Author Archives: Luqman Hakim Bruno
Senin lalu sekitar pukul setengah dua dini hari, notifikasi hp saya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ternyata dari salah seorang guru saya membagikan link berita berjudul “Lima Intelektual Nahdliyin sowan Presiden Israel di Tengah Genosida.” Sontak saya terkaget ketika membaca berita tersebut. Dalam benak saya kemudian berfikir kok bisa ya, lima orang lucu dengan mentalitas inlander bergaya seleb itu datang ke suatu negara yang lagi dikecam banyak orang di seluruh dunia. Kemudian kami berdiskusi dengan guru saya tersebut, yang memang dalam beberapa waktu belakangan kami sering mendiskusikan perihal persoalan ini.
Dalam pidato pendek yang disampaikan dalam kunjungannya di Israel, Zainul Maarif, salah seorang dari lima tersebut mengatakan kedatangan mereka berkat menjadi peserta program ITREK (Israel Trek). Zainul memperkenalkan diri sebagai dosen di perguruan tinggi di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yang mana adalah organisasi muslim terbesar di Indonesia bahkan dunia dengan nilai-nilai moderat. Ia mengaku hendak melanjutkan legasi Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang memiliki hubungan dengan Shimon Peres. Ia berharap bisa menormalisasi hubungan, bekerjasama yang saling menguntungkan berbasis kesamaan tradisi agama-agama Ibrahim. Ketika saya mendengar pernyataan tersebut seketika saya mengerutkan dahi, dalam batin saya bergumam, emang nya antum siapa ingin menormalisasi hubungan yang mana Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai Lembaga tertinggi dunia saja angkat tangan untuk menghentikan agresi militer Israil tersebut.
Lalu berita-berita yang berseliweran dengan narasi serupa disambut oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai organisasi yang terkena getah dari ulah beberapa jamaahnya ini. Ketua PBNU, Savic Ali menyayangkan keberangkatan orang-orang itu dan mengklarifikasi bahwa kunjungan mereka sama sekali tidak mewakili NU meskipun ia mengakui bahwa mereka memang nahdliyin dan beberapa diantaranya adalah pengurus NU. Savic juga menambahkan hal itu adalah tindakan atas ketidakpahaman geopolitik dan melukai perasaan warga NU. Kemudian dalam sebuah konferensi pers, Gus Yahya menyampaikan permohonan maaf.
Dalam hal ini tentu posisi saya adalah mengecam tindakan konyol dan tidak tahu malu ini. Saya sepakat dengan Savic Ali bahwa tindakan orang-orang ini menampilkan kedunguan geopolitik. Sebab persoalan Palestina-Israel tidak bisa diselesaikan hanya dengan forum seremonial atau diskusi bina damai. Persoalan di Palestina perlu dipahami sebagai mendalam seturut sejarah dan dinamika geopolitik kiwari.
Saya pikir, peristiwa tersebut tidak seharusnya menguras energi kita dengan sekadar mengolok-olok dan misuhi lima orang lucu ini. Bagi saya hal semacam ini bisa saja terjadi pada siapa saja jika mentalitas inlander bergaya seleb terus dilanggengkan. Sebaliknya mari mengedukasi diri dengan menilik lebih jauh tentang persoalan genosida yang dilakukan Israel di tanah Palestina. Kemudian bagaimana hendaknya kita perlu bersikap atasnya.
Memahami Genosida Israel atas Palestina
Sebagaimana dijelaskan Nur Masalha (2012), apa yang terjadi di Palestina harus dilihat sebagai Nakba yang terus menerus dengan level kebrutalan yang berbeda-beda. Mendudukan pengusiran orang Palestina dari Nakba pada 1948 dalam setiap pembicaraan terkait Palestina sangat penting untuk memahami konteks sejarah yang menjadi alasan mengapa Israel disebut melakukan pembersihan etnis dan genosida sebagaimana sejarawan Ilan Pappe (2011) menyebutnya demikian.
Masalha menambahkan bahwa penyebutan genosida ini berdasar ketimpangan relasi kuasa antara Palestina dengan Israel dalam hal militer, politik, bahkan diskursus pengetahuan. Sebab bila kita lacak ke belakang, penggunaan perangkat diskursif sudah dilakukan sejak kedatangan Ben-Yehuda pada 1881. Ben-Yehuda yang terinspirasi dari nasionalisme linguistik Prancis untuk membangkitkan proyek nasionalismenya dengan mempraktikkan bahasa Hebrew dalam percakapan sehari-hari. Kemudian anaknya, Ben-Zion menerbitkan koran berbahasa Hebrew, Ha-Tzvi, yang pada gilirannya dibredel otoritas Turki Usmani atas desakan komunitas Yahudi Ortodoks Yerusalem. Dari sini dapat kita lihat bahkan peristiwa Nakba dan British Mandate yang menjadi pembenaran genosida bukanlah episode paling pertama.
Selain tentu hari ini banyak negara-negara kuat yang menjadi penyokong kekuatan Israel terutama Amerika Serikat. Sokongan inilah yang membuat resolusi organisasi-organisasi besar seperti PBB dan International Court of Justice (ICJ) seakan lumpuh. Bila organisasi kelas kakap saja gagap, menyelesaikan genosida melalui forum seremonial jelas bagai pungguk merindukan bulan.
