Author Archives: Yaser Muhammad Arafat
Ada banyak peziarah ke makam mbah Nawawi, Mbah Kriyan, Mbah Klenteng, Mbah Sayyid Abdurrahman Ali, dan makam-makam orang saleh lain yang ada di Jejeran. Namun kita terkadang lupa untuk menziarahi makam Mbah Jejer. Memang tidak masalah. Sebab semua wali dan orang-orang saleh, bahkan kaum muslimin-muslimat telah ikut dikirimkan doa dalam tawassul dan permohonan ampunan. Hanya saja, supaya tidak ada keterputusan sejarah bila berziarah ke Jejeran, makam Mbah Jejer sangat disarankan untuk diziarahi.
Makam Mbah Jejer terletak di kompleks Pondok Pesantren Miftahul Ullum II, Jejeran II, Wonokromo. Guru Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma ini menempati cungkup berukuran 4×5 m di sebelah utara-barat pondok pesantren. Tanah lapang mungil tempat anak-anak sering bermain bola berada tepat di selatan gapura menuju makamnya yang sempat rusak pada gempa 27 Mei 2006. Saya beruntung pernah ikut membersihkan brangkalan bata dari kompleks makam ini. Waktu itu saya menjadi relawan gempa di sini.
Dibandingkan makam-makam tua lain di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah yang merupakan salah-satu masjid kagungan dalem, makam Mbah Jejer termasuk yang paling tinggi. Jiratnya terdiri dari batu, mungkin andesit, yang tersusun hingga enam tingkat setinggi 75 cm. Jirat itu dipuncaki oleh nisan kepala dan kaki yang telah patah. Panjang jiratnya sekira 150 cm dan lebar 65 cm. “Penduduk” di pemakaman sederhana ini adalah makam-makam kecil. Di antaranya Sayyid Abu bakar Ba’abud dan lainnya. Ragi hias di makam ini tidak bersemarak dan bahkan bisa dibilang tidak ada. Berbeda dengan ragi hias di makam Mbah Kriyan yang terletak di sisi barat masjid.
Di sisi timur makam Mbah Jejer, dalam cungkup yang sama, ada makam bernisan kepala-kaki tapi tidak berjirat. Ragi hias di nisan itu bercorak tumpal atau segitiga sama-sisi. Ragi ini, tumpal, bila dipahat di makam, maka ia merupakan ungkapan doa permohonan penghindaran dari azab kubur. Sedangkan bila dilukis di kain batik, maka ia menjadi doa tolak bala. Saya sudah pernah mengabarkan perihal ragi tumpal sebagai tolak bala dalam ulasan tentang batik Lar Gurda tempo hari. Mengenai doa dalam nisan dan jirat ini kapan-kapan akan saya ceritakan.
***
Mbah Jejer merupakan pembabat alas perkampungan yang saat ini dinamakan Jejeran. Nama Jejeran diambil dari jejuluknya; Kyai Jejer. Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta (2018) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo menampilkan adegan alur penyantrian sang ratu-wali tanah jawa di awal abad ke 17 itu kepada Mbah Jejer. Sayangnya tidak diceritakan di sana bahwa putri beliau nanti akan dipersunting oleh Sultan Agung sebagai Ratu Kilen. Tentu saja penting diceritakan bahwa Mbah Jejer adalah mertua Sultan Agung.
Sayangnya tidak diceritakan di sana bahwa putri beliau nanti akan dipersunting oleh Sultan Agung sebagai Ratu Kilen. Tentu saja penting diceritakan bahwa Mbah Jejer adalah mertua Sultan Agung.
Ditinjau dari silsilah, Mbah Jejer, menurut warga sekitar, bersambung-nasab pada Sunan Ampel. Sebagai manusia sehari-hari, Mbah Jejer dikenal sebagai pemangku ilmu-ilmu kadigdayaan. Santri-santri berdarah kejadugan bisa bertawassul kepada Mbah Jejer yang mendapat nama-besar (jeneng) Sunan Surapraba. Jeneng ini, Sunan Surapraba, menunjukkan peta kewilayahannya sebagai penerus adat padepokan Prabu Satmata atau madrasah Giri. Artinya, Mbah Jejer memiliki wewenang untuk meneruskan adat-budaya men-jangka peradaban.
