“Mbuh mas saiki akeh wong do ilang jawane, cah cilek-cilek wes ilang toto kromone, dikandani angel, agomo seng dadi cekelane urip malah seneng di nggo nyalah-nyalahke liyane” demikian tutur Simbah salah satu warga Guyangan lor desa di Gunung Kidul.
Mendengar perkataan dari Simbah yang sehari-harinya hidup sebagai petani di dataran tinggi Gunung Kidul di atas, saya sebagai anak muda menghelakan nafas dan sejenak berfikir. Apakah demikian kalut-nya kondisi sosial kebudayaan kita hari ini? Desa sebagai tempat tinggal, sumber kearifan dan keluhuran budi, benarkah sekarang mengalami distorsi dan peminggiran kebudayaan sedemikian rupa, sehingga keluh kesah dengan spontan tersebut muncul.
Dengan pelan saya mencoba menyelami lebih jauh, seperti apa sebenarnya kondisi sosial kebudayaan yang terjadi di sebuah pedesaan di dataran tinggi Gunung Kidul tersebut, tempat di mana saya sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 2 bulan, belajar kembali menemukan serpihan diri.
Bagi masyarakat Jawa, terutama di kalangan orang-orang tua, nilai dan etika Jawa memang menjadi perhatian yang sangat serius. Bagi mereka, manusia yang nJawani atau orang yang bisa diangap memenuhi kriteria sebagai manusia Jawa adalah pertama, orang yang mempunyai kecakapan budi dengan manusia yang lain, Tata krama, unggah-ungguh, sebagai konsekuensi hidup bebrayan (bermasyarakat). Kedua, juga kemantapan mental, seperti nilai-nilai filosofi yang menjadi lelaku, laku, atau suluk untuk menopang kehidupan manusia menghadapi kasunyatan, (realitas hidup) dari mulai dilahirkan sampai ajal kematian datang. Seperti tepo sariro, nrimo ing pandum, sabar, wang sinawang, dan banyak lagi. (Baca: Saya, Jawa, dan Islam karya Irfan Afifi, 2019)
Namun semua itu berbanding terbalik dengan manusia Jawa hari ini, terutama yang sudah terlanjur mengenyam dunia pendidikan modern, dengan logika positivistik, yang serba logis, rasional dan material. Dua hal yang sudah disebutkan di atas mungkin tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting mempengaruhi gerak hidup masyarakat. Karena memang bersifat abstrak dan tidak kongkrit, paling mentok hal-hal tersebut dibicarakan dalam diskursus mimbar akademik yang sangat berjarak dengan kehidupan masyarakat. Dan parahnya, kalaupun hal tersebut dibicarakan, bukan dalam rangka mengurai benang kusut persoalan sosial-kebudayaan yang terjadi, ataupun usaha merumuskan nilai dan jati diri masyarakat agar tumbuh subur, justru nilai-nilai dan laku hidup masyarakat tersebut dibicarakan untuk mendefinisikan atau sekadar eksotisme yang berlebihan.
Semua orang berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang dilihat dari harta kekayaan yang dikumpulkan, bukan lagi kearifan dan kemaslahatan.
Bagi masyarakat desa sendiri terutama generasi muda, arus pembicaraan mereka berkutat kepada cara bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi, sistem nilai semua dikerahkan dan dipaksakan untuk sesuai logika dasar ekonomi, siapa cepat ia dapat, rugi atau untung, kalah atau menang. Semua orang berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang dilihat dari harta kekayaan yang dikumpulkan, bukan lagi kearifan dan kemaslahatan. Dan itu terjadi di hampir semua aspek kehidupan, baik lapangan politik, budaya bahkan agama.
