-bahasa lain yang diperkenalkan oleh bangku sekolah. Di buku, kami diperkenalkan dengan kota-kota yang jauh, macam Muntilan atau Kutoarjo, yang terdengar sangat Jawa, meskipun boleh jadi kami tak akan pernah ke sana seumur hidup kami. Di buku, kami tak menemukan kota-kota yang lebih dekat dengan kami, macam Tuban, Gresik, atau Bojonegoro, atau bahkan Surabaya, yang ingin kami kunjungi karena di sana ada pasar yang ramai atau ada rel sepur, hal yang tak kami temukan di tempat kami. Mungkin karena kota-kota itu tak cukup Jawa.
Seperti kebanyakan hasil kerja pendidikan kita, tampaknya upaya itu tak pernah berhasil. Kami tak pernah bisa dibina “dadi wong Jawa” yang lebih benar. Setelah berpuluh-puluh tahun, kami tetap memakai kata dalu sebagai ngoko yang menggantikan sore dan dangu untuk malam: peladang masih mengajak keluarganya pulang dengan bilang “ayo mulih, wis dalu”; tamu yang mohon pamit kepada tuan rumah karena waktu sudah malam akan bilang “sampun dangu, nyuwun pamit”. Kisah Bima Bungkus yang saya baca di buku ajar Bahasa Jawa kelas 4 SD/MI terbitan Intan Pariwara tak bisa saya ingat detilnya, jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Brama Kumbara yang kami dengar dari radio. Saya masih menghapal baris-baris Gambuh yang diajarkan di kelas 6 MI, tapi saya akan jauh lebih bangga kalau di depan teman-teman saya ngopi bisa mengulang dialog Wadeng (lengkap dengan logat Tapal Kudanya) kepada Kompeni dari cerita ludruk Jaran Putih Mayang Seto. Tapi, stereotipe tak terkatakan bahwa kami ber-Jawa secara salah, dan oleh karena itu mesti dibenarkan, tak tahu tradisi nenek moyang yang adi-luhung, tertinggal dan membekas.
Kami, yang “di ujung utara” ini, seperti lirik lagu Jhonny Iskandar, memang (Jawa) “berlumur dosa”. Tapi, karena hanya inilah yang kami punya, bolehlah kami memujinya. Dan untuk itu, izinkan saya meneruskan bernyanyi:
Bagiku dirimu bagai mutiara,
Walaupun berkubang di dalam lumpur yang hina…
Jomblangan, 27 Januari 2019
***
Lihatlah kepada kelir, cermin kehidupan ini. Bayang-bayang siapakah yang terpantul di dalamnya? Apakah kita asing terhadapnya? Lihatlah dan perhatikan tindakan dan ucapan kita. Mari kita kenali. Kewajiban manusia yang pertama dan utama adalah meyakini dan mengenal Tuhan dengan sepenuh hati, jiwa, pikiran, dan tenaganya. Betapa krusial masalah pengenalan akan Tuhan ini, namun banyak manusia yang tidak tahu, lupa, abai maupun ingkar. Tanpa keyakinan dan pengenalan, maka bagaimana manusia akan mencapai kesejatian dirinya?
Tergerak oleh kasih sayang terhadap manusia yang terhijab ini, para Walisanga, terutama Sunan Kalijaga menciptakan suatu seni pertunjukan Wayang purwa yang menghibur, namun sangat intens dalam mengajak dan mendidik masyarakat mengenali asal-usulnya dan memperoleh jati dirinya.
“Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu“
(Siapa yang mengenal dirinya, maka dia sungguh mengenal Tuhannya)
Wayang adalah bayang-bayang diri dalam kehidupan, sekaligus spektrum perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Oleh karena itu, kalau orang menonton pagelaran wayang, sebetulnya bukan melihat semata gerak-gerik gambar wayang, melainkan bayangan dirinya sendiri.
Sebagai cermin, pagelaran wayang menggambarkan suatu pergulatan keras di dalam diri setiap manusia untuk mencari dan mencapai kesempurnaannya. Medan Kurusetra, tempat pertarungan para ksatria melawan semua kecenderungan jahatnya, tidak bertempat di mana-mana, melainkan di dalam diri manusia. Bharatayudha bukanlah perang antar saudara di luar sana, melainkan peperangan melawan nafsu angkara murka di dalam diri, karena kerinduan ruhani kepada Tuhan (Brantayudha). Wayang adalah medium pengenalan sekaligus otokritik diri. Menggelar wayang adalah perjalanan ziarah di dalam diri, untuk introspeksi, menggali nilai-nilai diri sekaligus mencari jalan pelepasan ruhani dari belenggu dan tipu daya hawa nafsu, baik hewani maupun syaithani.
Mari kita cari dan kenali. Sembilan tokoh utama dalam lakon-lakon wayang menggambarkan 9 (sembilan) unsur atau organ utama di dalam diri. Sebagaimana 9 tokoh ini merupakan pelaku utama di dalam pagelaran wayang, maka 9 unsur diri ini pula yang menentukan kepribadian kita. Apakah kita mengenalinya? Kalau kita perhatikan karakteristik Pandawa Lima pemeran utama dalam sebagian besar lakon-lakon wayang Brantayudha, maka akan berkelibatlah bayangan atau simbol dari lima indra, organ luar dari diri kita, yang merupakan tampilan utama dalam pembentukan dan perwujudan dari kepribadian kita. Yudistira, yang pantang berbuat salah dan jalannya melayang di atas tanah adalah gambaran dari Pernafasan (hidung) kita, yang tidak sudi mencium bau busuk dan senantiasa menghidupi diri kita dengan menghirup udara yang melayang di atas tanah. Bima, yang cenderung langsung bertindak begitu mendengar suatu berita, adalah Pendengaran (telinga) kita yang cenderung terpengaruh oleh informasi yang masuk tanpa mau repot-repot membuktikan kebenarannya terlebih dahulu. Arjuna yang tampan dan banyak mengawini perawan cantik putri begawan yang ditemuinya, adalah lambang Penglihatan (mata) kita, yang tatapannya sering menjadi acuan ketampanan/kecantikan kita dan membuat kita kokoh menyatu (kawin) dengan lingkungan sekitar tempat kita berada. Kembar Nakula, sang penjaga istal kuda dan utusan untuk menyampaikan pesan-pesan penting kerajaan, adalah gambaran indra Perasa dan Bicara (lidah) kita. Dan kembar Sadewa yang sering tinggal untuk menjaga rumah adalah pralambang indra Perasa/Peraba/Pelaksana (kulit) kita yang setia menjaga diri kita dari panas-dingin cuaca dan melaksanakan tindakan-tindakan segala rupa.
Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan.
Sementara itu, para Pandawa di atas, tidak akan menjadi satu kesatuan utuh yang tangguh di dalam menghadapi musuh-musuh, kalau tidak ditunjang secara langsung atau tidak langsung, tampak atau tersembunyi, oleh peran rumit dan kompleks dari 4 (empat) tokoh utama lainnya. Dia adalah Karna, saudara sulung Pandawa yang dibuang dan hidup di lingkungan para Kurawa. Kompleksitas situasi yang dihadapi dan bagaimana menempatkan diri di tengah silang sengkarut percaturan posisi yang diperankan oleh Karna, melambangkan Keseimbangan diri kita. Karna menyadari keterbuangan diri tetapi tidak kehilangan kasih sayangnya terhadap para saudara di satu sisi, dan di sisi lain menjalani keharusan hidup di lingkungan Kurawa yang serba jahat dengan tanpa kehilangan orientasi diri kepada kebenaran sejati. Itulah peran kompleks dan tersembunyi dari Keseimbangan, organ diri kita yang paling sering diabaikan, yang terletak di dalam dan di antara dua telinga (karno) kita.
Kemudian Sembadra, adalah seorang putri yang cantik, berkulit kuning langsat dan berperangai sangat halus. Terkenal dalam kisah Sembadra Larung, cerita tentang Sembadra yang dihanyutkan mengikuti aliran sungai agar terbebas dari nasib buruk. Putri cantik yang halus ini adalah Perasaan atau Rasa Hati kita, yang sangat sensitif yang mudah tersinggung, mudah marah, sehingga perlu dilarung agar lebih tahan uji terhadap godaan yang kita dengar maupun yang kita lihat. Selanjutnya, Kresna tak diragukan lagi adalah tokoh yang menentukan. Ia menjadi sumber rujukan dan kekuatan Pandawa di dalam memahami situasi, mengatur siasat dan strategi, juga menjadi senjata pamungkas dalam situasi tak terkendali. Tak pelak, Kresna melambangkan Pikiran (akal) kita, organ dalam yang pintar, cerdik, bijak, namun terkadang licik. Tokoh kesembilan adalah Baladewa, berbentuk putih bersih, memiliki senjata Nenggala, adalah tokoh yang tidak ada bandingannya. Andai saja di dalam Baratayudha, Baladewa sampai berpihak pada Kurawa, tak mungkin Pandawa akan mampu memenangkan perang itu. Putih bersih yang tak tertandingi inilah yang harus kita upayakan bagi Batiniah kita.
Itulah kesembilan tokoh dalam kisah wayang, pralambang dari kesembilan unsur utama diri kita. Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan, adalah Ruh yang hadir sebagai unsur kesepuluh, menggerakkan diri kita untuk mengarungi jagat kehidupan.
Apakah kita selama ini menyadari kehadiran dan gerak-gerik 10 tokoh atau unsur itu di dalam diri kita? Bagaimana mereka saling menunjang harmonis atau saling mengabaikan, bertentangan dan konflik? Kesatuan harmonis di antara mereka tentu akan membuahkan perilaku kita yang mengarah kepada kebenaran, dan sebaliknya pertentangan di antara mereka cenderung akan menghasilkan tindakan kita yang mengarah kepada kesalahan/kesesatan, yaitu kepada kemenangan para Kurawa yang merupakan simbol dari kecenderungan jahat di dalam diri kita yang berjumlah 100 ini.
Melalui Pagelaran Wayang, para wali memberikan kepada kita kunci-kunci untuk mengharmoniskan kesatuan unsur-unsur utama diri, dan bagaimana memenangkan pertarungan terhadap para Kurawa yang penuh dengki. Dalam hal ini, Jamus Kalimasada adalah pusaka utama Pandawa, yang mesti melekat pada Yudistira, yang membuat mereka tak terkalahkan. Jamus Kalimasada adalah simbol dzikir, eling atau ingat kepada keagungan Tuhan, sementara Yudistira adalah Pernafasan kita. Hal ini mengandung ajaran bahwa kunci utama kesatuan unsur di dalam diri kita adalah apabila dalam setiap tarikan nafas kita mesti dibarengi upaya dzikir atau ingat kepada Tuhan, sebagai ungkapan syukur yang melekat dalam diri.
Dzikir atau ingat kepada Tuhan bukanlah ucapan Lidah, tetapi mesti menggema di dalam Batin. Oleh karena itu, di dalam wayang, batin kita yang dilambangkan oleh tokoh Baladewa, ia berkulit putih, dan selama berlangsungnya Bharatayudha dia mesti diikat di dalam goa “Grojogan Sewu” (seribu air tejun). Sebuah ajaran kunci, bahwa untuk mengalahkan angkara murka yang berjumlah 100 itu, batin kita mesti putih/suci oleh guyuran “air terjun dzikir” yang kekuatannya 1000 atau 10 kali lipatnya.
Kesatuan harmonis antara Yudistira dan Baladewa, atau Pernafasan dengan Batin di dalam diri kita ini pada gilirannya akan menerangi dan mendorong unsur-unsur lain di dalam diri supaya menyatu harmonis. Karna atau Keseimbangan kita akan bekerja keras untuk menyatukan hubungan-hubungan kompleks antara Penglihatan, Pendengaran, Perasaan, dan Pikiran. Buah dari keseimbangan itu semua adalah keputusan-keputusan yang mengarahkan kepada ucapan dan tindakan diri kita yang seimbang dan berorientasi kebenaran.
Demikianlah, kalau misalnya kita menghayati lakon wayang “Petruk Jadi Ratu”, sambil terhibur kita sebetulnya secara ironis sedang diajak untuk melakukan otokritik bagi diri kita sendiri. Sindiran yang jenaka, menyangkut perilaku kita semua yang (mungkin) sering berwatak seperti Prabu Whelgeduwelbeh. “Whelgeduwelbeh” adalah lambang dari perilaku heboh, menang-menangan, tidak peduli nasehat orang, namun pada saat bersamaan hampa makna, nihil nilai-nilai. Atau, perilaku yang nonsens. Itu semua lahir dari diri kita sebagai akibat dari hilangnya Jamus Kalimasada, yang tercuri persis pada saat para Pandawa dengan dibantu Kresna dan Baladewa sedang sibuk membangun candi, yang melambangkan bahwa orientasi dari diri kita sedang terarah pada ambisi kemegahan duniawi. Pada saat itu, kita lupa kepada Tuhan, dan tercerai berailah kesatuan unsur kita, karena kehilangan orientasi. Pada gilirannya, para pelindung ruhani kita pun menjauh, dan jadilah kita “Whelgeduwelbeh”. Na’udzu billah min dzalik.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Punokawan Itu?