Harus digarisbawahi di sini bahwa jangka adalah derajat tertinggi dalam susunan lima pengetahuan di Jawa. Pertama, wahyu panjangka (jangka), yang dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, tidak mungkin salah. Kedua, wahyu panyakra (cakra), yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, belum tentu salah. Ketiga, wahyu panyandra (candra), yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, mungkin bisa salah. Keempat, wahyu sudarsana (sudarsana), yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, sangat bisa salah. Kelima, pengangen-angen atau tashawwur (citra) dalam bahasa arab, yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: pasti sangat bisa salah, pasti belum tentu benar.
Sedangkan “Kyai Jejer” sendiri merupakan jejuluknya. Sekedar kabar selipan, saya lebih nyaman mengetahui jejuluk dan atau jeneng setiap sosok ingkang sumare (sahibul maqam) ketimbang nama kecilnya (asma). Sebab jejuluk dan terlebih lagi jeneng (nama ruh), bisa mengarahkan pada pengetahuan tentang nasab, kepakaran dalam ilmu tertentu, dan bahkan kewilayahan rohani sang tokoh. Jejuluk dan jeneng adalah pintu masuk untuk mengetahui siapa jatidiri sosok sahibul maqam. Karena itu, nama asli atau nama kecil bagi saya tidak terlalu penting. Dari jeneng dan jejuluk, ada banyak pengetahuan yang bisa dijaring. Lain kali saya juga akan bercerita tentang ini. Sambil mengumpulkan bahan.
Kembali ke Mbah Jejer. Asal mula jejuluk itu menurut cerita warga setempat disebutkan karena Mbah Jejer kapundut atau wafat dalam keadaan berdiri tegak (ngadeg nggejejer). Hanya saja, bila dipandang dari sudut alam pikiran Jawa: dunia wayang yang dimasyarakatkan oleh Sunan Kalijaga dan wali-wali lainnya, “jejer(an)” merupakan fase pembuka cerita atau babak pertama dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Ia tahap kelahiran seorang bayi ke dunia, ke alam padhang. Dalam pertuntunan wayang, tahap ini berbentuk permulaan amal ketika sang dalang mencabut dan menggerakkan wayang kayon. Kemudian ia menempatkan wayang kayon itu di ujung akhir wayang simpingan yang tertata di sebelah kanan dan kiri dalang. Di situlah gerak kehidupan wayang di dalam alam pakeliran.
Penempatan wayang di pakeliran mengawali adegan jejeran. Setelah itu, sang dalang akan menjantur atau membaca kabar singkat perihal kerajaan yang menjadi pembuka cerita berikut raja, para punggawa, dan watak-watak mereka secara singkat. Dari sini, tahapan ini kelak disebut: janturan. Apa hubungan antara “Jejeran” dan “Janturan”? Keduanya tidak dapat dipisah. Bila jejeran adalah kelahiran manusia, maka janturan adalah filosofi atau makna kelahiran itu.
***
Dalam dunia nyata, para wali tanah Jawa mengejawantahkan tahap “jejeran” ini dengan laku ngaji ilmu-ilmu agama dan ngaji-laku ilmu-ilmu akhlak. Di sinilah peran kesejarahan Mbah Jejer, yaitu menjadi guru bagi para santri, termasuk Sinuwun Sultan Agung. Kelak, desa Jejeran yang wilayahnya belum tersekat-sekat seperti hari ini sampai masa sekarang dipenuhi oleh banyak pesantren dan para kyai. Di desa inilah santri-santri berusaha untuk njejer pandhita dengan mengaji kitab-kitab: alquran, ulumul quran, fiqh, ushul fiqh, akidah, tarikh, tasawuf, hadis, dan ulumuddin lainnya. Di Jawa pada masa itu dan sebelumnya, toponimi atau penamaan wilayah pemukiman memang didasarkan pada tahap-tahap laku hidup manusia. Dengan demikian, njejer atau nyantri adalah tahap mula-buka ketika seorang manusia dilahirkan. Ia tidak boleh berhenti di situ. Di saat njejer, ia juga harus njantur, yaitu mencari makna atau werdi dari penjejerannya.
Dengan demikian, njejer atau nyantri adalah tahap mula-buka ketika seorang manusia dilahirkan. Ia tidak boleh berhenti di situ. Di saat njejer, ia juga harus njantur, yaitu mencari makna atau werdi dari penjejerannya.
Ziarah ke makam-makam adalah jalan untuk menangguk butir-butir werdi atau makna itu. Makna lungid atau makna tingkat ketujuh hanya bisa dilimpahkan kepada orang-orang yang berjalan menuju kematian, yang satu di antaranya adalah: rajin menyambangi kuburan dan bahkan mengalami “mati” atau “dikubur” di kedalaman tanah. Idfin wujudak, kuburlah wujudmu, kata Syekh Ibnu Athaillah. Jauh Beda dengan peradaban modern hari ini, yang hanya bisa merasa bermakna dan merasa berada ketika berpikir (cogito) sebagaimana ditegaskan oleh Mbah Rono Dosokerto (Rene Descartes) itu.
