Pada bulan Februari 1953, Buyung Saleh membabar hayat dan karya Multatuli dalam sebuah esai cemerlang yang berjudul “Multatuli sebagai Manusia dan Pengarang” di Majalah Kebudayaan Indonesia. Sebagai intelektual kiri dan pengurus Lekra yang cerdik, di esai tersebut ia tidak pernah menyebut kekhawatiran Lekra terhadap pengaruh buruk budaya asing dalam kerja-kerja kebudayaan para pekerja seni dan sastra di Indonesia. Tidak pula ia menuliskan secara gamblang tentang proyek politik kebudayaan Lekra dalam penciptaan karya seni dan sastra Indonesia. Alih-alih mempropagandakan Lekra secara telanjang, ia justru berusaha merebut tafsir Mutatuli dari sekedar sastrawan humanis “milik” Belanda menjadi pembawa suara keterjajahan masyarakat Indonesia (baca: Jawa) di masa itu. Pembabarandengan cara demikian bisa mengantar para pekerja seni dan sastra dalam mencapai kemajuan di lapangan Sastra Indonesia, terutama dalam memberi orientasi kerja-kerja sastra dan kesenian bagi para sastrawan dan seniman progresif masa itu.
Mengingat perannya sebagai intelektual kiri dan pengurus Lekra masa itu, upaya Buyung Saleh dalam membangun fondasi penciptaan sastra dan seni ini pada dasarnya adalah kerja politik kebudayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Konsepsi Kebudayaan Rakyat (Mukadimah Lekra 1950). Untuk lebih masuk dimensi politis dari pembahasan Multatuli lewat esai cemerlang Buyung Saleh, mari kita periksa sejenak isi Mukadimah Lekra 1950. Bagian V dari Konsepsi Kebudayaan Rakyat—yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Mukadimah Lekra 1950—menyebutkan bahwa “Kebudayaan asing yang progresif akan diambil sarinya sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia… Kebudayaan asing akan diambil sarinya dengan cara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia”.
Penyebutan posisi dan arti penting kebudayaan asing dalam perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia merupakan buah kesadaran Lekra bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan dunia. Kemajuan kebudayaan Indonesia tidak akan menemukan bentuk terbaiknya apabila kerja-kerja kebudayaan tidak menyerap secara kritis sari kebudayaan dari luar yang dianggap sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Bila ditelisik ke kondisi kehidupan di lapangan kebudayaan masa itu, tanggapan Lekra terhadap kebudayaan asing dilatarbelakangi meruyaknya kekhawatiran sebagian kalangan seniman akan kegagalan revolusi Agustus 1945 di lapangan kebudayaan.
Kalangan pekerja seni dan sastra yang mendirikan Lekra itu berpandangan bahwa revolusi Agustus 1945 terancam gagal oleh gaya dan pandangan hidup kosmopolitan para pekerja seni dan sastra akibat pengaruh dan penanaman budaya secara sadar oleh kaum kolonial Barat setelah mereka terusir dari Nusantara. Bagi Nyoto dan kawan-kawannya yang mempelopori pendirian Lekra, kemenangan perjuangan di lapangan politik harus diikuti dengan kemenangan perjuangan di lapangan kebudayaan.
Berpijak dari Konsepsi Kebudayaan Rakyat secara khusus dan Mukadimah Lekra 1950 secara umum itulah, Buyung Saleh mulai membabar kepribadian Multatuli sebagai pengarang dan sekaligus humanis yang menuntut keadilan bagi rakyat Indonesia lewat perkataannya bahwa orang Jawa pun sama manusianya dengan orang kulit putih, yaitu manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensinya. Dalam salah satu bagian tulisannya, ia menunjukkan betapa bersikerasnya Multatuli mengatakan bahwa “kultuur stelsel atau kerja bebas sami mawon bagi Orang Jawa selama ia tidak berada di bawah pemerintah adil yang melindunginya terhadap penggarongan dan pembunuhan. Moralitas dan rasa perikemanusiaan pihak yang memerintahlah yang akan menentukan apakah orang Jawa berada di bawah pemerintahan yang adil atau rakus”.
Buyung Saleh melakukan provokasi pada pembaca esainya dengan menyatakan bahwa sebagai seorang manusia Multatuli memiliki nyali untuk “meninggalkan jabatan baik guna membela kebenaran dan keadilan dan perikemanusiaan, meskipun diri sendiri, isteri dan anak akan terancam kelaparan, betapa pun juga segi-segi lain dari pada perangainya menjadi sasaran kecaman”. Lewat keindahan gaya bahasa yang menghantarkan kegemilangan pemikiran-pemikirannya, terutama lewat Max Havelaar, Multatuli menghantam sistem tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah pada kaum kolonialis Belanda dan Eropa, menghantam liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan, menghantam kerja rodi dan perusahaan perkebunan dan dagangnya serta permintaan paksa dan korupsi dengan menggunakan jabatan. Tanpa ketakutan, ia menyuarakan tuntutan hak, hukum dan keadilan bagi orang Jawa di masa jaya-jayanya kekuatan kolonial di Hindia Belanda sampai-sampai menggegerkan kalangan sastra dan politik negeri Belanda dan Eropa.
Sekali pun roman dan karya-karya lain yang ditulis Multatuli tersebut tidak serta-merta menciptakan perbaikan nasib bagi bangsa Indonesia dan pemulihan kehormatan bagi dirinya sendiri, namun seiring berlalunya waktu hasil olah pikirannya telah turut memainkan peranan penting di dalam proses penyadaran bangsa Indonesia setengah abad yang lampau (Buyung Saleh, Majalah Kebudayaan Indonesia No. 12 tahun 1954). Ia memengaruhi mulai dari Kartini, Tiga serangkai Indisch Partij (Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat) sampai Muhammad Yamin.Namun sejauh yang bisa dibaca dari tulisan Saleh, wilayah pengaruh Multatuli dan karya-karyanya lebih besar di lapangan politik daripada lapangan sastra atau seni.
