Menu

Wiwitan¸ Negosiasi di Tengah Transisi Sejarah

Catatan untuk Pameran Nandur Srawung #7/2020


Di tengah sejarah yang mengalami pergeseran, baik disebabkan faktor alam (berupa wabah virus corona yang tengah menguji kelangsungan peradaban dan spesies manusia) dan struktural (ekonomi, militer, populasi, sumber daya alam) antar-kekuatan dan kawasan, pameran seni rupa yang berangkat dari semangat pertanian dalam ritual tanam padi di Jawa (wiwitan) dapat menjadi langkah awal menemukan perspektif alternatif terkait kehidupan bersama di masa krisis dan masa depan. Pertanian merupakan salah satu pilar peradaban di mana, sebagaimana disampaikan Ibn Khaldun dan Thomas Malthus, produksi pertanian yang berdasarkan deret hitung (arithmetic ratio) perlu mencukupi populasi manusia yang berkembang berdasarkan deret ukur (exponential ratio). Selain terkait makanan, pertanian di negeri tropis berhubungan dengan kekayaan hayati, pengetahuan biodiversitas, teknik budi daya dan berbagai manfaatnya. Pengetahuan tersebut kerap tersimpan dalam produk-produk artistik seperti ragam dekoratif, relief candi, naskah serta mantra, doa dan tembang di berbagai kelompok budaya di Nusantara. Dengan kekayaan sebesar itu, kita memiliki “modal pembeda” untuk mengambil keuntungan di tengah perubahan sejarah yang sedang terjadi. Dalam esai ini akan dijelaskan secara sederhana aspek intrinsik ritual wiwitan, kaitannya dengan sejarah klasik dan dinamika kontemporer, serta relevansinya dengan inovasi dalam berbagai bidang, termasuk seni.

I

Umum diketahui bagi masyarakat Jawa, khususnya daerah Jogja dan Kedu, wiwitan merupakan ritual yang dilakukan pada masa tanam padi. Dalam ritual tersebut, masyarakat membawa sejumlah makanan dan hasil bumi sebagai ungkapan syukur pada Ilahi sehingga terjadi komunikasi dan negosiasi dengan entitas spiritual dalam doa dan materialitasnya sebagai penegas permohonan—sesaji. Selain pada Tuhan, juga terdapat ucapan terimakasih pada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso (penunggu wilayah, ladang atau sawah); kesuburan tanah diasosiasikan dengan kesuburan rahim wanita yang dikeramatkan; kekayaan (hasil sawah dan ladang) dikaitkan dengan metafora kekerabatan (ibu, istri) sebagai muasal kehidupan; para lelaki yang memiliki sperma membawa benih dalam ritual di sawah, dan kegiatan penanaman benih diasosiasikan dengan persetubuhan, sampai kelak padi itu akan meteng (bunting). Produksi ekonomi dalam praktik ini disejajarkan dengan produksi anak; ikatan seorang petani dengan kekayaannya–butir padi yang dihasilkan—tak ubahnya hubungan orang tua dengan keturunannya.

Selain pada Tuhan, juga terdapat ucapan terimakasih pada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso (penunggu wilayah, ladang atau sawah); kesuburan tanah diasosiasikan dengan kesuburan rahim wanita yang dikeramatkan; kekayaan (hasil sawah dan ladang) dikaitkan dengan metafora kekerabatan (ibu, istri) sebagai muasal kehidupan; para lelaki yang memiliki sperma membawa benih dalam ritual di sawah, dan kegiatan penanaman benih diasosiasikan dengan persetubuhan, sampai kelak padi itu akan meteng (bunting)

