Menu

Author Archives: Abdurrohman Azzuhdi

Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya terhadap sikap salah satu kelompok Tarekat yang cukup mainstream di Indonesia dalam rangka merespon Wabah yang terjadi di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia. Saya sebut merespon karena kelompok ini telah mengambil sikap terlebih dahulu -menurut catatan saya- sejak awal Januari sebelum pemerintah Indonesia. Wabah yang dimaksudkan adalah Covid-19 atau yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai Corona.

Fahmi dan Zaky (bukan nama sebenarnya) adalah diantara pengikut tarekat Syadziliyyah yang berjejaring hingga K.H. Abdul Jalil bin KH. Mustaqim Tulungagung Jawa Timur. Silsilah ini saya sebut sebagai Syadziliyyah “Jaringan Tulungagung” mengingat perkembangan tarekat ini amat pesat oleh KH. Abdul Jalil dengan pusatnya di pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung)/ Sultan Agung ’74 Tulungagung. Sepeninggal KH. Abdul Jalil kepemimpinan pesantren diberikan kepada KH. Sholahuddin atau yang lebih dikenal dengan Gus Saladdin. Selain pengasuh pesantren PETA, praktis Gus Saladdin menggantikan ayahnya sebagai mursyid Syadziliyyah.

Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung.

Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung. Pada akhir bulan Desember seluruh jama’ah Syadziliyyah jaringan Tulungagung diperintahkan untuk meminum air degan (kelapa muda).  Sebelumnya telah diperintahkan untuk membuat sayur daun ketela. Instruksi tersebut tersebut berlanjut hingga awal Januari agar jamaah membuat Jenang Sumsum. Perintah ini tidak berhenti, ketika virus tersebut mulai masuk ke Indonesia awal Februari, jama’ah diminta untuk membuat sabuk dari kain hijau yang tengahnya diberi janur kuning. Teranyar bentuk ikhtiar yang disyaratkan oleh mursyid adalah menggunakan gelang dari janur yang telah direbus di pergelangan tangan kiri selama 6 bulan dan makan jenang sumsum di kasih sedikit janur setiap seminggu sekali, disamping sabuknya tetap dipakai.

Bahkan lebih jauh, dalam rangka menghindari penularan virus secara kelembagaan Sultan Agung ‘74 telah meliburkan segenap agenda yang sifatnya mengumpulkan masa seperti rutinan Kliwonan dan Khususiyyah Mingguan. Maklumat lain adalah tidak diperkenankan membicarakan tentang Covid-19 atau virus Corona per tanggal 20 Maret. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan kegaduhan dan simpang siur informasi. Hal terkait virus tersebut agar dijelaskan oleh orang yang ahli dalam hal ini adalah tenaga medis. Ketika artikel ini saya revisi pada minggu pertama bulan April ada perintah baru yaitu mblonyohi (mengolesi) pusar dengan kunyit.

Tentu saja berbagai macam instruksi tersebut menggerakan para jama’ah Syadziliyah jalur Tulungagung untuk ngestuaken dawuh mursyid (menjalankan perintah pembimbing). Para  pengikut tarekat secara berkala mempersiapkan ubo rampe yang diperintahkan guru baik secara individual maupun komunal. Dari berbagai grup Whatsapp atau Facebook misalnya, mereka mem-posting persiapan Janur yang dijemur, gelang Janur, atau menjahit kain hijau. Bahkan beberapa juga membagikan secara gratis kepada sesama pengikut Syadziliyyah yang tidak membuat sendiri. Instruksi ini amat masif dijalankan dari hulu hingga hilir jaringan. Meski ada beberapa orang karena keterbatasan tidak mengenakan hal tersebut. Tetapi jama’ah yang fanatik dan meyakini wushul-nya mursyid melakukan semua instruksi tersebut.

Sekalipun sama-sama Syadziliyah, yang penulis amati instruksi semacam ini tidak muncul dari tarekat Syadziliyah jaringan Watucongol Muntilan, Somalangu Kebumen, atau Cidahu Banten. Masing-masing jaringan Syadziliyah ini sebenarnya memiliki mursyid yang tidak kalah tersohor. Bila dibandingkan dengan jalur Tulungagung bahkan bisa jadi lebih terkenal. Hal tersebut mengingat tokoh mursyid atau pengasuh pesantrennya masuk dalam jajaran ulama yang dikenal secara nasional. Namun strukturisasi jamaah yang rapi menjadikan pengikut jaringan Tulungagung bisa dibilang lebih banyak daripada yang lain.

