Wayang
/1/
Berdasarkan berbagai kajian, amatan, liputan, dan rekaman para pengaji, pemerhati, peliput, dan pecinta Wayang [yang dikemukakan secara tertulis, visual, dan disampaikan secara lisan] dapat dikatakan di sini bahwa keberadaan atau kehadiran [eksistensi] wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan sudah amat tua [lama] di dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa di samping masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain di Indonesia. Dengan kata lain, hidup wayang tergolong sudah demikian panjang. Kehidupan wayang ibarat kehidupan tokoh Rama Bargawa [Rama Parasu]: demikian panjang, tak mati-mati, meski sedih gembira silih berganti.
Dalam rentang perjalanan kehidupan wayang yang demikian panjang, lakon wayang dan seni pertunjukan wayang berubah, berkembang, dan menjadi beraneka ragam pada satu pihak dan pada pihak lain juga berkurang dan berkarat akibat berbagai faktor yang bersentuhan dengan kehidupan wayang. Dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya berhadapan dengan perubahan zaman, wayang telah membuktikan diri mampu hidup secara kenyal [elastis] dan lentur [fleksibel] sehingga sampai sekarang tetap dapat hidup [eksis] sebagai pusaka budaya sekalipun kerap membuat khawatir para pemangku, pencinta, dan pengaji wayang.
wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang…
Wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan dapat hidup sampai sekarang berkat kefundamentalan dan kestrategisannya dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain, secara historis, sosiokultural, religiokultural, geokultural, dan antropo-psikologis, keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat fundamental dan strategis dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Pertama, dikatakan fundamental karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang merupakan prasyarat yang harus ada [conditio sine qua non] dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [dan lain-lain]. Di sini berlaku adagium: tanpa wayang, tidak ada kejawaan; kejawaan tiada berarti tanpa wayang. Sebagaimana dikatakan oleh orang Inggris bahwa tidak ada Inggris tanpa Shakespeare, dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa tanpa wayang [wong lan kabudayan Jawa tanpa wayang mesthi gothang]. Wayang menjadi presensi atau representasi kejawaan [dapat juga kebalian dan lain-lain], bukan sekadar menjadi identitas kejawaan; wayang [setidak-tidaknya] menjadi ”tulang sumsum”, bahkan ”jiwa-raga” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dan wayang menjadi pusat, sumbu atau hulu kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa.
Kedua, dikatakan strategis karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat penting-utama [sentral] sebagai kendaraan atau wahana mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Tidak mengherankan, wayang lazim dijadikan acuan, sumber, dan dasar berperasaan, berpikir, bernalar, berlaku, berbuat, dan atau bertindak dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan memiliki kekuatan integratif sekaligus instrumental yang kokoh dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa: kekuatan integratif wayang mampu mengutuhkan sekaligus merekatkan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, sedangkan kekuatan instrumental wayang dapat mengantarkan sekaligus ”memfasilitasi” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa mampu mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan yang dikehendaki bersama. Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [bisa juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain yang memiliki tradisi wayang].
Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa…
Dalam sejarahnya, dinamika perubahan, pergeseran, dan perkembangan wayang sangat tinggi dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dalam hal ini keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang berubah, bergeser, dan berkembang sangat dinamis dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Sebagai contoh, pada masa kuno keberadaan wayang sebagai upacara keagamaan kepada Zat Absolut; kemudian bergeser sebagai sumbu kebudayaan dan peradaban; selanjutnya bergeser sebagai rujukan dan sumber kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa; dan berikutnya berubah sebagai bentuk tontonan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa. Pada suatu masa, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan lebih kuat-dominan kedudukannya sebagai integrator masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, kemudian lebih kuat-dominan kedudukan wayang sebagai instrumen kepentingan masyarakat dan kebudayaan Jawa.
Selaras dengan itu, pada suatu masa peranan integrator wayang lebih dominan, kemudian pada masa lain peranan instrumental wayang justru lebih dominan. Selanjutnya, pada suatu masa fungsi integrator wayang sebagai presensi atau representasi keutuhan dan kerekatan masyarakat dan kebudayaan Jawa lebih fungsional [misalnya, sebagai identitas masyarakat dan kebudayaan Jawa dan sebagai mitologi-kosmologi masyarakat dan kebudayaan Jawa], kemudian pada masa berikutnya fungsi instrumental wayang lebih dominan [misalnya, fungsi spiritual, fungsi filosofis, fungsi etis-moral, fungsi politis, fungsi edukatif, dan fungsi rekreatif]. Semua hal tersebut menunjukkan adanya sebuah transformasi keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sebagai siasat mempertahankan dan mengembangkan wayang di tengah-tengah dinamika historis, antropo-psikologis, geokultural, religiokultural, dan sosiokultural masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dinamika transformasi tradisi wayang tersebut justru membuahkan keanekaragaman dan kekayaan lakon dan seni pertunjukan wayang.
Dalam dinamika transformasi tradisi wayang tersebut berbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan ikut campur, campur tangan, atau ”ikut bermain” secara berarti [signifikan] dan menentukan mengingat demikian fundamental dan strategisnya wayang dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa, bahkan juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain. Tak mengherankan, dunia wayang menjadi habitus, ranah, arena, dan atau ruang kontestasi [bertarung, bertanding, bersanding, dan atau berunding] aneka kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, antara lain agama, etika-moral, sosial, politik, ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai contoh, aneka kepentingan, kekuatan dan kekuasaan agama silih berganti bertanding, bersanding, dan berunding di dalam dunia wayang sehingga menjadikan lakon wayang, tafsir wayang, dan seni pertunjukan wayang beraneka ragam; ada lakon, tafsir, dan pertunjukan wayang bercorak pra-Hindu, Hindu, Islam, dan Kejawen [perhatikan, misalnya, lakon beserta tafsir dan pemaknaan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu]; seni pertunjukan wayang semakin beraneka ragam dan kaya, misalnya tokoh wayang diperkaya oleh Sunan Kalijaga, dan cerita diperkaya oleh ajaran Islam dan Nasrani.
Demikian juga pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan politik berkontestasi [bertanding, bersanding, dan atau berunding] dalam lakon dan pertunjukan wayang [terutama wayang kulit], misalnya pada zaman Orde Baru lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi, sosialisasi program, dan promosi hasil-hasil pembangunan Orde Baru [ingat lakon sekaligus pertunjukan wayang Semar Mbabar Jatidiri] pada satu sisi dan pada sisi lain dijadikan instrumen perlawanan kelompok masyarakat tertentu kepada Orde Baru. Pada zaman sekarang [Zaman Reformasi?] lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi dan sosialisasi penegakan hukum [lihat, misalnya, buku Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2010].
Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan sosial berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang kulit, misalnya lakon dan pertunjukan wayang kulit oleh pabrik-pabrik gula di Jawa dijadikan sarana legitimasi dan sosialisasi masa penggilingan tebu selain sarana hiburan bagi masyarakat; lakon dan pertunjukan wayang sebagai sarana konservasi ingatan masyarakat akan keberadaan pemerintahan tertentu [ingat wayangan pada peringatan ulang tahun pemerintah daerah]. Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan malah sangat kuat-dominan berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang sehingga wayang menjadi penggelaran pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi instrumen sekaligus katalisator pendidikan bagi masyarakat; wayang menjadi sumber, rujukan, bahan, dan ruang pendidikan bagi masyarakat. Tegasnya, wayang [baca: lakon, pertunjukan, dan komunitas wayang] selalu menjadi habitus, arena, atau ranah kontestasi beraneka ragam kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, satu di antaranya yang kuat-dominan adalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan.
/2/
Sebagai habitus, arena atau ranah kontestasi kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] menghadirkan, menampilkan, memantulkan, menggambarkan, menunjukkan, dan atau mencontohkan konfigurasi pendidikan yang membentuk sebuah corak atau ”mazhab” pendidikan tertentu, yang demi kemudahan dapat disebut corak atau ”mazhab” pendidikan wayang. Mazhab pendidikan wayang ini bukan saja menjadikan wayang sebagai instrumen pendidikan, tetapi membentuk sebuah konfigurasi atau karakteristik tertentu berkenaan dengan pendidikan. Di sini timbul pertanyaan: seperti apakah konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang? Secara ringkas ciri konfigurasi atau karakteristik ”mazhab” pendidikan wayang Jawa dapat diuraikan sebagai berikut.
Falsafah pendidikan wayang Jawa [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas seperti padepokan] dapat digolongkan ke dalam pendidikan holistik, paling tidak paralel dengan pendidikan holistik. Sebagaimana pendidikan holistik yang dinyatakan oleh berbagai pakar modern, falsafah pendidikan wayang Jawa meyakini bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh dimensi dan potensi manusia baik dimensi dan potensi spiritual, humanis, sosial maupun personal; baik dimensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik; baik potensi ruhaniah, batiniah, maupun lahiriah; baik potensi spiritual, intelektual, emosional maupun fisikal-kinestetis manusia secara serempak. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mengasah-tajam ke-waskita-an, ke-lantip-an, ke-wasis-an, ke-prigel-an, dan sejenisnya. Semua itu dapat disebut sebagai rasionalitas integratif atau holistis [berbeda dengan pendidikan Barat yang cenderung membentuk rasionalitas instrumental]. Hal ini memerlukan proses memerdekakan, memanusiakan, menjadi terus-menerus, dan mengutamakan manusia [liberasi, humanisasi, hominisasi, dan transendensi] sehingga manusia terdidik menjadi manusia merdeka, manusiawi, menjadi, dan utama. Karna, Sumantri, dan Arjuna adalah contoh figur manusia utama, merdeka, dan terus menjadi. Jadi, menurut perspektif wayang Jawa, pendidikan perlu mengikuti falsafah pendidikan holistik.
Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku.
Falsafah pendidikan wayang mengedepankan praksis pendidikan daripada teori pendidikan, paling tidak menempatkan teori pendidikan di belakang praksis pendidikan atau tidak membedakan secara tegas antara teori pendidikan dan praksis pendidikan. Dalam perspektif pendidikan wayang, laku didahulukan daripada konsep dalam menguasai pengetahuan sebagaimana terumuskan dalam larik Wedhatama: ilmu iku kelakone kanthi laku. Di sini laku dipandang lebih tepat sebagai jalan menguasai pengetahuan. Tokoh-tokoh wayang seperti Bima, Ajurna, dan Karna harus menjalani laku tertentu untuk menguasai pengetahuan tertentu. Demikian juga pendidikan calon dalang wayang di berbagai lembaga pedalangan menekankan laku, dalam hal ini praktik memainkan wayang secara intensif. Semua itu paralel dengan perkataan Konghucu sebagai berikut: //apa yang saya dengar, saya lupa/apa yang lihat, saya ingat/apa yang saya kerjakan, saya pahami//. Paralel juga dengan doktrin utama pemelajaran aktif [active learning] yang sekarang sedang ”digadang-gadang” [ditimang-timang] berikut ini: //yang saya dengar, saya lupa/yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat/yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan dengan orang lain, saya mulai pahami/yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan/yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai//. Malah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa laku pendidikan ala wayang selaras atau paralel dengan empat pilar pendidikan UNESCO berikut:/pemelajaran mengetahui [learning to know]/pemelajaran melakukan [learning to do]/pemelajaran hidup bersama [learning to tilve together]/pemelajaran menjadi diri sendiri [learning to be]/. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa praksis atau laku pendidikan ala wayang memiliki universalitas sekaligus aktualitas pada masa sekarang selain memiliki paralelisme dengan kebutuhan pendidikan pada masa sekarang.
Tujuan utama pendidikan wayang adalah membentuk manusia penuh pengertian yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil dengan laku tertentu yang ”tidak mudah” atau ”tidak gampangan”. Dalam hubungan ini muatan pendidikan [pedagogies content] berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang menjadi dambaan bersama. Sebagai contoh, tokoh Arjuna, Karna, Pandu, dan Sumantri, bahkan Sukrasana masing-masing merupakan figur manusia pangerten yang cerdas, berpengetahuan, berwatak, dan terampil. Dalam bahasa sekarang, masing-masing tokoh tersebut merupakan tokoh penuh pengertian yang berkompeten [memiliki kompetensi] dan berkarakter [memiliki akhlak mulia]. Mengapa demikian? Bukankah pengertian kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai yang digunakan untuk berpikir dan bertindak? Bukankah pengertian karakter adalah kesadaran etis-moral seseorang yang didasari oleh pemikiran, perasaan, dan perilaku? Jika memang demikian, bukankah tujuan pendidikan wayang paralel atau selaras dengan fungsi pendidikan nasional yang intinya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa? Hal ini mengimplikasikan bahwa tujuan pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi bagi pendidikan nasional.
Dalam pendidikan [ala] wayang diyakini bahwa ilmu atau pengetahuan bertautan dengan kepentingan atau kekuasaan tertentu sehingga tidak ada netralitas ilmu atau pengetahuan; selalu ada pertautan kepentingan atau kekuasaan dengan ilmu atau pengetahuan. Penyesalan Rama Bargawa [Rama Parasu] yang telah memberikan ilmu atau pengetahuan dan keterampilan kepada Bisma, Durna, dan Karna menyiratkan adanya pertautan pengetahuan dan keterampilan dengan kepentingan tertentu. Demikian juga lakon-lakon Ramayana yang bercerita seputar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau Sukesi-Wisrawa telah memantulkan secara jernih pertautan erat pengetahuan dengan kepentingan: pengetahuan tentang rahasia kesempurnaan hidup yang menjadi hak milik istimewa para dewa ternyata terlarang bagi perempuan seperti Sukesi sehingga Sukesi-Wisrawa menerima kutuk. Doktrin pertautan ilmu atau pengetahuan dengan kepentingan tertentu tersebut paralel dengan pernyataan Francis Bacon: pengetahuan adalah kekuasaan [knowledge is power]; selaras pula dengan pernyataan Fachry Ali tentang ilmu dan teknologi sebagai kekuasaan: dalam kasus Habibie pengetahuan menunjukkan diri sebagai kekuasaan [lihat bukunya Esai Politik tentang Habibie]; selaras pula dengan pandangan Edward Said bahwa ilmu atau pengetahuan selalu menjadi wahana imperialisme [lihat bukunya Orientalisme]. Di samping itu, juga paralel dengan doktrin Mazhab Kritis Frankfurt atau setidak-tidaknya paralel dengan pemikiran Jurgen Habermas tentang pertautan pengetahuan dengan kepentingan [lihat bukunya Knowledge and Human Interest]. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan wayang Jawa tentang ketidaknetralan ilmu atau pengetahuan memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pandangan filsafat ilmu modern.
