Menu

Author Archives: Muklisina Lahudin

Di Indonesia, ada sekelompok umat Islam yang sangat anti dengan tradisi ziarah kubur. Tak jarang kelompok ini memberikanlabeling “bid’ah” bahkan “musyrik” kepada saudara seimannya sendiri. Dalam bingkai pemikirannya, mereka menganggap bahwa ritual-ritual ziarah kubur semacam sholat, baca yasin, tahlil dan tawasul yang dilakukan para peziarah itu dianggap perilaku TBC (takhayul, bid’ah & khurafat) dan tentu saja harus diperangi. Ustadz-ustadz mereka menjadikan kaum kuburiyyun menjadi first target, sasaran tembak dalam fatwa sehari-hari. Dalam bayangan mereka, tak ada yang lebih urgen selain mendengungkan “dakwah Tauhid.”

Sepintas, fatwa seperti itu tak ada masalah. Mereka mengajak menuju jalan yang haq sesuai petunjuk Allah dan Rasul. Namun secara sosial, metode yang mereka lakukan, jelas meresahkan dan dapat merusak harmoni kerukunan diantara umat Islam. Apalagi fatwa itu seringkali dialamatkan kepada orang yang sebenarnya mempunyai dasar pemahaman dan berislam secara berbeda. Akibatnya hal itu menunjukan sikap yang justru kontraproduktif dengan misi awal, karena metode dakwah semacam itu menyebabkan bibit-bibit permusuhan diantara sesama umat Muslim. Jika kita melihat media sosial hari ini, entah itu grup-grup Facebook , Whatsapp, Youtube, Tik Tok, FB dan semacamnya, beranda kita akan dipenuhi perang konten hingga perang komentar antara dua kelompok ini.

Dan yang paling menggelikan, sesungguhnya mereka tak paham benar akan pokok permasalahan sesungguhnya. Bisa jadi hal itu hanya membuang-buang waktu untuk menumbuhkan ego “siapa paling benar” dan menyuburkan sikap ashobiyah, menganggap kelompoknya paling mulia. Bahayanya lagi, perilaku seperti itu jika terus dipelihara akan menyebabkan konflik di tengah masyarakat.

Mengapa tradisi ziarah kubur begitu mengkhawatirkan?

Mari kita mundur jauh ke belakang, sekitar pertengahan abad 17,  Istana Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I harus luluh lantak oleh serbuan pasukan Trunojoyo. Amangkurat terpaksa meninggalkan istananya kemudian kabur menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC Belanda. Sayangnya, setelah perjalanan berat selama berhari-hari melintasi kerasnya medan lereng Gunung Slamet, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Amangkurat gugur, lalu dimakamkan di Tegalarum, sebuah tempat yang jauh dari istananya. Akibat gugurnya sang raja, istana Mataram yang saat itu berada di Plered, akhirnya dikuasai oleh Raden Trunojoyo.

Jauh sebelum peperangan itu terjadi, tradisi ziarah kubur dan bertapa marak di seluruh Mataram. Panembahan Rama, tokoh agama sekaligus mertua dari Trunojoyo, berusaha untuk menggerakkan  kesadaran beragama bagi orang-orang Islam melalui ziarah kubur ke makam-makam orang suci semacam makam Giri dan makam Tembayat, Sukuh, dll. Di makam-makam itu, selain menekankan pentingnya, khalwat (tapa), berdoa dan bertawassul, ia juga berusaha membangkitkan romantisme masa lalu akan kejayaan para leluhur.

Di sela-sela dakwahnya itu, ia juga mengkhotbahkan betapa telah rusaknya penguasa Mataram yang telah berani bersekutu dengan Belanda, sangat jauh dengan nilai-nilai yang dianut  ayahnya, Sultan Agung. Ia juga mengkhawatirkan masa depan Jawa jika kekuasaan Mataram masih ditangan Amangkurat.

Ziarah kubur menjadi media bagi Panembahan Rama dan orang-orang Islam saat itu untuk berkumpul memperbincangkan nasib, ideologi, hasrat akan keadaan yang ideal tentang negara Mataram Islam. Pada akhirnya, ziarah kubur juga menjadi alat bagi Panembahan Rama untuk membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melawan Mataram yang telah menyimpang.

Pada tahun 1674, Panembahan Rama bersama menantunya Raden Trunojoyo memimpin pemberontakan terhadap  Mataram. Penyerbuan aliansi Panembahan Rama-Trunojoyo ke Plered pun berhasil. Pada tahun 1677 akhirnya kekuatan dari ziarah kubur itu mampu meruntuhkan kerajaan Mataram yang didukung oleh VOC Belanda.

Roda Bumi pun Terus Berputar.

Di Semenanjung Arabia, jauh sekali dari tlatah Mataram, hampir seabad kemudian, tepat di tahun 1727, Negara Arab Saudi yang pertama didirikan. Negara itu didirikan oleh duo Muhammad yang berbesanan, yang satu tokoh agama, satunya lagi kepala suku, mereka adalah Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud.