Demikianlah, dalam ritual yang sederhana dan bersahaja tersebut, terdapat lapisan makna yang padat dan saling menjelaskan satu sama lain; produksi ekonomi, persetubuhan, kekerabatan, spiritual/magis berada dalam satu garis pemaknaan. Jika kita sepakat bahwa pertanian merupakan bentuk awal domestifikasi tanaman—sebagaimana peternakan adalah domestifikasi binatang—maka orang Jawa melakukannya dalam bentuk ikatan persetubuhan dan kekerabatan dengan entitas spiritual dan mistis sebagai penjamin komitmennya, sehingga terjadi fusi antara alam (ladang), budaya (ritual) dan spiritual (Tuhan, Dewi) dalam totalitas simbolik ritual. Wiwitan, karena itu, tak ubahnya puisi pendek yang ketat, padat dan koheren; tak ada satu kata pun yang menyimpang atau sia-sia tanpa makna.

Dalam proses percintaan dan rajutan kekerabatan di ladang tersebut, dengan sesaji sebagai maskawin dan Tuhan serta Dewi sebagai saksi dan walinya, terdapat dinamika yang menarik, cerdik dan penuh drama. Dalam masyarakat sinkretik, Dewi Sri dipercaya sebagai utusan malaikat Jibril yang diperintahkan ke tanah Jawa untuk menghindari paceklik. Sepotong narasi tersebut mengandung makna yang penting, yaitu terjadinya inkorporasi dari ajaran spiritual yang berbeda sebagai potret mikro sikap kosmopolitan masyarakat Jawa, sekaligus usaha mereka menghindari friksi moral dan ideologis yang dapat mengancam keutuhan tatanan. Sebab dalam praktik asosiasi simbolik yang ketat dan koheren, tak diperkanankan adanya hal yang menyimpang, berlawanan apalagi mengancam keutuhan. Maka, daripada berada di luar makna atau mengganggu, lebih baik dijadikan bagian dari ritual—meski, pada dasarnya petani Jawa tak membutuhkan entitas suci yang demikian besar kekuasaanya untuk sekadar menjaga ladang mereka yang tak seberapa. Namun, jika terdapat doktrin religius dengan konsep Tuhan yang begitu besar kekuasaannya, mereka akan dengan senang hati melibatkannya dalam ibadah pertanian. Dengan cara tersebut, entitas yang semula berbeda dan mengancam justru menjadi penguat dalam ritual dan menambah rasa yakin mereka terhadap berlimpahnya hasil panen pada musim yang akan datang.

Dalam ritual wiwitan, pihak penyelenggara akan mengundang sejumlah kerabat, tetangga, kolega atau pekerja ladangnya, sehingga terjadi penguatan sosial sekaligus pengukuhan politis dari pemilik ladang terhadap pihak-pihak lain. Dalam fungsi sosial-politis ini, proses ritual wiwitan menjadi praktik yang lebih dramatis, menegangkan dan penuh risiko, di mana segala sesuatu yang terjadi dengan ladangnya (hasil panen, hama, musibah) akan dikaitkan dengan ritual dan perilaku pemilik ladang. Jika pertumbuhannya bagus dan hasilnya berlimpah, kerabat dan tetangga akan mengaitkan dengan kemurahan hati dan keikhlasan pemilik ladang. Jika sebaliknya, kerabat dan tetangga itu akan mengait-kaitkan dengan cerita tentang sesaji yang dianggap kurang atau perilaku kurang berkenan lainnya. Maka, semakin luas ladang yang dimiliki dan tinggi status sosial, semakin besar pula risiko sosial dan ekonomi yang ditanggung oleh seseorang. Dan jika memilih tidak melakukannya, ia akan menanggung konsekuensi yang lebih besar lagi; dalam masyarakat pertanian yang hidup menetap secara bersama-sama dalam waktu yang lama, ritual sangat penting untuk menjaga kebersamaan sampai musim panen mendatang tiba, di mana para petani amat membutuhkan solidaritas kerabat dan tetangga demi membantunya memanen padi.

