Catatan untuk Pameran Nandur Srawung #7/2020
Di tengah sejarah yang mengalami pergeseran, baik disebabkan faktor alam (berupa wabah virus corona yang tengah menguji kelangsungan peradaban dan spesies manusia) dan struktural (ekonomi, militer, populasi, sumber daya alam) antar-kekuatan dan kawasan, pameran seni rupa yang berangkat dari semangat pertanian dalam ritual tanam padi di Jawa (wiwitan) dapat menjadi langkah awal menemukan perspektif alternatif terkait kehidupan bersama di masa krisis dan masa depan. Pertanian merupakan salah satu pilar peradaban di mana, sebagaimana disampaikan Ibn Khaldun dan Thomas Malthus, produksi pertanian yang berdasarkan deret hitung (arithmetic ratio) perlu mencukupi populasi manusia yang berkembang berdasarkan deret ukur (exponential ratio). Selain terkait makanan, pertanian di negeri tropis berhubungan dengan kekayaan hayati, pengetahuan biodiversitas, teknik budi daya dan berbagai manfaatnya. Pengetahuan tersebut kerap tersimpan dalam produk-produk artistik seperti ragam dekoratif, relief candi, naskah serta mantra, doa dan tembang di berbagai kelompok budaya di Nusantara. Dengan kekayaan sebesar itu, kita memiliki “modal pembeda” untuk mengambil keuntungan di tengah perubahan sejarah yang sedang terjadi. Dalam esai ini akan dijelaskan secara sederhana aspek intrinsik ritual wiwitan, kaitannya dengan sejarah klasik dan dinamika kontemporer, serta relevansinya dengan inovasi dalam berbagai bidang, termasuk seni.
I
Umum diketahui bagi masyarakat Jawa, khususnya daerah Jogja dan Kedu, wiwitan merupakan ritual yang dilakukan pada masa tanam padi. Dalam ritual tersebut, masyarakat membawa sejumlah makanan dan hasil bumi sebagai ungkapan syukur pada Ilahi sehingga terjadi komunikasi dan negosiasi dengan entitas spiritual dalam doa dan materialitasnya sebagai penegas permohonan—sesaji. Selain pada Tuhan, juga terdapat ucapan terimakasih pada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso (penunggu wilayah, ladang atau sawah); kesuburan tanah diasosiasikan dengan kesuburan rahim wanita yang dikeramatkan; kekayaan (hasil sawah dan ladang) dikaitkan dengan metafora kekerabatan (ibu, istri) sebagai muasal kehidupan; para lelaki yang memiliki sperma membawa benih dalam ritual di sawah, dan kegiatan penanaman benih diasosiasikan dengan persetubuhan, sampai kelak padi itu akan meteng (bunting). Produksi ekonomi dalam praktik ini disejajarkan dengan produksi anak; ikatan seorang petani dengan kekayaannya–butir padi yang dihasilkan—tak ubahnya hubungan orang tua dengan keturunannya.
Selain pada Tuhan, juga terdapat ucapan terimakasih pada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso (penunggu wilayah, ladang atau sawah); kesuburan tanah diasosiasikan dengan kesuburan rahim wanita yang dikeramatkan; kekayaan (hasil sawah dan ladang) dikaitkan dengan metafora kekerabatan (ibu, istri) sebagai muasal kehidupan; para lelaki yang memiliki sperma membawa benih dalam ritual di sawah, dan kegiatan penanaman benih diasosiasikan dengan persetubuhan, sampai kelak padi itu akan meteng (bunting)
Demikianlah, dalam ritual yang sederhana dan bersahaja tersebut, terdapat lapisan makna yang padat dan saling menjelaskan satu sama lain; produksi ekonomi, persetubuhan, kekerabatan, spiritual/magis berada dalam satu garis pemaknaan. Jika kita sepakat bahwa pertanian merupakan bentuk awal domestifikasi tanaman—sebagaimana peternakan adalah domestifikasi binatang—maka orang Jawa melakukannya dalam bentuk ikatan persetubuhan dan kekerabatan dengan entitas spiritual dan mistis sebagai penjamin komitmennya, sehingga terjadi fusi antara alam (ladang), budaya (ritual) dan spiritual (Tuhan, Dewi) dalam totalitas simbolik ritual. Wiwitan, karena itu, tak ubahnya puisi pendek yang ketat, padat dan koheren; tak ada satu kata pun yang menyimpang atau sia-sia tanpa makna.