Proyek—atau lebih tepatnya cita-cita—politik kebudayaan yang diprovokasikan oleh Buyung Saleh lewat esai cemerlangnya ini sepertinya berangkat dari kebutuhan adanya eksemplar atau teladan paripurna baik figur maupun karya-karya seni dan sastra yang bisa menjadi kebanggaan nasional sekaligus fondasi bagi kemajuan penciptaan karya sastra dan seni Indonesia di masa-masa selanjutnya. Satu windu sejak Indonesia mencapai kemerdekaan politiknya, kalangan pekerja seni dan sastra, terutama yang berafiliasi dengan Lekra, mulai mendambakan lahirnya karya-karya seni dan sastra nasional yang mampu secara tepat dan cemerlang membabar permasalahan sosial rakyat Indonesia.
Esai tentang Multatuli di Majalah Kebudayaan Indonesia No. 3 tahun 1953 ini dalam satu dan lain hal berhasil memprovokasi para pekerja seni dan sastra berorientasi kerakyatan untuk mempelajari lebih mendalam karya-karya Multatuli, terutama yang berkaitan dengan permasalahan Indonesia sebagai Negara bekas jajahan Belanda. A.S. Dharta dan Bakrie Siregar tercatat pernah mementaskan drama pertunjukan dengan lakon Saija dan Adinda, sebuah roman percintaan masyarakat kelas bawah Lebak di bawah tindasan kolonial Belanda.Penyair Sitor Situmorang menyebut bahwa karya-karya Multatuli telah menjadi darah dalam perjuangan para pekerja seni dan sastra dalam mewujudkan kebudayaan Indonesia yang terlepas dari segala bentuk penindasan. Puncak perayaan Multatuli terjadi antara tanggal 5-6 Maret 1960, ketika sejumlah pekerja sastra menulis secara bersamaan tentang Multatuli baik di Harian Rakyat maupun Zaman Baru.
Lekra sendiri menyiapkan berbagai strategi kebudayaan agar cita-cita mereka yang ambisius tercapai. Program Turba, penerjemahan karya-karya asing maupun karya-karya lama Nusantara yang masih dalam bahasa lokalnya, pengkampanyean cara kerja 1-5-1, sampai pendirian Yayasan Multatuli.
Dalam referatnya di penutupan KSSR tahun 1964, misalnya, D. N. Aidit merasakan arti pentingnya karya-karya Multatuli dan Ronggowarsito untuk dibaca secara luas di Indonesia sekaligus memiliki kegundahan tentang belum diterjemahkan dua karya ini ke dalam Bahasa Indonesia.
Karya yang mereka idam-idamkan itu, yang di kemudian hari terbukti bisa menjadi kebanggaan nasional dan mampu menjadi inspirasi dalam kerja-keja penulisan karya sastra di berbagai belahan dunia, memang dilahirkan oleh salah satu pekerja sastra yang bernaung di bawah Lekra sejak sekitar 1957. Lewat kerja kepengarangan Pramoedya sejak tahun 1960-an hingga 1995, Sastra Indonesia bisa menampilkan permatanya yang dikagumi para pembaca sastra dari berbagai belahan dunia. Sayangnya, baik Buyung Saleh, para penggagas, sampai pekerja seni dan sastra Lekra tidak mengira bahwa karya yang mereka idam-idamkan itu justru lahir setelah gerakan kebudayaan rakyat yang mereka bangun dengan susah-payah itu dibumihanguskan oleh Rezim militer Orde Baru!
***
Beberapa tahun sebelum Mukadimah Lekra 1950 dideklarasikan dan BuyungSaleh bersama teman-teman Lekranya mulai membabar posisi dan arti penting hayat dan karya Multatuli dalam pencarian bentuk sastra dan seni Indonesia, Pramoedya Ananta Toer tengah merintis jalan kepengarangannya dengan melahirkan serangkaian cerita pendek dan sebuah novel (Perburuan) yang memenangkan sayembara menulis novel pada 1949. Sebagai seorang pengarang yang mengalami langsung pahit-getir kolonialisme Belanda dansatu dari sekian pelaku sejarah dari ikhtiar revolusioner Indonesia agar terlepas dari belenggu kolonialisme, Pramoedya mencoba merefleksikan serangkaian pengalaman-pengalaman hidup diri dan masyarakatnya lewat kisah-kisah revolusi yang penuh kontradiktif. Tak berbeda dengan Multatuli yang menjadi seorang otodidak di lapangan kebudayaan, Pramoedya yang tak memiliki rekam jejak sekolah cukup mentereng menempa diri sebagai seorang pengarang lewat pekerjaannya sebagai seorang stenograf menjelang kemerdekaan, kesukaannya dalam membaca, dan pergulatan hidup-matinya dalam perang fisik dan penjara sampai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia.
Lekra berdiri tidak lama setelah Pramoedya dari penjara Bukit Duri. Namun sampai tahun 1957, Pramoedya tidak pernah menunjukkan afiliasi politik kebudayaannya. Selain masih berkutat dengan serangkaian masalah sehari-hari—mulai kewajiban mencari penghidupan ekonomi untuk keluarga dan adik-adiknya, permasalahan keluarga seperti perceraian dan pernikahan keduanya dengan Maemunah Thamrin—ia juga masih bergulat menemukan bentuk terbaik dalam melahirkan karya-karya sastra. Bisa dikatakan di masa awal kepengarangannya, Pramoedya adalah seorang individualis yang mencari jalan kepengarangannya dengan menyerap dari berbagai sumber penciptaan.
Yang menarik, meski masih berlaku layaknya ronin di dunia sastra, mulai tahun 1952 banyak dari pandangan-pandangan pribadi Pramoedya tentang sastra bertemu dengan pandangan-pandangan Lekra. Misalnya, di tahun 1952 Pramoedya menulis tiga esai yang sangat tipikal Lekra, yaitu “Kesusasteraan dan Perjuangan”, “Kesusasteraan sebagai Alat” dan “Definisi Keindahan daam Kesusasteraan. Esai yang terakhir inilah yang secara perlahan-lahan menarik batas yang jelas antara Pramoedya Ananta Toer dengan kawan sekerjanya di masa awal seperti Ramadhan KH dan HB Jassin.