Tentang bentuk instruksi tersebut memang tidak muncul secara langsung dari induk ajaran Syadziliyah (baca: Abu Hasan As-Syadzili) sendiri. Ini lebih dari bentuk “kreatifitas” mursyid pribadi atas kedekatannya kepada Allah hingga memperoleh petunjuk langsung. Tentu saja sangat memungkinkan terjadi perbedaan sikap antara satu mursyid dengan yang lainnya. Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.

Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.

Belajar dari Kasus di Bantul

Malam itu hari rabu, minggu ketiga setelah Majelis Ulama Indonesia mengumumkan bolehnya -bahkan cenderung melarang- untuk tidak melakukan sembahyang Jumat. Alasannya jelas, untuk memperlambat penyebaran wabah Corona. Takmir masjid Al-Islam sedang melakukan rapat untuk menentukan apakah tetap mengadakan shalat Jumat atau tidak. Tentu saja nama masjid tersebut bukan sebenarnya, bahwa itu berada di sebuah dusun di Bantul adalah benar.

Termasuk hadir dalam rapat tersebut adalah Fahmi, praktis karena beliau adalah salah satu kordinator divisi dalam ketakmiran. Mawardi, salah seorang takmir mengawali rapat tersebut dengan memberikan gambaran tentang wabah, sikap MUI, NU dan Muhammadiyah yang meliburkan sementara aktivitas Shalat Jumat. Chamid salah seorang pengurus yang tingkat pemahamannya lebih awam lebih memilih untuk libur jumatan dengan pertimbangan keselamatan. Tetapi soal usia dan pengaruh tentu saja Chamid jauh di bawah Fahmi dan Mawardi sehingga berakhir pada kalimat “saya ngikut saja”. Mawardi adalah alumni pesantren di Bantul sekaligus menjadi pengajar untuk saat ini. Ia menguatkan pemaparannya dengan hadis yang dikutip dari beberapa kitab hadis dan fikih. Baginya instruksi 3 lembaga tersebut adalah final demi kemaslahatan. Tugas ketakmiran adalah menjelaskan kepada jamaah masjid agar tidak muncul persepsi dilarang “Jumatan” terlebih kepada orang-orang sepuh yang telah menganggap ibadah mutlak. “Kita tidak boleh kehilangan keimanan” Fahmi mengawali pendapatnya. “Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”, semakin mantap Fahmi berargumen. Fahmi sendiri, selain seorang pengikut tarekat Syadziliyyah ia adalah alumni pesantren PETA. Suatu ketika ia pernah bercerita kepada penulis bahwa ia pernah amat dekat dengan Kyai Jalil, bahkan pernah mengikuti beliau untuk laku ritual. Baginya kalau Kyai memerintahkan jalan ya jalan, kalau puasa maka ia akan puasa, tanpa sedikitpun bertanya alasan.

Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!

Busyro sebagai ketua takmir nampaknya semakin kebingunan untuk mengambil sikap. Dua kubu saling berseberangan ini nampaknya memiliki keyakinan masing-masing. Ketokohan keduanya masing-masing bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan ketakmiran. Sekalipun Fahmi tidak memberikan alasannya, kecuali masalah keimanan. Sikap Busyro sebenarnya jelas, memilih pendapat Mawardi. Selain lebih masuk akal untuk kemaslahatan juga dia adalah ketua salah satu organisasi keagamaan di kampung. Meski nampak mengambang rapat malam itu memutuskan jumatan untuk sementara libur.

Meski keputusan takmir meliburkan Jumatan, Fahmi tetap berangkat ke masjid jumat itu. Chamid yang masih kerabat bercerita kalau lik-nya saat itu berkalung Janur. Ia tidak tahu alasannya dan tidak berani bertanya. Maka Jum’at hari itu digelar dengan 2 baris jamaah saja. Terutama orang tua yang pikirannya hanya ibadah. Menurut pengakuan salah seorang jamaah ada sekitar 20 orang. Meskipun bisa jadi jumlah tersebut terlalu dilebihkan berdasarkan pengamatan salah seorang warga.