Para wali di tanah ini mengajarkan bahwa semakin mati, semakin ada. Comatio ergo sum, aku mati maka aku ada. Di dalam pelajaran tajwid, kita selalu diajarkan bahwa dengung atau tidak dan bunyi atau tidak, ditentukan oleh ketika ada yang mati, yaitu nun, mim, dan dua tanwin. Mereka yang mati itu bisa menyertai atau masuk ke dalam qaf, ba, ya, alif, jim, ha, dal, dan huruf lainnya. Harmoni dan keindahan muncul dari “kematian” itu.
Linnabi wa li Mbah Jejer, al-fatihah…
Wallahu a’lam.
Memahami Jawa~
Tulisan ini tidak saya rangkai untuk menyemprit pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam sasaran wicara saya. Tidak pula ia saya pancangkan sebagai tembakan ke arah pihak atau orang-orang tertentu itu. Sebagaimana ia tidak saya arahkan agar mereka berhenti mengerjakan sesuatu yang menjadi bahan cuilan di dalam tulisan yang saya niatkan untuk mengingatkan diri saya sendiri serta diri orang-orang yang selama ini bergelut dengan saya. Tapi memang tulisan ini berangkat dari peristiwa akhir-akhir ini. Terutama berkaitan dengan para ustadz yang sangat lahap membincangkan banyak hal di luar kompetensi mereka sebagai juru dakwah.
Belakangan, memang ada banyak ustadz yang membicarakan tidak hanya tema terkait keahliannya dalam ilmu agama, melainkan juga hal-hal lain seperti sejarah, budaya, bahkan isu-isu politik internasional. Saya menonton beberapa video ceramah ustadz-ustadz yang membicarakan hal-hal di luar wilayah keilmuannya itu. Ada sisi baiknya. Saya percaya itu. Tapi sejauh ini saya, tentu juga dengan keterbatasan, melihatnya lebih banyak sisi belum baiknya. Malah irama pembicaraan mereka cenderung membangkitkan gairah kebencian dan klaim superioritas golongan. Dua hal yang akhir-akhir ini marak menjadi isi ruang publik masyarakat Indonesia.
Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya?
Sederhana saja memahaminya. Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya? Bila dianalogikan; apa mungkin dan sahih bagi seorang pembelajar ilmu tentang penyakit untuk menjadi dokter dalam bidang kepenyakitan yang ia khatamkan ilmunya dari buku tersebut? Seharusnya tidak boleh. Tapi belakangan, pintu-pintu kemungkinan terbuka lebih lebar dan bebas. Seorang ustadz hari ini tidak harus lagi memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Ia hanya cukup bermodal tradisi menonton ceramah para ustadz dari internet, lalu setelah itu ia memberanikan diri berdakwah ke hadapan umat.
Cocokologi Islam dan Jawa~
Ada lagi ustadz yang belakangan ini berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas-asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik. Tentu saja di sana tidak hanya antropologi linguistik yang dibutuhkan untuk melacak sejarah toponimi setiap wilayah. Ia juga harus ditunjang dengan ilmu lain seperti sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan sejenisnya. Ada pula ustadz-ustadz di youtube yang belakangan membincangkan banyak hal. Mulai dari Budaya, sejarah, sejarah Islam terutama, sampai hal-hal yang bersifat mistik-legenda. Khusus dalam uraian mereka tentang kebudayaan Jawa, apa yang kita temukan dari sana ternyata relatif baik dan bermanfaat. Kita jadi terbuka pada dimensi islamis dari fakta-fakta kebudayaan yang selama ini ada dalam kehidupan kita. Hanya saja, ada sisi yang fatal dan vital di sana, yang dibuang begitu saja. Sehingga kebaikan dan kemanfaatannya menjadi hilang atau setidaknya berkurang banyak seketika.
Contoh. Ada ustadz yang mejelaskan sejarah Islam di nusantara. Kita tidak tahu ia mengambil mata kuliah sejarah itu dulu dari mana atau dari siapa dan apa referensinya. Tapi itu kita enyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Sepengematan dangkal saya, nanti biasanya tema yang ia bicarakan akan dikaitkan dengan ayat tertentu, hadis tertentu, dan isu-isu politik tertentu pula. Jadi semacam ayatisasi atau pencocokan peristiwa sejarah atau fakta budaya dalam sejarah. Dalil-dalil yang dirasa cocokpun biasanya akan dicocokkan.
Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan.
Prihal Budaya~
Di satu sisi itu ada benarnya. Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan. Itupun juga harus ditegaskan bahwa sekalipun “ada Islam” di sana, ia tidak tidak “se-islam” itu. Maksud saya, islam yang menjadi nafas kebudayaan itu bukan Islam seperti yang diceritakan sang ustadz tersebut. Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Mengapa? Wajah kita hari ini saja bukan wajah kita 20 tahun yang lalu. Islam yang kita amalkan hari ini, meskipun kita menyandarkannya pada jejak keisalam para wali songo misalnya, bukanlah sepersis seperti Islam yang dulu diamalkan oleh para wali songo. Dengan demikian, merupakan kekeliruan pula jika sang ustadz yang membicarakan Islam atau kebudayaan ciptaan wali songo dalam irama Islam ala Sayyid Quthb dan kawan-kawan hebatnya.
Maksud saya begini. Betul bahwa “ketan, kolak, apem” dan mustaka masjid kuno di Jawa yang berbentuk daun “kluwih” itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Cuma, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadis di balik simbol daun kluwih atau ketan-kolak-apem itu, harus ada jalannya. Mengapa “ketan, kolak, apem” itu dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) pada bulan Ruwah? Mengapa pula untuk menerapkan ajaran Islam tentang maaf dan meminta maaf sebelum memasuki bulan puasa itu disimbolkan dengan ketan, kolak, dan apem? Ada apa di balik ketan, kolak, apem? Apa hubungannya dengan ayat-hadis tentang permohonan dan pemberian maaf? Mengapa “daun kluwih” diletakkan sebagai puncak mustaka masjid kuno, yang oleh seorang ustadz, ia disebut merupakan perwujudan dari ayat: dzalika fadhlullah yuktihi man yasya? Apa hubungannya daun kluwih dengan masjid? Mengapa ia diletakkan sebagai puncak mustaka masjid?
Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci.
Nalar Lokal~
Pasti ada nalar tersimpan di balik laku simbolisasi itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa Nalar Lokal-tempatan khas Islam Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris dalam coraknya yang khas, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci. Sekali lagi, sangat bisa dan sangat boleh untuk mengatakan bahwa semua fakta kebudayaan di Jawa sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik simbolisasi itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih dipakai? Kenapa bukan yang lain? Kekenapaan dan kemengepaan itulah yang seharusnya dulu ditemukan. Baru kemudian bisa ditemukan apa ayat-hadis di yang melatarinya.
Jadi, epistemologi lokalnya seharusnya ditemukan dan dibahas dulu. Jika epistemologi lokalnya tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik pekerjaan simbolisasi itu atau menjadi latar dari produk kebudayaan tertentu. Logikanya mudah saja. Karena nalar lokalnya belum ketemu, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan simbol yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut dengan sangat mudah dipakai untuk menjelaskan? Nah, di situlah saya melihat ustadz-ustadz pembahas budaya lokal itu sebagai pelaku cocokologi. Lha wong nalarnya belum ketemu, kok langsung dibuatkan ayat-hadisnya?
Tasawuf Jawa~
Sekarang ada pertanyaan baru. Mengapa para ustadz-ustadz yang membincangkan tema-tema di atas langsung menuju ke ayat atau dalil dari Al quran dan hadis? Mengapa mereka tidak melewati penelusuran nalar atau penemuan epistemologi lokalnya terlebih dahulu? Satu hal yang saya tangkap. Mudah-mudahan saya salah. Bahwa rata-rata mereka berasal dari golongan Islam bercorak purifikasi. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa mereka sebenarnya anti atau setidaknya kurang bersahabat dengan kebudayaan lokal yang dibangun di atas fondasi tasawuf. Bukan rahasia pula bahwa mereka juga tidak bersetuju dengan tasawuf. Apalagi tasawufnya tasawuf lokal pula. Tasawuf, bagi mereka terhitung bid’ah. Tasawuf lokal lebih-lebih lagi. Kelak, mereka biasanya akan mengamini pendapat para sarjana dari “luar”; bahwa Islamnya orang Jawa adalah Islam Sinkretis, perpaduan Hindu-Budha.
Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku Tasawuf Jawa.