Kombinasi antara pengalaman pahit sejak kanak-kanak hingga dewasa, kacaunya kehidupan pribadi akibat perceraian hingga beban ekonomi karena harus menanggung hidup adik-adiknya, sikap maupun pandangan kritisnya terhadap segala bentuk penindasan dan kedekatan personalnya dengan A.S. Dharta maupun sesama pengarang dan seniman progresif mengantarkannya untuk bergaul rapat dengan Lekra.
Pandangan, semangat, dan cita-cita Lekra akhirnya turut memandu arah kepengarangan Pramoedya. Ia semakin menginsyafi orientasi literernya yang lebih dekat pada humanisne ala Multatuli dan realis mesosialis ala Maxim Gorky. Di masa-masa antara 1957-65, ia aktif mulai dari menerjemahkan karya Maxim Gorky, menjadi utusan dalam pertemuan pengarang Asia-Afrika, terlibat dalam berbagai polemik sosial dan kebudayaan seperti pelarangan hak berdagang warga Tionghoa ke daerah terpencil, polemiknya dengan Hamka, dan menerbitkan karya-karyanya seperti Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja. Yang menarik, di sela-sela aktivitasnya yang padat itu, ia masih sempat mengumpulkan berbagai dokumen dan melakukan riset sejarah berkenaan dengan revolusi Indonesia. Kelak, dokumen sejarah yang dengan telaten ia kumpulkan dan baca itulah yang menjadi bahan berharga dalam menulis karya-karyanya di Pulau Buru.
Keyakinan literernya yang telah ia tulis sejak 1952, bahwa karya-karya besar muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh penindasan, ia pertaruhkan secara langsung ketika kudeta merangkak militer pada 1 Oktober 1965 berhasil menjadikan kaum progresif revolusioner seperti dirinya sebagai tahanan politik hina di Pulau Buru. Selama pengasingan di Pulau Buru, ia menjawab tantangan ideal penciptaan Lekra dengan menulis Trilogi Arok Dedes-Mata Pusaran-dan Arus Balik hingga Tetralogi Pulau Buru yang masyhur.
Bila karya-karya yang ditulis Pram di Pulau Buru diterangi di bawah cahaya penciptaan Lekra, Arok Dedes adalah bentuk paling gamblang tentang bagaimana Pramoedya memberikan cara pandang baru tentang warisan sastra yang lahir di Nusantara. Kisah tentang awal-mula dinasti kekuasaan Jawa ini merupakan karya satire Pram untuk mengejek rezim militer Orde Baru yang memperoleh kekuasaan secara licik lewat pembantaian saudara sebangsanya sendiri. Dari sekedar kisah tentang intrik asmara dan kekuasaan antara Arok, Dedes dan Tunggul Ametung, Pramoedya menafsirkannya sebagai usaha percobaan kudeta pertama di Nusantara. Salah satu kelebihan Pramoedya ketika mengolah kisah dari kitab Pararaton ini adalah menerjemahkan anasir-anasir klenik atau irasional menjadi sesuatu yang rasional. Pramoedya menginterpretasikan Keris Mpu Gandring dalam Pararaton sebagai tokoh yang memainkan peran sebagai makelar persenjataan.
Sementara dalam karya monumentalnya yang berjudul Arus Balik, Pramoedya mengajukan thesis lenyapnya kekuasaan Nusantara di perairan dan pesisiran akibat muncul dan berkuasanya orang-orang dari atas angin. Di Pulau Jawa, hilangnya kekuasaan orang-orang Jawa atas perairan dan pesisir membuat mereka mengungsikan pusat kekuasaan masuk jauh ke pedalaman. Pusat-pusat kekuasaan Jawa tak lagi berada di Surabaya, Semarang, Demak atau Tuban, namun masuk hingga ke Pajang dan Mataram. Sebagai anak zaman yang tumbuh dan dibesarkan di masa-masa pergerakan nasional dan kemudian masa-masa revolusi kemerdekaan, Pramoedya menjadikan kisah tentang manusia-manusia Jawa dalam Arus Balik dalam bingkai pembangunan Bangsa Indonesia (nation building), meski akan dengan sangat mudah bisa kita sebut bahwa pengarang dari Blora ini jatuh pada cara pandang anakronistik.
Empat abad dari setting waktu di novel Arus Balik, Pramoedya melahirkan tokoh Minke, seorang bangsawan Jawa yang melepaskan seluruh atribut kebangsawanan dan kejawaannya demi merengkuh apa yang disebut sebagai ‘kemajuan’ bangsanya dalam karya besarnya Tetralogi Pulau Buru. Sekali lagi Pramoedya menempatkan novel ini dalam perspektif nation-building, meski di bagian awal Bumi Manusia secara gamblang Minke mengaku gagap saat salah seorang gurunya bertanya apa yang telah diperbuat oleh terpelajar Jawa setelah orang-orang Eropa telah melahirkan berbagai penemuan menakjubkan dan Jepang telah menemukan penicilin.
Hampir empat abad setelah kehadiran orang-orang atas angin di bumi Nusantara, orang-orang Jawa —seperti halnya orang-orang Nusantara lainnya—mengalami penjajahan dan penistaan menyakitkan, dimana perlawanan untuk meraih kembali harga dirinya selalu bisa ditundukkan Portugis, Belanda dan Inggris.
Maka kita bisa melihat ucapan Sanikem atau Nyai Ontosoroh kepada Minke sebagai sebuah ikhtiar manusia Jawa untuk melepaskan diri dari tirani penjajahan yang selama berabad-abad membikin manusia jawa tak lebih dari kera. Tak peduli dengan kekalahan yang diterimanya, mereka telah menjalankan tugas sejarah yang dituntut oleh zaman yang membesarkan mereka. Ucapan Nyai Ontosoroh, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” telah membebaskan dirinya dan diri Minke dari tuduhan bahwa mereka mangkir dari kewajiban sejarah yang dibebankan pada mereka. (Baca juga: Rokok Terakhir Pram)
***
Sekitar tujuh atau delapan tahun sebelum dipublikasikannya tetralogi Pulau Buru dan hampir dua puluh empat tahun sebelum dipublikasikannya Arus Balik,Kuntowijoyo menerbitkan karya bernasnya yang secara kebetulanmemiliki ketersambungan dengan gagasan Pramoedya tentang sejarah masuk dan bertahtanya kolonialisme Barat di bumi Nusantara. Novel Kuntowijoyo yang berjudul Pasar ituselesai ditulis pada 8 November 1971 dan diterbitkan tidak jauh dari masa-masa itu. Kebetulan berikutnya adalah bahan utama novel ini adalah pemikiran Ronggowarsito, pujangga Jawa terbesar yang menuliskan tentang berbagai persoalan masyarakat Jawa di masanya, pujangga Jawa yang telah menarik perhatian Aidit dan para pekerja seni dan sastra Lekra ketika mereka sibuk membangun konsepsi gerakan kebudayaan rakyat baru.
