Menu

Author Archives: Okta Firmansyah

“The West is now everywhere, within the West and outside,

in structures and in minds.”

Ashis Nandy

The Intimate Enemy, 1983

Selain mabuk jurnal internasional yang terindeks Scopus, WoS (Web of Science), dan lain sebagainya, perguruan tinggi di Indonesia juga keranjingan dengan akreditasi internasional. Beberapa tahun belakangan, perguruan tinggi di Indonesia berlomba-lomba, beradu gengsi, mendaftarkan program studi yang dikelolanya untuk diasesmen oleh lembaga-lembaga akreditasi internasional yang kebanyakan berbasis di Eropa/Barat. Hal ini dianggap wajar, sah, dan bahkan perlu karena, konon, demi menjamin mutu pendidikan tinggi baik secara akademik maupun non-akademik. Mutu yang terjamin akan memberikan efek berantai pada peningkatan reputasi internasional. Reputasi yang baik akan membuat program studi dan perguruan tinggi yang bersangkutan mendapat rekognisi internasional sehingga mampu bersaing secara global; dan pada ujungnya akan masuk dalam radar World Class University (WCU). Apakah ini sebuah keuntungan? Tergantung bagaimana kita memandangnya. Secara nisbi, program studi yang terakreditasi internasional adalah suatu keuntungan karena sederet efek berantai yang disebut barusan. Namun, melalui tulisan ini, saya mencoba beropini dengan memandangnya secara terbalik. Bahwa terakreditasi internasional justru minim keuntungan, karena menambah beban kerja dan mereproduksi hubungan kolonial yang binaris. Bahwa akreditasi internasional baru sebatas kebanggaan yang semu.

Manajerialisme Baru yang Berlebihan

Kajian St. Sunardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial, menyebut bahwa gairah akreditasi di lingkungan pendidikan di Indonesia muncul karena ekses dari praktik manajerial-isme baru, yakni pemakaian manajemen secara berlebihan. Segala hal yang terlaksana mesti berawal dari perencanaan, dan segala yang terlaksana mesti diaudit. Jika tidak diaudit dengan prinsip-prinsip auditing, maka segala hal direncanakan dan terlaksana sungguh layak dicurigai. Di Indonesia, manajerialisme baru ini tertera sejak tahun 1990-an, ketika Bank Dunia (World Bank) dan IMF (International Monetary Fund) mulai mencanangkan program perubahan struktural (Structural Adjustment Program, SAP) di negara-negara berkembang. Perubahan struktural adalah program bantuan untuk negara-negara berkembang yang dilit hutang dan disangsikan tidak mampu membayar. Bantuan baru ini diproyeksikan agar negara-negara penerimanya dapat membayar hutang-hutangnya. Caranya, dengan melakukan perubahan struktural alias negara-negara berkembang yang berhutang perlu membuka diri untuk pasar bebas. Begitu ungkap St. Sunardi lebih lanjut dalam artikelnya.

Dalam tambahannya, St. Sunardi mengatakan bahwa manajerialisme baru ini dijalankan “untuk menguasai, mengontrol, dan memanfaatkan seefisien mungkin berbagai resources dalam kehidupan kita untuk tujuan atau hasil tertentu.” Siapa yang menguasai, mengontrol, dan memanfaatkan? Adalah pasar bebas! Dalam bidang pendidikan, manajerialisme baru yang membudayakan budaya audit yang berlebihan (audit culture) ini justru bertolak dari ideologi pasar bebas, bukan dari cita-cita luhur gerakan reformasi pendidikan yang berpangkal dari gerakan reformasi 1998. Bahwa penyelenggaraan pendidikan pada ujungnya akan menyiapkan manusia agar bisa hidup, bersaing, dan melakukan ekspansi, dalam pasar bebas. Di pasar bebas, idealisme akan dikesampingkan. Padahal dalam pendidikan, idealisme adalah hal yang mesti dijaga supaya pendidikan tetap berjalan dalam prinsip sebagai lembaga pelayanan publik. Bukan sebaliknya, berjalan dalam rel pasar bebas yang mengorbankan idealisme dan menggantinya dengan logika komersial untuk memenuhi pasar kerja masyarakat kapitalisme baru! 

Membayangkan Eropa/Barat sebagai “Yang Baik”

Dari lembaga-lembaga akreditasi internasional yang ada, sebagian besar berbasis di Eropa/Barat. Ada 10 lembaga induk (konsorsium) akreditasi internasional yang diakui dalam persetujuan internasional—dan diakui pula oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia (Kemendikbud Ristek RI). Mereka adalah External Quality Assurance Results (EQAR); Council for Higher Education Accreditation (CHEA); U.S. Department of Education (USDE); Washington Accord; World Federation for Medical Education (WFME); Sydney Accord; Dublin Accord; Seoul Accord; Canberra Accord; dan Asia Pacific Quality Register (APQR). Masing-masing lembaga induk akan menaungi beberapa lembaga akreditasi lainnya. EQAR yang digerakkan oleh Uni Eropa, misalnya, mencatatkan Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA) yang berbasis di Jerman untuk mengakreditasi program studi bidang ilmu sosial-humaniora. Dengan kata lain, FIBAA menginduk ke EQAR. Adapula USDE yang mengakui Accreditation Council for Pharmacy Education (ACPE) untuk akreditasi di bidang ilmu farmasi. Begitu seterusnya. 

