Wedhatama
Sebelumnya, mari mendoakan para korban Corona (Covid-19) yang telah meninggal dunia, terlepas darimana dia dan apa agamanya. Mugya padhang laku lan jembar kubure, diterima di sisi Tuhan kepercayaan masing-masing.
Pada 31 Desember 2019, tepat di hari pergantian tahun, China mengumumkan tentang munculnya kasus Corona. Selang beberapa bulan, virus Corona telah menyebar ke semua negara di dunia. Tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa Corona telah menjadi pandemi global.
Kota-kota besar di dunia dalam kondisi lockdown. Tempat-tempat suci beribadah pun mengalami nasib yang serupa, termasuk Ka’bah. Menariknya, walaupun Ka’bah ditutup, di Twitter, akun @hsharifain, memublikasikan sebuah video yang menunjukkan kawanan burung merpati terbang dengan begitu bebas memutari Ka’bah, seolah kawanan merpati tersebut melakukan thawaf.
Frank M. Snowden, penulis Epidemic and Society: From Black Death to the Present, dalam wawancaranya dengan situs The New Yorker, menjelaskan bahwa kejadian luar biasa karena Wabah selalu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lepas dari aksi teknis nan taktis demi menekan dampak Corona, selagi para ilmuwan bekerja mencari vaksin maupun obat penawarnya, hampir semua manusia memiliki pertanyaan; Apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia? Apa yang akan terjadi pada umat manusia?
Dua pertanyaan bersifat hipotikal di atas tentu sulit untuk dijawab secara ilmiah. Sebagai gantinya, atas kementokan ‘dunia ilmiah’, setiap jawaban yang muncul tidak lepas dari latar belakang serta motif si penjawab.
Apabila si penjawab seorang dokter, tentu ia akan memberi jawaban yang berlandaskan ilmu kedokteran ditambah pengalamannya. Beda lagi kalau yang menjawab seorang sejarawan, karena telah membaca banyak referensi sejarah, kebanyakan sejarawan akan memberi jawaban, “itu hal biasa”.
Namun, yang belum cukup diamati ialah seperti apa jawaban spiritualitas sastra Jawa bernafas Islam dalam memandang sekaligus menyikapi Corona? Akankah Corona menjadi indikator kuat bahwa hari ini, manusia sedang berada di dalam masa transisi zaman Kalatidha menuju Kalabendu?
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Psikologi Manusia Akhir Zaman
Umat manusia telah berkali-kali ditimpa wabah. Mulai dari Pes, Malaria, Flu Spanyol (H1N1), Flu Burung, SARS, MERS, hingga Covid-19. Anehnya, Corona, yang jumlah kematiannya tidak mencapai angka jutaan seperti yang terjadi pada kasus Black Death, menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa melalui distribusi berita di media-media. Lantas, sebenarnya, apa yang membuat panik? Corona atau berita?
Kepanikan dipicu ketakutan yang berlebihan, sehingga muncul beragam skenario menakutkan di pikiran. Untuk menghindari skenario-skenario buruk pikiran, manusia melakukan tindak ketergesaan. Puncaknya, akibat kepanikan, terkuak fakta tentang betapa manusia menyembah egonya.
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Ingat pada awal bulan Maret 2020. Tatkala pemerintah baru saja mengumumkan adanya dua kasus Corona di Depok, seketika harga masker disetel penjualnya pada harga tinggi, masyarakat memborong masker sampai habis, satu pembeli minimal membeli tiga kotak masker, dan bahan makanan di minimarket pun ikut tumpas.
Bagi yang cukup uang, sangat mudah untuk berjaga-jaga, bagi yang kere senjata terbaik untuk mendapat keselamatan semata doa. Peristiwa ini sekiranya menjadi implementasi faktual dari bait Sinom Serat Kalatidha yang masyhur berikut ini.
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Hidup di zaman kegilaan
tidak mudah berbuat kebaikan
ikut gila tidak tahan
kalau tidak ikut gila
tidak mungkin mendapat keinginan
lapar pada akhirnya
untungnya takdir Allah
beruntung-untungnya orang lupa
masih untung orang yang ingat dan waspada
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Respon pemerintah berjalan lamban. Bukannya mencegah kepanikan, pemerintah Indonesia justru menambah kepanikan masyarakat dengan mendiskon tiket pesawat, dan menginstruksikan agar sektor pariwisata tetap beroperasi seperti biasanya.
