Aku tercengang menatap layar televisi di depanku. Polisi memborgol tangan Mujair, alias Sarjono. Mereka memberinya rompi tahanan khusus korupsi. Mujair tampak tenang. Seperti biasa, bibirnya yang selalu tersenyum seolah menceritakan tak terjadi apa-apa.
*
Di jam istirahat kantor seperti ini kantin tak pernah sepi. Aku mencoba konsentrasi menyimak suara televisi. Aku terkejut melihat sosoknya. Lama tak mendengar kabarnya, kini ia tampil di televisi yang menayangkan wawancara sebagai salah satu calon yang digadang sebuah partai di pemilu nanti. Pemilu masih lama, tapi orang-orang sudah menyiapkannya sedemikian rupa. Aku menghampiri televisi layar cembung yang sesekali gambarnya kabur.
Aku mencoba memastikan bahwa lelaki di televisi itu adalah Sarjono, tepatnya Mujair, temanku SD. Aku menyimak suaranya. Benar! Aku mengenal suaranya, lirikan matanya, dan tentu saja, senyum di bibirnya. Senyum itulah yangpaling mudah dikenali. Bibirnya benar-benar mirip bibir ikan mujair yang lebar dan selalu lapar.
Belum selesai terkejutku, pembawa acara membacakan jenjang karirnya. Sebodoh itukah aku hingga tak menyadari begitu banyak kiprah Sarjono? Aku menatap layar kaca tanpa kedip, tak percaya dengan semua yang kulihat dari seorang Mujair alias Sarjono.
Mujair. Aku tak tahu dari mana julukan itu menempel padanya. Saat itu kami memberi julukan dengan nama bapak kami yang sengaja diplesetkan. Mujair-lah yang memulai permainan itu. Saat itu ia memanggilku Kamid karena bapakku bernama Kamid.
Nami kulo Kamid, kulo dados dokter. Nambani sesakit, kaleresan pinter)*
Ia menyanyikan lagu itu dengan nyaring dan tertawa keras setelahnya. Itu adalah lagu tentang dokter muda yang sombong dan merasa diri pintar, namun gagal menyembuhkan bisul. Kami diajari lagu itu oleh Pak Yon, guru Pramuka. Akhirnya lagu itu dinyanyikan untuk mengolok-olokku.
Bapakku bukan dokter. Ia pedagang kelapa di pasar. Bisul adalah penyakit yang jamak diderita orang saat itu, namun tetap saja jenis penyakit yang tidak bermartabat. Orang akan lebih banyak malu daripada menderita ketika divonis bisul, karena umumnya bisul selalu menyerang bagian-bagian tubuh yang tersembunyi dan cenderung tabu. Dan begitulah aku dipanggil sejak saat itu, Kamid Bisul, meski seumur-umur aku tak pernah bisulan. Seketika aku mengaramkan cita-citaku menjadi dokter. Aku tak sanggup membayangkan apabila cita-cita itu tercapai: Dokter Kamid Bisul.
Nama bapak Sarjono adalah Juwair. Bisa jadi Mujair adalah plesetan nama bapaknya. Namun memang sebutan “Mujair” terasa lebih dekat dengan bibirnya yang benar-benar mirip bibir ikan mujair. Bibirnya selalu maju dan melancip ketika berbicara, mirip ikan mujair. Maka, jadilah kami memanggilnya dengan sebutan Mujair. Ia tak ambil pusing dengan sebutan itu, bahkan ia menggerak-gerakkan bibirnya mirip ikan mujair yang kelaparan.
Menatapnya di layar kaca saat ini membuatku yakin bahwa Tuhan memang tak pernah menurunkan segala hal dengan sia-sia. Kebetulan atau memang nasib, meski di kelas ia bukan termasuk bocah yang cerdas, namun kata-kata yang keluar dari bibir Mujair adalah kalimat sakti bertuah. Ia mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain dengan alasan yang dibuat-buatnya. Entah benar atau tidak, mendasar atau tidak, ia selalu memiliki alasan yang sulit disangkal, seperti halnya alasannya nunggak, alias tidak naik kelas.