Selaras dengan hal tersebut, dalam perspektif wayang, fungsi pendidikan adalah memberikan penyadaran atau penggugahan kepada subjek didik [baca: siswa] tentang diri siswa [jati diri, keberadaan, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab siswa]. Dengan kompetensi dan karakter [pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai] tertentu siswa diharapkan memiliki kesadaran atau ketergugahan diri di dunia. Wejangan filosofis dan etis-moral Kresna yang demikian panjang lebar kepada Arjuna yang tengah dilanda kegamangan menggambarkan pembentukan kesadaran atau ketergugahan Arjuna akan tugas dan tanggung jawab dirinya di dunia. Demikian juga ujaran Karna yang demikian panjang kepada Kunti sang ibunda tentang makna kesetiaan, martabat, dan pengorbanan menyiratkan adanya kesadaran atau ketergugahan Karna. Bahkan proses pendidikan calon dalang yang dipenuhi dengan wejangan dan latihan menunjukkan pembentukan kesadaran calon dalang. Uraian tersebut menunjukkan pendidikan ala wayang sebagai proses penyadaran atau penggugahan. Hal tersebut paralel atau selaras dengan pandangan Paulo Freire: Freire memandang pendidikan sebagai proses pembebasan dengan melakukan proses penyadaran [konsientisasi] siswa, dalam hal ini penyadaran kritis-transitif, bukan sekadar pemberian motivasi. Mazhab pendidikan kritis pada umumnya juga memandang proses pendidikan sebagai proses menyadarkan, bukan proses menabung di bank. Uraian tersebut jelaslah menyiratkan bahwa fungsi pendidikan dalam wayang paralel atau selaras dengan pandangan mazhab pendidikan kritis khususnya pandangan Freire. Oleh karena itu, fungsi pendidikan ala wayang memiliki universalitas dan aktualitas pada zaman sekarang.
/3/
Berlandaskan paparan ringkas di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi atau mazhab pendidikan [ala] wayang Jawa memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pemikiran pendidikan [pasca]-modern atau zaman sekarang selain memiliki universalitas dan aktualitas pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan. Hal ini mengimplikasikan bahwa mazhab pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi berarti bagi pendidikan modern atau zaman sekarang. Secara khusus mazhab pendidikan wayang dapat memberi kontribusi bagi pembentukan jatidiri pendidikan nasional Indonesia [sesuatu yang belum kita miliki, dalam arti bahwa sampai sekarang pendidikan nasional Indonesia belum memiliki jatidiri yang jelas dan utuh yang berpijak pada bumi sendiri]. Dengan kata lain, mazhab pendidikan wayang dapat dijadikan pijakan pendidikan nasional kita. Bukankah orang-orang terkemuka dan negara-negara terkemuka selalu berpijak pada bumi sendiri?
Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela menjadi terkemuka berkat kekayaan kultural dan moral yang digali dari bumi sendiri. Demikian juga pendidikan Finlandia dan Jepang menjadi terkemuka berkat pijakan bumi sendiri. Oleh sebab itu, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] perlu dipertahankan, dipelihara, dan bahkan dikembangkan agar mampu memberi sumbangsih bagi dunia pendidikan zaman sekarang, lebih-lebih zaman akan datang. Di samping itu, perlu diubah-suaikan [ditransformasikan] dan diadaptasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. Di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemertahanan, pemeliharaan, perlindungan, dan pengembangan serta perlindungan wayang Jawa, bahkan juga wayang-wayang lain yang ada di berbagai gugusan kebudayaan lokal di Indonesia. Semoga!
Hari ini sejarah hanya menjadi sebuah narasi, naskah, kisah, dan dongeng usang pengantar tidur. Sejarah ditempatkan manusia kini sebagai formula strategis untuk ‘pura-pura’ mengerti apa dan bagaimana perjalanan hidup bangsanya.
Kadang, kisah penting dalam perjalanan sejarah dipoles menjadi bendera, dan pernak-pernik unik sekadar untuk menandai bahwa ada sebuah monumen yang ‘mahal’. Belum ada kesadaran yang masif untuk mengalokasikan pengetahuan masa silam menjadi background dan falsafah dalam melakoni kegiatan hidup. Setidaknya menurut saya, hal ini cukup berbahaya.
Salah satu cara menjadi manusia yang berdaulat adalah paham betul bagaimana amanah sejarah diwariskan kepada seseorang atau sebuah entitas kelompok masyarakat untuk diputar kembali menjadi corak dan desain yang baru. Jika nilai ini abstain, maka manusia hanya akan menjadi benda hidup tanpa gema dan resonansi.
Salah satu cara menjadi manusia yang berdaulat adalah paham betul bagaimana amanah sejarah diwariskan kepada seseorang atau sebuah entitas kelompok masyarakat untuk diputar kembali menjadi corak dan desain yang baru. Jika nilai ini abstain, maka manusia hanya akan menjadi benda hidup tanpa gema dan resonansi.
Lantas apa korelasi antara seni dengan sejarah atau sejarah dengan seni? Tentu, penjelasan dalam tulisan ini adalah pandangan subyektif saya dalam menelaah wacana dan fenomena yang terjadi hari ini. Instrumen dan pendekatan yang sangat mudah untuk saya sentuh adalah kesenian, dimana ia adalah produk akal manusia yang memiliki kaitan sangat erat dengan kegiatan hidup manusia itu sendiri. Sehingga bentuk dan corak kesenian yang sangat beragam merupakan deteksi paling gampang untuk mengkaji secara sederhana bagaimana ‘petilasan’ sejarah pemeluk kesenian tersebut berlangsung.
Di sisi lain, dapat saya katakan pula bahwa seni adalah bentuk dari puncak orgasme paling dalam sebuah kejadian. Di sana memuat banyak sekali kritik, argumentasi, perasaan, protes, ‘unen-unen’, sampai sekadar banyolan semata.
Di sisi lain, dapat saya katakan pula bahwa seni adalah bentuk dari puncak orgasme paling dalam sebuah kejadian.
Seni Tradisi-Modern dan Kritiknya
Seni sangat beragam bentuk dan genrenya. Sebab itu pembahasan akan saya persempit, yaitu Seni tradisi (Jawa) dan modern yang masih bisa kita amati bersama. Eksperimen-eksperimen kecil pernah saya coba untuk menguji dua senyawa yang bekerja secara berlainan. Secara garis besar, kesenian memiliki sifat-sifat eksplorasi dan ekspresi yang sama. Mungkin yang membedakan adalah idiom maupun medium yang beraneka ragam. Apakah dua sifat seni (tradisi & modern) dapat saling merenovasi atau justru resisten jika diletakkan pada ruang-konteks yang berbeda, sehingga perlahan kita dapat menganalisis bagaimana perjalanan alam pikiran kesenian (secara otentik) berlangsung pada rentang waktu, zaman, dan unsur pembentuk dari pemeluk kesenian itu sendiri.
Yang terjadi, seni tradisi hari ini menjadi ‘bancakan’ dan ‘rayahan’ eksotis paling mengenyangkan. Dia ditempatkan untuk konsumsi alternatif ‘ndakik-ndakik’ dogma pelestarian dan pemeliharaan. Sekadar itu. Sebagai organisme rakyat, seharusnya spirit kelokalan menjadi opsi primer dalam pelaksanaan kegiatan hidup, hiburan, ritus, sampai ruang edukatif-akademik. Sekali lagi saya pertegas, spirit dan ide lokal harus tampil menjadi lakon utama dalam seluruh babak zaman. Karena faktanya, tradisi dipakai hanya pada wilayah pelengkap instrumen saja, tidak sampai pada nilai dan etik yang sebenarnya banyak sekali terkandung. Lebih dalam dari itu, saya memahami seni tradisi sebagai kesatuan utuh mikro-makro kosmos manusia Nusantara (pada umumnya) sebagai obyek vital simbol keselarasan manusia dengan alam semesta, dan religiusitas.
Sebagai contoh dengan merujuk pada judul di atas, sering saya temui kejadian penting dalam sejarah masa silam beriringan dengan proses alam pikiran kesenian tradisi. Misalnya, kisah tentang Sunan Kalijaga yang berdakwah menyebarkan agama Islam di Jawa dengan metode kesenian. Sebagai sebuah peristiwa, maka kisah syiar Sunan Kalijaga adalah sebuah kisah dakwah penyebaran ajaran agama. Namun secara sadar atau tidak sadar, sudah berlangsung sebuah alam pikiran seni tradisi untuk ikut andil dan berperan dalam sebuah peristiwa. Munculah sebuah simbiosis, renovasi dan inovasi. Kesenian yang dipakai sebagai metode dakwah tentu akan melahirkan corak, bentuk, dan pemikiran baru guna menyesuaikan diri dengan proses peristiwa yang sedang berlangsung. Di lain sisi, sebuah peristiwa juga terseret oleh alam pikiran seni sehingga membentuk konstruksi pemikiran, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan baru di tengah masyarakat. Secara sederhana dua hal ini akan saling melengkapi.
Kesenian yang dipakai sebagai metode dakwah tentu akan melahirkan corak, bentuk, dan pemikiran baru guna menyesuaikan diri dengan proses peristiwa yang sedang berlangsung. Di lain sisi, sebuah peristiwa juga terseret oleh alam pikiran seni sehingga membentuk konstruksi pemikiran, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan baru di tengah masyarakat. Secara sederhana dua hal ini akan saling melengkapi.
Gamelan, sebagai seni tradisi Jawa, juga merupakan produk hasil dari simbiosis peristiwa sejarah dengan alam pikiran seni. Sebagai peristiwa, ia adalah instrumen penting dalam proses berlangsungnya peristiwa itu sendiri. Sebagai instrumen kesenian, ideologi dan makna Gamelan memiliki pengaruh yang sangat erat dengan sebuah peristiwa tersebut. Lantas mengapa saya mengambil contoh kesenian tradisi?
Gamelan era Sunan Kalijaga merupakan gubahan dari bentuk kesenian gamelan kuno era Jawa kuno sampai akhir dinasti kerajaan Majapahit yang masih kental dengan pengaruh Hindu-Budha dan kebudayaan India. Gamelan yang digubah oleh Sunan Kalijaga tentu mengalami banyak sekali modifikasi dan pengaruh dari nilai-nilai keislaman sampai pada pengaruh kebudayaan Timur Tengah. Artinya, pada saat itu gamelan ‘dakwah’ menjadi bentuk kesenian paling update dan terbaru atau mungkin dapat kita sebut pula sebagai bentuk kesenian yang paling modern. Sebagai kesenian yang modern (saat itu), proses kegiatan seni gamelan tidak lantas lepas dari muatan-muatan kelokalan, nilai-nilai lokal, dan tetap familiar untuk disentuh oleh masyarakatnya. Mulai dari ruang, fungsi, dan peran gamelan ‘dakwah’ tidak abstain dari spirit dan tindakan otentik masyarakat Jawa. Padahal secara musikal maupun penyajian, tentu menjadi sesuatu hal yang sangat baru. Itulah mengapa di atas saya katakan spirit dan ide lokal harus tampil menjadi lakon utama dalam seluruh babak zaman.
Begitu pula dengan kesenian Wayang. Wayang yang kita kenal hari ini adalah produk inovasi seiring dengan proses sebuah peristiwa syiar dakwah keagamaan. Wayang purwa gubahan para wali juga merupakan bentuk strategi dakwah keagamaan melalui kesenian, sehingga dalam prosesnya dapat diterima dengan baik dan familiar oleh masyarakat Jawa pada umumnya.
Sebelumnya, pada era kerajaan Majapahit wayang dikenal dengan istilah wayang beber. Yakni wayang yang tergambar pada layar yang sangat lebar dan menceritakan kisah-kisah teladan, kepahlawanan kuno dari ajaran agama Hindu maupun Budha. Kemudian media wayang dirembug ulang dengan sentuhan aransemen keislaman meskipun lakon yang dibawakan adalah kisah-kisah ajaran Hindu. Maka, secara mudah dapat kita simpulkan pula bahwa bentuk wayang purwa merupakan bentuk kesenian baru yang tidak meninggalkan nilai dan pedoman lama yang sudah berlaku sebelumnya. Meskipun ada banyak sekali hal yang direvolusi secara muatan, manajemen pertunjukannya, dan penokohan, wayang purwa tetap eksis dan berlaku sebagai kesenian Jawa yang kuat akan identitas kulturalnya.
Pada hari ini, ada banyak sekali usaha pelestarian kesenian tradisi dengan langkah akulturasi terhadap kesenian modern (barat). Bentuk kesenian tradisi dipaksa bermain terlalu jauh dalam metode dan tata cara kebiasaan modern. Banyak sekali pelaku seni justru terjebak pada instrumentasinya saja, tanpa mau menggali lebih dalam bagaimana cara kesenian tradisi berkenalan dengan pola-pola lain. Nilai-nilai lokal dibenturkan dengan cara berargumen modern, sehingga ada banyak sekali resistensi namun tetap dipaksakan demi menarik pasar yang strategis. Imbasnya sangat fatal, motif kelokalan hanya ditempel sebagai emblem eksotisme dan guyonan jargon pelestarian budaya semata. Tradisi terus-menerus dipaksa mengalah dan diperkosa dengan mobilitas pemikiran ‘modern’ yang kebut-kebutan. Proses pembaharuan kebutuhan seni rakyat terhambat karena bentuk yang baru tidak mampu mengakomodasi cita, rasa, dan karsa pemeluknya. Padahal jika kita mau sedikit saja mengerti dan belajar bagaimana cara organisme kelokalan bekerja maupun berkenalan dengan pemikiran baru, maka kita dapat mengalokasikan ide pembaharuan terhadap spirit kedaulatan kultural secara manis dan luwes.
Banyak sekali pelaku seni justru terjebak pada instrumentasinya saja, tanpa mau menggali lebih dalam bagaimana cara kesenian tradisi berkenalan dengan pola-pola lain.
Namun, dalam perspektif yang lain, saya pribadi mengalami dan merasakan sebuah kesenjangan yang amat jauh. Hal ini sering sekali saya temui saat berproses dalam pentas seni tradisi penggarapan lakon kethoprak dan menggarap iringan musik gamelannya. Pada umumnya pelaku seni tradisi memiliki sifat primordialisme yang amat kuat. Alam pemikiran seni dikekang pada ruang dan tatanan yang biasa sekali kita dengar dengan istilah pakem. Sehingga ada suatu bentuk penolakan non-verbal yang dikemukakan secara ‘proses’ saat ada usaha untuk berinovasi dalam wilayah instrumentasi.
Jika mengacu pada kisah para wali yang berdakwah dengan metode kesenian, maka seharusnya kita bisa belajar bagaimana cara mengolah nilai-nilai kultural dibangun dan direnovasi dengan dinamisnya arus zaman yang terus bergerak seiring terhadap berkembangnya cara manusia berpikir dan berperilaku. Analogi sederhananya demikian, katakanlah instrumen kita sebut sebagai gula, sedangkan filosofi dan nilai adalah rasa manis. Jika kita mengerti konsep sederhana ini, maka kita bisa saja mendapatkan rasa manis dari berbagai macam sumber, bentuk, maupun media.
Gamelan dan wayang purwa yang digubah oleh para wali untuk syiar dakwah adalah muatan instrumen, ia direka-reka sedemikian rupa menjadi bentuk yang baru dan dinamis (sesuai dengan zamannya) tanpa mengesampingkan bagaimana rasa manis (nilai) berikut bekerja dengan semestinya. Sehingga berkenan menjadi konsumsi yang sarat akan muatan hiburan terbaru, edukasi, pengetahuan, dan spiritual.
Kesenjangan antara pelaku seni modern yang ingin terus berinovasi, dengan pelaku seni tradisi yang masih sangat primordial harus mulai ditengahi. Dua contoh bentuk kesenian di atas hanyalah contoh-contoh kecil dari sekian banyak bentuk kesenian yang sama-sama memuat nilai-nilai inovasi, renovasi, pe-modern-an tanpa melepas identitas dan pedoman yang berlaku. Artinya, di sini kita dapat belajar banyak dari sebuah peristiwa sejarah yang amat penting dan sangat berkorelasi terhadap perjalanan alam pemikiran seni.