Demikianlah, upacara pertanian yang sederhana dan bersahaja tersebut memiliki banyak unsur yang dinegosiasikan dan risiko yang dipertaruhkan. Meskipun struktur, tujuan dan formasinya secara umum sama, selalu terdapat drama yang menegangkan bagi yang menjalaninya. Hal tersebut karena dalam masyarakat tradisional, di mana ikatan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhan, dilakukan secara berlapis-lapis (persetubuhan, kekerabatan, ekonomi, sosial, politik dan religi), setiap praktik dan hasil yang berbeda akan memiliki implikasi bahkan konsekuensi terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, para petani Jawa dengan lahan yang tak seberapa itu pada dasarnya adalah orang-orang yang penuh nyali, karena mereka biasa mempertaruhkan segalanya bahkan di saat mulai menanam sebutir benih padi.

II

Secara umum, ritual dilakukan untuk menghindari ketegangan dalam masa peralihan, terkait siklus hidup, siklus keagamaan, siklus ekonomi, siklus alam, serta adanya hal-hal yang menyimpang atau di luar kebiasaan. Dalam hal wiwitan, ritual dilakukan untuk meredam ketegangan pada masa transisi antara musim panen dan tanam dalam siklus pertanian. Siklus-siklus dari berbagai aspek dalam kehidupan tersebut saling menjelaskan satu sama lain, seperti percakapan antar tokoh dalam lakon atau tetabuhan dalam gamelan, hingga membentuk kesatuan cerita dan irama dalam seni pertunjukan, yakni kehidupan yang dijalani. Dengan kata lain, siklus tersebut merupakan irama waktu yang merangkum, mengendalikan dan mengarahkan sejarah ke dalam alur yang sama dan koheren. Maka setiap kali terdapat peralihan atau patahan akan dilakukan upacara untuk menyelaraskan agar kembali sesuai dengan irama sejarah yang telah disepakati dan ditetapkan sejak muasal waktu dan kehidupan (il ille tempore).

Potret mikro kebudayaan tradisional tersebut, yang berisi putaran irama dari formasi dan struktur sebuah ritual, akan jalin-mejalin dengan ritual-ritual lainnya hingga membentuk irama agung sejarah sosial dan peradaban yang terus berulang, di mana segala ritual peralihan (siklus hidup, pertanian, perdagangan, keagamaan, dll.) akan berpusat pada ritual kelahiran (sebagai tanda muasal kehidupan dan dunia/kosmogoni) dan terutama kematian (sebagai akhir dari tata kehidupan yang dijalani/kosmologi). Ketiadaan (sebelum lahir dan sesudah mati) dipahami bukan sebagai ketiadaan melainkan sebagai Ada yang lebih tinggi dan hakiki (highest being), bentangan waktu yang kekal dan konstan dalam lanskap eskatologi Ilahi. Orang Jawa bilang, urip mong mampir ngombe—mengingat waktu yang kita jalani ini sudah ditetapkan iramanya serta hanya potongan kecil dari waktu yang lebih tinggi, keramat dan abadi.

Ketiadaan (sebelum lahir dan sesudah mati) dipahami bukan sebagai ketiadaan melainkan sebagai Ada yang lebih tinggi dan hakiki (highest being), bentangan waktu yang kekal dan konstan dalam lanskap eskatologi Ilahi. Orang Jawa bilang, urip mong mampir ngombe—mengingat waktu yang kita jalani ini sudah ditetapkan iramanya serta hanya potongan kecil dari waktu yang lebih tinggi, keramat dan abadi.