Dalam proses percintaan dan rajutan kekerabatan di ladang tersebut, dengan sesaji sebagai maskawin dan Tuhan serta Dewi sebagai saksi dan walinya, terdapat dinamika yang menarik, cerdik dan penuh drama. Dalam masyarakat sinkretik, Dewi Sri dipercaya sebagai utusan malaikat Jibril yang diperintahkan ke tanah Jawa untuk menghindari paceklik. Sepotong narasi tersebut mengandung makna yang penting, yaitu terjadinya inkorporasi dari ajaran spiritual yang berbeda sebagai potret mikro sikap kosmopolitan masyarakat Jawa, sekaligus usaha mereka menghindari friksi moral dan ideologis yang dapat mengancam keutuhan tatanan. Sebab dalam praktik asosiasi simbolik yang ketat dan koheren, tak diperkanankan adanya hal yang menyimpang, berlawanan apalagi mengancam keutuhan. Maka, daripada berada di luar makna atau mengganggu, lebih baik dijadikan bagian dari ritual—meski, pada dasarnya petani Jawa tak membutuhkan entitas suci yang demikian besar kekuasaanya untuk sekadar menjaga ladang mereka yang tak seberapa. Namun, jika terdapat doktrin religius dengan konsep Tuhan yang begitu besar kekuasaannya, mereka akan dengan senang hati melibatkannya dalam ibadah pertanian. Dengan cara tersebut, entitas yang semula berbeda dan mengancam justru menjadi penguat dalam ritual dan menambah rasa yakin mereka terhadap berlimpahnya hasil panen pada musim yang akan datang.
Dalam ritual wiwitan, pihak penyelenggara akan mengundang sejumlah kerabat, tetangga, kolega atau pekerja ladangnya, sehingga terjadi penguatan sosial sekaligus pengukuhan politis dari pemilik ladang terhadap pihak-pihak lain. Dalam fungsi sosial-politis ini, proses ritual wiwitan menjadi praktik yang lebih dramatis, menegangkan dan penuh risiko, di mana segala sesuatu yang terjadi dengan ladangnya (hasil panen, hama, musibah) akan dikaitkan dengan ritual dan perilaku pemilik ladang. Jika pertumbuhannya bagus dan hasilnya berlimpah, kerabat dan tetangga akan mengaitkan dengan kemurahan hati dan keikhlasan pemilik ladang. Jika sebaliknya, kerabat dan tetangga itu akan mengait-kaitkan dengan cerita tentang sesaji yang dianggap kurang atau perilaku kurang berkenan lainnya. Maka, semakin luas ladang yang dimiliki dan tinggi status sosial, semakin besar pula risiko sosial dan ekonomi yang ditanggung oleh seseorang. Dan jika memilih tidak melakukannya, ia akan menanggung konsekuensi yang lebih besar lagi; dalam masyarakat pertanian yang hidup menetap secara bersama-sama dalam waktu yang lama, ritual sangat penting untuk menjaga kebersamaan sampai musim panen mendatang tiba, di mana para petani amat membutuhkan solidaritas kerabat dan tetangga demi membantunya memanen padi.