Pelaku seni hari ini sudah harus berani bergotong-royong membangun ekosistem seni yang berdaulat dengan identitas kulturalnya. Mengakomodir nilai-nilai lokal yang amat kuat dengan media dan instrumen modern tidak hanya menghasilkan produk hiburan seni semata, lebih dalam dari itu adalah edukasi kepada generasi penerus dapat bersirkulasi dengan baik tanpa ada kesenjangan apapun.
Kesenian Menjadi Diorama Sejarah
Di Desa Gedongsari, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul terdapat sebuah tradisi cing-cing goling yang digelar oleh masyarakat desa setempat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berlimpahnya hasil panen dan kebutuhan air yang terus ada meski musim kemarau tiba.
Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat setempat, dikatakan jika pelarian prajurit dari Majapahit yakni Wisangsanjaya dan Yudopati membangun sebuah bendungan sehingga dapat mengairi lahan pertanian dan membuat masyarakat setempat lebih sejahtera. Setelah datang dan menyatu dengan warga, keduanya pun turut serta pula dalam mengusir kawanan perampok yang berusaha mengusik keamanan dan ketenteraman desa.
Saat ini bentuk peristiwa heroik Wisangsanjaya dan Yudopati yang berhasil mengusir kawanan perampok digambarkan dalam tarian teaterikal. Pada adegan tersebut, belasan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian milik warga setempat di lahan sekitar bendungan, untuk mengusir gerombolan penjahat. Salah satu adegannya adalah seorang pemeran yang memerankan istri Wisangsanjaya mengangkat kembennya atau dalam bahasa jawa disebut cing-cing, saat berlari. Dalam Adegan teaterikal tersebut, belasan orang lainnya saling tarik-menarik sambil bernyanyi : cing…goling, cing….goling, dan mengelilingi tokoh peran Wisangsanjaya dan istri beserta seorang pengawal yang membawa cemeti. Meski teaterikal tari tersebut harus dibayar dengan menginjak-injak tanaman, namun para petani tidak akan marah. Kebanyakan mereka justru mengharapkan hal itu. Warga setempat meyakini, tanaman yang diinjak-injak tidak akan mati, tetap justru akan terus bertumbuh subur. (Kompas.com : Upacara Cing-cing Goling, Tradisi Menjaga Sumber Air di Gunungkidul)
Salah satu informasi mengenai upacara adat, seni, dan budaya diatas sepintas melempar imajinasi saya dalam visual-imagine model diorama yang menceritakan sebuah peristiwa yang biasa kita lihat di balai-balai atau museum pelestarian sejarah. Sangat menarik sekali, ada sebuah paradigma baru di dalam kepala saya, di sana terdapat cara unik dari masyarakat untuk mengenang suatu kejadian penting. Selain dipelihara dan dirawat pada ruang-ruang akademik, formal, dan teoritis, masyarakat kita memiliki segudang khazanah luar biasa untuk ‘ngopeni’ sekaligus mengedukasi zaman. Determinasi menjaga kedaulatan dan identitas budaya menjadi bagian yang sangat penting. Dengan dan bagaimana ia dirawat, tentu tidak terikat pada instrumennya. Nilai dan kode-kode penting diinagurasi dengan menjaga jarak proporsional secara optimal, agar pembaharuan dan ide tidak mengambang begitu saja. Buktinya adalah salah satu contoh yang sudah saya kemukakan di atas, peran kesenian dan tradisi tidak sebatas pada eksotika maupun hiburannya semata. Dia mampu berperan dalam menjaga harta karun peradaban dengan sangat luwes dan dinamis.
Pada tanggal 28 Oktober 2018, saya bersama komunitas Dentum dan masyarakat pedukuhan Gemahan, Ringinharjo, Bantul menggelar sebuah pentas teater tradisi dengan lakon ; “Ki Ageng Mangir Lena”. Dalam pentas tersebut yang berusaha disuguhkan bukan sekadar sebuah pentas pertunjukan semata, lebih jauh dari itu adalah sebuah bentuk sinergitas pelaku seni dengan masyarakat desa dalam merawat siklus zaman. Muatannya ada banyak sekali, diantaranya adalah usaha untuk menjadikan ruang seni menjadi sangat mudah sekali untuk disentuh oleh masyarakat luas tanpa batasan, sekat, maupun eksklusivitas tertentu. Mengaktifkan kembali sensor untuk mendeteksi ‘diorama’ sejarah masyarakat desa tersebut dengan tokoh sejarahnya (Ki Ageng Mangir) melalui media seni kolektif. Bereksperimen pada wilayah nilai maupun instrumentasi seninya dengan mengacu prinsip “inovasi, perkembangan, modernisme harus dikontrol dengan spirit dan ide lokal yang tampil menjadi lakon utama”.
Usaha ‘ndakik-ndakik’ tersebut lantas menetas dan berkembang biak di tengah masyarakat tidak sekadar ‘pernah pentas’, namun kesenian dalam konteks pemeliharaan nilai kesejarahan dipegang betul oleh masyarakat setempat. Imbasnya jauh kedalam, merawat sejarah dengan kesenian sebagai dioramanya akan menjadikan seorang manusia ‘pede’ dengan identitas kulturalnya.
Usaha ‘ndakik-ndakik’ tersebut lantas menetas dan berkembang biak di tengah masyarakat tidak sekadar ‘pernah pentas’, namun kesenian dalam konteks pemeliharaan nilai kesejarahan dipegang betul oleh masyarakat setempat. Imbasnya jauh kedalam, merawat sejarah dengan kesenian sebagai dioramanya akan menjadikan seorang manusia ‘pede’ dengan identitas kulturalnya.
Akhirnya bisa kita lihat bersama, bentuk kesenian (tradisi) yang pada umumnya memang sebuah bentuk diorama dan media untuk ‘ngudari’ sesuatu nilai abstrak yang sering dianggap tidak masuk akal oleh lingkungan akademik padahal di dalamnya sangat logik untuk dianalisa dan dipelajari secara metodologis menjadi tidak kabur. Setidaknya melalui kesadaran atas simbol-simbol, semiotik, dan ‘sasmita’ kalau orang Jawa menyebut, dapat membawa tubuh ke-tradisi-an menjadi induk peradaban.
Usaha generasi silam dalam menjaga corak tradisi dengan akal dan orientasi yang sehat adalah itikad menjadikan entitas yang ‘waras’. Selain menjadi manusia yang kaya akan khasanah maupun wacana, ia bakal menjadikan manusia menghargai betul bagaimana peradaban sebuah bangsanya berlangsung dan berkontinyu.
Sunan Kalijaga adalah ujud legenda Jawa paling populer. Dan kisah itu bermula dari Sunan Bonang, sang guru, yang membangunkannya dari pertapaan dan memberinya gelar Sunan Kalijaga. Mungkin karena pertapaannya di pinggir kali, ia diberi gelar Sunan Kalijaga.
Kali, sungai, atau bengawan, memang punya sejarahnya sendiri yang teramat panjang. Sungai bukan semata tempat mengambil air, mandi dan mencuci, melainkan sebagai urat nadi peradaban. Peradaban-peradaban klasik yang adiluhung banyak ditemui di sekujur sungai. Sebut saja sungai Eufrat dan Tigris di Mesopotamia, Indus dan Gangga di India, Nil di Mesir, Mekong di Tiongkok, dan seterusnya.
Di Jawa, kali Brantas dan Bengawan Solo menjadi urat nadi bagi bentangan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan besar, seperti Singhasari dan Majapahit. Dan kita tahu, era Sunan Kalijaga (atau era Walisanga) adalah era dimana Majapahit diambang keruntuhannya. Para pujangga menamainya “sandyakalaning madjapahit”.
Maka, Sunan Kalijaga sebagai sebuah nama, tentu bukan sembarangan. Keruntuhan kerajaan besar adalah bencana. Namun, bencana harus disikapi, agar keruntuhan total bisa dihindari. Kalijaga bisa bermakna sebuah tugas yang sangat mendasar: menjaga urat nadi bangsa Jawa. (Baca juga: Islam Nusantara, Negoisasi dan Pribumisasi Islam)
Pertanyaan atas Narasi Keberhasilan Walisanga
Ketika Said kembali ke masyarakat dan berperan sebagai Sunan, ia menyadari bahwa yang dihadapi sesungguhnya masih sama seperti saat masih berandal. Kemunduran Majapahit sejak Perang Paregreg (1404-1406) antara istana barat pimpinan Wikramawardhana dengan istana timur pimpinan Bhre Wirabhumi, membawa perpecahan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dan Raden Said adalah putra dari salah satu raja kecil itu, Adipati Wilwatikta.
Dan perpecahan membawa beban yang tak tertanggungkan bagi kaum kawula. Beban upeti kian berat. Kawula kian melarat. Pendeknya, Jawa sedang sekarat.
Namun Said juga tahu, merampok penguasa untuk diberikan ke kawula jelata bukan solusi. Kawula tak akan pernah berdikari. Ia tak mau mengulang kegagalan kembali. Tak perlu.
Maka, bersama para Sunan lain terutama dalam Walisanga, siasat disusun. Beban rakyat harus diringankan, tapi bukan dengan ikut campur dalam pertikaian.
Narasi sejarah yang berkembang kemudian adalah Sunan Kalijaga menggubah tembang, kidung-kidung penggetar malam, juga menjadi dalang atas jenis seni yang baru ia cipta: wayang. Wayang Kulit tepatnya. Sebab Wayang Beber sudah ada. Dan dari tembang dan wayang, risalah Islam diselipkan. Dan berhasil. Padahal sebelumnya, Islam sudah masuk Nusantara jauh-jauh hari sejak Abad ke-7 Masehi, tepatnya era Khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun Islam tak mampu menembus bangsa Jawa.
Para sejarawan menulis, berdasarkan sumber dari catatan Ying-ya-sheng-lan karya Ma Huan, sekretaris Cheng Ho ketika melakukan pelayaran ketujuh (1433 M), bahwa penduduk Jawa saat itu terdiri dari tiga komunitas, yakni dari daerah barat (Arab-Persia) dan Tionghoa yang beragama Islam, sementara pribumi Jawa mayoritas belum Islam. Namun, ketika Tome Pires datang pada 1513, ia mencatat bahwa sepanjang pantai utara Jawa, mayoritas sudah memeluk Islam. Artinya, ada era yang cukup singkat dalam pengislaman Jawa. Dan itulah era Walisongo, yang di dalamnya termasuk Sunan Kalijaga, yang berdakwah dengan nembang dan ndalang itu.
Saya tidak mengingkari narasi tersebut. Namun, soalnya adalah apakah kelaparan yang mendera dan ketakutan pada penguasa bisa kenyang dan merasa aman dengan melantunkan tembang dan nonton wayang? Bukankah justru aksi berandal Lokajaya lebih solutif karena perut yang lapar langsung diberi sembako dan kondisi terancam langsung dapat pembela?
Kemudian apa yang membuat orang berbondong-bondong masuk Islam jika gerakan budaya itu tidak secara langsung memberi solusi kongkrit dalam persoalan hidup rakyat jelata itu? Apakah mereka puas dengan sekedar harapan-harapan palsu yang menjadi candu?
Adapun dalam konteks kemerosotan bangsa Jawa, apakah alunan tembang dan dan gubahan wayang mampu menghadang kemerosotan bangsa Jawa? Apakah gerakan budaya mampu menyatukan bangsa Jawa dengan badai bangsa Barat menerpa?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengiang di kepala saya. Dan sepertinya memang tidak ada jawaban yang memadai. Tapi dalam tulisan ini tetap akan saya coba. (Baca juga: Wayang Purwa: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara Bagian I & Bagian II)
Islam, Risalah Pembebasan?
Risalah Islam dibawa Nabi Muhammad pada Abad ke-7 Masehi di Mekah, di tanah Arab. Suatu tanah gurun nan tandus, dengan peradaban yang masih sangat sederhana. Berbeda dengan Nusantara yang bertanah subur dan di abad yang sama yang sudah mampu membangun peradaban tinggi seperti Medang Kamulan dan Kedatuan Sriwijaya.
Di Arab saat itu, kesenian yang bisa dikatakan maju hanyalah syair, yang sering dilombakan di pasar Ukadh. Syair paling bagus akan ditulis dengan tinta emas dan digantung di dinding Ka’bah.
Adapun, secara ekonomi penduduk Mekah bermatapencaharian sebagai pedagang. Secara sosial, masyarakat Arab ashobiah-nya sangat kental. Sementara stratifikasi sosialnya yaitu kelas pemodal, dan pekerja dan budak sebagai mustad’afien. Nabi Muhammad sendiri sebelumnya adalah seorang pedagang-pekerja, bukan pemodal. Ini yang sering disalahpahami oleh pegiat entrepreneurship, yang menempatkan Nabi seolah seorang kapitalis syariah yang sukses.
Ketika Nabi membawa risalah Islam, yang paling semarak menyambut adalah golongan mustad’afien. Sementara itu, Islam mendapat penentangan yang keras oleh elit-elit masyarakatnya. Fakta itu menunjukkan bahwa Islam bukan sekedar seruan kosong, tapi suatu daya yang bakal mendobrak struktur masyarakat yang menindas, yang dikenal dengan jahiliyah.
Seruan Tauhid dalam Islam bukan semata agar seseorang mengakui keberadaan Tuhannya, tapi membawa implikasi yang tidak ringan. Dalam Alquran ada aksioma-aksioma yang menghantam jantung masyarakat jahiliyah. Seperti kesetaraan manusia di hadapan Allah. Lalu larangan keras atas praktik riba, berlebihan, mubazir, takatsur (akumulasi), bagy dan fakhsya.’ Sesuatu yang lazim dalam masyarakat Arab waktu itu.
Daya dobrak itulah yang membuat elit-elit Makkah merasa terancam dari status quo, sehingga segala upaya mereka lakukan untuk menghadangnya. Mulai bujuk rayu hingga ancaman pembunuhan pada diri Nabi. Hingga penyiksaan dan pemboikotan bagi pengikut Nabi.
Nabi kemudian hijrah ke Yastrib, dan penduduk kota itu menyambut baik dan malah menjadikannya sebagai pemimpin. Di Yatsrib Nabi mendirikan masyarakat baru, dengan Piagam Madinah dijadikan landasan. Suatu piagam yang sangat progresif pada zamannya.
Keberhasilan Islam di Yastrib (Madinah), membuat Makkah ketar-ketir. Madinah adalah jalur perdagangan tradisional Qurays ketika hendak berdagang ke Syam. Sebab itu, elit-elit Makkah menyusun kekuatan untuk menguasai Madinah. Dan perang pun terjadi berkali-kali. Hingga akhirnya justru Makkah takhluk di bawah pimpinan Islam.
Ada hal penting yang perlu diketahui dalam penakhlukan Mekah. Yakni bahwa Nabi tidak membalas dendam atas penduduk Mekah yang selama ini memeranginya. “Ini hari kasih sayang, bukan hari pembalasan dendam,” begitu orasi Nabi yang mengharukan.
