Menu

Author Archives: Achmad Fawaid

Kritik atas Javanologi Kolonial

Akhirnya, pertanyaan yang lebih filosofis perlu diajukan: Bagaimana dan mengapa Javanologi terjebak pada logika kolonial? Kita bisa melacak jawabannya melalui logika dan epistemologi yang digunakan oleh para sarjana Barat dalam mengkaji Islam Jawa. Benarkah logika mereka konsisten dengan asumsi-asumsi teoretis yang diajukan? Benarkah epistemologi Islam Jawa mereka relevan dengan kondisi kultur Jawa itu sendiri?

(In)konsistensi Logika

Berbeda dari Islam di Jazirah Arab, Islam Jawa—menurut Geertz (1960)—merupakan agama yang terdistorsi dari Islam awal karena ia terkontaminasi oleh kebudayaan lokal Jawa, dan karena itulah—dari trikotomi itu—abangan merupakan profil Muslim Jawa “terbaik” dibanding santri dan priyayi. Abangan sebagai figur sosial yang direkacipta oleh Geertz mendapat sambutan dari Mark Woodward (1989) yang menurutnya Islam Jawa merupakan titik temu antara kesalehan normatif (normative piety) yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis dengan nilai-ritual lokal (local values and rituals) yang sebenarnya sesuai dengan tradisi mistisisme Sufi. Titik temu yang dimaksud oleh Woodward ini dicontohkan melalui tradisi slametan yang dipraktikkan oleh Mbah Marijan di Lereng Gunung Merapi. Menurut Woodward (1988: 23), Mbah Marijan adalah figur abangan terbaik yang—meminjam istilah Wessing (2010: 60)—“percaya pada ilmu sihir meskipun ia memeluk Islam” (belief in sorcery…, adherence to Islam notwithstanding).

Mengonfirmasi Geertz dan Woodward, Fauzan Shaleh (2001: 38) juga menyatakan bahwa “… menjadi Jawa tidak harus selalu berarti menjadi Muslim, melainkan menjadi Muslim abangan. … Menjadi abangan, dengan demikian, berarti menjadi Muslim hangat-hangat kuku (lukewarm Muslim).” Muslim hangat-hangat kuku (lukewarm Muslim, sekitar 3 kali disebut dalam buku Shaleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia) merupakan figur terbaik yang dibayangkan oleh Shaleh tentang Muslim Jawa. M.C. Ricklefs (2006), yang meskipun menawarkan mystic synthesis, sebagaimana yang telah dijelaskan singkat di awal dan akan dijelaskan lebih detail kemudian, pada hakikatnya merepresentasikan ide yang sama dengan Islam sinkretis. Dengan eulogi yang sederhana, Ricklefs membayangkan Muslim Jawa sebagai Muslim mistis (mystical Muslim), suatu istilah yang mengingatkan kita pada gerakan Sufisme lokal di berbagai belahan dunia.

Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi “streotipikal” di atas bisa diterima oleh akal sehat?

Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi “streotipikal” di atas bisa diterima oleh akal sehat? Kita bisa mengujinya melalui logika sederhana. Jika premis (1) A adalah sepenuhnya X dan premis (2) A adalah sebagian Y, maka kesimpulan yang mengatakan bahwa A dalam (1) dan (2) merupakan satu entitas dalam waktu yang sama tidaklah tepat; keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jika A lebih panjang dari B, dan B lebih panjang dari C, sedangkan C lebih panjang dari A, maka kesimpulan yang menyebutkan bahwa ketiganya tersebut merupakan satu entitas sekaligus juga keliru.

Logika sederhana ini sebenarnya bisa diterapkan pada premis dan proposisi yang diajukan oleh para sarjana Barat di atas.  Premis pertama (1) yang dibangun oleh mereka, tentu saja, adalah Islam Jawa—bagaimanapun juga—adalah Islam. Sebagai sebuah agama, Islam berkonsekuensi memiliki satu prasyarat minimal, yakni tauhid (keesaan Allah) (premis [2]). Premis ini kemudian memunculkan premis lain (3) yang tidak bisa terhindarkan bahwa Islam, berdasarkan tauhid, akan menolak praktik apapun yang berseberangan dengan tauhid itu sendiri, yang disebut syirik. Namun, muncul tiba-tiba premis (4) bahwa Islam Jawa merupakan kombinasi antara ajaran Islam dan praktik pra-Islam yang sebagian tidak kompatibel atau berseberangan dengan Islam itu sendiri. Pada akhirnya, kesimpulan (5) yang ditarik dari premis-premis ini adalah Islam Jawa adalah sebagian Islam dan sebagian non-Islam; Islam Jawa memungkinkan praktik atau kepercayaan yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam itu sendiri. Maka, kesimpulan seperti ini—sebagaimana yang telah disebutkan dalam premis sederhana sebelumnya—tidaklah tepat.  Menurut logika sederhana, premis (3) dan (4) tidak bisa berlaku dalam satu waktu yang bersamaan. Premis “sebagian” tidak bisa disimpulkan mewakili “keseluruhan.”

Sebagian orang mungkin akan segera menyatakan bahwa melawan logika sosiologi relasi-kuasa Weberian (para pewaris Geertz, seperti Woodward, Beatty, Hefner, hingga Ricklefs memang sangat dipengaruhi oleh paradigma Weberian, baik Marxian dan Neo-Marxian [Hilmy, 2008: 47)] dengan logika Filsafat Analitik semacam ini tentu bermasalah; sebagian lagi mungkin menyebut bahwa analisis logika yang digunakan di sini justru terjebak pada logical fallacy yang sama; atau—seperti yang sering dinisbatkan kepada Edward W. Said pasca-Orientalisme—penulis akan dianggap sebagai pendukung fundamentalisme Islam (?!). Respons atas kemungkinan pertanyaan-pertanyaan ini akan disajikan dalam bab khusus yang gambarannya akan diurai di bawah. Melalui uji logika ini, yang ingin ditegaskan pada hakikatnya adalah, selain bahwa kajian ilmiah mereka sebetulnya memiliki pertaruhan konsistensi metodologis dan teoretis, upaya untuk memahami praktik atau kepercayaan “sebagian” orang Jawa ini ternyata harus merujuk pada Islam Jawa sinkretis, suatu generalisasi (jika bukan esensialisasi) atas “sebagian” kenyataan yang sejak awal tertolak dalam uji logika sederhana.

(Ir)relevansi Epistemologi

Apa implikasi epistemologis dari logical fallacy yang diurai secara singkat di atas? Mengapa penulis perlu mengajukan uji logika dasar atas proposisi-proposisi yang diajukan oleh para sarjana Barat tentang Islam Jawa itu? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk mempertanyakan lebih jauh relevansi epistemologis dari premis yang telah diajukan sejak awal.

Pertama, perlu ditegaskan bahwa uji logika pada proposisi Islam Jawa di atas hanya bekerja pada level teoretis dan metodologis. Ia tidak dimaksudkan untuk menentukan apakah Islam Jawa itu sinkretis atau tidak, tetapi lebih untuk memperlihatkan bagaimana fenomena bernama Islam Jawa itu dideskripsikan oleh sarjana Barat, dan bagaimana ia dipahami oleh mereka. Kedua, apakah logika tersebut berkaitan dengan perilaku yang sebenarnya dari Muslim Jawa, itu adalah soal lain, yang nanti akan kita uji kembali secara sosiologis. Jika pun inkonsistensi logika itu ternyata memang menunjukkan inkonsisten perilaku masyarakat Jawa, maka penjelasan terhadap inkonsistensi tersebut seharusnya konsisten dan logis sejak awal. Masalahnya, formulasi teoretis untuk merepresentasikan Islam Jawa itu, entah benar-benar sesuai dengan kenyataannya atau tidak, dalam konteks sinkretisme Islam ternyata justru tidak konsisten. Sehingga, usaha untuk membuktikan apakah logika yang tidak konsisten atas Islam Jawa itu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka.

Masalahnya, formulasi teoretis untuk merepresentasikan Islam Jawa itu, entah benar-benar sesuai dengan kenyataannya atau tidak, dalam konteks sinkretisme Islam ternyata justru tidak konsisten. Sehingga, usaha untuk membuktikan apakah logika yang tidak konsisten atas Islam Jawa itu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka.

Ketiga, jika kita menerima kemungkinan lain bahwa perilaku Muslim Jawa pada hakikatnya memang tidak konsisten, tanpa harus mengujinya melalui rumus logika dasar, maka pertanyaan pertama yang harus dijawab dari kemungkinan ini adalah bagaimana menjelaskan secara logis perilaku Muslim Jawa yang tidak konsisten itu? Apa implikasi dari penjelasan ini? Misalnya, bagaimana kita menjelaskan bahwa seorang Muslim Jawa menyembah dan percaya pada keesaan Tuhan di satu sisi, namun di sisi lain ia juga percaya dan mempraktikkan tradisi pra-Islam? Ketika ada personalisasi atas Muslim Jawa melalui figur-figur “imajiner”, seperti abangan, santri, priyayi, Muslim mistis, Muslim sinkretis,Muslim hangat-hangat kuku, atau seorang Jawa yang percaya pada tradisi nenek-moyang meskipun ia Muslim, dan sebagainya, bagaimana personalisasi ini bisa dibuktikan kepada dan melalui orang Islam Jawa itu? Apakah menjadi Islam Jawa pada hakikatnya adalah menjadi Muslim namun tidak terlalu serius atau menjadi orang Jawa namun tidak otentik?

Keempat, perlu diingat bahwa di Jawa ini kita sedang berhadapan dengan kenyataan demografis yang tidak sederhana; sekelompok orang dalam jumlah yang sangat besar dan beragam, yang terdiri dari Muslim Jawa kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah; Muslim Jawa yang terdidik, tidak terlalu terdidik, atau sama sekali tidak terdidik; Muslim Jawa imigran, blasteran-diasporik, atau pribumi. Laporan dari Hefner (2011: 71) menunjukkan bahwa pada pertengahan abad 20, Muslim abangan menduduki 2/3 dari seluruh populasi Jawa. Ketika mendiskusikan mystic synthesis, Ricklefs juga melaporkan bahwa populasi kaum abangan pada saat itu termasuk yang sangat banyak (tanpa menyebutkan berapa estimasi angkanya) dalam sejarah, dan ia juga menegaskan ‘dengan nada yang sedikit mengeluh’ bahwa betapa sulitnya terlibat dalam perhitungan jumlah santri versus abangan di Jawa (Ricklefs, 2012: 81-86). Fakta demografis ini menunjukkan bahwa otentisitas dan figur ‘terbaik’ dari seorang Muslim Jawa ternyata masih perlu dipertanyakan lebih jauh. Transisi dari Majapahit-Hindu ke Demak-Islam lalu Sinkretis-Mataram telah melalui sekian puluh abad lamanya, sehingga konversi dari seorang priyayi menjadi abangan lalu menjadi santri, atau sebaliknya, memang terlalu riskan untuk digeneralisasi; ini belum dihitung dengan rezim politik negara seperti Orde Baru yang melalui kebijakan-kebijakannya soal anti-atheis-komunis, turut menuntukan seperti apa figur ‘otentik’ dari Muslim Jawa itu.

Kelima, kritik terhadap logika dasar Islam Jawa ini tidak berarti mengharuskan penulis untuk memberikan definisi alternatif atas Islam Jawa, karena hal itu hanya akan menjebakkan diri pada esensialisasi dan generalisasi dalam bentuknya yang lain. Kritik ini, sekali lagi, ditujukan untuk mengevaluasi pemahaman kita atas Islam Jawa dan dari mana pemahaman itu berasal, karena pemahaman kita selama ini atas Islam Jawa umumnya dipengaruhi oleh sumber-sumber ‘saintifik’ dari sarjana Barat. Itulah mengapa target dari kritik terhadap definisi Islam Jawa dengan segala atributnya itu bukanlah pengalaman objektif, melainkan sumber-sumber akademis, karena memang sumber-sumber itu umumnya ‘sangatlah teoretis’: berlandaskan pada teori, definisi, konsep, dan konstruk tertentu. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa alih-alih memberi definisi alternatif atas Islam Jawa, tulisan ini lebih ditujukan untuk mengoreksi dan mempertanyakan secara epistemologis pemahaman kita atasnya.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengurai seluruh respons dan kritik ini ke dalam temuan yang lebih ‘ilmiah’? Uraian lebih detail atas kelima respons ini akan disajikan pada bab khusus dengan melacak Genealogi Islam Jawa dalam teks-teks sarjana Barat. Namun, satu hal yang pasti adalah salah satu alasan mengapa genealogi Islam Jawa muncul sebagai diskursus kolonial disebabkan oleh dominannya Historiografi ‘elitis’ Islam Jawa yang ditulis oleh para sejarahwan Barat maupun Indonesia. Apakah ‘historiografi elitis’ Islam Jawa itu?

Baca: Dhaup Alu

Kritik atas Historiografi Kolonial

 Akhirnya, pertanyaan filosofis pun perlu diajukan: Bagaimana dan mengapa historiografi Islam Jawa tersebut terjebak pada logika kolonial? Merujuk pada problem epistemologis Javanologi, kita juga bisa melacak  jawabannya melalui kritik terhadap dua jenis historiografi yang telah diajukan di awal: historiografi residensial dan historiografi representasial. Mengapa kedua historiografi tersebut juga tidak dapat memberi alternatif yang memadai bagi penulisan sejarah Islam Jawa?

Legitimasi Kekuasaan Kolonial dalam

Historiografi “Residensial” Islam Jawa

Pada bahasan sebelumnya, salah satu karakteristik historiografi residensial (yang dalam hal ini diwakili oleh historiografi kolonial) adalah menggunakan kuasa kepengarangan secara vulgar atas narasi Islam Jawa; ia berusaha “mendudukkan” (to reside residential) Islam Jawa sebagai objek yang benar-benar inferior di hadapan pengetahuan Barat. Historiografi ini mengontrol, menentukan, sekaligus menguasai narasi Islam Jawa ke dalam suatu diskursus penafsiran tertentu. Ia adalah orientalisme paling purba yang ditandai oleh munculnya generalisasi atas objek sejarah dari sisi waktu, tempat, hingga selera. Historiografi kolonial ini bekerja layaknya Oriental Studies yang dilakukan pertama-tama dengan membangun suatu area dikursif melalui kerja-kerja taktis, seperti penemuan, pengumpulan, hingga penerjemahan teks-teks Timur.

Selain J.W. Stapel yang telah disinggung singkat di awal, sebagian sarjana Eropa juga berusaha melihat Islam Jawa dalam kriteria dan standar masyarakat Eropa. Islam Jawa merupakan objek yang eksotis dan feminim bagi mereka, sehingga perdebatan tentang heterodoksi dan ortodoksi Islam di Jawa selalu menjadi perdebatan tak kunjung usai. Dalam The Venture of Islam (1974 [2]: 551), Hodgson menyayangkan kajian Geertz yang menciptakan miskonsepsi tentang sifat Islam Jawa; ia mengkritik Geertz karena tidak bisa menunjukkan mengapa pengaruh Hindu di Jawa begitu kecil, sementara kerajaan Islam begitu sempurna (Geertz’s comprehensive data show how very little has survived from the Hindu past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was so complete). Di sini, meskipun Hudgson terkesan membela Islam Jawa dari versi ‘heterodoksi’nya Geertz, ia tampaknya memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama ortodoks yang dianut oleh masyarakat Jawa, suatu kesimpulan yang sayangnya juga menjebak Hudgson pada lubang yang sama.

Kesan ‘ortodoksi’ yang dimunculkan oleh Hudgson mengingatkan kita pada Hurgronje yang—oleh Baso dalam Islam Poskolonial (2005: 43)—disebut sebagai ‘polisi kolonial’, karena menganggap bahwa Islam Jawa tak ubahnya sebagai ‘rezim baru’ di Nusantara (Hurgronje, 1957: 295). Hudgson, dengan demikian, sebagaimana Baso adalah polisi kolonial yang—alih-alih mengerdilkan peran Islam—memperlihatkan dirinya memiliki pengetahuan lebih terhadap Islam Jawa dibanding masyarakat Jawa itu sendiri. Ortodoksi Islam ini bahkan sebagian disuarakan dengan nada ‘rasial’. Sir Henry Yule (1903 [2]: 284) dalam The Book of Marco Polo menceritakan bagaimana sang penjelajah Italia yang konon pernah menganggap badak Sumatera sebagai unicorn itu menyebut Islam Jawa sebagai sekelompok saracens yang telah berhasil mengislamkan orang kota Jawa (This island, you must know, is so much frequented by the Sarancen merchants that they have converted the natives to the law of Mohammad – I mean the town people only…).  Di sini bisa terlihat bagaimana ortodoksi dan heterodoksi Islam Jawa yang dibangun oleh sarjana Barat pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk legitimasi kekuasaan kolonial atas Jawa itu sendiri.

Ilustrasi-ilustrasi di atas ditujukan untuk memperlihatkan bahwa historiografi kolonial pada hakikatnya ingin memahami Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) bukan dalam tempat yang sebenarnya, melainkan dalam kerangka berpikir Barat; bukan teritorial, melainkan sistem pemikiran Barat. Islam Jawa adalah dunia Timur yang sama sekali lain (the wholly other) bagi Barat, dan karena itulah dibentuk lembaga-lembaga kajian atas Islam Jawa.