“Aku sengaja nunggak,” katanya sombong ketika kami mulai mengejeknya yang selalu nunggak. Di kelas satu ia belum lancar membaca, dan tulisan tangannya sama sekali tak terbaca meskipun ia sudah dua tahun nunggak di kelas satu.
“Kelas satu ‘kan asyik? Pelajarannya gampang, pulangnya cepat,” suaranya penuh bangga. Bibirnya melancip. “Di kelas dua, pelajarannya sulit, pulangnya siang. Gurunya Pak Betet, suka memukul,” katanya lagi. Pak Betet adalah sebutan untuk guru kelas dua, Pak Eko, yang mempunyai kerja sambilan menjual burung betet. Ia selalu membawa tongkat untuk memukul murid-murid yang tidak menaati aturan atau yang tidak segera menguasai pelajaran. Nyaris semua murid pernah merasakan ujung tongkatnya. Dan begitulah Mujair, selalu mencari-cari alasan. Nilai do-re-mi-nya selalu mendapat sindiran bahkan pukulan.
“Nilai matematika telur ayam, Bahasa Indonesia bebek renang, Pancasila kuping gajah. Kamu mau buka kebun binatang?” Pak Betet menggebrak meja dengan penggaris kayu panjang. Jantungku berdebar tak karuan demi mendengar suara Pak Betet yang keras.
Mujair diam. Gertakan itu nyaris setiap hari kami dengar, dan seolah sudah membuatnya kebal. Ia naik ke kelas dua karena sudah tidak memungkinkan baginya untuk terus menerus di kelas satu. Kenaikannya ke kelas dua tak membuatnya merasa senang, justru membuatnya sedih. Ia benar-benar malas dan tidak minat naik ke kelas dua. Sekolah kami adalah sekolah negeri yang saat itu memiliki fasilitas serba terbatas. Ruang kelas terbatas, sehingga kelas dua masuk pukul sembilan, setelah kelas satu selesai. Kenaikannya ke kelas dua membuat Mujair merasa harus mengubah kepulangan menjadi pukul sebelas, lebih siang dari biasanya.
Semua alasan Mujair tentu bukan alasan yang bisa diterima. Ia tidak lancar membaca, tulisan tangannya buruk, dan pelajaran berhitung benar-benar membuatnya tampak semakin dungu. Alasan keberatan itu hanyalah omong kosong yang digunakan untuk menutupi dirinya. Namun Mujair memiliki satu orang pengikut setia, Kijing, nama aslinya Prapto. Ia biasa dipanggil Kijing karena bapaknya penjual kijing. Kijing selalu mengiyakan pendapat Mujair dan mengikuti rencana-rencana Mujair. Nilai dan prestasi Kijing tak jauh beda dengan Mujair. Keduanya sahabat yang saling melengkapi. Mereka kompak mengerjakan soal-soal dengan lamban, banyak kesalahan, dan nilai yang tidak pernah memuaskan. Semua itu seolah benar-benar karib sebagaimana persahabatan mereka.
Aku masih menyimak khotbah Mujair tentang visi misi partainya di layar cembung yang semakin lama semakin kabur gambarnya. Angin beberapa kali menyambar antena di luar. Kali ini ia berbicara soal pendidikan dan kesehatan. Ketika ia menyampaikan program sekolah dan kurikulum, tiba-tiba aku merasa tersengat. Aku teringat para guru selalu naik pitam karena ulahnya. Kedunguannya tak hanya dibuktikan di dalam kelas. Suatu saat kami membicarakan tentang cita-cita. Aku ingin menjadi tentara karena cita-cita dokter sudah kukandaskan gara-gara sebutan Kamid Bisul. Andi si bintang kelas ingin menjadi insinyur pertanian, dan yang lain masih banyak lagi. Giliran Mujair, ia kembali menyampaikan bualannya.
“Kalau kalian sedang mengejar cita-cita, aku sudah melatih cita-citaku dari sekarang,” katanya sombong seperti biasanya.