Penakhlukan Mekah membawa pembebasan. Struktur sosial jahiliyah dibongkar, masyarakat baru dibangun. Usai Nabi wafat, Islam menjadi spirit baru bagi pembebasan masyarakat Arab dari struktur dan kultur jahiliyah, dan spirit it uterus menyebar ke penjuru bumi. Masyarakat Islam kemudian menjadi poros kejayaan dunia sepanjang delapan abad setelahnya.
Islam dalam Silang Nusa Jawa
Sepanjang delapan Abad yang sama, Nusantara adalah masa kejayaan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha, yang silih berganti dari Mataram Kuno dan Sriwijaya, hingga kemaharajaan Majapahit. Sepanjang itu pula Islam yang dibawa para saudagar dan para mubalig, kesulitan untuk bisa diterima masyarakat Nusantara.
Dalam masyarakat Jawa, kesulitan itu karena struktur masyarakat yang menempatkan golongan saudagar dan orang asing dalam kasta rendah, yakni Sudra dan Mleccha. Di atas itu ada triwangsa, yakni brahmana (begawan), ksatria (bangsawan), dan waisya (petani, alias rakyat kebanyakan). Artinya ketika Islam dibawa saudagar, sudah pasti tidak didengar.
Baru ketika Majapahit dalam fase keruntuhannya, Islam mulai bisa diterima secara massif. Faktor-faktor penerimaan itu, menurut para sejarawan, pertama karena status penyebar, yang kedua soal strategi.
Hubungan Majapahit dengan kerajaan Islam Campa cukup bagus. Apalagi ketika prabu Brawijaya mempersunting putri kerajaan Campa, yang kemudian mengislamkan sang Prabu.
Hubungan juga berlangsung dengan penerimaan para ulama dari Campa, seperti Sunan Samarkandi (keponakan putrid Campa), dengan dua anaknya, Ali Murtadha dan Ali Rahmat. Ali Murtadha diberi jabatan sebagai Raja Pandita, semacam departemen keagamaan khusus Islam. Sementara Ali Rahmat berperan sebagai tabib dan imam masjid, yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel.
Ketika pada 1471 Campa mengalami penaklukan oleh Raja Koci (Vietnam), berlangsunglah eksodus besar-besaran para bangsawan Campa ke Nusantara termasuk Jawa. Sekeliling Ngampel Denta di Surabaya kemudian banyak orang Islam pelarian dari Campa (Lombard, 2008: 43).
Warisan-warisan Campa yang bisa dilihat sekarang adalah adanya beberapa makam Putri Campa di Jawa, seperti di Lasem, Gresik dan Trowulan. Sementara itu, warisan-warisan tradisi Islam Campa bisa ditemui dalam upacara-upacara kematian, seperti upacara 3, 7, 40 dan 100, dan 1000 hari.
Raden Rahmat atau Sunan Ampel kemudian dikenal sebagai pelopor Walisanga, suatu perkumpulan para sunan yang punya misi untuk menyebarkan Islam di Jawa. Dan Walisanga memang yang membuat Jawa dalam waktu yang relatif singkat penduduknya masuk Islam secara masif.
Penerimaan Islam di Jawa sejauh ini dikait-eratkan dengan strategi kebudayaan Walisanga yang secara canggih memasukkan unsur-unsur keislaman. Namun, yang perlu lebih dipahami menurut saya adalah kehadiran Walisanga ada dalam momentum yang tepat. Jiwa bangsa Jawa yang sekarat membutuhkan obatnya. Dan Walisanga menyediakan hal itu.
Dalam sejarah, kita kenal istilah trilogi politik klasik Jawa, yaitu wangsa, cacah dan tlatah. Wangsa adalah pemilik cacah dan tlatah, sehingga dalam struktur sosial politik dikenal dua kelas: kelas atas yaitu wangsa atau dikenal dengan gusti, dan kelas bawah yaitu kawula. Bentuk hubungan antar kelas adalah wangsa atau gusti sebagai penentu segala kebijakan yang menyangkut nagari, sementara peran kawula adalah memenuhi seluruh perintah gusti, dan bentuk yang paling dasar adalah upeti.
Pada era kemerosotan Majapahit, antar penguasa-penguasa local bertikai. Dan pertikaian memerlukan biaya besar. Dan biaya itu yang dibebankan pada kawula, dalam bentuk upeti yang tinggi. Sementara siapa pun kawula yang tak mampu membayar upeti siap-siap disiksa. Para kawula diliputi kesengsaraan dan ketakutan pada penguasa.
Sebagai bagian dari keluarga keraton yang kesehariannya bergumul dengan kaum kawula, Raden Said merasa tak tahan. Kesewenang-wenangan harus diberi pelajaran. Kesengsaraan harus dihentikan. Itulah yang membuatnya melakukan aksi perampokan yang hasilnya untuk rakyat jelata. Hingga ia sadar, itu aksi yang sia-sia.
Raden Said kini jadi Sunan Kalijaga, bagian sah dari Walisanga. Dan Walisanga adalah para ulama yang bukan sekedar mengabarkan Islam sebagai seruan kosong, tapi Islam harus jadi obat bagi jiwa bangsa Jawa yang sekarat. Islam harus hadir sebagai solusi kongkrit bagi kawula yang sengsara dan melarat.
Sunan Kalijaga Sekedar Jualan Candu?
Di belahan dunia yang jauh pada Abad XIX, filsuf berjenggot tebal bernama Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah candu, lalu komunisme adalah hantu. Mungkin Marx sedang berpuisi, tapi dua frase itu seperti kutukan bagi pengikutnya.
Kata-kata Marx kemudian membelah bumi. Komunisme berhadap-hadapan dengan agama. Dan, ketika di suatu belahan bumi komunis membantai jutaan manusia, jutaan komunis juga dibantai di belahan lainnya. Marx mungkin menyesalinya di akhirat sana. Lalu kembali kedunia menjadi hantu yang ingin merevisi kata-katanya. Tapi sayangnya, hantu hanya mampu menghantui, tak bakal kuasa merevisi.
Namun, agama memang punya candunya sendiri. Dan candu tak mesti buruk. Dosis yang tepat bisa sangat berguna, seperti dalam dunia medis.
Dalam masyarakat yang teramat sengsara, agama berguna untuk menenangkan, menenteramkan, agar tidak bunuh-bunuhan, atau satu persatu diam-diam bunuh diri karena derita sudah tak tertahankan. Bahwa candu agama berfungsi menyediakan penawar segala lara yang mendera manusia di sekujur bumi. Bahwa meski di dunia hidup melarat dan sengsara karena kapitalisme industrial, asal dengan sabar menerima takdirNya, di akhirat sana akan berbuah surga.
Dan ketika Sunan Kalijogo nembang dan ndalang sambil mengajarkan Islam, bisa saja itu disebut sebagai candu jika memang tujuannya agar melalaikan masyarakat atas keadaan yang dialami dan harus dirombaknya. Tapi kita tahu, tembang dan wayang besutan Sunan Kalijaga bukan semata hiburan yang memabukkan. Ada emansipasi di sana. Dan emansipasi termasuk inti dari ajaran Islam.
Bentuk emansipasi itu nampak dalam berbagai karya Sunan Kalijaga. Dalam cerita pewayangan, misalnya Mahabarata yang cerita dasarnya adalah pertarungan “kelas atas” belaka, yakni Pandawa dan Kurawa, oleh Sunan Kalijaga dimunculkan tokoh rakyat jelata, yakni Punakawan yaitu Semar, gareng, Petruk, Bagong.
Semar adalah gambaran dewa tertinggi tapi memilih menjadi rakyat jelata. Sunan Kalijaga seperti hendak memberi pesan bahwa rakyat tak bisa disepelekan, direndahkan. Rakyat jelata bukan semata obyek (maf’ul), tapi dijadikan subyek (fa’il) dalam cerita itu. Artinya Islam yang dibawa Walisanga bukanlah agama yang menjadi candu.
Waringin Sungsang
Warisan Walisanga yang kita kenal saat ini dan sangat progresif adalah ajaran manunggaling kawula gusti. Kawula dan gusti dilebur, diganti istilah baru yang diambil dari ajaran Islam, yakni masyarakat.
Kata masyarakat merujuk pada kata “musyarakah” yang artinya orang-orang yang saling kerjasama. Dalam masyarakat, setiap anggota bisa berkata “ingsun” untuk menyebut dirinya. Suatu sebutan yang sebelumnya hanya kelas atas saja yang boleh menggunakan. Sementara kelas bawah adalah kula, kawula, abdi, hamba, atau sahaya, yang artinya sama: budak. “Ingsun” masih kita warisi terutama di pesantren-pesantren ketika mengaji kitab kuning.
Perombakan struktural terus dilangsungkan, terutama ketika Walisanga menginisiasi kerajaan baru: Demak Bintara, dengan seorang raja bernama Muhammad Al-Fattah, putera Prabu Brawijaya V dengan istri seorang selir yang dikenal sebagai Puteri Cempa.
Pada zaman Demak, tanah-tanah perdikan mulai diperbanyak, untuk kemudian dijadikan tanah rakyat. Bahkan ada kisah seorang adipati, yaitu Ki Ageng Penging, murid Syekh Siti Jenar, yang memilih melebur bersama rakyat jelata, dengan membagi tuntas tlatah yang ada dalam kekuasaannya.
Selain itu, kalau melihat manuskrip-manuskrip warisan Walisanga, peran mereka memang bukan sekedar mengajarkan fiqh sebagaimana kebanyakan muballigh belakangan, tapi juga mengembangkan berbagai jenis keilmuan, mulai dari mantiq (logika), falaq (astronomi), kawruh jiwa, pengobatan, hingga metalurgi.
Fakta-fakta itulah yang kalau kita cermati, gerakan Walisanga itu di dalamnya mengampu suatu gerakan meretas kelas, sekaligus upaya mengembalikan martabat manusia Jawa.
Dalam dunia persilatan, ada satu ajian paling sakti warisan Sunan Kalijaga, yaitu ajian Waringin Sungsang. Ajian itu, konon ia dapatkan dari seorang sakti yang ia tantang berkelahi ketika masih berandal, dan kalah. Waringin Sungsang memang lebih dikenal sebagai ajian sakti pelumpuh kekuatan lawan dengan mengambil posisi kebalikannya.
Namun, izinkan saya menafsiri bahwa waringin sungsang adalah upaya Sunan Kalijaga membalikkan keadaan manusia Jawa yang mengalami kemerosotan. Dan apakah upaya itu berhasil?
Bangsa Barat keburu datang, sementara Nusantara belum sembuh dari sakitnya. Bangsa yang jumajah, benar-benar mengalami penjajahan.
Bantul, Senin Kliwon, 15 April 2019
Renungan Otobiografis Seorang Penulis Pantura
Di ujung utara
Yang berlumur dosa
Kudatang mengharap
Sisa-sisa cinta
~Jhonny Iskandar, “Hitam Duniamu Putihnya Cintaku”
/1/
da tiga peristiwa budaya yang saya pakai dalam novel saya, Kambing dan Hujan (2015), untuk menandai masa sejarah sekaligus masa sosiologis dari masyarakat yang saya gambarkan di novel. Pertama, penolakan beberapa orang pemuda untuk ikut dalam upacara tayuban di kuburan. Kedua, kericuhan berdimensi kelompok yang membuat sebuah pagelaran Wayang bubar sebelum waktunya. Dan, ketiga, penolakan dua masjid terhadap pagelaran campursari, yang mengakibatkan kericuhan juga.
Tiga peristiwa itu ada dan terjadi di desa saya, dan saya anggap memang menandai perubahan dalam masyarakat desa saya, dan karena itu saya pungut dalam cerita—tentu saja dengan sedikit perubahan dan dramatisasi secukupnya. Tayuban dan wayangan di peristiwa pertama dan kedua memang demikian adanya (terjadi masing-masing sekitar awal ‘60-an dan akhir ’60-an), sementara campursari di peristiwa ketiga sebenarnya adalah tanggapan tayuban yang kesekian (terjadi sekitar sepuluh tahun lalu) yang, karena ditolak oleh dua otoritas keagamaan yang ada di desa, akhirnya sama sekali tak jadi digelar.
Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir di tengah-tengahnya
Desa saya ada sisi Pantura Lamongan, meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya bisa disebut berkebudayaan pesisir. Yang pernah membaca Dawuk (2017) mungkin pernah membaca kalimat ini: “Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir di tengah-tengahnya”. Kira-kira di situlah letak desa saya—meskipun, karena saya bukan seorang kartograf atau petugas pertanahan, tentu saja tak sepersis itu. Jalan Deandels yang ada di antara desa saya dan bibir pantai Laut Jawa memudahkan kami jadi lebih dekat ke utara dibanding ke selatan, dan itu membuat kami lebih intens bertukar-tangkap budaya dengan desa-desa nelayan. Untuk ke selatan, ke kebudayaan bercorak sungai di dua sisi nggawan (yang sebagian besarnya memberi bentuk bagi corak kebudayaan Lamongan secara umum), kami mesti menembus hutan jati yang sangat luas, walau itu sama sekali tak memutus relasi kekerabatan, tapi terutama ekonomi, dengan mereka. Meski demikian, kami juga terhubung dengan masyarakat ladang di sisi barat, yang menyambungkan kami—baik secara kekerabatan tapi terutama kebudayaan—dengan desa-desa di sisi timur Tuban, tempat tuak-tuak yang terkenal itu dihasilkan. Saya merasa, dengan merekalah kami berbagi banyak hal. Saya selalu berpikir, kami sebelumnya adalah bagian dari mereka yang bergerak terlalu ke timur.
Kami punya pantai di sisi utara, hutan di selatan, tegalan di barat, tapi juga sebuah kawasan perbukitan tepat di atas kepala kami. Di perbukitan itu, yang punya tebing, berbagai jenis goa, pohon-pohon besar, dan bukit-bukit dengan nama-nama dan bentuk yang unik, corak dan sistem kepercayaan yang sangat lokal ditambatkan. Perbukitan itu mendapatkan nama yang sangar, mitikal, dan seperti diambil dari tempat yang jauh: Rahtawu (yang biasanya dijabarkan sebagai rah yang berarti darah dan tawu yang berarti debu). Di tempat ini sadran kepada Putri Nggenuk, yang dianggap menjadi peri penjaga kawasan itu, masih dilakukan setidaknya sampai akhir ’70-an. Sampai waktu yang belum terlalu lama, mitos tentang boneka emas pembawa keberuntungan, burung walet beserta harta karun tersembunyi yang hanya akan diperlihatkan kepada yang berhak, sebuah lorong yang bercabang ke selatan menuju Samudera Indonesia dan ke utara menuju Laut Jawa yang di pintunya dijaga masing-masing oleh kerbau dan harimau pertapa, hingga ke batu tonggak raksasa yang diperkirakan menjadi patok penambatan kapal Nabi Nuh, masih jadi obrolan orang tua dan anak-anak. Seorang paman bercerita kepada saya—yang sudah saya cek kepada beberapa orang lain seumurannya dan mereka mengatakan hal yang sama—bahwa setidaknya sampai tahun ‘60-an kalimat syahadat di desa kami tidak dua, tapi tiga: bersaksi kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada Kayu dan Batu.