Pada titik itulah saya dapat memahaminya. Tidak mungkin mereka akan masuk ke dalam samudera tasawuf, apalagi tasawuf Jawa, yang jelas-jelas melandasi atau menjadi asas produksi kebudayaan Jawa. Maka tentu lebih baik langsung mencarikan ayat-hadisnya. Padahal, nalar dari setiap simbolisasi kebudayaan, terutama di Jawa, berdiri di atas fondasi tasawuf Jawa. Seharusnya mereka terlebih dahulu masuk ke dalam samudera tasawuf Jawa itu. Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku tasawuf Jawa.
Karena itu, ceramah mereka, terutama tentang sejarah Islam di nusantara, boleh dicek, tidak ada satupun kata “tasawuf” apalagi kata: “tasawuf jawa” yang meluncur di sana. Lebih mudah untuk menemukan kata-kata semacam “jihad” dan sejenisnya. Aku berlindung kepada Allah dari pikiran yang zalim. Wallahu a’lam.
Bila diamati secara serius dan lapang rasa, sedekah adalah inti amal orang Jawa. Bedanya –seperti disalah-pahami oleh banyak kepala– orang Jawa tidak bersedekah hanya kepada manusia, akan tetapi kepada semua makhluk Gusti Allah. Termasuk binatang dan makhluk gaib dari berbagai jenis. Ini terkait dengan kosmologi Triloka atau pandangan dunia orang Jawa dalam keseluruhannya yang dianut oleh keseluruhan orang-orang Nusantara.
Sejauh ini, kesatuan pandangan dunia di Nusantara biasanya berbasis pada bilangan tiga. Kemudian dalam perkembangannya untuk melihat peristiwa kemanusiaan yang berbeda-beda, bilangan tiga mengalih-rupa menjadi; empat (catur), lima (panca), delapan (hasta), sembilan (sanga). Pandangan dunia triloka ini secara fisik bisa dilihat dari atap rumah atau atap masjid kuno yang bersusun tiga, lima, dan sembilan.
Tri artinya tiga. Loka artinya dunia/tempat/hutan/ruang. Kadangkala istilah triloka ini beralih-rupa dalam istilah lain semisal Tribuana dan Tripurusa. Tiga dunia atau tiga ruang itu adalah; dunia atas, dunia tengah, dunia bawah. Epistemologi triloka dalam narasi tradisi Keislaman di Nusantara ini dibangun di atas sebuah ayat dalam al-Quran, Surat al-Naml: 17:
“Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib. Burung adalah lambang dari dunia atas. Manusia adalah lambang dunia tengah. Jin adalah lambang dunia bawah. Bagaimana konsepsi ini lahir? Tentu saja dari pengalaman berkebudayaan atau kesadaran tentang realitas serta keadaan geo-kultural-spiritual. Lain kesempatan akan dibicarakan.
Dunia Atas
Dunia atas adalah dunia langit. Menghargai dunia atas adalah dengan memantapkan kehambaan. Bahasa al-Quran-nya hablun minallah. Dalam narasi keilmuan Wali Songa, dunia langit ini disebut dengan istilah; baitul ma’mur. Pemegang perkara ini adalah Sunan Bonang. Ketersambungan dan kemenyambungan dengan dunia atas bagi orang Jawa diungkapkan dengan istilah manembah. Dalam perkakas simbolik sehari-hari, interaksi dengan dunia atas merupa dalam ibadah-ibadah mahdhah dan ibadah sosial-budaya, satu di antaranya: tumpengan. Tumpeng artinya tumuju ing pengeran (menuju kepada Allah Tempat Sandaran). Di atas nasi tumpeng yang berbentuk kerucut itu ada brambang/bawang dan cabai/lombok. Brambang artinya upaya memasuki dunia ambang atau dunia langit. Seperti halnya bawang yang artinya masuk ke dunia awang.
Langit ada tujuh lapis. Memasuki setiap lapisan-lapisan itu dilambangkan dengan lapisan-lapisan kulit bawang yang sangat tipis. Bentuk amal konkret memasuki tiap lapis langit itu adalah; pengakuan dan permohonan ampun atas tujuh; ‘ujub, sum’ah, riya, takabbur, kibr, hasud, dan kikir. Orang yang masih berpakaian tujuh dosa itu –bagi orang Jawa– doa-doanya akan lama sampai ke langit ketujuh. Cabai atau lombok itu sendiri melambangkan perintah untuk lumbu atau bersegera mendekat kepada Allah (wa sari’u ila maghfiratin min rabbikum [bersegeralah kalian untuk meraih ampunan Allah….]). Di bawah nasi kerucut itu ada banyak simbol-simbol dalam bentuk sayur-mayur dan lauk-pauk. Kesempatan lain akan dibabarkan.