Dapat dibayangkan jika kawasan Nusantara ini penuh dengan ritual selama berabad-abad; baik terkait pertanian, maritim dan perdagangan; kelahiran, masa kanak, remaja, dewasa dan kematian; penobatan sultan, pemakaman brahmana dan wali, serta ziarah yang tak henti-henti. Dalam ritual-ritual tersebut, setiap orang adalah “seniman,” dalam wujud penyanyi, musisi, pembaca doa, mantra, kidung, tembang, perangkai sesaji dan penari, perajut pakaian, dan seterusnya. Bersamaan dengan itu, ladang diolah dan laut diarungi, hutan dimasuki dan hewan diburu, buah dan bunga ditandai, diberi nama, dicatat manfaatnya dalam serat dan kitab, dilantunkan dalam kidung (daun untuk sakit perut, jamu awet muda, obat luka luar, mempermudah punya keturunan, penawar racun, dst.) sehingga dalam produk artistik tersebut terdapat manfaat dan daya yang konkret, nyata. Dalam terminologi Aristoteles, di mana arti puisi adalah kemampuan atau daya cipta dalam mengubah keadaan (making reality), karya seni tradisional tersebut merupakan karya dengan bobot ontologis sesuai makna dan fungsi dasarnya.

Dalam totalitas realitas kultural demikian, sejarah bukan semata peristiwa yang terjadi, kapan, di mana dan siapa saja pelakunya (sebagaimana dalam sejarah positif dan modern, terutama von Ranke), melainkan apa makna, penghayatan, posisi dan ikatan seseorang dengan keseluruhan tata nilai dan kosmos itu, (sejarah negatif, seperti Plato, Hegel, Sahlins). Struktur waktu, dalam hal ini, bukan sekuen kuantitatif berupa detik, menit, jam, dst. melainkan sekuen kualitatif (wayah, mongso, tangguh, dst. dengan bobot makna tersendiri dan berbeda-beda).

Dalam filsafat Bergson, waktu dalam sejarah Nusantara merupakan sekuen yang dihayati (duree) daripada sekuen yang dipikirkan dan diisi kegiatan (time), di mana setiap orang akan memaknainya dengan penghayatan yang sebaik-baiknya, sesuai posisi dan kepentingannya, agar dapat sedekat mungkin dengan irama waktu abadi. Semakin sesuai degan irama waktu abadi yang disepakati dan ditetapkan, semakin harmonis pula tatanannya, dan semakin sesuai dengan takdir yang direstui oleh Ilahi. Proses penghayatan tersebut dilakukan utamanya melalui ritual, di mana segala sesuatu diberi makna sedalam dan sekoheren mungkin, saling menjelaskan satu sama lain, berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat, hingga membentuk pandangan dunia besar yang merajut antar individu, keluarga, desa, pulau, etnis, kerajaan dan kesultanan, dari masa ke masa. Jika pun seseorang melakukan ritual individu, misalnya melakukan tapa di sebuah gua, acuan negosiasinya tetap sama: penguasa waktu abadi tersebut, Gusti Ilahi.

Potret romantis, puitis dan idealistik tersebut (karena memang tak jauh dari “sejarah jiwa/ruh” sebagaimana digambarkan Plato dan Hegel, juga Eliade), kerap menjadi acuan bagi masyarakat modern dan kontemporer sebagai model dari tata kehidupan yang “harmonis.” Perbedaan mendasarnya adalah, dalam tata kosmologi tradisional tersebut, setiap individu hanya getaran kecil dari irama sejarah dunia yang besar dan keramat, mengabdi sepenuhnya sesuai perannya. Sedang dalam masyarakat modern dan kontemporer, individu telah memiliki peran, kebutuhan dan kepentingannya sendiri, tanpa ikatan yang mendalam dan berlapis sebagaimana petani Jawa dalam ritual wiwitan. Negosiasinya bukan lagi dengan, dan dibatasi oleh, tatanan dunia keramat, melainkan oleh perimbangan kekuatan dan kepentingan antar individu dan kelompok yang beragam, kompleks dan sulit diukur batasnya.