Kekacauan terjadi secara serentak dari tingkat bawah hingga atas struktur sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia memrioritaskan keberlanjutan ‘uang’ sementara masyarakat mengedepankan keselamatan masing-masing akibat pengaruh media.
Semuanya mbingungi karepe dhewe, uang sangat penting untuk menjaga nyawa, tapi apakah mungkin mencari uang tanpa pakai nyawa?
Dhasar karoban pawarta
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayěkti
mundhak apa anèng ngayun
andhědhěr kaluputan
sinaraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Namanya juga ditimpa berita
ingin jadi yang di depan
ternyata malah di belakang
biar apa berada di depan?
(hanya akan) membuka kesalahan
disirami air lupa
kalau tumbuh jadi suburnya sengsara
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Sajian terjemahan di atas masih berupa terjemahan literal. Apabila dikontekstualisasikan terhadap peristiwa kepanikan Corona, dapat diambil satu benang merah bahwa semua manusia bernafsu ingin berada di depan, paling depan untuk mewujudkan kepentingan pribadi akibat ketergesaan. Bukannya memperoleh apa yang diinginkan malah menunjukkan keegoisan yang pada akhirnya menebarkan kesusahan bagi sesama.
Serat Kalatidha, sebagai hasil interpretasi Ranggawarsita atas Jangka Jayabaya, memiliki arti ‘zaman penuh kesamaran’, memberi sinyal masuknya zaman Kalabendu setelah terjadinya zaman Kalatidha. Bahwa zaman Kalatidha yang serba tidak pasti menimbulkan kebingungan bertindak terkait apa yang harus dilakukan. Sebab semua orang pasti sudah tahu harus menyelamatkan apa dan siapa, namun belum tentu tahu apa yang harus dilakukan secara benar.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media. Kekhawatiran yang terlanjur dengan cepat menjalari kemudian memicu munculnya satu gagasan, “alangkah tenangnya kalau tidak tahu” Padahal, sebelumnya menuntut untuk tahu.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media.
Akumulasi yang Akan Datang
Untuk sementara, para peneliti menduga bahwa Corona yang bermula di Cina dikarenakan kegemaran warga Wuhan memakan hewan liar. Bagi sebagian orang, memakan kelelawar, trenggiling, katak, ular, dan lain sebagainya merupakan perilaku tidak lazim. Akan tetapi bagi yang doyan, makan hewan yang ‘tidak biasa’ jelas sudah jadi kebiasaan.
Seandainya diruntut, kemunculan wabah yang menimpa manusia selalu berawal dari perilaku menyimpang manusia ketika berinteraksi dengan alam, terutama binatang. Wabah Pes, Flu Spanyol, Malaria, SARS, MERS, dan Corona, bukankah semuanya terlontar dari tubuh binatang?
Tuhan yang telah menundukkan alam bagi manusia (Qs. Ibrahim 13:32-34) ternyata ditafsirkan secara berlebihan. Agenda manusida dalam perusakan alam tidak sekadar dijalankan pada tataran fisik, namun juga mengacaukan putaran rantai makanan. Bisa jadi penyebabnya berasal dari pelajaran biologi di sekolah yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi rantai makanan adalah manusia.
Apabila benar Corona merupakan rangkaian dari Kalabendu, maka tidak meleset nubuat yang disampaikan di dalam Jangka Jayabaya bahwa Kalabendu dimulai dari rusaknya alam. Sunan Pakubuwana IX, kompetitor Ranggawarsita, dalam Sekar Kusumawicitra menyebut Kalabendu sebagai Kaliyuga, “dan masuknya zaman Kaliyuga ditandai dengan eksploitasi pepohonan hutan”.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV mendesrkipsikan melalui tembang Pocung, Ringgit Madya Lampahan Jaya Purusa, peristiwa yang dialami manusia sebelum dan selama masa Kalabendu berlangsung.
