Author Archives: Diwan Masnawi
“Banser! Selamat datang di abad ke-2 Nahdlatul Ulama.” Begitu kira-kira sepenggal ungkapan Gus Ketum NU dengan pidatonya yang menggelegar di resepsi 100 Abad NU.
Wahai kader-kader PBNU, di abad kedua NU ini kelak di setiap acara-acara PBNU bukan hanya asap udud atau asap dupa saja yang bakal mengepul di udara tapi bakal ada pendatang baru yang ikut serta membumbung ke langit; yakni, selamat datang di keluarga besar PBNU, wahai asap batubara!
Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini PBNU telah memastikan untuk mengajukan izin tambang. Alasan utama pengajuan ini adalah karena PBNU sedang BU (butuh uang). Untuk menjalankan organisasi sebesar ini tentu saja membutuhkan uang. Wong butuh, gimana lagi?
Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, bilang “Masa imajinasi kembangkan sumber daya NU kok iuran warga. Ini gara-gara kelamaan melarat ini.” Ya, kok iuran warga, sih, uang dari tambang batu bara, lah.
Hal ini bermula dari pemerintah Presiden Jokowi yang ingin mencari jalan supaya distribusi pengelolaan sumber daya alam dapat terbagi secara merata. Seperti kita ketahui bersama ada ketimpangan distribusi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia ini. Perusahaan-perusahaan tambang besar telah menguasai jutaan hektare, kalau dilelang lagi nanti akan jatuh ke perusahaan tambang besar itu lagi, dan enggak akan terjadi distribusi. Pemerintah melakukan ini dengan itikad yang baik.
Dari kenyataan demikian Gus Yahya menjelaskan “maka dijadikan lah ormas-ormas agama itu dijadikan sasaran, tapi sasaran masuk akal. Ormas dipakai urusan agama dan sampai pada umatnya” ucapnya dalam pidatonya di acara ‘Halaqah Ulama’ di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (11/6) seperti dikutip CNN Indonesia.
Tapi apakah Pemerintah sampai hati untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah yang memberikan kesempatan bagi ormas dan komunitas keagamaan saja. Bagaimana dengan perasaan aktivis-aktivis di organisasi non-keagamaan, semisal teman-teman di komunitas pecinta reptil. Kenapa pemerintah tidak memberikan kebijakan afirmasi untuk mereka, misal dengan memberikan konsesi lahan hutan untuk suaka dan pengembang-biakan reptil-reptil yang dicintai oleh komunitas tersebut.
Atau bila memang usulan tersebut terlalu muluk-muluk dan berlebihan, kenapa Pemerintah harus membagi-bagikan sumber daya alam tersebut kepada ormas-ormas pusat yang ada di Jakarta, kenapa tidak membiarkan warga setempat untuk mengelola ruang hidupnya sendiri? Tentu mereka akan menjaga kekayaan tersebut, ruang hidup yang menopangnya, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Bahaya Melaratnya Semangat Khidmah
Sebelum ini semangat khidmat Nahdliyin dalam kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan oleh NU begitu luar biasa. Gotong royong, patungan, dan iuran, menjadi oli yang menggerakan roda organisasi.
Salah-satunya adalah karena ada kesadaran kolektif bahwa NU tidak mempunyai banyak dana, maka warga tidak keberatan untuk turut serta membantu, mempertebal solidaritas. Dari kita, oleh kita, untuk kita.
Namun, apa yang akan terjadi bila Nahdliyin tahu bahwa PBNU telah memiliki dana dari hasil tambang? Apakah akan tetap semangat untuk berkhidmat secara cuma-cuma? Membayangkan ini menjadi mengerikan.
Lalu bagaimanakah uang dari tambang tersebut akan didistribusikan dalam program-program PBNU, apabila distribusi kelak tidak adil, hal tersebut akan mengikis kepercayaan sosial, kohesi antar Nahdliyin dan bahkan para pengurusnya, serta melemahkan solidaritas. Lebih jauh dari itu akan melemahkan kebahagian dalam ber-NU.
Tentu Para Kiai Tahu Mana yang Lebih Penting
Tentu saja yang terhormat para pengurus PBNU telah mengetahui dampak krisis ekologis yang terjadi akibat dari aktivitas ekonomi ekstraktif.