Pada perbukitan itu juga, saya kira, kami terhubung (secara sangat samar) dengan apa yang digambarkan sebagai falsafah dan cara pandang dunia orang Jawa pada umumnya: kisah wayang. Sebuah tebing memanjang, yang tampaknya merupakan patahan yang mencuat ke permukaan, dianggap tak akan pernah runtuh meskipun kondisinya secara alami berantakan dan kacau balau, sebab ia diikat oleh ikat pinggang (Bima) Sena. Sementara sebuah telaga batu kecil, yang tepiannya menyerupai jejak kaki manusia raksasa, dianggap sebagai jejak kaki Sena. Apakah Sena punya ikat pinggang? Dan jejak kakinya sebesar itu? Kalau saja saya punya ketertarikan dengan kisah wayang, dan sedikit mau mengekplorasi, saya mungkin saja menemukan nama tempat atau sesuatu yang bisa diacu sebagai nama perbukitan di desa saya dalam kisah Dewa Ruci.
Sayangnya, saya tidak begitu tertarik dengan kisah wayang. Tapi, terutama, saya tidak merasa terikat dengannya. Dan untuk itu saya punya penjelasannya.
/2/
Seperti saya ceritakan di atas, wayang (baik sebagai pertunjukan maupun sebuah khazanah) bukannya tidak pernah ada di desa saya. Selain pertunjukan wayang yang kisruh, yang saya angkat dalam novel itu, sepanjang usia saya, setidaknya saya pernah melewatkan dua kali pagelaran wayang di desa saya. Dan, berdasar beberapa cerita, ada beberapa pagelaran juga sebelum-sebelumnya. Jadi, yang bisa dikatakan, ia ada tapi tidak menonjol, dan karena itu orang mungkin tak terlalu memikirkannya ketika ia sama sekali tak ada lagi.
Sebagai khazanah, selain dalam soal tebing dan telaga yang mencatut nama Sena itu, saya tak banyak menemukannya. Kakek-nenek dan 0rang-orang tua kami bercerita tentang kisah asal-usul desa, legenda-legenda hutan, anekdot-anekdot tegalan, kisah-kisah hantu (dari yang lucu, aneh, hingga yang mengerikan), dan tentu saja kisah para Nabi, sahabat, dan cerita-cerita hikmah. Tapi, saya tak mengingat sedikit pun soal kisah-kisah dari cerita wayang. Tidak dalam bentuk yang sederhana, apalagi yang lebih rumit dan lebih dalam.
Tidak juga ada gambar-gambar atau apa pun yang bisa dihubungkan dengan wayang di rumah-rumah. Dinding-dinding rumah orang NU biasanya diisi oleh poster-poster Walisongo, Syekh Abdulqodir Jaelani, atau Hadratush Shekh, atau potret-potret kyai khos tempat anak-anak mereka mondok, juga tentu saja Surah Yasin, selain yang paling umum adalah poster kaligrafi syahadat dalam bentuk orang duduk tasyahud. Orang-orang Muhammadiyah, seperti doanya yang sederhana, biasanya cuma ada lambang Muhammadiyah dan Aisyiyah di dinding rumahnya (lengkap dengan plakat Allah dan Muhammad). Sisanya, dalam suatu masa, dinding-dinding rumah banyak diisi oleh poster-poster Rhoma Irama, Nasidaria dalam formasi lengkap, atau tim/pemain sepakbola. Gambar wayang yang bisa saya ingat adalah gambar-gambar di wayang umbul produksi pabrik poster Gunung Kelud. Gambar itu berisi tokoh-tokoh wayang dengan nama di bawahnya. Tapi, gambar-gambar yang tampak serupa satu sama lain itu tentu saja kalah mengesankan dibanding gambar-gambar wayang umbul dari jenis yang bercerita, dan jenis yang terakhir inilah yang jauh lebih populer.
Saya sendiri mengenal cerita wayang, khususnya Mahabarata, nyaris untuk pertama kali, dari sandiwara radio. Dari sini saya lumayan bisa mengenali mana yang termasuk Pandawa, mana yang Kurawa, dan bagaimana dua saudara itu terbentuk kemudian saling berperang. Tapi, kalau bicara sandiwara radio, Mahabarata jelas bukan kisah yang paling membekas. (Ia boleh jadi hanya diingat oleh yang terlalu gila sandiwara macam saya, itu pun dengan kritik: kok bisa semua tokohnya sakti?) Saur Sepuh dan Tutur Tinular saya pikir menancap jauh lebih dalam bagi para pendengar sandiwara radio, sehingga sampai sekarang masih terus diingat dan dibicarakan.
Jika saya pernah mendengarkan orang dewasa membicarakan wayang, itu adalah ketika TVRI habis menyiarkan pagelaran wayang orang Sumatri Sukesrono.
Omong soal radio, wayang kulit (dalam bentuk audio) sebenarnya bukan sesuatu yang sulit ditemukan. Ia biasanya bisa ditemukan di malam hari, sebagaimana kita bisa juga menemukan siaran ludruk. Dan ia bukannya tidak diputar di rumah-rumah, setidaknya ketika saya masih kecil, saat tradisi mendengarkan radio yang dominan. Tapi, tampaknya, ia tidak banyak menginspirasi para pendengarnya untuk membicarakannya di tempat-tempat terbuka atau membuat orangtua bersemangat menceritakannya kepada anak-anaknya. Jika saya pernah mendengarkan orang dewasa membicarakan wayang, itu adalah ketika TVRI habis menyiarkan pagelaran wayang orang Sumatri Sukesrono. Tapi, itu tentu saja tak terlalu berbeda dengan orang membicarakan Rano Karno setelah menontonnya di Film Cerita Akhir Pekan.
Hal ini berbeda dengan ludruk. Meskipun menontonnya secara langsung adalah momen yang sangat langka (saya, misalnya, hanya mengingat beberapa pentas tari ngremo yang dilakukan para penjual obat), ludruk jauh lebih populer di kalangan para pendengar radio. Sampai akhir ‘90-an, masa yang bisa ditandai sebagai akhir era radio, ludruk yang diproduksi RRI Surabaya dan disiarkan setiap Senin malam dan Jumat malam sangatlah digandrungi dan ditunggu-tunggu, dan merupakan sarana hiburan massal sebelum televisi mengambil alih. Orang-orang bisa berkumpul dalam jumlah banyak di beranda rumah seseorang hanya untuk mendengarkan cerita ludruk hingga larut malam bersama-sama. Dan seperti sekarang ibu-ibu bercerita tentang sinetron yang ditontonnya, mereka akan saling bertukar cerita tentang cerita ludruk semalam.
Ludruk juga mendominasi media publik yang tak begitu dinikmati wayang, yaitu speaker hajatan. Bersama musik kasidah Nasidaria, musik melayu Sinar Kemala, Awara/Ida Laila, Soneta, dan musik tayuban (nanti akan saya singgung lebih jauh), kaset ludruk haruslah ada dalam daftar putar jika ada orang punya pesta kawinan atau sunatan. Karena mungkin jumlah produksi yang beredar di pasar tidak banyak, cerita yang diputar pun tidak banyak, bahkan terkesan itu-itu saja: Joko Sambang, Jaran Putih Mayang Seto, Joko Gondok, Joko Dolok, Joko Jumput, Joko Rawono, Raden Branjang Kawat, Sarip Tambak Oso, Rangga Janur, Maling Sakti Gagak Setro, Semanggi Suroboyo, Geger Pabrik Gulo Kedawung, selain ludruk-ludruk dalam format dagelan. Tapi karena tidak banyak itulah, orang-orang bisa menjadi sangat hapal dengan kisah-kisah tersebut. Bukan saja jalan ceritanya, tapi hingga dialog-dialognya yang paling sepele. Dalam obrolan-obrolan di warung kopi atau tepi jalan atau beranda masjid, dialog di cerita Joko Sambang bisa nyelonong begitu saja, dan kemudian mendapat sahutan meriah dari lawan bicara. Anak-anak TK mengulang-ulang lirik nyanyian Pak Colok “Markasan, Subakri, Markasan, Subakri, Markasan, Subakri,” dua nama pembunuh Raden Branjang Kawat, di antara Tepuk Ame-Ame dan Gelang Sipaku Gelang. Sementara bocah-bocah baru akil balig senang sekali dengan mengulang-ulang dagelan agak mesum dua tentara Kompeni di kisah Jaran Putih Mayang Seto: “Yu no Mundomae?// Apa Mundomae?// Temu rondo sak omae (ketemu janda sekalian rumahnya)”. Kata kompeni atau gupermen menjadi kosa kata sehari-hari, baik untuk perumpamaan maupun umpatan, tampaknya juga karena ludruk.
Kembali ke wayang, ketika budaya menonton televisi datang, dan tradisi-tradisi audio mulai melemah, bocah-bocah dengan usia di bawah saya mungkin menemukan “cerita wayang” pertama kali di layar kaca. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mengudara di tahun 1991, dan langsung punya trademark dengan serial Ramayana dan Mahabarata-nya. Tapi, saya pikir para penonton generasi ini tidak akan mengenang serial yang diproduksi B.R. Chopra itu terlalu dalam, kecuali untuk sekuen adu senjatanya yang aneh, sebab mereka segera ditimpa bom yang lebih besar: film dan lagu India.
Tanpa mencoba meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya di belahan Jawa yang lain, untuk konteks desa Pantura macam desa saya, dan saya pikir itu bisa diperluas setidaknya untuk kawasan yang memanjang antara di sepanjang Pantai Surabaya sampai Pati (apakah juga Jepara hingga Semarang?), wayang tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa. Dan dalam hal ini, ia kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.
Untuk mencoba menguliknya, saya hendak membandingkannya dengan budaya massa lain, yang kadar ke-Jawa-annya mendekati wayang (meskipun biasa dianggap lebih rendah, terutama karena karakter profannya yang kental), namun bisa bertahan lebih lama, yaitu tayuban.
/3/
Orang desa saya menyebut tayuban dengan nama yang sedikit berbeda, yaitu gambyong. Itu nama yang juga banyak dipakai di kaset-kaset rekaman Tayub. Namun, dalam versi cakapan, banyak juga yang menyebut dengan lebih sederhana: gong. Saya tidak tahu kenapa begitu. Mungkin itu semacam pars pro toto saja. Yang bisa saya pastikan, sebutan sederhana itu tampaknya membuat saya tidak terkesan dengan musik gamelan—sampai sekarang—sekeras apa pun saya berusaha.
Dilihat dari asal kebanyakan grup tayub yang diundang bermain di desa saya dan desa-desa sekitarnya, tayuban yang saya kenal tampaknya datang dari dari arah barat, tempat dari mana tuak juga datang. Dan saya kira saya tidak salah. Tuban memang tempat yang subur untuk grup-grup tayub. Dalam sebuah berita online bertahun 2017, sebuah ritual siraman para waranggono tayub dilakukan di pemandian Bektiharjo, tempat wisata yang tidak asing dan tidak terlalu jauh dari tempat kami. Dan kebetulan, dalam berita itu dikutip seorang narasumber yang namanya sangat familiar, Endang Mursiah. Dia adalah rockstar tayub tahun ’90-an. Ia melantai (karena tayub tak pakai panggung) berkali-kali di desa kami. Dan nyaris tak ada kaset rekaman tayub yang tidak mencantumkan namanya.
Tayuban semestinya tak seprofan yang orang pandang di masa-masa yang lebih belakangan. Ia, sebagaimana hasil dari kombinasi seni musik dan tari di mana pun, jelas punya sisi religius—dan itu bisa dibuktikan dengan berita tentang prosesi ritus yang saya kutip di atas. Itu kenapa pada masa lalu kesenian ini adalah bagian tak terpisahkan dari ritual-ritual keagamaan di desa saya, sebagaimana yang saya gambarkan di Kambing dan Hujan, dan tampaknya masih ada dan bertahan di desa-desa nelayan atau tegalan di sekitaran Tuban-Bojonegoro (mungkin juga di daerah-daerah lain, dengan nama yang sedikit berbeda). Namun, ketika paham modernis masuk ke desa, yang datang dari arah timur, dengan semangat pemurniannya, tayub segera saja mendapat tantangannya.
Ketika masuk dan perkembang pertama kali di awal tahun ‘60an, kalangan Islam modernis menjadikan tayuban sebagai anasir yang mesti disingkirkan. Maka, pembangkangan beberapa pemuda terhadap tayuban di kuburan dianggap sebagai momen besar mereka, dan karena itu diceritakan dengan heroik. Momen besar lain yang sering diceritakan ulang, yang tidak saya masukkan di novel, adalah ketika semua orang santri dikurung di dalam masjid agar mereka tidak bisa menonton pagelaran tayub yang sedang berlangsung di desa. Sebagian besar dari mereka kemudian tumbuh menjadi orang-orang yang menyingkiri gelaran-gelaran tayub dan menjadi orangtua-orangtua yang melarang keras anak-anaknya menyukainya. Salah satu dari mereka adalah bapak saya.
Minuman keras, judi, dan membuat lalai dari ibadah, adalah alasan utama kenapa tayub harus dijauhi. Tapi, sejujurnya, kalangan Islam modernis memang selalu mencurigai semua jenis kesenian (tradisional), apalagi yang ditempelkan pada agama. Lagi pula, corak Islam modern yang masuk desa saya, memang dari jenis yang paling keras. Datang dari arah timur, ia berkarakter pesisir, kota, dan punya kaitan kuat dengan Persis-nya A. Hassan di Bangil.
Tapi, tayuban tentu saja tidak begitu saja tersingkir karena dibenci oleh para penganut Islam modernis. Ia hidup dan dilestarikan oleh kalangan yang di desa saya disebut sebagai abangan, meskipun abangan di sini lebih dekat dengan istilah yang lebih dikenal, yaitu wong warungan (para pengunjung warung), dibanding dengan pengertian yang dipakai Gertz. Mereka biasanya adalah kalangan perangkat desa (pamong), para pedagang ternak (blantik), pedagang pada umumnya (juragan atau daukeh/tauke), blandong, dan orang-orang yang hidup dari dan bersentuhan dengan mereka. Merekalah yang secara berkala mendatangkan rombongan tayub ke desa, biasanya untuk menunjukkan gengsinya kepada relasi-relasinya. Dalam keseharian, karena sebagian adalah orang berpunya atau terlihat berpunya, mereka memutar keras-keras musik tayub dari rumahnya, sebagaimana kalangan santri yang berpunya menyetel tilawah atau musik kasidah.
Masa saya tumbuh, antara tengah 80-an hingga awal ’90-an, kebetulan adalah puncak-puncaknya keriuhan dan popularitas tayuban di desa saya. Tayuban bisa diselenggarakan tiap tahun, biasanya setelah panen. Itu bukan hanya menciptakan pasar malam yang bukan main ramainya, tapi membuat desa kami untuk sehari semalam jadi pusat dunia; tamu-tamu dari jauh berdatangan, orang-orang dari desa-desa sekitar berduyun-duyun datang. Anak-anak tentu saja gembira. Mereka risih tapi juga tertarik dengan para penari tayub yang menari dikelilingi para lelaki, dan sesekali di-singuk (dicium). Mereka takjub melihat orang-orang mabuk, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup. Mereka diam-diam mengintip orang-orang yang main judi dalam keremangan, dan mulai memupuk keinginan untuk kelak ikut ambil bagian. Para orangtualah yang mumet.