Faisal Kamandobat: Wali Obat-obatan dan Mantra-Mantra Penyembuhan (Akrilik dan tinta pada kanvas, 2.5 x 2.5 meter), 2020

III

Dalam perjalanan sejarah mutakhirnya, umat manusia telah mengalami individuasi sebagai implikasi dari proses pembagian kerja yang semakin terspesialisasi dan profanisasi sebagai implikasi dari pemisahan otoritas moral (dalam hal ini spiritual-keagamaan) dari otoritas ekonomi dan politik. Akibatnya, terjadi sentralisasi terhadap manusia sebagai subjek yang otonom dalam sejarah, yang lebih unggul dari, dan oleh karena itu kerap dijadikan dalih, untuk menguasai alam sesuai kebutuhan dan kepentingannya—dengan tanpa dibatasi oleh aturan-aturan Ilahi lagi. Kondisi tersebut semakin dikukuhkan oleh berbagai pandangan di mana rasionalitas manusia merupakan entitas universal dan langgeng, dengan sains dan teknologi sebagai basis ideologis dan bahkan dalam konteks tertentu dijadikan pijakan ontologis yang sejajar dengan doktrin metafisis.

Proses sejarah tersebut telah menghasilkan kemajuan peradaban yang luar biasa besar dengan pertumbuhan eksponensial yang simultan antara populasi, ekonomi, inovasi ilmiah dan teknologi. Banyak pemikir telah merespons kondisi tersebut secara kritis, misalnya Berger mengaitkan kemajuan tersebut dengan banyaknya korban dari piramida kemajuan yang dicapai, Benjamin dengan proses kemerosotan sejarah dan Nietzsche dengan adanya dominasi nilai yang berujung pada nihilisme dalam moralitas. Dengan perspektif masing-masing, mereka sepakat bahwa ideologi kemajuan telah membawa implikasi serius secara kultural, jauh sebelum saat ini kita menyaksikan konsekuensinya pada kerusakan alam dan ekologi sebagai sumber kehidupan kita.

Di tengah keadaan tersebut muncul beberapa pandangan kritis lain, misalnya kritik yang mengamati kemajuan yang tidak seimbang antar bangsa dan wilayah (sehingga terjadi hegemoni dan justifikasi terhadap praktik dominasi antara bangsa, etnis, ras dan kelompok yang merasa “maju” terhadap yang “tertinggal”) seperti dalam kajian poskolonialisme, serta pandangan kritis yang lebih realistis dalam bidang ekonomi dari mazhab kemajuan ke pemerataan. Berbagai kritik tersebut telah membuka perspektif dan peluang bagi bangsa-bangsa yang dianggap “terbelakang” untuk membuat lompatan kemajuan sesuai model dan modalnya sendiri, sebagaimana kebangkitan bangsa-bangsa Asia hari ini, dengan dukungan sumber daya alam, tenaga kerja dan kreativitas manusianya.

Di sisi lain, sebagai respons terhadap kemajuan dan profanisasi, juga terdapat pandangan yang lebih romantis dan idealistis, seperti fenomena pandangan hidup kembali ke alam dengan mengikuti ajaran filsafat dan agama-agama Timur. Dalam kadar tertentu, kecenderungan tersebut dilakukan secara ekstrem dengan menolak segala unsur modernitas, meski juga tak kalah banyaknya jumlah manusia yang melakukannya sebagai gaya hidup belaka—misalnya, melakukan ritual-ritual spiritual Timur namun tanpa melakukan komitmen penuh terhadap sistem nilainya. Munculnya gerakan New Age di Barat beberapa dekade lalu yang dipicu dari tafsir sembrono terhadap entografi Gregory Bateson merupakan contoh yang implikasinya masih dapat ditemukan dalam praktik pariwisata meditasi pada hari ini.

Respon lain berupa gerakan yang mengancam peradaban secara keseluruhan, seperti gerakan radikalisme keagamaan di Asia dan Timur Tengah serta menguatnya gerakan sayap kanan yang terus menguat di Barat. Fenomena tersebut muncul mengingat paradigma kemajuan yang sekuler telah membuat sejarah mengalami disorientasi dan ketidakadilan seiring perubahan struktural dan atomisasi sosial yang membuat dunia rentan terhadap pertikaian. Dalam skala yang lebih besar, respons tersebut telah mengalami perluasan dari konflik sosial-politik ke pertikaian antar negara, sebagai luapan kecemasan di tengah persaingan yang ketat dan pelik demi menjadi yang terdepan dalam sejarah.