Ilustrasi-ilustrasi di atas ditujukan untuk memperlihatkan bahwa historiografi kolonial pada hakikatnya ingin memahami Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) bukan dalam tempat yang sebenarnya, melainkan dalam kerangka berpikir Barat; bukan teritorial, melainkan sistem pemikiran Barat. Islam Jawa adalah dunia Timur yang sama sekali lain (the wholly other) bagi Barat, dan karena itulah dibentuk lembaga-lembaga kajian atas Islam Jawa. Seperti yang telah diurai dalam pembahasan sebelumnya, historiografi kolonial atas Islam Jawa semakin kuat dengan dibentuknya Institute for Javanese Studies di Surakarta. Sayang sekali, lembaga yang belakangan dianggap gagal ini (Sears, 1996: 85) kemudian digantikan oleh Delft Academy tahun 1842, yang kemudian dipindah ke Universitas Leiden pada 1864. Menurut catatan Uhlenbeck dalam Critical Survey (1964: 59), perpindahan Delft Academy ke Leiden menandai munculnya suatu disiplin akademik tentang Indonesia, khususnya tentang bahasa, sejarah, dan etnologi Jawa, dan Universitas Leiden menjadi salah satu mercusuarnya pada abad 17.

Pada abad inilah, Oriental Studies atas Islam Jawa mulai digalakkan. Upaya mencari teks-teks dan terjemahan ‘otentik’ tentang Jawa mulai dilakukan. Hikayat-hikayat Jawa mulai dicari dan dirawat. Bahkan, ranah ekonomi, politik, religius, dan ekonomi Jawa benar-benar dikontrol di bawah kebijakan kolonial Belanda. Catatan Saw Swee-Hock (2009: 85; bdk. Sears, 1996: 85) menunjukkan bahwa pada abad 17 inilah awal titik temu antara ranah politik dan ranah pengetahuan mencapai puncaknya di Belanda, ketika pemerintah kolonial Belanda saat itu berusaha menekan Islam sedemikian rupa dengan memunculkan teks-teks Ramayana dan Mahabarata versi Hindu-Jawa (a conjunction of scholarly and political domains appears here as th colonial government attempted to suppress Islam and as Dutch scholars began to reproduce “Hindu-Javanese” Ramayana dan Mahabarata texts). Dari sini terlihat bagaimana legitimasi kekuasaan kolonial dilakukan secara terang-terangan melalui suatu penguasaan tertentu atas pengetahuan (dalam hal ini, narasi sejarah) tentang Islam Jawa.

Historiogafi Representasional sebagai

Representasi Diri Yang-Terjajah

Kritik terhadap historiografi kolonial ini mulai muncul di negeri terjajah. Sayangnya, kesadaran baru terhadap pentingnya historiografi nasional, historiografi Indonesiasentris, atau historiografi modern ternyata menyisakan problem representasi yang tak kunjung usai. Dalam beberapa tahun terkhir, upaya mencari historiografi Indonesiasentris itu terus diupayakan di antara para sejarahwan dalam berbagai buku akademis atau bunga rampai (misalnya, Purwanto, 2005; Purwanto, 2007; Sri Margana, dkk., 2017) maupun dalam seminar-seminar, konferensi-konferensi, atau simposium-simposium sejarah (yang mutakhir, misalnya, Seminar Nasional Sejarah untuk Kebhinekaan dan Keindonesiaan pada 14-16 Desember 2017). Isu yang dihadapi kini bukan hanya soal legitimasi kekuasaan kolonial dan dekolonisasinya, tetapi jauh lebih rumit dan kompleks: bagaimana sejarah nasional dan modern itu dituliskan dan apa saja representasi yang dihadirkan di dalamnya. Menguatnya politik identitas dan meluasnya penggunaan sumber daya internet menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi historiografi nasional itu sendiri.

Bagaimana seharusnya Islam Jawa ditulis dalam historiografi nasional? Tulisan ini tentu tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, melainkan justru ingin mengajukan pertanyaan lain yang lebih filosofis: Mengapa Islam Jawa menjadi sedemikian penting dibahas dalam historiografi nasional? Bukan bagaimana seharusnya, melainkan bagaimana selama ini Islam Jawa dideskripsikan dalam historiografi nasional? Islam Jawa menjadi relevan justru karena sejauh ini deskripsi historis nasional atas Islam Jawa masih berutang budi pada sumber pengetahuan Barat. Jebakan terhadap dominasi pengetahuan kolonial ini tidak terlihat nyata sebagaimana dalam historiografi kolonial; ia justru tampil dalam deskripsi yang kabur dan ambivalen. Ambivalensi adalah salah satu konsep penting untuk melihat representasi diri dari yang-terjajah; representasi atas Islam Jawa dari orang Jawa atau Muslim itu sendiri.

Ingatan kita akan segera tertuju pada 30 April 2015 ketika Hamengkubuwono X mendeklarasikan sabda raja, sabda yang kontroversial di lingkaran keraton saat itu, bukan hanya Sri Sultan menghapus assalamualaikum dan khalifatullah, mengganti buwono menjadi bawono, mengubah sadesa menjadi sepuluh, melainkan juga karena ia menunjuk Gusti Pembayun sebagai penggantinya, suatu penunjukan yang dianggap banyak orang melanggar ketentuan UU Keistimewaan Pasal 1 Ayat 18. Relevansinya dengan Islam Jawa terletak pada deklarasi Sri Sultan saat itu yang dalam konteks Pascakolonial bersifat ambivalen: di satu sisi ia menolak segala narasi tentang Islam Arab, seperti assalamualaikum dan khalifatullah, namun ia juga menegaskan bahwa sabda Sultan adalah sabda Tuhan. Jika ditarik lebih jauh, menurut Fawaid (2015: 237), ambivalensi dalam sabda raja tersebut mengakar dari ambivalensi tokoh Nyi Roro Kidul dan deskripsi Sunan Kalijaga dalam Babad Tanah Jawi. Penokohan Nyi Roro Kidul, dalam buku-buku sejarah nasional selama ini, berada dalam ambang batas antara mitos dan fakta; ia memitologisasi tokoh Nyi Roro Kidul sebagaimana deskripsi kolonial pada umumnya, sementara ia menolak usaha pembuktiannya secara ilmiah karena dianggap tidak sesuai dengan standar minimal penulisan sejarah modern. Begitu pula, Sunan Kalijaga dianggap sebagai penyebar Islam di satu sisi, namun ia juga tidak menolak untuk mendeskripsikannya sebagai wali yang menggunakan wayang kulit, tradisi pra-Islam, untuk syiar Islam di sisi lain, suatu deskripsi yang khas kolonial-sentris. Peristiwa kejatuhan Plered pada 1677 juga jelas menunjukkan ambivalensi itu: di mana Mataram menolak dikuasi oleh Belanda, tapi ia justru menggunakan VOC untuk melawan Trunojoyo. Cerita-cerita di atas memperlihatkan secara sekilas betapa representasi atas Islam Jawa dalam historiografi nasional justru memperlihatkan—apa yang disebut Bhaba (1993: 34) sebagai—ambivalensi (ambivalence).

Meskipun ambivalen, menurut Bhaba, representasi tersebut bisa dilihat sebagai suatu strategi negosiasi kultural tersendiri. Meminjam konsep Derrida (1978: 44) tentang repetition with a difference (berulang tapi berbeda), historiografi nasional pada hakikatnya menunjukkan suatu kesadaran akan politik representasi alternatif. Di satu sisi, sejarah nasional ditulis untuk memperlihatkan kesadaran akan kebangsaan dan jati diri, namun ia masih menggunakan literatur-literatur Barat dan laporan VOC sebagai titik pijak. Dalam buku Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), Slamet Muljana menceritakan bagaimana rakyat Indonesia berjuang agar merdeka dari ancaman bedil dan bayonet (hlm. 257 dan 258), namun di sisi lain mereka menjadikan bedil dan bayonet  sebagai senjata melawan Belanda (hlm. 51). Kini, bedil malah digunakan sebagai salah satu senjata yang digunakan oleh bragada prajurit Keraton dan dipamerkan dalam acara-acara besar kesultanan. Ini adalah strategi kultural, kata Bhaba (2000: 139), sekaligus mimikri: mereka menolak VOC, tapi menggunakan gaya perang VOC dalam kesehariannya. Cerita-cerita ini menunjukkan betapa kuatnya narasi kolonial dalam historiografi nasional Indonesia.

Takdir terakhir historiografi diberikan kepada historiorafi modern. Pada historiografi ini, kita akan menemukan daftar panjang narasi sejarah Islam Jawa ditulis oleh para intelektual Barat dan Indonesia. Narasi-narasi itu umumnya bersifat interdisipliner, membahas perkembangan Islam Jawa dan tantangannya di era modern. Konsep-konsep baru pun bermunculan, misalnya dari Deliar Noer (1973) dengan ‘Muslim tradisionalis vs Muslim modernis’, Donald Porter (2002) dengan ‘Muslim politis vs Muslim kultral’, William Liddle & Saiful Mujani (2004) dengan ‘Muslim fundamentalis vs Muslim liberal’, hingga berbagai perspektif binerian lain, seperti great tradition vs little tradition dalam Islam (Redfield, 1955) dan global vs local Muslim (Eickelman, 1982; Manger, 1999; van Bruinessen, 1999). Pertanyaannya, mungkinkah konsep-konsep ini mampu menghindari diri dari dominasi kolonial? Historiografi modern atas Islam Jawa secara khusus dan/atau Islam Indonesia secara umum di atas ternyata masih menyimpan—apa yang disebut Gayatri Spivak (1988: 271) sebagai—kekerasan epistemik (epistemic violence) karena ia masih menyimpan ‘pengetahuan yang sophisticated, sehingga gagal merepresentasikan mereka yang ingin direpresentasikan’ (Victor, 2010: 46). Tidak hanya itu, historiografi seperti ini juga menghadapi masalah tersendiri, seperti (a) asumsi yang sentralistik/universalistik atas Muslim Jawa yang sebenarnya heterogen; (b) ketergantungan terhadap pengetahuan Barat untuk merepresentasikan orang Timur (dalam hal ini, Muslim Jawa) dibanding membiarkan mereka berbicara atas diri sendiri. Spivak (1988: 296), misalnya, mencontohkan bagaimana pemberontakan petani (peasant’s insurgency) dielaborasi sedemikian rupa ke dalam narasi sejarah yang cenderung tunggal dan sophisticated, sehingga kesadaran mereka nyaris tidak bisa didengar (irretrievable consciousness). Sindiran Spivak ini persis mengingatkan kita, misalnya, pada sejarah pemberontakan petani di Banten oleh Kartodirjo (1966). Meskipun mengesankan suatu narasi sejarah yang Islam-Jawa sentris dengan para kiai sebagai tokoh utama, apakah narasinya benar-benar merepresentasikan Muslim Jawa  apa adanya atau justru menjadikan pemberontakan mereka sebagai—apa yang disebut Spivak—‘objek investigasi’ dan ‘model tiruan’ semata?

Penutup 

Tulisan ini memperlihatkan cara kerja dua metode sekaligus, genealogi dan historiografi, untuk menggambarkan bagaimana dan mengapa konsep Islam Jawa begitu sentral digunakan dalam studi atas Jawa dan/atau Islam. Berdasarkan pada kajian Foucault (1977), genealogi digunakan sebagai pendekatan untuk menunjukkan bahwa pemahaman kita atas Islam Jawa tampaknya menyimpan problem teoretis yang serius. Dimulai dari masalah logical fallacy yang muncul dalam berbagai definisi tentang Islam Jawa, penulis ingin memperlihatkan cacat-cacat epistemologis dan manuver-manuver teoretis yang digunakan dalam berbagai literatur tersebut untuk mengurai masalah di atas. Mulai dari soal otentisitas hingga pengkafiran, masing-masing manuver ini menyimpan problem teoretisnya tersendiri. Meskipun diskursus yang diangkat di dalam literatur-literatur itu relatif bervariasi, masing-masing menunjukkan muara yang sama. Pada akhirnya, konsep Islam Jawa tidak bisa, bahkan malah mensalahtafsirkan, kondisi agama Jawa yang sebenarnya. Sehingga, kita akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekaligus: Mengapa para sarjana itu terus membicarakan Islam Jawa? Jika memang Islam Jawa itu benar-benar salah-tafsir, lalu dari mana datangnya misinterpretasi tersebut? Dengan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu, kita akan menemukan kemungkinan jawaban pertanyaan pertama. Genealogi menunjukkan bukan hanya Barat yang berkontribusi besar terhadap pembentukan definisi dan pemahaman kita atas Islam Jawa, tetapi juga Baratlah yang menganalogikan Islam Jawa dengan kultur dan agama mereka. Dengan demikian, kita bisa memiliki jawaban praktis atas pertanyaan pertama: bahwa konsep Islam Jawa masih digunakan hingga saat ini karena ia memiliki tradisi penelitian yang sangat panjang.

Historiografi pascakolonial (Prakash, 1992) menunjukkan cara kerja para sejarahwan dalam mengkonstruksi narasi tentang Islam Jawa mulai dari tahun 1800 hingga 2017 saat ini. Dimulai dari masalah jebakan ‘kolonial’ pada hampir semua narasi sejarah Islam Jawa, tulisan ini ingin memperlihatkan problem legitimasi kekuasaan dan representasi diri yang-terjajah dalam berbagai sumber sejarah tersebut. Mulai dari narasi sejarah yang secara vulgar memperlihatkan legitimasi kekuasaan kolonial hingga sejarah yang diam-diam melakukan kekerasan epistemik melalui representasi diri, masing-masing narasi tersebut menyimpan relasi kuasanya sendiri. Meskipun tema yang diangkat dalam literatur-literatur itu relatif beragam, masing-masing menunjukkan cara kerja yang sama. Pada akhirnya, historiografi Islam Jawa masih terus berada dalam ‘bayang-bayang kolonial’. Sehingga, kita akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekaligus: Mengapa narasi-narasi sejarah tersebut masih terjebak pada logika kolonial? Jika narasi sejarah terjebak pada logika kolonial, lalu bagaimana asal-muasal ideologi kolonial masuk ke dalam narasi-narasi itu? Sebagaimana genealogi, dengan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu, kita akan menemukan kemungkinan jawaban pada pertanyaan pertama. Historiografi pascakolonial menunjukkan bukan hanya Barat yang berkontribusi besar terhadap pembentukan legitimasi kekuasaan dalam narasi-narasi sejarah Islam Jawa, tetapi juga Muslim atau orang Jawa itu atau sejarahwan Indonesia sendirilah yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang kolonialisme itu sendiri. Dengan demikian, kita bisa memiliki jawaban atas pertanyaan pertama: bahwa narasi-narasi sejarah masih terjebak pada logika kolonial karena hingga saat ini ia terus direproduksi oleh riset-riset yang bahkan berhaluan Indonesiasentris sekalipun.

*) Tulisan ini hanyalah pengantar untuk memasuki riset lain penulis tentang Islam Jawa dan Politik Estetika R.Ng. Yasadipura I dalam 31 jilid Babad Tanah Jawi yang saat ini masih dalam proses penerjemahan kata per kata.

 

Baca: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I) Baca juga: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian II)

 

DAFTAR BACAAN

Afifi, Irfan. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Pojok Cerpen.

Anderson, Benedict R. O’G. (1972).“The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt,Culture and politics in Indonesia (hlm. 3-24).Itacha: CornellUniversity Press.

Asad, Talal. (1993).Genealogies of religion: discipline and reasons of power inChristianity and Islam.Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Azra, Azyumardi. (2004).The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenthand Eighteenth Centuries.Leiden: KITLV Press.

Bambang, T.D. (ed.). (2015). Buruh Menuliskan Pengalamannya. Bogor: LIPS dan Tanah Air.

Baso, Ahmad. (2005). Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan.

Baso, Ahmad. (2015). Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2015). Pesantren Studies 2a. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2016). Pesantren Studies 4a. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2016). Postradisionalisme Islam. Jakarta: Pustaka Afid.

Beatty, Andrew. (1999). Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. Cambridge: Cambridge University Press, Cambridge.

Beatty, Andrew. (2009).A Shadow Falls in the Heart of Java. London: Faber & Faber.

Berg, C. C. (1955). “The Islamisation of Java”,Studia Islamica,4, hlm. 111-142.

Berg, C. C. (1955). “Twee nieuwe publicaties betreffende de geschiedenis en de geschiedschrijving van Mataram”,Indonesië, VIII, ‘s-Gravenhage, hlm. 97-128, 231-269, 361-400.

Berg, C. C. (1957).“Babad en Babadstudie”,Indonesië, X, ‘s-Gravenhage, hlm. 68-84.

Berg, C. C., (1964). “The Role of Structural Organisation and Myth in JavaneseHistoriography: Commentary” (hlm. 100-103),The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 1.

Bhabha, Homi K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

Bhabha, Homi K. (2000). “The Vernacular Cosmopolitan”, dalam F. Dennis dan N. Khan (eds.), Voices of the Crossing: The Impact of Britain on Writers of Asia, the Caribbean and Africa (hlm. 120-143). London: Serpent’s Tail.

Boogart, Jochem v. d. (2015). “Rethinking Javanese Islam: Towards New Description of Javanese Traditions”, Dissertation, Leiden: University of Leiden.

Brandes, J. L. A. (1987/1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majaphit. VBG 54.1, Batavia/‘s-Gravenhage.

Bruinessen, Martin van. (1999). “Global and Local Islam in Indonesia”, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No. 2, 46-63.

Cohn, Bernard. (1987). “Anthropology and History in the 1980s: Towards A Rapprochement”. An Anthropologist among the Historians and Other Essays, (hlm. 49-77). Delhi: Oxford University Press.

Danarto. (1994). Orang Jawa Naik Haji & Umroh. Jakarta: Grafiti Press.

Derrida, Jacques. (1978). Writing and Difference, trans. Alan Bass. London: Routledge.

Djajadiningrat, Hoesein. (1913). Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Haarlem:  Joh. Enschede en Zonen.