Sedekah untuk dunia atas berbentuk zikir-zikir. Baik tasbih, tahmid, takbir, tahlil, hawqalah (la haula wal quwata). Sebagaimana anjuran nabi bahwa setiap sendi manusia yang berjumlah 360 itu ada sedekahnya. Orang yang tidak pernah berzikir, berarti tidak pernah bersedekah untuk dunia langit. Para wali menyumberkan amal sedekah langit ini dari al-Quran, Surat al-Mu’minun ayat 7:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (Seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.
Dunia Tengah
Dunia tengah adalah dunia manusia, disebut juga dengan baitul muharram. Sunan Kalijaga adalah wali yang membawahi perkara ini. Dunia manusia, bagi orang Jawa adalah dunia rasa. Amal memahami dunia rasa ini biasa disebut dengan istilah; at-tashaddur (pen-dada-an/merasakan dengan rasa]. Bagian ini disimbolkan dengan bagian dada manusia. Bergaul dengan sesama manusia tidak membutuhkan kalkulasi rasional, melainkan kalkulasi rasa. Bahasa arabnya itu tadi; at-tashaddur.
Sedekah kepada sesama manusia adalah sumbu pembuktian dari kesungguhan bersedekah kepada langit dan dunia bawah (akan diterangkan di bawah). Di atas telah disebutkan bahwa inti dari setiap ibadah atau upacara apa saja dalam Budaya Jawa adalah; doa dan terlebih lagi sedekah. Mau membangun rumah, menaikkan atap, masuk rumah, ada doa dan sedekahnya. Begitu juga mau nikah, mau sunatan/tetakan, tedak siten (bayi yang berumur setahun dan mulai berjalan menginjak tanah), khatam ngaji, dan mau apa saja, bagi orang Jawa semua ada sedekahnya. Hafal lafal doa untuk setiap hajat atau tidak, terkadang tidak terlalu dipusingkan oleh orang Jawa. Yang terpenting adalah; sedekahnya itu.
Karena itu, materi sedekah orang Jawa menempati derajat; sulit untuk diganggu-ganti. Ia terkait dunia rasa. Soalnya setiap hidangan sedekah, ada makna-maknanya yang berhubungan dengan ketulusan niat dan hajat si tukang sedekah. Nasi kuning, kacang panjang, ayam ingkung, telur, dan entah apa lagi namanya, semuanya adalah lambang dari zikir-doa-hajat-dan terlebih lagi upaya orang Jawa untuk; karyenak tyasing sesami (mengenakkan hati/tyas sesama manusia) atau amal penyelerasan diri dengan keseluruhan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Untuk diri sendiri, mengenakkan hati ini dilakukan dengan terlebih dahulu menghalau ketakutan akan kehabisan harta karena bersedekah. Karena itu, materi sedekah orang Jawa itu pasti yang mahal-mahal. Mulai dari ayam, kambing, sampai kerbau. Apa maksud dari itu semua? Kata guru saya:
“…Kalau mau bergaul dan mengenakkan hati sesama itu jangan tanggung-tanggung…. Kalau mau bersedekah itu jangan yang murah-murah…yang mahal sekalian..!!! Kowe serius po ra nyedhaki Gustimu lan anggawe enak-ing ati sedulurmu [kamu serius apa gak mendekati Tuhanmu dan mengenakkan hati saudaramu?]. Sedekah kok cari yang paling hemat…!!!”
Pada kasus-kasus tertentu, penitik-beratan sedekah pada derajat dunia sosial ini seolah menempati tingkat yang lebih penting dari pada sedekah untuk dunia atas. Bahasa kasarnya; terkadang di Jawa ada banyak orang yang baik kepada sesama dan tetangga tapi amat jarang terlihat “di masjid”. Berbaik sangka merupakan kata kunci di sini.
Dunia Bawah
Dunia bawah adalah baitul muqaddas/maqdis. Wilayah ini diampu oleh Sunan Giri [versi sebelumnya, ada yang menyebutkan diampu oleh Sunan Kudus]. Dunia bawah merupakan dunia makhluk-makhluk gaib dan para saudara dari bangsa binatang. Secara jasadiah, ia disimbolkan dengan kelamin manusia. Mengurusi perkara dunia bawah ini merupakan bagian yang sangat penting bagi orang Jawa. Orang Jawa harus akrab dengan dunia gaib, dunia mistik. Soalnya itu juga bagian dari kelengkapan kemanusiaan orang Jawa. Jin dan bangsa-bangsa binatang bukan musuh. Bila mereka berada di rumah seseorang, akan diajak untuk bermusyawarah; silahkan tinggal di sini tapi jangan mengganggu, saling menghormati. Sebagaimana halnya manusia; bangsa jin dan hewan juga tidak suka kekerasan “doa”.