Salah satu faktor penting riuhnya tayub di dekade itu saya kira adalah keberadaan Petinggi (lurah) Sulhan, kepala desa kami waktu itu. Saya rasa ia menyukai kesenian, atau setidak-tidaknya keramaian. Ialah orang yang membuat saya menonton wayang untuk pertama kalinya, dan tampaknya sekali-kalinya itu. Ia secara pribadi menginisiasi tanggapan tayub, dan patut diduga memudahkan pihak-pihak lain menanggap tayub di desa. (Secara lebih personal, ia akan saya kenang sebagai orang yang berulang-ulang nanggap video, yang dari situ kemudian muncul seorang bocah yang keranjingan film—soal pengalaman dengan film video, lihat Aku dan Film India Melawan Dunia [Buku I].)
Yang menarik, Petinggi Sulhan adalah salah seorang yang dianggap sebagai generasi pertama, mungkin salah satu yang terbaik, para modernis “pembenci kebudayaan” itu. Para pengritiknya biasanya akan bilang, ia adalah santri yang terseret pergaulan kalangan pamong era Orde Baru yang ingin terlihat mriyayeni. Itulah kenapa ia menanggap wayang dan mengundang rombongan tayub (dan beberapa hal lain yang identik dilakukan para pamong masa itu).
Selain ditanggap secara live, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, tayub sangat populer diputar di speaker-speaker hajatan. Kaset tayub adalah jenis yang pasti ada di kotak penjaja jasa speaker. Jika kasidah punya spesialisasi diputar setelah Subuh atau menjelang Magrib, kaset tayub biasa diputar saat siang terik. Jika diputar jenis musik lain, akan lumrah terdengar hardikan, “Cah, awan-awan yo enake gambyongan leh” (Siang-siang yang paling enak ya putar gambyong-lah). Musik tayub juga diputar di rumah-rumah atau di tempat orang bekerja, seperti di penggergajian dan pembakaran gamping.
Saya tidak pernah bisa menyukai musik tayub, dan selalu gagal setiap mencobanya. Namun, karena hampir setiap saat mendengarnya diputar, saya setidaknya menghapal salah satu yang paling populer, dan tidak lupa sampai sekarang:
E-e, ana perawan ayu
Mripat bunder karo plerak-plerok
Tak takoni mesem-ngguyu
Bareng kenal jenenge Palupi
Pelantunnya siapa lagi kalau bukan Endang Mursiah.
Ketika Petinggi Sulhan tidak terpilih lagi sebagai kepala desa, kira-kira sekitar 1992, pamor tayub tidak langsung anjlok, meskipun mengalami penurunan kepopuleran dan frekuensi tampil. Ketika sekitar sewindu lalu perwakilan Muhammadiyah dan NU bersepakat untuk menolak dilangsungkannya sebuah tanggapan tayub, sejak itu saya tak menemukan lagi tanggapan tayub di desa saya. Untuk membuat perbandingan yang menarik, lenyapnya (gelaran) tayub dari desa saya terjadi ketika selama tiga dekade terakhir, puncak kepemimpinan politik dan administrasi desa dipegang oleh kalangan Nahdliyin.
/4/
Tanggapan tayub telah hilang tak kurang dari sepuluh tahun terakhir. Tapi, musik tayub tetap terdengar dari speaker-speaker hajatan, juga rumah-rumah. Dan teman-teman sebaya saya, yang kini sudah menjadi bapak-bapak dengan kualifikasi yang cocok untuk penggemar tayub, masih kerap bercerita bahwa mereka baru saja menonton tayuban dari desa tetangga—meski saya belum mendengar nama baru yang menggantikan Endang Mursiah. Hal yang sama tak terjadi dengan wayang. Wayang tampaknya sudah tidak ditonton, juga tak dibicarakan.
Dalam percakapan dengan seorang teman sekampung, faktor yang segera tampak menjadi penentu adalah soal kedekatan. Desa saya, yang hanya berbatas dua desa di sebelah barat dengan wilayah Tuban, bagaimana pun, memang masuk area edar tradisi tayuban. Tuban memiliki sangat banyak grup tayub, dan karena itu lebih mudah dan tampaknya relatif lebih murah dibanding wayang. Hal itu memudahkan tayuban ditonton dan dikonsumsi. Wayang musti dicari ke daerah-daerah yang jauh di selatan atau barat, atau bahkan mesti ke sekitar Solo atau Jogja.
Sementara tayuban mendapat tentangan dari kalangan agama, dan mesti berjuang melawannya, wayang tampaknya tak mengalami itu. Saya tak pernah mendengar orang mejid-an bicara buruk tentang wayang, tidak di dalam khotbah-khotbah atau pengajian, tidak juga dalam obrolan. Namun, dalam kasus desa saya, sepertinya wayang tak memiliki jenis kelompok sosial tertentu yang membela dan merasa berkepentingan menjaganya, sebagaimana tayuban punya wong warungan.
Sama-sama awam atasnya, saya bayangkan, tak seperti para penyuka tayuban yang terkesan lebih entengan, sing penting rame, kadang dengan fokus perhatian dan pembicaraan pada hal yang bersifat seksual, semisal “sindire ayu gak” (apakah penarinya cantik atau tidak), penyuka wayang tampaknya membutuhkan tingkat sofistikasi tertentu. Anda mesti memiliki seperangkat pengetahuan tertentu untuk memilih satu lakon wayang dibanding saat rekues tembang “Perawan Ayu”, ya ‘kan?
Sekeras apa pun para pengklaim yang menyatakan bahwa Islam dan wayang adalah dua keping mata uang, keberjarakan (atau boleh jadi hubungan saling menegasikan) antara wayang dan kalangan santri adalah kenyataan yang mesti diakui.
Sekeras apa pun para pengklaim yang menyatakan bahwa Islam dan wayang adalah dua keping mata uang, keberjarakan (atau boleh jadi hubungan saling menegasikan) antara wayang dan kalangan santri adalah kenyataan yang mesti diakui. Dan inilah yang terjadi di tempat saya—dan saya kira bisa kita pakai untuk membuat gambaran lebih besar untuk wilayah yang lebih luas, setidaknya mencakup tiga kabupaten di Pantura Jawa Timur (atau mungkin bisa lebih diperluas lagi). Padahal, di luar kalangan santri, yang tersisa adalah minoritas “abangan”, yang malangnya, “hanya” cocok dengan tayuban. Sementara, dalam masyarakat tegalan yang terpapar kebudayaan nelayan dan punya hubungan yang khas dengan hutan, masyarakat seperti desa saya tak memungkinkan akan melahirnya priyayi kecil, seperti yang tercipta di masyarakat di bekas kota-kota kolonial, dan pada saat yang sama belum mampu melahirkan kelas sosial baru yang karakternya mendekati itu, katakanlah Pegawai Negeri.
Upaya mriyayeni, atau setidaknya terlihat seperti itu, yang dilakukan oleh Petinggi Sulhan, misalnya, tidak bertahan. Mungkin karena upaya itu punya keterkaitan dengan cara beroperasinya kekuasaan pada level paling bawah di masa Orde Baru, sehingga ia tak bertahan manakala Orde Baru jatuh. Atau, boleh jadi, ia adalah sebuah ujicoba lemah dari seorang elit lokal berkarakter santri dari sebuah desa tegalan, yang kemudian tak memiliki cukup pesona untuk diteruskan oleh penerusnya yang juga santri. Saya lebih cenderung ke kemungkinan pertama, meskipun kedua-duanya bisa saja terjadi secara bersamaan.
Faktor keberjarakan dan tidak munculnya kalangan yang pembelanya, menjadikan wayang tidak muncul dengan karakter edi-peni-nya (ketinggian mutu musik dan susastranya, karakter didaktiknya, tapi terutama kakayaan filsafatnya dan segala atribus magis-mitisnya). Ia, seperti yang saya sebut di depan, pada akhirnya hanya tinggal sebagai tontonan rakyat yang biasa, alias budaya massa. Dan untuk itu, wayang mesti menghadapi tarung bebas dengan budaya massa lain. Pada akhirnya “pasar”-lah yang menentukan. Jika ia tak memiliki karakter seliat tayuban, coba bayangkan bagaimana ia melawan koplonya Sodiq atau ceramah Anwar Zahid.
Sampai di sini, saya pikir kita bisa menambahkan faktor-faktor lain, yang lebih berlaku umum, juga yang lebih kompleks, yang membuat wayang mesti berjuang lebih keras untuk mempertahankan eksistensinya dan mendapatkan audiens baru, bahkan di tempat-tempat wayang memperoleh pemujaan dan penghormatan lebih besar.
/5/
Saya dididik oleh orangtua yang membenci tayuban, tak pernah membicarakan wayang, dan mengajari beberapa saja kosa-kata bahasa Jawa madya untuk perangkat menghormati orang yang lebih tua, dengan sesekali peringatan: “mbok karo wong tuwo iku basa” (jika bicara dengan orang tua berbahasalah yang baik). Selebihnya adalah mengaji dan shalat, shalat dan mengaji. Dan, saya rasa, apa yang saya alami dialami oleh anak-anak di desa kami. Dengan kata lain, jelas sekali, dibanding dididik menjadi Jawa, kami tampaknya lebih dididik untuk menjadi Islam.
Tapi, apakah hidup kami sekering itu, dan kemudian kami tumbuh menjadi orang Jawa yang tak memiliki kebudayaan? Saya harap tidak, dan saya kira tidak.
Bapak saya pencerita yang bersemangat. Dan di antara cerita para Nabi, juga kisah-kisah sejarah yang ia sukai, juga tentu saja tentang sepakbola, ia bercerita tentang musik yang ia sukai, pentas Rhoma Irama yang pernah ditontonnya, kisah di balik perceraian Rhoma Irama dan Veronica, kisah tentang Orkes Melayu Sinar Kemala dan proses perpecahannya dan kelak menjadi apa saja, kisah di balik pernikahan Muchsin Alatas dan Titiek Sandora, dari mana asal A. Rafiq, dari mana asal Koes Plus dan kenapa mereka bernama begitu, dan masih banyak lagi. Ketika saya bisa membaca, salah satu buku pertama yang saya baca adalah buku tulis kecil berisi lirik-lirik lagu Melayu yang ditulis dengan tangan bapak saya sendiri. Ya, pembenci budaya profan ini rupanya menyimpan ketertarikan dengan keprofanan yang lain. Lagu-lagu seperti “Kudaku Lari”, “Hilang Tak Berkesan”, “Boneka India”, “Di Lembah Duka”, “Anjing dan Sampah” mungkin sudah saya kenali liriknya sebelum benar-benar mendengar lagunya. Meski kami baru memiliki tape rekorder saat SMA, saya kira kepala dan terutama kuping saya sudah dipersiapkan untuk musik.
Teman-teman yang langsung mendapati tape rekorder di bufet rumah mereka begitu lahir, saya kira jauh lebih beruntung. Mereka sudah mendengar suara Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Ida Laila, A. Rafiq, Nasidaria, juga suara Kartolo sejak kecil. Sementara teman yang tak punya bapak pencerita dengan album lagu dalam tulisan tangan dan juga tak punya tape rekorder, mereka tumbuh di antara tetangga-tetangga yang memutar lagu-lagu Rhoma Irama, Ida Laila, dan Nasidaria, baik dari tape rekorder daru rumah-rumah, maupun speaker-speaker hajatan.
Keluar rumah, di usai yang sangat dini, saya terpukau dengan misri yang dimainkan dengan serius oleh kakak-kakak baya saya. Digelar dengan tata panggung mini, sebab dibuat, dimainkan, dan ditujukan untuk anak-anak, lengkap dengan tata cahaya dari lampu senter dan berko sepeda, yang dinyalakan dengan batu baterei kering yang dirangkai sangat panjang setelah sebelumnya dipukuli (yang diyakini bisa menaikkan dayanya yang sudah habis), misri memainkan lakon-lakon pendek yang dicuplik dari cerita-cerita ludruk yang populer. Saya pikir, ini boleh jadi sejenis tafsir dan peniruan tidak lengkap dari kesenian gambus misri (gambus dari Mesir) yang banyak dimainkan di kota-kota santri di Jawa Timur—dan saya tidak tahu bagaimana ia bisa sampai ke sebuah desa tegalan. Meski segera saja lenyap, barangkali karena butuh dikerjakan dengan sangat serius—bahkan untuk yang bukan anak-anak, ia meninggalkan kesan yang dalam.
Cerita dari misri yang digarap kakak-kakak baya ini mendekatkan kami pada ludruk, lalu membuat kami bertekuk lutut di depan sandiwara radio. Di sisi lain, bersama dengan layar tancap film-film Rhoma Irama, mereka memperkenalkan kami lebih dini kepada tontonan dengan cerita profan, mendahului film-film perjuangan yang diputar pemerintah bersama kampanye Keluarga Berencana, Film Cerita Akhir Pekan TVRI, dan akhirnya film-film Suzanna dan Barry Prima dari video-video yang ditanggap orang punya hajat.
Cerita dan tontonan, yang tampaknya tidak dilanjutkan oleh tradisi membaca dan tak didukung keterjangkauan bioskop (malah kemudian bioskop kota-kota kecil bertumbangan karena monopoli Grup 21 di awal ‘90-an), tak pernah bisa keluar dari kerangka televisi setelah benda itu muncul di ruang tamu rumah-rumah dan segera menjadi penguasai. Tapi musik yang kami warisi dari orang tua kami adalah pondasi tempat berdirinya musik-musik kami selanjutnya.
Kemelayuan selera orangtua kami membuat musik rock meleleh Malaysia menepi dengan mulus, apalagi setelah desa kami menjadi salah satu sentra migrasi.
Kemelayuan selera orangtua kami membuat musik rock meleleh Malaysia menepi dengan mulus, apalagi setelah desa kami menjadi salah satu sentra migrasi. Musik Dangdut memudahkan kami memamah dan merayakan musik India. Koplo masuk dengan catatan dan resistensi, tapi pada akhirnya diakui juga dan menemukan pendengar barunya. Sementara musik kasidah yang berhenti di Nasidaria, di “Tahun 2000”-nya, membuatnya tak pernah tergantikan.
Musik-musik lain bisa datang dan pergi, berkembang, berubah, atau sekadar bersiasat untuk bertahan menjadi bagian dari keseharian kami. Tapi, jika bicara speaker hajatan, yang walaupun mulai didesak oleh jenis sound system tetap menjadi pilihan utama, maka musik seperti berhenti berkembang. Sinar Kemala, Awara, dan Soneta masih terus saja diputar dan mendominasi. Nasidaria tetap menjadi penanda pagi dan petang. Ketika siang bolong, jika bukan Koplo yang mencuri kesempatan, musik tayub masih sayup-sayup terdengar, meski sekarang mereka berbagi tembang dengan campursari dan Dangdut Koplo. Ludruk, yang tampaknya alpa memindahkan rekaman-rekaman kasetnya ke kepingan CD atau ke file MP3, mulai menjadi jarang.
Begitulah, kami adalah orang Islam Jawa yang berbudaya dan menikmati kesenian. Mungkin sedikit berbeda. Boleh jadi tampak rendahan, tidak dalam dan rumit, atau bahkan nirfaedah. Tapi, begitulah adanya kami.