Drewes, G.W.J., ed. (1954). Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw, Opnieuw Uitgegeven En Vertaald. Leiden: E.J. Brill.

Eickelman, Dale F. (1982). “Study of Islam in Local Contexts”, Contributions to Asian Studies, Vol. 17, 1-18.

Fawaid, Achmad. (2015). “Contesting Double Genealogy: Representing Rebellion Ambiguity in Babad Tanah Jawi”, Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage, Vol. 4, No. 2, 2015, 213-242.

Florida, Nancy K. (1995). Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Michigan: Duke University Press.

Foucault, Michael. (1977). “Nietzsche, Genealogy, and History,” dalam Donald F. Bouchard (ed.),  Language, Counter-Memory and Practice. Ithaca: Cornell University Press.

Geertz, Clifford (1960). The Religion of Java. New York: Free Press Paperback.

Graaf, H. J. de. (1958). De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram en die van zijn Voorganger Panembahan Seda-ing-Krapyak.Den Haag: ‘s-Gravenhage.

Graaf, H. J. de. (1961). De Regering van Sunan MangkuRat I Tegal-Wangi, Vorst van Mataram. Den Haag: ‘s-Gravenhage.

Groeneveldt, W.P. (1880), “Notes on the Malay Archipelago and Malacca compiled from Chinese sources”, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Vol. 39, 1-144.

Guha, Ranajit. (1984). “On Some Aspects of Historiography of Colonial India,” Subaltern Studies 1: Writings on South Asian History and Society (hlm. 3-47). Delhi: Oxford University Press.

Guinness, Patrick. (2009).Kampung, Islam and State in Urban Java. Honolulu: Universityof Hawai’i Press.

Hefner, Robert W. (1985).Hindu Javanese: Tengger tradition and Islam. Princeton, N.J.: Princeton University Press.

Hefner, Robert. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princenton: Princenton University Press.

Hilmy, Masdhar. (2008). “Towards A Religiously Hybrid Identity? The Changing Face of Javanese Islam”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 12, No. 1, 45-68.

Hock, Saw S. (ed.). (2004). The Politics of Knowledge. London: ISEAS.

Hodgson, Marshall. (1974). The Venture of Islam: The Expansion of Islam in the Middle Periods. New York: University of Chicago Press.

Hurgronje, C. Snouck. (1957). Selected Works of C. Snouck Hurgronje. Leiden: Brill.

Jamhari. (2000). “Pasang Surut Hubungan Agama-Agama Jawa”, Studia Islamika, Vol. 7, Vo. 1, 56-76.

Jamhari. (2002). “The Flow of Creed”, Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 132-1Vol. 9, No. 2, 132-165.

Kartodirjo, Sartono. (1966/[1984]). The Peasents Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Terjemahan Indonesia: Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Kasdi, Aminuddin. (2003). Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa 1726-1745. Yogyakarta: Jendela.

Keeler, Ward. (1987). Javanese Shadow Plays: Javanese Selves. Princeton: Princenton University Press.

Knockleman. (2007). “Agency: The Relation between Meaning, Power, and Knowledge,” Current Anthropology, Vol. 48, No. 3, 375-401.

Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kumar, Ann. (2013). Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Surrey: Curzon.

Laffan, Michael F. (2011), The Makings of Indonesian Islam: Orientalismand the Narration of a Sufi Past. Princenton: Princeton UniversityPress.

Legge, John. D. (1973).Sukarno: APolitical Biography. London: Allen LaneThe Penguin Press.

Leur, J.C. van. (1955). Indonesian Trade and Cociety: Essays in Social and Economic History. The Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.

Luthfi, Nasih A. (2018). “Mencari Historiografi Islam yang Mandiri”, https://alif.id/read/ahmad-nashih-luthfi/mencari-historiografi-islam-indonesia-yang-mandiri-b210311p/, (Diakses 20 Maret 2019).

Manger, Leif (ed.). (1999). Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts. Richmond: Curzon Press.

Margana, Sri, dkk. (2017). Menemukan Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.

Margana, Sri. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marsono (ed. & penerj.). (2008). Serat Centhini. Yogyakarta: UGM Press.

Mujani, Saiful, & R. William Liddle. (2004). “Islamism in Democratic Indonesia: Findings of a New Survey”, Journal of Democracy, Vol. 15, No. 1, 109-123.

Mulder, Niels. (2005 [1998]).Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Yogyakarta: Yogyakarta.

Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.

Muljana, Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKiS.

Noer, Deliar. (1973). The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. London: Oxford University Press.

Nordholt, Henk S. (2004). “De-colonising Indonesian Historiography,” Disampaikan dalam Seminar Internasional: Lecture Series “Focus Asia”, 24-27 Mei 2004 di Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University, Sweden.

Olthof, W.L. (1941/2012). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647.

Otterspeer, Willem. (1989). Leiden Oriental Connections: 1850-1940. Leiden: Brill.

Poeze, Harry A. (2008) Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Gramedia.

Porter, Donald J. (2002) Managing Politics and Islam in Indonesia. London & New York: Routledge Curzon.

Prakash, Gyan.(1992). “Postcolonial Criticism and Indian Historiography,” Social Text (hlm. 8-19. Durham:Duke University Press.

Pranowo, Bambang. (2009). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Praseto, Hendro. (1994). “A Javanese Response to Islamic Identity”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 2, 156-173.

Purwadi, Maharsi. (2005). Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jakarta: Tunas Harapan.

Purwanto, Bambang & Adam, Asvi W. (2013). Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Purwanto, Bambang. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak.

Puthut Ea (ed.). (2010). Nyanyian dari Pinggir Hutan. Yogyakarta: Insist Press.

Raffles, Thomas S. (1965). The History of Java. Oxford: Oxford University Press.

Ras, J. J. (1987). “The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the  Javanese Court Chronicle”, Bijdraget tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,  Vol. 143, No. 2 dan 3, hlm. 343-356.

Ras, J. J., “The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle”, Bijdraget tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 143, No. 2 dan 3 (1987), hlm. 343-356.

Redfield, R. (1955). The Little Community. Chicago: University of Chicago Press.

Ricklefs, M. C. (1972). “A Consideration of Three Versions of the ‘Babad Tanah Djawi’, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 35, No. 2, 285-315.

Ricklefs, Marle C.  (2012), Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Culturaland Religious History, c. 1930 to the Present. Singapore: NUS Press.

Ricklefs, Marle C. (2006).Mystic Synthesis in Java: AHistory of Islamization from the Fourteenthto the Early Nineteenth Centuries. Norwalk CT: EastBridge.

Ricklefs, Marle C. (2007).Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, c. 1830-1930. Leiden: KITLV Press.

Said, Edward W. (1978). Orientalism. London: Pengin.

Salim, Agus. (2013). berjudul “Javanese Religion, Islam or Syncretism: Comparing Woordward’s Islam in Java and Beatty’s Varieties of Javanese Religion”, International Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 3, No. 2, 223-266.

Scott, James. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven/London: Yale University Press.

Sears, Laurie J. (1996). Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales. New York: Duke University Press.

Shaleh, Fauzan. (2001). Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey. Leiden: Brill.

Sila, Muhammad. (2011). “Memahami Spektrum Islam di Jawa”, Studia Islamika, Vol. 18, No. 3, 32-53.

Soenarto, Ermita. (2005). “From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in Contemporary Indonesia’s Popular Genres”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 78, No. 2, 33-82.

Spivak, Gayathri C. (1988). In Other Worlds: Essays in Cultural Politics. London: Routledge.

Spivak, Gayathri C. (1988). Subaltern Studies: Deconstructing Historiography,” dalam Ranajit Guha & Gayatri Spivak, Selected Subaltern Studies (hlm. 3-32). New York: Oxford University Press.

Spivak, Gayatri C. (1988). “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary Nelson and Lawrence Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture (hlm. 271-313). Chicago: University of Illinois Press.

Stapel, F.W. (1938-1940). Geschiedenis van Nederlandsch-Indië: 5 Volume. Amsterdam: Joost van den Vondel.

Steenbrink, Karel A. (1993).Dutch Colonialism and Indonesian Islam.Contacts and Conflicts 1596-1950.Atlanta: Rodopi, Amsterdam.

Sunyoto, Agus (1990). Sejarah Perjuangan Sunan Ampel. Surabaya: LPLI-Sunan Ampel.

Uhlenbeck, E.M. (1964). A Critical Survey of Studies on the Language of Java and Madura. The Gaue: Nijhoff.

Victor, Royce M. (2010). “Colonial Education and Class formation in the Early Judaism: A Postcolonial Reading,” Journal of Postcolonial Theory and Theology, Library of Second Temple Studies. London and New York: T&T Clark.

Wessing, Robert. (2010). “Porous Boundaries. Addressing calamities in East Java, Indonesia”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, Vol. 166, No. 1, 49-82.

Woodward, Mark R. (1988). “The ‘Slametan’: Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam”, History of Religions, Vol. 4, No. 1, 54-89.

Yule, Sir H. (1903). The Book of Ser Marco Polo, the Venetian Concerning the Kingdoms and Marvels of the East (Vol. 2). London: Penguin Classics.

 

Melacak Diskursus Islam Jawa

Steenbrink (1993) menguji berbagai studi kolonial terhadap Islam Jawa. Steenbrink menyatakan bahwa kolonialisme cenderung memandang Islam secara negatif, suatu kesimpulan yang khas ditemukan dalam tradisi Pascakolonial saat itu. Tulisan ini—meskipun memiliki persamaan historis dengan penelitian Steenbrink—berbeda dengan Steenbrink karena penelitiannya tidak berusaha menjelaskan bagaimana Islam Jawa itu dikonstruksi dalam kerangka kolonial. Steenbrink hanya berhenti pada kesimpulan bahwa Islam Jawa (atau Islam Indonesia) merupakan sesuatu yang given, yang terjadi sedemikian adanya dalam kultur masyarakat Jawa, namun ia tidak lebih jauh mempertanyakan, baik secara epistemologis maupun ontologis, mengapa entitas yang given itu terjadi.

Laffan (2011) selangkah lebih maju dari Steenbrink karena ia tidak hanya menegaskan bahwa Islam Jawa merupakan wacana orientalis, melainkan juga karena ia melakukan kritik epistemologis terhadap gagasan para reformis Islam yang berusaha mengembalikan Islam Jawa ke dalam epistemologi sufisme dan thariqah, suatu kritik yang sebenarnya justru mengingatkan kembali pada representasi para orientalis atas Islam Jawa. Sayangnya, meskipun kritik Laffan memiliki resonansi teoretis dengan apa yang dilakukan oleh penulis, ia masih terjebak untuk mendefinisikan Islam Jawa sebagai Islam sinkretis, suatu jalan keluar yang justru membuatnya kembali terjebak pada diskursus kolonial seperti yang telah penulis jelaskan sejak awal.

Talal Asad (1993), yang mendasarkan analisisnya pada paradigma antropologi kontemporer, melancarkan kritik terhadap para sarjana Barat, seperti Geertz, yang cenderung melakukan universalisasi Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para orientalis Barat yang mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang sui generis. Padahal, menurut Asad, agama merupakan produk dari sistem sosial dan politik yang partikular dan khas. Karena itulah, Asad kemudian mengajukan proposisi tentang pentingnya melakukan kajian agama ke dalam partikularitasnya, keunikannya, dan keragamannya, alih-alih mencoba melakukan generalisasi dan menawarkan satu definisi universal tentangnya. Sayangnya, Asad lagi-lagi terjebak ke dalam esensialisasi, karena proposisi tentang partikularitas Islam Jawa, dan usahanya untuk mempertahankan proposisi tersebut sebagai satu-satunya diskursus yang mungkin untuk menolak universalitas, merupakan esensialisasi dalam bentuknya yang lain.

Apa yang dilakukan oleh Asad ini juga direproduksi oleh Joem van Boogart (2013), yang mencoba mengkritik representasi orientalis Barat atas Jawa Islam dengan menawarkan konsep agama sebagai entitas eksperiental. Ia memang menolak universalisasi agama dan menganjurkan heterogenitas elemen agama; tetapi konsepsinya tentang agama sebagai entitas eksperiental berada dalam satu bangunan epistemologis yang sama dengan Asad. Meskipun Boogart mengakui dalam risetnya tersebut bahwa dirinya tidaklah meniru analisis Asad, ia sebenarnya juga menempuh jalan yang sama dengan kendaraan yang tidak jauh berbeda, yakni penolakan terhadap universalitas. Penolakan Boogart terhadap universalitas berpotensi membuatnya terjebak pada esensialisasi dalam bentuknya yang lain. Kerentanan untuk terjebak dalam esensialisasi ini semakin tampak ketika Boogard menyebut kebudayaan Barat sebagai sepenuhnya Kristen dan—dengan demikian mengajukan suatu oposisi biner—kebudayaan Timur yang bersifat ritual dan praksis.

Kerja historiografis atas Islam Jawa sebenarnya sudah banyak dilakukan; setidaknya, kajian tersebut sudah dimulai sejak J.L.A. Brandes menerbitkan Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majaphit (1897/1920) yang dengan menggunakan Pararton edisi 1897, menyebut bahwa inilah dekrit resmi dan versi otoritatif tentang sejarah Islam Jawa dalam periode tertentu, yakni setelah tibanya Belanda ketika Mataram masih menjadi satu-satunya kekuasaan politik yang dominan di Jawa.

Tahun 1913, Hoesein Djajadiningrat melalui Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) juga berasumsi bahwa sejarah Islam Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak jatuhnya Kerajaan Plered pada 1677, yang berarti bahwa Sejarah Banten bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang berusaha menyusun Historiografi atas Islam Jawa. Di kesempatan lain, De Graaf yang menyusun serial monografis De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga (1954), De Regering van Sultan Agung (1958), dan De Regering van Sunan Mangkurat I Tegalwangi  (1961) untuk melengkapi kisah yang hilang dari Babad Tanah Jawi versi Major Babad juga menjelaskan sejarah Islam Jawa bahkan bisa dilacak dari status pengarang Babad Tanah Jawi yang konon merupakan wali Muslim pertama di Kerajaan Sultan Agung: Sunan Kalijaga.

Sementara itu, C.C. Berg yang menulis Twee nieuwe publicaties betreffende de geschiedenis en de geschiedschrijving van Mataram (1955) dan Babad en Babadstudie (1957) meyakini bahwa kedatangan Islam dan kejatuhan Majapahit terjadi secara berkesinambungan (tidak terputus), karena babad-babad yang ditulis tentang Mataram ternyata memiliki prototipe yang mirip dengan babad-babad yang ditulis tentang kerajaan-kerasaan sebelumnya, seperti Majapahit dan Singasari (Berg, 1964: 102; Berg, 1955: 132). Meski demikian, menurut J.J. Ras dalam The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle (1987), sejarah Islam Jawa sebaiknya dilihat dari testimoni internal dari teks Jawa itu sendiri (dalam hal ini Babad Tanah Jawi) ditambah dengan data yang diperoleh dari kondisi keraton di mana teks itu lahir. Kajian historiografis atas Islam Jawa oleh para sarjana Barat itu terus direproduksi dan diwarisi oleh para sarjana kita di Indonesia, misalnya Purwadi (2005), Pranowo (2009), dan Sunyoto (1990) yang meskipun menjadikan sejarah Islam Jawa sebagai topik utama, masih belum ditemukan usaha analitisnya dalam kerangka pascakolonialitas.

Akan tetapi, dari sekian usaha pelacakan Genealogi konsep Islam Jawa dalam kerangka historiografis, terdapat dua riset yang bisa dipertimbangkan karena relevan dengan apa yang sedang penulis lakukan saat ini. Di antaranya adalah kajian Ann Kumar dalam Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (1997) yang, dengan menggunakan catatan pribadi (diary) Mangkunegaran, menegaskan bahwa tradisi dan praktik Islam sudah lama dilakukan di dalam tembok istana. Dikatakan bahwa Mangkunegaran sangat dekat dengan aktivitas Islam dengan membaca Koran, Kitab Turutan dan Tasbeh; bahkan ia termasuk salah satu Muslim yang taat menjalankan ibadat dan jumungahan (shalat Jum’at). Kumar mengkritik historiografi Jawa yang umumnya cenderung menggunakan literatur-literatur sarjana Barat dan arsip-arsip VOC sebagai sumber primer, sementara teks literatur dari Jawa itu sendiri seringkali dijadikan ilustrasi semata. Sayangnya, Kumar tidak melengkapi analisis historiografisnya dengan melacak perkembangan epistemologis dari konsep-konsep yang dibangun oleh para historiografer Barat tentang Jawa, pun ia juga tidak menempatkan kajian sejarahwan Barat atau Eropa terhadap naskah-naskah Jawa dalam kerangka pascakolonial. Meski demikian, tradisi historiografi yang dijalankan oleh Kumar, sejauh pengamatan penulis, cukup berhasil memberi kontribusi bagaimana sejarah dibangun pertama-tama melalui pendekatan langsung terhadap sumber-sumber arkaik seperti diari Mangkunegaran.