Lembaga-lembaga ini akan mengaudit mutu pendidikan di setiap program studi yang mendaftarkan diri untuk diakreditasi. Masing-masing lembaga akreditasi telah menentukan kriteria atau standar yang bervariasi dan mesti dipenuhi oleh asesi agar dapat lulus—terakreditasi. Meski bervariasi, setidaknya ada substansi pokok yang melekat dalam masing-masing kriteria, yaitu outcomes atau luaran. Outcomes merupakan sistem pendidikan yang berfokus pada kemampuan yang dapat diperoleh mahasiswa di akhir pembelajaran. Johannes Eka Priyatma dalam opininya yang berjudul Hantu Akreditasi Baru PT, yang dimuat di Kompas (21 Juni 2019), mengatakan bahwa outcomes adalah paradigma yang baru-baru ini dianut oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia sebagai upaya mengikuti tren internasional. Paradigma ini dipakai untuk menggeser paradigma pendidikan tradisionalsebelumnya yang lebih berorientasi pada input dan proses. Jika input lebih mengarah pada segala potensi yang bisa disertakan dalam penyelenggaraan pendidikan dengan menekankan mekanisme pelaksanaan kurikulum (do) berbasis perencanaan (plan); maka outcomes lebih dari plan dan do dengan menekankan pada luaran (act) atau hasil dari proses pembelajaran serta bagaimana semua itu dievaluasi (check). Dalam bidang pendidikan, outcomes akandiukur dari, seperti, “kesesuaian kompetensi lulusan sesuai dengan profil, serta tingkat dan ukuran tempat kerja lulusan,” ujar Priyatma. 

Dalam akreditasi internasional, persoalan mutu tidak lagi dijaminkan pada Sistem Penjamin Mutu Internal (SPMI) yang dimiliki masing-masing perguruan tinggi secara otonom, melainkan mesti dimodifikasi sesuai dengan paradigma outcomes. Jika suatu program studi mengajukan diri untuk diakreditasi internasional, maka outcomes mesti disesuaikan dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan oleh lembaga akreditasi yang dituju. Sekalipun outcomes disusun dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), penilaian outcomes di sini tetaplah akan berlangsung dalam perspektif Eropa/Barat. Karena merekalah yang ‘memiliki’ lembaga akreditasi internasional dan telah menetapkan kriteria/standar penilaian. Dengan kata lain, outcomes diukur bukan dalam konteks Indonesia atau sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia, melainkan dalam standar nan jauh di sana yang dijalankan di Eropa/Barat, sekalipun outcomes mengacu pada KKNI dan SN Dikti—yang juga pro pasar. Pada titik ini, kriteria/standar yang dikenakan oleh Eropa/Barat dibayangkan sebagai yang terbaik dan berlaku universal. Mitos tentang Eropa/Barat sebagai ‘yang terbaik’ pun semakin langgeng. 

Dalam perspektif kajian pascakolonial, Eropa/Barat sejak dulu kala mewacanakan dirinya sebagai yang unggul dan terbaik dalam banyak hal, termasuk dalam pendidikan. Wacana tersebut bertahan hingga sekarang. Jika Eropa/Barat dibayangkan sebagai ‘yang terbaik’ bagi pendidikan tinggi di berbagai penjuru dunia, maka hal sebaliknya berlaku bagi di luar Eropa/Barat yang dikatakan sebagai ‘yang jauh dari kata baik’.

Atas pemaksaan kesenjangan ini, Eropa/Barat kemudian merasa perlu memberadabkan pendidikan di luar Eropa/Barat yang dikatakan tertinggal darinya. Terlebih bagi pendidikan yang diselenggarakan oleh negara-negara pascakolonial, termasuk Indonesia. Eropa/Barat membuai para pengidap patologi pascakolonial ini agar mengikuti standar pendidikan mereka melalui, salah satunya, akreditasi internasional. Suatu ‘civilizing mission’, kiranya, dari imperium Barat/Eropa untuk negara-negara ‘dunia ketiga’. 

Ashis Nandy (1983) dalam bukunya The Intimate Enemy,berpendapat bahwa ‘civilizing mission’ atau misi pemberadaban adalah lanjutan dari kolonialisme fisik. Bila kolonialisme menjalankan penjajahannya dengan cara yang penuh pemaksaan dan kekerasan, maka kolonialisme lanjutan ini lebih bersifat subtil karena yang dikolonisasi adalah pikiran dan psikis manusia terjajah. Kolonialisme lanjutan seringkali dikesankan bertujuan mulia. Eropa/Barat sebagai kolonialis berupaya mengkontruksi logika biner tentang dirinya yang unggul, terbaik, dan beradab; sementara yang terjajah diposisikan sebagai yang kekanak-kanakan, barbar, tertinggal, dan perlu diperadabkan. 