Toh, sebelumnya, di tahun 2015 PBNU telah mengeluarkan rekomendasi hasil dari putusan bahtsul masail yang tidak memperkenankan eksploitasi berlebihan kekayaan alam, yang menimbulkan mudharat lebih besar.
Para kiai dengan empati yang penuh dan rasa hormat yang tinggi atas batas-batas planet, atas masyarakat di sekitar lokasi penambangan dan bagi generasi yang akan datang, telah bersikap untuk menjunjung tinggi kemaslahatan yang utama. Tentu telah mengetahui apa yang lebih penting.
Apakah kita akan ikut berlari-lari dalam treadmill tak berkesudahan untuk menopang terus pertumbuhan ekonomi, untuk terus membakar fosil, dengan ongkos mahal yang harus dibebankan pada Bumi, masyarakat-masyarakat di pinggiran, generasi yang akan datang, dan lebih umum stabilitas kosmis. Atau kita bergerak menjadi agen utama yang menarik tuas rem darurat krisis ekologis ini.
Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini, tentu para pengurus PBNU lebih tahu mana yang lebih penting untuk dunia, untuk O Universe dan Ayyuhal’alam. Sebagaimana pidato berapi-api Gus Yahya di resepsi 1 abad NU silam.
Pada abad ke-21 Masehi ini sebagian manusia sedang hendak meninggalkan lembaran-lembaran lama sejarah manusia di era-era terdahulu dan bersiap membuka lembaran baru yang belum pernah ada presedennya, sebuah lembaran yang benar-benar baru dalam buku tebal kemanusiaan. Kemajuan dalam berbagai bidang semisal teknologi informasi, komputer, teknologi medis dan kemajuan-kemajuan lain-lainnya benar-benar berusaha untuk menghadirkan sebuah lembaran yang benar-benar baru ini. Dengan sains berada di tangan kanannya dan teknologi di tangan kirinya manusia hendak mengambil alih kontrol evolusi, meretas hukum alam, merekayasa apa saja. Manusia tidak akan lagi dikontrol oleh alam tetapi manusia yang mengontrol alam (Tirosh-Samuelson, 2006).
Chip komputer yang ditanamkan ke dalam tubuh manusia akan memberi tahu kita tentang apa yang harus dan tak boleh kita makan, status kesehatan kita, juga berapa kalori yang telah terbakar setelah kita berolahraga. Kemampuan pelacakan GPS dapat mengetahui di mana kita berada. Seseorang bisa hidup dalam umur yang panjang tanpa harus ringkih dan keriput, namun tetap sehat dan bugar. Organ tubuh yang telah rusak atau rapuh bisa digantikan dengan organ yang kapasitas dan kemampuannya lebih besar. Emosi bisa dikontrol. Robot-robot akan membantu apa saja yang kita programkan. Atau segala kemajuan peningkatan sains dan teknologi yang sering disebut sebagai Transhumanisme.
Mungkin film-film sains fiksi, tidak akan berakhir hanya dengan riuh tepuk tangan penonton saja, melainkan bergerak jauh, mungkin kelak menjadi realitas baru.
Yuval Noah Harari mengatakan bahwa tantangan terbesar manusia di abad ke-21 adalah meletusnya revolusi teknologi informasi dan revolusi bioteknologi (Harari, 2018). Dunia bergerak semakin cepat dan mencengangkan setelah kedua revolusi tersebut. Intenet mempercepat dan melipat dunia. Kemajuan dalam bioteknologi mengantarkan manusia untuk bisa mengedit bentuk tubuh, menunda kematian, bermain-main dengan tubuh.
Sebelumnya di abad ke-20, Aldous Huxley dan George Orwell menerbitkan novel yang seperti sedang mencorat-coret cetak biru sejarah masa yang akan datang. Huxley menulis novel yang berjudul Brave New World (pertama kali diterbitkan pada tahun 1932) dan Orwell menulis novel 1984 (pertama kali diterbitkan pada tahun 1949).