Salah Arah Meneladani Gus Dur dan Tidak Bermoralnya Sikap Netral
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sering menjadi legitimasi normalisasi hubungan dengan Israel. Memang sekitar tahun 1994 Gus Dur pernah mengunjungi Israel juga Palestina. Tetapi seperti apa konteks kunjungan itu dan bagaimana posisi Gus Dur perlu kita telaah lebih dalam, sebelum berbusa-busa seolah-olah ingin melanjutkan legasi Gus Dur.
Saat kunjungan Gus Dur itu, Israel dipimpin perdana menteri Yitzhak Rabin dari partai Buruh yang sebelumnya telah berhasil menyepakati Perjanjian Oslo I (Oslo Accord I) bersama Shimon Peres dengan Yasser Arafat, presiden Palestina waktu itu. Ketiga tokoh ini yang nantinya mendapat nobel perdamaian sebab progresifitas bina damai antara Palestina-Israel. Kondisi ini sangat berbeda dengan hari ini dimana Israel dipimpin Benjamin Netanyahu dari partai Likud yang dulu melakukan demonstrasi atas kesepakatan Oslo tersebut. Kesepakatan Oslo semakin rumit setelah pada 1995 Yitzhak Rabin tewas ditembak oleh seorang ultanasionalis bernama Yigal Amir. Setali tiga uang dengan kematian mendadak Yasser Arafat pada 2004.
Selain perbedaan kepemimpinan Israel yang di waktu kunjungan Gus Dur tampak lebih akomodatif terhadap perdamaian. Strategi two state solution yang ia sodorkan dipertegas dengan ucapannya “tegakkan keadilan dan berikan hak-hak Palestina kepada mereka, baru bicarakan perdamaian” ketika ditanya pejabat kementerian luar negeri Amerika Serikat tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina.
Posisi tegas ini sangat penting sebab dalam kondisi perang tak seimbang posisi netral artinya kemunduran dan sikap tak bermoral. Seamus Murphy dalam artikel yang berjudul Neutrality: An Immoral Option? menandaskan bahwa posisi netral hanya bisa ditegakkan dalam situasi damai. Ia menganalogikan seperti supir yang berpikir bahwa mobil bisa terus melaju dalam posisi netral, sebaliknya sopir tidak menyadari bahwa laju mobil itu disebabkan posisi jalan yang menurun.
Senada dengan Mohammed Abu-Nimer, profesor bidang perdamaian dan resolusi konflik American University mengatakan dalam tulisannya yang berjudul Interfaith Peacemakers Cannot Remain Neutral on Gaza. “Banyak pemuka agama dan institusinya terjebak dalam polarisasi dan tidak mampu mengambil posisi etis dan moral yang jelas, tidak ada usaha bina damai yang dapat dipercaya tanpa melibatkan dengan serius tragedi yang dialami orang Palestina. Juru damai harus berdiri menentang pembersihan etnis dan kampanye genosida di Gaza.”
Bila kita mampu memahami yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dan genosida. Maka pengalaman kita sebagai warga negara bekas jajahan seharusnya memupuk solidaritas yang kuat. Lupa sudahkah betapa pedihnya pengalaman nenek moyang kita di masa penjajahan? Sependek itukah ingatan kita tentang betapa pilunya martabat mereka diinjak-injak dan tidak dimanusiakan? Sudah sepatutnya undang-undang dasar negara kita menjadi pedoman bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Apalagi posisi Indonesia sering dianggap sebagai pemimpin negara-negara muslim sebagaimana disebut Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad Ath-Thayib.
Saya berharap argumen-argumen ini tidak disimpulkan bahwa genosida di Palestina adalah persoalan agama, etnis, atau ras tertentu, tetapi harus didudukkan sebagai persoalan kemanusiaan secara luas. Sebab kengerian penjajahan bisa terjadi kepada siapa saja, sebagaimana mentalitas inlander bergaya seleb yang bisa menjangkiti siapa saja. Sebaliknya kita perlu menggalang gerakan kolektif dengan berbagai macam cara untuk melawan penjajahan dimanapun. Sebagai penutup, saya pikir sudah saatnya kita mengoreksi pandangan dan langkah kita supaya tidak mudah terkooptasi dan dimanfaatkan untuk melegitimasi genosida dan penjajahan, tulisan ini salah satu bentuk koreksi awal.
Bacaan lebih lanjut:
Abu-Nimer, Mohammad. (2024). Interfaith Peacemakers Cannot Remain Neutral on Gaza. America Magazine. Available on: Interfaith peacemakers cannot remain neutral on Gaza | America Magazine diakses pada: 17/07/2024.
Masalha, Nur. (2012). The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern, Reclaiming Memory. London: Zed Books.
Murphy, Seamus. (1992). Studies: An Irish Quarterly Review , Summer, 1992, Vol. 81, No. 322, pp. 158-162.
Makdisi, Saree. (2022). Tolerance is Wasteland. California: University of California Press.
Pappe, Ilan. (2011). The Ethnic Cleansing Of Palestine. Oxford: Oneworld Publication.
Wahid, Abdurrahman. (2003). Arti Sebuah Kunjungan. tersedia di Kisah Kunjungan Gus Dur ke Palestina – Alif.ID diakses pada: 17/07/2024