Mereka adalah Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Seperti dapat kita pahami dari sebutan dan peran mereka sebagai punokawan (panakawan) di dalam pagelaran wayang, maka mereka adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan. Berbeda dengan Togog yang mendampingi para ksatria jahat, maka punokawan (Semar dan anak-anaknya) ini diceritakan selalu mendampingi para ksatria yang baik, yang selalu melakukan tapabrata dan berjuang menegakkan kebenaran.
Para punokawan digambarkan sebagai abdi atau penjaga, namun di lain sisi para dewa selalu bersikap hati-hati terhadap mereka. Siapakah sesungguhnya mereka? Punokawan itu bukanlah bayang-bayang kita, mereka tidak berada di dalam diri kita, tetapi berada di luar diri dan memang berperan sebagai penjaga perilaku kita. Di dalam hal ini, wayang tidak dimaknai sebagai bayang-bayang, melainkan mesti ditempatkan dalam makna aslinya sebagai “Ma Hyang” yang berarti: menuju pada ruh spiritual. Dalam penghayatan spiritual, punokawan adalah pralambang dari malaikat penjaga laku, yang menitis sebagai karang yang kokoh (Karang Tumaritis) menjaga ke-kesatria-an laku (perilaku yang baik). Secara singkat, dapat dikatakan bahwa inilah pralambang yang menggambarkan perwujudan dari janji Tuhan di dalam al-Qur’an: “wa man jahada fina lanahdiyannahum subulana”, (barang siapa bersungguh-sungguh di dalam mencari(kebenaran)Ku, maka Aku sungguh akan membimbing mereka kepada jalan-jalan yang mendekatkan kepada-Ku).
Semar, bermata redup dengan mulut berhias senyuman, adalah lambang dari penjaga lidah dan keseimbangan kita. Redup karena terbiasa menerima kedukaan dengan kesabaran, dan selalu tersenyum karena ungkapan kesederhanaan syukur saat menerima kenikmatan. Semar selalu berujar lembut, bijak, menuntun arah tata krama, membimbing laku rendah hati dan bersikap tak akan surut menghadapi ujian yang dihadapkan pada kita. Bentuk wayang Semar yang memiliki perut dan pantat yang besar merupakan bulatan, sebagai simbol kemampuan semar nguntal jagat (menelan dunia). Lambang ini mesti dibaca terbalik, sebagai peringatan agar lidah kita selalu bijak untuk tidak berlebihan melahap makanan yang disukai, yang justru bisa berakibat sakit yang panjang.
Petruk, yang berperawakan tinggi dan berhidung mancung, berjuluk “kantong bolong”. Ia melambangkan panjangnya jangka yang bisa kita tangkap dan cepat mencium gelagat, yang maksudnya kemampuan menyaring mana yang manfaat untuk dipikirkan dan mana yang tak perlu ditanggapi (bukan karena keputusan akal). Iya, Petruk adalah pralambang dari Penjaga telinga dan akal kita. Gareng, yang bertubuh pendek, bermata juling, berhidung besar, bertangan ceko, berkaki pincang dan bicaranya tak jelas, melambangkan Penjaga mata kita, supaya selalu instrospeksi. Ia selalu menyarankan kepada kita untuk hanya melihat yang pantas dan berorientasi pada kekurangan diri sendiri, tidak melihat segala kejelekan hanya ada pada orang lain. Bagong, diceritakan sebagai bayang-bayang dari Semar, tapi bertubuh lebih kokoh, figur wayangnya dilukiskan mirip Semar yang kelelahan, seperti terlalu banyak beban sehingga suaranya sangat berat. Bagong adalah pralambang kulit kita, tubuh kita. Ia terlihat kelelahan, adalah sebuah saran agar kita selalu ingat terhadap beban yang dipikul oleh kulit/tubuh kita sendiri, dan agar kita selalu berusaha menghadirkan keseimbangan (Semar) untuk meringankan beban kulit (Bagong) kita.
Punokawan (panakawan) adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan.
Demikianlah, orang Jawa meringkas kehadiran empat Punokawan yang mendampingi perjalanan kita di dalam mengarungi kehidupan ini dengan nama “Sedulur Papat Limo Pancer” (Empat Saudara, Kelima Pusat), yang menjadi pusatnya adalah sosok/pribadi yang berorientasi kepada kebenaran dan kebaikan, seorang ksatria. Selama seseorang berupaya keras mengharmoniskan 10 unsur dirinya, sehingga dia sungguh-sungguh di jalan kebenaran, maka 4 punokawan itu datang mendekat. Akan tetapi jika seseorang keluar atau mengabaikan jalan kebenaran itu, maka 4 punokawan pun akan menjauh.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Para Dewa Itu?
Mari kita cari, golekana. Banyak orang dari berbagai kalangan menganggap pagelaran wayang bersifat Hinduistik, karena di samping mengambil setting cerita Ramayana dan Mahabharata, di dalamnya juga banyak dimainkan tokoh-tokoh dewa, seperti Wisnu, Brahma, Indra dan lain-lain. Dan kemudian tanpa berpikir jernih dan mendalam segera mereka menganggapnya sebagai Hindu. Benarkah pendapat demikian?
Kalau kita cermati dan ikuti keseluruhan cerita/lakon wayang, maka akan kita dapati bahwa nama-nama “para dewa” disebutkan, namun tidak ada kultur pemujaan sebagaimana dalam konteks Hindu. “Para dewa” terus tampil dalam pertunjukan wayang, sedemikian rupa sehingga sejak berabad-abad lalu, orang-orang Jawa yang mengikuti dan menikmati pagelaran wayang tidak ada yang menjadi Hindu karenanya. Kenapa? Karena memang di dalam pagelaran wayang tidak ada pesan atau praktik kultus/pemujaan terhadap dewa. Bahkan, di dalam lakon-lakon wayang digambarkan Bathara Guru dan dewa-dewa lainnya berada di bawah supremasi dari Semar (yang sering dianggap sebagai representasi dari kepercayaan lokal).
Mereka tahu itu, karena di dalam cerita wayang “para dewa” itu digambarkan sebagai titah (makhluk), yang hubungan antar satu dengan lainnya itu berada dalam suatu genealogi (silsilah) turun temurun yang berpangkal pada Nabi Adam. Jadi, misalnya Bathara Wisnu dan Brahma itu merupakan anak-anak dari Bathara Guru. Bathara Guru (Sanghyang Manikmaya), bersaudara dengan Sanghyang Ismaya (Semar) dan Sanghyang Antaga (Togog), mereka adalah anak-anak dari Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal anak dari Sanghyang Wenang, anak dari Sanghyang Nurrasa, anak dari Sanghyang Nurcahya, anak dari Sayid Anwar, anak dari Nabi Sis, anak dari Nabi Adam AS. Silsilah semacam ini sama sekali tidak terdapat indikasinya di dalam kultur India maupun Hindu. Dan membingungkan para orientalis, namun tidak bagi orang (Islam) Jawa.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya.
Di samping itu, para dewa sering digambarkan berperilaku “sangat manusiawi”, bisa salah dan lupa, atau bahkan tidak berdaya/berkuasa. Seperti misalnya, Bathara Narada salah memberikan senjata Konta kepada Adipati Karna padahal maksudnya kepada Arjuna. Atau,”para dewa” di Kahyangan mereka tidak berdaya melawan Prabu Niwatakawaca yang menyerang dan bermaksud memperistri Dewi Supraba, dan mereka mesti minta bantuan kepada Arjuna untuk mengalahkannya. Atau, Bathara Guru tidak kuasa menahan hasrat seksual kepada istrinya Dewi Uma, dan memaksanya berhubungan intim di atas lembu Andini, kendaraan mereka yang sedang terbang di angkasa. Dewi Uma tentu saja menolak, dan akhirnya sperma Bathara Guru tumpah jatuh di samudera yang kemudian berubah menjadi Bathara Kala. Demikian seterusnya, sehingga di dalam kesadaran dan keyakinan orang-orang Jawa, tidak terdapat kultus dan sistem kepercayaan terhadap dewa seperti halnya di dalam keyakinan Hindu di India.
Oleh karena itu, hal-hal di atas mengarahkan kita untuk melihat kelebat bayang-bayang “para dewa” tersebut sebagai sebuah simbol atau pralambang yang acuannya bukan kepada sistem keyakinan Hindu di India, melainkan kepada konteks cerita di dalam lakon-lakon wayang itu sendiri. Maka akan kita dapati, di dalam lakon “Wahyu Makutharama” terdapat wejangan Begawan Kesawawidhi kepada Arjuna mengenai Hastabrata, yang merupakan ajaran untuk mendekat dan berterimakasih kepada 8 (delapan) unsur-unsur alam, yaitu angin, atau maruta (Bathara Bayu), tanah atau bantala (Bethara Wisnu), samudra atau tirta (Bathara Baruna), api atau agni (Bethara Brahma), matahari atau surya (Bethara Surya), awan/langit atau akasa (Bathara Indra), rembulan atau candra (Bethari Ratih), bintang atau kartika ( Bethara Ismaya).
Digambarkan pula di dalam pagelaran wayang bahwa kesatuan harmonis 8 unsur-unsur alam itu sebagai Cupu Manik Astagina, yang di dalamnya orang bisa melihat gambaran masa depan maupun masa lalu, kebahagiaan maupun kemalangan, di dalam kehidupan manusia. Ini mengandung pesan bahwa Kesucian, Transendensi, dan Kasih Sayang Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia unsur-unsur alam tersebut sebagai penunjang kehidupan, yang mana di dalam sejarahnya yang panjang, kesejahteraan maupun kebinasaan manusia tergantung bagaimana hubungannya dengan 8 unsur alam itu. Bahagia atau celaka, tergantung dari apakah ia berbuat baik dan semestinya terhadap alam atau sebaliknya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sorga dan neraka dunia ini adalah unsur-unsur alam tersebut. Kalau manusia berbuat baik, maka alam akan membuat manusia bahagia. Sementara kalau manusia berbuat jahat dan merusak, maka alam akan mengingatkan dan menghukum manusia dengan bencana.
Menikmati Wayang: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara
Tentunya kita tidak berangkat dari ruang kosong, pagelaran Wayang Kulit sebagai mana format, anatomi dan lakon-lakonnya yang kita kenal sekarang, benar-benar dirancang dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Walisanga. Antara bentuk dan isinya merupakan kesatuan utuh yang tidak terpisahkan, yang merupakan jejak dari kearifan para wali baik di dalam mengembangkan metode maupun menetapkan tujuan dari dakwah mereka, di dalam membangun peradaban Islam di bumi Nusantara, yaitu hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam (kesatuan Tuhan, manusia dan alam). Dan yang menarik adalah: hal ini telah menjadi keyakinan sebagian besar muslim Jawa hingga hari ini. Sebuah lentera pembimbing bagi muslim Jawa menjalani “suluk” laku hidup kesehariannya.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya. Dimulai dari upaya yang sungguh-sungguh di dalam menyatukan keselarasan dan kerjasama yang solid antara 10 (sepuluh) unsur diri, yang akan menghadirkan bimbingan (punokawan). Kemudian dengan mengarungi persahabatan dengan 8 (delapan) unsur alam, manusia akan ditunjang perjalanan ruhaninya untuk mendekat dan mencapai kebenaran Illahi.
Wallahu A’lam bis Showab
(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).
Tradisi pesantren sebetulnya terkait erat dengan wayang. Sejak adanya tradisi pesantren di Nusantara, wayang mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Di dalam Serat Walisana ada disebutkan para wali bermusyawarah di Pesantren Giri untuk merumuskan berbagai hal terkait dakwah Islam sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk bagaimana menggunakan wayang sebagai pemersatu masyarakat dari berbagai latar sosial dan keyakinan. Meski sebelumnya kemungkinan wayang digunakan sebagai alat pemanggil arwah, pada masa Walisanga fungsi wayang dikembangkan, dari semata ritual menjadi media edukasi masyarakat untuk menemukan jatidiri kemanusiaannya. Walisanga memodifikasi berbagai aspek-aspeknya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, menjadi sistem pagelaran yang mengajak penontonnya bercermin untuk mengenal hakikat diri dan kenyataan hidupnya. Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan). Memahami bagaimana pagelaran wayang bekerja sebagai “universitas kehidupan” yang menghibur dan membebaskan, berarti memahami salah satu aspek penting dari metode dakwah di dalam sejarah Islam di Nusantara. Dengan demikian, memahami wayang juga akan memperkokoh basis Islam Nusantara yang saat ini tengah menjadi isu penting bagi Nahdlatul Ulama.