Brave New World menampilkan bagaimana biologi bisa direkayasa, seperti penetasan manusia yang bukan dari rahim seorang ibu melainkan menetas dalam in vitro. Obat-obatan mampu untuk memberikan kebahagiaan secara instan atau bagaimana hormon-hormon ciptaan bisa memodifikasi perilaku dengan melalui pengulangan subliminal yang konstan. Brave New World seperti mengintip atau ikut meramalkan bagaimana revolusi bioteknologi meledak. George Orwell dengan 1984 menampilkan bagaimana perkembangan teknologi informasi bisa bergerak jauh dengan telescreen-nya. Sedikitnya membayangkan meledaknya revolusi teknologi informasi. Fiksi-fiksi ilmiah itu tidak berhenti hanya untuk tetap menjadi sekadar fiksi, ia menggerakan tangannya lalu perlahan-lahan membukakan pintu yang memisahkan antara fiksi dan realitas.
Pada dasarnya hasrat untuk memperluas dan meningkatkan kapasitas manusia sama tuanya dengan perjalanan panjang spesies manusia itu sendiri, dengan bagaimana kita selalu ingin memperluas batas-batas eksistensi, seperti dalam sosial, geografi, mental ataupun kemampuan fisik. Salah-satu hasrat purba manusia untuk meningkatkan dirinya adalah keinginan untuk berumur panjang atau sering disebut dengan istilah Radical Life Extension.
Seremoni-seremoni ataupun ritual khusus dalam kematian dan penguburan di berbagai tradisi dan agama juga epitaf pada nisan-nisan serta kertas-kertas berisi ratap-ratapan atas kematian menandakan setidaknya bahwa manusia merasa terusik ketika orang-orang yang dicintainya meninggal dunia. Walau kepercayaan pada akhirat telah umum di berbagai tradisi dan agama namun itu tidak menghalangi upaya untuk memperpanjang kehidupan duniawi seseorang (Bostrom, 2005). Terdapat satu legenda yang berasal dari reruntuhan Sumeria Kuno, sepotong literatur tertua yang tertulis, The Epic of Gilgamesh, berasal dari sekitar lima ribu tahun yang lalu, mengisahkan tentang raja Gilgamesh yang ingin melawan kematian (Lifsin, Helm, Greenberg, Soenke & Pyszczynski, 2019). Walau dalam kisah tersebut, Gilgamesh pergi dengan hasrat penuh untuk menaklukan kematian dan mendapatkan keabadian namun ia pulang bukan dengan kematian lunglai berada di pundaknya melainkan dengan sepercik kearifan baru. Ketika para dewa menciptakan manusia mereka menetapkan kematian sebagai akhir tak terelakan bagi manusia, dan manusia harus belajar untuk hidup dengan itu. Dengan kata lain Gilgamesh menyerah pada kematian.
Di kemudian hari pun para penjelajah mencari Mata Air Muda, para alkemis bekerja keras untuk meramu Elixir Kehidupan, dan berbagai aliran Taoisme esoteris di Cina berjuang untuk keabadian fisik dengan cara mengendalikan atau mengharmonikan dengan kekuatan alam (Bostrom, 2005). Namun, sekalipun telah banyaknya beragam hasil temuan dari para alkemis, seperti temuan bahan pewarna baru, atau banyaknya penemuan-penemuan menarik dari para penjelajah, tetapi tujuan untuk mendapatkan umur yang lebih panjang tetap sulit untuk dipahami. Hingga sains dan teknologi menjadi jembatan yang meyakinkan, yang akan mengantarkan manusia pada kehidupan barunya yang panjang, dan bahkan mungkin tak terbatas.
Radical Life Extension
Istilah Radical Life Extension, menurut Ilia Stambler, digunakan untuk menggambarkan sistem ideologis yang menyatakan bahwa memperpanjang kehidupan secara radikal, yang jauh melampaui angka harapan hidup sekarang, dimungkinkan untuk dicapai melalui upaya ilmiah (Stambler, 2014: 1).