Suka atau tidak suka, logika biner semacam ini berlaku di kepala banyak orang, hingga sekarang. Salah satunya bisa temui dalam kasus akreditasi internasional. Bahwa pendidikan di Indonesia, negara bekas jajahan, perlu diperadabkan, agar menjadi lebih baik menyerupai Eropa yang dimitoskan beradab. ‘Pemberadaban’ ini seolah tanggung jawab atau beban yang mesti ditunaikan oleh orang-orang kulit putih: ‘The White Man’s Burden’. 

Barangkali akan muncul pertanyaan, bukankah standar/kriteria pendidikan tinggi yang ditentukan Eropa/Barat dan menjadi acuan bersama dapat membawa manfaat bagi peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia? Anggaplah secara faktual, Eropa/Barat ‘memang’ lebih baik dari Indonesia dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi. Sehingga akreditasi internasional tidak perlu diproblematisasi secara berlebihan. Namun, dalam wacana misi pemberadaban yang bermasalah bukan pada kebaikan yang diajarkan atau yang diadopsi untuk kebermanfaatan, tapi lebih karena perbedaan konteks dan sikap yang muncul kemudian. 

Standar/kriteria dalam akreditasi internasional dirumuskan berdasarkan kebutuhan dan berangkat dari kondisi masyarakat Eropa/Barat. Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Perbedaan konteks mestinya juga perlu penyikapan yang berbeda pula. Toh, Jakarta saja selalu gagal menyikapi pendidikan di Indonesia Timur, karena memaksakan kacamata Jakarta untuk melihat Indonesia Timur yang secara konteks dan kebutuhan jelas berbeda. Jika Jakarta saja gagal memandang Indonesia Timur, lantas bagaimana dengan Eropa/Barat yang mencoba memandang Indonesia yang sangat heterogen dan berjarak ribuan kilometer darinya?

Selain konteks, membayangkan Eropa/Barat sebagai yang terbaik dan beradab akan memunculkan suatu sikap hubungan yang hierarkis. Hubungan hierarkis ini kemudian akan memupus sikap kritis dari ‘yang diberadabkan’ kepada ‘pembawa peradaban’ karena adanya relasi kuasa. Pada penekanan inilah ‘civilizing mission’ dalam balutan akreditasi internasional menjadi problematis. 

Berupaya Menyerupai Eropa/Barat

Melalui akreditasi internasional, pendidikan tinggi di negara-negara di luar Eropa/Barat mesti mengikuti standar/kriteria yang ditentukan oleh Eropa/Barat. Konon, sikap mengikuti ini diperlukan agar pendidikan tinggi di Indonesia menjadi lebih baik menyerupai baiknya pendidikan tinggi di Eropa/Barat. Kata ‘menyerupai’ kembali diulang di sini untuk penekanan. Bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tidak akan pernah sama dan sejajar dengan Eropa/Barat, sekalipun kita mencoba mengikuti standar pendidikan mereka dengan sungguh-sungguh dan susah payah. “Almost the same, but not quite,” kata Homi K. Bhabha, salah seorang pemikir dalam kajian pascakolonialisme. Mengapa ‘Hampir sama, tapi tidak cukup’. Mengapa ‘not quite?’ Karena rasisme: ‘not white’. Tambah Bhabha, “Almost the same, but not white”. Rasisme akan senantiasa membedakan segala hal berdasarkan ras. Di sini, Eropa/Barat kembali menekankan diri sebagai ras yang superior. 

Dengan mengajukan diri sebagai asesi dan memandang Eropa/Barat sebagai asesor yang superior, perguruan tinggi di Indonesia malah turut mempertahankan wacana kolonial yang rasis pada diri sendiri. Selain tentunya, juga turut memperkaya Eropa/Barat, karena akreditasi internasional semacam ini jelas berbayar.

Biaya yang mesti dikeluarkan oleh perguruan tinggi agar program studi yang dikelolanya diakreditasi oleh lembaga akreditasi internasional, tentu tidaklah sedikit. Ada yang menyebut ratusan juta untuk sekali asesmen. Tidak berhenti sampai di situ, jika suatu program studi dinilai memenuhi kriteria/standar akreditasi alias terakreditasi, maka ia juga perlu membayar puluhan juta setiap tahun secara berkala dan periodik untuk aktivitas pengawasan (surveillance). Pengawasan ini diperlukan untuk memastikan bahwa kriteria/standar dapat terus dipenuhi secara konsisten dan berkelanjutan atau menjadi bagian dari re-akreditasi. Siapa yang mengawasi? Tentunya, lagi-lagi sang asesor, lembaga-lembaga akreditasi internasional yang merepresentasikan Eropa/Barat sebagai yang beradab.

Lantas mengapa perguruan tinggi di Indonesia rela membayar uang dalam jumlah yang besar hanya untuk keterasingan atas konteks dan pelanggengan mitos Eropa/Barat sebagai ‘yang terbaik’, sebagai ‘yang beradab’. Rela menambah beban kerja berlebih untuk mengisi borang-borang akreditasi yang justru mempertahankan hubungan hierarkis yang binaris?