/6/
Kalimat terakhir di bagian sebelumnya saya tulis dengan kerendahan hati, sedikit bumbu ironi, tapi yang jelas—sebagaimana yang tampak—ia adalah bentuk rasa rendah diri. Ia tak berbeda nadanya dengan saat kebanyakan orang Pantura dan nyaris seluruh Jawa Timur mengakui dirinya “kasar”, sembari mengglorifikasi sifat “jujur” yang sebenarnya tak selalu bisa dibuktikan. Ia juga senada dengan saat Kartolo dkk. bicara tentang betapa rumitnya “cara kulonan” (cara orang sebelah barat) dalam lawakan mereka.
Sepertinya, sekolah dan pengetahuan mengajari kami untuk demikian.
Di kelas 2 SD, saya masih ingat ketika diberitahu oleh guru saya yang berasal dari Magetan bahwa sebagian bahasa Jawa krama yang diajarkan para orangtua kami ke anak-anaknya salah kaprah—saya pikir, itu adalah untuk pertama kalinya saya mendengar frasa tersebut diucapkan. Katanya, memberi contoh, kalau dangu itu artinya bukan bengi tapi suwe, sementara krama dari bengi, yaitu dalu justru dipakai secara ngoko untuk menggantikan kata sore.
Apakah yang diajarkannya salah? Tentu saja benar. Lagipula, ia seorang guru yang didatangkan dari tempat yang sangat jauh, mana mungkin dia salah. Dan karena itu, sejak itu saya menaati nasihatnya, ber-krama seperti yang dinasihatkannya. Kadangkala, saya bahkan memberitahu orangtua saya atau orangtua teman tentang kesalahan dari apa yang mereka ajarkan kepada anaknya-anaknya. Yang salah adalah: ia membuat seorang bocah meyakini bahwa masyarakatnya adalah orang Jawa yang kurang beradab, yang para orangtuanya bahkan tidak bisa mengajari anak-anaknya basa yang benar.
Saya mungkin berpikir terlalu berlebihan. Tapi apakah seberlebihan itu? Saya kira tidak. Saya tidak berharap bahwa guru yang saya hormati itu berpikir demikian, tapi saya tak akan kaget jika memang benar demikian. Sebab, bukankah demikian yang dipikirkan oleh para guru yang dikirim ke daerah-daerah “terpencil”, dari masa entah kapan sampai sekarang? Mereka ingin memberadabkan kami. Dan langkah pertama untuk menuju ke sana itu adalah dengan menunjukkan kepada kami betapa tak beradabnya kami.
Maka, diajarilah kami “dadi wong Jawa” dengan buku-buku yang ditulis dan dicetak di Solo atau Klaten, atau sekitarnya, atau yang menyerupainya. Kami diperkenalkan dengan “bahasa yang benar”, yang disusun dan diciptakan “para leluhur”, yang sebenarnya itu sama sekali baru bagi kami, sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau bahasa-bahasa lain yang diperkenalkan oleh bangku sekolah.
Jika ada guru yang berpikir demikian, tentu saja tak ada yang salah. Sebab, negara, lewat kementerian pendidikan, niscaya juga berpikir demikian—dan saya kira hal itu berlaku sampai sekarang. Maka, diajarilah kami “dadi wong Jawa” dengan buku-buku yang ditulis dan dicetak di Solo atau Klaten, atau sekitarnya, atau yang menyerupainya. Kami diperkenalkan dengan “bahasa yang benar”, yang disusun dan diciptakan “para leluhur”, yang sebenarnya itu sama sekali baru bagi kami, sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau bahasa-bahasa lain yang diperkenalkan oleh bangku sekolah. Di buku, kami diperkenalkan dengan kota-kota yang jauh, macam Muntilan atau Kutoarjo, yang terdengar sangat Jawa, meskipun boleh jadi kami tak akan pernah ke sana seumur hidup kami. Di buku, kami tak menemukan kota-kota yang lebih dekat dengan kami, macam Tuban, Gresik, atau Bojonegoro, atau bahkan Surabaya, yang ingin kami kunjungi karena di sana ada pasar yang ramai atau ada rel sepur, hal yang tak kami temukan di tempat kami. Mungkin karena kota-kota itu tak cukup Jawa.
Seperti kebanyakan hasil kerja pendidikan kita, tampaknya upaya itu tak pernah berhasil. Kami tak pernah bisa dibina “dadi wong Jawa” yang lebih benar. Setelah berpuluh-puluh tahun, kami tetap memakai kata dalu sebagai ngoko yang menggantikan sore dan dangu untuk malam: peladang masih mengajak keluarganya pulang dengan bilang “ayo mulih, wis dalu”; tamu yang mohon pamit kepada tuan rumah karena waktu sudah malam akan bilang “sampun dangu, nyuwun pamit”. Kisah Bima Bungkus yang saya baca di buku ajar Bahasa Jawa kelas 4 SD/MI terbitan Intan Pariwara tak bisa saya ingat detilnya, jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Brama Kumbara yang kami dengar dari radio. Saya masih menghapal baris-baris Gambuh yang diajarkan di kelas 6 MI, tapi saya akan jauh lebih bangga kalau di depan teman-teman saya ngopi bisa mengulang dialog Wadeng (lengkap dengan logat Tapal Kudanya) kepada Kompeni dari cerita ludruk Jaran Putih Mayang Seto. Tapi, stereotipe tak terkatakan bahwa kami ber-Jawa secara salah, dan oleh karena itu mesti dibenarkan, tak tahu tradisi nenek moyang yang adi-luhung, tertinggal dan membekas.
Kami, yang “di ujung utara” ini, seperti lirik lagu Jhonny Iskandar, memang (Jawa) “berlumur dosa”. Tapi, karena hanya inilah yang kami punya, bolehlah kami memujinya. Dan untuk itu, izinkan saya meneruskan bernyanyi:
Bagiku dirimu bagai mutiara,
Walaupun berkubang di dalam lumpur yang hina…
Jomblangan, 27 Januari 2019
***
Lihatlah kepada kelir, cermin kehidupan ini. Bayang-bayang siapakah yang terpantul di dalamnya? Apakah kita asing terhadapnya? Lihatlah dan perhatikan tindakan dan ucapan kita. Mari kita kenali. Kewajiban manusia yang pertama dan utama adalah meyakini dan mengenal Tuhan dengan sepenuh hati, jiwa, pikiran, dan tenaganya. Betapa krusial masalah pengenalan akan Tuhan ini, namun banyak manusia yang tidak tahu, lupa, abai maupun ingkar. Tanpa keyakinan dan pengenalan, maka bagaimana manusia akan mencapai kesejatian dirinya?
Tergerak oleh kasih sayang terhadap manusia yang terhijab ini, para Walisanga, terutama Sunan Kalijaga menciptakan suatu seni pertunjukan Wayang purwa yang menghibur, namun sangat intens dalam mengajak dan mendidik masyarakat mengenali asal-usulnya dan memperoleh jati dirinya.
“Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu“
(Siapa yang mengenal dirinya, maka dia sungguh mengenal Tuhannya)
Wayang adalah bayang-bayang diri dalam kehidupan, sekaligus spektrum perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Oleh karena itu, kalau orang menonton pagelaran wayang, sebetulnya bukan melihat semata gerak-gerik gambar wayang, melainkan bayangan dirinya sendiri.
Sebagai cermin, pagelaran wayang menggambarkan suatu pergulatan keras di dalam diri setiap manusia untuk mencari dan mencapai kesempurnaannya. Medan Kurusetra, tempat pertarungan para ksatria melawan semua kecenderungan jahatnya, tidak bertempat di mana-mana, melainkan di dalam diri manusia. Bharatayudha bukanlah perang antar saudara di luar sana, melainkan peperangan melawan nafsu angkara murka di dalam diri, karena kerinduan ruhani kepada Tuhan (Brantayudha). Wayang adalah medium pengenalan sekaligus otokritik diri. Menggelar wayang adalah perjalanan ziarah di dalam diri, untuk introspeksi, menggali nilai-nilai diri sekaligus mencari jalan pelepasan ruhani dari belenggu dan tipu daya hawa nafsu, baik hewani maupun syaithani.
Mari kita cari dan kenali. Sembilan tokoh utama dalam lakon-lakon wayang menggambarkan 9 (sembilan) unsur atau organ utama di dalam diri. Sebagaimana 9 tokoh ini merupakan pelaku utama di dalam pagelaran wayang, maka 9 unsur diri ini pula yang menentukan kepribadian kita. Apakah kita mengenalinya? Kalau kita perhatikan karakteristik Pandawa Lima pemeran utama dalam sebagian besar lakon-lakon wayang Brantayudha, maka akan berkelibatlah bayangan atau simbol dari lima indra, organ luar dari diri kita, yang merupakan tampilan utama dalam pembentukan dan perwujudan dari kepribadian kita. Yudistira, yang pantang berbuat salah dan jalannya melayang di atas tanah adalah gambaran dari Pernafasan (hidung) kita, yang tidak sudi mencium bau busuk dan senantiasa menghidupi diri kita dengan menghirup udara yang melayang di atas tanah. Bima, yang cenderung langsung bertindak begitu mendengar suatu berita, adalah Pendengaran (telinga) kita yang cenderung terpengaruh oleh informasi yang masuk tanpa mau repot-repot membuktikan kebenarannya terlebih dahulu. Arjuna yang tampan dan banyak mengawini perawan cantik putri begawan yang ditemuinya, adalah lambang Penglihatan (mata) kita, yang tatapannya sering menjadi acuan ketampanan/kecantikan kita dan membuat kita kokoh menyatu (kawin) dengan lingkungan sekitar tempat kita berada. Kembar Nakula, sang penjaga istal kuda dan utusan untuk menyampaikan pesan-pesan penting kerajaan, adalah gambaran indra Perasa dan Bicara (lidah) kita. Dan kembar Sadewa yang sering tinggal untuk menjaga rumah adalah pralambang indra Perasa/Peraba/Pelaksana (kulit) kita yang setia menjaga diri kita dari panas-dingin cuaca dan melaksanakan tindakan-tindakan segala rupa.
Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan.
Sementara itu, para Pandawa di atas, tidak akan menjadi satu kesatuan utuh yang tangguh di dalam menghadapi musuh-musuh, kalau tidak ditunjang secara langsung atau tidak langsung, tampak atau tersembunyi, oleh peran rumit dan kompleks dari 4 (empat) tokoh utama lainnya. Dia adalah Karna, saudara sulung Pandawa yang dibuang dan hidup di lingkungan para Kurawa. Kompleksitas situasi yang dihadapi dan bagaimana menempatkan diri di tengah silang sengkarut percaturan posisi yang diperankan oleh Karna, melambangkan Keseimbangan diri kita. Karna menyadari keterbuangan diri tetapi tidak kehilangan kasih sayangnya terhadap para saudara di satu sisi, dan di sisi lain menjalani keharusan hidup di lingkungan Kurawa yang serba jahat dengan tanpa kehilangan orientasi diri kepada kebenaran sejati. Itulah peran kompleks dan tersembunyi dari Keseimbangan, organ diri kita yang paling sering diabaikan, yang terletak di dalam dan di antara dua telinga (karno) kita.
Kemudian Sembadra, adalah seorang putri yang cantik, berkulit kuning langsat dan berperangai sangat halus. Terkenal dalam kisah Sembadra Larung, cerita tentang Sembadra yang dihanyutkan mengikuti aliran sungai agar terbebas dari nasib buruk. Putri cantik yang halus ini adalah Perasaan atau Rasa Hati kita, yang sangat sensitif yang mudah tersinggung, mudah marah, sehingga perlu dilarung agar lebih tahan uji terhadap godaan yang kita dengar maupun yang kita lihat. Selanjutnya, Kresna tak diragukan lagi adalah tokoh yang menentukan. Ia menjadi sumber rujukan dan kekuatan Pandawa di dalam memahami situasi, mengatur siasat dan strategi, juga menjadi senjata pamungkas dalam situasi tak terkendali. Tak pelak, Kresna melambangkan Pikiran (akal) kita, organ dalam yang pintar, cerdik, bijak, namun terkadang licik. Tokoh kesembilan adalah Baladewa, berbentuk putih bersih, memiliki senjata Nenggala, adalah tokoh yang tidak ada bandingannya. Andai saja di dalam Baratayudha, Baladewa sampai berpihak pada Kurawa, tak mungkin Pandawa akan mampu memenangkan perang itu. Putih bersih yang tak tertandingi inilah yang harus kita upayakan bagi Batiniah kita.
Itulah kesembilan tokoh dalam kisah wayang, pralambang dari kesembilan unsur utama diri kita. Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan, adalah Ruh yang hadir sebagai unsur kesepuluh, menggerakkan diri kita untuk mengarungi jagat kehidupan.
Apakah kita selama ini menyadari kehadiran dan gerak-gerik 10 tokoh atau unsur itu di dalam diri kita? Bagaimana mereka saling menunjang harmonis atau saling mengabaikan, bertentangan dan konflik? Kesatuan harmonis di antara mereka tentu akan membuahkan perilaku kita yang mengarah kepada kebenaran, dan sebaliknya pertentangan di antara mereka cenderung akan menghasilkan tindakan kita yang mengarah kepada kesalahan/kesesatan, yaitu kepada kemenangan para Kurawa yang merupakan simbol dari kecenderungan jahat di dalam diri kita yang berjumlah 100 ini.
Melalui Pagelaran Wayang, para wali memberikan kepada kita kunci-kunci untuk mengharmoniskan kesatuan unsur-unsur utama diri, dan bagaimana memenangkan pertarungan terhadap para Kurawa yang penuh dengki. Dalam hal ini, Jamus Kalimasada adalah pusaka utama Pandawa, yang mesti melekat pada Yudistira, yang membuat mereka tak terkalahkan. Jamus Kalimasada adalah simbol dzikir, eling atau ingat kepada keagungan Tuhan, sementara Yudistira adalah Pernafasan kita. Hal ini mengandung ajaran bahwa kunci utama kesatuan unsur di dalam diri kita adalah apabila dalam setiap tarikan nafas kita mesti dibarengi upaya dzikir atau ingat kepada Tuhan, sebagai ungkapan syukur yang melekat dalam diri.
Dzikir atau ingat kepada Tuhan bukanlah ucapan Lidah, tetapi mesti menggema di dalam Batin. Oleh karena itu, di dalam wayang, batin kita yang dilambangkan oleh tokoh Baladewa, ia berkulit putih, dan selama berlangsungnya Bharatayudha dia mesti diikat di dalam goa “Grojogan Sewu” (seribu air tejun). Sebuah ajaran kunci, bahwa untuk mengalahkan angkara murka yang berjumlah 100 itu, batin kita mesti putih/suci oleh guyuran “air terjun dzikir” yang kekuatannya 1000 atau 10 kali lipatnya.
Kesatuan harmonis antara Yudistira dan Baladewa, atau Pernafasan dengan Batin di dalam diri kita ini pada gilirannya akan menerangi dan mendorong unsur-unsur lain di dalam diri supaya menyatu harmonis. Karna atau Keseimbangan kita akan bekerja keras untuk menyatukan hubungan-hubungan kompleks antara Penglihatan, Pendengaran, Perasaan, dan Pikiran. Buah dari keseimbangan itu semua adalah keputusan-keputusan yang mengarahkan kepada ucapan dan tindakan diri kita yang seimbang dan berorientasi kebenaran.