Berbeda dengan Zaky yang menjadi Kyai Masjid sekaligus tokoh sentral. Di masjidnya yang kurang lebih berjarak 10 km dari dusun di desa Fahmi jama’ah Jumatan masih seperti biasanya. Masjid dan serambi penuh dengan jamaah, sekalipun tidak menerima jama’ah dari luar kampung. Beberapa warga sekitar masjid adalah pengikut tarekat sehingga tidak ada kontroversi soal jum’atan. Penerimaan ini sekaligus juga kesepahaman soal instruksi mursyid tentang beberapa hal yang dipersiapkan untuk menghadapi wabah. Namun demikian Zaky masih memberi batas-batas antara jamaah tarekat dan jamaah masjid, sehingga ia tidak mengumumkan hal terkait tarekat pada jamaah masjid.

Memahami Nalar Kelompok Tarekat

Sebagaimana telah kami tuliskan pada artikel sebelumnya bahwa kelompok tarekat merupakan salah satu bagian komunitas yang amat unik, solid dan berkekuatan. Kekuaatan pada kelompok ini bisa dimaknai secara ideologi dengan kuatnya keyakinan kegamaan dengan basis tasawuf yang acapkali berhadapan dengan cara pandang kelompok legal formal syariat yang mengacu pada fikih murni (tasawuf vis a vis fiqih); atau kekuatan dalam makna yang sebenarnya yaitu sebagai sebuah gerakan masa. Untuk contoh yang pertama seperti kasus pada Fahmi. Sedangkan untuk contoh kedua adalah sebagaimana Zaky dengan mudah menggerakkan jamaahnya untuk tetap bertahan mengadakan Jumatan.

Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tareka

Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tarekat. Ketidakpahaman ini acapkali menimbulkan sikap kecurigaan atau kesan negatif terhadap kelompok tarekat. Garis tindakan kelompok tarekat tidak didasarkan arahan (fatwa) ulama secara umum. Mereka digerakkan oleh instruksi yang diberikan oleh mursyid sebagai pimpinan tertinggi kelompok ini. Mempertanyakan perintah mursyid adalah suatu pantangan, mengingat sifat ketundukan murid (orang yang mengikuti) kepada mursyid (orang yang menunjukkan) bersifat mutlak. Sikap Fahmi yang tidak menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan Janur, atau asumsi bahwa dirinya telah kebal penyakit tentu saja tidak dapat dilepaskan. Ia hanya tunduk pada mursyid tanpa perlu merasa mengeluarkan dalil agama.

Sebagai catatan penting, bahwa pengetahuan kelompok sufistik diproduksi dari proses irfani. Yakni sebuah pengetahuan yang diterima melalui mata batin dalam bentuk -yang saya sebut dengan- al-isyarah as-sirriyyah (isyarat yang rahasia), sebuah bisikan ilahiyyah yang adakalanya diterima melalui proses khalwat (menyendiri), berziarah ke makam orang shalih, i’tikaf di masjid atau muncul secara tiba-tiba begitu saja. Sehingga tidak mengherankan kalau tindakan yang diperintahkan itu terkadang semacam tidak logis, aneh atau kehilangan konteksnya. Untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada intuisi ini tidak semua guru tarekat mendapatkannya. Hanya orang-orang yang telah wushul saja yang medapatkan pengetahuan ini.