Editor: Taufiq Ahmad

Mungkin judul tulisan ini terlampau sinis bahkan pesimis atas berbagai kampanye dan praktik keberdayaan para pelaku dalam mata rantai komoditas kopi. Baik berdaya di kelompok hulu kopi: petani kopi, hingga ke hilir kopi: konsumen kopi. Semua ingin berdaya! Berdaya lewat kopi! Lebih-lebih disaat kopi semakin ingar-bingar dibicarakan dan digiati di beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia.

Mengapa gema “Berdaya Lewat Kopi” saya pandang sinis dan pesimis? Pada dasarnya pandangan demikian amat mungkin keliru, bisa disangsikan dan bisa disangkal. Sebab sinisme dan pesimisme yang kemudian terangkum dalam proposisi “Diperdaya Lewat Kopi” masih sebatas tesis yang perlu diselediki lebih lanjut dan diuji ketahanannya. Meskipun begitu, saya coba memberanikan diri untuk menguraikan secara singkat mengapa saya sinis dan pesimis terhadap “Berdaya Lewat Kopi”.

Ada sebuah fakta yang tidak bisa dihindari bahwa negara-negara produsen kopi adalah negara-negara pascakolonial, di mana kondisi masyarakat (negara) hingga hari ini terbentuk akibat peristiwa historis kolonialisme. Dalam arti lain, terus berurusan dengan pengalaman imperialisme Eropa/Barat yang terhitung sejak abad ke-16, sekalipun secara resmi implementasi imperialisme dalam bentuk kolonialisme secara langsung memang telah berakhir. Sifat dan karakter kolonialisme masih berjejak dan begitu terasa dalam berbagai aspek hidup negara-negara bekas jajahan, hingga kini.

Seberapa sering kita mengonsumsi kopi konsumsi di kafe-kafe atau kedai-kedai (out-of-home consumption)? Sebuah gaya konsumsi yang dinternasionalisasikan pertama kali oleh kedai ikonik Amerika Serikat, Starbucks, pada tahun 1996 yang kemudian kopi menjadi budaya populer “khas” Amerika? Seberapa sering kita memperbincangkan beragam konsep dalam manual brewing coffee (kopi yang diseduh secara manual/non-mesin) yang sekarang sedang naik daun? Seberapa sering kita meminjam lidah orang-orang Eropa/Barat ketika mencicip kopi atau menguji mutu-rasa kopi dengan cupping protocols, coffee taster’s flavor wheel, sensory lexicon, dan seterusnya dari Specialty Coffee Association of America (SCAA) dan lemabaga yang terafiliasi dengannya? Seberapa besar kemauan kita untuk memenuhi maklumat sertifikasi kopi yang sejalan dengan prinsip, yang konon dikatakan adil dan berorientasi pada lingkungan, seperti yang digadag-gadang Fair Trade, misalnya? Bukankah semua perilaku ini mengisyaratkan bahwa subjektivitas kita dikonstruksi oleh orang di luar diri kita—kita dipersuasi untuk menyikapi kopi yang kita tanam di tanah sendiri dengan perspektif Eropa/Barat? Bukankah ini sebentuk dominasi ekonomi, pengetahuan, dan kebudayaan (yang seringkali disebut neo-kolonialisme) dari negara-negara “eks” kolonialis terhadap Negara-negara yang secara formal telah merdeka dari kolonialisme? Inilah yang dimaksud situasi pascakolonial, kiranya. Bahwa kolonialisme Eropa/Barat secara riil masih berlangsung di berbagai wilayah yang dulu menjadi jajahannya, meski dalam wajah yang berbeda dan seringkali begitu subtil.

Brazil, Vietnam, Kolombia, Indonesia, Ethiopia, India, Meksiko, dan berbagai negara yang tersebar di tiga benua: Asia, Afrika, dan Amerika (Selatan), adalah negara-negara pascakolonial yang berpredikat sebagai negara-negara produsen kopi terbesar dunia seturut International Coffee Organization yang bermarkas di London, Inggris (bahkan untuk menyatakan predikat itu pun, Inggris mengambil peran). Sementara Eropa, yang mencakup Italia, Spanyol, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, serta Amerika Serikat di belahan lainnya adalah negara-negara konsumen kopi utama dunia cum negara-negara kolonialis. Persis dalam relasi dua “rumpun” negara ini, kopi sebagai komoditas konsumsi dibicarakan dalam tulisan ini. Agar lebih kongkrit, saya mencoba menengahkan bagaimana Indonesia yang menanam kopi diperdaya oleh Eropa/Barat yang mengonsumsi kopi, khususnya yang dipotret dari istilah (konsep) specialty coffee.

Specialty Coffee

Ada banyak istilah yang terkait kopi yang telah menjadi pengetahuan umum di lingkaran pelaku kopi. Kebanyakan dari istilah-istilah ini berkesan “ilmiah” [1] dan dinyatakan dalam bahasa asing: Inggris dan Italia. Sebut saja: American Roast, Espresso, Americano, Fair Trade Coffee, Mocha Java, Single Origin Coffee, Specialty Coffee, Hulling,  Manual Brewing Coffee, Natural Process, Artisan Coffee, Micro-Lot, dan banyak lagi yang lainnya. Bila mengikuti pendapat umum, saya pun akan maklum dengan dalih: pertama, selain dengan inderawi, kopi juga bisa diukur secara rasio/akal-budi; kedua, dengan begitu, maka kopi tergolong sebagai fakta ilmiah dan praktik pengetahuan yang objektif; dan ketiga, hal ini (mulanya dan umumnya) dirumuskan oleh negara-negara konsumen kopi utama dunia, yakni: Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Akan tetapi bila dipikir kritis, saya justru mengernyit heran dan geli. Sebab istilah-istilah kopi yang “berasa” ilmiah ini telah memprovokasi saya untuk berpikir secara bertautan, terutama pada kuasa Barat terhadap negara-negara produsen kopi yang notebene adalah negara-negara pascakolonial.