Demikianlah, upacara pertanian yang sederhana dan bersahaja tersebut memiliki banyak unsur yang dinegosiasikan dan risiko yang dipertaruhkan. Meskipun struktur, tujuan dan formasinya secara umum sama, selalu terdapat drama yang menegangkan bagi yang menjalaninya. Hal tersebut karena dalam masyarakat tradisional, di mana ikatan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhan, dilakukan secara berlapis-lapis (persetubuhan, kekerabatan, ekonomi, sosial, politik dan religi), setiap praktik dan hasil yang berbeda akan memiliki implikasi bahkan konsekuensi terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, para petani Jawa dengan lahan yang tak seberapa itu pada dasarnya adalah orang-orang yang penuh nyali, karena mereka biasa mempertaruhkan segalanya bahkan di saat mulai menanam sebutir benih padi.
II
Secara umum, ritual dilakukan untuk menghindari ketegangan dalam masa peralihan, terkait siklus hidup, siklus keagamaan, siklus ekonomi, siklus alam, serta adanya hal-hal yang menyimpang atau di luar kebiasaan. Dalam hal wiwitan, ritual dilakukan untuk meredam ketegangan pada masa transisi antara musim panen dan tanam dalam siklus pertanian. Siklus-siklus dari berbagai aspek dalam kehidupan tersebut saling menjelaskan satu sama lain, seperti percakapan antar tokoh dalam lakon atau tetabuhan dalam gamelan, hingga membentuk kesatuan cerita dan irama dalam seni pertunjukan, yakni kehidupan yang dijalani. Dengan kata lain, siklus tersebut merupakan irama waktu yang merangkum, mengendalikan dan mengarahkan sejarah ke dalam alur yang sama dan koheren. Maka setiap kali terdapat peralihan atau patahan akan dilakukan upacara untuk menyelaraskan agar kembali sesuai dengan irama sejarah yang telah disepakati dan ditetapkan sejak muasal waktu dan kehidupan (il ille tempore).
Potret mikro kebudayaan tradisional tersebut, yang berisi putaran irama dari formasi dan struktur sebuah ritual, akan jalin-mejalin dengan ritual-ritual lainnya hingga membentuk irama agung sejarah sosial dan peradaban yang terus berulang, di mana segala ritual peralihan (siklus hidup, pertanian, perdagangan, keagamaan, dll.) akan berpusat pada ritual kelahiran (sebagai tanda muasal kehidupan dan dunia/kosmogoni) dan terutama kematian (sebagai akhir dari tata kehidupan yang dijalani/kosmologi). Ketiadaan (sebelum lahir dan sesudah mati) dipahami bukan sebagai ketiadaan melainkan sebagai Ada yang lebih tinggi dan hakiki (highest being), bentangan waktu yang kekal dan konstan dalam lanskap eskatologi Ilahi. Orang Jawa bilang, urip mong mampir ngombe—mengingat waktu yang kita jalani ini sudah ditetapkan iramanya serta hanya potongan kecil dari waktu yang lebih tinggi, keramat dan abadi.
Ketiadaan (sebelum lahir dan sesudah mati) dipahami bukan sebagai ketiadaan melainkan sebagai Ada yang lebih tinggi dan hakiki (highest being), bentangan waktu yang kekal dan konstan dalam lanskap eskatologi Ilahi. Orang Jawa bilang, urip mong mampir ngombe—mengingat waktu yang kita jalani ini sudah ditetapkan iramanya serta hanya potongan kecil dari waktu yang lebih tinggi, keramat dan abadi.