Saat ini, para kiai dan santri milenial perlu mengenali kembali tradisi wayang. Kendala bahasa tidak dapat dijadikan alasan dalam memahami makna pagelaran wayang. Meski wayang menggunakan bahasa Jawa yang sulit dipahami remaja, ungkapan-ungkapan wayang masih dapat dipahami melalui ekspresi lakon, alur cerita, dan teks pembanding seperti komik wayang. Wayang bisa menjadi alat introspeksi diri. Tokoh-tokoh dari lakon wayang merupakan refleksi atas pergulatan unsur-unsur di dalam diri manusia. Menonton wayang itu menjadi alat memahami jalan kerohanian diri sendiri, karena tiap manusia memiliki seribu satu cara dan jalan menuju Tuhan. Anak-anak muda tidak boleh terlena dengan tradisi di luar dirinya. Sebab perilaku itu bisa membuat kita tidak adil terhadap tradisi sendiri, menjadi sebuah pengingkaran. Itulah yang mengakibatkan krisis jati diri. Maka para kiai dan kalangan pesantren perlu kembali mengakrabkan diri dengan wayang yang menjadi bagian penting dalam sejarah dan proses dakwah Islam di Indonesia. Kehadiran kiai dan pesantren diharapkan dapat mengembalikan pertunjukan wayang sebagai media dakwah, tidak hanya sebagai tontonan yang penuh gebyar namun membuat lengah secara rohani.
Wayang merupakan khazanah pengetahuan pesantren. Di dalamnya terdapat struktur ajaran dan kerohanian Islam yang total: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dan melalui wayang inilah Walisanga membangun dan menanamkan dasar-dasar ajaran Islam yang membuat kalangan pribumi alih-alih alergi dan phobi terhadap agama ini, melainkan bisa langsung merasakan manisnya substansi ajarannya di dalam nguwongke wong, memanusiakan manusia.
Para wali melakukan reformasi dan transformasi wayang menjadi lebih dinamis dan edukatif. Fungsi pertunjukannya yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menjadi media yang tepat untuk menyebarkan Islam ke berbagai pelosok. Melalui wayang, ajaran Islam yang dibawa langsung dari Arab maupun melalui para pendakwah yang berasal dari Persia, India, Cina dan sebagainya, dipadukan dengan berbagai unsur lokal maupun singular dari kenusantaraan kita, dipribumisasikan sedemikian rupa sehingga melahirkan komunitas Islam dari kalangan pribumi secara masif.
Memperkenalkan kembali wayang bisa dimulai oleh kiai dan santri yang ikut duduk menyimak pagelaran wayang semalam suntuk, meskipun belum sepenuhnya paham. Setidaknya menjadi simbol dan pesan pengayoman kepada masyarakat bahwa wayang adalah bagian dari tradisi Islam Nusantara. Kalau para kiai ikut menonton, tentu secara langsung maupun tidak langung akan terjadi interaksi yang dinamis antar berbagai komponen pagelaran wayang, dalang, wiyaga, pesinden dan penonton. Sinden mungkin akan menjadi lebih sopan dalam berpenampilan dan dalang juga mungkin di dalam membawakan lakon akan terdorong untuk belajar kembali lebih intens tentang makna lakon kaitannya dengan spiritualitas Islam. Sebaliknya, para kiai mungkin juga akan belajar tentang aspirasi kehidupan yang lebih luas dari berbagai kalangan yang lebih terbuka. Saya sangat mengapresiasi beberapa pesantren yang mulai mengajak kembali para santri untuk mempelajari hakikat pagelaran wayang ini.
Tiga Faktor
Ada tiga faktor yang membuat pesantren terkesan selama ini seolah-olah menjauh dari warisan Budaya para wali ini. Pertama, keterputusan. Sebelum penjajah Eropa datang, antara kraton dan pesantren itu satu kesatuan. Kraton didirikan untuk menyebarkan agama yang berbasis budaya. Para pangeran belajar kepada para kiai di berbagai pesantren. Namun, ketika kolonial masuk mengintervensi kraton-kraton nusantara, melalui proses devide et impera dengan strategi antara lain memisahkan budaya Jawa dengan keislaman, antara kraton dan pesantren mulai menjauh, hingga kemudian kraton dikendalikan oleh kolonial sehingga keduanya tidak menjadi satu kesatuan lagi dan terciptalah semacam dualisme: santri – abangan. Dalam hal ini, wayang dianggap sebagai budaya abangan yang tidak pantas ditonton oleh kaum santri di pesantren.
Keterasingan antara kiai dan pesantren dengan wayang, dimulai dari keterputusan dan keterbelahan jiwa di dalam sejarah Islam ini. Hal ini semakin mendalam terutama sejak merosotnya kesultanan Mataram sebagai pusat penyebaran budaya Islam, dan kemudian terbukanya terusan Suez pada tahun 1869 M, menjadikan arus pembelajaran keislaman yang datang dari Tanah Arab berlangsung semakin masif. Para santri mulai mempelajari Islam langsung dari khazanah dunia Arab dan melupakan berbagai media dakwah dan budaya pembelajaran dari para penyebar Islam masa awal, abad XV-an.
Kedua, dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, adalah terjadinya secara umum proses pembelokan orientasi para dalang. Banyak dalang yang terputus pengetahuannya dari sistem pengetahuan keislaman dan intensitas perkembangan spiritualnya pun memudar karena tercerabut dari akar. Dalang pada gilirannya menempatkan diri semata-mata sebagai artis hiburan dan menjalani kehidupan yang bebas. Pagelaran wayang pun mengalami “demoralisasi” ketika lakon dan gaya yang ditampilkan lebih menonjolkan aspek hiburan yang sensasional, pada saat yang bersamaan dengan memudarnya pula tingkat apresiasi terhadapnya sebagai acuan pengetahuan spiritual yang berbasis pada ilmu keagamaan.
Ketiga, puncak dari kedua faktor di atas adalah kelahiran sistem politik liberal pada era pasca-kemerdekaan di dalam negara kita, Republik Indonesia. Sistem politik ini ditandai dengan lahir dan berkembangnya beragam partai politik berdasarkan aliran, yang saling bersaing melalui pemilu untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin pemerintahan. Pembelahan jiwa bangsa di atas semakin parah ketika menemukan wadah (perangkap) institusionalnya di dalam partai-partai politik aliran ini, yang garis besarnya terepresentasikan dalam 4 partai pemenang pemilu tahun 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Masyumi dan NU merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum santri menjadi modernis – tradisionalis, sementara PNI dan PKI merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum abangan menjadi nasionalis – komunis. Wayang dan banyak kesenian tradisional lain yang sudah telanjur dikonotasikan sebagai kesenian abangan, bukan santri, semakin terperangkap di dalam keterasingannya ketika dijadikan alat kampanye sarana mobilisasi massa oleh partai-partai abangan seperti PNI dan PKI. Sebaliknya partai-partai santri seperti Masyumi dan NU untuk mengimbanginya banyak mengeksploitasi simbol-simbol keislaman yang cenderung berbahasa Arab atau bahkan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sarana penambang suara massa. Klimaks dari persaingan politik ini, sebagaimana telah diketahui bersama, adalah tragedi kemanusiaan bangsa kita dengan meletusnya peristiwa 1965 yang sangat traumatik itu.
Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.
Demikianlah, trauma peritiwa 1965 sebagai klimaks dari persaingan politik dalam sistem demokrasi liberal ini, sepertinya menjadi semacam kunci yang menutup rapat kesadaran kaum santri terhadap wayang kulit dan juga kesenian tradisi lokal lainnya, dan bahkan cenderung mengeluarkannya dari tradisi Islam. Tragis, produk kesenian karya para wali ini dianggap bukan bagian dari Islam, dan pada titik tertentu diharamkan. Maka kemudian seni di lingkungan pesantren mengalami masa kegersangannya, hingga kini seolah hanya mengenal hadrah dan kasidah sebagai seni yang bisa disebut sebagai “Islami”. Dan pada saat yang sama, dimensi “unthinkable” dari wayang semakin lebar menganga.
Banyak pihak turut memprihatinkan hal ini. Diperlukan upaya-upaya lintas disiplin dan sektoral yang berkesinambungan untuk mendekatkan kembali kesenian wayang kulit ini dari akar sejarah, tradisi, dan keilmuannya. Secara tidak langsung upaya-upaya ini juga akan menyumbang bagi ikhtiar mengutuhkan kembali keterbelahan jiwa bangsa ini. Tentu saja hal ini mesti dilakukan dengan terlebih dahulu menyadari, mengurai, dan mengatasi halangan-halangan yang ditimbulkan oleh ketiga faktor di atas. Kalau efek dari ketiga faktor di atas tidak dihilangkan, maka hubungan antara budaya lokal dan khazanah Islam yang menjadi akar tradisi dan keilmuannya, akan benar-benar terputus. Akibatnya telah dan akan terus muncul generasi yang ahistoris, kehilangan jati diri, lebih berakar ke luar dibandingkan kepada sejarah, tradisi, dan budaya sendiri. Dalam era globalisasi dewasa ini yang semakin massif dan mengasingkan, jiwa-jiwa terbelah dari generasi bangsa yang tercerabut dari akar tradisinya sendiri ini akan menimbulkan fenomena-fenomena perilaku yang tidak mendukung bagi cita-cita kita menjadi bangsa yang berkepribadian, maju, dan berdaulat.
11 Malam 11 Lakon 11 Dalang
Pada 2011, saya bersama teman-teman Lesbumi dan berbagai komunitas budaya di Yogyakarta, menginiasiasi Pagelaran Wayang Kulit menampilkan Lakon-lakon Ajaran Sunan Kalijaga selama 11 Malam dengan 11 Lakon dan 11 Dalang sebagai bagian dari rangkaian agenda Peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga (Memetri Luhuring Laku Sunan Kali) yang berlangsung pada tanggal 15 – 30 Juli. Kegiatan tersebut mengambil tema: “Meneguhkan Jatidiri Bangsa dan Hikmah Bhineka Tunggal Ika”. Pagelaran ini adalah bagian dari upaya untuk menghayati fungsi pagelaran wayang sebagai media edukasi, mengenali, merekonstruksi dan menyelami ajaran-ajaran mulia para leluhur. Pagelaran juga dimaksudkan menjadi ruang publik masyarakat lintas agama, suku, kelas dan golongan, di mana mereka tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi juga berinteraksi satu sama lain sambil berintrospeksi, serta kembali belajar tentang sejarah, tradisi, dan filosofi peninggalan para leluhur sendiri.
Pagelaran wayang dibuka dengan lakon “Lahire Bathara Kala” oleh dalang Ki Cermo Suteja. Disambung “Jumenengan Yudhistira” oleh Ki Mas Lurah Simun Cermo Joyo. Lalu lakon “Kumbayana” oleh Ki Mas Lurah Cermo Subronto. Lakon “Kartapiyoga Maling (Semar mBarang Jantur)” oleh Ki Hadi Sutikno. “Mustakaweni” oleh Ki Suwondo Timbul Hadiprayitno. “Dewa Ruci” oleh Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono. “Wahyu Makutarama” oleh Ki Edi Suwondo Gito Gati. “Gandawardaya” oleh Ki Sudiyono. “Semar Minto Bagus” oleh Ki Gunawan. “Pandu Swarga” oleh Ki Sutarko Hadiwacono. Dan ditutup dengan lakon”Pandawa Moksa” oleh dalang Ki Seno Nugroho.
Kalau kita cermati, deretan kisah wayang yang digelar selama 11 malam di atas, membentuk semacam serial yang menggambarkan siklus kehidupan, perjalanan manusia semenjak dari lahir, tumbuh berkembang, dewasa, hingga meninggal dunia. Di dalam masing-masing fase itu, kita diingatkan kepada tantangan-tantangan dan hambatan-hambatan yang bersifat jasmani dan rohani, yang mengiringi dan mengintai pertumbuhan kesadaran dan spiritual jiwa kita di dalam menggapai kesempurnaan, menumbuhkan kedewasaan, mematangkan integritas dan mengukuhkan jati dirinya.