Sebab istilah-istilah kopi yang “berasa” ilmiah ini telah memprovokasi saya untuk berpikir secara bertautan, terutama pada kuasa Barat terhadap negara-negara produsen kopi yang notebene adalah negara-negara pascakolonial.

Specialty Coffee dipakai pada tahun 1974 oleh Erna Knutsen di “Tea & Coffee Trade Journal”. Knutsen memakai istilah ini untuk menyebut (biji) kopi terbaik dengan rasa istimewa dari area ideal tanam kopi: micro-lot. Dalam industri kopi, dikenal tiga tingkatan (grade) dalam kopi: specialty coffeegourmet atau rare origin menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga.

Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi dengan skor uji citarasa (cupping test) 80-100 lah yang layak disebut sebagai specialty coffee. Dan untuk mendapat skor ini, tidaklah mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, selain kopi harus berasal dari area micro-lot tadi, calon kopi specialty haruslah dimuliakan pohon dan lingkungan tanamnya. Kemudian bila sudah berbuah, hanya buah merah (coffee cherry) saja yang boleh dipetik-dipanen—yang betul-betul matang sempurna. Dari coffee cherry, proses kemudian berlanjut ke proses pasca panen untuk kemudian dijadikan green bean atau kopi beras/gabah. Tidak boleh ada cacat primer pada green bean kopi specialty dan harus memenuhi total defect atau biji kopi yang rusak (secara bentuk dan warna) <4%. Misal, jika dalam 1 kg green bean kopi specialty, maka total defect tidak boleh lebih dari 40 gram. Dan tentunya, masih ada serangkaian proses lagi bagi kopi agar bisa dikatakan specialty: penyangraian, uji cita rasa, penyeduhan, hingga pengonsumsian.

Syarat-syarat specialty coffee seperti ini diregulasi dan didominasi oleh SCAA dan “kawannya”, SCAE (Specialty Coffee Association of Europe) untuk kemudian diberlakukan secara langsung kepada negara-negara produsen kopi, seperti Indonesia melalui SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). Mengapa Indonesia, misalnya, harus mengikuti regulasi ini? Apa karena pangsa pasar specialty coffee Indonesia adalah Amerika Serikat dan Eropa sehingga mereka merasa berhak mendapat kopi yang spesial sesuai dengan kategori (“ilmiah”) meraka sendiri? Atau, apa karena Indonesia, Brazil dan Vietnam (sebagai produsen terbesar kopi dunia) atau Kenya, Ethiopia (yang menghasilkan kopi-kopi bercitarasa aduhai) kalah pandai dan kalah cepat dari Eropa/Barat dalam memperhitungkan kopi secara “ilmiah”? Bukankah Indonesia dan negara produsen kopi lainnya adalah negara yang paling aktual-empiris dalam menghidupi kopi? Sampai di sini, dapat dirasakan bahwa Amerika Serikat dan Eropa begitu kuasa dalam industri kopi. Belum lagi dalam perkara harga kopi specialty yang harus mengikuti “New York Board of Trading”, dan juga berbagai cara menyeduh kopi, baik yang manual ataupun elektrik, berikut teknik tetek-bengeknya yang diperoleh dari Italia dan lainnya.

Dominasi yang ditengarai berselubung saintifikasi kopi (lewat berbagai istilah seperti specialty coffee) ini lantas melahirkan fenomena lain: kontestasi specialty coffee. Yang lagi-lagi, kontes yang niscaya ini telah menobatkan Amerika Serikat, Eropa sebagai aktor utamanya. Lebih-lebih di saat industri kopi yang konon kabarnya berada di third wave era [2] yang orientasinya adalah mengejar kualitas kopi terbaik: specialty coffee. Karena kejaran ini, kontestasi pun berlangsung, logika pasar bekerja, dan kapitalis bermain. Setiap orang berupaya menghasilkan kopi yang terbaik. Begitu pula dalam hal mengonsumsi kopi.