Bisa dilihat dan dirasakan, gesekan, tarik- menarik tersebut terjadi sangat kerasnya antara nilai modernitas dan lokalitas di tengah masyarakat pedesaan terutama dikalangan para orang tua dan pemuda. Seperti keluhan yang saya kutip di awal tulisan ini, simbah yang berkeluh kesah tersebut merepresentasikan orang tua, yang pernah merasakan tiga zaman, kemerdekaan, zaman peralihan orde lama ke Orde Baru dan reformasi sampai hari ini, dan beliau menegaskan bahwa Inilah zaman ketika wong jowo wes ilang jawane mas, sementara para anak muda hari ini menjawab, wes mbah ora usah aneh-aneh, saiki mikerke awakke dewe-dewe wae, kerjo seng mempeng go luru seneng. Tanpa ada tutur kata yang lembut dan bersahaja. Si mbah yang bertanya pun mengambil nafas yang dalam, sambil diam sejenak dan kedua mata berkaca.
Desa dan Kearifan
Desa sebagai unit lembaga masyarakat terkecil ke-4 setelah keluarga, RT dan RW, sebenarnya mempunyai mekanisme secara naluriah, tatanan hukum yang tak tertulis bagi masyarakat untuk membentengi warganya dari gempuran nilai-nilai baru yang tidak produktif. Selain itu, Desa, padukuhan, kampung atau semacamnya yang merupakan institusi asli masyarakat Nusantara ini juga mempunyai modal sosial yang tak terkira jumlahnya, sebagai khazanah kearifan menopang jalannya hidup bersosial dan bermasyarakat.
Hukum sosial dan hukum adat contohnya. Ketika salah satu anggota masyarakat melakukan suatu kesalahan di tengah masyarakat, hukum sosial tersebut dijalankan namun tidak secara formal, ada kesalahan kemudian ada hukuman tapi lebih kepada kesadaran diri, seperti kata-kata saru, kwalat, ora elok, pantangan Mo Limo, yang digunakan sebagai alat untuk menghukumi anggota masyarakat yang melakukan perbuatan, yang tidak baik dan tak terpuji. (RM. Sosrokartono, Sangkan Paraning Dumadi)
Dengan adanya sistem bahasa yang berjangkar kuat di laku hidup masyarakat ini, secara tidak sadar saksi tersebut menjadi tata nilai, pengetahuan dan laku bersama yang tidak semata bersifat hitam putih, benar dan salah, namun selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya dengan melakukan nilai dan ajaran-ajaran tersebut manusia tidak hanya akan menjadi tertib sosial namun juga akan menjadi tertib diri, karena sesuai dengan Fitrah manusia yang suka terhadap keindahan dan menolak kerusakan.
Selain sistem nilai hukum di atas yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat, desa juga mempunyai modal sosio-kutural sebagai penopang pembangunan manusia, ekonomi dan demokrasi. (Baca: Desa Membangun Indonesia; 2014). Adanya acara seperti sambatan, kerja bakti, ngalong, rewang, tahlilan, yasinan, kenduren, kajatan dan selametan, merti dusun, rasulan menjadi konsepsi dunia di kalangan orang Jawa yang kemudian menjadi tatanan. Bagi masyarakat pedesaan terutama masyarakat Jawa, bahwa kehidupan di alam semesta merupakan tatanan semesta. Relasi antar setiap elemen dengan elemen yang lain adalah perwujudan sebuah sistem jaringan dan watak keterhubungan setiap elemen pada jaringan tersebut, dan saling bergantung. (Baca: Dadi Wong Wadon, 2015)
Dunia batin dan pikiran masyarakat jawa ini kemudian menggerakkan masyarakat untuk selalu merekatkan hubungan, menciptakan komitmen sosial, tatanan beserta tuntunan bagi masyarakat untuk menjaga dan mengembangkan kehidupan bersama. Dan, inilah sebenarnya modal sosial yang kuat menghujam, tidak semata pengetahuan namun juga konsekuensi logis dari hidup bermasyarakat di desa.
Sejauh dari pengalaman saya sendiri srawung dengan anak-anak desa tempat saya belajar, apa yang saya gelisahkan ini sangat jarang menjadi tema pembicaraan mereka, atau bahkan cenderung diremehkan.