Bila melihat menakar tahun-tahun penyusunan novel ini hingga masa terbitnya, sangat masuk akal adanya pertimbangan politis kenapa Kunto memilih untuk mengekstrapolasikan pemikiran Ronggowarsito dalam bentuk novel. Pertama, tentu saja latarbelakang historis Kuntowijo. Meski dilahirkan di Sorobayan, Bantul (Yogyakarta), namun masa kanak-kanak hingga menjelang dewasa Kunto lebih banyak dilewatkan di Klaten dan Solo. Tidak jauh dari tempat tinggalnya di Klaten bersemayam jasad Ronggowarsito. Bagi seorang penulis, tidak ada landasan pengetahuan dan jejakan kaki kepengarangan yang paling kukuh selain landasan yang berasal dari pengetahuan dan ruang kebudayaannya sendiri. Dengan demikian, citra-diri dan pergulatan karya seorang penulis, tidak akan jauh-jauh dari penulis pendahulunya, terutama penulis yang berasal dari ruang kebudayaan yang sama.
Kedua, pengamatan tajam Kunto sejak masa-masa akhir kekusaan Sukarno dan masa-masa awal kekuasaan Soeharto. Pertarungan tajam antara kelompok progresif revolusioner dengan militer di akhir kekuasaan Sukarno yang berujung dengan kudeta merangkak Jenderal Soeharto menciptakan situasi ketidakpastian di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, situasi ketidakpastian yang diakhiri dengan pembantaian massal 1965 ini mengingatkan mereka dengan apa yang dipaparkan oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha.
Ketiga, pilihan studi Kuntowijoyo dalam ilmu sejarah, khususnya sejarah sosial. Disiplin ilmu sejarah yang dipilih Kunto ketika menempuh pendidikan dan kemudian mengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) membuatnya memiliki kesempatan luas untuk menemukan sumber jawaban—terutama sumber jawaban yang berasal dari literatur-literatur sejarah yang ia pelajari—bagi pertanyaan-pertanyaan eksistensial dirinya sebagai seorang pengarang. Dengan demikian, ia berbeda dengan Multatuli maupun Pramoedya yang menjadi seorang otodidak dalam studi-studi tentang masyarakatnya.
Novel Pasar berkisah tentang hari-hari tua seorang mantri pasar terpelajar yang tinggal di sebuah kota kecamatan kecil di pedalaman Jawa yang harus menghadapi protes orang-orang pasar karena ulah burung-burung dara peliharaannya dan persaingan terselubungnya dengan saudagar Kasan Ngali. Kedamaian yang telah sekian lama tanpa gangguan tiba-tiba dirusak oleh boikot para pedagang di pasarnya yang tak mau membayar karcis akibat semakin sering diganggu burung dara peliharaannya. Situasinya menjadi makin sulit ketika Kasan Ngali, memanfaatkan situasi kacau di dalam pasar dengan membuka pasar baru di pekarangannya. Lelaki tua mata keranjang itu juga berusaha mengambil hati perempuan cantik pegawai Bank Pasar, dengan cara menghidupkan Bank yang hampir mati karena orang-orang tak lagi berminat menabung.
Setelah dihantam masalah dari berbagai arah, akhirnya ia sadar bahwa dirinyalah yang harus tahu diri. Kepada pembantunya yang terpercaya, Mantri Pasar menyuruh menghibahkan burung-burung itu pada orang-orang pasar. Tak berhenti sampai di situ, ia menyuruh Paijo agar seluruh bagian pasar dibersihkan, genteng-genteng pecahnya diganti, sampah-sampah menumpuk dibersihkan, dan tembok serta bagian-bagian pasar dicat dengan kapur Wonogiri terbaik. Meski tak bisa meyakinkan pemilik Bank dan Siti Zaitun agar tetap membuka kantornya di pasar Gemolong, namun ia puas karena Paijo berhasil mengajak kembali orang-orang yang semula berjualan di pasar baru bikinan Kasan Ngali kembali ke pasar yang telah ditata dan dibersihkannya. Tukang karcis terpercaya ini juga berhasil mengajak orang-orang yang semula menggelar dagangannya di bibir jalan dan di luar pasar untuk masuk ke dalam los-los pasar yang masih tersedia.
Lewat novel Pasar ini Kuntowijoyo mengajukan thesis cemerlangnya yang secara kebetulan merupakan lanjutan thesis Pramoedya tentang kekalahan manusia Jawa dalam Arus Balik dan Tetralogi Pulau Buru. Secara jenial ia meletakkan setting ruang ceritanya di sebuah kota kecamatan kecil di pedalaman Jawa, ruang alternatif terakhir yang dimanfaatkan oleh orang-orang Jawa untuk mengkonsolidasikan martabat dan harga dirinya yang telah berabad-abad direndahkan oleh kehadiran orang-orang atas angin dan oleh kolonialisme yang mengikutinya, suatu kejatuhan martabat dan harga diri yang bahkan tidak bisa dipulihkan setelah tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan politik mereka dalam bingkai Republik Indonesia.