Untuk mencapai kekuasaan, mereka memerlukan sebuah ideologi yang bisa digunakan untuk merebut pengaruh bangsa arab. Alhasil, terciptalah sebuah ideologi hasil kawin campur antara politik dan agama.  Kolaborasi mereka dimulai dengan melakukan gerakan reformasi sosial-keagamaan dengan cara menentang ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan wali dan ziarah kubur yang saat itu tersebar luas di antara orang-orang Arab. Setelah gerakan itu dirasa memiliki cukup pengaruh, mulailah mereka melakukan protes terhadap kekuasaan Turki Usmani. Akhirnya, pada tahun 1802 gerakan ini berhasil merebut kota suci Islam yaitu Mekah dan Madinah dari tangan Turki Usmani.

Empat tahun setelah menguasai Mekah dan Madinah, “reformasi akidah” dilakukan.  Makam Baqi (makam dimana Rasulullah dan keluarganya dimakamkan) dihancurkan, kecuali makam nabi Muhammad oleh Dinasti Saud karena dianggap menjadi sarana praktek syirik. Namun, alasan sebenarnya adalah Dinasti Saud kemungkinan hendak menghapus jejak keluarga Bani Hasyim yang telah turun-temurun menguasai Mekah dan Madinah. Penghancuran makam ini otomatis memutus hubungan antara para peziarah dengan Bani Hasyim.

Marah dengan tindakan extrim itu, Turki Usmani yang saat itu dipimpin oleh Sultan Mahmud II segera meminta Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasha untuk merebut kembali Mekah dan Madinah dari tangan Abdullah bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Akhir cerita, Abdullah bisa dikalahkan, ia menyerah pada tanggal 9 September 1818Sultan Najd itu lalu dikirim ke Istanbul untuk dieksekusi mati, kepalanya dibuang ke Selat Bosphorus. Dinasti Saud yang pertama itupun akhirnya bubar.

Meskipun telah bubar, namun Dinasti Saud  berhasil menanamkan ideologi dari aliansi politik-agama itu ke dalam benak bangsa arab. Mereka terus bergerilya membangun kekuatan untuk berusaha kembali merebut kekuasaan yang pernah dimiliki oleh leluhurnya.

Pada tahun 1925, sesaat setelah Turki Usmani runtuh, pasukan Dinasti Saud menyerbu Mekah dan Madinah sehingga berhasil merebut kedua kota suci itu dari Syarif Husein, Raja Hijaz saat itu.  Syarif Husein bin Ali adalah keturunan dari Bani Hasyim yang masih memiliki garis keturunan dengan Rasulullah SAW. Ia mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz setelah Turki Usmani runtuh. Sebelumnya, ia adalah Gubernur Mekah di bawah kekuasaan Turki Usmani. Pada tahun 1932, setelah 150 tahun sejak keruntuhannya, seolah terlahir kembali, anak-cucu Saud mendirikan Dinasti Saudi yang baru sehingga mengakhiri 700 tahun kekuasaan Bani Hasyim.

Dinasti Saud masih kokoh berdiri hingga saat ini, kerajaan yang sekarang menjadi negara Saudi Arabia ini adalah buah dari pemberontakan sebuah ideologi yang tercipta dari kawin silang antara politik dan agama. Sayangnya, atas nama Rasul yang mulia, ideologi  itu terus disebarkan ke seluruh dunia, tak jarang mereka menggelontorkan dana  yang begitu besar dari hasil petrodollar. Ya, sebuah dinasti tentu ingin terus berkuasa, tak ingin kehilangan nikmatnya berkuasa.

Jika kita rajin berfatwa tentang syirik dan bid’ahnya ziarah kubur, sesungguhnya kita  telah masuk dalam bagian proyek pelanggengan kekuasaan hampir 100 tahun Dinasti Saud menguasai Mekah dan Madinah. Faktanya, jihad mereka tak lebih dari perjuangan naluri untuk bertahan hidup dan nafsu untuk mencari kekuasaan dibandingkan motivasi agama.

Dan Fatwa-fatwa tersebut jika terus kita pelihara, pada saatnya nanti, jika memiliki kesempatan akan menjadi tunggangan kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Fatwa yang kita kutip sehari-hari bisa jadi adalah fatwa dari hasil gerakan sosial melawan status quo, kesepakatan duo muhammad untuk melakukan jihad guna menyebarkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang lebih berkaitan dengan praktik penyerangan terhadap kaum tradisional di Najd yang memihak Turki Usmani.

Mungkin, kekhawatiran akan tradisi Ziarah Kubur, adalah ketakutan traumatik akan hilangnya kekuasaan yang sanadnya kita diperoleh dari Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud.

Wallahu A’lam Bisshowab