datan dangu kadhatengan kalabendu
angancik pailan
larang sandhang lawan bukti
wewulanan tan ana tibaning jawah
sumur-sumur kali-kali kalenipun
sendhang myang bengawan
sadaya kasatan warih
tanem tuwuh tiwas tan tuwuh palastra
buron banyu pitik iwen akeh lampus
tan antuk pasaban
sumawana para janmi
ting bilulung keh mati saking kalapan
kuwur-kawur saparan-parane bingung
kang samyarsa pindhah
mring nagari Malawapati
malah kesah ngungsi mring praja Widarba
saya dangu janma wimbuh ura-uru
rebut sandhang boga
rusuh rina lawan wengi
tanpa kendhat lakuning bangsat beradhat
Terjemahan:
tidak lama datanglah Kalabendu
menapak (masa) paceklik
mahal pakaian dan makanan
berbulan-bulan tidak ada turun hujan
sumur-sumur, sungai-sungai, dan parit
sumber air hingga sungai besar
semua kekeringan air
menanam hanya sia-sia
air langka ayam dan unggas semua mati
tiada tempat berkumpul
begitu juga para manusia
berlarian kesana-kemari banyak yang mati (akibat) kepanikan
berlarian tanpa arah kebingungan
yang semua ingin pergi
(dari) nagari Malawapati
mengungsi pergi ke negeri Widarba
semakin hari semakin gelap hati
berebut pakaian dan makanan
bertengkar (di) siang dan malam
tak ada hentinya bertindak jahat
Tidak dapat dipungkiri, muncul dan sebaran suatu wabah tidak lepas dari faktor alam, di samping otoritas pemangku pemerintahan. Layaknya penduduk Malawapati yang cari selamat dari masa sengsara dengan cara mengungsi ke negeri tetangga, Widarba. Ketakutan membuat manusia ibarat tidur malam berselimut takut.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir. Di hari kemudian, entah kapan, mungkin saja muncul wabah lain yang lebih menakutkan daripada Corona. Menakutkan di sini bukan selamanya dalam artian sifat wabah itu sendiri, melainkan distribusi berita.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir.
Waktu Untuk Manekung Anungku Samadhi
Tingkat kematian Corona yang tidak setinggi SARS dan MERS mengundang satu pertanyaan penting, kenapa sampai hari ini belum ada vaksin penangkal yang ditemukan?
Belum ditemukannya vaksin Corona tersebut mengakibatkan diberlakukannya lockdown pada daerah-daerah yang dinilai sedang dalam masa genting menghadapi Corona.
Jeff McMahon dalam Forbes menuliskan satu fakta penting, bahwa kebijakan lockdown sebenarnya membuat manusia lebih aman dari kematian akibat pencemaran lingkungan daripada virus Corona itu sendiri.
Apabila ditelusuri, kebijakan lockdown pada dasarnya memiliki dua fungsi. Pertama, mencegah penyebaran virus yang lebih massif di suatu wilayah. Kedua, menjadi momen bagi masyarakat, secara kolektif, untuk lebih merenungkan kehidupan.
Selama ini, sebelum Corona menimpa, umat manusia memburu cita-cita dan pencapaian tiada henti. Bekerja terus menerus tanpa sempat berdiam diri lalu melakukan instropeksi. Bagai mesin yang dituntut terus bekerja tanpa diperbolehkan untuk cooling down oleh mandor atau majikan.
Kebijakan lockdown yang berimbas pada berbagai aktifitas manusia seolah menjadi tanda dari Tuhan, bahwa manusia diperintah untuk ngunjal ambegan (mengambil nafas panjang) dari kepadatan hidup sembari menutup mata dalam keheningan (manekung anungku samadhi) bukan dalan ketakutan. Oleh sebab itu, langkah paling efektif menekan sebaran Corona tidak lain hanyalah lockdown.
Dari manekung dalam momen lockdown, mungkin manusia tidak akan pernah tahu apa yang hendak disampaikan Tuhan, namun setidaknya manusia bisa lebih menyadari posisinya yang semata makhluk sekalipun telah melakukan banyak pencapaian di berbagai aspek kehidupan. Tidak lebih.
dene sarananipun badhe anyumerepi Gusti Allah saha kaananipun alam kelangenan, punika namung saking semedi, semedi mekaten anentremaken roh tuwin ngeningaken cipta. Saha salebetipun semedi, sampeyan anyipta angekoki Allah.
(Martadarsana, Wedha Sanyata)
Adapun metode untuk mengenal Tuhan juga keadaan alam yang sejati, hanyalah lewat semedi, semedi itu menentramkan roh dan menenangkan pikir. Pun di dalam semedi, Anda rapaljan nama ‘Allah’.
(Martadarsaba, Wedha Sanyata)
Corona dan Sebuah Peradaban Akhir
Pada tahun 1963, Nikolai Kardashev, seorang fisikawan terkemuka Rusia, mencetuskan teori Type of Civilization. Sebuah teori yang menentukan peringkat peradaban manusia. Type I, umat manusia mengonsumsi energi dari planetnya sendiri.