Kalau lewat Arus Balik Pramoedya membabar tentang hilangnya kekuasaan orang-orang Nusantara (khususnya Jawa) atas laut dan pesisir sehingga mereka harus menyembunyikan dirinya di pedalaman, dan kalau lewat tetralogi Pulau Buru Pramoedya menyuguhkan pada pembacanya kisah tentang perlawanan orang Jawa terpelajar untuk bangkit dari masa-masa kegelapan yang telah berabad-abad mengungkungnya, maka Kuntowijoyo lewat Pasar membabar kisah tentang kalah dan lenyapnya manusia Jawa bahkan ketika mereka telah berada di pedalaman, sebuah kekalahan menyakitkan untuk eksis di dunia lahir sehingga memaksa manusia Jawa ciptaannya untuk melarikan diri ke pedalaman batinnya! Aksidensi ketersambungan antara ide Pramoedya di Arus Balik dengan novel Pasar Kuntowijoyo, terutama pada memori masa lalu yang jauh dari Orang Jawa soal laut, muncul ketika Mantri Pasar mengalami peristiwa yang menyakitkan hatinya:
“Ia terduduk. Merenungi nasibnya. Penyabar yang baik pun akan bangkit marahnya mengalami peristiwa itu. Diingat-ingatnya, obat apa yang baik untuk menghilangkan sakit hati? Laki-laki, lebih-lebih laki-laki tua, adalah laut. Segala dendam, marah, umpatan bisa dilemparkan kepadanya tanpa mengotorkan hatinya. Aih, dia teringat masa yang jauh itu. Masa kecilnya. Masa mudanya, masa dewasanya. Dan kenangan-kenangan… Jauh sebelum gadis itu memarahimu, engkau adalah, engkau adalah, engkau adalah…” (Pasar, hal. 107-108).
Di sini laut bukan semata-mata metafora yang dipakai oleh pengarang untuk menggambarkan wadah yang bisa menerima semua dan segala tanpa mengeluh. Naluri dan kesadaran sejarah Kuntowijoyo atas dinamika sejarah orang Jawa dari masa ke masa membuat tokoh utama ciptaannya merindukan laut saat ia tengah merasakan kekalahan menyakitkan meski dirinya berada jauh di pedalaman Jawa dan latarbelakangnya bukan berasal dari wilayah pesisir. Di masa yang jaraknya tak begitu jauh dari kejayaan Nusantara di lautan, pada malam hari Wiranggaleng menyimak dongeng-dongeng tentang keindahan laut ini dari Rama Cluring, sehingga ia tergerak untuk menghadirkannya kembali meski kemudian terbukti gagal. Berabad-abad kemudian, Mantri Pasar kembali merasakan kerinduan serupa pada laut, dan kerinduan pada masa lalu gemilang itu, masa lalu di seberang kala mula kejatuhan manusia Jawa dalam kegelapan sejarahnya seperti yang dialami oleh Minke dan dirinya.
Aksidensi ketersambungan novel Kuntowijoyo dengan dua karya besar Pramoedya terlihat bahkan sejak awal novel. Kalau Wiranggaleng menjadi terpelajar dengan mendengarkan kisah-kisah kebesaran nusantara (baca: Jawa) dari mulut Rama Cluring maupun lewat pengalaman-pengalamannya di berbagai medan pertempuran, apabila Minke menjadi terpelajar justru dengan melepaskan hampir seluruh atribut kebangsawananya —dan dengan demikian atribut Jawa-nya— demi merengkuh ilmu pengetahuan dan spirit modernisme Eropa, maka Mantri Pasar mengukuhkan kejawaannya dengan kemampuannya menulis huruf-huruf Jawa, menguasai tembang macapat, candrasengkala, menjadi pembaca setia dharma kandha, serta menguasai hampir semua kata-kata bijak dan pitutur Jawa yang dianggapnya adi luhung. Untuk meyakinkan pembacanya bahwa tokohnya adalah seorang terpelajar Jawa yang akan menghadapi dunia kenyataan yang keras, Kunto membuka ceritanya dengan sebuah usulan yang memikat:
“Kalau Engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tak seorang pun —kecuali Kasan Ngali, tentu— yang mengaku orang Jawa tidak memujinya.” (Pasar, hal. 1).
Keterpelajaran Mantri Pasar ini makin dikuatkan dengan kebiasaannya membaca koran (meski merupakan koran pinjaman dari kantor kecamatan) dan memakai kacamata, sebuah perilaku terpelajar yang akan sangat susah ditemui padanannya di Kecamatan Gemolong.
Namun siapa pun yang telah mempelajari sejarah keterjajahan Jawa selama berabad-abad baik oleh Portugis, Inggris dan terutama Belanda akan menyadari bahwa keterpelajaran dan penguasaan pengetahuan Mantri Pasar pada nilai-nilai Jawa pada hakekatnya adalah keterpelajaran yang patologis. Hampir di sepanjang novel kita akan mendapati begitu banyak kata-kata bijak atau pitutur Jawa adi-luhung yang terlontar baik dalam benak Mantri Pasar maupun saat ia bercakap-cakap dengan Paijo, Siti Zaitun, Camat, Polisi, dan orang-orang Pasar. Watak patologis dari kata-kata bijak atau pitutur Jawa yang terlontar dari benak dan mulut Mantri Pasar saat menghadapi kekacauan dunia luar yang melibatkan dirinya itu semakin kuat karena ia menempatkan segenap kata-kata bijak itu sebagai rasionalisasi dari ketidakmampuan atau kemenyerahan dirinya dalam menghadapi dunia luar yang keras.
Kalau kita sedikit menengok pada peran para antropolog dan javanolog Belanda —peran kaum terpelajar Belanda itu sendiri— yang dimanfaatkan oleh rezim kolonial Belanda untuk menundukkan orang-orang Jawa, makin gamblanglah posisi fiksional Mantri Pasar dalam novel besutan Kuntowijoyo ini. Begitu Belanda bisa masuk dan mengintervensi kekuasaan pedalaman Jawa, terutama setelah berhasil memecah belah kerajaan Mataram dan menundukkan pemberontakan Diponegoro yang disokong oleh kaum ulama, intelektual organik yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda berusaha keras memecah-belah orang Jawa menjadi berbagai kelompok dan kelas sosial. Masyarakat Jawa, misalnya, dibelah menjadi dua bagian, yaitu kaum abangan dan santri. Kaum terpelajar Belanda yang menjadi Hamba kekuasaan kolonial ini kemudian bergerak lebih jauh dengan membangun sistem nilai kaum abangan yang berbeda vis a vis dengan kaum santri, bukan hanya dalam laku kehidupan sehari-hari namun juga sampai pada persoalan spiritualitas mereka.