Memang logika pengetahuan tersebut tidak jarang terjadi benturan antara nalar kaum fiqih (baca: fuqaha’) dengan kelompok sufistik (Bayani vis a vis ‘Irfani); kelompok sufi dengan filosof (Irfani vis a vis Burhani) dan filosof melawan sufi (Burhani vis a vis ‘Irfani).  Formulasi nalar ini termanifestasikan dalam tiga bentuk penalaran: (1) Bayani, adalah sistem strukturalitas epistemologi yang muncul dalam bidang filologi, ushul fiqih, teologi dan balaghah difungsikan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dengan model analogi (qiyas) dengan tendensi kembali pada teks sebagai sandaran. Mengenai hal ini setiap fan ilmu memilih menggunakan istilah mereka sendiri agar terlihat lebih mandiri. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiyas. Ahli balaghah menamainya al-Tasybih. Ahli teologi menyebutnya al-Istidlal bi al-Syahid (far’) ‘ala al-Ghaib (asl); (2) ‘Irfani adalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, Syi’ah dan Isma’iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan dan filsafat iluminasi yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kasyf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme; (3) Burhani adalah model epistemologi demonstratif berdasarkan nalar observatoris-rasionalis-empiris (al-Istintaj al-‘Aqli) secara umum digunakan oleh filosof.

Bagi penulis, al-isyarah al-sirriyyah yang diperoleh oleh mursyid sejajar dengan syatahat para sufi. Produksi pengetahuan ini adalah manifestasi dari bahasa al-Quran “hudan lil muttaqin” (petunjuk bagi kaum yang bertaqwa). Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.

Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.

Di sisi lain ada hal yang secara sosial tidak boleh dilewatkan, popularitas sebuah tarekat seringkali dikarenakan intuisi kosmik guru tarekat. Yang dalam ranah lebih luas menjelma menjadi kontestasi kelompok tarekat, sekalipun terkadang beraliran sama. Munculnya Babad Kedung Kebo selain sebagai Pledoi Cokronegoro 1 atas sikapnya yang lebih membela Belanda juga sebagai penegasan asumsi bahwa spiritualitasnya lebih matang daripada Diponegoro. Sebagaimana belakangan diketahui bahwa Cokronegoro 1 dan Diponegoro adalah sama-sama pengikut tarekat Shattariyah dari jalur Kyai Taftazani Mlangi. Bentuk pencarian petunjuk Diponegoro melalui Joyomustopo di Pajimatan Imogiri yang menghasilkan “perang darah” serta kegagalan pencarian Kembang Wijoyokusumo oleh Kiai Janodin, Abu Kasan dan Kyai Mufid di Pulau Nusakambangan sebenarnya suatu al-isyarat al-sirriyah yang amat jelas. Andaikan Diponegoro tetap memberontak melawan Belanda konsekuensinya adalah timbulnya banyak korban dan mempertegas bahwa ia bukan Ratu Adil yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya, Raja Kediri. Dalam perspektif Cokronegoro 1 Diponegoro sedang dilanda kesombongan (takabbur). Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk memihak antara Diponegoro atau Cokronegoro 1, hanya saja untuk mempertegas bahwasannya terdapat ruang kontestasi secara sosial antara satu kelompok tarekat dengan tarekat lainnya.

Walhasil, mari kita hilangkan sikap kecurigaan pada kelompok tarekat, terlebih memandangnya sebagai kelompok yang irrasional. Sembari kita mengikuti perkembangan instruksi dari mursyid tarekat Syadziliyyah dalam menyikapi wabah sebagai bentuk ikhtiar. Kita juga bisa mengamati perkembangan popularitas dan bargaining kelompok tarekat ini dibandingkan kelompok tarekat lain yang hari ini tidak semasif ini arahan mursyidnya. Mursyid yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Ibu Nyai Umi Zahra, istri dari Almarhum KH. Abdul Jalil. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang.

*Wushul secara sederhana berarti pencapaian seorang salik terhadap maqam ma’rifat billah (mendapat petunjuk dari Allah)

Bantul, 07 April 2020 pukul 01.53 WIB.

 

Gelang janur.

Sabuk hijau dari kain di dalamnya ada janur.

 

Sumber Bacaan:

https://langgar.co/jejaring-tarekat-abdusshomad-al-palimbani/

Peter Carey, Babad Kedung-Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017.

Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.

Al-Jabiri.Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql ‘Arabi, 1990.

 

 

Pada abad ke-18 tercatat empat sekawan melawat ke Haramain untuk menunaikan keinginan mencari ilmu. Empat sekawan yang dimaksud adalah Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab al-Bugisi, Abdurrahman al-Misri dan Abdusshomad al-Palimbani. Bila ditilik nisbah nama yang berada di belakang masing-masing murid ini, mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara.