Pertanyaannya sejauh ini adalah, apakah sumber-sumber kearifan yang seperti ini juga menjadi perhatian bagi masyarakat dewasa ini. Bagaimana anak muda sebagai pemegang estafet kepemimpinan masa depan di desa-desa mereka, melihat potensi yang demikian, apakah akan selalu mengembangkan dengan mempelajarinya, atau justru meninggalkan atau membiarkannya tetap hidup dengan kekeringan makna, atau lenyap semata akan menjadi cerita dongeng bagi anak cucunya. Sejauh dari pengalaman saya sendiri srawung dengan anak-anak desa tempat saya belajar, apa yang saya gelisahkan ini sangat jarang menjadi tema pembicaraan mereka, atau bahkan cenderung diremehkan. Pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya hanya sebatas ke-budaya-an sebagai bentuk dan seremoni, seperti perayaan, seni pertunjukan dan ritual-ritual yang sudah kehilangan fungsi aslinya. Karena memang pembicaraan dan diskursus yang berkaitan dengan hal tersebut minim dan cenderung tidak ada sama sekali.
Religiusitas Kaum Pedesaan
Pada dasarnya agama memang tidak hanya membahas urusan-urusan langit, yang mengajarkan manusia kepada pencapaian-pencapaian surga. Namun sejak awal, fungsi agama adalah pembebasan bagi masyarakat, menjawab persoalan-persoalan di bumi. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad sang pembawa wahyu, sebelum sang Nabi memberikan peringatan dan perintah-perintah Allah, terlebih dahulu yang dikerjakan Nabi adalah memberikan perhatian yang penuh terhadap problem-problem sosial dan kemanusiaan, mengangkat derajat budak dan para perempuan.
Melihat ukiran sejarah yang diciptakan Nabi sebagai panutan kita bersama ini, bisa dipastikan ketika semua umat Islam meneladani nabi, kehadiran agama di tengah kehidupan akan menemukan fungsi dan relevansinya di tengah masyarakat. Agama akan menjadi dinamisator dan fasilitator terhadap kehidupan serta mampu menjawab problem sosial yang ada, bukan malah memicu munculnya sebuah konflik di tengah masyarakat.
Tapi faktanya agama dan umat beragama akhir-akhir ini menampakkan wajah yang berbeda. Seperti yang diuraikan di atas, agama tidak lagi berfungsi sosial dan kemanusiaan, tapi justru sebaliknya religiusitas seseorang menjadi pemicu adanya konflik dan problem sosial di tengah masyarakat. Kasus dan isu-isu fundamentalisme agama, radikalisme berbasis agama, politisasi ayat serta kapitalisasi produk bernada syari’ah dan hijrah menjadi hal sangat marak kita temui belakangan ini, tidak ketinggalan juga mulai muncul gejalanya di kehidupan desa. Meskipun sebenarnya isu ini sangat elitis, di masyarakat akar rumput getaran dan gesekannya semakin kesini semakin terasa. Inilah yang sering kita temui dan rasakan di tengah masyarakat, tempat di mana kita KKN.
Nilai-nilai agama yang sebenarnya bisa menjadi tenaga dan justifikasi untuk menjawab problem-problem sosial, terasa tumpul dan tidak berdaya untuk memberikan solusi atau minimal mengurai benang kusut berbagai persoalan di tengah masyarakat. Kehidupan 2 bulan di dataran tinggi Gunung Kidul, memberikan pelajaran penting sekaligus cambuk yang sangat berharga, menurut saya, terutama bagi kalangan Akademisi, Sarjana Agama, dan para pemuka agama untuk dapat memikirkan hal ini. di tengah hidup yang serba keterbatasan sumber daya, alam, manusia, dan ekonomi, di pedesaan Gunung Kidul, yang terlihat, isu-isu Agama justru menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.
Nilai-nilai agama yang sebenarnya bisa menjadi tenaga dan justifikasi untuk menjawab problem-problem sosial, terasa tumpul dan tidak berdaya untuk memberikan solusi atau minimal mengurai benang kusut berbagai persoalan di tengah masyarakat.
Berawal dari isu-isu elit yang terpaksa mereka dapatkan dari berbagai media, pemahaman keagamaan yang kurang mendalam, provokasi yang memang diciptakan dari kelompok Islam puritan dan radikal, semakin menciptakan ketegangan tersebut menjadi-jadi. Konflik-konflik yang awalannya semata perbedaan cara memahami agama, bagaimana mempraktikkan pemahaman agama yang mereka yakini, dan tafsiran-tafsirannya. menjadi isu politik yang memunculkan polarisasi sosial di tengah masyarakat, kegelisahan yang terpendam dan tak tahu kepada siapa mereka harus mengadu dan menceritakan.