Hal yang sama dilakukan oleh Nancy K. Florida dalam Writing the Past: Inscribing the Future (1995) yang menawarkan suatu perspektif babad alternatif tentang sejarah Jawa sebagai nubuat (prophecy). Melalui kerja keras penerjemahan Babad Jaka Tingkir, sebuah teks sastra Jawa yang ditulis tahun 1829, Florida mempertanyakan seluruh historiografi Jawa yang dihasilkan oleh para sejarahwan sebagai produk politik dan personal saat itu. Salah satu yang ia tawarkan adalah bagaimana perdebatan atas arah kiblat dalam mihrab Masjid Demak menjadi salah satu bukti bahwa Muslim Jawa ternyata memiliki cara tersendiri untuk merepresentasikan diri mereka sendiri, bahkan dalam soal ibadah sekalipun. Kerja analisis Florida yang luar biasa ini memberikan jalan tersendiri bagi penulis dalam menjelaskan bagaimana Islam Jawa saat itu merupakan produk dari kesejarnaan Barat. Analisis Florida membantu penulis melihat betapa konsep Islam Jawa saat itu pada hakikatnya bukanlah murni dari Jawa, melainkan istilah yang diciptakan oleh sarjana Barat untuk mendefinisikan Islam dan Jawa, sekaligus menjelaskan posisi mereka sebagai outsider di Jawa. Kerja keras Florida yang telah dicurahkan lebih dari 1 dekade menyeleksi dan menerjemahkan dokumen-dokumen sejarah di Keraton Surakarta tersebut memperlihatkan tidak ada definisi yang tunggal dan universal tentang Islam Jawa sebagaimana yang dilakukan oleh para sarjana Barat lain.

Ilmuwan Indonesia yang tidak hanya mengkaji diskursus kolonial Islam Jawa, melainkan juga menawarkan kajian tandingan adalah Ahmad Baso yang mulai dikenal dengan bukunya berjudul Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (2005). Meskipun tidak disertai dengan perangkat metodologis yang jelas, buku ini setidaknya menempuh cara kerja historiografis untuk melacak sengkarut relasi antara tiga entitas tersebut seraya mengkritik para orientalis Islam, seperti Hurgronje, yang dianggapnya sebagai “polisi kolonial.” Selain kritiknya terhadap Hurgronje dan para orientalis lain, yang juga dilakukan oleh Baso adalah strateginya untuk tetap otodidak mempelajari naskah-naskah Jawa kuno dalam mengkaji apa yang belakangan ia sebut sebagai “Islam Nusantara” itu dengan menulis karya-karya lain yang sejenis, seperti Pesantren Studies (2015-2016), Islam Nusantara(2015), Postradisionalisme Islam (2016), dan sebagainya. Meskipun konsep “Islam Nusantara” nya berpotensi terjebak pada universalisasi atau esensialisasi dalam bentuknya yang lain atas Islam Jawa dan/atau Islam lokal itu, kajian Baso ini jelas memberi bahan tersendiri bagi penulis untuk melihat bagaimana cara kerja historiografisnya dalam mengkritik para sarjana Barat, termasuk juga bagaimana kajian Baso pun tak bisa lepas dari cara berpikir Barat itu sendiri.

Kajian Islam Jawa sebagai diskursus kolonial juga terus digalakkan melalui berbagai lingkar studi dan paguyuban. Tahun 2017, misalnya, Fakultas Aqidah dan Filsafat IAIN Tulungagung meluncurkan laboratorium Penelitian Islam Jawa (Institute for Javanese Islam Research), yang agendanya antara lain menyelenggarakan diskusi, short course, dan riset serta publikasi tentang Islam Jawa. Tahun 2017, laboratorium ini juga menyelenggarakan dua putaran Orasi Ilmiah dan Kebudayaan yang diisi oleh Ahmad Najib Burhani (Peneliti Senior LIPI) tentang “Menimbang Ulang Narasi-Narasi Besar Islam Jawa dalam Memandang Islam, Jawa, dan Muhammadiyah” dan Masdar Hilmy (Rektor UIN Surabaya) tentang “Sinkretisme/Akulturasi Islam Jawa: Narasi Islam Jawa sebagai Produk Kolonialisme dan Orientalism”. Selain IAIN Tulungagung, Langgar.co bekerjasama dengan Galeri Seni Sarang Building dan Saidian Institute Yogyakarta juga menggelar forum bertajuk “Suluk Kebudayaan Indonesia” putaran pertama dan kedua sepanjang April dan Agustus 2019. Forum yang menghadirkan para pemerhati Islam dan Jawa, seperti Hasan Basri (Lesbumi), Irfan Afifi (Langgar.co), Mahfud Ikhwan (Sastrawan), dan Hairus Salim (Budayawan) diselenggarakan untuk membicarakan—sebagaimana namanya—berbagai hal ihwal tentang kebudayaan Indonesia, namun lebih spesifik tentang Islam Jawa. Putaran pertama forum itu, antara lain, mengangkat masalah “ngelmu” di Jawa dan menjadi Jawa tanpa nonton wayang. Putaran kedua lebih spesifik, karena selain penulis terlibat juga dalam mendiskusikan historiografi Islam Jawa, juga terdapat tema lain yang disampaikan oleh Katrin Bandel, Indonesianis asal Jerman, tentang Menjadi Muslim, Menjadi Jawa, termasuk di dalamnya Ahmad Baso, yang karya-karyanya sebagian akan penulis bahas dalam tulisan ini, membahas soal Walisanga dalam teks Makasar Bugis, serta Irfan Afifi yang menulis “Saya, Jawa, dan Islam.”

Apa yang dilakukan oleh IAIN Tulungagung dan Langgar.co merupakan sebagian bukti tentang mulai munculnya suatu kesadaran kolektif akan perubahan paradigma (paradigm shift) dari—apa yang dikenal sebagai—kolonial-sentris menuju “Indonesia-sentris” atau “Jawa-sentris.”

Namun, pertanyaan yang muncul pun juga sama: Apakah usaha-usaha ini benar-benar mampu menyajikan suatu kritik akademis yang memadai terhadap diskursus kolonial Islam Jawa yang sudah semakin membumi itu? Atau justru forum-forum itu, sebagaimana yang juga dipertanyakan pada karya-karya Ahmad Baso, akan terjebak pada esensialisasi dan universalisasi dalam bentuknya yang lain?

Baca: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I) Baca juga: Terikat Jawa dan Takjub Eropa

Javanologi: Islam Jawa dalam Genealogi “Kolonial”

Menempatkan Islam Jawa sebagai objek riset merupakan tantangan tersendiri, bukan hanya karena ia telah diteliti oleh ratusan riset dari berbagai disiplin ilmu dan pendekatan, melainkan juga karena konsep tersebut telah sedemikian masif diposisikan sebagai sesuatu yang given dan taken for granted dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa, termasuk oleh kalangan terpelajar Indonesia. Menempatkannya dalam kerangka kritik berarti melawan suatu arus besar yang telah begitu lama menjadikan Islam Jawa sebagai narasi kunci dalam dunia kesarjanaan kita selama ini. Islam Jawa menarik, bukan hanya karena ia sampai detik ini terus dibicarakan (sebagai objek) dalam berbagai kajian dan forum akademis, melainkan juga karena Islam Jawa turut membentuk (sebagai subjek) berbagai disiplin keilmuan lain, seperti Javanese Studies atau Javanology.

Sejauh pengamatan penulis, belum ada riset komprehensif yang menunjukkan kapan persisnya Javanese Studies muncul sebagai satu kajian akademik.

Dalam sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Ricklefs (1972) disebutkan bahwa setelah Perang Jawa (1825-1830), ada kebutuhan bagi orang Eropa untuk mempelajari bahasa Jawa, sehingga di Surakarta dibentuklah Java Institute (1832-1843) yang dibangun oleh Pakubuwana VII atas inisiasi C.F. Winter, Sr (1799-1859), seorang sarjana Barat yang lahir dan meninggal di Jawa Tengah, dan penerjemah naskah-naskah Jawa termasuk naskah Babad Tanah Jawi versi tembang macapat. Jika dirunut lagi ke belakang, sekitar 1840an di Belanda, sudah ada Javanese Studies yang dididirikan oleh Prof. Taco Roorda (1801-1874), seorang sarjana Eropa yang, seperti Arthur Waley, tidak pernah berkunjung ke area (Jawa) yang ia teliti.

Sejak saat itu, kajian terhadap naskah-naskah Jawa terus dilakukan. Berbagai lembaga, instansi, dan pranata juga dibangun untuk mengkaji Jawa. Untuk menyebut beberapa saja, di Universitas Sebelas Maret Surakarta terdapat lembaga kajian bernama Insitute Javanologi, di Universitas Indonesia juga dibangun Program Studi Jawa atau Javanese Studies. Ini belum termasuk lembaga-lembaga atau prodi-prodi lain serta forum-forum akademik rutinan yang diselenggarakan dengan tagline “Studi Jawa”, “Islam Jawa”, “Sinkretisme Jawa”, dan seterusnya. Hal ini menjelaskan apa yang disebutkan di awal bahwa Islam Jawa kini tak lagi menjadi objek kajian seperti yang terjadi pada abad ke-15 hingga ke-16, sejak akhir abad ke-17 ia justru mampu membentuk dan mengafirmasi diri dalam pranata-pranata akademis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Akan tetapi, satu hal yang pasti, menurut Boogart (2015), Javanese Studies merupakan produk merkantilis dan politis sarjana Barat yang semakin hari semakin kuat mengakar dalam dunia intelektual kita saat ini. Begitu dominanya Javanese Studies hingga ia mampu menciptakan suatu disiplin akademik tersendiri yang dengannya mereka mengkaji dan memahami alam pikir kebudayaan non-Barat. Disiplin ini utamanya muncul dalam kajian sejarah (filologi), antropologi (etnografi), dan kajian agama (lokalitas). Meskipun saling berjalin kelindan, ketiganya berbeda dalam sumber data bahwa yang pertama menggunakan teks sebagai pintu masuk, yang kedua menggunakan pengalaman emic, sementara yang terakhir menggunakan—namun tidak selalu—ritus dan laku spiritual.

Kajian-kajian ini, sebagai suatu disiplin pengetahuan, memang berfungsi ‘mendisiplinkan’ pengetahuan tentang Jawa, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Pendisiplinan ini, dengan berbagai implikasi praksisnya, merupakan strategi kolonial untuk mengawasi Jawa dari jauh hingga ke wilayah paling intim, yakni pengetahuan dan kesadaran kolektif.

Dalam studi pascakolonial, baik dalam arti politis maupun akademisnya, kajian atas kebudayaan Timur umumnya dimasukkan dalam kerangka Studi Wilayah (Area Studies). Kajian-kajian tersebut, yang dipelopori utamanya oleh para sarjana atropologi, studi agama, dan filologi, memang digarap dalam perspektif interdisipliner, namun wilayah yang mereka imajinasikan tetaplah sama. Dalam hal ini, kita mengenal Latin American Studies, Middle Eastern Studies, Pacific Studies, juga European Studies,termasuk juga di dalamnya adalah Southeast Asian Studies yang memiliki subdisiplin ilmu seperti Indonesian Studies dan pada akhirnya Javanese Studies (Javanologi). Dengan demikian, ketika muncul istilah Studi Jawa dalam riset ini, ia berarti merujuk pada—apa yang dikatakan Edward W. Said sebagai—suatu ‘geografi imajiner’ (imaginative geography) atas sebuah wilayah bernama Jawa di mana kebudayaan utamanya adalah Jawa.

Baca: Islam Jawa: Perlawanan Petani dan Ketersingkirannya

Eropa/Neerlando-sentris: Islam Jawa dalam Historiografi “Kolonial”

Tidak cukup hanya dengan melacak narasi-narasi kunci Islam Jawa. Menurut Nurdholt (2004), dibutuhkan pula usaha untuk membongkar sejarah genealogi yang mengkonstruksi dan merekonstruksi teks-teks itu. Karena itulah, bagi penulis, asal-muasal epistemologis Islam Jawa perlu didukung oleh kajian atas munculnya Islam Jawa menurut para sejarahwan. Jika genealogi berfokus pada asal-muasal dan kritik terhadap jejaring intelektual Islam Jawa, maka historiografi berfokus pada bagaimana Islam Jawa itu dideskripsikan dalam teks-teks sejarah. Islam Jawa, bagaimanapun, merupakan hasil dari relasi yang kompleks antara dua proses tersebut.

Ada usaha kolektif untuk menarasikan sejarah nasional pada akhir abad 19, yang berimplikasi pada ditransformasikannya subjek-subjek sejarah menjadi sejenis ‘warganegara baru’ (new citizens). Dalam Seeing Like a State (1998), James Scott menunjukkan bagaimana institusi negara telah mereduksi kompleksitas kenyataan ke dalam gagasan-gagasan bangsa yang sederhana dan simplistik dalam rangka mengontrol dan menguasai warganya. Historiografi nasional adalah usaha sistematis pertama untuk mereduksi narasi-narasi kompleks, multidimensional, yang umumnya muncul dalam sejarah lokal, ke dalam satu metanarasi bernama ‘negara-bangsa’. Dari narasi-narasi tersebut, sebuah biografi atas Indonesia mulai disusun, cerita-cerita kemerdekaan mulai diceritakan dan diajarkan di ruang-ruang kelas.

Para pahlawan ditulis, kemenangan dan pertempuran diceritakan secara heroik, yang nantinya bisa membentuk persepsi masyarakat atas sejarah bangsanya sendiri. Simplifikasi negara semacam ini membuat pengetahuan lokal umumnya tereduksi atau justru hilang sama sekali. Inilah sejarah tanpa bangsa (history without people), sejarah yang kehilangan narasi bangsanya sendiri.

Nasib sejarah Islam Jawa tampaknya tidak jauh berbeda dari, dan memiliki relasi historis yang kuat dengan, nasib sejarah Indonesia itu sendiri. Sekalipun Islam Jawa tampak seperti narasi lokal, ia tetaplah objek sejarah, yang disubjektivasi sedemikian rupa untuk menjelaskan secara reduksionistis kompleksitas lokal di Jawa. Sehingga, disusunlah berbagai buku dan ensiklopedi tentang Islam di Jawa, Islamisasi Jawa, atau Jawaisasi Islam. Masalahnya, historiografi atas Islam Jawa itu sendiri dipenuhi dengan cerita-cerita kebesaran Eropa, Belanda, atau VOC. Pada abad ke-17, misalnya, Belanda berhasil menguasai Jawa dengan membangun Batavia, yang belakangan dikenal sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch), dan menyempurnakan bentuknya menjadi negara kolonial dengan nama imajinernya ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland).

Kuatnya pengaruh Belanda terhadap pembentukan ide kebangsaan, keagamaan, hingga kemasyarakatan di Jawa ini menjelaskan mengapa dulu muncul banyak sejarahwan Barat yang mengklaim diri mampu menjelaskan sejarah Jawa dari zaman pra-kolonial, kolonial, hingga pascakolonial. Dibangun pula lembaga-lembaga kajian Jawa seperti Javanese Institute sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Kajian mereka umumnya menempatkan Jawa, masyarakat dan agamanya, dalam posisi yang relatif marjinal dibanding VOC atau Belanda. Pun juga, deskripsi atas Islam Jawa dalam historiografi kolonial umumnya dipenuhi dengan mitologi, istana sentris, dan cerita kepahlawanan (Fawaid, 2015). Dalam perspektif pascakolonial, historiografi semacam ini belakangan dikenal sebagai historiografi Neerlandosentris, karena ia ditulis bukan semata-mata oleh, melainkan—yang terpenting—melalui kacamata orang Belanda atau Barat.

Menurut Kuntowijoyo (2008: 9), setidakanya terdapat empat tipikal historiografi Islam di Jawa, antara lain: (a) historiografi tradisional, yakni historiografi yang dimulai dari zaman Hindu-Buddha sampai masuk dan berkembangnya Islam di Jawa, yang ditemukan dalam banyak prasasti dan naskah kuno, seperti hikayat dan babad, dan corak penulisannya memiliki ciri-ciri, seperti bersifat kedaerahan, mengabaikan unsur fakta, kepercayaan atas  kekuatan sakti, dan sakralitas seorang figur; (b) historiografi kolonial, yakni historiografi yang dimulai dari masuknya kolonialisme ke Indonesia, masuknya VOC ke Jawa, yang ditemukan dalam banyak laporan VOC karena umumnya ditulis sebagai laporan kepada pemerintah kerajaan Hindia Belanda; (c) historiografi nasional, yakni historiografi yang dimulai tahun 1945 sejak Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, yang ditulis umumnya oleh orang Indonesia untuk menceritakan babakan waktu sejarah nasional dan kepahlawanan seseorang; dan (d) historiografi modern, yakni historiografi yang muncul sekitar tahun 1957 ketika muncul kesadaran tentang pentingnya metode dan teori sejarah dalam historiografi, suatu kesadaran yang pada akhirnya melahirkan apa yang telah disebut dimuka sebagai kajian wilayah (area studies), dan historiografi Islam Jawa merupakan cabang dari kajian Indonesiasentris yang masuk dalam kategori Asean Studies.

Baca: Kosmopolitanisme Pesantren: Arab Digarap, Jawa Digawa

Javanologi dalam Kritik Pascakolonial

Islam Jawa, sebagaimana yang telah diurai di muka, berhasil menjadi objek kajian yang menarik bagi Barat, dan ia terus direproduksi hingga menjadi subjek yang turut membentuk turunan dan pranata diskursifnya. Salah satu turunan diskursif yang paling nyata adalah munculnya disiplin pengetahuan semacam Javanese Studies atau Javanology atau Islamology, yang menempatkan Islam Jawa pertama-tama sebagai suatu diskursus yang terus hidup hanya dalam kemungkinanya untuk dikaji dan direproduksi kembali. Dalam konteks kritik pascakolonial, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah siapa yang mengkaji dan siapa yang sebenarnya dibicarakan dalam kajian ini?

Sayangnya, harus dikatakan, studi Islam Jawa pertama kali memang lahir di Belanda melalui prakarsa Prof. Taco Roorda dengan Javanese Studies-nya dan C.F. Winter dengan Java Institute-nya. Kedua pranata ini, meskipun di dalamnya turut melibatkan pujangga besar sekelas Ranggawarsita dan begawan keraton Mangkunagara, pada akhirnya melahirkan beragam kajian (sejarah, antropologi, filologi) yang terus digunakan oleh para sarjana Indonesia saat ini untuk mengkaji Islam Jawa.