Para mukimin di tanah suci memiliki peranan yang amat penting dalam hal kaitan kehidupan keagamaan di daerah Nusantara. Kelompok mukimin ini disebut oleh orang arab dengan jam’iyyat al-jawiyyin. Azra dalam “Jaringan Ulama  Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII” menyebutnya dengan Ashab al-Jawiyyin (saudara Jawi). Komunikasi yang terbangun tidak sekedar personal antara guru dan murid sebagai manifestasi jaringan intelektual, melainkan juga secara kelembagaan antara Khadim al-Haramain dengan Raja-raja di Jawi (baca: Nusantara). Teks Sulalat Salatin Misalnya, yang di dalamnya terdapat kisah Sultan Mansur Syah (bertahta 1459-1477) menerima kitab berjudul Durr Manzum yang dikirim oleh Sultan ke Pasai agar diterjemahkan (Sulalat, 1997: 120). Raja Banten Abu Mafakhir (1626-1651) mengirimkan delegasi ke Mekkah sekitar tahun 1936 untuk meminta penjelasan tentang tiga karangan: Nasehat al-Muluk karya al-Ghazali, al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri dan sebuah dokumen yang berisi ajaran wahdat al-wujud. Utusan tersebut pulang ke Banten kisaran tahun 1938 dengan membawa jawaban Mekkah berupa karangan Ibnu Alan al-Siddiqi. Meski kemudian Djayadiningrat membatalkan kisah tersebut dengan menyebutnya fiktif, namun belakangan banyak pakar yang membenarkan cerita tersebut.

Bagi al-Palimbani, melawan kaum kafir hukumnya adalah wajib bagi kaum muslim.

Nama Abdusshomad Palimbani dipertalikan erat dengan gerakan jihad -melawan penjajah kafir- di Nusantara. Ia yang lama hidup di Mekkah (1734-1789) pernah menulis sebuah risalah tentang jihad dalam bahasa Arab berjudul “Nasehat al-muslimin wa tadzkirat al-mukminin fi fadhaili al-jihad fi sabilillah wa karamat al-mujahidin fi sabilillah”. Kitab ini kerap disebut secara singkat dengan judul Fadhail al-Jihad saja. Bagi al-Palimbani, melawan kaum kafir hukumnya adalah wajib bagi kaum muslim. Naskah tersebut disebut-sebut mengilhami “perang suci” di Pasai (Aceh) pada akhir abad ke-19 berdasarkan Hikayat Perang Sabil.

Terdapat informasi yang menyebutkan bahwa al-Palimbani menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwana I dan Pangerangan Singosari (Amangkurat IV) pada tahun 1771 yang berisi sanjungan tentang hal ihwal jihad. Data tersebut didasarkan dari surat yang disita Belanda, yang ditemukan pertama kali oleh Ricklefs dari arsip kolonial Belanda. Menurut Ricklefs kedua surat tersebut berisi desakan untuk melancarkan jihad. Pendapat ini disepakati setidaknya oleh Azra (1976: 267-271) dan Bruinessen (1995: 331). Berbeda dengan Drewes, sebagaimana dikutip Cambert-Loir yang menganggap pujian itu hanya sebatas pengantar surat bukan himbauan untuk berjihad dengan segera (Cambert-Loir: 2013, 37). Surat-surat serupa memungkinkan banyak ditemukan disebarkan di masjid-masjid di Sala, Pranaraga dan Patiyaniman pada Juli 1786.

Semangat Jihad juga berpengaruh pada kelompok tarekat.  Gejala ini mulai gencar pada akhir abad ke-19 di berbagai daerah. Ajaran tarekat diterima para jemaah haji yang ke Mekkah atau syekh dan khalifahnya datang secara langsung ke Indonesia. Sehingga semakin bertambah jumlah jemaah haji bertambah pula para pengikut tarekat. Misalnya saja Tarekat Sammaniyah yang terlibat pemberontakan anti-Belanda di Palembang (1819) dan di Kalimantan Selatan (1860-an); Tarekat Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah – yang didirikan oleh Syaikh Khatib Sambas – di pemberontakan Banten (1888), Sidoarjo (1903), Lombok (1981-1984); tarekat Sattariyah di tanah Minangkabau tahun 1908 tentang penolakan terhadap pajak.