Bagi orang Jawa, setelah bersedekah dan mengenakkan hati sesama manusia, maka sedekah juga diniatkan untuk para saudara sesama makhluk Allah dari bangsa gaib dan bangsa binatang. Untuk mereka, materi sedekahnya tidak seperti materi sedekah kepada manusia. Melainkan dalam bentuk tulang-belulang, sisa-sisa makanan/minuman yang tidak termakan ketika acara sedekah dilangsungkan. Terkadang juga dalam bentuk pembakaran kemenyan/dupa dan bunga-bunga yang sudah didoakan.
Apakah sedekah untuk mereka itu dilakukan supaya bangsa jin dan hewan-hewan itu melindungi manusia? Dengan kata lain; apakah sedekah untuk mereka itu dikeluarkan dengan niat meminta perlindungan kepada mereka? Tidak. Tentu saja tidak. Anggapan demikian adalah sangkaan yang ditudingkan oleh banyak kalangan, dan jelas keliru di sini. Bersedekah untuk bangsa dari dunia bawah diamalkan semata-mata karena mereka juga dianggap sebagai sesama makhluk Allah yang harus merasakan nikmat dan berkahnya menyantap hidangan yang terlebih dahulu telah didoakan dengan zikir, salawat, dan pepuji pada Illahi.
Menjadi wajar bila sampai hari ini, kita masih berjumpa dengan para sesepuh yang sebelum membangun rumah, mereka terlebih dahulu menanam tulang kepala kerbau di bagian tengah rumah. Lalu tulang- belulang lainnya ditanam di setiap sudut rumah dengan terlebih dahulu dagingnya dimasak dan dibagikan kepada para tetangga. Jika tidak kerbau, biasanya kambing, ayam, atau bahkan ikan. Terserah apa materinya. Intinya, mereka juga dianggap harus merasakan nikmatnya makan-minum yang terlebih dahulu telah dioles dengan doa-doa dan zikir-zikir. Kanjeng nabi sudah bilang bahwa makanan bangsa jin adalah tulang-belulang, bunga-bunga, dan semacamnya. Selain disantap oleh bangsa jin, nanti seluruh sedekah itu akan disantap juga oleh makhluk Allah lainnya seperti semut, cacing, dan semacamnya.
Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata; bahwasanya ia pernah membawakan pada Kanjeng Nabi SAW sebuah wadah berisi air wudhu dan hajat beliau. Ketika ia membawanya, Kanjeng Nabi saw bertanya; “Siapa ini?”. “Saya, Abu Hurairah”, jawabnya. Kanjeng Nabi saw pun berkata; “Carilah beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan bawakan padaku tulang dan kotoran.” Abu Hurairah berkata; kemudian aku mendatanginya dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya; “Ada apa dengan tulang dan kotoran?”.
Kanjeng Nabi saw menjawab; “Tulang dan kotoran merupakan makanan jin. Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin dan mereka adalah sebaik-baiknya jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkannya sebagai makanan” (HR. Bukhari no. 3860)
Tentang Dupa dan Saudaranya
Dupa, kemenyan, dan bunga-bunga, juga tidak hanya disajikan untuk para saudara-saudara sesama makhluk dari bangsa gaib. Ia juga mengandung makna simbolik yang khas. Jangan lupa –bahwa bagi orang Jawa– makna dari segala hal itu, ada tujuh lapis. Mulai dari yang paling harfiah sampai yang paling lungid (makna tingkat langit). Upacara rasulan yang melibatkan pembuatan nasi tumpeng, itu tidak hanya bermakna harfiah, namun juga makna tingkat langit yang terkait dengan hubungan rohani antara manusia dan pencipta. Bahasan ini di lain waktu akan dibabarkan.