Dapat dibayangkan jika kawasan Nusantara ini penuh dengan ritual selama berabad-abad; baik terkait pertanian, maritim dan perdagangan; kelahiran, masa kanak, remaja, dewasa dan kematian; penobatan sultan, pemakaman brahmana dan wali, serta ziarah yang tak henti-henti. Dalam ritual-ritual tersebut, setiap orang adalah “seniman,” dalam wujud penyanyi, musisi, pembaca doa, mantra, kidung, tembang, perangkai sesaji dan penari, perajut pakaian, dan seterusnya. Bersamaan dengan itu, ladang diolah dan laut diarungi, hutan dimasuki dan hewan diburu, buah dan bunga ditandai, diberi nama, dicatat manfaatnya dalam serat dan kitab, dilantunkan dalam kidung (daun untuk sakit perut, jamu awet muda, obat luka luar, mempermudah punya keturunan, penawar racun, dst.) sehingga dalam produk artistik tersebut terdapat manfaat dan daya yang konkret, nyata. Dalam terminologi Aristoteles, di mana arti puisi adalah kemampuan atau daya cipta dalam mengubah keadaan (making reality), karya seni tradisional tersebut merupakan karya dengan bobot ontologis sesuai makna dan fungsi dasarnya.
Dalam totalitas realitas kultural demikian, sejarah bukan semata peristiwa yang terjadi, kapan, di mana dan siapa saja pelakunya (sebagaimana dalam sejarah positif dan modern, terutama von Ranke), melainkan apa makna, penghayatan, posisi dan ikatan seseorang dengan keseluruhan tata nilai dan kosmos itu, (sejarah negatif, seperti Plato, Hegel, Sahlins). Struktur waktu, dalam hal ini, bukan sekuen kuantitatif berupa detik, menit, jam, dst. melainkan sekuen kualitatif (wayah, mongso, tangguh, dst. dengan bobot makna tersendiri dan berbeda-beda).
Dalam filsafat Bergson, waktu dalam sejarah Nusantara merupakan sekuen yang dihayati (duree) daripada sekuen yang dipikirkan dan diisi kegiatan (time), di mana setiap orang akan memaknainya dengan penghayatan yang sebaik-baiknya, sesuai posisi dan kepentingannya, agar dapat sedekat mungkin dengan irama waktu abadi. Semakin sesuai degan irama waktu abadi yang disepakati dan ditetapkan, semakin harmonis pula tatanannya, dan semakin sesuai dengan takdir yang direstui oleh Ilahi. Proses penghayatan tersebut dilakukan utamanya melalui ritual, di mana segala sesuatu diberi makna sedalam dan sekoheren mungkin, saling menjelaskan satu sama lain, berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat, hingga membentuk pandangan dunia besar yang merajut antar individu, keluarga, desa, pulau, etnis, kerajaan dan kesultanan, dari masa ke masa. Jika pun seseorang melakukan ritual individu, misalnya melakukan tapa di sebuah gua, acuan negosiasinya tetap sama: penguasa waktu abadi tersebut, Gusti Ilahi.
Potret romantis, puitis dan idealistik tersebut (karena memang tak jauh dari “sejarah jiwa/ruh” sebagaimana digambarkan Plato dan Hegel, juga Eliade), kerap menjadi acuan bagi masyarakat modern dan kontemporer sebagai model dari tata kehidupan yang “harmonis.” Perbedaan mendasarnya adalah, dalam tata kosmologi tradisional tersebut, setiap individu hanya getaran kecil dari irama sejarah dunia yang besar dan keramat, mengabdi sepenuhnya sesuai perannya. Sedang dalam masyarakat modern dan kontemporer, individu telah memiliki peran, kebutuhan dan kepentingannya sendiri, tanpa ikatan yang mendalam dan berlapis sebagaimana petani Jawa dalam ritual wiwitan. Negosiasinya bukan lagi dengan, dan dibatasi oleh, tatanan dunia keramat, melainkan oleh perimbangan kekuatan dan kepentingan antar individu dan kelompok yang beragam, kompleks dan sulit diukur batasnya.