Type II, umat manusia mampu memaksimalkan sumber energi yang terdapat di tata surya, termasuk komet, matahari, asteroid, dan planet di tata surya. Type III, galaksi Bima Sakti telah ditundukkan umat manusia.
Dalam hal ini, Michio Kaku, fisikawan kuantum setengah Jepang, menyebutkan bahwa saat ini manusia sedang berada di Type I dari teori Type of Civilization.
Michio Kaku dengan optimis percaya bahwa di masa depan, manusia mampu mencapai type III. Namun, sebelum beranjak ke type II, mengingat tingginya ego manusia setelah merefleksi peristiwa Corona, akan lebih baik bagi manusia jika Tuhan menghendaki kiamat saja.
Saya tak benar-benar tahu, apakah gejala formalisme beragama kita yang kian marak di Indonesia belakangan ini, yang bahkan pada taraf tertentu punya dimensi atau semangat untuk mengekslusi atau menyingkirkan kelompok (agama) lain, pada ambang tertentu, sudah membuat kita sebagai bangsa, semakin menjauh dari prinsip dan nilai kebersamaan, dan kegotong-royongan, atau sebut saja pesatuan Indonesia, sebagaimana dulu nilai-nilai tersebut dipancangkan oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdekaan negeri ini. Saya tak punya kapasitas menilainya.
Namun, saya tiba-tiba mengingat sebuah istilah yang dulu dikenalkan Soekarno di rapat BPUPK, tanggal 1 Juni 1945, saat ia berkesempatan menyodorkan gagasannya terkait dasar filsafat Negara Indonesia (philosofische grondslag)—yang kemudian ia namai sendiri dengan nama “Pancasila”, yang berarti “lima asas” atau “lima dasar”. Saat mengemukakan sila yang kelima (Soekarno tak mementingkan urutan sila ini, karena baginya hanya sekadar “urut-urutan kebiasaan saja”), ia menyarankan Indonesia Merdeka harus berdasar prinsip Ketuhanan. Yakni bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, namun masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan (menurut kepercayaan) Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara Kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1984: 147-154).
Apa makna kalimatnya? Atau bagaimana tepatnya kita merespon istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” yang ia sorongkan, di saat Sekularisme telah meresapi bangun ruang hidup kita secara keseluruhan—sebagaimana dulu dicetuskan dalam bingkai nalar sains abad modern yang memang berusaha menyingkirkan sejauh-jauhnya peran agama juga Tuhan menyingkir di sisi pinggir peradaban dunia? Atau Juga bagaimana memaknai istilah Soekarno tersebut, di saat agama telah terdomestifikasi sebagai ajaran ritual peribadatan semata, sehingga membuatnya saling hadap perhadap dengan wilayah “kebudayaan” di satu sisi, maupun gejala sains (paradigma modernisme yang telah menyangga bangun keseluruhan pranata sosial modern kenegaraan kita saat ini) yang secara umum telah memilah ranah-ranah politik, kebudayaan, seni, dan agama—terutama dalam arena diskursus politik publik demokrasi liberal—sebagai sesuatu yang saling memisahkan dan saling bediri hadap-perhadap satu dengan yang lain di sisi lainnya? Dan lalu bagaimana kita menyambungkan makna prinsip ketuhanan, yang senyatanya telah kita sepakati menjadi satu bagian dasar negeri kita, juga bagaimana menyambungkan makna agama sebagai “petunjuk keseluruhan hidup” dalam konteks kebangsaan kita yang semakin larut dalam diskursus politik demokrasi liberal yang mendomestifikasi peran agama ke dalam ruang privat?
Saya ingin menjawabnya dengan mengais khazanah tradisi dari “Serat Wedhatama” dalam literatur Jawa. Dalam pembendaharaan serat ini, terdapat sebuah istilah penting terkait definisi “kebudayaan” yang dari khasanah pengetahuan tersebut barangkali istilah kebudayaan itu kita ambil: yakni “olah budi” atau “budya”. Jika kita bersepakat arti kebudayaan—sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat sebagai “hasil olah Cipta, karsa, dan rasa manusia”, maka kebudayaan dalam konotasi tertentu merupakan sebuah proses “olah budi” kemanusian, tentu jika kata “budi” kita maknai seturut dengan pemaknaan Wedhatama dimana istilah “budi” menunjuk aspek terdalam keseluruhan diri manusia: yakni Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah Budi dengan demikian adalah proses mengolah unsur terdalam bagian diri (sifatnya rohani), atau proses mengolah Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa kita agar kemanusiaan kita menjadi lebih utuh.