Definisi tepat dari Radical Life Extension, atau Life Extensionism, memang agak sulit untuk diartikulasikan. Istilah Life Extensionism relatif baru dan bahkan menurut Stambler (2014) asal usul tepatnya tidak pasti. Walau akan sangat tentu bahwa istilah “life extension” atau juga prolongation of life dalam teks-teks awalnya, atau juga istilah peremajaan (rejuvenation), sudah ada sejak lama. Prolongation of life dan rejuvenation dikaji oleh Alchemy dan Gerocomia di Abad Pertengahan dan di zaman sekarang hal-hal tersebut dikaji oleh gerontologi eksperimental dan obat-obat anti-penuaan, walau tentu saja apa yang dilakukan oleh para alkemis dan gerontolog di dua zaman yang berbeda adalah tidak persis sama, tetapi menandakan bahwa istilah-istilah terkait sudah akrab dari zaman Abad Pertengahan.
Pada paruh kedua abad ke-20, para pendukung Life Extension secara alternatif disebut dengan sebutan prolongevitists, life-extensionists, immortalists, atau transhumanists, dan tampaknya tidak mempunyai gelar yang disepakati sebelumnya. Studi saat ini mengusulkan untuk menggunakan istilah “life-extensionist” secara umum untuk menunjuk “proponents of life extension” para penyokong perpanjangan hidup (Stambler, 2014: 4)
Pada tataran praktiknya Radical Life Extension saat ini memiliki beberapa bentuk dan pendekatan yang berbeda sebagaimana Derek Maher dan Calvin Mercer dalam pengantarnya di buku Religion and the Implications of the radical life extension (2009) menghimpun beberapa program riset yang, bahkan bila secara tidak langsung, ikut berkontribusi dalam usaha pemanjangan kehidupan manusia, seperti:
1. Rekayasa Genetik: Secara sederhana rekayasa genetik adalah usaha ilmuwan untuk mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab atas penuaan dan belajar mematikannya. Beberapa percobaan pada beberapa spesies hewan melalui intervensi genetik mengalami peningkatan besar dalam rentang hidup hewan-hewan tersebut. Semisal, perubahan hanya dalam satu gen cacing nematode dapat secara signifikan memperpanjang umur cacing. Pada beberapa cacing jantan, rentang hidupnya telah meningkat enam kali lipat. Selain juga diuji-coba kepada ragi, lalat buah dan tikus, yang tentunya bertujuan untuk mencoba mengaplikasikannya pada tubuh manusia.
2. Rekayasa Genetik Germline: Ini mengacu pada memanipulasi sel “kuman” (yaitu sel telur dan sperma), yang pada dasarnya, merekayasa bahan genetik dalam embrio manusia. Apabila ini berhasil kemungkinan untuk merancang obesitas, penglihatan yang buruk, kanker, kemampuan musik, IQ yang lebih tinggi, dan umur panjang dapat dirancang sesuai desain. Masih ada banyak kendala teknis untuk diatasi sebelum rekayasa “desainer bayi” dapat dimanfaatkan secara rutin dengan manusia, tetapi rekayasa genetika germline adalah bagian penting dari bioteknologi yang muncul.
3. Penggantian Jaringan dan Organ: Paradigma sekarang menganggap bahwa tubuh manusia seperti halnya mobil, lambat laun ia mengalami kerusakan-kerusakan dan bila satu bagiannya benar-benar rusak kita menggantinya dengan yang baru, dan tetap menganggapnya sebagai mobil kita sendiri. Begitu pula secara teoretis kita dapat mengganti beberapa organ kita yang rusak dengan organ orang lain yang masih bagus, dan seiring waktu ke depan kita bisa mengganti lebih banyak bagian tubuh manusia daripada yang mungkin sekarang. Walau tentu saja, otak dan sistem saraf berada di liga yang berbeda; Namun, ada program penelitian yang dapat berdampak pada penggantian bagian-bagian penting ini atau memungkinkan pertumbuhannya kembali. Penelitian tentang kloning terapeutik, yaitu memproduksi organ dan jaringan untuk transplantasi ke manusia, sedang berlangsung, meskipun ada perdebatan etis tentang hal itu.
4. Penggabungan teknologi komputer dengan biologi manusia: Kita sudah terbiasa membiarkan alat pacu jantung berada dalam tubuh kita, dan suatu hari di masa depan nanti kita mungkin akan lebih rutin membiarkan tubuh kita berinteraksi dengan komputer. Seperti implant untuk membantu orang tuli mendengar, dan implant untuk membantu yang buta melihat sedang dikembangkan. Semakin lama, komputer akan tertanam dalam tubuh kita, cyborgisasi semakin biasa dilakukan.