Apalagi dalam konteks religiusitas masyarakat Jawa, yang menampakkan percampuran agama dan budaya menjadi entitas yang tak bisa terpisahkan. Islam sebagai agama mayoritas dalam sejarahnya masuk di kepulauan Nusantara memang menggunakan media budaya masyarakat setempat untuk mengajarkan nilai dan ajarannya. Para wali yang tercatat sebagai ulama pertama yang membawakan Islam ke Jawa kemudian mengelaborasi ajaran Islam disesuaikan dan dipadupadakan dengan budaya yang sudah ada di tengah masyarakat saat itu.
Pada perkembangan selanjutnya corak keberagamaan yang memadukan antara budaya dan Islam inilah yang membentuk praktik dan corak keberagamaan tersebut muncul dengan ekspresi dan bentuk yang berbeda dengan apa yang ada di Timur tengah. Namun dengan bentuk perpaduan yang dinamis ini banyak kalangan umat Islam yang muncul belakangan malah justru menyalah-nyalahkan, menyerang dengan slogan, bid’ah, syirik, dan semacamnya.
Dengan situasi yang demikian kehidupan sosial kebudayaan di tengah masyarakat yang selama ini berjalan dengan aman dan wajar karena beriringan dengan konteks kebutuhan masyarakat, sesuai dengan alam batin dan pikiran manusia dimana agama Islam di peluk, menjadi semakin kusut dan rumit, dan pada akhirnya banyak dari masyarakat yang dulu bersiteguh dengan adat dan sekaligus mengamalkan ajaran Islam dalam balutan kebudayaan menjadi mengambang dan tak tahu arah, cenderung bersifat apatis dan pragmatis.
Tradisi, Adat Istiadat Alternatif Jawaban
Melihat dinamika sosial keagamaan yang demikian kiranya penting diskursus kebudayaan digalakkan kembali, kalau perlu ditumbuh-kembangkan dalam arus pembicaraan akademik maupun non-akademik secara produktif sampai memunculkan sebuah konsep gerakan sosial berbasis kebudayaan. Mengapa demikian, sejauh pengalaman penulis kehidupan di desa yang kaya dengan instrumen sosial dan budaya seperti yang sudah di babar di awal tulisan ini, sebenarnya tidak hanya sebagai festival sosial-budaya yang bersifat seremonial semata, namun di sinilah nilai-nilai agama yang substantif terutama Islam tersimpan dan kemudian menjadi laku masyarakat.
Terutama di masyarakat Jawa, semenjak Islam masuk ke tanah Jawa dibawa oleh para Wali Sanga di awal abad-14, percampuran selaras dan berimbang antara tradisi, adat istiadat, dengan nilai-nilai Islam menjadi corak yang unik dan kontekstual. (Saya, Jawa dan Islam, Irfan Afifi, 2019)
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akhlakul karimah muncul dengan ekspresi yang berwarna dengan karakteristik yang tidak lagi mendikotomikan lagi antara budaya dan nilai-nilai agama. Namun di antara keduanya saling menopang, berjalan beriringan, dan pada tahap selanjutnya ketika semua anggota masyarakat menjalankan dan menjaga adat Istiadat yang ada, tanpa disadari mereka sudah menjalankan perintah Allah swt, sekaligus mempraktikkan nilai-nilai Islam yang rahmatallilalamin di tengah kehidupan bersama. Pada sisi ini, religiusitas dan budaya kaum pedesaan terutama agama Islam selayaknya mampu menjadi jawaban atas kebuntuan sosial dan tugas kita bersama adalah bagaimana adat dan budaya masyarakat yang masih eksis sampai hari ini, perlu kita jaga dan terus kembangkan. Wallahua’alam
Abdul Rohman, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Mengabdi di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Piyungan, Bantul. No WA: 0895379822734
Leave a Reply