Kontestasi specialty coffee ini riuh di banyak negara, termasuk negara-negara produsen kopi—yang terkategorikan negara “dunia ketiga”. Bahkan kontestasi specialty coffee di era third wave juga melibatkan para artisanal kopi: artisanal pekebun, artisanal roaster dan artisanal barista. Artisanal kopi (selanjutnya akan disebut: artisan kopi) adalah pegiat kopi yang terbilang idealis—kalau tidak mau dikatakan “muluk”. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda. Mereka mengapresiasi kopi tidak sekedar sebagai produk atau komoditi, tapi lebih sebagai “yang luhur nilainya”,sebagaimana karya seni, sebagai artisanal foodstuff. Para artisan kopidikenal sebagai orang yang menyajikan specialty coffee tanpa mau tunduk pada logika industri kopi specialty. Mereka adalah orang-orang ahli dalam kopi sekaligus yang resisten terhadap ideologi kapitalisme global—dengan cara, salah satunya adalah melakukan perdagangan kopi langsung dengan para petani, bukan pada kartel. Tren para artisan kopi adalah anti mainstream, menolak bergaya seperti kedai kopi trans-nasional (Starbucks  dari  Seatle,  Illy  Coffee  dari  Italia,  hingga  ke  pemain  lokal,  semacam  El’s Coffee,  Excelso). Karena itu artisan kopi kadangkala dijuluki independent coffee dan umumnya berformat usaha mikro. Hemat kata, artisan kopi adalah pegiat kopi yang bisa dikatakan sebagai subjek-subjek yang otonom.

Tapi bagaimana jadinya, bila artisan kopi dengan “paham” yang dianutnya ini menyerap istilah-istilah kopi yang berlabel “ilmiah”; sedangkan istilah-istilah tersebut diasumsikan tidak sekadar istilah, karena amat terkesan politik neo-kolonial? Bagaimana mereka, para artisan kopi termakan regulasi cupping test dari SCAA; juga membeli beragam alat seduh brand Eropa (berikut pengetahuannya), serta meracik cappuccino ala Italia? Sebuah situasi yang paradoks, kiranya. Di satu sisi artisan kopi “menolak” ideologi kapitalisme global di wilayah kopi, di sisi lain mereka justru “babak belur”oleh istilah-istilah kopi yang berlabel “ilmiah”. Sebuah situasi yang juga menunjukkan begitu ampuh dan sistematisnya politik konsumsi kopi di era gelombang ketiga ini yang dilihat dari istilah-istilah berlabel “ilmiah” yang disertakannya.

Sampai di sini, ada dua hal yang ingin saya katakan. Pertama, istilah-istilah kopi yang “berasa” ilmiah ini ditengarai sebagai politik bahasa; proyek dominasi Barat; sebagai praktik budaya yang amat ideologis-ekonomis dari negara-negara yang notabene hanyalah pengonsumsi kopi, tapi bertindak sebagai negara-negara kanonik dalam urusan kopi. Mereka membangun diskursus kopi yang saintifik sebagai pengetahuan netral dan objektif. Sebuah wacana yang kiranya lebih tepat dilihat sebagai mitos karena ada praktik kekuasaan di sana dan kepentingan dagang—ketimbang sebagai praktik pengetahuan yang nir-kepentingan. Kedua, di tengah fenomena itu semua, ada artisan kopi (yang seperti kaum hipster?), di satu sisi mereka menolak ideologi kapitalisme global di wilayah kopi, di sisi lain mereka justru “babak belur” oleh istilah-istilah kopi yang “berasa” ilmiah.

Berdaya?

Patri bahwa kopi adalah pahit-hitam-kental di masyarakat Indonesia umumnya akan terkesan wajar saja. Wajar, karena pemikiran itu setidaknya berangkat dari pengalaman keseharian akan kopi. Pengalaman meminum kopi yang pahit sehingga perlu ditambah gula atau susu kental manis. Dan semakin wajar, bila kita menengok kebelakang bahwa hal ini berlangsung sejak lama. Di masa masyarakat kapitalis produksi, kemungkinan kopi dibuat pahit karena dahulu kopi kita dimonopoli oleh VOC untuk keperluan ekspor. Sehingga mereka membuat standar agar kopi tersebut disangrai mencapai titik gelap malah hampir gosong untuk mengatasi rasa kopi yang berbeda-beda dari tiap daerah di Indonesia dan hasilnya kopi terasa pahit, sebagai cara menjaga konsistensi kualitas ekspor mereka. Jadi, hendak dikatakan bahwa kopi pahit-hitam-kental adalah sebuah konsep dan praktik yang diwarisi dari kolonialisme hingga sekarang. Dengan berlebihan, bisa dibilang sebagai “ampas kolonial”.