Lakon “Lahire Bathara Kala” mengingatkan kita bahwa pada setiap kelahiran bayi yang sudah sewajarnya disambut dengan kegembiraan, namun mestilah dibarengi dengan kewaspadaan akan bahaya yang selalu mengintai dari Sang Kala. Lakon “Jumenengan Yudhistira” memberikan kita kunci penting bagi pertumbuhan orientasi dan kesempurnaan kemanusiaan kita, yaitu tentang potensi dari kejernihan yang dihirup oleh nafas kita yang mesti terus dilatih, dipupuk dan dikuatkan dengan laku syukur dan ingat kepada Sang Pencipta. Lakon “Kumbayana” atau “Durna Kajarwa” mengingatkan kita tentang bahaya dari hawa nafsu di dalam diri kita yang selalu berupaya menggagalkan dan menjerumuskan orientasi kemanusiaan kita ke dalam perilaku yang hina. Lakon “Semar mBarang Jantur” mengingatkan akan bahaya kesombongan dari pengetahuan dan pentingnya menggunakan rasa yang halus di dalam melihat fakta-fakta kehidupan. Demikian seterusnya hingga lakon “Dewa Ruci” yang merupakan puncak kedewasaan dan kematangan kesadaran seseorang, setelah melalui perjuangan berat menaklukan angkara, kemanjaan, dan kecengengan pribadi yang berakar dari hawa nafsu, menemukan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri yang murni. “Wahyu Makutarama” mengajarkan kepada kita tentang kebijaksanaan untuk menyatukan diri dengan unsur-unsur alam semesta, hingga akhirnya dalam lakon “Pandawa Mokswa” kita diajarkan tentang bagaimana meniti akhir kehidupan kita, memperoleh kematian yang baik (husnul khatimah).
Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”.
Lalu dua tahun kemudian, 30 September-10 Oktober 2013 kami menggelar acara serupa, menampilkan lakon-lakon yang menggambarkan pengetahuan tentang hakikat dan proses terbentuknya suatu tatanan kehidupan, dan bagaimana kita mesti menempatkan diri dan berpartisipasi di dalam menjaga dan mengarahkannya agar terbentuk relasi-relasi yang berkeseimbangan dan mensejahterakan. Baik itu relasi-relasi di dalam lingkungan geografis, ekologis, tata diri dan sosial hingga terbentuknya tatanan pemerintahan (ketatanegaraan) yang mampu untuk melindungi, menyeimbangkan dan mengarahkan. Pagelaran dibuka oleh Dalang Ki Suhar Cermo Djiwandono dengan kisah Makukuhan (Dumadine Gunung-gunung). Malam kedua hingga malam keempat, menampilkan dalang Ki Suwaji, Ki Sumono, dan Ki Suharno dengan lakon Watu Gunung (Dumadine Wuku, Dina), Romo Tundung, dan Senggono Duto. Malam kelima hingga malam ketujuh, menampilkan Ki Utoro Wijoyanto, Ki Sugeng Cermo Handoko, dan Ki Bambang Wiji Nugraha dengan kisah Lahire Sekutrem (Dumadine Gaman), Abiyoso Lahir, dan Sentanu Banjut. Malam kedelapan hingga malam kesepuluh, menampilkan Ki Sri Mulyono, Ki Wisnu Gito Saputra, dan Ki Danang Purbo Wibowo dengan lakon Gondomono Luweng, Lenga Tala, dan Bedahe Dworowati. Dan pada malam terakhir, menampilkan dengan Ki Udreka dengan kisah Jumenengan Parikesit.
Sebelum lakon-lakon wayang itu digelar, kami melakoni Lampah Ratri Merti Luhuring Laku Sunan Kali, yakni perjalanan malam demi menjaga dan memaknai tindakan luhur Sunan Kalijaga. Laku ini semacam napak tilas perjalanan Sunan Kalijaga dari Demak menuju ke arah Selatan, untuk mencari dan menentukan lokasi pendirian kerajaan Mataram Islam, demi mempertahankan dan mengembangkan budaya bangsa sebagai pusat peradaban, yang waktu itu secara internal sedang rapuh karena proses disintegrasi pasca-runtuhnya imperium Majapahit akibat perang saudara yang berkepanjangan dan semakin terancam dengan kedatangan bangsa Portugis yang menandai awal era kolonial. Perjalanan tersebut mengandung tiga makna, yakni tafa’ul (napak tilas), tafakkur (berpikir), dan tadzakkur (berdzikir). Kami mengambil air dari situs Sendang Banyu Urip, tempat Sunan Kalijaga pernah membersihkan, menginisiasi dan menempa wali-wali muda sebagai generasi yang melanjutkan tugas Walisanga. Selama berjalan peserta dituntut untuk diam, sambil membawa air sendang dalam kendi yang secara simbolik menggambarkan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri serta kemanunggalan dengan empat unsur alam yang terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Hidup manusia ditunjang empat unsur itu, tapi sering kali lupa. Lampah Ratri bertujuan untuk mengingat dan memikirkan hal itu, sembari berdzikir kepada Allah. Karena kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia juga ada dalam kesatuan dan keseimbangan empat unsur tersebut. Selama dalam perjalanan, peserta belajar dan menghayati lagi tentang hablun minallah (hubungan dengan Allah), hablun minannas (hubungan sesama manusia), dan hablun minal alam (hubungan dengan alam).
Perjalanan napak tilas tersebut sekaligus untuk mengingat kembali peran Sunan Kalijaga dalam proses pendirian Kerajaan Mataram Islam. Dalam Babad Matawis dipaparkan bagaimana Sunan Kalijaga membekali Sutawijaya (Panembahan Senapati) dengan sejumlah nasehat yang kelak menjadi dasar kepemimpinannya. Sunan Kalijaga adalah sosok yang menjaga proses krusial transisi kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram (Islam) sehingga tidak berlangsung secara destruktif. Beliau adalah tokoh lintas generasi dan arsitek budaya Islam Jawa, guru ruhani para raja sekaligus pelindung dan pembimbing keberagamaan kawulo cilik, di hampir semua aspek kehidupan, dan penanda puncak dari semuanya itu tergambar dalam kolaborasi harmonis beragam seni dan kisah di dalam pagelaran wayang kulit. Maka sudah sepatutnya sebagai bangsa yang kaya akan budaya lokal, tidak melupakan hubungan dinamis antara agama dan budaya seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan syiar Islam.
Nasehat Kepemimpinan Sunan Kalijaga
Sebelum mendirikan Kerajaan Mataram, Sutawijaya mendapatkan nasehat dari Sunan Kalijaga. Sebagaimana dipaparkan oleh peneliti sastra Jawa dari UGM Ratna Sakti Mulya, nasehat itu terdapat dalam Babad Matawis. Nasehat atau piwulang Sunan Kalijaga itu meliputi tiga hal.
Pertama, bekal hidup agar selamat lahir batinnya, yang dimetaforakan dengan pertumbuhan pohon Wijayamulya yang apabila ditanam dengan rasa kasih, diperlakukan sesuai tatanan yang berlaku, disiram dengan air supaya segar, maka pohon Wijayamulya akan tumbuh subur, berdaun, dan berbunga yang segar dan indah.
Dalam proses pembelajaran, ketika sedang melaksanakan pembelajaran tidak boleh keras kepala dan tidak membuat tatanan sendiri, melainkan harus dipenuhi dengan kasih sayang, kemauan, mantap hati, dan bersungguh-sungguh. Selain itu, perlu juga menyadari bahwa segala pengetahuan bermuara pada Allah, Tuhan Sang Maha Bijaksana.
Kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita.
Kedua, watak utama sebagai petinggi. Sunan Kalijaga memberikan nasehat bahwa watak utama seorang pemimpin adalah mengayomi dan menciptakan suasana nyaman bagi warganya. Selain itu, hendaknya para Petinggi membangun Langgar asri dengan persediaan air yang melimpah, menyantuni fakir miskin dan orang terlantar, para yatim piatu serta pendeta. Jujur dan malu kepada Tuhan dan sesama juga merupakan watak yang harus dimiliki para petinggi. Hal tersebut disampaikan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya, dengan harapan agar nasehat itu kelak disampaikan kepada para Petinggi Mataram.
Ketiga, mewujudkan kerajaan yang ideal. Nasehat kali ini dibingkai dalam sebuah cerita seorang Wiku di Gunung Rasa Mulya, kepada Raden Sujanadi dan kedua adiknya yang akan segera menjadi raja.
Wiku menyampaikan, bahwa jika kelak menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal, yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus, sareh, dan tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar, yang baik dan yang buruk.
Namun selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang-senang, berjudi hingga menghabiskan harta benda. Kedua, gemar bercinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan kewajibannya. Ketiga, suka berotak kosong, yakni sering menghabiskan waktu hanya untuk makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri.
Nasehat atau piwulang itulah yang dilaksanakan dan dipegang teguh oleh Sutawijaya selama memimpin kerajaan Mataram, sekaligus diwariskannya kepada para pemimpin setelahnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Kerajaan Mataram dapat bertahan sampai 500 tahun, berkat ajaran dari Sunan Kalijaga.
Mengenal (kembali) Wayang
Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf-paragraf awal. Pakeliran wayang kulit purwa diciptakan melalui kreatifitas para Wali. Tidak dari ruang kosong, melainkan ditransformasikan dari berbagai bentuk yang pernah ada sebelumnya, diiringi dengan berbagai gending gamelan, dihidupkan dengan kisah-kisah yang dirangkai, diadaptasi dan direka ulang dari berbagai sumber yang sudah dikenal maupun misterius, sehingga membentuk “sejarah” yang dihayati bersama dan menjadi konteks bagi proses pembentukan subyek-subyek kemanusiaan yang sedang diupayakan.
Banyak diskusi tentang kesejarahan wayang ini. Di kalangan akademisi Barat terdapat perbedaan pendapat tentang asal-usul wayang. Prof. Poensen, menyatakan teori bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu. Teori Poensen ini didukung pula oleh pendapat Prof. Vert yang menganggap bahwa Wayang dan Gamelan sangat dipengaruhi oleh peradaban yang lebih tinggi, yaitu Hindu. Namun teori ini disanggah oleh Prof. Niemann yang mengatakan tidak mungkin wayang berasal dari Hindu. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Brandes yang mengemukakan beberapa kenyataan bahwa orang Hindu mempunyai teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa dan hampir seluruh istilah teknis yang terdapat dalam wayang adalah khas Jawa, bukan Sanskerta. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, Brandes dan diperkuat oleh telaah Hazeu, berpendapat bahwa pertunjukan wayang tidak mungkin diambil dari Hindu.
Lebih jauh, seorang Indonesianis asal Belanda, Th.G. Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938) menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan Wayang Purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Walisanga terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.
Namun, banyak yang meragukan hal-ihwal di atas, walaupun mereka juga tidak bisa menjawab ketika ditanya balik: “Kalau bukan oleh para Wali, lalu oleh siapa wayang diciptakan?”. Mereka umumnya menyadari bahwa Pakeliran Wayang Kulit dengan segala unsur pertunjukannya sebagaimana dikenal sekarang ini belum ada pada zaman Majapahit. Jadi, tidak mungkin muncul diciptakan dalam zaman Hindu-Budha, apalagi melihat boneka-boneka wayangnya yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang terlarang untuk disembelih kultur Hindu. Namun di sisi lain, mereka menganggap kisah Ramayana-Mahabharata diambil dari kitab suci agama Hindu, sehingga mereka tidak habis pikir bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin Dakwah Islam dengan menggunakan Kitab Suci Hindu?” dan “Bagaimana pula para pendeta Hindu rela melihat Kitab Sucinya dijadikan bahan untuk Dakwah Islam?”.
Ngaji Wayang
Orang-orang tua dahulu menyebut pagelaran wayang kulit antara lain dengan sebutan pasugatan, yang berasal dari kata sugata, artinya guru. Jadi, mendatangi pasugatan wayang kulit berarti menghadiri suatu perguruan, yang tidak hanya menunjuk kepada tempat melainkan juga proses dan peristiwa berguru. Dalam hal ini, siapakah yang menjadi guru, di mana dan nilai-nilai apa yang diajarkannya? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dalanglah yang menjadi guru, dan yang diajarkannya adalah lakon (cerita, kisah) yang dimainkan di dalam kelir (layar, tirai). Oleh karena itu, dalang sering disebut sebagai orang yang ngudal piwulang (menyampaikan dan menguraikan ajaran).
Gambar: Ilustrasi Jantung dan Wahdatul Wujud (Oleh: Rahmat Affandi)
Menarik diperhatikan bahwa di dalam pakeliran, ajaran diuraikan dan sekaligus tersembunyi di dalam gelaring cariyos (rangkaian cerita). Oleh karena itu, seorang dalang dituntut kemampuannya untuk menemukan dan memahami inti ajaran di dalam suatu lakon dan dengan pemahamannya itu dia mengembangkan sanggit (kreatifitas pertunjukan) sehingga dapat diterima oleh penanggap dan para penontonnya dengan memuaskan. Di awal dan akhir pagelaran wayang, seringkali seorang dalang memainkan golek (boneka) di dalam kelir, sebuah ungkapan simbolik golekana (carilah), yang merupakan pesan kepada para penonton untuk mencari dan terus menggali makna-makna yang tersembunyi di dalam lakon yang sedang dan telah dimainkan.