Faisal Kamandobat: Wali Obat-obatan dan Mantra-Mantra Penyembuhan (Akrilik dan tinta pada kanvas, 2.5 x 2.5 meter), 2020
III
Dalam perjalanan sejarah mutakhirnya, umat manusia telah mengalami individuasi sebagai implikasi dari proses pembagian kerja yang semakin terspesialisasi dan profanisasi sebagai implikasi dari pemisahan otoritas moral (dalam hal ini spiritual-keagamaan) dari otoritas ekonomi dan politik. Akibatnya, terjadi sentralisasi terhadap manusia sebagai subjek yang otonom dalam sejarah, yang lebih unggul dari, dan oleh karena itu kerap dijadikan dalih, untuk menguasai alam sesuai kebutuhan dan kepentingannya—dengan tanpa dibatasi oleh aturan-aturan Ilahi lagi. Kondisi tersebut semakin dikukuhkan oleh berbagai pandangan di mana rasionalitas manusia merupakan entitas universal dan langgeng, dengan sains dan teknologi sebagai basis ideologis dan bahkan dalam konteks tertentu dijadikan pijakan ontologis yang sejajar dengan doktrin metafisis.
Proses sejarah tersebut telah menghasilkan kemajuan peradaban yang luar biasa besar dengan pertumbuhan eksponensial yang simultan antara populasi, ekonomi, inovasi ilmiah dan teknologi. Banyak pemikir telah merespons kondisi tersebut secara kritis, misalnya Berger mengaitkan kemajuan tersebut dengan banyaknya korban dari piramida kemajuan yang dicapai, Benjamin dengan proses kemerosotan sejarah dan Nietzsche dengan adanya dominasi nilai yang berujung pada nihilisme dalam moralitas. Dengan perspektif masing-masing, mereka sepakat bahwa ideologi kemajuan telah membawa implikasi serius secara kultural, jauh sebelum saat ini kita menyaksikan konsekuensinya pada kerusakan alam dan ekologi sebagai sumber kehidupan kita.
Di tengah keadaan tersebut muncul beberapa pandangan kritis lain, misalnya kritik yang mengamati kemajuan yang tidak seimbang antar bangsa dan wilayah (sehingga terjadi hegemoni dan justifikasi terhadap praktik dominasi antara bangsa, etnis, ras dan kelompok yang merasa “maju” terhadap yang “tertinggal”) seperti dalam kajian poskolonialisme, serta pandangan kritis yang lebih realistis dalam bidang ekonomi dari mazhab kemajuan ke pemerataan. Berbagai kritik tersebut telah membuka perspektif dan peluang bagi bangsa-bangsa yang dianggap “terbelakang” untuk membuat lompatan kemajuan sesuai model dan modalnya sendiri, sebagaimana kebangkitan bangsa-bangsa Asia hari ini, dengan dukungan sumber daya alam, tenaga kerja dan kreativitas manusianya.
Di sisi lain, sebagai respons terhadap kemajuan dan profanisasi, juga terdapat pandangan yang lebih romantis dan idealistis, seperti fenomena pandangan hidup kembali ke alam dengan mengikuti ajaran filsafat dan agama-agama Timur. Dalam kadar tertentu, kecenderungan tersebut dilakukan secara ekstrem dengan menolak segala unsur modernitas, meski juga tak kalah banyaknya jumlah manusia yang melakukannya sebagai gaya hidup belaka—misalnya, melakukan ritual-ritual spiritual Timur namun tanpa melakukan komitmen penuh terhadap sistem nilainya. Munculnya gerakan New Age di Barat beberapa dekade lalu yang dipicu dari tafsir sembrono terhadap entografi Gregory Bateson merupakan contoh yang implikasinya masih dapat ditemukan dalam praktik pariwisata meditasi pada hari ini.
Respon lain berupa gerakan yang mengancam peradaban secara keseluruhan, seperti gerakan radikalisme keagamaan di Asia dan Timur Tengah serta menguatnya gerakan sayap kanan yang terus menguat di Barat. Fenomena tersebut muncul mengingat paradigma kemajuan yang sekuler telah membuat sejarah mengalami disorientasi dan ketidakadilan seiring perubahan struktural dan atomisasi sosial yang membuat dunia rentan terhadap pertikaian. Dalam skala yang lebih besar, respons tersebut telah mengalami perluasan dari konflik sosial-politik ke pertikaian antar negara, sebagai luapan kecemasan di tengah persaingan yang ketat dan pelik demi menjadi yang terdepan dalam sejarah.