Gerakan tarekat bukan awal gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Perlawanan sebenarnya telah ada, namun demikian kelompok tarekat menginisiasi untuk turut bergabung dengan potensi social capital yang lebih menjanjikan dan komunikasi gerakan yang lebih terorganisir. Hal ini mengingat hierarki kelompok tarekat yang didasarkan atas ketundukan mutlak kepada keputusan mursyid. 

Mulanya Abdusshomad ingin melanjutkan belajarnya ke al-Azhar Mesir. Sampai di Jeddah ia mengalami perjumpaan dengan seseorang yang berdzikir tidak hanya lisannya, melainkan semua tubuhnya ikut bergetar. Maka ia berkenalanlah dengan orang tersebut untuk diajari dzikir Sammaniyah. Orang tersebut adalah Shiddiq bin Umar Khan al-Madani, Khalifah syaikh al-Samman. Dari Shiddiq bin Umar, Abdusshomad diantarkan untuk bertemu secara langsung dengan syaikh al-Samman dan berguru kepada beliau.

Abdusshomad al-Palimbani adalah tokoh yang amat berjasa menyebarkan ajaran tarekat Sammaniyah di Indonesia, selain rekannya Nafis al-Banjari dan Muhyiddin bin Syihabuddin al-Palimbani. Ia sempat berguru langsung kepada peletak dasar tarekat tersebut, yakni Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman dan murid seniornya Shiddiq bin Umar Khan al-Madani penulis syarah kasidah al-Nafhah al-Qudsiyyah. Mulanya Abdusshomad ingin melanjutkan belajarnya ke al-Azhar Mesir. Sampai di Jeddah ia mengalami perjumpaan dengan seseorang yang berdzikir tidak hanya lisannya, melainkan semua tubuhnya ikut bergetar. Maka ia berkenalanlah dengan orang tersebut untuk diajari dzikir Sammaniyah. Orang tersebut adalah Shiddiq bin Umar Khan al-Madani, Khalifah syaikh al-Samman. Dari Shiddiq bin Umar, Abdusshomad diantarkan untuk bertemu secara langsung dengan syaikh al-Samman dan berguru kepada beliau. Perjumpaannya ditengarai di Mekkah ketika al-Palimbani menetap di sana. Angka wafat al-Samman ber-tarikh 1775, sedangkan masa menetap al-Palimbani di Mekkah tahun 1734 hingga 1789.

Muhammad bin Abdul Karim al-Samman (w. 1775) awalnya adalah seorang penjaga kuburan Nabi dan penulis beberapa kitab tentang metafisika sufi.  Belakangan ia punya inisiasi untuk menggabungkan beberapa amaliah tarekat yang diperolehnya antara lain Khalwatiyyah, Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah serta tarekat Syadziliyyah besutan Abu al-Hasan al-Syadzili dari Afrika Utara. Perpaduan ini kemudian disebut dengan tarekat Sammaniyyah. Secara formal acapkali dikatakan bahwa tarekat ini adalah percabangan dari tarekat Khalwatiyyah sebab pendalamannya yang lebih dulu pada tarekat tersebut melalui gurunya Mushtafa Bakri. Pada perkembangannya tarekat ini memiliki zawiyyah tersendiri yang berlepas sama sekali dengan Khalwatiyyah.

Selepas wafatnya syaikh al-Samman banyak orang Jawah yang belajar kepada Khalifahnya yaitu Shiddiq bin Umar Khan dan Abdusshomad al-Palimbani. Keduanya telah diberi wewenang untuk mengajarkan sekaligus membaiat pengikut Sammaniyah. Murid-murid Sammaniyah banyak tersebar di Kalimantan Selatan, Batavia (baca: Jakarta), Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Semenanjung Melayu. Nisbah nama di belakang murid Sammaniyah membantuk mengidentifikasi asal mereka seperti Nafis al-Banjari yang berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan. Di Sulawesi Selatan tarekat Sammaniyah bertemu dengan Khalwatiyah yang lebih dulu masuk melalui Syaikh Yusuf Makasar. Keduanya berkontestasi pada awalnya dan berkolaborasi pada perkembangannya. Praktik Khalwatiyah-Sammaniyah adalah modifikasi sekaligus kolaborasi keduanya yang membedakan antara pengikut Sammaniyah di tempat lain di Nusantara.