Demikianlah, oleh para dalang yang piawai, cerita-cerita di dalam lakon dan wayang-wayangnya begitu hidup dan kuat membawa para penontonnya hanyut di dalam kisah yang dimainkan. Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”. Para bijak telah menyampaikan, bahwa keseluruhan unsur di dalam pagelaran wayang kulit itu adalah sasmita (lambang) yang menunjuk kepada keberadaan Tuhan. Lebih jelas lagi, bagaimana Tuhan bertindak, mencipta, dan mengatur alam semesta ini di belakang layar kehidupan.
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi di dalam Kitab Futuhat Makkiyah telah menyampaikan: “Barangsiapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di belakang layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu, menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini: kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berfikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.” Sebelum Syekh Ibnu Arabi, Imam Junaid (al-Baghdadi) sudah mengatakan, “supaya hamba di hadapan Tuhan bersikap sebagai sebuah boneka (sabah).”
Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan).
Demikianlah, dapat kita pahami, kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita. Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.
Pada titik inilah, pagelaran wayang menjadi suatu peristiwa “ngaji” yang sangat bermartabat, berbudaya dan bernilai seni tinggi. Oleh para guru di dalam masyarakat Jawa, ngaji dijabarkan sebagai sebuah ungkapan dari “ngangsu kaweruh marang Kang Sawiji” (menggali pengetahuan menuju ke Yang Satu).
Wallahu A’lam bis Showab
(Bersambung ke bagian kedua)
(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).
Islam Nusantara adalah Islam yang bersumber dari Kanjeng Nabi Muhammad, yang dipraktikkan, dipahami, dan dikembangkan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Nusantara, yang diteruskan hingga hari ini oleh generasi mereka. Islam Nusantara ini, adalah Islam yang memberi tempat kepada “Pribumisasi Islam”, atau Islam yang memberi tempat kepada ekspresi kebutuhan-kebutuhan lokal (dan ditambah nasional untuk keadaan sekarang, dan internasional) dalam perjumpaan dengan para pendakwah sebagai kreator dan penafsir, untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam konteks demikian, Islam Nusantara bisa bermakna Islamisasi dengan jalan “Pribumisasi Islam” atau mengembangkan Islam melalui Pribumisasi Islam.
Islam Nusantara, dengan demikian, berusaha mempertahankan fondasi tetapnya sebagai Islam, dalam prinsip-prinsipnya, nilai-nilainya dan ritual-ritualnya, sehingga memiliki ruang-ruang tertutupnya, atau ruang tetapnya. Selain itu, ada dimensi perjumpaan Islam dengan konteks lokal (nasional-internasional untuk keadaan saat ini) di masyarakat Nusantara. Perjumpaan ini memengaruhi kerja dan praktik budaya, politik-kenegaraan, ekonomi, dan berbagai kreatifitas untuk membangun peradaban masyarakat, sebagai ruang tertutup dan terbuka sekaligus, dalam kerja Pribumisasi Islam. Perjumpaan ini dihadapi dan disikapi melalui kreativitas-kreativitas Pribumisasi Islam, dalam menempatkan, menyikapi, dan menerjemahkan, juga mengembangkan antara ruang tetutup dan terbuka itu, sehingga kerja-kerja kreativitas itu menghasilkan “Khoshoish” tertentu.
Pribumisasi Islam sebagai konsep dalam ilmu sosial, berhutang budi kepada KH. Abdurrahman Wahid (Allahu yarhamhu), dalam beberapa tulisannya. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid ini, Pribumsiasi Islam bermakna “Dinamisasi Islam”, sekaligus mempertahankan nilai dan tradisi lama yang masih baik dan relevan, tetapi berarti juga penggantian atas nilai lama yang dianggap tidak relevan lagi. Dinamisasi berarti menjawab kebutuhan lokal (dan nasional-internasional saat ini) dengan tetap memanfaatkan ilmu-ilmu dalam tradisi Islam, sehingga tetap menggunakan ushul fiqh, kaidah fiqh, ilmu tafsir seperti asbabun nuzul, asbabul wurud hadits-hadits Nabi, dan semua ilmu perangkat yang berkaitan dengan itu.
Saya menyimpulkan, Islam Nusantara yang notabene adalah praktik pengembangan dan Islamisasi dengan jalan Pribumisasi Islam, dengan melihat beberapa bukti dan model di bawah ini:
Bungkus Lokal dengan Isi Islam Sunni
Model Kropak Ferrara. Pribumisasi Islam yang pertama dilihat di sini, dicontohkan oleh Kropak Ferrara, yaitu naskah yang menjelaskan etika Islam dalam bahasa Jawa Kuno, memuat sebagian ajaran Maulana Malik Ibrahim. Kropak Ferrara, yang diterjemahkan oleh GWJ Drewes menjadi An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Karya ini adalah karya yang menurut penelitian GWJ dan memuat ajaran Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M), merupakan karya (bukan nisan) yang bisa dibilang paling tua yang ditemukan hingga saat ini di kalangan para wali Jawa. Kropak Ferrara ini ditulis menggunakan media tulisan Jawa, dan dibunyikan juga bunyi Jawa. Naskahnya bersumber dari Jawa Timur, dan sudah ada di Universitas Leiden pada tahun 1597 (sementara Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419), yang berarti naskah itu sudah ada sebelum itu dan beredar di Jawa Timur. Dalam karya itu, Maulana Malik Ibrahim mengungkap aturan etika masyarakat Islam yang dibangun, dengan menggunakan media tulisan Jawa, dan dibunyikan juga bunyi Jawa.
Dari sudut isi, Kropak Ferrara dan wejangan Maulana Malik Ibrahim yang ada, sepenuhnya, etika Sunni Islam yang dipahami dari kitab-kitab Sunni (sebagian kitab ini disebutkan di dalam karya itu). Lalu dijelaskan menurut cara yang bisa dipahami dan digunakan sebagai pedoman para pendakwah Islam awal. Isinya, memuat etika yang memadukan akhlaq yang dikembangkan oleh para ahli tasawuf, tauhid, dan fiqh sekaligus, sebagai bentuk pengamalan penyempurnaan dan permulaan seseorang menjadi dan berlaku tasawuf. Tidak ada dalam karya itu menyinggung rujukan-rujukan khazanah Hindu Budha atau dari khazanah masyarakat Jawa yang berkembang pada saat itu. Maulana Malik Ibrahim, juga berusaha memasukkan kosakata dan diksi Arab yang penting, seperti ma‘rifatullah, sholat, inabat, masyayikh, dan beberapa yang lain, tetapi dominasi bahasa Jawa lama sangat kuat.
Variasi dari model ini, adalah cara terbaik mempertahankan cara hidup Islami Sunni moderat di dalam perkampungan muslim, di kantong-kantong muslim, yang kalau dalam kajian Tan Ta Sen (Ceng Ho, 2010), mereka ini hidup di tengah-tengah mayoritas non Islam. Mereka, para pendakwah Islam itu, yang diwakili di sini oleh Maulana Malik Ibrahim dan Bong Swie Hoo (Sunan Ampel), menerima Jawa sebagai bahasa, tetapi ide-ide, nilai-nilai, paradigmanya, adalah Islam Sunni yang berakar pada Islam wasathiyah. Asimilasinya menggunakan tutur bahasa Jawa, dan gerakannya adalah kultural (bukan politik). Namun tidak buta relasi dengan kraton dan kerajaan yang ada pada saat itu.
Awalnya Bong Swe Hoo (Sunan Ampel) dan komunitas China Muslim Hui-Hui yang diarsiteki Ceng Hoo menganut madzhab Hanafi, tetapi seiring dengan putusnya perantau China Muslim Hui-Hui dan pergolakan politik di China, kemudian banyak para perantau China kembali mengikuti Konfusianisme dan masjid-masjid yang ada diubah menjadi Klentheng. Bong Swe Hoo sendiri kemudian setuju mengembangkan madzhab Syafii.
Hal ini juga bisa dibaca, bahwa para pendakwah Islam ini adalah para ahli yang menguasai bahasa Arab, tauhid, fiqh, dan tasawuf sekaligus, sehingga seperti dalam karya Maulana Malik Ibrahim itu, beliau mengutip kitab-kitab Sunni yang menjadi rujukan imam-imam Sunni di dunia Islam. Kelenturan dalam menyampaikan isi Islam kepada masyarakat, juga dapat dikenali bukan hanya melalui karya itu, tetapi juga melalui penyematan nama-nama kepada para wali di Jawa: Sunan Ampel (untuk Bong Swee Hoo atau Raden Rahmat) dan sunan-sunan lain. Penerimaan atas sebutan ini, adalah menyangkut faktor yang lebih dalam, yaitu diterimanya kebudayaan masyarakat untuk diserap dan berperan ke dalam tatanan Islam yang dibangun.
Karena mereka ini para ahli dalam membaca kitab Arab (lalu belajar bahasa Jawa, menggunakan tutur Jawa dan nama Jawa), dapatlah disimpulkan bahwa mereka tetap mempertahankan bahasa Arab dalam lingkungan kecil atau terbatas. Mungkin pendidikan yang diberikan kepada murid-murid khusus itu terjadi. Hanya yang sudah nyata, penamaan Maulana Malik Ibrahim, dalam bahasa Arab, menunjukkan diterima dan digunakannya bahasa Arab ini, dalam batas-batas tertentu. Makam Fathimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan bahasa Arab Kufi, juga menunjukkan diterimanya atau dipakainya bahasa Arab oleh orang Islam saat itu, tanpa dioposisikan dengan masyarakat di sekitarnya. Nama-nama Arab itu tentu tidak memberi gambaran sepenuh hidup mereka, menggunakan bahasa Arab atau cara hidup Arab dipertahankan seluruhnya. Yang paling masuk akal, mereka, seperti Maulana Malik Ibrahim menggunakannya sebagai bahasa membaca kitab, tetapi hasil bacaannya diolah seperti yang terlihat dalam Kropak Ferrara itu.
Dalam ekspresi diksi-diksi kitab Sunni dan Pribumisasi Islam model ini, kemudian diperbaiki dengan berkembangnya tulisan Pegon (tulisannya Arab, bunyinya Jawa); atau tulisan Jawi (tulisannya Arab, bunyinya Melayu), yang menurut Uka Tjandrasasmita (2009) sudah ada sejak abad ke-14; dan adanya pengenalan bahasa Arab pelan-pelan, atau disisipkan di sana-sini. Mereka memperkenalkan Islam di pengajian-pengajian dalam bahasa bunyi, menggunakan bahasa Jawa, tetapi isinya berasal dari kitab-kitab Sunni, dan pemahaman-pemahaman yang dicoba diterapkan adalah Islam Sunni. Menurut Tan Ta Sen, awalnya Bong Swe Hoo (Sunan Ampel) dan komunitas China Muslim Hui-Hui yang diarsiteki Ceng Hoo menganut madzhab Hanafi, tetapi seiring dengan putusnya perantau China Muslim Hui-Hui dan pergolakan politik di China, kemudian banyak para perantau China kembali mengikuti Konfusianisme dan masjid-masjid yang ada diubah menjadi Klentheng. Bong Swe Hoo sendiri kemudian setuju mengembangkan madzhab Syafii.
Ekspresi Kontemporernya, di kalangan generasi Islam Nusantara, model di atas diperkaya dengan kemampuan bahasa Arab yang dikembangkan di pusat-pusat pendidikan pesantren, dan sekaligus penggunaan Pegon atau tulisan Jawi, jauh sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Tutur bahasa Jawa tetap dipertahankan di tengah interaksi dengan masyarakat, sehingga Islam Sunni yang berporos pada tauhid, akhlak dan hukum fiqh, diperkenalkan dan dikembangkan di tengah masyarakat.
Setelah kemunculan Nahdlatul Ulama, model demikian dipertahankan. Yang hilang dari tradisi ini, adalah tulisan Jawa, seiring dengan berdirinya Republik Indonesia dan kemerosotan kraton Jawa, dan hubungan langsung generasi Islam Nusantara dengan pusat-pusat pendidikan Islam di Mekkah. Akhirnya mereka tidak mengenal karya-karya Islam Sunni dari pendahulunya yang menggunakan bahasa Jawa.