Masalahnya, kajian-kajian tersebut, karena memang lahir dari rahim ideologis peradaban Barat, menampilkan superioritas ego kolonial yang menempatkan Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) sebagai objek, sehingga relasi kuasa pengetahuan atas Islam Jawa itu sendiri menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

C.F. Winter sendiri (1799-1859) merupakan filolog Belanda yang lahir di Jawa; ia menulis dan menerjemahkan banyak karya sastra Jawa tradisional. Bahkan, ia adalah satu dari sekian filolog yang mendapat kesempatan langka bekerjasama dengan para pujangga Surakarta (utamanya Ranggawarsita II, Ranggawarsita III, dan Mangkunagara IV) untuk menulis berbagai kitab Jawi. Selain menjabat Wakil Direktur Surakarta Institute yang dibentuk oleh pemerintah kolonial saat itu (1834-1843), ia adalah salah seorang yang paling giat menginisiasi lahirnya akademi Javanologi (academic Javanology) di tanah Jawa. Sementara itu, Prof. Taco Roorda (1801 – 1874), yang menginisiasi Javanese Studies di Belanda melalui Delf Academy pada 1848, hakikatnya seorang teolog Belanda yang tidak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa namun menulis kamus bahasa Jawa. Dalam bukunya Javaanesche Grammatica, benevens een Leesboek tot oefening in de Javaansche Taal (Tatabahasa Jawa berikut Buku Bacaan untuk Latihan Jawa), ia berterima kasih kepada J.A. Wilkens dan C.F. Winter karena telah membawakan seorang Jawa, yang konon bernama Moentajib Moeda (Otterspeer, 1989: 251; sebagian versi menyebut Sastratama [Poeze, 2008: 16]), yang menurutnya “sangat beradab, seorang juru tulis Patih Surakarta yang dapat berbicara dan menulis bahasa ibunya dengan baik walaupun tidak berpendidikan cukup.”

Xenophobia atau “ketakutan terhadap yang-lain” sangat tampak dalam berbagai historiografi atas Islam Jawa. Pernyataan Van Leur dan Stapel, seperti yang telah disinggung di depan, merupakan salah satu contoh xenophobia tersebut. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Harry A. Poeze (2008) juga menuturkan seorang Muslim Jawa bernama Kadjo, seorang abdi dhalem Surakarta, yang dianggap tidak terampil, tidak becus bekerja bahkan untuk urusan-urusan sepele. Diceritakan bahwa suatu ketika C. Coenaes, seorang penyewa tanah di Surakarta sempat berkali-kali minta perhatian Sunan Surakarta tentang tidak terampilnya para tukangnya; katanya, lonceng dan arlojinya dipercayakan kepada orang yang tak terlatih; dan penanganan barang-barang emasnya pun buruk sekali. Kekurangan itu barangkali, menurut Poeze, dapat diatasi jika salah seorang abdi Susuhan itu diperintahkan mengikuti pendidikan di Eropa (hlm. 16).

Usaha J.A. Wilkens, J.F. Winter, Prof. Taco Roorda, dan para sarjana Barat pra-kolonial menjelaskan apa yang disebut Edward Said sebagai Oriental Studies. Kajian filologi, linguistik, etnografi, hingga historiografi merupakan disiplin pengetahuan yang dimulai pertama-tama melalui proses kompilasi, penyusunan kamus dan ensiklopedi, hingga penerjemahan teks-teks Timur. Penerjemahan teks-teks sastra yang dilakukan oleh Winter dan penyusunan kamus bahasa Jawa oleh Roorda—yang bahkan tak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa—merupakan usaha pendisiplinan pengetahuan Timur agar lebih mudah dibaca, sehingga lebih mudah memberi kekuasaan kepada Barat untuk mengontrol Timur (dalam hal ini, Islam Jawa). Masalahnya, usaha serupa tidak atau belum ditemukan di kalangan Jawa sendiri. Jika pun muncul, seperti halnya usaha membangun prototipe Javanese Studies dan Institute for Javanology di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kajian-kajian akademis mereka nyaris tidak bisa melepaskan diri dari utang budi pengetahuan kepada sumber-sumber akademis Barat.

Pun juga, kajian-kajian wilayah (Area Studies), di mana Islam Jawa termasuk bagian dari Asean Studies, pada akhirnya memang terjebak pada “geografi imajiner” (imaginative geography), karena mereka berusaha menstrukturasi objek kajian diankronis bernama Islam Jawa dalam sebuah ruang dan waktu yang berbeda dari yang terjadi di Barat. Islam Jawa, dengan demikian, tidak hanya dikarakterisasi oleh atribut-atribut geografis yang estetis, akademis, sering pula eksotis (misalnya, Islam Jawa sebagai tanah mistis, yang di dalanya penuh dengan praktik religio-magis), tetapi juga ditafsirkan sebagai satu lokus dengan tatanan sosialnya tersendiri. Melalui syncretic religion atau mystic syntetis, misalnya, para raksasa antropolog Barat seperti Geertz hingga Ricklefs menafsirkan Islam Jawa sebagai sebuah tatanan sosial yang tidak bisa lepas dari ketaatan terhadap tradisi Islam di satu sisi dan penerimaan terhadap praktik Hindu-Buddha-Animisme pra-Islam di sisi lain. Kedua konsep tersebut terus menerus direproduksi melalui berbagai representasi akademis dan kajian historis atas Islam Jawa, sehingga ia pun membentuk sejenis kekuatan (atau kekuasaan) epistemologis terhadap segala pengetahuan apapun tentang Islam (dan) Jawa.

Baca: Ngilmu Rasa

Historiografi Islam Jawa dalam Kritik Pascakolonial

Mengomentari konsep ‘politik’ kolonial India yang ditulis oleh para sejarahwan Cambridge dan nasionalis untuk merujuk hanya pada domain politik formal pemerintah dan institusi negara, Ranajit Guha (1984: 3-4) mengatakan bahwa dalam hampir semua tulisan tentang ‘politik kolonial’ (yang ia sebut sebagai historiografi elitis) itu, politik India hanya diasumsikan sebatas politik negara dan lembaga-lembaga yang berada di bawah kolonial Inggris. Akibatnya, istilah ‘masyarakat’ dan ‘rakyat’ dibedakan sebatas perbedaan demografis antara warga dan pemerintah, padahal menurut Guha (1988: 4-5) ada ranah politik lain yang dimobilisasi oleh sekelompok orang yang berbeda dari domain politik elit, yang ia sebut sebagai—meminjam konsep Spivak (1994)—politik subaltern. Hal ini tampaknya juga berlaku bagi Islam Jawa, di mana konsep ini terus direproduksi sebagai (a) ranah diskursif yang semata didasarkan pada universilitas sejarah politik kolonial untuk mendeskripsikan (b) peristiwa masa-lalu yang seolah-olahlahir dari rahim nasionalisme, sehingga muncul (c) narasi-narasi sejarah (nasional) Islam Jawa yang ditulis dalam kerangka atau “dikuasi” oleh dominasi diskursif kolonial Belanda.

Untuk itu, melihat narasi sejarah Islam Jawa secara kritis dalam tiga persoalan di atas tampaknya menjadi suatu keniscayaan tersendiri, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita mulai melakukan pergesaran paradigma (shift paradigm) dari historiografi kolonial Islam Jawa menuju historiografi pascakolonial Islam Jawa; dari sejarah yang ditulis oleh kaum ‘elitis’ kolonial ke sejarah yang melihat ‘yang-lain’ sebagai peristiwa sehari-hari yang penting.

Historiografi pascakolonial, menurut Gyan Prakash (1992: 8), ditujukan untuk ‘memikirkan dan merumuskan secara radikal bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang ditulis atau didominasi oleh kolonialisme/dominasi Barat’ (… to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and western domination). Terinspirasi dari gagasan Spivak dalam esainya “Deconstructing Historiography” (1988: 3-32), Prakash—yang memberi pengantar editorial atas buku Selected Subaltern Studies yang memuat esai itu—mengatakan bahwa historiografi pascakolonial atau subaltern historiography berupaya: (a) mempertanyakan dominasi sejarah universal yang didominasi oleh politik kolonial; (b) menerapkan kritik secara radikal atas segala bentuk sejarah bangsa; dan (c) menggugat hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan di mana sejarah diposisikan sebagai sebentuk narasi pengetahuan tertentu. Pertanyaannya adalah bagaimana sumbangsih historiografi pascakolonial ini bagi kajian atas Islam Jawa? Ia berkontribusi sejauh dalam usahanya untuk mempertanyakan segala bentuk dominasi kolonial dalam narasi sejarah, baik yang ditulis oleh para sarjana Barat maupun sarjana Indonesia. Di bawah ini kita akan segera melihat bahwa ideologi kolonial itu muncul sebagai suatu proyek epistemologis yang hegemonik tidak hanya dalam historiografi kolonial itu sendiri, melainkan juga dalam historiografi tradisional, nasional, hingga modern sekali pun.

Sejarah tanpa bangsa (history without people), yang selalu menjadi jargon kebesaran bagi historiografi nasional, pada hakikatnya tak bisa lepas dari definisi kolonial sentris atas apa yang disebutnya sebagai ‘bangsa’ (people / nation) itu sendiri. Nasionalisme, kebangsaan, atau kerakyatan hakikatnya merupakan jebakan epistemologis dari suatu ‘orientalisme gaya baru’(new orientalism) yang menjadikan negara sebagai pintu masuk bagi narasi kolonial. Definisi kebangsaan pada hakikatnya adalah definisi negara yang dengan demikian mengasumsikan adanya ‘politik negara’ untuk terlibat dalam menuliskan, menarasikan, dan mereduksi rakyat ke dalam semata-mata perspektif negara itu sendiri. Dalam konteks narasi Islam Jawa, misalnya, kita bisa melihat bagaimana buku-buku sejarah ditulis tentang proses masuknya Islam Jawa melalui peperangan dan kepahlawanan, sehingga pengetahuan kita terhadap Islam Jawa adalah pengetahuan negara atas Islam Jawa itu sendiri. Historiografi nasional pada akhirnya nama lain dari historiografi elitis itu sendiri.

Sebagaimana yang disebutkan di awal bahwa istilah-istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk menggambarkan Jawa, misalnya, sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch) dan ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland) memperlihatkan superioritas Belanda terhadap Timur (Jawa) dengan istilah-istilah yang eksotis di satu sisi dan rasial di sisi lain. Jawa dibayangkan sebagai suatu kawasan nun-jauh di sana yang menarik perhatian mereka dengan karakteristik fisik dan rasial, seperti warna kulit, gestur tubuh, hingga perilaku yang bar-bar (ingat, misalnya, bagaimana saudagar Tanah asal Belanda Coenas menggambarkan seorang Muslim abdi dhalem Kesultanan Surakarta dengan sebutan ‘tak terampil’, sehingga perlu ‘didikan ala Barat’). Dalam beberapa derajat tertentu, rasisme ini terus dipelihara dalam alam pikiran orang-orang Barat melalui sebutan-sebutan ‘akademis namun stretotipika’ atas Muslim Jawa sebagai Muslim sinkretis: penyembah leluhur pra-Islam sekaligus penganut Islam yang tidak terlalu taat. Di tanah Jawa yang dihuni oleh Muslim ‘hangat-hangat kuku’ ini, mereka melihat suatu iklim geografis yang berbeda dari wilayah mereka, suatu iklim tropis (2 musim) yang penuh dengan para leluhur dan nenek moyang.

Kuatnya klaim mistisisme terhadap Islam Jawa ini tidak turun dari langit; ia lahir pertama-tama dari pembacaan dan penafsiran sarjana Barat terhadap berbagai hikayat, babad, dan serat yang ditulis oleh para pujangga Keraton. Perhatikan, misalnya, dalam The History of Java bagaimana Raffles mengibaratkan sang legenda mitologis Aji Saka, sang penemu kalender, tunggul wulung, alfabet, dan penjelajah pertama tanah Jawa itu, sebagai “nenek moyang penjajah pertama dari Gujarat” (…anchestor of the first colonists from Gujrat) (Raffles, 1965: 1-10). Dengan merujuk pada Babad Tanah Jawi, Raffles juga menceritakan keris sakti Gumarang yang digunakan oleh Panembahan Senapati untuk membunuh Panembahan Madiun dan menikah dengan putrinya bernama Retna Jumilah. Perhatikan bagaimana peristiwa penaklukan ini kemudian membuat Panembahan Senapati dijuluki sebagai Sedana, Panji, atau figur-figur Dewa “Wisnu” lain, sementara Retno Jumilah dibayangkan sebagai Dewi Sri (Serat Kanda, MS 540, 79-82; Babad Tanah Jawi dalam Olthoff, 1941: 180). Belum lagi cerita tentang Wali Songo yang dikisahkan oleh para pujangga Jawa sebagai tokoh setengah mitos-setengah fakta dalam berbagai babad, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Majapahit, dan Babad Jaka Tingkir (Margana, 2004: 8-9).

Semua kisah tentang Jawa dan Islam dalam historiografi tradisional pun pada akhirnya juga—meminjam istilah Margana (2004)—terjebak dalam ‘bayang-bayang kolonial,’ dan cerita ini terus direproduksi dalam banyak buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, bahkan tak jarang di antaranya juga dipublikasikan dalam bentuk komik (Soenarto, 2005: 33-82).

Baca: Ngilmu: Gerak Ontologis Sangkan-Paran

Bagaimana Javanologi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?

Bagaimana Javanologi menempatkan Islam Jawa dalam kajian mereka selama ini? Sekurang-kuranya terdapat dua definisi yang populer tentang Islam Jawa dalam Javanese Studies, yakni sinkretisme Hindu-Buddha dan mistisisme Islam lokal. Meskipun ada beragam definisi yang disajikan oleh para sarjana Barat dan Indonesia, definisi-definisi tersebut umumnya tidak jauh dari dua konsep di atas.

Islam Jawa sebagai Sinkretisme (syncretic religion)

Tak banyak buku etnografis, setidaknya yang membahas agama Jawa dalam 1 dekade terakhir, memiliki pengaruh sebesar The Religion of Jawa (1964) karya Clifford Geertz. Bersama timnya dari Cornell University, Geertz menghabiskan puluhan tahun untuk melakukan riset di sebuah daerah yang konon dikenal dengan nama Modjokuto di Jawa Timur. Memahami agama Jawa, Geertz menyusun suatu trikotomi: abangan, santri, dan priyayi. Abangan merujuk pada Muslim sinkretis, yang bisa mengombinasikan secara seimbang elemen animisme, Hindu, dan Islam. Priyayi berada satu level di atas abangan dalam laku mistisnya; sama-sama beragama sinkretis, priyayi memanifestasikan diri dalam wujud terbaik Hindu-Buddha.  Hubungan antara abangan dan priyayi bisa dianalogikan layaknya hubungan antara petani dan majikan. Abangan lebih condong pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa, sementara priyayi lebih cenderung menekankan aspek Hindu-Buddhanya. Sementara itu, kelas sosial lain yang—menurut Geertz—baru muncul pada abad ke-20 di Jawa adalah santri, sekelompok Jawa yang memperjuangkan dan mempraktikkan ortodoksi Jawa, serta menjaga jarak dari Muslim sinkretis yang oleh Geertz diasosiasikan sebagai abangan itu (Geertz, 1964: 123-126). Dari Geertz inilah kebanyakan sarjana Indonesia menafsirkan Islam Jawa sebagai agama sinkretis.

Gagasan Geertz ini terus direproduksi dan menjadi warisan intelektual para antropolog Barat, seperti Robert Hefner dan Andrew Beatty. Keduanya, sejauh ini bisa dikatakan, adalah penerus Geertz yang paling setia mengkaji agama Jawa. Melaksanakan penelitian pasca-pembunuhan massal komunitas abangan di Indonesia, Hefner dan Beatty mampu menunjukkan begitu sulitnya komunitas abangan Jawa beradaptasi dalam situasi pascakonflik. Hefner (1985) meneliti komunitas Hindu-Tengger di kaki gunung Bromo Probolinggo, sementara Beatty (2009, 1999) meneliti komunitas Muslim mistis Osing di Banyuwangi. Dua komunitas ini, menurut Hefner dan Beatty, merupakan populasi abangan yang langka, karena mereka termasuk yang masih mempraktikkan kepercayaan dan ritual masyarakat Jawa, dan karena itulah bisa dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas abangan terakhir di Indonesia, sebagaimana yang dibayangkan oleh Geertz.

Hingga pada akhirnya, pasca-tragedi 1965, ketika abangan tidak lagi memiliki posisi tawar-menawar politik karena digantikan oleh kaum santri, Hefner mulai beralih fokus pada kehidupan masyarakat Muslim kelas menengah dan menganggap bahwa mereka memiliki satu posisi strategis dalam negara demokrasi. Meski demikian, gagasan Geertz, Hefner, dan Beatty tentang agama sinkretis ini tetap menjadi satu rujukan penting meskipun kajian-kajian sesudahnya mulai beralih fokus kepada perilaku komunitas Muslim yang mulai mirip dengan abangan. Dari sinilah upaya memahami Islam Jawa yang sinkretis mulai menemukan bentuknya. Di awal tahun 1970an, misalnya, sejarahwan dan sarjana Asian Studies asal Australia, John D. Legge (1973) ‘secara politis’ memuji Soekarno karena kemampuanya politiknya yang mampu menyatukan kebhinekaan Indonesia. Hal itu tak lepas dari kepribadian Soekarno yang, menurutnya, memiliki pandangan dunia Jawa tradisional yang berciri “eklektik” dan “toleran” (Legge, 1973: 9-13). Konsep eklektisisme ini, meskipun disampaikan dengan nada memuji, tidak lebih retoris dari apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson yang meyakini bahwa konsepsi Jawa tentang kekuasaan sangat bergantung pada “sinkretisme dinamis”, yang khas dalam alam pikir Jawa (Anderson, 1972: 15). Tidak mengherankan jika logika kekuasaan khas Jawa mengharuskan suatu pusat, yang karakternya sinkretis dan absorptif, dan ini biasanya bisa ditemukan dalam karakter seorang raja/pemimpin Jawa.