Jika padangan-pandangan dan berbagai fenomena sosio-kulturalnya di atas kita tempatkan secara bersama-sama, maka akan terlihat arus sejarah yang semakin plural. Sejarah bukan lagi arus tunggal yang mengalir dari Afrika dan Asia menuju Barat sebagai “muara kemajuan”, namun sebuah kemajuan yang kian terdiversifikasi di berbagai titik pertumbuhan dunia. Di sisi lain, juga terdapat potret dunia yang semakin kosmopolitan di mana Timur dan Barat saling berbagi “cenderamata” peradaban (baca: saling memengaruhi) berkat proses migrasi dan kawin silang umat manusia dari peradaban yang berbeda. Demikianlah; ada nasi biryani India di London, kebab di Berlin dan Paris, ada soto Jawa di Leiden, burger dan spaghetti di Bantul dan buku Aristoteles dan Karl Marx di pesantren-pe santren. Pula dalam bidang inovasi di mana ilmuwan dari beragam bangsa saling berbagi ilham dan penemuan di laboratorium yang sama.

Sejarah bukan lagi arus tunggal yang mengalir dari Afrika dan Asia menuju Barat sebagai “muara kemajuan”, namun sebuah kemajuan yang kian terdiversifikasi di berbagai titik pertumbuhan dunia. Di sisi lain, juga terdapat potret dunia yang semakin kosmopolitan di mana Timur dan Barat saling berbagi “cenderamata” peradaban (baca: saling memengaruhi) berkat proses migrasi dan kawin silang umat manusia dari peradaban yang berbeda.

Dalam bidang seni modern dan kontemporer juga terdapat pandangan yang lebih beragam. Jika sebelumnya setiap perkembangan dilihat sebagai kelanjutan dari sejarah seni modern di Barat, sekarang setiap bangsa dapat membangun modernitas dan kontemporer sesuai versinya sendiri—sesuai tingkat kreativitas dan interest masing-masing. Jika dulu Picasso membuat lukisan kubisme terkait topeng Afrika, Debussy membuat musik dari gamelan Bali, Matisse mencecap warna-warni Maroko, sekarang setiap seniman bisa mengembangkan karya modern dan kontemporer dari latar belakang budayanya dengan menggunakan berbagai metode dan teknik yang tersedia serta mendiskusikannya dengan inovasi mutakhir dalam berbagai disiplin ilmu.

IV

Dalam lanskap besar itulah tema Wiwitan dalam pameran Nandur Srawung 7 menemukan relevansinya. Sebuah tema yang akan terdengar ganjil jika dikemukakan beberapa dekade lalu di saat ideologi progress dengan agenda modernisasi dan sekularisasinya tengah menjadi narasi besar dalam sejarah, serta kuatnya perspektif bahwa menjadi seniman modern harus antre “urut kacang” sebagai penerus Van Gogh, Mondrian, Warhol, Jeff Koons, dll. Sekarang, seorang Murakami menjadi seniman kontemporer justru dengan berangkat dari warisan visual tradisinya, pula Cai Guo Qiang yang melukis dengan bubuk mesiu warisan inovasi klasik China, Shirin Neshat dengan kaligrafi puisi klasik Persia, dan Heri Dono dengan logika bengkok dalam ketoprak dan wayang Jawa. Dengan manajemen pengetahuan kreatifnya, masing-masing telah mengembangkan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge) dalam tradisinya hingga menjadi pengetahuan konseptual (explicit knowledge) dengan karya visual yang khas (material knowledge) sebagai mode of discourse untuk membaca dan mengolah isu, momen dan wacana di berbagai bidang, kawasan dan tingkatan, sehingga menjadi pandangan yang menyeluruh dan memiliki kekuatan paradigmatik.