Sedangkan di masa sekarang ini, di mana terjadi pergeseran dari masyarakat kapitalis produksi ke kapitalis konsumsi, kiranya (berlebihan?) kopi yang kita minum pun masih berupa “ampas”, yakni “ampas neo-kolonial”. Sebab segalanya masih dijejaki Eropa/Barat, baik ditingkat kopi di tanam agar menjadi “specialty”, sampai di tingkat kopi diminum—terutama yang diminum/diseduh oleh kelas menengah sebagaimana di kafe-kafe atau di kedai-kedai kopi atau di rumah masing-masing. Sebuah contoh kecil saya sertakan. Saya teringat sebuah ujaran yang jamak saya dengar di berbagai kedai kopi (coffee shop), khususnya, di Yogyakarta. Ujaran ini masih berlaku sampai sekarang (sampai tulisan ini selesai dibuat)—meski gaungnya tidak sekuat beberapa tahun sebelumnya. Bunyi ujaran itu, “Kopi enak itu dari Italia”. Biasanya dituturkan oleh si barista ataupun sesama konsumen kopi. Konotasi enak adalah specialty. Bagi pendengar seperti saya, ujaran “Kopi enak itu dari Italia” bisa disikapi: pertama, bisa dimaklumi mengingat Italia adalah negara yang unggul dalam hal pengolahan biji kopi gabah/beras (green bean), dari penyangraian (Italian roast) hingga penyeduhan (espresso, cappuccino, dll). Pula, diketahui bahwa beragam mesin/alat penyeduhan kopi lahir dari tangan orang-orang Italia; kedua, tidak masuk akal, sebab fakta bahwa tidak ada satu pun pohon kopi dapat tumbuh dengan baik di Italia. Sehingga Italia tetaplah sulit diterima sebagai negara di mana ada kopi paling “enak” ada di sana. Namun, dari dua sikap ini, Italia tetaplah berpredikat sebagai penghasil “kopi enak” karena bagitu kuatnya pengaruh pertama tadi, yang kemudian mengantarkan Italia sebagai negara kanonis soal kopi, yang sekaligus mengaburkan (bahkan menghapus) negara seperti Ethiopia, Kenya, Indonesia, Vietnam dan Brazil sebagai negara penghasil kopi terbesar dan terbaik. Pada titik inilah, ujaran/predikat “Kopi enak itu dari Italia” adalah mengada-ada.

Bagi pendengar seperti saya, ujaran “Kopi enak itu dari Italia” bisa disikapi: pertama, bisa dimaklumi mengingat Italia adalah negara yang unggul dalam hal pengolahan biji kopi gabah/beras (green bean), dari penyangraian (Italian roast) hingga penyeduhan (espresso, cappuccino, dll). Pula, diketahui bahwa beragam mesin/alat penyeduhan kopi lahir dari tangan orang-orang Italia; kedua, tidak masuk akal, sebab fakta bahwa tidak ada satu pun pohon kopi dapat tumbuh dengan baik di Italia.

Lantas, bagaimana “Berdaya Lewat Kopi” di era industri kopi kini yang hanya mementingkan keuntungan yang mengalir ke “pusat”, Eropa/Barat? Sebuah pertanyaan pokok yang menggelayut—setidaknya bagi saya yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai terkait hal tersebut. Tapi ada landasan berpikir yang dapat dipegang guna merancang tanggapan atas problematisasi di atas: kopi adalah komoditas. Dengan menyebut kopi sebagai komoditas, maka amat memungkin berlangsung kontes dagang-ekonomis yang kemudian disertai kontes pengetahuan/wacana, maupun kontes budaya-ideologis. Segala hal bisa diangkut oleh kopi dengan tujuan perolehan berbagai keuntungan baik ekonomis maupun power. Karena pada dasarnya demikian, maka tidak akan ada yang mau merugi karena kopi, baik si penjual maupun yang membeli.


*Tulisan ini disusun untuk dipresentasikan dalam forum diskusi “Berdaya dengan Kopi”, salah satu mata acara “Jagongan Media Rakyat 2018” yang diselenggarakan oleh Combine Resource Institution, Yogyakarta. Diskusi berlangsung pada 8 Maret 2018 di Jogja National Museum.

* Foto Dokumentasi; https://id.pinterest.com/oudindie Potret sebuah keluarga yang sedang menjemur biji kopi di pegunungan Kintamani, Bali sekitar 1915

[1] Saya merasa kesulitan bagaimana membahasakan secara ringkas (tanpa tanda kutip) atas istilah berasa “ilmiah” dalam praktik konsumsi kopi. Meski begitu, kiranya istilah-istilah yang berlabel “ilmiah” bisa diringkas sebagai: pengetahuan. Meminjam pikiran Foucault dan dalam bentang alam pikir Perancis, dibedakan antara connaissance dan savoir. Foucault menjelaskan bahwa connaissance adalah relasi subjek dengan objek dan aturan-aturan formal yang membentuk relasi tersebut. Sementara savoir berarti kondisi-kondisi yang dirasa perlu bagi berbagai tipe objek agar bisa dimasukkan ke dalam connaissance dan juga kondisi-kondisi yang dibutuhkan oleh pernyataan-pernyataan teoritis agar bisa diformulasikan. Dengan kata lain, connaissance adalah disiplinasi ilmu (secara teoritis, mendalam, dan lengkap) dan savoir adalah totalitas dari connaissance. Dalam tuisan ini, pengetahuan yang dimaksud sejalan dengan pengetahuan dalam The Archaeology of Knowledge (1976), yaitu savoir. Dalam bahasa Inggris dan Indonesia pengertian savior (juga connaissance) disamakan menjadi knowledge dan pengetahuan. Lihat, Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 39.