Agama Jawa yang sinkretis ini pula yang, menurut Niels Mulder (2005), mampu membuatnya beradaptasi dan menyerap seluruh elemen dari berbagai diskursus agama dan spiritual lain yang berbeda. Agama Jawa memiliki kemampuan untuk bercampur dengan gagasan Islam dan warisan Hindu-Buddha, sebagian lagi bahkan bersinggungan dengan tradisi Katolik, teosofi, animisme, kanabalisme, bahkan freemason (Mulder, 2005: 110). Patrick Guinness (2009) juga menyinggung sinkretisme, kemampuan beradaptasi dan berkombinasi dengan segala elemen tersebut, dalam konstruksi perumahan masyarakat desa. Dalam kajian antropologinya, Keeler (1987: 40-41) juga menyinggung “masyarakat Jawa sinkretis” untuk merujuk pada komunitas pagelaran wayang kulit yang makin hari makin populer di lingkungan masyarakat Jawa urban.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah satu hal: betapa konsep agama Jawa sinkretis telah sedemikian jauh digunakan sebagai salah satu cara pandang kolektif dalam memahami Jawa.

Islam Jawa sebagai Islam Mistis (mystic Islam)

Pada akhir abad ke-19, kritik terhadap trikotomi Geertz mulai bermunculan dari para sarjana Barat. Tidak memadainya trikotomi itu untuk menjelaskan realitas kultural masyarakat Jawa membuat mereka akhirnya membangun konseptualisasi tersendiri tentang agama Jawa. Upaya ini dimulai antara lain oleh M.C. Ricklefs melalui triloginya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006); Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930 (2007); dan Islamisation and Its Opponents (2012). Trilogi ini disusun antara lain untuk melakukan kritik secara sistematis terhadap Geertz dan para pewarisnya, sekaligus menawarkan sebuah istilah baru yang diambil dari bagian pertama triloginya itu, istilah yang belakangan juga mendapat sambutan hangat di kalangan para sarjana Eropa dan Indonesia: “sintesis mistik” (mystic synthesis).

Penelitian Ricklefs menunjukkan bahwa tidak ada kategori sosial dalam masyarakat Jawa yang bernama abangan kecuali muncul pada pertengahan abad ke-19. Dengan demikian, sebelum periode tersebut, Ricklefs mengatakan bahwa masyarakat Jawa seluruhnya terislamisasi. Menurut Ricklefs, sudah bertahun-tahun lamanya, dalam dunia akademik, Islam Jawa dilihat secara superfisial, sebatas pada sinkretisme dengan warisan Hindhu-Buddha. Ia pun menafsirkan Islamisasi Jawa sebagai hasil dari pertemuan panjang antara identitas Jawa dan Islam. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan apa yang dikenal sebagai mistik sintesis yang merujuk pada komitmen terhadap identitas Islam di satu sisi, dan penerimaan terhadap kekuatan spiritual lokal di sisi yang lain, yang semuanya bisa terlihat dalam tradisi mistisnya (Sufisme).  Artinya, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa tidak sekadar menjadi Muslim, tapi mereka memiliki pemahaman sendiri terhadap dimensi mistis (mystical dimension) Islam, yakni Sufisme (Ricklefs, 2007: 5).

Munculnya mistis sintesis ini semakin kuat pada akhir abad 19 dan awal abad 20 ketika abangan menjadi kelas sosial yang sulit dibedakan dari—apa yang disebut oleh Ricklefs dengan—putihan. Kelas putihan merupakan kategori sosial yang digunakan Ricklefs untuk menjelaskan bahwa tidak adanya lagi kemungkinan untuk mengetahui mana yang sangat Islam dan mana yang bukan. Jadi, bukan soal kategorisasi, tapi lebih pada soal sejauh mana kehidupan Islam itu dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan dari definisi Ricklefs atas mistis sintesis yang memiliki tiga karakteristik utama: (a) komitmen tinggi terhadap identitas Islam; (b) kepatuhan terhadap rukun Islam; dan (c) penerimaan terhadap kekuatan spiritual.

Tiga karakteristik ini dicontohkan oleh Ricklefs melalui sosok Sultan Agung yang menurutnya (a) telah masuk Islam melalui Sunan Kalijaga, bahkan ia termasuk dari salah satu yang bergelar wali itu sendiri; (b) telah melaksankan rukun Islam dengan sempurna melalui syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji; serta (c) turut menerima kekuatan pra-Islam dengan berziarah ke Tembayat, makam Sunan Bayat yang menjadi penguasa terakhir kerajaan Hindu-Majapahit. Di Tembayat inilah, Sultan Agung menerima ilmu mistik ghaib (ngelmu) khas Jawa yang turut menuntunnya menjadi penguasa Jawa. Menurut Ricklefs, sosok Sultan Agung menjelaskan betapa kategori priyayi-abangan-santri tidak lagi memadai untuk mengidentifikasi Jawa Muslim atau Muslim Jawa, karena ia lebih berkaitan dengan bagaimana masyarakat Jawa melebur bersama tradisi Islam, menganut dua pandangan-dunia yang berbeda secara bersamaan: antara dewa transenden (transcendent deity) di satu sisi dan Tuhan imanen (immanent divinity) di sisi lain, yang dijembatani oleh genius ecunemia mistisisme sebagaimana yang banyak ditemukan dalam tradisi Sufisme (2007: 223). Senada dengan Ricklefs, Fawaid (2015: 214) juga menjelaskan, berdasarkan analisis sejarahnya terhadap Babad Tanah Jawi, bahwa kerajaan Mataram merepresentasikan genealogi ganda (double genealogy) yang memiliki trah dari Nabi Adam dan Batara Guru; ia adalah anak ideologis dari kerajaan Islam-Demak di satu sisi dan kerajaan Hindu-Majapahit di sisi lain.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini, sebagaimana yang nanti akan dibuktikan dalam bab khusus, adalah bahwa konsep tentang mistik sintesis itu, jembatan ekumenia antara Dewa transenden dan Tuhan imanen itu, ternyata hanyalah nama lain dari agama sinkretis dalam versi yang lebih detail dan lebih lebur dibanding trikotomi Geertz.

Baca: Islam Nusantara, Negosiasi, dan Pribumisasi Islam

Bagaimana Historiografi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?

Masalahnya adalah bagaimana beragam historiografi di atas menempatkan Islam Jawa sebagai objek kajiannya? Sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi dalam sebagian besar penulisan sejarah atas Islam Jawa selama ini, yakni (a) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi residental dan (b) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi representasional. Apa dan bagaimana kedua corak historiografi ini merepresentasikan Islam Jawa?

Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Residential

Berpijak pada pandangan Knockelman (2007: 379) tentang residential agency, yang menggambarkan bagaimana seseorang mengontrol ekspresi tanda, menentukan relasi antara tanda dan objek, dan berkuasa menyajikan interpretasi atas tanda, maka historiografi residential juga bisa digambarkan sebagai cara kerja penulisan sejarah yang (a) mengontrol di mana dan kapan Islam Jawa itu dideskripsikan; (b) menentukan apa makna Islam Jawa dan bagaimana Islam Jawa itu harus diekspresikan; dan (c) berkuasa atas segala penafsiran dan kemungkinan alasan/efek dari Islam Jawa yang ditulisnya.

Singkatnya, historiografi residential ini menggunakan kuasa kepengarangan secara vulgar atas narasi Islam Jawa yang ia tulis. Historiografi residential ini sangat tampak utamanya pada historiografi kolonial itu sendiri.

Salah satu puncak historiografi kolonial adalah Geschiedenis van Nederlandsch-Indië-nya W.F. Stapel (5 vol., 1938-1940). Dua volume pertama memang menceritakan kerajaan Hindu dan Islam di Jawa, namun perspektif tersebut tiba-tiba berubah ketika Belanda masuk ke Jawa. Pada tiga volume terakhir, praktis Belanda menjadi aktor utama, sementara orang Jawa termajinalisasi. Meskipun ia sesekali menceritakan dengan nada ‘kritis’ eksploitasi Belanda di Jawa, Belanda tetaplah menjadi aktor utama, yang mereprsentasikan pencerahan, kemajuan, dan kemampuan untuk melindungi berbagai kepentingan para orang pribumi dan Muslim Jawa yang dianggapnya bahkan “tidak mampu mengurusi masalah pribadi mereka sendiri” (…incapable of running their own affairs) (Stapel, 1940: 23).

Historiografi lain ditulis oleh J.C. Van Leur, sarjana Belanda yang sangat terinspirasi gagasan sosiologi Max Weber namun terbunuh pada sebuah peperangan di Laut Jawa pada Februari 1942 di usianya yang ke-34. Dalam esainya yang terkenal The World of Southeast Asia: 1500-1650, Van Leur membuat satu pernyataan yang mengejutkan namun terkenal pada saat itu: “Ekspansi agama baru ini (yakni Islam) ke Jawa tidak membawa revolusi apapun… Islam tidak membawa inovasi apapun untuk membantu Indonesia menjadi lebih baik, entah di bidang sosial maupun ekonomi” (The expansion of the new religion did not result in any revolutions ..Islam did not bring a single innovation of a ‘higher level of development’ to Indonesia, socially or economically…) (Leur, 1955: 168-169). Sebagaimana Weber, Val Leur juga bermasalah dalam mengkonseptualisasikan struktur-struktur perubahan sosial di Jawa. Pemikiran Leur ini diwarisi oleh sosiolog lain seperti Schrieke dan Drewes—yang juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan berarti antara Jawa pada tahun 1700 dan 700 Masehi (Drewes, 1954: 3)—yang menyajikan gambaran statis atas kemunculan Islam di Jawa itu sendiri.

Dari kajian historiografis Stapel, Leur, dan Drewes ini, kita bisa melihat bagaimana islam Jawa dikontrol, ditentukan, dan pada akhirnya dikuasi melalui segala deskripsi atasnya. Islam Jawa dikontrol melalui generalisasi periodik (kedatangan VOC, dan seterusnya) dan spasial (pantai utara Jawa, dan seterusnya), ditentukan melalui generalisasi tematik (bahwa masyarakat Muslim Jawa tidak mampu mengurusi diri sendiri) dan konseptual (bahwa Muslim Jawa tidak mampu membawa perubahan dan revolusi apapun di bidang ekonomi dan sosial), hingga dikuasai melalui generalisasi sistematik, struktural, kultural, hingga personal (bagaimana ia tersusun dari kelas-kelas sosial, bagaimana ia dianggap masyarakat tradisional, hingga seperti apa gestur dan bentuk tubuh Muslim Jawa itu).

Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah historiografi residensial benar-benar menampilkan kekuasaan penuh atas Islam Jawa secara vulgar ‘tanpa malu-malu’. Studi historiografis Van Leur, Stapel, dan Drewes tidak hanya menampilkan dominasi kekuasaan Belanda atas Jawa, namun sekaligus menunjukkan betapa barbar dan terbelakangnya masyarakat Muslim di Jawa, yang bahkan untuk urusan pribadinya sekalipun, mereka tidak bisa mengurusnya sendiri.

Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Representasional

Jika historiografi residensial menampilkan kekuasaan Barat yang nyata atas Islam (dan) Jawa, maka historiografi representasional menampilkan kekuasaan yang tak kasat mata; kekuasaan yang ditampilkan lebih berupa kekuasaan epistemologis karena historiografi semacam ini pertama-tama dibentuk untuk merekonstruksi pengetahuan atas Islam Jawa. Singkatnya, jika yang pertama menarasikan Islam Jawa untuk melegitimasi kekuasaan Barat, maka yang kedua menarasikan Islam Jawa untuk merepresentasikan pengetahuan Barat atasnya. Keduanya sama-sama menggunakan kekuasaan, hanya pada derajat penggunaannya saja yang berbeda. Mengikuti Kockelman (2007: 383) tentang representational agency, historiografi representasional berurusan dengan bagaimana Islam Jawa ditematisasi, dikarakterisisasi, dan pada akhirnya dijustifikasi secara epistemologis. Historiografi semacam ini tampak pada tiga historiografi lain, yakni historiografi tradisional, nasional, bahkan modern.

Pada historiografi tradisional, cerita tentang bertemunya Sultan Agung dengan Sunan Kalijaga setelah sebelumnya ‘bercinta’ dengan Nyi Roro Kidul selama 3 hari di Laut Selatan merupakan salah satu bentuk cerita tradisional yang muncul dalam Babad Tanah Jawi. Penafsiran terhadap pertemuan dan percintaan itu, dalam relasinya dengan Islam Jawa, mulai bermunculan. Salah satunya adalah ketika Fawaid (2015) menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merepresentasikan suatu gejala sinkretis antara raja Mataram bersama tokoh sentral kerajaan Demak Islam , Sunan Kalijaga, setelah sebelumnya bercinta dengan tokoh utama dalam Kerajaan Hindu Majapahit, Nyi Roro Kidul. Peristiwa ini dianggap menegaskan sinkretisme Mataram sebagai hasil dari perjumpaannya dengan Majapahit dan Demak. Mitos tentang Nyi Roro Kidul bahkan terus direproduksi, antara lain, dalam Ricklefs (2007: 64) yang menganggapnya merupakan aspek unseen Pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) yang menggunakan bedhaya suci untuk memohon kepada Nyi Roro Kidul guna menjamin nasib baik bagi dinasti dengan pasukan terkuat dari dunia gaib Jawa untuk melawan kompeni.

Historiografi nasional dicontohkan melalui berbagai buku sejarah, seperti Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005) karya Slamet Muljana yang, dengan menggunakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, memperlihatkan kebangkitan Islam di tanah Jawa sebagai hasil dari suatu konfrontasi besar antara kerajaan Islam-Demak dan kerajaan Hindu-Majapahit; antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya. Muljana memperlihatkan bahwa jatuhnya Majapahit disebabkan antara lain oleh gempuran tentara Keling pimpinan Girindrawardana pada tahun 1478 M. Versi kebangkitan Islam Jawa ini berbeda dari analisis Aminuddin Kasdi dalam Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa 1726-1745 (2003) yang menganggap bahwa kebangkitan Islam bukanlah hasil dari konfrontasi besar terhadpa Majapahit, melainkan dari perjuangan para walisongo dan saudagar-saudagar Islam dari Persia, Gujarat, melalui Samudara Pasai (abad ke-13), Gresik, Malaka, Surabaya, dan Jepara (abad ke-15). Uniknya, kedua versi kebangkitan Islam ini terus direproduksi dan diajarkan di bangku-bangku sekolah hingga perguruan tinggi.

Sementara itu, historiografi modern diwakili antara lain oleh Sartono Kartodirjo melalui The Peasents Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia (1966). Disertasi yang ia selesaikan dengan penuh kerja-keras di Universitas Yale, Amerika Serikat, ini membawa Kartodirjo menjadi salah satu ‘begawan sejarah Indonesia’, berkat keberhasilannya membuka arah baru bagi historiografi Indonesia yang disiplin secara teoretis dan metodologis namun tidak melupakan fakta sejarah. Yang luput diceritakan oleh Kasdi dan Muljana, namun diurai secara baik oleh Kartodirjo adalah peran para kiai, seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid, dalam membangun gerakan rakyat/petani melawan kekuasaan kolonial di Banten. Di sini, Kartodirjo mengungkap peran umat Islam, khususnya kiai-kiai di desa, yang marjinal dalam banyak buku sejarah, sebagai pihak yang memiliki peran dominan dalam perjuangan kemerdekaan. Disertasi ini pula yang turut menyumbang bagi pergesaran historiografi kolonial ke arah Indonesiasentris atau modern saat ini.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah bahwa penulisan sejarah atas Islam Jawa pada hakikatnya tidak bisa lepas dari representasi kekuasaan dan struktur ideologis tertentu. Masalah ‘ideologis’ ini penting karena, seperti yang kita lihat, meskipun historiografi tradisional, nasional, hingga modern berusaha keluar dari bayang-bayang kolonialisme, ketiganya masih menggunakan kekuasaan kolonial sebagai titik pijak. Islam Jawa ditematisasi (dalam kerangka mitos, perlawanan, kekuasaan), dikarakterisasi (melalui pasukan gaib, gerakan perlawanan, dan sebagainya), dan dijustifikasi secara epistemologis (Islam Jawa vis-a-vis kolonialisme, Islam vis-a-vis Hindu-Buddha, dan sebagainya) untuk merepresentasikan kekuasaan tertentu. Representasi kekuasaan, kepahlawanan, heroisme, masih menjadi tema-tema utama dalam struktur argumen dan jalan cerita historiografi mereka.