Demikianlah, kalau misalnya kita menghayati lakon wayang “Petruk Jadi Ratu”, sambil terhibur kita sebetulnya secara ironis sedang diajak untuk melakukan otokritik bagi diri kita sendiri. Sindiran yang jenaka, menyangkut perilaku kita semua yang (mungkin) sering berwatak seperti Prabu Whelgeduwelbeh. “Whelgeduwelbeh” adalah lambang dari perilaku heboh, menang-menangan, tidak peduli nasehat orang, namun pada saat bersamaan hampa makna, nihil nilai-nilai. Atau, perilaku yang nonsens. Itu semua lahir dari diri kita sebagai akibat dari hilangnya Jamus Kalimasada, yang tercuri persis pada saat para Pandawa dengan dibantu Kresna dan Baladewa sedang sibuk membangun candi, yang melambangkan bahwa orientasi dari diri kita sedang terarah pada ambisi kemegahan duniawi. Pada saat itu, kita lupa kepada Tuhan, dan tercerai berailah kesatuan unsur kita, karena kehilangan orientasi. Pada gilirannya, para pelindung ruhani kita pun menjauh, dan jadilah kita “Whelgeduwelbeh”. Na’udzu billah min dzalik.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Punokawan Itu?
Mereka adalah Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Seperti dapat kita pahami dari sebutan dan peran mereka sebagai punokawan (panakawan) di dalam pagelaran wayang, maka mereka adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan. Berbeda dengan Togog yang mendampingi para ksatria jahat, maka punokawan (Semar dan anak-anaknya) ini diceritakan selalu mendampingi para ksatria yang baik, yang selalu melakukan tapabrata dan berjuang menegakkan kebenaran.
Para punokawan digambarkan sebagai abdi atau penjaga, namun di lain sisi para dewa selalu bersikap hati-hati terhadap mereka. Siapakah sesungguhnya mereka? Punokawan itu bukanlah bayang-bayang kita, mereka tidak berada di dalam diri kita, tetapi berada di luar diri dan memang berperan sebagai penjaga perilaku kita. Di dalam hal ini, wayang tidak dimaknai sebagai bayang-bayang, melainkan mesti ditempatkan dalam makna aslinya sebagai “Ma Hyang” yang berarti: menuju pada ruh spiritual. Dalam penghayatan spiritual, punokawan adalah pralambang dari malaikat penjaga laku, yang menitis sebagai karang yang kokoh (Karang Tumaritis) menjaga ke-kesatria-an laku (perilaku yang baik). Secara singkat, dapat dikatakan bahwa inilah pralambang yang menggambarkan perwujudan dari janji Tuhan di dalam al-Qur’an: “wa man jahada fina lanahdiyannahum subulana”, (barang siapa bersungguh-sungguh di dalam mencari(kebenaran)Ku, maka Aku sungguh akan membimbing mereka kepada jalan-jalan yang mendekatkan kepada-Ku).
Semar, bermata redup dengan mulut berhias senyuman, adalah lambang dari penjaga lidah dan keseimbangan kita. Redup karena terbiasa menerima kedukaan dengan kesabaran, dan selalu tersenyum karena ungkapan kesederhanaan syukur saat menerima kenikmatan. Semar selalu berujar lembut, bijak, menuntun arah tata krama, membimbing laku rendah hati dan bersikap tak akan surut menghadapi ujian yang dihadapkan pada kita. Bentuk wayang Semar yang memiliki perut dan pantat yang besar merupakan bulatan, sebagai simbol kemampuan semar nguntal jagat (menelan dunia). Lambang ini mesti dibaca terbalik, sebagai peringatan agar lidah kita selalu bijak untuk tidak berlebihan melahap makanan yang disukai, yang justru bisa berakibat sakit yang panjang.
Petruk, yang berperawakan tinggi dan berhidung mancung, berjuluk “kantong bolong”. Ia melambangkan panjangnya jangka yang bisa kita tangkap dan cepat mencium gelagat, yang maksudnya kemampuan menyaring mana yang manfaat untuk dipikirkan dan mana yang tak perlu ditanggapi (bukan karena keputusan akal). Iya, Petruk adalah pralambang dari Penjaga telinga dan akal kita. Gareng, yang bertubuh pendek, bermata juling, berhidung besar, bertangan ceko, berkaki pincang dan bicaranya tak jelas, melambangkan Penjaga mata kita, supaya selalu instrospeksi. Ia selalu menyarankan kepada kita untuk hanya melihat yang pantas dan berorientasi pada kekurangan diri sendiri, tidak melihat segala kejelekan hanya ada pada orang lain. Bagong, diceritakan sebagai bayang-bayang dari Semar, tapi bertubuh lebih kokoh, figur wayangnya dilukiskan mirip Semar yang kelelahan, seperti terlalu banyak beban sehingga suaranya sangat berat. Bagong adalah pralambang kulit kita, tubuh kita. Ia terlihat kelelahan, adalah sebuah saran agar kita selalu ingat terhadap beban yang dipikul oleh kulit/tubuh kita sendiri, dan agar kita selalu berusaha menghadirkan keseimbangan (Semar) untuk meringankan beban kulit (Bagong) kita.
Punokawan (panakawan) adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan.
Demikianlah, orang Jawa meringkas kehadiran empat Punokawan yang mendampingi perjalanan kita di dalam mengarungi kehidupan ini dengan nama “Sedulur Papat Limo Pancer” (Empat Saudara, Kelima Pusat), yang menjadi pusatnya adalah sosok/pribadi yang berorientasi kepada kebenaran dan kebaikan, seorang ksatria. Selama seseorang berupaya keras mengharmoniskan 10 unsur dirinya, sehingga dia sungguh-sungguh di jalan kebenaran, maka 4 punokawan itu datang mendekat. Akan tetapi jika seseorang keluar atau mengabaikan jalan kebenaran itu, maka 4 punokawan pun akan menjauh.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Para Dewa Itu?
Mari kita cari, golekana. Banyak orang dari berbagai kalangan menganggap pagelaran wayang bersifat Hinduistik, karena di samping mengambil setting cerita Ramayana dan Mahabharata, di dalamnya juga banyak dimainkan tokoh-tokoh dewa, seperti Wisnu, Brahma, Indra dan lain-lain. Dan kemudian tanpa berpikir jernih dan mendalam segera mereka menganggapnya sebagai Hindu. Benarkah pendapat demikian?
Kalau kita cermati dan ikuti keseluruhan cerita/lakon wayang, maka akan kita dapati bahwa nama-nama “para dewa” disebutkan, namun tidak ada kultur pemujaan sebagaimana dalam konteks Hindu. “Para dewa” terus tampil dalam pertunjukan wayang, sedemikian rupa sehingga sejak berabad-abad lalu, orang-orang Jawa yang mengikuti dan menikmati pagelaran wayang tidak ada yang menjadi Hindu karenanya. Kenapa? Karena memang di dalam pagelaran wayang tidak ada pesan atau praktik kultus/pemujaan terhadap dewa. Bahkan, di dalam lakon-lakon wayang digambarkan Bathara Guru dan dewa-dewa lainnya berada di bawah supremasi dari Semar (yang sering dianggap sebagai representasi dari kepercayaan lokal).
Mereka tahu itu, karena di dalam cerita wayang “para dewa” itu digambarkan sebagai titah (makhluk), yang hubungan antar satu dengan lainnya itu berada dalam suatu genealogi (silsilah) turun temurun yang berpangkal pada Nabi Adam. Jadi, misalnya Bathara Wisnu dan Brahma itu merupakan anak-anak dari Bathara Guru. Bathara Guru (Sanghyang Manikmaya), bersaudara dengan Sanghyang Ismaya (Semar) dan Sanghyang Antaga (Togog), mereka adalah anak-anak dari Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal anak dari Sanghyang Wenang, anak dari Sanghyang Nurrasa, anak dari Sanghyang Nurcahya, anak dari Sayid Anwar, anak dari Nabi Sis, anak dari Nabi Adam AS. Silsilah semacam ini sama sekali tidak terdapat indikasinya di dalam kultur India maupun Hindu. Dan membingungkan para orientalis, namun tidak bagi orang (Islam) Jawa.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya.
Di samping itu, para dewa sering digambarkan berperilaku “sangat manusiawi”, bisa salah dan lupa, atau bahkan tidak berdaya/berkuasa. Seperti misalnya, Bathara Narada salah memberikan senjata Konta kepada Adipati Karna padahal maksudnya kepada Arjuna. Atau,”para dewa” di Kahyangan mereka tidak berdaya melawan Prabu Niwatakawaca yang menyerang dan bermaksud memperistri Dewi Supraba, dan mereka mesti minta bantuan kepada Arjuna untuk mengalahkannya. Atau, Bathara Guru tidak kuasa menahan hasrat seksual kepada istrinya Dewi Uma, dan memaksanya berhubungan intim di atas lembu Andini, kendaraan mereka yang sedang terbang di angkasa. Dewi Uma tentu saja menolak, dan akhirnya sperma Bathara Guru tumpah jatuh di samudera yang kemudian berubah menjadi Bathara Kala. Demikian seterusnya, sehingga di dalam kesadaran dan keyakinan orang-orang Jawa, tidak terdapat kultus dan sistem kepercayaan terhadap dewa seperti halnya di dalam keyakinan Hindu di India.
Oleh karena itu, hal-hal di atas mengarahkan kita untuk melihat kelebat bayang-bayang “para dewa” tersebut sebagai sebuah simbol atau pralambang yang acuannya bukan kepada sistem keyakinan Hindu di India, melainkan kepada konteks cerita di dalam lakon-lakon wayang itu sendiri. Maka akan kita dapati, di dalam lakon “Wahyu Makutharama” terdapat wejangan Begawan Kesawawidhi kepada Arjuna mengenai Hastabrata, yang merupakan ajaran untuk mendekat dan berterimakasih kepada 8 (delapan) unsur-unsur alam, yaitu angin, atau maruta (Bathara Bayu), tanah atau bantala (Bethara Wisnu), samudra atau tirta (Bathara Baruna), api atau agni (Bethara Brahma), matahari atau surya (Bethara Surya), awan/langit atau akasa (Bathara Indra), rembulan atau candra (Bethari Ratih), bintang atau kartika ( Bethara Ismaya).
Digambarkan pula di dalam pagelaran wayang bahwa kesatuan harmonis 8 unsur-unsur alam itu sebagai Cupu Manik Astagina, yang di dalamnya orang bisa melihat gambaran masa depan maupun masa lalu, kebahagiaan maupun kemalangan, di dalam kehidupan manusia. Ini mengandung pesan bahwa Kesucian, Transendensi, dan Kasih Sayang Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia unsur-unsur alam tersebut sebagai penunjang kehidupan, yang mana di dalam sejarahnya yang panjang, kesejahteraan maupun kebinasaan manusia tergantung bagaimana hubungannya dengan 8 unsur alam itu. Bahagia atau celaka, tergantung dari apakah ia berbuat baik dan semestinya terhadap alam atau sebaliknya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sorga dan neraka dunia ini adalah unsur-unsur alam tersebut. Kalau manusia berbuat baik, maka alam akan membuat manusia bahagia. Sementara kalau manusia berbuat jahat dan merusak, maka alam akan mengingatkan dan menghukum manusia dengan bencana.
Menikmati Wayang: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara
Tentunya kita tidak berangkat dari ruang kosong, pagelaran Wayang Kulit sebagai mana format, anatomi dan lakon-lakonnya yang kita kenal sekarang, benar-benar dirancang dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Walisanga. Antara bentuk dan isinya merupakan kesatuan utuh yang tidak terpisahkan, yang merupakan jejak dari kearifan para wali baik di dalam mengembangkan metode maupun menetapkan tujuan dari dakwah mereka, di dalam membangun peradaban Islam di bumi Nusantara, yaitu hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam (kesatuan Tuhan, manusia dan alam). Dan yang menarik adalah: hal ini telah menjadi keyakinan sebagian besar muslim Jawa hingga hari ini. Sebuah lentera pembimbing bagi muslim Jawa menjalani “suluk” laku hidup kesehariannya.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya. Dimulai dari upaya yang sungguh-sungguh di dalam menyatukan keselarasan dan kerjasama yang solid antara 10 (sepuluh) unsur diri, yang akan menghadirkan bimbingan (punokawan). Kemudian dengan mengarungi persahabatan dengan 8 (delapan) unsur alam, manusia akan ditunjang perjalanan ruhaninya untuk mendekat dan mencapai kebenaran Illahi.
Wallahu A’lam bis Showab
(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).
https://www.youtube.com/watch?v=Q8ZacExjKuI
Ward William Keeler, adalah seorang expatriat asal Wilton, Connecticut yang sangat cinta dengan Jawa. Ia biasa dipanggil Ward, namun di Jawa ia lebih suka dipanggil Pak Wardoyo. Ia menyatakan bahwa nama Wardoyo itu memiliki makna yang sangat dalam, karena berasal dari bahasa Kawi yang berarti: hati.
Wardoyo tertarik dengan wayang dan uyon-uyon di Jawa, salah satu tokoh yang menginspirasinya adalah Ben Andersons. Menurutnya Wayang kulit Jawa adalah sebuah kesenian yang sangat sakral di Jawa, ketika tahun 1970an ia berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya mengapa setiap ada pementasan wayang kulit banyak warga masyarakat Jawa berduyun-duyun menonton? Apa yang menarik dari pertunjukan tersebut? Mengapa semua orang Jawa senang menonton wayang? Pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi pokok pikiran Pak Waryodo yang saat itu sedang menyelesaikan desertasi.
Selama penelitiannya itu, ia menemukan ada perbedaan besar antara Budaya timur dan barat. Pak Wardoyo mengajukan satu tesis berkaitan dengan pemaknaan orang Jawa mengenai “Hierarki”. Jika di Eropa (termasuk Amerika) hierarki difahami sebagai sesuatu yang kurang baik, karena dekat dengan feodalisme –yang tidak disukai orang Eropa– maka di Jawa hierarki memiliki pemahaman tersendiri, yang memiliki ejawantah arti sangat dalam (baca: keadaan kejiwaan tertentu) yang tergambar dari ekspresi-ekspresi tradisi seperti wayang, beksan, dan gending.
Selain di Indonesia Pak Wardoyo juga sempat melakukan riset di Negara Birma, di sana ia juga menemukan suatu pemahaman lokal yang khas –yang hampir sama dengan pemahaman lokal di Indonesia– berkaitan dengan hierarki ini.
Namun, makin ke sini –sebuah kritik bijak dilontarkan oleh Pak Wardoyo– ia merasa kedalaman makna batiniah dari Hierarki di Jawa. Ia tidak lagi menemukan unsur “ning” dalam wayang yang dipentaskan hari ini, bulan ini ia telah menonton wayang sebanyak tiga kali, namun dalam tiga pertunjukan tersebut, ia tidak menemukan pesona yang sama –yang didapatkannya ketika menyelesaikan desertasi dahulu– saat berkunjung pertama kali di Indonesia. Pertunjukan wayang hari ini telah kehilangan jejer, kehilangan gending, bahkan kehilangan “ning” (baca: hening) yang begitu penting dalam wayang kulit.
Ia sangat rindu merasakan kramatnya “ning” dalam wayang kulit, karena ihwal tersebutlah yang memikatnya di tahun 70an. Ketika ia kembali ke Indonesia tahun 90an, ia tak menemukan “ning”-nya lagi.
***