Tak mengherankan jika kita mendapati, salah satu defenisi kebudayaan berbunyi sebagai olah “men-daya-kan budi kemanusian kita (baca: budaya, budi-daya) yakni agar kita bergerak dari kecenderungan sifat-sifat hewan yang memang secara alami menggerakkan hidup kita (nature), menuju kondisi kemanusiaan yang lebih utuh dalam berelasi mengatur hidup bersama yang lebih memanusiakan orang (culture). Dalam konteks ini sebenarnya kata “budaya” dengan segenap konotasi “ruhaninya” tak benar-benar sepadan dengan kata “cultuur” (belanda) ataupun “culture” (inggris) yang lebih punya asosiasi kepada aktivitas “bercocok tanam”.
Masalahnya dulu, terutama dalam pengertian tradisi Jawa, juga bahkan di Nusantara secara keseluruhan, kata olah budi masih berkait sesuatu yang ruhani, alias masih menyandarkan Tuhan dalam bangun proses mengutuhkan potensi kedirian kemanusiaan tersebut. Karena sejatinya olah potensi Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa, (olah-budi, atau budaya) dari keseluruhan potensi yang tersimpan dalam diri kita adalah sejenis usaha mengolah potensi “ilahiah” atau “ruhaniah” di dalam diri yang seringnya kalah dengan dominasi dorongan “kehewanan” yang menghambat proses kita menjadi “manusia”. Oleh karenanya, di dalam literatur “Serat Wedhatama” proses “olah budi” atau proses berbudaya tersebut masih diembel-embeli dengan kata “sembah”: yakni Sembah Karsa, sembah Cipta, sembah Jiwa, dan sembah Rasa.
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama).
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama). Dan bukankah ini, mengambil contoh ajaran Islam, merupakan tujuan puncak diturunkan ajaran agama: yakni menyempurnakan akhlak utama. Yakni budi-pekerti yang dicapai manusia setelah melalui proses perjuangannya mengolah-budinya atau setelah proses olah “berkebudayaan”nya, dari kondisi status kemanusiaannya yang sebelumnya terbelenggu dorongan-dorongan alami hewaninya (basyar) menuju diri kemanusiaan yang dilimputi oleh akhlak dan budi-pekerti utama untuk mengatur hidup bersama yang saling mengamankan dan menebarkan kedamaian, kebersamaan, dan rahmat kepada siapapun (insan).
Dalam koridor penafsiran ini, ajaran inti beragama adalah mengolah budi kemanusiaan dari status “kehewanan” kita menuju potensi “kemanusiaan” kita, alias ajaran berkebudayaan atau bahkan proses berkebudayaan itu sendiri, dalam visi ketuhanan yang membantu kita memperindah pola kehidupan bersama dalam sebuah tata-kemasyarakatan. Dan dengan kerangka ini pula, agama—beserta ajaran tentang ketuhanannya—seharusnya tak bediri terpisah dengan “kebudayaan”, serta hendaknya mengukuhkan “olah-kedirian” berkebudayaan atau olah proses kemanusiaan sebuah masyarakat, yang memang secara factual bersifat particular-lokal (Indonesia) dan memang berbeda-beda pada setiap bangsa dan masyarakat. Inilah ajaran ketuhanan yang telah membantu menegakkan jati-diri olah-kebudayaan kebangsaan masyarakat tertentu, yakni telah melampaui ajaran hitam-putihnya (syari’at) sebagai batu bata-utama awal dalam menata hidup yang telah mengantarkannya kepada capaian “hikmat”, “kebijaksanaan”, dan “kearifan” (satu akar kata dengan ma’rifat). Sebuah agama yang tidak lagi mengawang dalam ajaran dan doktrin yang masih berjarak dan memisahkan diri pergulatan kebudayaan sebuah masyarakat, melainkan ajaran keagamaan dan ketuhanan yang membantu mengutuhkan jati-diri “kebudayaan” sebuah bangsa dalam mengekplorasi olah potensi “ilahiyah” yang bersemanyam dalam “fitrah” kemanusiaan yang berkecenderungan lurus (hanif) tersebut.
“Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai salah satu sila dari Pancasila seperti disorongkan Soekarno di atas, dengan sendirinya sekarang memiliki relevansi dan memungkinkan kita memaknainya untuk kebutuhan kita hari ini. Bahwa dalam visi dan prinsip ketuhanan dan ajaran agama, hendaknya membantu kita untuk mengatur hidup bersama dalam bingkai kerakyatan yang tidak semata dipandu olah ajaran hitam-putih (parsial menurut egoisme kelompok maupun golongan [agama] tertentu) melainkan seharusnya dipandu oleh penglihatan utuh dalam bingkai “hikmat” (mengambil hikmah “baik” dari peristiwa “buruk”, alias telah melampaui baik-buruk), maupun dalam bingkai kebijaksanaan dan kearifan (ma’rifat) yang tidak lagi mencari menang-menangan dalam payung “musyawarah”. Yakni olah kemanusiaan dalam mengatur hidup bersama dalam semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan”. Dalam bahasa Soekarno, olah kemanusian dalam bingkai ketuhanan tersebut dengan sendirinya bersifat “kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’” yang tidak membenarkan “egotisme kebenaran” dari prinsip ketuhanan tertentu.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur. Yakni sebuah prinsip ketuhanan yang telah membantu olah budi-pekerti dalam proses menjadi manusia seutuhnya dalam mengejar kecenderungan fitrahnya sesuai konteks pergulatan kebangsaannya yang memiliki tantangan dan kondisi yang memang berbeda dengan bangsa lain. Nah, prinsip ketuhanan dan ajaran agama seperti inilah yang telah terbukti membantu manusia Indonesia menemukan jati-diri kemanusiaannya. Ketuhanan yang mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi-pekerti luhur dan ketuhanan yang tidak lagi mengekslusi, menyingkirkan, dan menghina “tuhan” kelompok lain, alias ketuhanan—dalam bahasa Soekarno—“ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Sebuah prinsip ketuhanan dan agama yang justru membantu memperkokoh jati-diri kebudayaan sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Ajaran agama yang dengan sendirinya bisa menebar rahmat bagi alam semesta.
1
Dulu saat mendengarkan lagu “Bojo Galak” terutama tepat pada lirik “Kuat dilakoni, Yen ra kuat ditinggal ngopi” entah dinyanyikan oleh Nella Karisma maupun Via Vallen, saya menangkap desir paradoks yang tak terseleseikan. Sebuah paradoks, yang juga beserta penyelesaian atasnya, bisa jadi merupakan kunci untuk mencandra filsafat masyarakat kita yang menghunjam secara kuat dalam nalar kesadaran. Sebuah paradoks yang layaknya dangdut (koplo) itu sendiri tidak berusaha ingin didamaikan, melainkan menarik kita terlibat dan menjalaninya dengan riang. Lagu sesedih apapun ketika dinyayikan dalam irama koplo, ia tak ingin dilaruti. Ia hanya ingin dinikmati dalam gerak joget yang mengundang. Sebuah paradoks yang ingin dilampaui.
Jika beratnya sebuah masalah atau bahkan hidup, tak kuat kita pecahkan dalam usaha spekulasi keterbatasan nalar pikiran kita, ya kita jalani saja (kuat dilakoni), tapi jika merasa tak kuat, kita tinggalkan saja untuk sementara (ditinggal ngopi).
Dalam beberapa bait liriknya seolah tersirat preposisi begini: jika beratnya sebuah masalah atau bahkan hidup, tak kuat kita pecahkan dalam usaha spekulasi keterbatasan nalar pikiran kita, ya kita jalani saja (kuat dilakoni), tapi jika merasa tak kuat, kita tinggalkan saja untuk sementara (ditinggal ngopi). Ringkasnya ia mengundang kita dalam usaha memecahkan atau memahami hidup, untuk tak terlalu jumawa berusaha memecahkan, memahami dan merengkuhnya dalam dimensi kemenyeluruhannya. Ia meminta kita untuk sumeleh atas kompleksitias hidup, sembari sabar menjalaninya dulu, juga berharap dalam suatu tahapan perjalanan lebih lanjut kelak mendapat sedikit petunjuk maupun hikmah yang memberi makna. Kita diminta melakoni. “Dipikir karo mlaku bro,” ucap sebuah meme.
Mungkin ini selaras dengan apa yang saya rasakan, dibanding merumuskan dalam sebuah spekulasi pikiran yang mengambil jarak obyektif tertentu atas hidup (olah filsafat), masyarakat kita mungkin lebih memilih menjalaninya atau melakoninya dalam arus lelakon yang mendalam dan intim. Ini persis seperti masyarakat kita yang lebih memilih mengungkapkan perasan cinta mereka tidak pertama melalui perkataan verbal, melainkan mengungkapkannya dalam wujud tindakan dan perbuatan.