5. Teknologi Pemindaian: Teknik pemindaian non-invasif, seperti MRI dan CAT, secara rutin digunakan. Teknologi pemindaian otak dengan cepat meningkat dalam resolusi. Dapat dibayangkan, para ilmuwan pada akhirnya akan mengintip ke dalam sinapsis dan merekam aktivitas neurotransmitter, memperoleh model terperinci dan simulasi semua wilayah otak. Jika otak benar-benar dipetakan, tugas mendesain ulang dan membangun kembali akan semakin meningkat.
6. Nanoteknologi dan robotika: Bidang nanoteknologi dan robotika dapat memfasilitasi beberapa modalitas umur panjang yang ekstrem ini. Penelitian nanoteknologi aktif dengan hewan dan pada akhirnya dapat menghasilkan alat sel terkomputerisasi berukuran sel darah yang disebut nanobot, yang mampu memanipulasi biologi manusia pada tingkat sel. (Maher dan Mercer, 2009:4-6)
Walau ada banyak variasi dalam upaya memperpanjang kehidupan, namun agaknya yang mampu menyatukan beragam pendukung Life Extension adalah sebuah spirit tentang nilai tanpa syarat dari kehidupan manusia, optimisme dan keyakinan yang tak tergoyahkan akan kemajuan, untuk mencapai keseimbangan sosial dan biologis yang bertahan lama. Upaya untuk menuju pada tujuan absolut dari memperpanjang kehidupan secara maksimal bagi sebanyak mungkin orang, atau setidaknya untuk para pendukungnya sendiri dan kelompok-kelompok yang terkait (Stambler, 2014: 3).
Agama dan Transhumanisme
Maher dan Mercer mengatakan bahwa belum ada intervensi medis yang sempurna untuk memberhentikan atau membalikan penuaan (Maher & Mercer, 2009: 4). Namun, kemungkinan perpanjangan hidup itu begitu dekat terbuka, dan maka agenda ini menjadi sebuah isu yang penting untuk dibicarakan oleh publik, tidak hanya dalam lingkaran komunitas ilmiah saja, namun harus melibatkan banyak lapisan masyarakat untuk mempercakapkan ihwal iini. Sejarah panjang manusia memahami bahwa pola alami fase manusia adalah lahir, hidup, dan lalu mati, apabila satu fase dalam pola itu hilang, tentunya yang dimaksud adalah yang terakhir, bagaimana implikasinya terhadap nilai-nilai manusia, dan kehidupan itu sendiri. Gempa kebudayaan seperti apa yang akan terjadi. Salah-satu stakeholder yang harus terlibat dalam percakapan tentang Radical Life Extension ini tentu saja adalah agama. Larry King, seorang penyiar dari Amerika, pernah menyatakan bahwa satu-satunya alasan mengapa agama masih ada adalah kematian. lanjutnya, jika tidak ada kematian agama tak lagi dibutuhkan (Trothen, et.al., 2017: 286). Asumsi tersebut memang masih bisa diperdebatkan, tetapi kematian menjadi tema sentral dalam agama, selain juga kehidupan.
Derek F Maher dan Calvin Mercer menyusun satu buku bunga rampai yang berjudul Religion and The Implications of Radical Life Extension, satu buku penting yang menyediakan mikrofon bagi para sarjana-sarjana agama untuk menyuarakan bagaimana agama-agama di dunia memandang dan menanggapi ihwal agenda RLE ini. Karena bagi Maher dan Mercer, Radical Life Extension ini dan umumnya teknologi yang meningkatkan manusia (Human enhancement technologies), harus mempunyai posisi penting dalam diskursus publik sebagaimana halnya isu terorisme atau perubahan iklim global (Maher & Mercer, 2009: 7). RLE harus menjadi obrolan publik. Sebab, bagi mereka, para ilmuwan seharusnya tidak menjadi satu-satunya orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan yang harus dijalani oleh umat manusia.