 

Bersambung…

 

Pengantar

Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah asumsi: Islam Jawa merupakan diskursus kolonial; yang artinya, sebagai suatu entitas eksperiental, Islam Jawa sebenarnya tidak pernah ada, kecuali bahwa ia sengaja diciptakan sebagai suatu paradigma akademis—untuk tidak mengatakan ‘streotipe’—yang digunakan dalam memahami Islam dan/atau Jawa secara universal. Dalam banyak kajian antropologi, sosiologi, maupun studi agama, Islam Jawa cenderung dipahami dalam dua definisi: (1) Islam lokal (local Islam) yang berarti bahwa Islam Jawa merupakan bentuk lain dari Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat tertentu dalam lokus tertentu, yakni Jawa atau (2) agama sinkretis (syncretic religion) yang berarti bahwa Islam Jawa pada awalnya merupakan perilaku keagamaan masyarakat Jawa yang dulunya menganut tradisi Animisme-Hindu-Budha, namun belakangan dianggap memiliki kesamaan dengan ajaran mistisisme Islam.

Masalah pertama pada definisi Islam Jawa sebagai Islam Lokal adalah kenyataan bahwa proses asimilasi kebudayaan pada hakikatnya sudah inheren dalam agama Islam, termasuk juga mungkin dalam agama-agama lainnya. Artinya, tidak ada Islam Jawa; yang ada adalah Islam yang memanifestasikan diri di dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dengan kata lain, Islam Jawa pada definisi pertama pada hakikatnya adalah Islam itu sendiri. Sementara itu, masalah kedua pada definisi Islam Jawa sebagai agama sinkretis adalah kenyataan bahwa definisi tersebut berasal dari tradisi teologi Protestan yang dibawa oleh para antropologis dan sosiologis Barat. Mereka, tanpa sadar, menggunakan perspektif teologi ketika berbicara tentang sinkretisme Agama Jawa.

Artinya, tidak ada Islam Jawa; yang ada adalah Islam yang memanifestasikan diri di dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dengan kata lain, Islam Jawa pada definisi pertama pada hakikatnya adalah Islam itu sendiri.

Formulasi masalah di atas kemudian akan membawa pada masalah lain yang perlu dirumuskan: Jika memang tidak ada agama Jawa yang disebut Islam Jawa, agama abangan, agama Jawi, dan seterusnya itu, lalu apa sebenarnya yang sedang digambarkan oleh para sarjana Barat selama ini? Tentu saja bukan ‘Islam’, karena para sarjana tersebut selalu menempatkan agama Jawa sebagai agama yang berbeda dari Islam pada umumnya, khususnya di Semenanjung Arabia. Ada dua kemungkinan yang bisa dilacak dari masalah ini. Pertama, Islam Jawa yang selama ini kita pelajari pada hakikatnya merupakan pengalaman eksperiental mereka; singkatnya, Islam Jawa merupakan cara berpikir Barat memahami dunia non-Barat (Timur). Sehingga, konsep mengenai Islam Jawa pada hakikatnya hanyalah berisi konstruk kebudayaan Jawa yang fragmenter. Kedua, sebagai konsekuensi dari poin pertama, pemahaman kita atas kebudayaan Jawa ternyata bersifat non-eksisten, tersembunyi, atau sengaja disembunyikan, karena hampir seluruhnya dari tradisi tersebut disalahartikan sebagai bagian dari agama Jawa, dan hal ini—ironisnya—telah terjadi sekian lama.

Situasi ini sekaligus juga akan membawa pada masalah ketiga yang lebih spesifik dan filosofis: Mengapa dalam perkembangan diskursus kesarjanaan Barat itu, Islam Jawa menjadi sedemikian ‘kolonial’? Pertanyaan ini melahirkan asumsi lanjutan bahwa salah satu penyebab suburnya konsepsi kolonial Islam Jawa adalah karena minimnya—untuk tidak mengatakan ‘absennya’—kajian Historiografi pascakolonial atas kerja-kerja kesarjanaan Barat yang menempatkan sumber-sumber Islam dan Jawa (baik manusia maupun teks-teksnya) dalam sudut pandang yang sama-sekali berbeda dari kajian-kajian akademis pada umumnya. Masalah ini tentu saja bukan tanpa alasan, karena naskah-naskah Jawa kuno (hikayat, babad, serat, dan sebagainya) cenderung diposisikan tak lebih sebagai sumber sekunder yang arbitrer, campuran fiksi dan fakta, mitologi dan aktualita, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan standar akademik dan dunia kesarjanaan Barat. Pun juga, akibat dari superioritas sumber akademik Barat di Jawa, manusia Jawa / Islam terus-menerus disubjuguasi dalam xenophobia akademis sebagai ‘yang-lain’ dan ‘yang-asing’ bagi mereka.

Baca: Akademi Barat: Pengalaman Meneliti Islam Jawa | Verena Meyer Baca juga: Tasawuf Jawa dan Pendekatan Cocokologi

Islam Jawa: Mengapa Perlu Kajian Genealogi?

 Ceramah Mark Woodward tentang “Sejarah Agama-Agama” memulai kegelisahan penulis untuk melakukan riset tentang Islam Jawa. Awal tahun 2014, ia mengajar penulis di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, sebuah program studi setara S2 yang fokus kajiannya adalah studi lintas agama, dialog agama-agama, dan tradisi agama lokal. Salah satu momen penting yang bisa diingat dari perjumpaan penulis dengan pengarang Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (1989) itu adalah ketika ketika ia menyebut ‘Mbah Maridjan mendalami tradisi Jawa meskipun ia seorang Muslim taat’ (2010: ). Istilah yang agak menganggu di sini adalah kata meskipun, karena ia justru memperlihatkan suatu ketegangan antara percaya pada tradisi pra-Islam di satu sisi dan penerimaan terhadap ajaran Islam di sisi lain. Pernyataan Woodward ini persis dengan yang ditulis oleh Robert Wessing (2010: 0: 60) bahwa sebagaimana di tempat-tempat lain di Indonesia … kepercayaan terhadap ilmu sihir ini mengakar kuat di Jawa Timur meskipun mereka memeluk Islam (Like elsewhere in Indonesia belief in sorcery is deeply ingrained in East Java, adherence to Islam not with standing) (garis bawah dari penulis). Apa sebenarnya yang sedang dibayangkan oleh Woodward ketika menyebut identitas ganda dari Mbah Maridjan itu? Apa pula yang dibayangkan oleh Wessing ketika ia—dengan nada yang tampaknya ‘agak terkejut’—menyebut kepercayaan terhadap ilmu sihir ternyata harus bersanding dengan keyakinan terhadap Islam?

Dalam artikelnya berjudul “Javanese Religion, Islam or Syncretism: Comparing Woordward’s Islam in Java and Beatty’s Varieties of Javanese Religion” (2013), Agus Salim memperlihatkan perdebatan teoretis antara Woordward dan Andrew Beatty yang menurutnya bahwa yang pertama lebih menekankan sinkretisme Islam, yang berarti bahwa Islam di Jawa adalah adopsi atas tradisi Hindu dan Buddha yang telah lama berkembang, sementara yang kedua menekankan tradisi mistisme Islam lokal, yang berarti bahwa Islam di Jawa adalah suatu praktik kejawen yang memiliki tradisi mistisisme tersendiri yang bersinggungan dengan tradisi mistis agama-agama lain, termasuk sufisme Islam. Woodward mencoba menelusuri lebih dalam mistisisme Jawa, sementara Beatty menggunakan perspektif antropologi murni yang menekankan singularitas dan partikularitas praktik kejawen sebagai salah satu elemen dari berbagai praktik mistisisme agama-agama formal pada umumnya, termasuk Islam itu sendiri. Di sini, alih-alih memperlihatkan heterodoksi atas Islam, penulis melihat Beatty justru menggunakan asumsi ortodoksi untuk memperlihatkan kuatnya pengaruh Islam di tanah Jawa hingga mampu mengakomodir praktik kejawan ke dalam tradisi sufisme, suatu penilaian yang khas ditemukan dalam berbagai riset di perguruan tinggi Islam pada umumnya. Pertanyaannya, benarkah heterodoksi dan ortodoksi Islam ini yang merepresentasikan Islam Jawa yang sebenarnya?

Persis di titik inilah, muncul sejenis pemakzulan betapa pendekatan terhadap Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Jawa, dipenuhi dengan ‘tradisi kepakaran ilmiah yang penuh streotipikal,’ sebuah streotipe akademik yang diwariskan secara turun termurun sejak triktomi Geertz ‘Santri-Abangan-Priyayi’ melalui tesisnya yang problematis tentang ketidakmungkinan ‘masyarakat Jawa untuk menjadi Muslim yang sebenarnya’….

Merenungkan pernyataan Woodward, Wessing, dan Beatty ini sekilas mengingatkan penulis pada buku Orientalism (1978) karya Edward W. Said yang pernah penulis terjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia empat tahun sebelumnya di Pustaka Pelajar. Dalam buku ini, Said memperlihatkan bagaimana diskursus kolonial, utamanya pada akhir abad ke-17, telah sedemikian masif mengkonstruksi pengetahuan kita atas fenomena ke-Timur-an (dalam hal ini, Islam). Persis di titik inilah, muncul sejenis pemakzulan betapa pendekatan terhadap Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Jawa, dipenuhi dengan ‘tradisi kepakaran ilmiah yang penuh streotipikal,’ sebuah streotipe akademik yang diwariskan secara turun termurun sejak triktomi Geertz ‘Santri-Abangan-Priyayi’ melalui tesisnya yang problematis tentang ketidakmungkinan ‘masyarakat Jawa untuk menjadi Muslim yang sebenarnya’ (it is very hard, given his tradition and his social structure, for a Javanese to be a ‘real Moslem’…) (Geertz, 1960: 160). Streotipe ini telah mengakar kuat, bahkan jauh sebelum tulisan Geertz itu menjadi bacaan wajib para mahasiswa antropologi, ketika Van Leur (1955) pernah membayangkan Islam di Jawa sebagai ‘glasir porselin yang tipis dan mudah pecah’ (… a thin, easily flaking glaze) (van Leur, 1955: 168).

Apa yang dilakukan oleh Salim, dan juga riset-riset lain yang sejenis dari para sarjana Indonesia selama 1 dekade terakhir (Sila, 2011; Jamhari, 2000; Jamhari, 2002; Prasetyo, 1994; Safriani, 2012) memperlihatkan bahwa ‘truisme’ ilmiah yang diperlihatkan oleh sebagian sarjana Barat selama ini memiliki implikasi tertentu terhadap konseptualisasi kita tentang agama dan kebudayaan, termasuk Islam Jawa itu sendiri. Ironisnya, truisme itu kini menjadi bagian dari cara kita berpikir tentang dan memperlakukan Islam Jawa dalam ranah akademia. Kritik terhadap truisme tersebut akan dilakukan dengan menampilkan genealogi konseptual dari Islam Jawa, lalu melacak sejarahnya dalam kerangka historiografis yang memosisikan sejarah sebagai sebuah narasi, dan karenanya konsep Islam Jawa tak pernah tunggal untuk didefinisikan. Dengan demikian, tulisan ini, pertama-tama, bersifat kritis karena ia berusaha memberikan kritik terhadap bangunan epistemologis atas asal-muasal (genealogi) Islam Jawa dalam penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia.

Kritik genealogis pertama-tama bisa dilakukan dengan melacak perkembangan diskursus Islam Jawa dalam sejarah studi-studi Jawa pada umumnya. Islam Jawa merupakan konsep utama yang sering digunakan dalam kajian tentang Jawa, baik secara etnografis maupun historis, selain juga bahwa Islam Jawalah yang turut membentuk kerangka berpikir para sarjana Barat tentang Jawa itu sendiri. Tanpa bermaksud berlebihan, bisa dikatakan bahwa tanpa Islam Jawa, kajian tentang Jawa (Javanese Studies) hampir mustahil dilakukan. Kritik genealogis ini ditempuh pertama-tama dengan menguji bagaimana para sarjana Javanese Studies menggunakan konsep Islam Jawa tersebut. Artinya, ia tidaklah berusaha mendeskripsikan Islam Jawa, melainkan mendeskripsikan bagaimana Islam Jawa itu dipahami. Kerja semacam ini diharapkan bukan hanya dapat menjelaskan bagaimana asal-muasal konsep tersebut lahir dan digunakan, melainkan juga dapat menyajikan problem-problem epistemologis yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut dalam sejarah perkembangan kajian Jawa selama ini.

Dengan demikian, Islam Jawa merupakan produk dari diskursus kolonial; singkatnya, penulis berusaha melihat asal-muasal munculnya diskursus tentang Islam Jawa selama ini dalam dunia kesarjanaan Barat. Asal-mula diskursus ini muncul dalam spektrum kesarjanaan Barat yang berusaha memahami dan menyingkap ‘misteri yang tersembunyi’ dari kebudayaan Timur. Dengan demikian, secara historis, konsep ‘Islam Jawa’ merupakan hasil dari persentuhan diskursif antara dua kebudayaan yang berbeda, suatu persentuhan di mana satu kebudayaan tertentu berusaha mendeskripsikan kebudayaan lainnya dalam cara pikir kebudayaan asal. Persentuhan diskursif ini menemukan relevansinya dalam kajian genealogis karena kajian ini berusaha memetakan konsep Islam Jawa dalam kerangka akar muasal epistemologisnya. Hanya dengan cara inilah, kita akan menyadari bahwa konsepsi kita tentang agama Jawa selama ini ternyata berasal dari para penjelajah Barat, dan demikianlah—sebagaimana yang sudah lama disinggung Edward W. Said—kajian terhadap Timur selalu berasal dari keinginan Barat untuk memahami sekaligus menguasai Timur ‘dari jauh’.

Dengan demikian, secara historis, konsep ‘Islam Jawa’ merupakan hasil dari persentuhan diskursif antara dua kebudayaan yang berbeda, suatu persentuhan di mana satu kebudayaan tertentu berusaha mendeskripsikan kebudayaan lainnya dalam cara pikir kebudayaan asal.

Genealogi juga memberi ruang bagi analisis lebih lanjut terhadap konsep-konsep yang digunakan oleh para sarjana Barat untuk mendeskripsikan agama di Jawa, konsep-konsep yang dengannya Islam Jawa didefinisikan sedemikian rupa. Kerangka konseptual yang membentuk bangunan epistemologis Islam Jawa—harus diakui—umumnya berasal dari tradisi Barat. Sebagai outsider, mereka yang berusaha memahami kebudayaan Jawa pada akhirnya terjebak pada berbagai representasi, jika bukan misinterpretasi, atas Islam Jawa. Kajian genealogi dapat menunjukkan bagaimana deskripsi atas Islam Jawa itu ternyata dipenuhi oleh deskripsi kolonial Barat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa baik sebagai agama sinkretis (syncretism) maupun Islam lokal (local Islam), Islam Jawa adalah produk kolonial yang implikasinya adalah mengharuskan penulis untuk menyajikan suatu perspektif alternatif, dari sudut pandang Pascakolonial, yang akan menempatkan konsep-konsep tersebut sebagai produk kuasa-pengetahuan kolonial.

Selanjutnya, konsep Islam Jawa secara genealogis mulai terlembagakan secara akademis dan ‘saintifik’ oleh para sarjana Barat pada abad 19. Pada periode ini, dimulailah kajian-kajian akademis terhadap kebudayaan dan agama Jawa. Pada abad ini pula muncul para sarjana Barat (Geertz, Steenbrink, Ricklefs, Laffan, dan sebagainya) dan sarjana Indonesia(is) yang berusaha mengkonseptualisasikan Islam Jawa dalam suatu kontestasi akademis yang tak berkesudahaan, dan setelah semua ini kita bisa melihat bagaimana Islam Jawa mulai dijadikan bahan kajian dan diskusi ilmiah dalam forum-forum akademis. Periode ini pula menandai munculnya istilah ‘sinkretisme’ atau ‘Islam lokal’ untuk mendeskripsikan Islam Jawa, suatu istilah yang familiar di kalangan para sarjana Javanese Studiesatau pengkaji mistisisme lokal saat itu.

Tahun 2015, dalam sebuah seminar internasional di Jakarta, penulis yang saat itu mempresentasikan paper berjudul “Contesting Double Genealogy: Representing Rebellion Ambiguity in Babad Tanah Jawi” seketika menyebut istilah ‘sinkretisme Jawa’ untuk memperlihatkan silsilah ganda Mataram yang berasal dari trah Majapahit (Batara Guru) dan Demak (Nabi Adam).Spontan, Annabel Teh Gallop dari British Library yang ketika itu menjadi reviewer berkomentar dengan nada ‘terguran’, “Kita perlu berhati-hati menyebut istilah sinkretisme untuk mendefinisikan agama Jawa, karena istilah ini agak problematik” (We have to be really careful of mentioning ‘syncretism’, because this term is quite problematic). Penulis pun menyadari bahwa, pada tahap tertentu, diskursus kolonial tentang sinkretisme Islam Jawa ternyata telah sedemikian jauh tertanam dalam ke(tidak)sadaran penulis selama ini.

Penulis pun menyadari bahwa, pada tahap tertentu, diskursus kolonial tentang sinkretisme Islam Jawa ternyata telah sedemikian jauh tertanam dalam ke(tidak)sadaran penulis selama ini.

Selain itu, artikel-artikel yang terbit di berbagai jurnal akademis Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, juga tak mau kalah dalam upayanya mendefinisikan Islam Jawa dalam konteks mistisisme. Asumsi yang mereka bangun umumnya adalah kedekatan praktik kejawen dengan praktik sufisme dalam Islam, dan karenanya mereka mencari bukti-bukti spesifik yang dapat menghubungkan kedua praktik tersebut dalam satu istilah terkenal yang sebagian berbunyi: Islam lokal (local Islam). Sehingga muncullah konsep-konsep, seperti Islam lokal Mandar, Islam lokal Gorontalo, Islam lokal Madura, dan seterusnya. Bahkan, sebagian prodi keislaman di Perguruan Tinggi Islam juga sudah mulai mengajarkan dan menawarkan matakuliah “Islam dan Budaya Lokal”, yang di dalamnya menawarkan kurikulum tentang Islam lokal, lokalitas Islam, Islam dan tradisi setempat, dan seterusnya. Singkatnya, ada upaya diskursif untuk mendefinisikan Islam Jawa sebagai suatu ‘agama lokal’ tertentu yang berjalin kelindan dengan tradisi agama Islam.