Ajaran-ajaran kebatinan kaum abangan konstruksi para antropolog dan javanolog Belanda inilah yang mereduksi spirit progresif dan tangguh nilai-nilai Jawa hingga hanya menjadi argumentasi post-factum dari kekalahannya terhadap kenyataan dunia luar yang tak menentu. Alih-alih bergerak keluar, ajaran-ajaran kebathinan yang telah dipengaruhi oleh tangan-tangan kekuasaan Belanda lewat para Javanolog-nya tersebut justru mengarahkan orang Jawa untuk bergerak ke dalam ruang batinnya yang luasnya nyaris tak terbatas. Kenyataan-kenyataan keras di luar dirinya tak dianggap sebagai ancaman yang mengganggu atau melenyapkan eksistensinya, namun justru harus diakui sebagai bagian dari proses kemenangan pertempuran batinnya. Itulah sebabnya secara intensional Kunto memanfaatkan konsep mawas diri, samadya, Wani ngalah duwur wekasane dan kata-kata bijak semacam nglurug tanpa bala,menang tanpa ngasorake sebagai bagian dari thesis bahwa orang Jawa tak mesti bertempur untuk memenangkan kenyataan-kenyataan lahir sesuai dengan keinginannya karena pertempuran yang sebenarnya bagi mereka adalah pertempuran batin.
Akibat pereduksian makna ini, nilai-nilai Jawa yang semula adiluhung akhirnya tak lebih dari common sense dan lebih sering dimanfaatkan sebagai omong kosong atau rasionalisasi menyedihkan untuk melarikan diri dari kekalahan.
Rangkaian kekalahan Mantri Pasar di hadapan dunia luar yang keras ini di sepanjang novel, meski ia telah berada di sebuah kota kecil di pedalaman Jawa, membuatnya memutuskan untuk melarikan diri ke pedalaman batinnya, sebuah wilayah yang tak mungkin bisa dijajah secara langsung oleh orang lain. Ia sadar bahwa dirinya adalah penguasa alam pikirnya, penguasa tunggal atas batinnya sendiri. Manakala ia tidak bisa berdaulat di dunia lahir, teritori mana lagi yang bisa menjadikan dirinya sebagai diri yang berdaulat selain wilayah batin? Dengan menguasai pedalaman batin ini Mantri Pasar berharap bahwa kekalahan di masa kininya bisa mendapatkan balasan kemenangan di masa mendatang. Kalau ganjarannya tidak dirasakan langsung di dunia, maka di akherat nanti kita akan memeroleh ganjaran yang setimpal atau bahkan lebih besar. Rasionalisasi menyedihkan ini diungkapkan oleh mantri pasar saat mendekati Paijo yang sedang menyapu:
“Ketahuilah, juru penghibur yang sejati adalah diri kita sendiri. Makna hidup itu tidak pada yang sekarang tetapi pada yang kemudian. Memang, mungkin sekarang kita susah. Itu hanya sementara… Hidup kita pusatnya di sini. Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Tapi ketahuilah itu baru syarat hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dengan hakekatnya. Yang penting itu rasa. Rasa itu di sini…” (Pasar, Hal. 155-156).
Kita tak mungkin menemukan karakter mantri pasar ini seperti Dr. Faust sebagaimana yang diciptakan Goethe, sebuah karakter yang rela mengorbankan apa pun, termasuk bersekutu dengan seta agar tujuannya tercapai. Tak ada pertarungan konyol semacam Lelaki Tua dalam novel The Old Man and the Sea karya Hemingway, yang dengan keras kepala membawa pulang ikan marlin meski hanya tulang-tulangnya saja setelah berhari-hari bertarung dengan keganasan ikan hiu di lautan, sebuah kekonyolan yang menjadi bukti bahwa manusia harus bertarung sampai titik darah penghabisannya agar ada yang layak diceritakan pada generasi-generasi sesudahnya. Ia lebih suka menjalani hidup samadya, tak berlebih-lebihan, tak berusaha memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang mustahil. Ketidakmampuannya bertarung dengan menggunakan seluruh modal kekayaan, kepandaian dan keberaniannya ia rasionalisasi dengan ungkapan Jawa agar orang tak perlu adigang, adigung, dan adiguna untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Gamblang sudah bahwa seluruh kata-kata bijak ini secara fatalistik ia gunakan sebagai benteng pertahanan batin dalam menghadapi kekacauan dunia. Ia cukup berpuas diri dengan menerima keadaan dimana batinnya tenang, tak peduli apakah kejawaan yang ia bangga-banggakan lenyap, apakah dirinya hanyut dan karam dari arus kehidupan yang menyeretnya.
***
Hampir empat puluh tahun sejak novel Pasar karya Kuntowijoyo diterbitkan, seorang pengarang yang juga pernah menimba ilmu di Bulaksumur menerbitkan novel dengan judul ganjil: Ulid Tak Ingin ke Malaysia. Pengarang itu adalah Mahfud Ikhwan. Sialnya, novel tebal yang pertamakali diterbitkan pada 2009 ini tak pernah mendapatkan perhatian luas dari publik pembaca sastra Indonesia. Butuh waktu kurang lebih empat tahun dari pertamakali dicetaknya Ulid Tak Ingin ke Malaysia agar novel yang ditulis selama kurang lebih lima tahun oleh pengarangnya itu dibicarakan di beberapa kalangan di Yogyakarta. Namun bahkan setelah karya-karya selanjutnya dari Mahfud Ikhwan—Kambing dan Hujan dan Dawuk—memenangkan sayembara novel DKJ maupun Khatulistiwa Literary Award dan novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia berganti judul menjadi Ulid, tidak banyak yang memperbincangkan novel ini secara serius. (Baca juga: Menjadi Jawa Tanpa Nonton Wayang)
Sudah sejak awal masa kepengarangannya Mahfud Ikhwan terpikat pada hayat dan karya Kuntowijoyo. Di masa-masa awal pembentukan dirinya sebagai seorang pengarang, Kuntowijoyo bisa menjadi model peran dirinya karena keduanya memiliki latarbelakang subkultur agama yang sama (Muhammadiyah), tumbuh besar di pedesaan dan menimba ilmu di tempat yang sama (UGM). Tentu saja ada perbedaan prinsipil berkaitan dengan latarbelakang kelas social kedua penulis ini: Kunto berasal dari keluarga feodal kecil sementara Mahfud Ikhwan adalah representasi dari masyarakat kelas bawah dari pedesaan terpencil di Jawa. Perbedaan yang lain adalah Kunto tumbuh sebagai seorang sastrawan nyaris di sepanjang masa hidup rezim militer Orde Baru, sementara Mahfud menjalani proses pembentukan dirinya sebagai seorang pengarang sesudah jatuhnya rezim Soeharto. Perbedaan ini, sekali pun belum tampak benar, nantinya akan menentukan perbedaan strategi literer dan titik fokus dalam melahirkan karya sastra di antara keduanya.