Nahdlatul Ulama (lahir 1926), lahir dari tatanan Pribumisasi Islam yang telah dikembangkan para pendakwah Islam awal dengan model demikian. Para pendiri dan pejuang Nahdlatul Ulama, memberikan sentuhan Pribumisasi Islam, menjadi semakin kokoh mengakar, karena mereka berkesempatan bisa melacak sumber asal khazanah Islam, di dalam bahasa Arab langsung ke Mekkah dan dari kitab-kitab yang bisa diakses, sesuatu yang zaman para wali tidak semudah pada masa pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah itu mereka mendirikan pesantren: “ke dalam” mereka menguasai bahasa Arab dan Pegon sekaligus; “ke luar lingkungan pesantren”, mereka berinteraksi dengan berbahasa Jawa atau bahasa lokal, dan sekarang juga bahasa Indonesia.
Cita-cita mereka adalah bagaimana mewujudkan masyarakat Ahlussunnah Waljamaah, dengan tidak meninggalkan tradisi Sunni yang telah berkembang, dan menganggap tradisi-tradisi di kalangan masyarakat, selagi tidak bertentangan dengan rujukan Islam, tetap sah dan bisa dipertahankan, bahkan diteruskan. Selain itu, mereka memberikan tempat pada kebutuhan lokal (nasional dan internasional), dan inisiatif-inisiatif bersama masyarakat lain, dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam dan tradisi Islam. Kepada tradisi lama, mereka mempertahankan yang baik; kepada hal-hal baru yang lebih baik, tidak apriori, tetapi ditimbang dan disikapi dengan menerima; dan kepada apa yang belum ada dan perlu, tetapi maslahah, juga tidak apriori, sehingga mereka menerima al-ijad, bukan hanya al-akhdzu.
Tentang Model Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga juga menggunakan bahasa tutur Jawa, sekaligus tulisan Jawa, dan memasukkan kosakata penting Jawa untuk memahami Islam, tetapi juga memasukkan sebagian kosakata Arab ke dalam karyanya. Hal ini terlihat dari karya Sunan Kalijaga, dalam Kidung Rumekso Ing Wengi, yang menggunakan bahasa Jawa, tulisan Jawa, dan kosakata penting bahasa Jawa seperti Sang Hyang Tunggal dan kata-kata lainnya, tetapi juga menggunakan kata Allah, untuk merujuk kepada Tuhan yang disembah orang Islam; memperkenalkan kata tuwajjuh jroning ati (paduan Arab dan Jawa), bergandengan dengan kata-kata lain dalam bahasa Jawa.
Jadi, Sunan Kalijaga tidak berbeda dengan wali lain dalam soal itu, sehingga ilmunya diwarisi oleh generasi Islam berikutnya, bahkan dalam lafal-lafal doa, memamadukan antara bunyi bahasa Jawa dan bahasa Arab. Kecuali dalam ritual sholat lima waktu; tatacara tetap sesuai dengan apa yang ada dalam tradisi Sunni, tentang gerakan dan bacaannya; dan di luar sholat lima waktu, Sunan Kalijaga menyebut laku hidup sholat daim, yang kemudian sangat terkenal di dalam khazanah muslim Jawa. Soal ini disebutkan dalam Suluk Linglung (versi B. Soelarto, 1974: 63), begini:
~~
Saparipurnaning amadeg salat mukayat, kaki saben-saben tumuli, madego shalat daim, sholat langgeng, sholat wustho sesucinira datanpa warih. Anging mawa tirta-marta perwita suci. Lakuniro datanpa rukuk sujud. Anging sarwa ngrepepeh ngabyantaraning Hyang Widhi ing kalaniro meneng, mobah mosik, makarya sadengah opo (Anak cucu, setiap engkau selesai shalat lima waktu, segeralah melakukan sholat daim, sholat kekal, sholat wustho. Bersucinya tanpa air, tetapi dengan istighfar yang senilai air suci; caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba diri menghadap, mengabdi kepada Alloh di kala engkau sedang diam, bergerak, dan bekerja apa saja).
Saratiro mung sajugo. Sedya ngawulo sampurna mring Ilahi, sarana asung kabecikan marang liyan. Iya iku kaki margining murud ing Kasidan Jati, makoleh tutug ing urip utomo, rinahmatan Ilahi (Syaratnya hanya satu, menghambakan diri secara sempurna kepada Alloh. Itulah anak cucu, jalan mencapai kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna mendapat rahmat Ilahi).
~~
Kutipan di atas menjelaskan bahwa menurut Sunan Kalijaga, sholat daim itu berbeda dengan sholat lima waktu. Sholat lima waktu, dibedakan dengan sholat daim, dalam hal, sesucinya, geraknya, niatnya, dan yang berhubungan dengan itu. Maka menjadi jelas, di sini Pribumisasi Islam itu bukan bermakna, menghapus sholat dengan tradisi rakyat, tetapi sholat tetap dijalankan menurut apa yang dituntunkan, dan bagian dari laku yang tetap harus dijalankan. Para penerus Pribumisasi Islam setelah Sunan Kalijaga, mengonstruksi ini sebagai bagian dari laku syariat, yang dibedakan dengan, tarekat, dan ma’rifat, di mana syariat tetap dijalankan dan harus diugemi. Misalnya, hal ini dapat dilihat dalam Wedhatama, dan beberapa suluk yang lain. Sementara dalam dimensi dan ruang lain, seperti wayang, pakaian, doa-doa, tembang-tembang – Sunan Kalijaga dapat dilihat sebagai sedang melukan al-ijad, dengan memberi tempat khazanah Jawa, lalu diisi dengan nilai-nilai Islam.
Model Sunan Kalijaga ini kemudian mendominasi Islamisasi Pribumisasi Islam di daerah pedalaman Jawa, sampai zaman Mataram, bahkan diorganisir oleh, awalnya Demak, kemudian Kraton Pajang dan Mataram. Dan penulisan dengan cara tulisan Jawa, tutur Jawa, dan pemaduan Arab-Jawa dalam batas-batas tertentu, mengalami interupsi setelah Republik Indonesia berdiri, dengan munculnya huruf latin, dan kekalahan Kerajaan Mataram dari Belanda, serta munculnya gerakan pemurnian.
Masyarakat di luar pesantren dan masyarakat pesantren, sejatinya adalah satu kesatuan, untuk mencapai dalam bahasa Sunan Kalijaga tadi, memperoleh Rinahmatan Ilahi.
Variasi jenis ini, adalah menggambarkan upaya generasi baru pendakwah Islam pasca Sunan Ampel, yang diwakili Sunan Kalijaga, dengan cara menggarap masyarakat Jawa, di kalangan yang lebih luas, tidak hanya di perkampungan Islam, seperti di Ngampel. Dalam tradisi dakwah jenis ini, maka jelas, memakai bahasa qaum yang ada (dalam hal Sunan kalijaga, adalah bahasa Jawa), dan diksi-diksi yang dipakai mereka dan sesekali menyelipkan diksi Arab, adalah kebutuhan dalam dakwah. Dakwah jenis ini, tidak lagi mengacu dengan kekakuan untuk menggunakan bahasa Arab semata, karena hal itu tidak mungkin; dan Islam dimasukkan sebagai nilai-nilai dan inti, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan Jawa.
Jalan mengembangkan Islam melalui Pribumisasi Islam, seperti Sunan Kalijaga dan Maulana Malik Ibrahim, adalah kesadaran untuk mengembangkan misi risalah Islam rahmatan lilalamin, tanpa ada paksaan kekuasaan politik. Bahkan ada kekuatan politik kraton yang bisa digunakan untuk mengorganisir Pribumsiasi Islam jenis itu, adalah hal berikutnya.
Hal ini berbeda dengan temuan Tan Ta Sen (2010) soal asimilasi di China terhadap para pendatang muslim yang dibawa pasukan Mongol, melahirkan komunitas Hui-Hui (atau disebut juga Dashi), yang asimilasinya melalui kebijakan inisiasi total oleh penguasa Dinasti Ming, dengan melarang pakaian orang asing, larangan menggunakan nama asing, larangan bahasa Asing, meskipun mereka tetap dibiarkan beragama Islam. Akibatnya mereka membentuk marga sendiri yang menyatu dengan China dan tidak dikenali lagi, bahwa mereka adalah berasal dari Asia Tengah atau Timur Tengah, misalnya Muhammad menjadi marga Ma, Abu menjadi Pu, Syamsuddin menjadi Ding, Nasuladin menjadi Marga Na, Su, La, dan Ding. Di Nusantara, kerja-kerja Islamisasi melalui Pribumisasi Islam, menjadi kesadaran sebagai pendakwah, dan melihatnya sebagai yang paling mungkin dan mashlahah untuk menghidupkan Islam di tanah Jawa.
Ekspresi kontemporernya. Masyarakat yang mewarisi jalan Islamisasi melalui Pribumisasi Islam yang dipelopori Sunan Kalijaga dan wali-wali lain ini, di kalangan masyarakat di luar pesantren, mewujud dalam tatanan masyarakat yang diorganisir Kraton Demak, Pajang dan Mataram, dimana pesantren dibiarkan sebagai entitas yang mengembangkan sebagai pilar masyarakat Islam yang independen. Kebanyakan mereka memiliki status perdikan. Mereka, masyarakat di luar pesantren dan masyarakat pesantren, sejatinya adalah satu kesatuan, untuk mencapai dalam bahasa Sunan Kalijaga tadi, memperoleh Rinahmatan Ilahi.
Interupsi kolonialisme Belanda menyebabkan kemandekan regenerasi yang dulu dimotori para wali, dan diteruskan oleh mesin kraton, menyebabkan: keterputusan dengan sumber bahasa Arab atas khazanah-khazanah Islam di satu sisi, karena sulitnya perjalanan ke Timur Tengah dan pemberangusan karya-karya para ulama yang dianggap berpotensi mengancam dan anti-kolonial; dan dimulainya upaya memisahkan Jawa dengan Islam, oleh aparat intelektual Belanda. Hal ini menjadikan, sebagian masyarakat Islam Jawa menjauh dari Islam. Bahkan, dalam ekspresi kontemporernya, kemudian menemukan rujukannya dalam sebagian kelompok baru penghayat yang lepas dari Islam, melalui guru-guru yang baru muncul pada zaman-zaman pergerakan; serta adanya misi membawa orang Jawa kepada agama yang diajarkan para Missionaris Eropa.
Sementara, sebagian besarnya, tetap menjadi muslim Jawa, dan menjadi basis kultural yang kuat, di mana beragama Islam, tidak identik dengan cita-cita Islam politik; dan bahasa Arab selalu bisa disandingkan dengan bahasa Jawa; di mana ungkapan-ungkapan Jawa dapat disandingkan dengan isi dan inti dari ajaran Islam. Hanya saja, kemudian terjadi stagnasi intelektual dalam interpretasi Islam dari sudut Pribumisasi Islam dari kalangan Islam Jawa ini setelah Republik Indonesia berdiri, dan setelah penundukan kraton oleh mesin-mesin kolonial. Legitimasi Islam dalam praktik Islam Jawa, kemudian dilakukan para intelektual dan pekerja-pekerja kebudayaan dari kalangan pesantren, di antaranya oleh KH. Abdurrahman Wahid melalui konsep Pribumisasi Islam itu. Sementara generasi-generasi Muslim Jawa di luar lingkungan pesantren dan di luar pengaruh pesantren, yang dulu diorganisir oleh kraton dan aparat intelektualnya, lebih sibuk berurusan dengan pergerakan politik dan birokrasi kolonial, setelah penundukan kraton oleh Belanda.
Munculnya Perlawanan Pemurnian Islam dan Kolonialisme
Perlawanan dan interupsi terhadap pengembangan Islam melalui Pribumisasi Islam, dilakukan oleh dua poros, dalam satu fase yang hampir bersamaan: Kolonialisme dan Pemurnian Islam. Kolonialisme, mengambil bentuk pematian regenerasi intelektual Islam Jawa, melalui pematian kraton secara sitematis dan perlahan (dan memutus hubungan kraton dengan pesantren-pesantren yang dicurigai sebagai agen-agen pemberontak dalam Perang Jawa), menjadi terserap ke dalam birokrasi kolonial; pemisahan Jawa dengan Islam melalui kajian-kajian Jawa dan Islam, untuk menemukan Jawa pra-Islam; pengejaran tidak terbatas kepada pemimpin-pemimpin dari kalangan pesantren yang menebarkan Islamisasi melalui Pribumisasi Islam, dengan dalih mengejar pemberontak, atau yang membahayakan eksistensi penjajah, sebagai efek dari sikap anti-kolonial mereka dalam Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro.