2
Kata melakoni, yang secara harafiah berasal dari kata “laku” “mlaku”, “lelaku” dalam bahasa Jawanya, senyatanya berarti “berjalan” yang juga dari turunannya memunculkan kata “menjalani”. Karena, bagaimanapun memang hidup ini sendiri adalah perjalanan. Sebuah Lelakon. Atau dalam istilah tasawufnya disebut “suluk”, sebuah perjalanan. Yang istilah ini, “suluk”, bukan hanya telah diserap dalam bahasa Indonesia, melainkan telah menjadi istilah penting dalam genre tembang macapat berisi ajaran esoterik tasawuf Jawa.
Makanya, melakoni atau menjalani hidup dalam sebuah perjalan “kembali” itu, seperti sudah banyak dikenal, dilalui melalui tahapan dan jenjang menaik hidup yang bertahap empat, (1) syariat, (2) tarekat, (3) hakikat, dan (4) ma’rifat. Atau dalam konsep tahapan “laku” perjalanan pada Serat Wedhatama dalam bentuk jenjang tahapan (1) raga, (2) cipta, (3) jiwa, (4) rasa, yang keempatnya dinamai dalam term sembah.
3
Dalam tahapan ini, agar kita memahami sedikit demi sedikit makna hidup, kita pada periode tahap awal perjalanan dipandu oleh (1) koridor hitam-putih, haram-halal, baik-benar, atau koridor normatif syariat yang membantu kita untuk mendisiplinkan raga dan dorongan kehendak (karsa) yang muncul darinya, yakni agar kita punya arah awal, meskipun kita belum tahu akan rasionalisasinya. Lalu kemudian meningkat dengan (2) mengaktifkan cipta dan pikiran kita untuk memahami rasionalisasinya, yang juga (3) harus dibarengi kejernihan hati dan jiwa kita terkait arah orientasi ultim hidup ini, dan dengan itu(4) rasa atau aspek terdalam fakultas kita bisa pelan-pelan menangkap irama dan tujuan hidup.
Makanya kadang-kadang dalam skema empat perjalan ini, hidup sering dikeluhkan sulit dijelaskan dan direngkuh oleh pikiran rasional kita. Karena memang aspek rasional dari hidup hanya salah satu bagian bidang parsial dari kemenyeluruhannya. Dan kita diminta meningkatkan level perjalanan.
Apalagi jika aspek rasional atau yang dibayangkan rasional ini, masih muncul dari pikiran orang yang belum mampu mendisiplinkan tubuh jasmani dan menundukkan dorongan subyektif kehendak, keinginan, dan nafsunya. Yang rasional ataupun “yang benar” menurut prasangka pikirannya, yang ingin ia desakkan pada hidup, pada kenyataannya, tak lain adalah semata rasionalisasi atau pembenaran dari keinginan dan nafsunya. Ia ingin mengatur “hidup” sekehendak, sekeinginan, juga seturut kebenaran dari sudut kemauannya sendiri. Ini diperparah dengan kondisi jiwa dan hati yang masih keruh (akibat dua tahapan sebelumnya yang ia alfakan) sehingga tidak ingat orientasi paling puncak hidup (zikir).
Makanya Serat Wedhatama mungkin benar, bahwa “ngilmu iku kelakone kanthi laku,” yakni ilmu untuk memahami keutuhan hidup ini tercapai dengan cara menjalaninya atau melakoninya, atau menyesap sedikit-demi sedikit dalam tahapan perjalanan lelakon hidup yang kita diminta bersabar mencicipi maknanya dalam jenjang laku yang menaik.
4
Saya kadang-kadang tergoda untuk berkesimpulan, bahwa untuk mencapai makna “hakikat hidup”–ingat kata “hakikat” adalah tahapan ke-3 dalam jenjang lelakon yang telah saya sebutkan sebelumnya–mungkin bukan pertama memikirkannya dalam olah pikiran berjarak seperti dilakukan dalam filsafat, melainkan cukup menjalani dan melakoninya dalam koridor laku tasawuf dalam pengertian terluasnya. Hidup itu bukan pertama untuk dipikirkan, melainkan dijalani saja, begitu kata banyak orang. Atau meminjam istilah dalam salah satu lirik lagunya Nella Karisma, “pikir keri”.