Ia berdiri menghadap tembok, membalik kelopak matanya, lalu membentangkan tangannya ke depan dan berjalan melompat-lompat menirukan vampir di film-film mandarin. Ia berjalan melompat ke arah anak-anak perempuan yang sedang bermain lompat tali di halaman. Anak-anak perempuan lari dan menjerit-jerit tak karuan. Ia tertawa keras dengan bibir mujairnya. Tak hanya itu, ia melipat daun telinganya, menekuknya seolah melekat di pelipis. Bibirnya yang lebar tertawa kesenangan. Seorang anak perempuan melaporkan pada guru di kantor. Bu Guru datang dan menjewer Mujair.
Ia menahan jeweran di telinganya dan kembali dengan bualan baru. Dengan santai ia berdalih bahwa itu adalah salah satu jenis pertunjukan sebagaimana atraksi rumah hantu di sirkus-sirkus yang sering memiliki aktor-aktor langka. Memang, lapangan depan sekolah sering didatangi sirkus. Beberapa kali aku melihat Mujair di sana, mengintip tong setan yang sedang berlangsung, atau mengendap-endap di rumah hantu, dan melihat para artis menghias muka mereka dengan pupur putih dan lipstik sewarna darah.
“Itulah cita-citaku, menjadi aktor sirkus,” katanya yakin. Alasannya sederhana saja, ia bisa membalik kelopak mata dan melipat daun telinga. Ia mampu membuat siapa saja, termasuk Bu Guru olahraga menjerit-jerit.
Ketika di kelas ia menyampaikan hal itu, seperti biasa, para guru frustasi. Ia pun mendapat satu jeweran lagi. Aku mengingat semua itu untuk membangun kembali sosok Mujair yang dulu kukenal. Aku masih menyimak wawancaranya di televisi. Suaranya menggebu-gebu hingga pembawa acara beberapa kali memotong kalimatnya yang terlalu panjang dan bertele-tele.
“Pendidikan adalah langkah utama untuk mengubah nasib bangsa. Selama ini kita masih mengandalkan pola-pola lama…”
“Apa langkah kongkret yang Anda lakukan untuk mengatasinya?” pembawa acara memangkas kalimatnya.
“Pemerintah seharusnya menyadari bahwa pendidikan adalah…”
Ia masih menjelaskan dengan kalimat-kalimat panjang yang tidak menjawab pertanyaan, namun tetap menggamblangkan protesnya, mengingatkanku kembali pada alasan-alasannya yang bangga karena nunggak. Ia tetap menyebalkan. Pembawa acara memotong kalimatnya dengan memberi jeda iklan.
Aku berdiri menatap layar televisi yang semakin buram. Di luar, angin memainkan antena. Layar televisi semakin buyar dan kini berubah menjadi biru. Tak lagi bisa kudengar Mujair menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku mengingat-ingat kembali segala hal tentang Mujair.
*
Wartawan mengerubuti Mujair. Rompi tahanannya ditarik-tarik, wartawan berdesakan mengikutinya. Polisi mengamankannya.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Pak? Apakah ini tuduhan, atau Anda terjebak? Siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, Pak? Siapa pengacara yang akan mendampingi Anda menghadapi kasus ini?” kilauan cahaya kamera menerpa wajahnya. Seperti biasa ia tetap tenang. Bibirnya tetap mengembangkan senyum.
“Nanti, nanti saya akan jelaskan semuanya. Di pengadilan semuanya akan saya paparkan,” katanya sambil melambaikan tangan, lalu masuk ke mobil polisi.
Wartawan semakin gigih menyodorkan alat rekam, memotretnya, memberinya banyak pertanyaan yang hanya dipungkasinya dengan mengatup-katupkan bibir lebarnya yang khas dari dalam mobil.
Aku menatap semua itu dengan perasaan yang sulit kumengerti. Sekilas bayangan pemain-pemain sirkus berlesatan. Aku teringat Mujair membalik kelopak mata dan melipat daun telinganya, membubarkan segerombolan anak-anak perempuan yang sedang bermain lompat tali, lalu mereka berteriak-teriak, antara jijik dan ngeri.
Apa lagi yang akan dilakukan Mujair kali ini?
September 2022
*nama saya Kamid, saya seorang dokter. Menyembuhkan orang sakit, tentu aku orang pandai.
Editor: Raudal Tanjung Banua
Leave a Reply