Sementara pemurnian Islam mengambil bentuk seruan kembali kepada Al-Qur’an-hadits, tidak terikat dengan madzhab, tidak mau berpegang pada ijma dan qiyas (sesuatu yang menjadi rujukan kalangan Pribumisasi Islam); dan memompa diksi tajdid dengan memberantas bidah dholalah dalam hubungan Islam dan tradisi, dan mengecapnya sebagai TBC (takhyul, bid’ah, dan khurafat). Maka Pribumisasi Islam pada keadaan yang demikian menghadapi dua perlawanan sekaligus: satu dari kalangan muslim sendiri dan dari kalangan kolonial Belanda.
Jalan Pemurnian Islam itu, selalu berbenturan di tengah-tengah kultur masyarakat yang banyak bersentuhan dengan kreativitas kebudayaan. Mereka melalukan pendekatan shock therapy agama dengan membidah–dholalahkan tradisi-tradisi yang dikreasi oleh jalan Pribumisasi Islam. Di mata kolonialisme, perpecahan ini menguntungkan, sehingga mereka bisa mengontrol arus Islam yang anti-kolonial dari pesantren, dengan memisahkannya dari pemurnian, sehingga melemahkan kekuatan Islam untuk bermusuhan dengan penjajah.
Gabungan dari interupsi keduanya menghasilkan dinamika di kalangan muslim yang sulit disatukan. Di kalangan Islam, relasi kalangan Pribumsiasi Islam dan Pemurnian Islam, meski kadang tampak ada saat rukun dan bersatu, juga banyak menghadapi ketegangan kultural dan politik. Aktualisasi kenyataan ini tercermin dari rekaman-rekaman perdebatan itu di Jawa Barat, misalnya, yang telah dikaji dalam buku Para Pengemban Amanah; dan perdebatan mereka di acara-acara Kongres Umat Islam yang salah satunya direkam oleh Deliar Noer dalam buku Gerakan Moderen dalam Islam; dan perpisahan NU-Syarikat Islam dari Masyumi.
Jalan Pemurnian Islam itu, selalu berbenturan di tengah-tengah kultur masyarakat yang banyak bersentuhan dengan kreativitas kebudayaan. Mereka melalukan pendekatan shock therapy agama dengan membidah–dholalahkan tradisi-tradisi yang dikreasi oleh jalan Pribumisasi Islam. Di mata kolonialisme, perpecahan ini menguntungkan, sehingga mereka bisa mengontrol arus Islam yang anti-kolonial dari pesantren, dengan memisahkannya dari pemurnian, sehingga melemahkan kekuatan Islam untuk bermusuhan dengan penjajah. Hanya saja, peninggalan dan jejak-jejak kolonialisme setelah mereka pergi, tidak bisa hilang, dan tidak sepenuhnya kemudian dihapus, bahkan ketika tentara mereka sudah tidak ada di Indonesia. Dari sudut ini, ada hal-hal yang ternyata diakui bisa diteruskan, menurut dan sesuai jalan Republik Indonesia yang baru berdiri; seperti adanya sekolah-sekolah, adanya Undang-Undang, dan lain-lain peninggalan kolonial.
Manifestasi kontemporer dari arus ini adalah: penerimaan dan pemilihan jalan yang mengemukakan simbol-simbol Islam, dan kekakuannya dalam melihat hubungan Islam dan budaya, serta kadang di antara mereka ada yang menggunakan untuk tujuan politik, karena agenda untuk memperjuangkan Islamisme. Mereka menuntaskan ini dengan memusuhi tarekat, yang oleh generasi barunya, ini dianggap sebagai hal yang kebablasan, dengan cara sebagian mereka sendiri kemudian beralih mengikuti tarekat. Pada sisi yang lain, generasi Pemurian Islam itu lebih cepat beradaptasi dengan birokrasi modern karena mereka banyak terdiri dari kalangan menengah muslim dan berpendidikan Barat; dan pendidikan umum. Hanya dalam politik, masa depan mereka mengalami kehancuran setelah sebagian besar pimpinan politiknya terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dari pemberontakan ini, dilihat kekakuan sikap dan watak Islamismenya yang membahayakan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, suatu sikap dan gaya yang relevan bagi tipe shock therapy pemurnian; tetapi tidak cocok bagi kebanyakan masyarakat di Nusantara.
Sebagian generasi pemurnian, setelah mempelajari kesalahan-kesalahan pendahulunya, kemudian melakukan revisi dan merintis jalan baru, suatu jalan yang tidak popular di lingkungan kultur Pemurnian. Jalan baru itu titik kanalnya ada pada sosok dan proyek Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Dawam Raharjo, dan tokoh-tokoh lain, dengan menginterupsi kecenderungan Islamisme Pemurnian, diganti menjadi: Islam Yes-Politik Islam No. Sementara di kalangan generasi santri di kalangan Pribumisasi Islam, tidak diperlukan merintis jalan baru bagi mereka, karena Pribumisasi Islam tidak menjadi persoalan yang kompoleks, atau terlalu sukar untuk dipahami. Generasi pesantren lebih memerlukan teoretisiasi praktik Pribumsiasi Islam itu di hadapan publik dan intelektual. Gus Dur menjadi titik kanal yang memberi rasionalisasi dari sudut teoretik ini, dengan menyebut dan mengerangkakan jalan dakwah para wali itu dengan Pribumisasi Islam.
Mendirikan Republik Indonesia: Diterimanya Pribumisasi oleh Mayoritas Umat
Pendirian Republik Indonesia adalah diterimanya jalan Pribumisasi Islam oleh para pemimpin Islam. Para pemimpin Islam mengakui adanya negara nasional, yang tidak didasarkan pada dasar Islam dan syariah di dalam konstitusi, tetapi memberikan peluang aturan Islam bisa diterapkan kalau ia memenangkan dalam permusyawaratan di tingkat legistlatif. Hal ini, merupakan hasil dari sebuah kreativitas Pribumisasi Islam di kalangan para pemimpin Islam, dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalil, dan mempertimbangikan aspek kemaslahatan, serta kekuatan-kekuatan politik di masyarakat. Meminjam bahasa Kyai Masykur yang membahasakan penerimaan Pancasila oleh KH. Abdul Wachid Hasyim, digunakanlah istilah untuk membedakan: Islam sebagai al-Ismu dan Islam sebagai al-musamma –sebagaimana disebutkan Andre Feillard dalam buku NU vis a vis Negara. Jalan Pribumisasi Islam, dalam soal penerimaan Pancasila itu, menegaskan diterimanya Islam sebagai al-musamma (yang dinamai, yaitu nilai-nilainya), dan bukan al-ismu (Islam sebagai nama, simbolnya), dan itu adalah diterimanya jalan Pribumisasi Islam oleh para pemimpin Islam sendiri.
Diterimanya pendirian Republik Indonesia itu, dengan begitu diakui keragaman dan eksistensi kebudayaan di Indonesia, atau di antara masyarakat di Indonesia, tetapi pada saat yang sama keragamaan itu harus diorientasikan untuk tetap bersatu menjaga kehidupan bersama di dalam masyarakat, untuk mencapai tujuan bersama Republik Indonesia. Hal ini, bagi kalangan Islam, mengharuskan adanya kerja-kerja Pribumisasi Islam dalam penafsiran dalil-dalil agama, atau interpretasi untuk bisa sah menerima bentuk negara nasional dan keanekaragaman kebudayaan di Indonesia, tanpa mematikan independensi umat dalam menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar, melalui jalan bil ma’ruf, dan perjuangan aspirasi melalui legislasi wakil-wakil rakyat.
Pendirian Republik Indonesia ini, juga menjadikan sebagian pemimpin Islam yang memiliki latar belakang pemurnian, harus siap berkompromi dan bekerjasama dengan kelompok lain, di dalam mengupayakan konsensus kenegaraan, sehingga mereka ditarik ke tengah; dan mereka membatasi permusuhannya terhadap cara kerja Pribumisasi Islam di dalam kultur masyarakat, terbatas pada wilayah kebudayaan dan dakwah yang diemban di tengah masyarakat. Kenyataan ini menjadi positif, tetapi juga tidak sederhana menjelaskan itu ke dalam kader-kader pemurnian yang lebih baru, dan memiliki semangat Islam Politik atau Islamismenya kuat. Metamorfosis paling kontemporer dalam soal ini, adalah tumpang tindihnya antara jalan yang ditempuh kelompok Tarbiyah di dalam persyarikatan Muhammadiyah, sampai-sampai pimpinan Persyarikatan harus mengeluarkan keputusan tegas soal Gerakan Tarbiyah ini dalam buku tipisnya.
Dengan adanya Republik Indonesia, umat Islam harus bersedia melakukan Dinamisasi meninjau kembali tradisi dan pemahaman mereka tentang bentuk negara dari sudut Islam; meninjau pemahaman mereka tentang khilafah dan kewajiban umat mengangkat imam; dan keharusan pengungkapan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai menjadi lebih penting dan dominan, di tengah relasi publik dan masyarakat; serta masalah-masalah nasional dan kebudayaan, yang memerlukan jawaban dari sudut spirit dan tradisi Islam, untuk menjadi etos yang harus terus diperjuangkan.
Kenyataan ini menimbulkan simalakama bagi generasi baru pemurnian, karena rujukan kembali ke Al-Qur’an dan hadits semata, satu sisi, mengharuskan adanya kecanggihan dan pemahaman yang mumpuni untuk membedakan, nilai-nilai, prinsip, dan martabat wadah-wadah dalam implementasi, yang memerlukan ilmu-ilmu. Maka ini diperluakan ilmu berinteraksi dengan Al-Qur’an dan sunnah yang tidak sederhana. Keharusan kecanggihan itu, jelas mengharuskan kreativitas luar biasa, dengan tidak terjebak pada kejumudan literalis kompleks tanpa penalaran, karena Al-Qur’an dan hadits menyediakan sebegitu banyak bahan yang bisa ditafsirkan dan diolah.
Masalahnya adalah ketakutan akan adanya ketidakmauan tunduk pada aspek literalisme yang berlebihan, sebagai bentuk yang tidak Islami, merupakan simalakama pertama yang dihadapi generasi pemurnian. Hal ini akan dapat diselesaikan manakala pemurnian itu mampu melahirkan ilmu-ilmu berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan rumusan-rumusan baru, sebagi bagian dari kerja berkesinambungan mereka yang tidak mau bermadzhab kepada madzhab empat. Yang terjadi dan lahir masih berupa tumpukan kumpulan fatwa-fatwa semata, tetapi ilmu-ilmu berinteraksinya belum banyak lahir: misalnya bagaimana ushul fiqh mereka, bagaimana ilmu tafsir mereka, bagaimana kaidah fiqh yang dipakai mereka.
Simalakama berikutnya, kenyataan hidup di Republik Indonesia ini, akan menjadi rumit dan menyulitkan, manakala jargon kembali kepada Al-Qur’an-hadits dan tidak mau tradisi itu, mewujud menjadi pemuja literalisme kaku kembali ke Al-Qur’an dan hadits. Maka yang terjadi adalah dominasi jumudisme literal dalam pemikiran, dengan tidak mengapresiasi penalaran. Sebab untuk bisa menerima negara nasional dari sudut Islam adalah butuh ilmu-ilmu berinteraksi tentang Al-Qu’ran dan hadits, bukan hanya teks-teksnya saja, bukan hanya yastami’unal qoula, tetapi wayattabi’una ahsanahu. Hal itu juga berlaku, bagi hubungan dengan kebudayaan, dan hal-hal lain. Kegagalan merumuskan ilmu-ilmu interaksi terhadap Al-Qur’an dan hadits di luar sudut ilmu-ilmu para imam madzhab, dan hanya puas dengan hasil-hasil fatwa, akan berdampak pada pensalafian (atau sejenisnya) dari generasi-generasi baru, yang mereka dekat dengan kekakuan literal teks; dan berdampak pada penggunaan teori-teori yang dikembangkan di Barat tanpa menoleh dengan akar tradisi khazanah Islam sendiri, yaitu bagi mereka yang ingin keluar dari jebakan kekakuan literal teks.
Tantangan bagi generasi Pemurnian Lama dan juga Islam Jawa, dan generasi pesantren yang memilih jalan Pribumisasi Islam, justru datang dari generasi baru Islam di Indonesia yang menginduk kepada Islam politik di Timur tengah.
Bagi generasi Pribumisasi Islam dari kalangan pesantren, didirikannya Republik Indonesia tidak lagi menimbulkan perdebatan bentuk negara nasional dari sudut Islam, hubungan-hubungan kebudayaan rakyat dari sudut Islam, serumit di kalangan pemurnian. Karena ilmu-ilmu yang digelutinya menyediakan secara melimpah ruang untuk berinteraksi dengannya. Penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, khazanah ilmu-ilmu klasik, dan pendapat-pendapat mujtahid masa lalu, membantu jalan bagi perumusan kerja-kerja Pribumisasi Islam, dalam menerima kebutuhan-kebutuhan lokal dan nasional.