Agama dalam menanggapi ihwal wacana RLE ini akan berada dalam dua posisi, apakah ia menentang agenda tersebut atau mungkin menjadi penyokong dan melegitimasi wacana tersebut. Tentunya, kemunculan Transhumanisme menjadi tantangan besar bagi agama. Apa yang dihasilkan oleh gerakan transhumanisme secara perlahan-lahan mencongkel fondasi-fondasi agama. Agama-agama dunia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendesak apabila Radical Life Extension benar-benar terrealisasi seperti bagaimana tradisi agama dapat memikirkan kembali konsep-konsep seperti kehidupan kekal, akhirat, atau reinkarnasi? Bagaimana prospek mencegah kematian berdampak pada bagaimana orang menjalani kehidupannya? Bagaimana dimensi ritual dan institusional agama bisa berubah? Bagaimana narasi tradisional dapat dikonfigurasi ulang atau digunakan ulang untuk membantu memahami realitas baru yang akan membingkai kehidupan manusia yang baru dan berkepanjangan?
Memang seperti selalu ada sebuah dilema dalam setiap pencarian untuk meningkatkan kondisi manusia, upaya untuk melampaui batas-batas alami selalu dipandang secara ambivalen. Pada satu sisi hal tersebut begitu diidamkan oleh manusia, namun pada sisi yang lainnya menlampaui batas-batas alami melahirkan ketakutan, seperti ada plang bertuliskan “kawasan terlarang” dan sering dipercaya bahwa ketika mengejarnya akan menjadi bumerang, akan menjadi bencana. Namun, paradigma ambivalen, bagi para transhumanist, berakhir seketika epoch Renaisans terbit. Renaisans mengantarkan para transhumanist melalui epoch-epoch lanjutan yang memberikan tombol keputusan berada di tangan manusia itu sendiri, pada kehendak bebas individu.
Modernitas memberikan kemajuan besar bagi manusia, memberikan dignity, namun tak hanya itu saja, modernitas pun memberikan disaster bagi manusia. Sains dan teknologi menciptakan kerangka kerja dan transnasional bagi industri, ekonomi, informasi, medis dan lainnya. Namun, betapa pun membantunya sistem itu, sains dan teknologi dalam dirinya sendiri tidak memiliki makna dan nilai (Wilber, 1998). Ilmu pengetahuan memberikan pengetahuan tentang apa yang ada, tapi tidak dengan apa yang seharusnya. Ilmu pengetahuan memberikan pengetahuan tentang elektron, atom, bit data digital, sistem jaringan; ilmu pengetahuan memberi tahu apa itu benda, bukan apakah itu baik atau buruk atau apa yang seharusnya. Betapa pun efisiennya, ilmu pengetahuan menyisakan lubang menganga, lubang bagi makna, moral, juga nilai. Ken Wilber mengatakan bahwa dalam lubang kosong yang ditinggalkan ilmu pengetahuan itu, agama telah dengan senang hati bergegas mengisinya. Namun, agama pun perlu untuk berbenah diri untuk bisa diterima oleh sains dan teknologi. Agama-agama yang telah menciptakan nilai dan makna, sering menyangkal validitas kerangka kerja ilmiah. Kerangka kerja yang juga menyangga kehidupan meraka, yang menyediakan sebagian besar obat-obatan, perbankan, jaringan informasi, transportasi dan komunikasi bagi mereka.
Penolakan yang sering keluar dari agama terhadap sains, pun disambut dengan baik oleh sains. Karena sains modern dengan gembira menyangkal semua prinsip dasar agama secara umum. Menurut pandangan tipikal sains modern, agama hanyalah tidak lebih dari peninggalan masa kanak-kanak kemanusiaan. Sains modern menyangkal apa yang dikatakan agama, sebab tidak ada bukti empiris yang kredibel untuk semua itu.
Perdebatan melelahkan antara agama dan sains yang dilakukan sambil saling memunggungi ini tentunya bukanlah sesuatu yang baik. Rekonsiliasi antara agama dan sains perlu kiranya mendapatkan perhatian yang besar, hingga akhirnya agama dan sains dapat terintegrasi, saling membukakan lengan, dan sampai pada sebuah pelukan yang erat, pelukan yang diinginkan dan diterima oleh kedua belah pihak.