Fenomena di atas tentu memunculkan satu masalah filosofis lain yang perlu diajukan: dari mana dan mengapa muncul istilah “Islam Jawa”? Pertanyaan ini, sayangnya, belum banyak dieksplorasi sebagai suatu kajian genealogis dan historiografis yang serius. Istilah “Islam Jawa” sudah cenderung diterima secara taken for granted, sedikitnya, dalam dua aspek: a) sebagai agama Jawa (Javanese religion) yang cenderung diposisikan sebagai Islam lokal dan turunan dari agama Islam formal di satu sisi, dan b) sebagai agama sinkretis (syncretist religion) yang cenderung diposisikan sebagai adopsi atas tradisi Animisme-Hindu-Budha di sisi yang lain. Masalahnya, baik sebagai agama Jawa maupun sebagai sinkretisme, Islam Jawa tetaplah merupakan istilah yang problematik untuk mendeskripsikan masyarakat Jawa yang beragama Islam atau Muslim yang hidup dalam kultur Jawa itu sendiri.

Pertanyaan pun muncul: Apakah Islam Jawa benar-benar Islam, katakanlah sebagai Islam lokal (local Islam), atau ia adalah sistem keyakinan animisme atau Hindu-Buddha yang hanya berwajah Islam (syncretist Islam)? Diskursus Islam Jawa dalam perspektif yang pertama berasal antara lain dari pendapat Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis asal Belanda, yang lama tinggal di Aceh. Menurut Hurgronje, yang berbeda dari pendapat para orientalis lain yang menekankan pada sinkretisme, Islam Jawa tidak bisa dipahami kecuali melalui pemikiran teologis Islam itu sendiri. Sayangnya, analisis ini problematik karena bukan hanya ia memiliki masalah epistemologis tersendiri suntuk menjelaskan Islam Jawa, melainkan juga karena ia gagal menjembatani Islam Sinkretis dan Islam lokal sebab kedua istilah ini merujuk pada dua hal yang berbeda.

Sementara itu, diskursus Islam Jawa dalam perspektif kedua bisa dilacak antara lain melalui pandangan M.C. Rickleffs (2006, 2007, 2012) tentang mystic synthesis yang merujuk pada proses Islamisasi di pulau Jawa pada abad ke-14 sampai abad ke-19 Masehi. Ricklefs berusaha keras melacak sejarah Islamisasi di Jawa pada periode tersebut, salah satunya, dengan mengasosiasikan Islam Jawa dengan tradisi Hindu Buddha dan mistisisme Islam dari Timur Tengah (Hadramaut), suatu usaha rekonsiliasi identitas yang menemukan bentuknya pada awal abad ke-17 pada masa Sultan Agung Mataram. Sebagaimana upaya Hurgronje, usaha Rickleffs ini juga bermasalah karena sinkretisme—sebagaimana kritik yang pernah disinggung Annabel Teh Gallop—tak pernah benar-benar mampu mendeskripsikan agama Jawa sebagai sebagai suatu pengalaman objektif. Lalu, jika benar bahwa mereka—sebagaimana penulis—tidak pernah benar-benar mampu mendeskripsikan apa itu Islam Jawa, lalu apa sebenarnya yang sedang mereka gambarkan selama ini? Apakah Islam Jawa benar-benar ada?

Pertanyaan di atas juga membawa penulis pada tesis lainnya bahwa Islam Jawa merupakan entitas eksperiental yang subjektif, dan hanya orang-orang yang mengalamilah yang paling mungkin mendeskripsikan secara personal apa itu Islam Jawa. Sayangnya, dalam sejarah genealogi Islam Jawa selama ini, belum ada satu riset komprehensif yang berusaha menghubungkan bukti teoretis dan pengalaman empiris tentang adanya agama Jawa yang sinkretis atau mistis itu. Absennya studi yang menjembatani dua hal tersebut membuat penulis menyadari bahwa saintifikasi Islam Jawa sebagai suatu konsep diskursif merupakan hasil dari pengalaman eksperimental para sarjana Barat, sehingga apa yang dialami oleh Hurgronje, Woodward, Geertz, Rickleffs, dan sarjana-sarjana lain yang terepresentasi dalam konsep-konsep yang mereka bangun pada hakikatnya tak lebih sebagai suatu gubahan akademis yang dibuat untuk membantu mereka memahami Islam Jawa. Artinya, hanya dengan “Islam Jawa” atau “Islam sinkretis” atau “agama Jawa” atau “Islam lokal” dan sejenisnya, mereka bisa merepresentasikan pengalamannya bersentuhan dengan sebagian kecil realitas Jawa itu sendiri secara teoretis dan membangunnya dalam suatu kerja kepakaran akademis.

Artinya, hanya dengan “Islam Jawa” atau “Islam sinkretis” atau “agama Jawa” atau “Islam lokal” dan sejenisnya, mereka bisa merepresentasikan pengalamannya bersentuhan dengan sebagian kecil realitas Jawa itu sendiri secara teoretis dan membangunnya dalam suatu kerja kepakaran akademis.

Baca: Rumusan Islam Politiek Snouck Hurgronje Baca juga: Tarekat Akmaliyah dan Malamatiyah di Jawa

Islam Jawa: Mengapa Perlu Kajian Historiografis?

Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan adalah menempuh jalan memutar dengan pertama-tama melacak asal-usul (origins) diskursus Islam Jawa dalam perkembangan studi-studi kesarjanaan Barat, lalu kemudian menawarkan suatu perspektif alternatif berupa historiografi pascakolonial untuk menjelaskan problem epistemologis dari sumber-sumber Barat itu secara historis sekaligus mengilustrasikan beberapa kemungkinan narasi historis yang sengaja (di)hilang(kan) dari cerita besar tentang Islam Jawa. Strategi kedua digunakan karena penulis melihat, sebagaimana yang telah diuraikan sejak awal, bahwa diskursus Islam Jawa umumnya hanya muncul dalam kajian antropologi kebudayaan (cultural anthropology) dan studi agama (religious studies). Pada pendekatan pertama, Islam diperlakukan sebagai hasil dari proses negosiasi kultural dan stratifikasi sosial di antara para anggota masyarakat Jawa. Sementara itu, pendekatan kedua memosisikan Islam sebagai suatu praktik ritual keagamaan yang sangat terkait dengan konsep-konsep teologis di dalamnya.

Sayangnya, memisahkan kedua pendekatan tersebut dan—dengan demikian—mengabaikan pendekatan lain (historiografi) berarti melupakan kontribusi peran filolog dan sejarahwan dalam mengkonstruksi konsep Islam Jawa melalui berbagai naskah klasik. Masih jarang upaya historiografis yang dilakukan secara serius untuk mempertanyakan perkembangan diskursif konsep Islam Jawa dalam kerangka sejarah. Jika pun ada, kajian-kajian tersebut umumnya masih berusaha membuktikan sumber asali dari peristiwa tertentu, misalnya, kapan persisnya Islam muncul di tanah Jawa, apa saja peristiwa-peristiwa yang luput dari penulisan sejarah Islam di tanah Jawa, tetapimasih belum ditemukan suatu upaya sistematis untuk melacak asal-muasal (genealogi) diskursus Islam Jawa melalui kajian atas penulisan sejarah (historiografi) atas Islam Jawa itu sendiri, dan tulisan ini adalalah satu satu upaya menuju ke sana. Jika pun ada, historiografi tersebut umumnya tetap berkiblat dan—meskipun berusaha keluar—terjebak pada paradigma Eropa / Neerlando-sentris.

Tahun 2014, Studia Islamika, sebuah jurnal internasional berbasis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan konferensi bertema “Southeast Asian Islam: Legacy and Interpretation”, sebuah tema yang dalam kontekstulisan initampaknya sangat relevan. Konferensi yang dilaksanakan untuk memperingati hari jadi Studia Islamika yang ke-20 itu menawarkan satu rekomendasi penting, antara lain, tentang pentingnya melakukan kajian Jawa dalam perspektif warisan masa lalu (legacy). Rekomendasi tersebut relevan bagi tulisan ini karena sebagian riset genealogis yang telah disebutkan di awal tidak benar-benar memadai untuk memberikan jalan keluar dari jebakan orientalis atau universalitas agama, tidak pula ia menawarkan satu interpretasi baru bagi kita untuk melihat masa depan studi Jawa.

Dalam satu esainya, “Mencari Historiografi Islam yang Mandiri” (2018), Ahmad Nasih Luthfi, sejarahwan dan editor Etnohistori, pernah mengajukan dua pertanyaan penting yang kira-kira bunyinya seperti berikut: “Pertama, bisakah kita membuat periodeisasi sejarah Islam Indonesia yang mandiri (yang non-kolonial sentris)? Jika memang bisa (membuat historiografi tanpa melibatkan realitas makro kolonial), realitas macam apa yang dapat kita peroleh?” Pertanyaan Luthfi ini, yang senada dengan perdebatan mutakhir di kalangan sejarahwan lain (seperti, Purwanto & Adam [2013]; Purwanto[2006]; Margana, dkk. [2017]), penting karena ia membuka arah baru bagi penulisan sejarah alternatif, suatu penulisan sejarah yang tidak hanya berusaha keluar dari jebakan diskursus kolonial, melainkan juga menawarkan suatu perspektif historiografi yang ideal, yang menjadikan sumber-sumber arkaik Jawa sebagai data primernya atau—setidaknya—memosisikan penulis Jawa sebagai subjek yang menulis ‘Islam’nya sendiri.

Yang dilakukan oleh Geertz, Woodward, Hurgronje, serta para pengkritiknya, mulai dari para sarjana Barat, seperti Steenbrink, Laffan, Asad, dan Boogert hingga sarjana Indonesia, seperti Azra, Salim, Jamhari, Ali, Prasetyo, Burhanuddin, serta para Indonesianis lainnya jelas memberi peta tersendiri bagi perkembangan kajian Islam Jawa, namun—sejauh pengamatan penulis—kajian mereka pada umumnya berbasis pada antropologi murni atau sejarah agama, yang meskipun menggunakan literatur sejarah, umumnya hanya mengutip karya sastra Jawa sebagai ilustrasi atau sumber sekunder semata, bukan sebagai titik pijak bagi pengembangan analisis selanjutnya.

Tidak hanya itu, sebagian kajian antropologis dan historis mereka  masih menjadikan sumber-sumber akademik dari para sarjana Barat atau—paling banter—arsip-arsip VOC sebagai pilihan utama, suatu pilihan yang tentu saja dilematis: di satu sisi sumber-sumber tersebut bukanlah sumber arkais atas Jawa karena merupakan produk dari representasi dan interpretasi penulisnya atas Jawa, sementara sumber-sumber sejarah tentang Jawa sendiri yang berasal dari babad, hikayat, atau pun serat dianggap tidak memenuhi standar ‘kepakaran ilmiah-akademis’ (penuh mitos dan fiksi) yang disebabkan justru antara lain oleh berbagai streotipe yang berasal dari sumber-sumber yang pertama disebutkan itu.

Dengan demikian, dibutuhkan suatu disiplin tertentu yang mampu menghubungkan kajian genealogis dengan kerja historiografis, suatu disiplin yang akan membantu kita memahami bagaimana masa lalu seringkali dibentuk oleh pengalaman masa kini. Kerja historiografis semacam ini juga akan menjelaskan munculnya berbagai streotipe yang tampaknya cukup berbahaya bagi pandangan kita saat ini tentang Islam (dan) Jawa, dan karena itulah riset untuk menguji streotipe-streotipe itu mutlak dibutuhkan. Kerja semacam ini, tentu saja, bukanlah tugas yang mudah, namun jauh lebih tidak mudah lagi jika streotipe-streotipe itu mengakar jauh hingga masuk ke dalam narasi besar sejarah kita saat ini.

Dalam konteks historiografis, representasi atas Islam Jawa tidak cukup hanya dilihat dari bagaimana para sarjana Barat mengkonstruksi Islam Jawa pada saat ini, melainkan juga dari cara mereka mengkonstruksi Islam Jawa pada masa lalu. Dalam artikelnya berjudul “De-colonising Indonesian Historiography” (2004), Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa it is not enough to look at these narratives [narratives on national ethnic or religious identities] in terms of representations only; we also need to uncover the genealogies which have constructed and [re]produced these texts (Tidak cukup bagi kita untuk melihat narasi-narasi besar tentang identitas religius dan etnik hanya dalam kerangka representasi; kita perlu menyingkap genealogi yang mengkonstruksi dan mereproduksi teks-teks semacam ini dalam sejarah). Mengutip apa yang dikatakan oleh Bernard Cohn (1987), kajian genealogis (tentang bagaimana sejarah dimediasi oleh kebudayaan) dan kajian historiografis (tentang bagaimana kebudayaan dimediasi oleh sejarah) bisa memberi pijakan kuat untuk mengenalisis bagaimana streotipe, pandangan, dan asumsi orang dalam mengkonseptualisasikan masa lalu, serta kategori-kategori apa saja yang mereka gunakan untuk mengklasifikasikan dunia. ‘Islam Jawa’, harus diakui, merupakan hasil dari dualisme proses semacam ini.

Selain itu, narasi besar atas Islam Jawa umumnya diproduksi oleh literatur-literatur yang ditulis oleh para sarjana Barat, literatur-literatur yang—sebagaimana telah disinggung di awal—semata menghasilkan metanarasi yang penuh bias dan streotipikal, sehingga dibutuhkan suatu produk narasi lokal yang berasal dari literatur Jawa sendiri atas sejarah masa lalunya, dan historiografidalam hal inimenjadi perspektif penting untuk mengurai kompleksitas narasi lokal tersebut dengan menawarkan—meminjam istilah J.J. Ras (1987)—testimoni internal dari teks-teks lokal itu. Sumber-sumber sejarah yang berasal dari dan ditulis oleh para pujangga Nusantara sebaiknya perlu ditempatkan sebagai literatur yang secara struktural menjelaskan Islam Jawa menurut pandangan hidup orang Jawa itu sendiri. Meskipun sebagian kalangan berasumsi bahwa naskah-naskah, seperti Babad, Hikayat, atau Serat, dipenuhi oleh berbagai unsur mitos, naskah-naskah itu bisa menjadi catatan historis atas Islam Jawa yang bisa digunakan oleh para sejarahwan untuk menulis tentang sejarah Islam Jawa.

Akan tetapi, masalah ini pada akhirnya harus beradapan dengan suatu kenyataan: historiografi tetaplah sebuah representasi atas sejarah; dan sebagaimana sebuah representasi, ia tak akan pernah benar-benar mampu menampilkan narasi yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Untuk itulah dibutuhkan suatu perspektif Historiografi alternatif yang mampu mempertanyakan representasi para sejarahwan atas narasi yang ia bangun, baik yang bersumber dari literatur-literatur sarjana Barat maupun dari teks-teks sastra itu sendiri. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa kajian historiografi pascakolonial, yang menurut Prakash (1992: 8) berusaha mempertanyakan secara radikal segala bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang telah didominasi oleh dominasi sarjana Barat (…to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and western domination), menjadi satu keniscayaan tesendiri.

Historiografi pascakolonial berusaha mengungkap narasi-narasi kecil yang sengaja dihilangkan dalam narasi panjang sejarah penulisan Islam Jawa oleh para sarjana Barat. Historiografi semacam ini tentu relevan dihubungkan dengan kajian genealogis, karena kajian ini dapat membantu kita melacak perkembangan epistemologis dari konsep-konsep yang turut membentuk penafsiran kita atas Islam Jawa.

Dengan demikian, perlu adanya kajian historiografi pascakolonial yang menjadi fondasi teoretis untuk menganalisis Islam Jawa, sementara kajian genealogis menjadi kanopi metodologis untuk melacak miskonsepsi atas Islam Jawa yang selama ini dibangun oleh para sarjana Barat, baik mereka yang menjadikan literatur Jawa sebagai sumber primer maupun mereka yang nyaris sama sekali tidak mengutip literatur Jawa untuk membangun konsepnya tentang Islam Jawa. Ringkasnya, tanpa kajian genealogis, mustahil historiografi bisa melakukan otokritik terhadap narasi sejarah alternatif yang ditawarkannya; begitu pula, tanpa kajian historiografis, genealogi ibaratnya tubuh tanpa kaki, yang tidak mempertanyakan dimensi masa lalu dari teks-teks akademis yang dikritiknya.

Asumsi-asumsi inilah yang menuntun penulis untuk melacak genealogi Islam Jawa, pertama-tama sebagai suatu konsep yang definisinya tidak tunggal, penuh dengan miskonsepsi dan logika yang inkosisten, dan cacat epistemologis dalam berbagai karya-karya antropologi sarjana Barat, untuk kemudian membandingkannya dengan karya-karya historiografis para sarjana Barat dan Indonesia yang menjadikan karya-karya sastra arkaik Jawa, seperti Babad Jaka Tingkir, Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, Serat Cabolek, dan sebagainya sebagai sumber utama mereka. Singkatnya, tulisan ini ingin mempertanyakan asal-muasal (genealogi) konsep ‘Islam Jawa’ yang banyak ditemukan dalam teks-teks akademis sarjana Barat di satu sisi, sekaligus menunjukkan bagaimana genealogi tersebut dipertanyakan dalam teks-teks akademikorang Jawa sendiri yang notabene merujuk pada sumber-sumber arkaik utama dalam tradisi penulisan sejarah Islam Jawa di sisi yang lain.

Bersambung….