Jika padangan-pandangan dan berbagai fenomena sosio-kulturalnya di atas kita tempatkan secara bersama-sama, maka akan terlihat arus sejarah yang semakin plural. Sejarah bukan lagi arus tunggal yang mengalir dari Afrika dan Asia menuju Barat sebagai “muara kemajuan”, namun sebuah kemajuan yang kian terdiversifikasi di berbagai titik pertumbuhan dunia. Di sisi lain, juga terdapat potret dunia yang semakin kosmopolitan di mana Timur dan Barat saling berbagi “cenderamata” peradaban (baca: saling memengaruhi) berkat proses migrasi dan kawin silang umat manusia dari peradaban yang berbeda. Demikianlah; ada nasi biryani India di London, kebab di Berlin dan Paris, ada soto Jawa di Leiden, burger dan spaghetti di Bantul dan buku Aristoteles dan Karl Marx di pesantren-pe santren. Pula dalam bidang inovasi di mana ilmuwan dari beragam bangsa saling berbagi ilham dan penemuan di laboratorium yang sama.
Sejarah bukan lagi arus tunggal yang mengalir dari Afrika dan Asia menuju Barat sebagai “muara kemajuan”, namun sebuah kemajuan yang kian terdiversifikasi di berbagai titik pertumbuhan dunia. Di sisi lain, juga terdapat potret dunia yang semakin kosmopolitan di mana Timur dan Barat saling berbagi “cenderamata” peradaban (baca: saling memengaruhi) berkat proses migrasi dan kawin silang umat manusia dari peradaban yang berbeda.
Dalam bidang seni modern dan kontemporer juga terdapat pandangan yang lebih beragam. Jika sebelumnya setiap perkembangan dilihat sebagai kelanjutan dari sejarah seni modern di Barat, sekarang setiap bangsa dapat membangun modernitas dan kontemporer sesuai versinya sendiri—sesuai tingkat kreativitas dan interest masing-masing. Jika dulu Picasso membuat lukisan kubisme terkait topeng Afrika, Debussy membuat musik dari gamelan Bali, Matisse mencecap warna-warni Maroko, sekarang setiap seniman bisa mengembangkan karya modern dan kontemporer dari latar belakang budayanya dengan menggunakan berbagai metode dan teknik yang tersedia serta mendiskusikannya dengan inovasi mutakhir dalam berbagai disiplin ilmu.
IV
Dalam lanskap besar itulah tema Wiwitan dalam pameran Nandur Srawung 7 menemukan relevansinya. Sebuah tema yang akan terdengar ganjil jika dikemukakan beberapa dekade lalu di saat ideologi progress dengan agenda modernisasi dan sekularisasinya tengah menjadi narasi besar dalam sejarah, serta kuatnya perspektif bahwa menjadi seniman modern harus antre “urut kacang” sebagai penerus Van Gogh, Mondrian, Warhol, Jeff Koons, dll. Sekarang, seorang Murakami menjadi seniman kontemporer justru dengan berangkat dari warisan visual tradisinya, pula Cai Guo Qiang yang melukis dengan bubuk mesiu warisan inovasi klasik China, Shirin Neshat dengan kaligrafi puisi klasik Persia, dan Heri Dono dengan logika bengkok dalam ketoprak dan wayang Jawa. Dengan manajemen pengetahuan kreatifnya, masing-masing telah mengembangkan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge) dalam tradisinya hingga menjadi pengetahuan konseptual (explicit knowledge) dengan karya visual yang khas (material knowledge) sebagai mode of discourse untuk membaca dan mengolah isu, momen dan wacana di berbagai bidang, kawasan dan tingkatan, sehingga menjadi pandangan yang menyeluruh dan memiliki kekuatan paradigmatik.