Novel pertama Mahfud Ikhwan ini berkisah tentang tokoh Ulid dan Desa Lerok yang pada suatu masa pernah Berjaya dengan hasil panen bengkuang dan gamping pinilihnya. Namun masa-masa keemasan pembuatan gamping dan penanaman bengkuang perlahan lenyap akibat hadirnya semen dan munculnya bengkuang kualitasnya dan kuantitas yang lebih bagus dari tempat lain. Menghadapi senjakala kejayaan bengkuang dan gamping Lerok, Ulid memutuskan untuk ikut merantau ke Malaysia. Keputusan ini bukannya tanpa pergulatan. Ia ingat pengalaman buruk yang dihadapi ayahnya ketika mengalami penahanan akibat masuk ke Malaysia lewat jalur tidak resmi. Tetapi tugas yang lebih besar telah menunggunya, yaitu kebutuhan ekonomi keluarga, dan yang tak kalah penting adalah masa depan dan pendidikan tiga orang adiknya. Ia mengorbankan dirinya demi dunia yang sangat ia cintai sejak masa kanak-kanak: sekolah. Keputusan Ulid untuk merantau ke Malaysia ini sekaligus mengubur cita-citanya untuk menjadi insinyur pertanian.
Yang menarik, dalam novel Ulid ini kita hampir tak menemukan gambaran desa yang indah dan nostalgik seperti yang banyak digambarkan oleh pelancong Barat lewat pelukisan keindahan atau eksotisme Nusantara. Mahfud keluar dari jebakan eksotisme dan cara pikir “Mooi Indie” dalam mendeskripsikan latar geografis dan kultural Lerok sebagaimana yang banyak menjangkiti sebagian besar penulis Indonesia.
Perubahan alam dan sosio-kultural desa Lerok tak disikapi dengan tangisan atau rasa sesal kehilangan surga oleh penduduknya, namun sebagai sebuah keniscayaan yang tak bisa mereka bendung. Alih-alih menyesali atau menangisinya, mereka justru menciptakan banyak humor sberkaitan dengan perubahan yang menimpa Lerok.
Hal menarik lain adalah kepiawaian Mahfud membangun deskripsi khasnya tentang masyarakat desa. Ia menegasikan common sense yang selama ini umum diterima bahwa masyarakat desa hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan lewat kegelisahan Ulid untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tanpa henti di setiap fase hidupnya. Ketika gamping dan bengkuang mulai ditinggalkan sebagai sumber mata pencaharian orang-orang Lerok, dan orang-orang mulai melirik pindah kerja ke Malaysia untuk merubah nasib hidupnya, Ulid justru masih yakin gamping dan bengkuang bisa menjadi sumber mata pencaharian yang bisa diandalkan. Tindakan ini, secara ironik, tergambar dengan keteguhan hati dia untuk menyimpan bibit bengkuang untuk suatu saat ditanamnya lagi demi membuktikan kebenaran dari keyakinannya.
Kita mungkin bisa membandingkannya dengan novel Ahmad Tohari yang sangat jempolan, Ronggeng Dukuh Paruk. Deskripsi Mahfud tentang Lerok dengan hutan dan berbagai jenis kayu yang tumbuh di dalamnya, bengkuangnya, kapur dan jubungnya, musik dangdut, dan terutama soal TKI dan Malaysia tak kalah dengan deskripsi Tohari tentang Paruk, alam Paruk dan sekitarnya yang detil lewat berbagai jenis tanaman, satwa-satwa, dan terutama kehidupan ronggeng-nya. Dalam setting sastra Indonesia masa kini, ULID bisa menjawab kegelisahan Ahmad Tohari berkenaan dengan sedikitnya novel berlatar pedesaan dalam satu dekade terakhir. ULID karya Mahfud Ikhwan dan Syeh Bejirum dan Rajah Anjing karyaFahruddin Nasrullah bisa dikedepankan untuk memberi alternatif segar dari membanjirnya karya sastra urban yang tak menunjukkan perkembangan berarti.
Dari cara Mahfud menulis novelnya, kita bisa pula melihat dimensi lain dari perubahan sosial masyarakat desa yang tidak kita temukan saat membaca Pasar karya Kuntowijoyo. Keunikan novel Pasar Kuntowijoyo adalah karena ia bisa menjadi penanda yang baik tentang terjadinya perubahan sosial masyarakat pedesaan Jawa ketika rezim politik Orde Baru mulai menancapkan kuku kekuasaannya diikuti di samping kuku kekuasaan pasar (kapitalisme?). Ulid membuka peluang lain dari terjadinya perubahan sosial masyarakat desa. Bukan oleh arahan negara seperti yang digambarkan secara tersirat oleh Kunto dalam novelnya, bukan oleh modal yang datangnya dari dalam negeri, tapi oleh peristiwa migrasi dan penghancuran batas-batas geografis imajiner sebuah negara dan modal yang berasal dari suatu tempat yang jauh dan di luar batas geografis imajiner tersebut.