Banyak orang salah memahami dupa dan kemenyan yang dibakar dalam upacara tertentu. Perlu dipahami dulu bahwa dupa itu merupakan benda simbolis yang dipergunakan atau dilibatkan dalam sebuah upacara tertentu sebagai ungkapan maksud-maksud mulia yang berdasar. Artinya, dupa dibakar bukan sebagai benda asal-asal bakar. Ia punya makna-makna tersembunyi yang bila dikaji akan tampak sangat rasional. Harap diperhatikan di sini, bahwa semua benda-benda tradisi, selalu merupakan simbol. Benda-benda itu –misalnya dupa– adalah sesuatu yang dipakai untuk mengatakan sesuatu yang lain. Dalam penelusuran saya, setidaknya ada beberapa makna dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang dibakar dalam berbagai upacara.
Pertama, dupa sebagai pernyataan bahwa upacara tersebut bersumber dari hati yang wangi. Kewangian hati itu diungkapkan dengan dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang memang juga wangi. Maksud “hati yang wangi” itu adalah hati yang tulus, ikhlas, bersih, tidak berharap apa-apa selain ridha Allah. Kedua, sebagai pernyataan bahwa para hadirin yang datang pada ritual tersebut merupakan orang-orang baik, yang hatinya wangi, persis wanginya dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Ketiga, upacara tersebut merupakan rangkaian doa. Doa pasti wangi, kecuali doa yang dipanjatkan untuk keburukan. Kewangian doa itu diungkapkan atau disimbolkan dengan dupa. Jadi, kalau di sana ada dupa dan kemenyan dibakar, serta bunga-bunga disajikan, itu artinya ada doa yang akan atau sedang dipanjatkan itu semata-mata untuk memohon kebaikan.
Keempat, dupa sebagai penegasan permintaan agar doa dikabulkan. Yang disasar pada bagian ini adalah kebul-nya si dupa atau asapnya itu. Kebul dimaksudkan di sini merupakan simbol dari harapan agar doa dikabulkan, hal ini digambarkan dengan kebul atau asap yang naik ke langit. Kalau sudah naik ke langit, ke arah mana lagi ia ditujukan kalau bukan kepada Tuhan? Begitulah doa. Ia terus melangit bersama rapalan doa yang dipermantra. Untuk maksud ini, di zaman ini terkadang dupa sebagai sebuah pralambang harapan keterkabulan doa diganti dalam bentuk rokok. Intinya tetap sama, yaitu ada asap yang dikebulkan. Bunga juga tetap dipakai.
Tentu saja ada makna-makna mulia lainnya di balik semua ini. Termasuk upacara sedekah laut dan sedekah bumi dan semisalnya. Semua makna upacara itu harus dibaca dalam tujuh tingkat makna atau saptanama. Intinya bahwa semua maksud di balik upacara itu ada hal-ihwal yang tidak sesepele tuduhan kemusyrikan. Jadi, jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan dulu. Lebih baik dikaji, dipelajari, dan ditabayyunkan.
Sunnah Nabi
Upacara keagamaan-kebudayaan yang dilakukan oleh orang Jawa hari ini boleh saja dituduh sebagai warisan peradaban pra-Islam. Ada pula yang menudingnya sebagai warisan kebudayaan Jahiliyah. Meski tuduhan itu bermasalah, akan tetapi harus diingat, bahwa pada masa Wali Songa, semua upacara warisan zaman sebelumnya itu telah mengalami Islamisasi seperti halnya tradisi memotong kambing orang Arab pra-Islam untuk menyambut kelahiran bayi, bahkan mereka tidak hanya memotong hewan. Nantinya darah hewan tesebut dialirkan ke kepala bayi yang baru dilahirkan. Lalu dagingnya dipersembahkan untuk berhala-berhala. Seperti halnya juga kumpul-kumpul pada hari Jumat yang jamak terjadi di kalangan bangsa Arab.
Ketika Islam datang, Kanjeng Nabi mengislamisasi kebudayaan tersebut. Upacaranya tetap dilangsungkan. Hewan Qurban untuk kelahiran anak tetap dipotong, akan tetapi, darahnya tidak dialirkan ke kepala bayi, melainkan dialirkan ke tanah. Lalu rambut bayi dicukur, dan daging hewannya dibagikan untuk dimakan bersama. Tradisi kumpul-kumpul hari Jumat juga tetap dijalankan, namun, diganti dengan ibadah salat Jumat di masjid. Dari sini, tampak bahwa merangkul kebudayaan lokal merupakan sunnah nabi. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian kreatif yang tiada henti berdasarkan kosmologi agama dan kosmologi masyarakat setempat.
Untuk Kanjeng Nabi SAW dan ahli bait-nya serta para wali di tanah Nusantara, Al-Fatihah.
Wallahu a’lam.
* Penulis adalah seorang muslim Jawa