Selain konteks sejarah yang semakin plural dan kosmopolitan, tema wiwitan menemukan relevansinya di tengah sejarah yang tengah bergeser, baik secara struktural maupun natural atau gabungan dari keduanya. Secara struktural, terjadi pergeseran atau setidaknya perimbangan Barat dan Timur, dengan munculnya Tiongkok dan India sebagai kekuatan baru. Bersamaan dengan itu, kebudayaan-kebudayaan tradisional dari dua kawasan tersebut akan muncul ke permukaan sebagai instrumen soft-power dalam agenda internasional dan global mereka. Secara natural, munculnya wabah virus corona telah memperlambat laju kemajuan secara drastis sehingga (1) mempercepat pergeseran peradaban, (2) terjadi revaluasi secara mendasar terhadap ideologi kemajuan yang diasumsikan telah merusak alam dan menimbulkan beragam penyakit. Bersamaan dengan itu, berbagai pengetahuan tradisional menemukan relevansinya kembali, untuk dipelajari dan diamalkan sesuai kebutuhan dan tingkat penguasaan masing-masing, sebagaimana istilah “kearifan lokal” yang sering kita dengar. Jika mampu mengembangkan pengetahuan tradisional tersebut ke dalam bentuk teoritis dan eksperimental (bukan hanya normatif dan ideologis), bukan mustahil dapat menjadi paradigma alternatif yang membuka cara pandang dan inovasi baru di berbagai bidang, termasuk sains dan seni.
Secara natural, munculnya wabah virus corona telah memperlambat laju kemajuan secara drastis sehingga (1) mempercepat pergeseran peradaban, (2) terjadi revaluasi secara mendasar terhadap ideologi kemajuan yang diasumsikan telah merusak alam dan menimbulkan beragam penyakit.
Di tengah masa krisis, tema wiwitan juga merupakan tawaran gagasan tentang perlunya semangat solidaritas dan kosmopolitan. Dalam masyarakat kontemporer, relasi antar manusia telah mengarah pada model masyarakat jaringan yang mensyaratkan adanya kuasa dalam hubungan sosial. Akibatnya, meski secara kultural aktor-aktor yang terlibat tampak beragam, namun secara politis sebenarnya homogen dan tertutup mengingat hanya aktor yang memiliki kuasa tertentu yang boleh terlibat di dalamnya. Jika model tersebut terjadi dalam seni rupa kontemporer, maka telah terjadi homogenisasi seniman secara politis, kendati secara konseptual dan artistik telah semakin beragam (keragaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam praktik pertukaran kuasa antar aktor atau kelompok). Meminjam semangat dalam ritual wiwitan, dimensi kosmopolitan perlu dilakukan dalam kerangka solidaritas di semua hal dan tingkatan demi menguatkan daya tahan di tengah krisis, sehingga aktor yang tidak memiliki cukup kuasa dapat memiliki akses terhadap sumber daya (simbolik maupun material).
Dengan kata lain, alih-alih mengembangkan wiwitan dari ritual menjadi festival, tema pameran Nandur Srawung 7 ini dapat menjadi pintu yang membuka kitab dan ruh kebudayaan klasik kita yang teramat kaya ke dalam bentuk dan semangat baru. Tentu, sebagai generasi yang begitu jauh dari dunia keramat nenek moyang, kita akan menemui banyak kesulitan dalam memahami—sebelum kemudian mengembangkannya ke tingkat ilmiah, eksperimental dan material. Namun dengan kerendahan hati dan ketekunan kita dalam mempelajarinya, para moyang tak akan membiarkan anak cucunya terlempar jauh dari sejarah dan kebijaksanaan mereka. Terlebih bagi para moyang, sebagaimana dalam ritual wiwitan, ikatan darah merupakan tali utama dari hubungan-hubungan lainnya: wilayah, kemasyarakatan, kesejahteraan dan terlebih pewarisan pengetahuan dan kearifan.