Hanya saja, meski mereka penting dari sudut kekuatan kultural masyarakat Nusantara, tetapi karena konsentrasi mereka yang teramat lama di pinggiran, yang sejarahnya diberangus oleh kolonial melalui pemberangusan pesantren-pesantren yang terlibat perang Jawa, dan ada dalam sistem sosial kelompok menengah ke bawah, mereka tidak menjadi pemain penting dalam penentu kebijakan dan mesin birokrasi negara. Ilmu-ilmu agama mereka masih terbatas pada ilmu-ilmu penafsiran dalam wilayah fiqh, tasawuf, tauhid, dan wilayah sosial, tetapi belum sampai menyentuh kepada sains terapan, yang digali dari Al-Qur’an dan khazanah klasik. Gus Dur, KH. Achmad Shidiq, KH Ali Ma’shum, KH. MA Sahal Mahfduh, kemudian menjadi kanal otoritas yang menyediakan ruang itu bagi generasi pesantren, untuk melanjutkan gerak dari dinamisasi Pribumisasi Islam itu sendiri.
Sementara elit-elit dari kalangan muslim Jawa di luar pengaruh pesantren, yang dulu diorganisir kraton dan bagian dari kraton, yang juga adalah hasil dari kerja-kerja Pribumisasi Islam warisan Sunan Kalijaga dan wali-wali lain, sudah banyak yang dididik dengan ilmu-ilmu Barat untuk menjadi penyuplai dalam birokrasi kolonial dan Republik Indonesia yang baru berdiri. Kecimpung dan kesibukan mereka tidak bisa menjadi jembatan dengan kalangan massa Islam Jawa, karena mereka tidak mengolah interperetasi-interpretasi Islam dari sudut mereka, sehingga dari sudut penguasaan interpretasi Islam, mereka tidak memiliki banyak cantelan intelektual yang handal, dibanding jumlah massa Islam Jawa (di luar pesantren), yang sangat banyak itu.
Sebagian justru semakin menjauh dari Islam dengan mendaras pemisahan Jawa dan Islam, dan sebagian beralih menjadi ikut agama para misionaris. Sementara yang bertahan dengan Islam Jawanya, belum bergairah, dan masih menjadi konsumen pembaca naskah-naskah lama dari para pendahulunya, yang hanya berkembang di lingkungan kecil istana dan kampus sebagai prosedur kelulusan atau ritual akademik. Kerja-kerja yang dilakukan sebagaimana Sunan Kalijaga yang mengorganisir Pribumisasi Islam, di dalam masa saat sekarang ini dan dengan cara saat ini, masih belum begitu diminati. Padahal di kalangan massa Islam Jawa, kultural mereka menjadi ajang santapan TBC dari pemuja pemurnian; dan peninggalan oleh generasi baru yang berjingkrak dengan gemerlap material modernitas. Sementara para elitnya yang ada di birokrasi, canggung untuk memberikan interpretasi Pribumsiasi Islam itu dari sudut Islam Jawa.
Tantangan bagi generasi Pemurnian Lama dan juga Islam Jawa, dan generasi pesantren yang memilih jalan Pribumisasi Islam, justru datang dari generasi baru Islam di Indonesia yang menginduk kepada Islam politik di Timur tengah, dan kelompok kultural salafi yang menginduk kepada wahhabi, dan pemuja khilafah dari kalangan HT, serta regenerasi generasi-generasi NII. Generasi Pemurnian yang tersalafikan akan mendekat dengan salafi, dan yang ter-HT-kan mendekat kepada HTI; dan yang ter-NII-kan menjadi dekat dengan generasi baru NII. Para generasi baru pemurnian itu, memiliki hubungan yang sama dengan konsep Pemurnian Islam: tetap mau memurnikan kebudayaan dan tradisi dengan memuja konsep bid’ah dholalah untuk menyingkirkan tradisi dari hasil kerja-kerja Pribumisasi Islam; yang HTI ingin menegaskan Islam politik dengan khilafah menggantikan negara nasional; dan yang Tarbiyah ingin menegaskan Islam Politik melalui jalan parlemen; yang NII mau mengganti negara nasional menjadi Negara Islam, yaitu pemurnian di level negara. Maka, kerja-kerja mereka akan berbenturan dan menjadi membahayakan bagi kultur dan masyarakat yang memilih jalan Pribumisasi Islam dari kalangan presantren tradisi.
Ruang dan Negosisasi
Melihat perjalanan Pribumisasi Islam di Nusantara dan tantangannya itu, menjelaskan ada ruang-ruang tertutup, sebagai batas-batas yang tidak dimasuki oleh Pribumisasi Islam oleh kalangan pesantren dan juga kalangan Islam Jawa, sekaligus ada ruang terbukanya. Ruang ini adalah tauhid, dimana Allah itu Esa dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, diimani dengan kuat. Memperhatikan karya-karya di dalam tradisi Islam Jawa dan pesantren, semua mengafirmasi ini. Hanya saja, dalam ruang tertutup ini, pengungkapan dan penamaan terhadap Allah di luar pelaksanaan ritual (seperti sholat lima waktu), dalam praktiknya bisa menggunakan bahasa penambahan bahasa Jawa atau lokal, seperti penggunaan istilah Gusti Alloh, atau kalau Nabi Muhammad menjadi Kanjeng Nabi Muhammad.
Batas-batas yang lain adalah ruang tertutup juga, yaitu pengakuan tentang kewajiban-kewajiban ritual elementer, seperti pengakuan bahwa sholat itu wajib, juga zakat, puasa dan haji. Tidak ada pengingkaran dalam soal kewajiban sholat lima waktu dan bentuk-bentuk rukuk, sujud dan lain-lain. Bahwa ada yang belum melaksanakan kewajiban itu, adalah soal lain. Akan tetapi mereka tetap mengakui kewajiban itu sebagai kewajiban yang dibebankan kepada seorang muslim, adalah jelas. Maka kita tidak pernah mendengar dan menemukan seruan untuk menentang kewajiban sholat dari kalangan muslim Jawa. Muslim Jawa kemudian membedakan antara sholat lima waktu dan Sholat Daim, yang semuanya menurut ajaran Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung, harus dijalankan. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Gatholoco adalah hal lain, yang perlu dibaca dengan cara lain, di tengah narasi kolonial yang ingin dan sedang memisahkan Islam dan Jawa. Sementara dalam implementasi bentuk-bentuk zakat, bisa menjadi ruang terbuka bila ada alasannya yang bisa diterima. Sebagai contoh, zakat gandum bisa diganti dengan padi, karena jenis Qutul Balad di Indonesia adalah padi atau jagung.
Hanya saja, ketiadaan ruang terbuka bagi pengakuan akan kewajiban elementer Islam itu, dibangun melalui kesadaran dimana orang menjadi muslim itu melalui proses, sehingga kadangkala pengakuan adanya kewajiban itu belum langsung dengan amalan praktiknya; atau belum bisanya seseorang untuk membaca surat-surat selain Al-Fatihah di dalam sholat; atau ketika bacaan al-Fatihah-nya belum fasih –adalah proses yang terus menerus dan perlu diusahakan menjadi baik. Juga belum sholatnya seseorang adalah proses seorang beragama, yang harus ada upaya di kalangan pendakwah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, bukan justru dengan dicela dan dimusuhi. Prinsipnya, innaka la tahdi man ahbabta walakinnalloh yahdi man yasya; dan man qola lailaha illaloh Muhammad Rosulullah dakholal jannah, sehingga pendekatan dalam Pribumisasi Islam, juga menyangkut cara dakwah yang baik.
Ruang lain dalam Pribumisasi Islam adalah wilayah publik yang dibatasi melalui musyawarah mufakat atau konsensus para ulama dan pemimpin masyarakat, sampai ada kondisi dan keadaan yang memungkinkan dinegosiasi ulang atau diperbincangkan kembali. Ruang ini menghasilkan keterikatan hukum publik yang harus dilakukan seseorang kepada Ulil Amri, ketika ia dinaikkan menjadi keputusan Undang-Undang Negara atau kerajaan. Contohnya dalam soal ini adalah keputusan musyawarah mufakat soal bentuk Negara Republik Indonesia dan ketaatan kepada Ulil Amri, tanpa menafikan adanya kritik-kritik yang harus tetap ada. Keluar dari ketaatan kepada Ulil Amri dan melakukan pengorganisasian permufakatan jahat-makar atau memberontak mengganti negara nasional, adalah ruang tertutup yang tidak ditoleransi dalam jalan Pribumisasi Islam.
Berbeda dengan itu, justru ruang ini, dianggap paling aktual dan terbuka bagi gerakan Islam politik, seperti HT dan NII. Sementara gerakan Pemurnian Islam yang tidak lagi menjadikan bentuk negara nasional sebagai persoalan, ruang terbukanya dengan sesama pemurnian justru terletak pada koalisi-koalisi sipilnya untuk membentuk dan membangun dan mempengaruhi keputusan parlemen, isu-isu dan keputusan-keputusan publik, terutama bila berkaitan dengan isu-isu pemurnian kebudayaan. Hal ini lebih memungkinkan mempertemukan mereka dengan kelompok Pemurnian Islam lain, dalam argumen-argumen dan narasi-narasinya, karena kedekatan jargon kembali ke Al-Qur’an dan hadits. Kecuali mereka sudah bisa keluar dari kekakuan pemujaan literalisme dalam urusan kebudayaan dan tradisi-tradisi di masyarakat, maka akan bisa menjelaskan hal lain.
Ruang tertutup dalam Pribumisasi Islam juga dibatasi oleh norma yang dipegang dimana dakwah Islam harus disampaikan melalui hikmah, kebijaksanaan, perkataan baik, dan jadal yang membuka pikiran. Maka implementasinya, penyampaian Islam dan kebaikan-kebaikan harus bilma’ruf, dan pencegahan kemungkaran harus bilma’ruf. Kekerasan dan penggunaan pemaksaan hanya diberikan wewenangnya kepada otoritas Ulil Amri, bukan orang per-orang, yang ditujukan kepada orang lain.
Islam Nusantara adalah implemementasi dari seruan Al-Quran untuk mewujudkan misi wayattabi`una ahsanah sebagai bagian dari Islam rahmatan lilalamin; dan dalam bahasa Sunan Kalijaga disebut untuk memperoleh rinahmatan Ilahi di tanah Nusantara.
Ruang terbuka Pribumisasi Islam adalah negosiasi ditemukannya alasan untuk menerima kebutuhan-kebutuhan lokal-nasional dan internasional, di mana relasi Islam-Muslimin dengan kebudayaan, ekonomi, politik, dan hal-hal lain, mengharuskan adanya penemuan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam, dan penerapan maqoshid syariah di dalam masalah-masalah itu; dan kebutuhan-kebutuhan yang mengharuskan ditempuh jalan itu. Hal ini menyadarkan bahwa kerja-kerja Pribumisasi Islam itu, di wilayah publik menyangkut kerja-kerja kultural, kebijakan politik dan politik kebijakan publik melalui pemastian nilai-nilai Islam Nusantara dalam jalan Pribumisasi Islam itu diterima, seperti dalam kasus diterimanya Pancasila. Sementara dalam hubungan antara personal, atau dalam internal komunitas-komunitas, maka kerja-kerja Pribumisasi Islam adalah memperkokoh dan mengembangkan tradisi-tradisi, nilai-nilai, dan pengetahuan Pribumisasi Islam yang dibangun untuk ditanamkan kepada masyarakat, bahkan termasuk ketika harus menghadapi gempuran Pemurnian.
Dalam ruang-ruang di atas, negosiasi adalah upaya yang terus menerus, yang menuntut kerja semesta Jihad Pribumisasi Islam di wilayah pengetahuan masyarakat, kehidupan sosial-politik, akademik, dan kultur masyarakat, yang berakar dari penafsiran ayat Al-Qur’an: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab” (QS. AZ-Zumar [39]: 18). Maka, bagi generasi-generasi Islam yang melakukan Islamisasi melalui jalan Pribumisasi Islam, harus memiliki kecanggihan untuk bisa memilih yang ahsan, di antara pilihan-pilihan baik yang ada. Dan hal itulah mereka memerlukan ilmu-ilmu yang cukup, kearifan yang cukup, dan olah batin yang cukup, sebagaimana para pendahulu Islam.
Dengan demikian menjadi jelas dan terang benderang, Islam Nusantara sebagai Islamisasi melalui jalan Pribumisasi Islam adalah implemementasi dari seruan Al-Quran untuk mewujudkan misi wayattabi`una ahsanah sebagai bagian dari Islam rahmatan lilalamin; dan dalam bahasa Sunan Kalijaga disebut untuk memperoleh rinahmatan Ilahi di tanah Nusantara.