Menu

Author Archives: Nur Wahida Idris

salam bagi jiwaku
salam bagi jiwa-jiwa yang teraniaya

segala yang tak tampak dan yang tak sanggup kau rasakan
datang bagai sekawanan burung yang menyergap dalam gelap
apa yang kau tuhankan dalam dirimu yang kalut
yang mengeras ketakutan di dinding ketidaktahuanmu itu?

bacalah, dengan nama tuhanmu!  
dan kitab-kitab yang kau hempaskan ke dalam diri
sebelum kata-kata menjadi ajal 
bagi doa-doa kepayang di urat lehermu

bacalah!  sebelum darah mereka yang kau nistakan 
menjadi anggur yang memabukkan di altar yang damai,
ladang dan kebun selayang pandang yang menyekap masa kanakmu
bagai katak yang berjalan dalam kabut
dan keyakinan yang berkembang menjadi absurd!

dalam hukum untung malang yang kau tetapkan
berlaku bagai seorang penafsir kitab suci 
dengan tangan gemetar mengeja ayat-ayat 
yang menajak jalan sempitmu ke rumah tuhan 
ke rumah tuhan? Tahukah kau,  di mana tuhan kau rumahkan? 

di ladang dan kebun daun-daun yang dimakan ulat 
tuhan terusir bersama hama dan pagi yang celaka 
sedang matahari tak memberkahi ingatan pada malam 

salam bagi jiwamu 
salam bagi jiwa-jiwa yang tersekap di antara siang dan malam 

Burung-Burung Api

setelah ilmu, mulailah nyanyian burung
membuat pengetahuan menjadi sarang tamasya
bagi kata-kata dan imajinasi

setelah kitab menerangkan apa yang telah kau padamkan
menyalalah mata burung pengintai ke lembah-lembah
membangun taman-taman api 
bagi kematian bintang-bintang

sebelum ilmu, kata-kata hanya gandum, anggur, sayuran
dan berhala-berhala yang tak tahu apakah kau manusia
atau patung-patung samiri yang merayap mencari unggunan api
bagi kekekalan tanah lempung di bawah langit yang rendah

itu hutan kegelapan yang tak kuasa menyentuh kaki kita, katamu
menunjuk langit dan mengingkari cahaya bintang-bintang
sebagai sihir, hanya pesona yang pandir

“tanah berpijak ini tak kuasa merengkuh kekagumannya
pada tubuh kita yang gagah, molek dan berpengetahuan
penakluk langit dan bumi
tak ada surga dan neraka
itu hanya kata-kata orang yang takut pada kegelapan
dan bumi tak hendak jadi surga 
jika kau nyatakan keadilan menjadi penguasa jalan dan kata-kata”

dengan kesantunan dan ilmu kau menduga-duga
maka tiadalah qalbu tiadalah amalan ilmu
di pikiran dan etika pengetahuanmu

aku tak memandang langit dan bumi dengan mata
sebagaimana mataku membedakan warna-warna
karena pikiranku pun tak meraba
sebagaimana jari-jari si buta meraba hurup-hurup braille
aku tidak menjadikan pikiranku hanya sebatas marka jalan
hanya sebagai trotoar

setelah ilmu merentangkan garis lintang
sepanjang peta tubuh
sejauh jalan-jalan rahasia ke ladang
dan kebun-kebun anggurmu
di manakah asal garis dan kata?
di mana sang penulis yang kau hapus namanya?
lalu seperti angsa yang anggun dengan sayap curian
kau bangun menara-menara mimpi menembus langit
+tempat sayap-sayap rapuhmu hinggap menghalau sinar matahari
maka berkicaulah burung-burung api:

“dari sayap-sayap kami yang anggun dan perkasa
sinar kehidupan ini terbit dan menyinari bumi
maka kamilah yang paling berhak 
menjadikannya apa pun yang kami kehendaki”

jika kau ingin cahaya di langit padam
nyalakan cahaya di bumi
dan kunang-kunang benderang di bumi yang padam

karena Tuhanku
Ar Rahman
Ar Rahiim
tidak memberikanku kesantunan dan ilmu
ia berikan kebijaksanaan dan ilmuNya 
bagi hasrat dan kehendakku