Hidup itu bukan pertama untuk dipikirkan, melainkan dijalani saja, begitu kata banyak orang. Atau meminjam istilah dalam salah satu lirik lagunya Nella Karisma, “pikir keri”.
Dalam logika ini, makna hidup didapatkan sedikit-demi sedikit dalam laku perjalanan yang meninggi. Dan selalu saja makna itu kita rasa terus saja dalam kondisi tak utuh, yang dengan sendirinya mengundang kita, mau tak mau, terus berjalan dengan rendah hati. Dan tentu dengan cara itu kita semakin lebih “arif” menyikapi hidup beserta misteri dengan segala kompleksitasnya.
Kata “arif” yang telah terserap dalam bahasa kita–seakar kata dengan “ma’rifat” dalam bahasa Arabnya–sebenarnya ingin menunjuk capaian seseorang yang telah sampai kepada ma’rifat, alias telah sampai kepada penilaian “rasa terdalamnya”, ingat padanan empat tahapan yang telah saya kutip dari Wedhatama sebelumnya (raga, cipta, jiwa, rasa). Yakni orang yang telah memahami, bersikap, dan menilai hidup bukan semata dari sisi normatifnya semata (syariat), atau semata mengandalkan penalaran dirinya sendiri yang bisa jadi masih terbelenggu keinginan dan egotismenya (tarikat), yang bisa jadi muncul karena dan dari diri yang belum bersih jiwanya (hakikat). Pendeknya ia, sang arif, adalah orang yang telah melampaui penilaian hitam putih dan benar salah, yang hidup ini tak mungkin bisa diringkus segamblang dan sesederhana dalam rumusan itu.
Karena bagaimanapun setiap yang buruk, jelek, salah, juga derita yang kita sangka buruk dan tidak baik dalam hidup, ia menyimpan “hikmah” yang bisa kita petik dan sesap. Begitu biasanya yang disampaikan para arif kita.
5
Ijinkan saya mengutip beberapa bait lirik lagu “Suci Dalam Debu”-nya Salim Iklim, agar ilustrasinya menjadi agak gamblang.
“Namun hakikat cinta kita, Kita yang rasa,” begitu kata lirik lagu ini. Hakikat cinta, begitu juga hidup, dalam tafsiran ringkas saya, pada akhirnya digapai melalui perjalanan bertahap yang mengubah diri melalui capaian “rasa” terdalam diri. Karena penilaian normatif kita bisa jadi menyederhakan (“hina jadi mulia”), juga tafsir rasional pikiran dan pandangan kita bisa jadi juga tidak utuh (“cinta bukan hanya dimata, cinta hadir di dalam jiwa, zahirnya kotoran itu terlihat, kesucian terlindung jua, antara kita”).
Hakikat cinta, begitu juga hidup, dalam tafsiran ringkas saya, pada akhirnya digapai melalui perjalanan bertahap yang mengubah diri melalui capaian “rasa” terdalam diri.
Oleh karenanya kita diminta dengan kerelaan dan sikap rendah hati bersabar menerima lelakon perjalanan hidup yang bisa jadi kadang terasa pahit dan getir yang jauh dari jangkauan rumusan nalar kebenaran pikiran kita (“kuharap engkau kan terima walau dipandang hina”). Namun dengan tekad untuk terus menjalaninya, hakikat hidup akan sedikit-demi sedikit terbuka dan bersinar serta datang dalam cahaya pemahaman baru (“di situ kita lihat, bersinarlah hakikat, debu jadi permata, hina jadi mulia”).
Dan dari laku perjalanan seperti ini, bukan hanya akan mengantarkan kita pada “pengetahuan”, namun juga akan menggeret kita pada “kebenaran” yang meneguhkan diri dalam sebuah tugas hidup (derma). Sebuah kebenaran yang akan menambah dan mengokohkan “keyakinan” diri dalam menapaki perjalanan (“bukan hayalan yang aku berikan, tapi keyakinan yang nyata”).
Dan terakhir saya baru sadar bahwa yang bisa meneguhkan perjalanan hidup ke tujuan ultimnya ini tak lain adalah “cinta”, yang secara indah dibahasakan Salim Iklim dengan bait lirik, “karena cinta lautan berapi, pasti akan kurenang jua.”. Dengan cara ini paradoks hidup beserta misterinya bisa kita atasi dan lampaui dengan siap tawaddu’. Meminjam bahasa Nella Karisma “tetep cinta, senajan bojoku galak.”
~~~