Selain konteks sejarah yang semakin plural dan kosmopolitan, tema wiwitan menemukan relevansinya di tengah sejarah yang tengah bergeser, baik secara struktural maupun natural atau gabungan dari keduanya. Secara struktural, terjadi pergeseran atau setidaknya perimbangan Barat dan Timur, dengan munculnya Tiongkok dan India sebagai kekuatan baru. Bersamaan dengan itu, kebudayaan-kebudayaan tradisional dari dua kawasan tersebut akan muncul ke permukaan sebagai instrumen soft-power dalam agenda internasional dan global mereka. Secara natural, munculnya wabah virus corona telah memperlambat laju kemajuan secara drastis sehingga (1) mempercepat pergeseran peradaban, (2) terjadi revaluasi secara mendasar terhadap ideologi kemajuan yang diasumsikan telah merusak alam dan menimbulkan beragam penyakit. Bersamaan dengan itu, berbagai pengetahuan tradisional menemukan relevansinya kembali, untuk dipelajari dan diamalkan sesuai kebutuhan dan tingkat penguasaan masing-masing, sebagaimana istilah “kearifan lokal” yang sering kita dengar. Jika mampu mengembangkan pengetahuan tradisional tersebut ke dalam bentuk teoritis dan eksperimental (bukan hanya normatif dan ideologis), bukan mustahil dapat menjadi paradigma alternatif yang membuka cara pandang dan inovasi baru di berbagai bidang, termasuk sains dan seni.

Secara natural, munculnya wabah virus corona telah memperlambat laju kemajuan secara drastis sehingga (1) mempercepat pergeseran peradaban, (2) terjadi revaluasi secara mendasar terhadap ideologi kemajuan yang diasumsikan telah merusak alam dan menimbulkan beragam penyakit.

Di tengah masa krisis, tema wiwitan juga merupakan tawaran gagasan tentang perlunya semangat solidaritas dan kosmopolitan. Dalam masyarakat kontemporer, relasi antar manusia telah mengarah pada model masyarakat jaringan yang mensyaratkan adanya kuasa dalam hubungan sosial. Akibatnya, meski secara kultural aktor-aktor yang terlibat tampak beragam, namun secara politis sebenarnya homogen dan tertutup mengingat hanya aktor yang memiliki kuasa tertentu yang boleh terlibat di dalamnya. Jika model tersebut terjadi dalam seni rupa kontemporer, maka telah terjadi homogenisasi seniman secara politis, kendati secara konseptual dan artistik telah semakin beragam (keragaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam praktik pertukaran kuasa antar aktor atau kelompok). Meminjam semangat dalam ritual wiwitan, dimensi kosmopolitan perlu dilakukan dalam kerangka solidaritas di semua hal dan tingkatan demi menguatkan daya tahan di tengah krisis, sehingga aktor yang tidak memiliki cukup kuasa dapat memiliki akses terhadap sumber daya (simbolik maupun material).

Dengan kata lain, alih-alih mengembangkan wiwitan dari ritual menjadi festival, tema pameran Nandur Srawung 7 ini dapat menjadi pintu yang membuka kitab dan ruh kebudayaan klasik kita yang teramat kaya ke dalam bentuk dan semangat baru. Tentu, sebagai generasi yang begitu jauh dari dunia keramat nenek moyang, kita akan menemui banyak kesulitan dalam memahami—sebelum kemudian mengembangkannya ke tingkat ilmiah, eksperimental dan material. Namun dengan kerendahan hati dan ketekunan kita dalam mempelajarinya, para moyang tak akan membiarkan anak cucunya terlempar jauh dari sejarah dan kebijaksanaan mereka. Terlebih bagi para moyang, sebagaimana dalam ritual wiwitan, ikatan darah merupakan tali utama dari hubungan-hubungan lainnya: wilayah, kemasyarakatan, kesejahteraan dan terlebih pewarisan pengetahuan dan kearifan.

0
944
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.