[2] Third wave era atau era gelombang ketiga. Dilansir dan diolah dari berbagai sumber, adalah Trish Rothgeb, wanita Amerika Serikat, yang mendefinisikan adanya tiga pergerakan di dalam dunia kopi dan menyebutnya dengan istilah: gelombang (waves). Tahun 2002, Rothgeb mengemukakan idenya ini pada sebuah artikel di Wrecking Ball Coffee Roaster, yang dipublikasikan oleh Roaster Guild, The Flamekeeper. Secara singkat diuraikan: gelombang pertama, diawali pada 1800-an dan ditandai dengan maraknya kopi dadak (kemasan/saset). Saat itu, industri kopi lebih mementingkan kepraktisan dengan harga yang terjangkau, sehingga abai terhadap kualitas dari kopi itu sendiri. Fenomena ini semakin gencar pada awal 1900-an, saat kopi dadak diproduksi dalam skala besar, dikemas secara inovatif, dan dipasarkan begitu masifnya. Berikutnya, sebagai respon “kopi buruk” dari gelombang pertama, maka gelombang kedua pun lahir ditengarai pada tahun 1960-an. Di gelombang kedua ini, industri kopi mulai memperhatikan bentuk dan rasa: kualitas kopi. Kopi mulai dikenal berdasarkan regional/negara tanam karena tuntutan konsumen akan pengetahuan asal-usul kopi yang mereka minum. Hal ini bisa pula dimaknai sebagai gejala mulai dikenalnya istilah specialty coffee—yang akan diurai dibagian selanjutnya—meski masih lamat-lamat. Konsumsi kopi di gelombang ini juga erat kaitannya dengan aspek sosial, life style. Kedai-kedai kopi mulai banyak muncul di berbagai negara-negara konsumen kopi, seperti Amerika Serikat, Italia, Perancis, Inggris, dan lainnya. Gelombang berikutnya dinamakan gelombang ketiga. Para pelaku dalam industri kopi, dari hulu hingga hilir, semakin terobsesi mengejar kopi kualitas terbaik. Kopi semakin tegas dengan reputasinya: sebagai minuman artisanal, layaknya wine dan beer. Dikatakan bahwa di fase ini kopi tidak sekadar komoditas. Diprediksi dipicu sejak akhir tahun 1990-an, gelombang ketiga ini setidaknya memiliki empat penanda utama: pertama, menguatnya specialty coffeeKedua, rasa ingin tahu yang amat sangat tentang kopi. Para petani, penyangrai kopi, barista akan menyajikan informasi detil tentang kopi kepada konsumen. Tidak hanya daerah tanam kopi, melainkan juga varietas kopi, indikasi geografis (seperti ketinggian tanam dan curah hujan), proses pasca panen, level dan tanggal sangrai, perolehan rasa (taste and flavor notes), hingga informasi tentang siapa petaninya. Hal ini dilakukan sebagai wujud dari keterbukaan informasi dan edukasi kopi pada konsumen, katanya. Ketiga, orang-orang yang bekerja dalam industri kopi gelombang ketiga ini, konon dikabarkan mengusulkan perdagangan langsung dengan petani tanpa perantara atau penadah. Direct trade, begitu konsep ini disebut. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kualitas kopi di suatu wilayah dan kesejahteraan petani kopi yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu hidupnya. Direct trade juga dimaksudkan sebagai pemenuhan konsumen yang berkesadaran konsumsi (bukan massmarket) akan kopi berkualitas tinggi. Dan penanda terakhir, keempat, yaitu terkait semaraknya alat/metode penyeduhan kopi alternatif selain mesin/elektrik, yang dikenal dengan istilah (lagi-lagi istilah): manual brewing coffee atau kopi seduh manual. Memang, ada metode seduh kopi yang telah hadir sejak gelombang sebelumnya, namun baru populer di era ini. Adapula yang baru muncul dan langsung menggema. V60, Kalita, Aeropress, Syphon, Rok Presso, adalah sebagian dari alat/metode seduh kopi manual yang dimaksud. Selain harganya yang “wah” dan penggunaan yang terbilang “rumit” karena berdasarkan “rumus-rumus ilmiah”, masing-masing alat/metode tersebut diklaim mampu menghasilkan rasa kopi yang unik, berbeda-beda. Disarikan dari: craftbeveragejobs.comdripsanddraughts.com, sprudge.com, kopikini.com, dan majalah.ottencoffee.co.id. Semua sumber diakses pada Rabu, 22 November 2017. Juga dari: Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World. New York: Basic Book. 2010, Hal. 415-417.

Daftar Pustaka

Foucault, Michel. 2016. Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir. Yogyakarta: IRCiSoD

Hanusz, Mark dan Gabriella Teggia. a Cup of Java. Jakarta-Singapura: Equinox Publishing, 2003

Haswidi, Andi, Kopi: Indonesian Craft and Culture, Jakarta: Bekraf, 2017

Mayangsari, Fauziah Rohmatika. 2016. Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia, dimuat di Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016.

Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita. Edisi 4465 26-01 April 2018.

Neilson, Jeffery, (dkk). Menuju Rantai Nilai yang Lebih Kompetitif dan Dinamisuntuk Kopi IndonesiaWorking Paper No. 7 yang disusun untuk Bank Dunia, Washington DC, 2015

Pendergrast, Mark. 2010. Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World. New York: Basic Book.

craftbeveragejobs.com, dripsanddraughts.com, sprudge.com, kopikini.com, majalah.ottencoffee.co.id (Semua sumber diakses pada Rabu, 22 November 2017)