Lewat pembentukan karakter dan rangkaian peristiwa dalam Ulid kita bisa menyaksikan ikhtiar literer sang penulis untuk men-subversi realitas keseharian kita sehingga akhirnya memicu pembaca untuk menilai ulang pandangannya tentang kehidupan desa, bentuk dan proses pendidikan ideal untuk mereka, posisi unik masyarakat desa ketika berhadapan dengan negara, agama, alam, dan isu-isu perubahan sosial yang harus mereka hadapi. Ambil contoh dalam soal posisi tawar antara penduduk Lerok dan negara. Dalam banyak novel Indonesia, dengan mudah kita menemukan narasi perlawanan suatu entitas politik atau penduduk suatu wilayah dengan otoritas negara. Namun sangat jarang relasi warga dengan negara atau negara dan entitas politik itu hadir dalam suasana penuh humor atau kocak. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari jelas-jelas menghadirkan relasi antara negara dan berbagai kelompok masyarakat desa dengan cara yang menegangkan. Begitu juga dengan novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang berkisah tentang masyarakat Dayak di Kalimantan. Namun, Ulid, seperti kisah-kisah Kuntowijoyo menghadirkan relasi negara-masyarakat yang tak selamanya konfliktual, menegangkan, dan traumatik. Dengan mudah kita bisa menemukan bagaimana peristiwa-peristiwa traumatik yang mencerminkan relasi negara dan masyarakat di desa Lerok segera mencair menjadi humor bagi penduduknya.
Di awal cerita kita disuguhkan betapa berkuasanya negara lewat representasi sinder hutan yang bisa menentukan hidup mati atau bebas dan terpenjaranya penduduk Lerok seperti Tarmidi. Namun ketika Malaysia menjadi solusi bagi kesulitan-kesulitan hidup penghuni Lerok—meski pun mereka harus membayar resiko-resiko tertentu akibat pergi ke sana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya—mereka menemukan kemandirian dirinya dan merespons kuasa kuat negara yang seolah menentukan hidup dan mati mereka dengan berbagai cara.
Lewat humor yang mengagumkan dalam novel Ulid ini, misalnya, kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat yang dulunya gemetar dan tak berkutik di depan negara yang kuat kini bisa mengabaikan atau bahkan melecehkannya lewat obrolan tentang hak masyarakat mendapatkan fasilitas listrik. Makin banyaknya produk-produk teknologi yang membutuhkan listrik, ketidakcukupan listrik dari diesel Ngatimin dan Margino dalam memenuhi kebutuhan listrik warga Lerok, dan tiang-tiang listrik yang tak juga dipasang oleh pemerintah, membuat mereka merasa dilecehkan sebagai warga negara.
Ketidakmampuan negara memenuhi hajat hidup warga Lerok akhirnya bukan hanya membuat warga melecehkannya, namun juga mengolok-olok otoritas negara itu lewat pembandingannya dengan Malaysia, tempat sebagian besar warga Lerok memenuhi nafkah hidupnya.
Naiknya daya tawar orang-orang Lerok terhadap negara bukan hanya hadir lewat obrolan penuh humor tentang proses masuknya listrik PLN ke desa Lerok. Dengan semakin naiknya taraf kehidupan ekonominya, orang-orang Lerok mulai bisa membangun jalan dan masjid dengan biaya sendiri. Tindakan ini dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan mendesak mereka atas fasilitas publik yang mereka butuhkan, namun juga dilandasi keputusasaan mereka pada pemenuhan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik tersebut. Lebih jauh lagi, apa yang mereka lakukan juga menjadi jawaban membangun atas kritik lambatnya pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi tanggungjawab negara.
Bila dalam tetralogi Pulau Buru Pramoedya membabar tentang perampasan kekayaan alam dan ruang hidup manusia Jawa/Nusantara dan tragedi perumahkacaan dari perlawanan baru manusia Jawa lewat perangkat pengetahuan yang mereka sediakan; bila novel Pasar Kuntowijoyo membabar tentang ketersingkiran manusia Jawa dari ruang geografis riilnya dan terpaksa mendamaikan keterdesakan mereka di ruang batinnya, maka novel Ulid menyuguhkan narasi yang menyedihkan: tidak kondusifnya lagi ruang hidup dan penghidupan di Jawa sehingga memaksa mereka mencari ruang hidup dan penghidupan di luar batas-batas geografi riil negara. (Baca juga: Ketika ke Bioskop adalah Suatu Dosa)
Dari sudut pandang ekonomi, kita bisa melihat adanya alur ekspansi kapitalisme dari tiga karya dan tiga jaman ini: pertama memasuki pusat-pusat kota (Surabaya dan Batavia), kemudian merambah ke kota kecil atau pinggiran kota (Gemolong) sebelum mencengkeram wilayah paling terpencil dari ruang hidup manusia Jawa (Lerok). Sebagai konsekuensi logis dari ekspansi capital dari pusat kota sampai jauh ke pedesaan suatu Negara/wilayah ini tampak pada tersingkirnya penghuni di ruang-ruang itu. Dalam Tetralogi Pulau Buru, kita bisa menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan elite pribumi seperti Nyai Ontosoroh dan Minke di depan kuasa Negara/capital meski mereka melakukan perlawanan sekuat-kuatnya. Dalam novel Pasar karya Kunto, kita menyaksikan kejatuhan feodal kecil seperti Mantri Pasar akibat masuknya bank dan kelas pengusaha seperti Kasan Ngali. Sementara dalam kasus Ulid, para penghuni Lerok terpaksa harus menjalani hidup sebagai manusia pengembara karena terusir baik oleh tidak lakunya bengkoang maupun kapur Lerok.
Yang sangat khas dari ketiganya adalah keteguhan tokoh-tokoh utama mereka dalam memegang keyakinannya. Dalam diri Minke kita menemukan manusia yang tak pernah berhenti melawan tirani kolonial yang membelenggu bangsanya, pada diri Mantri Pasar kita menemukan keteguhannya pada nilai-nilai hidup adiluhung Jawa sebagaimana yang diuraikan Ronggowarsito, dan keteguhan hati Ulid bahwa bengkoang Lerok masih tetap yang terbaik dan suatu hari nanti akan tumbuh entah di tanah mana dan milik siapa. Pergulatan jiwa semacam inilah yang membuat karya mereka berbeda dengan karya kebanyakan penulis sejaman mereka.
Warkop Paranormal, 22 Juli 2019
Esai ini disampaikan dalam acara diskusi Suluk Kebudayaan Indonesia #2 “Menjadi Indonesia: Pergulatan Teks Kebudayaan”, pada Senin, 22 Juli 2019 pukul 19.30-selesai di SaRang Building #2, Kalipakis, Tirtomartani, Kasihan, Bantul.
Baca juga Kontestasi Politik Identitas Golongan Tionghoa Muslim