Catatan Martin ketika menulis “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, terbit tahun 1995, di daerah kelahiran Abdusshomad Palembang dan sekitarnya tarekat Sammaniyah masih diajarkan. Dalam hal ini penulis belum meneliti lebih lanjut keadaan zawiyah dalam konteks hari ini. Hal yang ingin penulis tekankan adalah silsilah tarekat tersebut. Bahwasannya K.H.M. Zen Syukri, guru terkemuka Sammaniyah menerima baiat dari ayahnya K.H. Hasan bin Ashari yang menerima pula dari ayahnya Kemas H.M. Azhari bin Abdullah dari Abdullah bin Ma’ruf. Begitu juga ia menerima dari ayahnya, Ma’ruf, yang menerima dari Muhammad bin Aqil bin Hasanuddin al-Palimbani, yang menerima tarekat tersebut dari Abdusshomad al-Palimbani.

Relasi Abdusshomad dengan ulama fikih pada masanya dapat dilihat dari isnad-isnad fikih yang diterbitkan oleh Syaikh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani), mudir madrasah Darul Ulum Mekkah. Isnad Syaikh Yasin banyak melalui Abdusshomad yang juga menyebutkan nama-nama orang Palembang. Ini artinya Abdushhomad selama belajar di Mekkah maupun Madinah juga berada di lingkungan orang Palembang. Misalnya dalam bidang fikih Syaikh Yasin menyebutkan nama Hasnuddin bin Jakfar al-Falimbani, Saudaranya Thayyib bin Jakfar dan Shalih bin Hasanuddin al-Palimbani.  Sedangkan murid Abdusshomad yang tercatat seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Mahmud bin Kanan al-Palimbani dan (mungkin secara tidak langsung) Salih bin Umar al-Samarani (Kyai Soleh Darat Semarang) seorang penulis yang amat produktif.

Dalam bidang Tasawuf, Syaikh Yasin hampir semuanya menyebutkan nama Abdusshomad dalam jejaring isnad-nya, dan tentu saja Nawawi al-Bantani (1813-1897)*. Dalam isnad tersebut disebutkan beberapa nama guru Abdusshomad seperti Murtadha al-Zabidi, Sayyid Ahmad bin Sulaiman al-Zabidi, Sayyid Ali bin Abd al-Barr al-Wana’ani dan Abdurrahman bin Mustafa al’Aidarus. Hanya seorang saja yang disebutkan sebagai orang Nusantara yaitu Aqib bin Hasanuddin al-Palimbani. Dari Aqib bin Hasanudin itulah Abdusshomad belajar kitab induk tasawuf falsafi al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi. K.H.M. Zen Syukri justru mengidentifikasi Aqib bin Abdullah adalah murid Abdusshomad.

*Sebagai catatan kritis Martin, bahwa al-Bantani hidup satu abad setelah al-Palimbani sehingga tentu saja tidak mungkin pernah bertemu secara langsung. Ada indikasi bahwa al-Bantani tidak menyebutkan perantara dirinya dengan al-Palimbani meskipun dalam redaksi isnad-nya menggunakan kata “an” (indo: dari). Dugaan Martin sebab memungkinan orang tersebut tidak dianggap populer. Dalam perbandingan jalur Syaikh Yasin yang lain disebutkan nama Mahmud bin Kan’an al-Palimbani. Dalam tradisi ilmu hadis perilaku semacam ini dikenal dengan istilah tadlis al-syuyukh (penyembunyian nama guru).

Jelang Subuh, Bantul, Maret 2020

Referensi Bacaan

  1. Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
  2. Hendri F. Isnaeni, Doktrin Agama Syaikh Abdul Karim al-Bantani dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
  3. Hendy Chambert-Loir dkk, Naik Haji di Masa Silam: Tahun 1482-1890.
  4. Syaikh Yasin Padang, al-‘Uqdatu al-Farid min Jawahir al-Asanid.
  5. Azumardi Azra, Jaringan Ulama  Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII