Author Archives: Doel Rohim
Suasana senja di kompleks pemakaman Rahmat Jati, Gambiran, Kotagede, (8/12/2024) tidak seperti biasanya. Tidak ada kabar kematian, apalagi hiruk pikuk para penggali kubur untuk menyiapkan pemakaman. Layaknya sebuah pemakaman, kesibukan paling dramatis adalah mengantarkan jenazah ke liang pemakaman. Namun, sore itu bukan iring-iringan para pelayat yang membuat sibuk pemakaman. Tetapi, gelaran pentas teater tampaknya akan menjadi pemandangan lain di kompleks pemakaman yang bersejarah itu.
Pada sisi Barat kompleks pemakaman yang cukup luas itu, tepat di pintu masuk sebelah Barat terdapat area makam keluarga salah satu tokoh pahlawan nasional. Adalah Soerjopranoto, seorang tokoh penting pergerakan nasional, pembela kaum buruh musuh utama kolonial bersemayam tenang di area makam itu. Lalu, di Area yang tidak begitu luas tersebut, beberapa orang mulai sibuk dengan berbagai persiapan pementasan. Sebuah tenda lengkap dengan panggung kecil berdiri menghadap ke Utara. Tidak lupa gelaran tikar memanjang seperti telah siap menyambut para tamu yang datang.
Kompleks pemakaman Rahmat Jati Gambiran, Kotagede memang diyakini sebagai kompleks pemakaman tua yang sudah ada sejak abad ke-16. Hal ini dibuktikan, di sebelah timur pemakaman ini, terdapat makam Ki Juru Kithing. Seorang arif sekaligus hakim di masa Panembahan Senopati, raja pertama yang membuka alas Mentaok menjadi pusat peradaban Mataram Islam pertama. Keberadaan pohon Nogosari, sebuah pohon yang pertumbuhannya melalui proses berabad-abad itu, bisa menjadi bukti lainnya yang menunjukan bahwa kompleks makam ini sudah memiliki sejarah panjang. Maka tidak salah, kenapa Soerjopranoto seorang pangeran dari Pakualaman itu memilih peristirahatan terakhirnya di kompleks makam ini.
Sore itu sebuah pertunjukan teater akan segera dimulai di area gerbang pintu masuk pemakaman Soerjopranoto. Iya, sebuah peristiwa pertunjukan teater akan mengambil setting tempat di halaman makam yang tidak begitu luas tersebut. Tentu, hal ini tidak seperti pertunjukan teater pada umumnya. Ketika pertunjukan teater biasa di sebuah gedung dengan tata cahaya yang memukau. Jelas dalam pertunjukan kali ini, anda tidak akan menemukan itu semua. Mengambil setting alam terbuka, menjadikan situs makam sebagai objek utamanya. Pertunjukan dengan judul “Merapal Piwulang Sampai Pulang,” yang disutradarai oleh Amalia Rizqi Fitriani ini akan segera berlangsung.
Mengambil konsep bentuk teater “site-specific” yaitu bentuk teater yang dipentaskan dalam tempat lokasi yang unik, dan adaptasi khusus. Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah. Bentuk ini dipilih sebagai tawaran baru, untuk sebuah proyek teater kepahlawanan yang disponsori Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Karena melalui pendekatan inilah, jejak historis para tokoh pahlawan lebih bisa dirasakan. Penonton diajak secara lebih dekat untuk terlibat menyusuri situs-situs penting jejak sang tokoh pahlawan nasional itu ada. Lalu melalui peristiwa pertunjukan teater ini juga, tokoh pahlawan dengan segala nilai-nilainya dihidupkan dan diinterpretasikan ulang.
Ziarah Dalam Ritus Pertunjukan
Dalam bayang-bayang langit yang mulai mendung, pertunjukan sore itu akan segera digelar. Para penonton yang sejak dari pagi berkeliling ke situs-situs sejarah hidup Soerjopranoto, sudah memasuki gang kecil arah makam Pahlawan Nasional RM Soerjopranoto. Beberapa pemain musik, dibawah penata musik Jenar Kidjing mulai memainkan satu instrumen, tembang kinanthi. Sebuah tembang dalam metrum macapat yang mempunyai 11 taembang dengan nada berbeda, mempunyai makna perjalanan sangkan paran dumadi: dari mana manusia berasal dan akan kemana ia berpulang. Tokoh juru kunci (Abdusshomad) berpakaian Jawa lengkap, menyambut para tamu penonton yang datang dengan ramah. Mereka dipersilahkan duduk di tikar yang sudah disediakan. Mengambil konsep ziarah sebagai bentuk pertunjukan dengan artistik gelaran pengajian di kampung-kampung, dengan penonton menghadap ke Selatan dan panggung kecil ke Utara, peristiwa teater sore itu dibuka.
Juru kunci makam kemudian menjelaskan perihal tata cara dan adab ketika ziarah ke makam. Sambil terus diiringi suara sayu gamelan, juru kunci menekankan pentingnya tujuan dan maksud kita ziarah. Lalu ia menjelaskan bahwa niat pertama kita adalah, pertama untuk merefleksikan perjuangan eyang Soerjopranoto dan mendoakan beliau. Tidak hanya itu, sang juru kunci juga menitipkan beberapa pesan khusus bagi para peziarah (penonton) yang datang. Salah satunya adalah para peziarah dimohon menata niat yang baik, bersih, murni, dan tidak diperkenankan memohon selain kepada Allah. Peziarah juga diminta melepas alas kaki ketika masuk ke makam. Tidak membuat gaduh, dan mengucapkan kata-kata kotor. Serta bagi para perempuan yang datang bulan diminta tidak masuk ke dalam makam.
Tradisi ziarah sendiri sebenarnya sudah jauh ada dalam khasanah kebudayaan masyarakat Jawa lebih luas Nusantara. Bahkan hampir agama-agama di Indonesia mempunyai tradisi ziarah dengan berbagai variasi bentuknya. Sedangkan dalam kultur Jawa-Islam, ziarah menjadi ritus daur hidup sebagai upaya menyambung konektivitas seseorang dengan leluhurnya yang sudah meninggal. Tidak hanya itu, ziarah juga dinyakini sebagai upaya untuk ngalap berkah sekaligus untuk mengingat kematian. Karena hanya dengan mengingat kematian, manusia bisa punya kesadaran bahwa hidup di dunia ada limitasi-nya. Dari kesadaran itulah diharapkan timbul pemahaman untuk tidak berlebih-lebihan. Pepatah Jawa menyebutkan, “Urip mung mampir ngombe,” artinya hidup di dunia hanya mampir minum. Karena yang abadi adalah kehidupan setelah kematian itu sendiri. Sedangkan dalam keyakinan muslim Jawa-Islam, dengan kita berdoa ke makam orang-orang suci yang sudah meninggal, kita bisa berwasilah (menggunakan orang-orang suci sebagai perantara untuk mengabulkan doa-doa kita yang dipanjatkan kepada Gusti Allah SWT). Penting dicatat, bahwa dalam kesadaran muslim Jawa ziarah adalah upaya mengingat jasa para leluhur dan tidak diperkenankan meminta kepada arwah orang yang dikuburkan. Karena satu-satunya permintaan hanya bisa ditujukan kepada Tuhan, Allah SWT.
Lalu, selepas juru kunci menjelaskan tata cara ziarah, dan rangkaian peristiwa yang akan diadakan pada sore itu. Acara berlanjut pada performer lecture atau mudahnya kita bisa sebut sebagai ceramah oleh kiai muda Yogyakarta yaitu Gus Yaser Arafat. Layaknya ceramah agama pada umumnya, Gus Yaser yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga sekaligus peneliti makam dan nisan-nisan ini, duduk bersila membelakangi pemain musik, dan menghadap penonton.
Sore itu Gus Yaser menjelaskan banyak hal tentang kiprah semasa hidup Soerjopranoto. Tidak kurang hampir selama 15 menit, dalam ceramahnya, ia menjelaskan perihal keutamaan eyang Soerjopranoto. Membabar sejarah singkat, kemudian mengilustrasikan peran dan sikap kakak kandung Ki Hajar Dewantara itu semasa beliau masih ada. Ia menjelaskan bahwa Soerjopranoto adalah sosok yang memiliki rasa welas asih yang tinggi. Dengan keteguhan sikapnya, Soerjopranoto berupaya mengangkat harkat martabat wong cilik dalam belenggu kolonialisme Belanda pada saat itu. Hal itu dibuktikan dengan beberapa agenda sosial yang beliau dirikan melalui, koperasi Mardhi Kaskaya, sekolah Adhi Dharma dan peran sosialnya untuk menyuarakan protes terhadap hak-hak buruh di masa penjajahan.
Tidak hanya itu, masih dengan alunan gamelan tipis. Gus Yaser menjelaskan perihal makna “tapa mandita” yang dijalankan Soerjopranoto di masa tuanya. Layaknya orang Jawa yang arif pada umumnya, kehidupan masa tua selalu dipersiapkan dengan sebaik baiknya. Tapa mandita bisa dipahami sebagai upaya seseorang mengambil jarak dengan kenyataan dunia, dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia. Namun manusia hanya melanjutkan perjalanan selanjutnya yaitu bertamu sekaligus bertamu kepada Gustinya, yaitu Allah SWT. Manusia berganti alam, dari alam jasmani menuju alam rohani (barzah), sebagai sumber keabadian.
Dalam lanskap kesadaran seperti itulah, Soerjopranoto seperti dijelaskan oleh Gus Yaser menghabiskan masa tuanya. Selain lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan. Soerjopranoto juga lebih banyak menghabiskan waktunya di masa itu untuk memperdalam ilmu agama. Menuliskan beberapa artikel yang bernuansa sufistik (Jawa-Islam).
Lalu tiba-tiba suasana menjadi hening. Gus Rendra Bagus Pamungkas yang berada di samping Gus Yaser, tiba-tiba melantunkan salah satu teks Soerjopranoto tentang makna eksistensialisme Tuhan. Dengan teknik pembacaan “sulukan” layaknya para dalang wayang kulit Jawa, aktor kenamaan Yogyakarta itu, mengajak penonton untuk merenungi kembali eksistensi Gusti Allah dalam kehidupan.
“Allah ana opo ora?
Ana kang celathu Allah ora ono. Ana kang celathu Allah ana.
Wong-wong kang celathu Allah ora ono lan wong kang celathu Allah iku ana pada ora ngerti apa kang dimaksud Allah iku.
Becike sadurunge anggunem prakara Allah ditakoni iku apa ta.”
Begitu teks yang dibacakan Gus Rendra, dinukil dari tulisan eyang Soerjopranoto.
Selepas Gus Rendra membacakan teks tersebut, Gus Yaser menyambungnya dengan salah satu teks ayat dari Al Quran. Dengan bacaan Al Quran langgam Jawa, suara merdu Gus Yaser mengheningkan suasana.
“Jaa ajjuhan-naasu ‘buduu Rabba Kum’
Wa laa tusjrikun bihii sjai-aa
Ud ‘uunii istadjib lakum
Wasjkuruu lii wa laa takfuruun
La illaha illallah.”
(Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu).
(Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya).
(Berdoalah kepadaKu, niscaya aku perkenankan bagimu, “apa yang kamu harapkan”).
(Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku).
(Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah).
Dengan nada dan tensi yang mengguratkan emosi, suara tahlil menggema di area makam. Yang mengejutkan, dua sosok boneka semar muncul dari belakang panggung dan penonton. Bentuk boneka replika semar itu, berjalan ke arah panggung dengan membawa bunga setaman. Lalu dua sosok semar, membersamai Gus Yaser dan Gus Rendra diiringi para hadirin yang datang untuk berziarah ke Makam Soerjopranoto. Diiringi suara tahlil yang berbalut gamelan Jawa yang anggun, mereka mulai berjalan tanpa alas kaki menuju makam. Puluhan bunga dibungkus daun pisang sudah disiapkan. Para peserta ziarah yang lebih dari seratus orang mulai mengantri bergantian memasuki makam. Mereka diajak merasakan suasana haru mengunjungi makam eyang Soerjopranoto, lalu seketika doa-doa baik mulai dirapalkan.
Tidak lama berselang, saat para penonton bergantian memasuki makam, hujan mulai turun. Beberapa panitia mulai kelimpungan mengamankan suasana, jas hujan mulai disebar. Mendung yang sejak awal mengawal pertunjukan ini akhirnya menurunkan keberkahannya. Hebatnya tidak ada yang mengelak dari air hujan, semua tetap bertahan mengikuti pentas yang sudah memasuki adegan pungkasnya.
Selepas semua penonton memasuki makam untuk ziarah dan menabur bunga, pertunjukan usai. Tidak ada selebrasi yang mengesankan, hanya ada perkenalan kecil dan kru pertunjukan. BM Anggana sebagai produser rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok dari Komunitas Sakatoya mengambil nafas panjang, lega. Ia memperkenalkan tim dibalik peristiwa teater kepahlawanan yang tidak biasa tersebut. “Semoga rangkaian pertunjukan selama 6 hari ini, dapat benar-benar kita ambil pelajaran dari sejarah perjuangan Soerjopranoto, hingga bisa kita teruskan kedepannya,” Tegas BM Anggana.
Seorang ilmuwan ahli vulkanologi datang untuk mempelajari aktivitas Gunung merapi. Ia dengan sungguh mencari tahu apakah mungkin, Gunung Merapi bisa menjadi titik akhir kehidupan manusia, layaknya Gunung Toba. Lalu seorang seniman perempuan pembuat Film mencari tahu bagaimana eksploitasi lingkungan berjalan dengan tambang pasir yang menjadi tumpuan hidup warga di sana. Kehidupan di sekitar merapi terus bergulir, kepercayaan ruhani masyarakat atas berbagai mitologi yang terus membayangi mereka juga terus hidup dan dihidupi. Begitulah film monisme akhirnya hadir dan tayang perdana di Jogja Asian Film Festival JAFF (2/12), Yogyakarta, setelah hampir setahun film garapan Riar Rizaldi ini menyambangi berbagai festival film internasional di berbagai negara.
Film Monisme diawali dari adegan pembantaian seorang manusia yang diseret ke tengah hutan dengan tali menjerat leher dengan kepala tertutup oleh para preman. Mereka para preman, dengan nada kasar agak senonoh dan penuh intimidasi itu lalu menggantungkan tali yang mengikat leher korban ke dahan pohon besar. Tanpa pikir panjang bos dari preman yang tampak tidak sabar, melayangkan batu besar dengan brutal ke kepala korban. Dan nyawa korban itu akhirnya melayang.
Gambar guguran lava Gunung Merapi tampak begitu dekat membawa penonton ke adegan selanjutnya. Teknik pengambilan gambar yang cukup untuk memotret gunung yang mempunyai ketinggian 2,910 itu, membuat penonton hanyut di dalamnya. Tampaknya Riar Rizaldi ingin membawa penonton pada eksperiens visual stratovolcano disertai audio yang dibuat mencekam lagi menggelegar. Entah kenapa, pada saat itu saya hanyut pada visual dan audio Merapi yang dipertontonkan, saya kemudian teringat pada letusan Merapi pada tahun 2010 yang mencekam itu. Waktu itu saya belum terlalu dewasa, tetapi melalui sepenggal adegan awal film ini saya jadi merasakan bagaimana kedigdayaan Merapi saat meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Film feature panjang yang disutradarai oleh Riar Rizaldi dengan produser BM Anggana ini memang menjadi debut pertama mereka berdua. Dengan bentuk film eksperimental, Riar mencoba menggabungkan gagasan antara film dokumenter dengan fiksi dan fiksi yang dokumenter. Sehingga komposisi fakta yang digali dari pengalaman subyek masyarakat sekitar ditambah dengan upaya observasi yang mendalam, dijadikan Riar sebagai bangunan cerita dalam film ini. Dari hal itulah kemudian fiksi terbentuk merangkai cerita antara aktualitas dengan mitos dan legenda sebagai ruh film ini. Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Kemudian cerita berlanjut. Seorang ilmuwan ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas) ditemani asistennya (Kidung Paramadita) bercengkrama memandang Merapi dari sudut yang jauh. Sang ilmuwan tampaknya mempunyai obsesi yang tinggi tentang hukum rasionalitas, bagaimana materi dengan segala partikel yang membentuknya menciptakan kehidupan. Percakapannya mendalam, mereka berupaya memecahkan satu pertanyaan besar tentang Gunung Merapi sebagai sumber kehidupan atau sember punahnya peradaban.
Sang vulkanolog terus mencari tahu, bagaimana relasi manusia dan alam sesungguhnya. Melalui penelitiannya, ia berusaha membangun argumentasi bahwa manusia seharusnya bisa berdampingan dengan alam. Salah satu dialog menarik dari keduanya yang berhasil saya catat seperti di bawah ini;
“Manusia itu sama seperti cacing versi lebih besar dan kompleks saja” ungkap peneliti.
“Cacing yang mempunyai moral?” Sanggah sang asisten.
“Cacing mungkin lebih bermoral dari manusia,” tegas peneliti.
Dari dialog tersebut saya akhirnya mempunyai gambaran, tentang bagaimana film ini. Melalui tokoh peneliti, film ini sepertinya ingin menyuguhkan satu argumentasi secara ilmiah tentang Gunung Merapi sebagai unsur yang hidup dalam siklus dan ekosistem kehidupan ini. Dalam hal ini Merapi tidak hanya sebagai objek pun lanskap alam, ia adalah ruang dan waktu.
Lalu cerita berlanjut pada rekaman wawancara Yulianto sebagai petugas pengamatan Gunung Merapi. Ia dengan wajah masih tertutup masker menceritakan aktivitasnya selama ini menjadi garda depan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Yulianto menjalani profesi ini memang mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga menjadi penjaga pos pengamatan Merapi. Ketertarikannya dengan Merapi diawali ketika sejak kecil, ia sering ke kantor dan ikut kerja ayahnya. Semenjak itulah akhirnya ia menjalani profesinya sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang sudah diwariskan oleh keluarganya terdahulu.
Dalam wawancara ini, Yulianto banyak menjelaskan secara vulkanologi gerak dan aktivitas Merapi. Bagaimana post pengamatan menetapkan status Merapi, ukurannya apa, lalu siasat apa yang harus dilakukan ketika melihat kondisi Merapi sudah dalam titik rawan. Ia juga tampak menjelaskan beberapa fungsi alat yang digunakan untuk memotret kondisi Merapi. Namun, dari semua itu yang menarik justru ada pada statementnya. Bahwa bagaimanapun alat ciptaan manusia untuk mengamati Merapi tetapi pada dasarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar tahu atau bisa memprediksi kapan Merapi akan erupsi. Karena itulah Merapi sampai sekarang masih menyimpan sejuta misteri. Dari hal itu juga masih banyak kemungkinan untuk setiap orang memiliki daya untuk memahami dan menjelajahi.
Sementara itu gambar bergeser pada asisten peneliti (Kidung Paramadita). Sebagai pemeran pembantu dalam film ini, ia mempunyai peran yang vital untuk menghidupkan cerita dalam setiap babaknya. Dalam babak pertama ini, ia (Kidung Paramadita) asisten peneliti diberi porsi Riar untuk mengalami pengalaman mistik ketika menjalani penelitian di Merapi. Dalam salah satu scene adegan di tengah malam, ia tinggal di rumah di sekitar lereng Merapi. Saat itu ia mengalami pengalaman horor ketika dalam kondisi masih tertidur, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terguncang merasakan getaran seperti hal nya gempa bumi berkekuatan tinggi. Ruangan dalam adegan itu juga ikut terguncang, semuanya bergetar, sehingga membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bingung dengan kondisi yang sedang ia alami. Dari hal itu ia bergegas, bangkit dari tidur mengamati jendela kamarnya dengan desain minimalis itu. Di sanalah ia melihat peristiwa yang tidak wajar ada di tengah malam, yaitu pawai gunungan bertubuhkan manusia. Iring-iringan itu memang di luar nalar. Dengan iringan musik bergada (prajurit Mataram) dengan beberapa pengiringnya berwajahkan aneh lagi menyeramkan.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri. Tentu kita bisa percaya atau tidak dengan adanya kepercayaan semacam itu. Tetapi banyak masyarakat di sana sebagian besar meyakini hal tersebut. Dan film ini berhasil memotretnya sebagai bagian dari realitas yang muncul menjadi bumbu penyedap dalam film ini.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri.
Lalu cerita berakhir dengan tindakan tragis sekumpulan preman yang mengintimidasi peneliti dan asistennya saat mereka melakukan riset di suatu malam di hutan Merapi. Naasnya mereka bertemu dengan para preman yang sedang melakukan patroli. Para preman yang berwajah sama seperti dalam adegan pertama. Awalnya mereka sempat menyangkal bahwa tindakan mereka tidak melanggar aturan. Perdebatan terjadi di antara mereka. Namun sayang, para preman bertindak lebih ganas dari yang dibayangkan. Dengan kejam bos preman dengan wajah garang (Whani Darmawan) memperkosa asisten peneliti. Sedangkan peneliti tampak tidak berdaya, ia dikeroyok, mulutnya berulang kali dijejali dengan senapan. dan cerita mereka berdua selesai pada adegan itu juga.
Antara Realitas Sosial dan Potret Pilu di Dalamnya
Babak kedua dalam film Monisme menawarkan sudut pandang realisme yang cukup kuat. Beberapa adegan tidak banyak dipoles sedemikian rupa. Karakter muncul dengan pemeran yang sama. Kali ini Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai penambang pasir dengan wajah lusuh dengan debu. Sedangkan Kidung Paramadita memerankan karakter sebagai seorang seniman pembuat film. Bagi Rendra, entah bagaimana ia memerankan karakter yang sangat berbeda dengan karakter sebelumnya sebagai peneliti. Tetapi seperti adegan sebelumnya ia tampak cukup menghayati perannya tersebut. Sedangkan Kidung dengan tampilan eksentrik khas seorang seniman, berhasil menghidupkan karakter yang diembannya.
Gambaran kondisi dan dilema penambang pasir di sekitar Merapi menjadi gagasan utama dalam babak kedua ini. Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Sang seniman hadir dengan seorang teman untuk wawancara penambang pasir. Dialognya sederhana, singkat dan tidak berbelit. Awalnya mereka berada di sebuah warung makan untuk mengambil gambar penambang pasir dengan baju yang masih sama, lusuh. Dalam dialognya sang penambang pasir tak banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentang bagaimana penambangan pasir selama ini berjalan, siapa saja dibelakangnya dan apa resiko penambangan yang mereka kerjakan. Penambang pasir tetap bergeming. Ia menjawab singkat dan membuat kecewa sang seniman yang merasa tak puas dengan hasil wawancaranya. lalu ia membeli makan untuk menetralkan suasana. Mungkin penambang pasir sedang lapar. Dan ia tak semangat menjawabnya.
Selepas makan, mereka siap mengambil gambar kembali. Namun di belakang mereka para preman tiba-tiba hadir di warung sederhana itu. Komplotan preman yang masih sama di babak pertama. Awalnya tidak ada masalah datangnya preman itu. Mereka tetap menjalankan wawancara. Para preman tampaknya mulai terganggu dengan aktivitas wawancara itu, mereka mendekat mempertanyakan aktivitas mereka. Dengan nada kesal, preman mengintimidasi sang seniman. Preman itu berusaha meminta izin aktivitasnya itu. Sang seniman menjelaskan maksud dan tujuannya, mereka sedang membuat film dokumenter soal tambang di Gunung Merapi. Mendengar hal itu para preman merasa hal itu tidak perlu. Sebagai penguasa wilayah di sana mestinya ia meminta izin kepada para preman itu. Sang seniman tetap ngotot bahwa ia tidak akan menyinggung kekuasaan mereka. Preman tampak tidak peduli soal hal itu. Penambang pasir berusaha membantu menjelaskan. Tetapi tetap gagal. File hasil wawancara diminta preman untuk di hapus, lalu mereka diusir dari warung itu.
Adegan berganti, para penambang pasir tampak berkumpul melepas lelah. Mereka bercerita soal aktivitas menambang pasir Merapi selama ini. Banyak dilema pilu mendengar cerita mereka. Bukan tanpa peduli, ia paham betul resiko penambangan yang mereka lakukan. Krisis air menjadi hal yang paling mencuat dari aktivitas yang mereka lakukan. Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan lain bagi mereka. Kebutuhan ekonomi yang mendesak menjadi alasan kuat agar kehidupan mereka terus berjalan. Saat itulah letusan Merapi tak lagi mencekam bagi mereka. Justru saat Merapi mengeluarkan banyak material dari perutnya, di sana mereka mendulang banyak keuntungan. Adegan wawancara dokumenter itu selesai, dengan tatapan panjang menunggu kapan rezeki guguran material itu datang.
Kembali pada seniman pembuat film dan penambang pasir yang meratapi nasib buruknya. Berada di dalam kepala truk, penambang pasir itu berjejalan dengan sang seniman. Berada di tengah, diapit sopir dan perempuan seniman itu. Dengan posisi duduk yang tidak begitu nyaman. Entah kenapa penambang pasir menceritakan semuanya. Ia meminta seniman merekam semua omongannya. Terlanjur basah ungkapnya, biarkan sekalian tidak usah menyembunyikan identitasnya. Penambang pasir dengan wajah emosional dengan sebatang rokok yang tak lepas dari mulutnya, ia mengungkap siapa dalang di balik penambangan pasir di sana. Para elit politik pemegang kekuasaan yang rakus lah sebenarnya yang memberi jalan penambangan pasir itu ada. Merekalah sebenarnya para cukong sesungguhnya, mereka juga yang memberi izin dan sekaligus yang paling mendapat banyak keuntungan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tegas penambang pasir ini dengan wajah geram. Lalu nasib penambang kecil yang sebatas kuli buruh angkut pasir seperti dirinya, tentu tak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan yang didulang para pemodal di atasnya. Ia tetap miskin, dan tidak ada pilihan lain untuk tidak tetap bekerja di sana.
Penambang pasir mengambil nafas panjang. Ia melanjutkan ceritanya. Lalu para preman yang mereka temui di warung tadi adalah orang yang hidup dari para bandar besar konglomerat yang berlindung dibalik kekuasaan politik mereka. Mereka para preman, memang dipelihara untuk mengintimidasi siapapun yang mengancam kepentingan penambangan yang mereka jalankan. Nasib para preman itu sebenarnya tak ubahnya seperti kuli penambang pasir itu, berada di bawah dan kapanpun bisa dilenyapkan ketika ia mulai tidak patuh dengan majikannya. Cerita selesai, seniman perempuan itu gemetar memegang handycam yang tak lepas di tangannya.
Merapi dan Semesta Mistiknya
Babak terakhir dalam film ini tentu lebih tidak terduga. Riar berusaha menghadirkan perspektif mistisisme dari para pelaku spiritualis dalam bahasa lain bisa disebut, dukun, orang pintar, atau semacamnya. Mereka dihadirkan dalam bentuk praktik dan laku hidup yang mungkin bagi banyak orang sulit dipahami. Tetapi mereka ada, yakin dan teguh dengan pendiriannya. Beberapa praktik memunculkan laku performatif dengan penghayatan yang dalam. Lagi-lagi Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai pemeran utamanya. Ia menjadi spiritualis yang begitu menghayati kepercayaannya.
Gunung Merapi memang bagi sebagian orang bukan hanya subyek yang mati. Gunung ini juga dipercaya mempunyai nyawa, ia hidup sama seperti makhluk Tuhan yang lainnya. Bukannya dalam sebuah kitab suci diterangkan bahwa semua ciptaan Tuhan memang sebenarnya hidup dalam ordernya masing-masing. Dari hal itulah, layaknya dalam sebuah relasi satu dengan yang lainnya harus saling menyapa dan menghargai. Babak ketiga dalam film ini, sependek yang saya pahami, tampaknya ingin menggambarkan bagaimana relasi manusia dengan alam (Merapi) melalui pendekatan spiritualitas yang masyarakat miliki.
Dalam sebuah adegan tokoh spiritualis digambarkan sebagai sosok orang tua yang tampil dengan sedikit kata. Hampir setiap adegan ia membisu, namun dengan ekspresi yang kuat karakter tokoh ini menjadi hidup. Suasana horor menyelimuti setiap adegan dalam babak ketiga ini. Dalam kegelapan malam, tokoh ini seperti membawa sesaji, berdialog secara batin dengan mahluk-mahluk penghuni Merapi. Adegan yang sangat epik muncul ketika tokoh spiritualis berada di atas semacam tanggul di bantaran sebuah kali. Ia berjalan di atas tanggul dengan suasana senja yang mulai tenggelam. Dengan background Gunung Merapi yang tampak gagah dan perkasa. Ia meletakan sebuah sesaji sebagai bentuk penghormatan mahluk-mahluk yang ada di sana. Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Ketika ia beranjak pergi, sesaji yang ditinggalkan kemudian dikerubungi sosok mahluk halus penunggu berperawakan perempuan. Wajahnya menyeramkan dengan tata kostum khas setan-setan Jawa pada umumnya. Para setan mahluk halus atau apapun sebutannya, tampak lahap menyantap sesaji yang ditinggalkan. Sedangkan tokoh spiritualis tampak mengamati dari kejauhan. Kemudian melenggang pergi.
Adegan berganti pada wawancara dokumenter kepada tokoh spiritualis sesungguhnya. Ia merupakan pemimpin kelompok Jathilan klasik Kudho Taruno Desa Wonolelo dari lereng Merapi. Puthut Juritno namanya, lelaki paruh baya itu menceritakan bagaimana profesinya selama ini sebagai pawang jathilan dan orang yang dianggap tahu soal hal-hal mistik di sekitar Merapi. Baginya Gunung Merapi memang bukan gunung sembarangan, ia meyakini kita sebagai manusia harus tahu tata aturan dan sopan santun ketika berada di Gunung Merapi. Begitu juga ketika ia ketika akan menggelar sebuah pertunjukan jathilan bersama kelompoknya. Tentu ia akan melakukan ritual khusus, seperti puasa atau tirakat lainnya sembari menyiapkan sesaji yang sudah ditetapkan sebelum pentas digelar. Hal itu semata ia lakukan agar pertunjukan yang ia gelar berjalan lancar.
Tidak semua pertanyaan bisa Juritno jawab dengan gamblang. Yang jelas dari wawancara ini ia menegaskan bahwa di Gunung Merapi ada sosok penunggu yang mesti kita hormati. Penghormatan yang lazim tentu dilakukan dengan terus menjaga adat tradisi seperti merti dusun, nyadran, dan labuhan Merapi. Semua bentuk tradisi itu sebagai bentuk upaya untuk menjaga relasi dengan Merapi itu sendiri.
Lalu adegan dilanjutkan dengan pentas Jathilan. Tabuh gamelan disertai tarian prajurit perang Mataraman menjadi sajian dari sebuah pentas Jathilan. Kesenian ini sendiri awalnya berangkat dari sebuah latihan peperangan di masa perang Jawa meletus tahun 1830 an. Sejarahnya panjang. Yang pasti kekalahan Pangeran Diponegoro saat perang Jawa menjadi salah satu titik penting kesenian ini berkembang. Kemudian tarian kolosal dengan ritme tabuhan gamelan yang rampak dengan nada yang terus berulang menghasilkan nada yang menghanyutkan. Bahkan di titik tertentu membawa pendengarnya sampai trans bahasa lain dari ndadi atau kesurupan. Saat itulah dipercaya mahluk halus memasuki jasad penari sehingga kehilangan kesadaran. Dalam film ini, pentas jathilan ini digambarkan seperti pentas pada umumnya, maksudnya tidak settingan. Saat beberapa penari mulai kesurupan, tokoh spiritualis masuk ke dalam gelanggang pentas. Ia menari, sambil tetap membawa sesaji. Kemudian menghilang.
Film Monisme diakhiri dengan munculnya gerombolan preman yang dengan brutal menghabisi spiritualis. Alur film kembali pada adegan awal. Pembunuhan tragis di tengah hutan di bagian awal film ini, akhirnya terungkap apa sebabnya dan siapa sosok yang dihilangkan nyawanya dengan keji itu. Ia adalah sosok spiritualis yang dengan teguh memegang keyakinannya tentang daya besar Merapi. Keyakinan dan kepercayaan yang selalu dihadapkan dengan kepentingan modal. Begitulah tampaknya kenyataan selalu berjalan. Atau justru melalui kontradiksi-kontradiksi yang ada, harapan baik akan terus dilambungkan. Film ini berhasil membawa penonton pada satu kesimpulan, setidaknya bagi saya, bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang kita ideal kan. Dan film ini mempertegas itu semua dengan kompleksitas cerita yang ada.
Film berakhir. Soundtrack film Monisme berjudul “Semayam” karya Bin Idris membuat, sekali lagi, suasana akhir film ini menjadi sangat haru. Dengan nadanya yang mendalam ditambah liriknya yang jenaka, membuat film ini menjadi lengkap dan penuh. Agar pembaca tulisan ini merasakan getarannya. Saya sematkan lirik lagu di bawah sekaligus sebagai penutup tulisan ini.
Berjejak pada tanah bergulir dan merekah beriring dalam bising sunyi di bawah kakimu berdesakan, berjejalan, berhimpitan, membentuk barisan menunggu giliran di dalam dinginnya dekapanmu berselimut bebatuan dan lebur perlahan berpulang tanah berdiam dan merebah dan hening tak bergeming sunyi
Pagi itu, kompleks Makam Astana Girigondo terlihat riuh dengan terik matahari mulai menyengat kepala. Terlihat tarub besar dengan kursi sejumlah ratusan sudah setengah dipenuhi pengunjung berada tepat di depan Masjid menghadap limasan panjang ke Utara. Limasan panjang tampak menjadi lokasi utama pertunjukan di bawah bukit Makam Girigondo lokasi para raja-raja Kadipaten Pakualaman bersemayam. Beberapa diantara peserta meliputi kelompok anak-anak pramuka, kelompok hadroh, lalu bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah pengajian berpakain muslim Jawa hadir di sana.
Pertunjukan teater atau pembacaan lakon (dramatic reading) seringkali memang dapat kita temui berada di atas stage dalam sebuah gedung auditorium dengan gemerlap lampu disertai tempat duduk nyaman dan tentu dengan pendingin ruangan yang membuat kita betah berada di dalam ruangan. Namun berbeda halnya dengan pertunjukan yang digelar di Kompleks Makam Astana Girigondo, Kaligintung, Kec. Temon, Kulon Progo, Minggu (08/09).
Pertunjukan yang diberi tajuk Pembacaan Lakon Adeging Astana Girigondo sebagai rangkaian Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023 tersebut memang berbeda dengan suguhan pertunjukan pada umumnya. Berkolaborasi dengan Teater Kagama dan seluruh elemen masyarakat pertunjukan ini mengambil konsep pertunjukan dengan durasi yang panjang. Pertunjukan eksperimental yang digawangi oleh Irfanuddien Ghozali menawarkan sebuah pendekatan yang tidak biasa dengan berupaya memberdayakan potensi kesenian lokal dalam metode sebuah penciptaan teater di FKY tahun ini.
Saya datang jam 08.00 sesaat sebelum acara dimulai. Terlihat acara akan segera dimulai, saat MC membuka acara lalu membacakan rangkaian acara di hari itu. Seperti acara pada umumnya, setelah pembukaan lalu dilanjutkan sambutan oleh perwakilan Teater Kagama Patah Ansori yang menyampaikan pesan pembukaan acara pagi itu.
Selepas sambutan berakhir peristiwa pertama dimulai dengan Umbul Donga semacam ziarah ke makam untuk meminta izin dan berdoa napak tilas sejarah para leluhur trah Kadipaten Pakualaman. Semua pengunjung kemudian diajak untuk bersama-sama menaiki bukit makam tempat raja-raja Pakualaman berada. Terlihat salah satu narator Arif Nurcahyo pencipta “Wayang Kombes” mengenakan pakaian adat Jawa membawa wayang goleknya sambil memanggul sound elektrik yang ditancapkan sebilah songsong (payung pajang yang sering ada dalam ritual-ritual adat Jawa) memandu perjalanan rombongan.
Beberapa diantara mereka para sesepuh juru kunci makam membawa sesaji berupa nasi tumpeng robyong lengkap dengan ayam ingkung sebagai ritual doa keselamatan. Diikuti oleh para tokoh masyarakat dan anak-anak pramuka desa setempat rombongan berjalan pelan melewati ratusan anak tangga yang kita tapaki untuk sampai di puncak bukit tempat makam itu ada. Di depan pintu gerbang utama makam yang menyerupai bentuk gerbang kastil-kastil Eropa di awal abad 20-an, Kabupaten Kulon Progo terlihat terbentang luas di atas bukit yang masih rindang dengan pepohonan.
Melewati pintu gerbang makam, terlihat jajaran nisan di balik pintu bangunan limasan khas pajimatan (tempat peristirahatan raja-raja Jawa dikebumikan). Rombongan dipimpin sesepuh juru kunci makam, lalu uluk salam (memberi salam hormat) pada leluhur meminta izin membawa rombongan sambil menerangkan siapa saja yang dimakamkan di pesarean. Tak lama Umbul Donga dilakukan, pembacaan tahlil kebiasaan Muslim Jawa tersebut membuat suasana pagi menjelang siang itu semakin hening dalam larutan doa yang dilantunkan.
Acara Umbul Donga selesai. Masih di atas sekitar kompleks makam, penanaman bibit Pohon Bodhi dilakukan. Pohon Bodhi memang bukan pohon sembarangan, pohon yang punya sejarah panjang tersebut diyakini sebagai tempat peristirahatan Sidharta Gautama ketika mendapat pencerahan. Penanaman pohon di tepian/lereng makam menjadi satu wujud agar nilai-nilai dari para leluhur bisa terus hidup dan memberi kebermanfaatan bagi generasi ke depan.
Sampai peristiwa pertama berakhir, rombongan bersama-sama menuruni bukit pesarean tersebut. Saya mulai menduga bahwa pertunjukan kali ini memang bukan satu fragmen yang saling terpisah satu sama lain. Ghozali mengatakan ia memang sengaja membuat seluruh peristiwa yang ada dalam acara ini merupakan bagian dari pertunjukan yang saling terhubung.
“Jadi memang untuk menikmati pertunjukan ini kita tidak bisa hanya menikmati satu bagian misalnya ketika pembacaan lakon saja, tetapi keseluruhan rangkaian acara memang ia tujukan sebagai bagian dari pertunjukan itu sendiri” tutur Ghozali.
Napak Tilas Sejarah Girigondo
Selepas turun dari makam, kami istirahat sejenak. Di panggung utama limasan, tim hadroh sudah siap-siap bersenandung sholawat untuk menghibur pengunjung yang sudah mulai padat berdatangan. Rombongan lain memisahkan diri untuk mengikuti rangkaian lainnya. Masih dengan orang yang sama, Arif Nur Cahyo narator dalam rangkaian pertunjukan ini memandu perjalanan untuk melakukan napak tilas sejarah lokal di desa Girigondo sambil tetap memanggul sound kecil dan songsong dipundaknya.
Diikuti oleh Dimas dan Diajeng Kulon Progo, narator terus bercerita sambil ditemani riuh anak-anak pramuka SD Trukan yang antusias menuju destinasi tempat kunjungan kami siang itu. Tak jauh kira-kira 500 meter dari tempat lokasi utama. Kami sampai di destinasi pertama yakni buk renteng tempat irigasi yang menyerupai jembatan dengan lebar 2,5 meter dengan kedalaman 1 hingga 2 meter untuk mengairi lahan-lahan pertanian desa-desa di sepanjang yang dilewatinya. Dipandu oleh narator kami dipertemukan dengan Mangkudiraja lelaki tua berumur sekitar 70-an tahun itu masih gigih menjelaskan sejarah buk renteng yang berada di desanya.
Menurut Mangkudiraja buk renteng di Desa Girigondo dibangun tahun 80-an. Ia sendiri ikut membangunnya bersama dua puluhan orang warga desa lainnya. Secara fungsi keberadaan buk renteng memang diperuntukan sebagai irigasi pengairan di desa Girigondo dan sekitarnya. Keberadaan buk renteng yang saling menyambung dari satu desa ke desa lainnya. Membuat pengerjaanya waktu itu butuh waktu yang lama dan setiap desa ada pemborongnya.
Buk renteng sendiri merupakan bagian sistem irigasi induk dari selokan Mataram yang menghubungkan sungai Opak dan Progo. Lebih jauh pertama kali buk renteng dibangun sejak masa penjajahan Hindia Belanda tepatnya pada tahun 1893-1899 sepanjang 17 KM oleh Carel Herman Aart van der Wijck di daerah Minggir Sleman.
Dampak langsung keberadaan buk renteng sebagai sumber air pertanian memang sangat dirasakan warga disana. Sesuai dengan penuturan Mangkudiraja semenjak ada buk renteng pertanian di sepanjang yang dilewatinya kebutuhan air untuk pertanian menjadi tercukupi.
Napak tilas sejarah selanjutnya ke makam Syekh Dal Mudal, sebuah makam leluhur yang ada di Desa Girigondo. Syekh Dal Mudal sendiri dipercaya sebagai keturunan Brawijaya V. Seperti diceritakan Harjo Sutrisno sang juru kunci makam, ia menceritakan bahwa makam ini adalah tempat peristirahatan Kebo Kenanga yang dikenal Syekh Dal Budal. Entah bagaimana cerita lengkapnya ia kemudian membacakan silsilah lengkap dari Seyek Dal Budal. Ia sendiri sebenarnya tidak benar-benar tahu kebenaran dari ceritanya karena sejak ia lahir makam itu sudah ada dan ia meneruskan keluarganya dari mulai bapak dan kakeknya untuk mengurus makam ini.
Di Makam yang rindang dengan pohon pule yang besar, kami semua mendengarkan cerita Harjo Sutrisno. Selepas mendengarkan cerita anak-anak pramuka menitipkan pohon untuk ditanam di sana. Pohon yang akan terus menjadi penanda bahwa mereka pernah singgah di sana.
Pertunjukan yang Memberdayakan
Selepas kunjungan dari makam, pengunjung kemudian balik ke lokasi acara utama. Adzan dzuhur berkumandang dan acara berhenti sejenak. Setelah istirahat ishoma selesai, acara dilanjutkan dengan pentas utama pembacaan dramatik reading Astana Girigondo oleh Teater Kagama berkolaborasi dengan kelompok kesenian yang ada di sana. Sebelum pentas dimulai seni tradisi Angguk Sri Budaya tampil mengawali pentas siang itu. Kelompok Gejog Lesung Laras Kenanga Balong, Angguk Sri Budaya, Komunitas Tari sajiwa, Sanggar Tari Tresno Budaya, semua kelompok kesenian tersebut kemudian dirajut dalam satu bentuk pertunjukan ketoprak gejog lesung yang saling mengisi satu sama lain.
Alunan musik dari gejog lesung menjadi pengiring dari pembacaan naskah ini. Lima aktor membacakan cerita yang mengisahkan pemindahan pesarean keluarga Pakualaman dari Kota Gede ke Girigondo. Para aktor menceritakan bahwa perpindahan tersebut merupakan sikap politik dan kerendahan hati atas perselisihan di antara pangeran sejak tahun 1811 yang memuncak pada perang Diponegoro. Tidak hanya itu, konflik berlanjut pada friksi pemakaman Kotagede-Imogiri yang dilatar belakangi distribusi komoditas ekspor di masa kolonialisme Belanda melalui pelabuhan Semarang dan Cilacap. Di tengah kemajuan jalur darat berupa kereta api yang mana mereka terkunci oleh jalur sungai Code.
Alur cerita yang dibacakan oleh para aktor pada siang itu cukup kompleks, namun para penonton cukup antusias mengikuti alur cerita yang dipentaskan. Hingga akhirnya pertunjukan usai dengan pementasan Angguk Sri Budaya.
Ditemui selepas acara Ghozali sebagai programer menceritakan bahwa proses awal penggarapan pentas ini sebenarnya seperti bola yang terus menggelinding. Awalnya ia ketemu penulis naskahnya terlebih dahulu, Pak Kun dari teater Kagama. Dari hal itulah akhirnya ia mencoba benang merah konsep dan cerita peristiwa ini.
Pertunjukan kali ini memang ingin memunculkan sisi lain dari sebuah pertunjukan teater yang kebetulan FKY tahun ini juga mengundang Teater Koma sebagai representasi teater modern. Dari hal itu dari sisi program teater yang ia pegang sebenarnya ingin memperkaya dari apa yang sudah ditampilkan FKY sebelumnya (Teater Koma), dengan memunculkan konsep yang lain dari biasanya. Misalnya dari mulai dari pemilihan lokasi yang merupakan situs sejarah warga dan dari segi durasi waktu pertunjukan juga tidak seperti teater konvensional.
“Bentuk pertunjukan ini sebenarnya bisa disebut durational performers, jadi waktunya punya konsep tersendiri. Menikmati pertunjukan ini sebenarnya kami rancang dari awal hingga akhir, jadi semuanya jadi satu kesatuan. Jadi tidak hanya pas pembacaannya saja, karena jika kita perhatikan dalam pembacaan lakon sebenarnya terekam dalam situs-situs sejarah yang kita kunjungi sebelumnya”, ujar Ghozali.
Selain itu Ghozali juga menambahkan bahwa salah satu penekanan dalam pertunjukan ini adalah pelibatan warga di sekitar situs sejarah. Karena menurutnya agar pengetahuan mereka muncul, karena yang memiliki pengetahuan atas situs sejarah sebenarnya mereka. Jadi kedatangannya dia di Girigondo dalam konteks ini adalah belajar menggali pengetahuan dari warga masyarakat di sina.
“Karena mereka yang memiliki pengetahuan, jadi mereka harus muncul sebagai subyek. Nah dari pintu masuk itu warga jadi terbuka untuk berpartisipasi dan untuk terlibat dalam acara ini,” tegas Ghozali.
Diakhir obrolan Ghozali juga tidak memungkiri bahwa konsep yang ia bawakan masih ada kebolongan sebagai sebuah suguhan pertunjukan. Tetapi ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan bagian dari eksperimen dirinya sendiri terutama untuk men challenge kemampuan kreatifnya untuk membuat program yang ada di tengah masyarakat sekaligus melibatkan mereka sebagai subjek pertunjukan.
Beberapa bulan lalu tempat kami, Langgar.co, kedatangan tamu salah satu mahasiswa dari Kobe University, Jepang. Namanya Saki Maeta. Perempuan. Usianya masih sangat muda, kira-kira baru 21 tahun. Walaupun begitu, ia sudah menempuh jenjang pendidikan S2 di kota Kobe, kampusnya berada. Yang membuat saya kaget adalah ketika ia menceritakan maksud dan tujuannya. Yaitu ia tertarik untuk meneliti soal weton atau perhitungan Jawa. Suatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya di benak saya: seorang anak muda dari negeri jauh ingin meneliti salah satu khasanah pengetahuan kita yang hari ini mungkin sudah hampir banyak ditinggalkan oleh generasi muda Jawa.
Terlepas dari hal itu, soal maksud dan tujuan Saki Maeta di atas, saya jadi teringat salah satu peristiwa yang kadang membuat saya mau tidak mau harus belajar lagi terkait diskursus pengetahuan weton ini. Pasalnya, di Pantura daerah saya tumbuh dan besar, keyakinan perihal tradisi pengetahuan ini masih melekat begitu kuat dan menjadi satu instrumen penting dalam menentukan peristiwa daur hidup acara-acara masyarakat, terutama seperti acara pernikahan. Kaitannya dengan weton pernikahan ini, saya ingin bercerita terlebih dahulu agar konteks tulisan ini bisa tergambar dengan utuh.
Jadi, saya mempunyai teman dari daerah Pantura. Teman saya ini sedang gandrung dengan seorang perempuan. Saya tidak ingin menceritakan detil kenapa keduanya bisa dipertemukan. Apakah dari proses pandangan pertama atau yang lain, tentu saya tidak tahu. Singkat cerita, kedunya kemudian saling mencintai dan akhirnya menjalin hubungan khusus. Tetapi, setelah teman saya itu sudah mengikat dalam ikatan cinta, sebut saja pacaran, keduanya lantas memutuskan untuk saling memperkenalkan kepada orang tua masing-masing. Sebenarnya dalam proses saling mengenalkan pasangan satu sama lain ini menjadi hal biasa dalam suatu hubungan. Tapi yang tidak biasa adalah menurut kepercayaan dari pihak laki-laki, bahwa suatu hubungan harus sesuai dengan perhitungan weton seperti orang-orang tuanya pernah lakukan. Soal hitungan ini, pada dasarnya tidak menjadi soal selama kebetulan hitungannya pas/cocok dan sesuai. Namun naasnya nasib teman saya itu hitungan weton dengan calon yang akan dipinangnya, menurut pandangan orang tuanya––hasil tanya orang tua (orang pintar)––tidak baik, bahkan menandakan hal buruk.
Hasil perhitungan weton tidak cocok itu lantas mengubah kisah cinta keduanya. Menurut teman saya, keputusan orang tua terutama bapaknya sendiri sudah bulat. Bahkan sudah tidak bisa diganggu gugat. Bagi bapaknya , soal hitungan ini menjadi batu pijakan pertama dalam menjalin suatu hubungan. Bapaknya meyakini bahwa weton sangat berpengaruh terhadap bahagia dan celaka dalam relasi rumah tangga.
Maka, sebagai anak yang berbakti, teman saya tampaknya pasrah dengan keputusan bapaknya yang kukuh itu sehingga akhirnya sampai tulisan ini dibuat, kabarnya hubungan mereka kandas. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana hasil dari hitungan weton antara mereka, sehingga membuat hubungan mereka tidak bisa diselamatkan.
Terlepas dari itu semua, yang ingin saya tekankan dari cerita di atas ialah di era hari ini dengan segala kemajuan gagasan rasionalnya, ternyata cengkeraman tradisi masih begitu kuat dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa terutama sebagian besar masyarakat Pantura, daerah saya. Dalam kasus di atas, bahkan sampai mengakibatkan kisah cinta teman saya akhirnya kandas. Saya tidak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi dalam diri saya, ketika saya sudah benar-benar mencintai pasangan saya, tiba-tiba hanya karena perhitungan weton ini saya tidak bisa menikahi calon pasangan saya. Suatu hal yang membuat saya bertanya, apakah tidak ada alternatif lain untuk memecahkan persoalan cinta dalam belenggu tradisi itu? Karena dengan penuh curiga, saya merasa dalam banyak tradisi yang tersisa di tengah masyarakat termasuk mengenai keilmuan weton ini banyak pengetahuan yang terputus, bahkan tidak terhubung lagi dengan gagasan awalnya. Maka dari itu, tulisan ini mencoba mendudukkannya.
Konsep Weton Dalam Jantung Keilmuan Jawa
Cerita singkat di atas sebenarnya sering saya temui dalam lingkungan sosial saya sendiri. Bahkan kasus tersebut terjadi dalam keluarga saya sendiri. Ceritanya sering kali berujung pada dilema. Dalam takaran tertentu, keluarga saya juga masih memegang konsep hitungan weton, walaupun tidak terlalu fanatik. Bahkan sampai sekarang, Pak Lek (adik bapak saya) bisa dikatakan menjadi salah satu praktisi yang sering ditanya mengenai persoalan Weton banyak orang di desa. Konteks inilah, dengan pantikan cerita di atas, membuat saya tergerak untuk membaca ulang tradisi weton kesadaran orang Jawa hari ini.
Sebelumnya, saya ingin memulai dengan menelisik makna kata dan bagaimana logika keilmuan ini berkembang. Misalnya, kata weton dari kata wetu berarti lahir (derivasi: metu, artinya keluar—red), sedangkan weton berarti waktu kelahiran. Dalam kerangka keilmuan Jawa, weton dalam kategori primbon (asal: per-imbu-an, sesuatu yang di-imbu, disimpan—red) yang berarti simpanan, bentuknya kini berupa kitab catatan kumpulan ilmu-ilmu keseharian orang Jawa. Biasanya, dalam kitab primbon terdapat berbagai jenis keilmuan yang tersimpan. Mulai dari perhitungan hari-hari baik, peramalan nasib, peramalan watak manusia, ritual “slametan,” membaca karakter alam “pranata mangsa,” cara melakukan ritual pengantin, membuat rumah, jenis-jenis tumbuhan pengobatan, mantra tolak balak, dan ilmu kesaktian hingga rajah kekebalan. Sejauh ini yang saya temukan primbon itu dalam 11 jenis buku––mungkin jumlahnya bisa lebih banyak dari itu. Beberapa jenis primbon tersebut antara lain: Lukman Hakim, Betal jemur Adammakna, Atassadhur, Adammakna, Bektidjamal dan sebagainya.
Pertanyaannya kemudian dari mana nama-nama asing itu diambil? Setelah saya lacak lebih jauh, nama-nama tersebut ternyata terinspirasi dari Serat Menak. Sebuah kitab epos besar yang bernafaskan Islam dari Persia yang menceritakan paman Nabi Muhammad, Amir Hamzah yang kemudian populer di tanah Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Cerita epos ini kemudian berkembang ke tanah Jawa yang hari ini menyisakan sekuel-sekuel cerita dalam bentuk lakon Wayang Golek dan tari Wayang Orang. Sebelumnya, Serat Menak digubah secara kreatif oleh pujangga besar Jawa Pangeran Yasadipura I, dari Kasunanan Mangkunegaran, sehingga melalui kitab gubahan ini nama-nama tokoh yang terdapat dalam kisah Menak dijadikan nama-nama buku primbon seperti diuraikan. Lebih jauh, saya sendiri kurang bisa menjelaskan perihal kenapa nama-nama primbon diidentikkan dengan serat tersebut. Tetapi seturut pelacakan saya memang dalam cerita Serat Menak, ada sekuel cerita yang diperankan Lukman Hakim, tokoh yang diberi anugerah oleh Tuhan mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan makhluk selain manusia, seperti hewan dan jin. Seperti dikisahkan bahwa dalam suatu perjalanan, Lukman bertemu salah satu jin, lalu oleh sang jin, ia diajari cara mengakses prenik-prenik keilmuan terkait daur hidup manusia. Dugaan saya, dari cerita itulah kemudian salah satu nama kitab primbon identik dengan nama tokoh tersebut.
Kita bisa ambil contoh lagi misalnya dalam kitab primbon Adammakna kategori petungan, dijelaskan panjang lebar bahwa konsep hari dan pasaran baik dan buruk sebenarnya didasarkan pada hukum kosmologi yang dipercayai masyarakat Jawa. Secara sederhana, konsep petungan ini didasarkan pada ilmu falak atau astrologi, yaitu ilmu yang mempelajari orbit dan garis edar bintang-bintang. Ilmu perbintangan ini merupakan salah satu jenis ilmu peninggalan peradaban lama. Bahkan, setiap bangsa-bangsa besar pasti mempunyai khasanah keilmuan ini.
Jika di peradaban Eropa kita mengenal Zodiak, di Timur Tengah Ilmu Falak, di China ilmu Shio, dan di Jawa kita mengenal Ilmu petungan weton ini.
Jamak kita ketahui bahwa perkembangan Islam di Jawa cukup mewarnai dialektika keilmuan petungan yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Dalam kasus masyarakat Jawa Islam, ilmu falak lalu berkembang sedemikian rupa, dan puncaknya terjadi pada zaman Sultan Agung di paruh awal abad ke-17. Saat itu, entah dapat wisik seperti apa, Sultan Agung mempunyai gagasan untuk memadukan konsep penanggalan Jawa kuna (Saka) yang didasarkan pada perhitungan Matahari, Suryasengkala atau Syamsiyah, (lebih tepatnya Lunisolar, perpaduan matahari dan rembulan, seperti kalender Yahudi—red) dengan konsep perhitungan Islam (maksudnya Hijriyah—red) yang didasarkan pada hitungan bulan Candrasengkala atau Qomariyah. Hasil perpaduan itu pada akhirnya menjadikan penanggalan baru yang khas orang Jawa yang mungkin tidak ditemukan di tempat lainnya, dan penanggalan itu lamat-lamat masih dijadikan pandu oleh masyarakat kita hingga sekarang.
Melalui perubahan besar itulah lalu berkembang khasanah ilmu petungan weton, yakni ilmu untuk menghitung segala kebutuhan daur hidup manusia Jawa berdasarkan bulan dan hari-hari penting sesuai koridor peredaran bulan, matahari, dan bintang-bintang. Tidak hanya itu, turut berkembang pula ilmu “jangka”, bisa kita sebut “ramalan”. Jangka yang didasarkan pada perhitungan peredaran gerak alam semesta ini, tentu tidak sekonyong muncul begitu saja. Jika kita telisik lebih jauh, apa yang disebut jangka pada dasarnya adalah kemampuan orang zaman dahulu untuk membaca pola dari gerak alam, sehingga memunculkan ungkapan yang disebut “sasmita,” tanda-tanda atau gejala-gejala hukum alam yang tergelar di setiap waktunya. Melalui kemampuan membaca tanda-tanda alam itulah, leluhur kita mestrukturasi temuan-temuannya dengan berbagai pralambang, mulai dari angka-angka dan cerita mitologi yang sangat sistematis dan matematis untuk menjadi acuan agar manusia selalu bisa belajar dan selaras dengan gerak alam. Gagasan utamanya adalah bahwa setiap pergerakan semesta, dalam hal ini semua unsur alam seisinya pasti akan selalu berkorelasi dan mempengaruhi tumbuh kembangnya manusia. Pergerakan unsur-unsur alam yang dipengaruhi oleh peredaran alam semesta inilah yang akhirnya menjadi titik pijak, dan menjadi ilmu petungan berkembang.
Dari konteks sejarah dan teorisasi yang cukup rumit itu, saya kemudian mulai bisa memahami bahwa tujuan dari ini semua, leluhur kita sebenarnya ingin menciptakan tatanan hidup yang selaras antara manusia dan alam semesta. Karena, seperti ajaran yang tersimpan dalam serat dan babad, mereka selalu mengingatkan kita bahwa manusia sendiri pada dasarnya merupakan bagian dari alam yang juga terbentuk dari saripati unsur-unsur alam: mulai air, tanah, api, dan udara. Maka dari itu, manusia tentu tidak bisa lepas dari segala perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri.
Belum lagi dalam kesadaran orang Jawa bahwa alam semesta ini terbagi menjadi dua, yaitu jagad gede (besar) dan jagad cilik (kecil). Jagat besar adalah semesta batin yang ada dalam diri kita, dan jagat cilik ini adalah alam semesta yang ada di luar diri kita. Kedua alam ini pada dasarnya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dari konsep antara dunia yang lahir dan yang batin ini, kemudian memunculkan satu paradigma atas relasi antara satu unsur alam dengan unsur yang lainnya yang saling terhubung antara manusia dan alam yang saling terikat dan tidak bisa dipisahkan. Jadi keutuhan pandangan antara realitas yang ada di luar dan di dalam ini menjadikan semua kejadian dari alam yang tergelar di luar manusia itu mempunyai pengaruh terhadap batin/jiwa yang berada di dalam diri manusia.
Dari gagasan dasar yang sangat filosofis tersebut, saya kemudian bisa membayangkan bagaimana konsep hitungan weton lebih spesifik pada urusan hubungan sebuah pasangan, pada akhirnya bisa menjadi satu pengetahuan yang sistematis dan logis. Bahwa setiap hari kelahiran yang didasarkan pada gabungan hitungan penanggalan Jawa (Saka) biasanya disebut pasaran dengan Islam (Hijriyah), semuanya menyimbolkan bilangan angka. Dalam bilangan angka itu, rekam jejak karakter manusia bisa dibaca, lalu dititeni (ditandai) menjadi simpul-simpul pengetahuan terkait diri seseorang. Misalnya dalam perhitungan Jawa seperti Pahing = 9, Wage = 5, Pon = 7, Kliwon = 8 dan Legi = 5, begitu pula perhitungan hari-hari dalam kalender Hijriah, hari Ahad 5, Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6 dan Sabtu 9. Angka-angka dari kedua perhitungan tersebut lalu dijumlahkan. Seperti halnya saya lahir pada hari Senin Pon, berarti menunjukkan angka (4+7 = 11). Jumlah nominal 11 menunjukkan karakter seseorang yang interpretasinya bisa berbeda-beda.
Dalam konteks hubungan pernikahan jumlah nominal sebelas tersebut dijumlahkan dengan tanggal kelahiran sang calon pasangan dengan konsep perhitungan yang sama. Misalnya hari kelahiran pasangan saya Selasa Kliwon (3 + 8 = 11), dari angka 11 kemudian dijumlah dengan 11 dari saya, jadinya 22, artinya dalam buku primbon diprediksi akan berjodoh dan murah rezeki. Logika sederhana perhitungannya begitu. Tetapi lagi-lagi, hal tersebut tidak serta merta bisa kita yakini secara bulat begitu saja. Karena bagaimanapun kedudukan keilmuan ini masih sangat bersifat spekulatif. Hingga akhirnya saya sendiri mulai mencoba memposisikan bagaimana bangunan nalar keilmuan di konteks dunia modern hari ini.
Satu hal yang penting dicatat di sini ialah proses olah batin atau yang dilakukan oleh para leluhur, sehingga mampu merumuskan sistem tanda yang ada dalam keilmuan primbon ini. Karena yang saya pahami tidak mungkin muncul pengetahuan bersifat holistik seperti itu tanpa ada laku rohani atau tirakat sebelumnya. Jadi, kualitas rohani dalam hal ini mempunyai posisi penting. Karena seperti sedikit diulas tadi, bahwa penangkapan fenomena yang ada di luar tersebut tergantung sejauh mana seseorang bisa menyelam pada dunia batinnya. Walaupun begitu, yang harus digaris bawahi dalam khasanah keilmuan primbon ini, jika kita meminjam kerangka keilmuan Ki Ageng Suryamentaram baru masuk dalam level “kawruh,” belum menjadi “ngelmu” (baca: ontologi ngelmu). Artinya primbon ini baru menjadi pengetahuan/informasi, tetapi belum menjadi ilmu yang mempunyai sifat kebenaran mutlak. Hal ini dijelaskan dalam pengantar buku-buku primbon bahwa apa yang ada dalam primbon bukanlah suatu kebenaran mutlak, tetapi menjadipengetahuan yang diisyaratkan dari catatan pengalaman lahir batin dari leluhur, sehingga semua penentu dari segala kejadian dikembalikan pada Gusti Allah.
Nalar Tradisi dan Kedudukannya Hari ini
Apa yang saya uraikan panjang di atas terkait bangun historis dan filosofis dari tradisi keilmuan weton, tentu akan lebih mempermudah kita untuk memahami kenapa tradisi pengetahuan tersebut bisa menyebar luas dan banyak diyakini oleh masyarakat Jawa. Namun di lain sisi, melalui hal ini kita bisa melihat diskoneksi dari beberapa fenomena yang terjadi, sebagaimana cerita di awal.
Gerak sejarah yang berjalan sedemikian rupa tentu banyak mempengaruhi operasionalisasi tradisi keilmuan Weton di tengah masyarakat. Tidak jarang keilmuan weton hari ini sudah menjadi dogma dan kehilangan fleksibilitasnya sebagai produk budaya. Dari hal itu, sebagai produk budaya tradisi weton mestinya berkembang secara dinamis mengikuti logika perkembangan zaman. Bukan semata merawat atau bahasa sekarang di-uri-uri, tetapi seharusnya harus ada upaya menumbuh-kembangkan, sehingga tradisi tersebut bisa terus relevan seiring pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini saya tidak sedang mengatakan bahwa tradisi weton sekarang tidak relevan, tetapi yang ingin saya katakan adalah tradisi seharusnya mampu terus di-ngelmui kembali, agar pengetahuan yang ada di dalamnya bisa terus hidup atau setidaknya terjelaskan bagaimana operasionalisasi gagasan tradisi tersebut di era hari ini.
Karena, dalam hipotesis saya, banyak tradisi kita hari ini terbelenggu pada platform (bentuk), tetapi kehilangan spirit, esensi, dan nilai-nilai primer di dalamnya. Dengan demikian, tradisi hanya menyisakan dogma adiluhung yang harus dijaga, tetapi tidak menemukan relevansinya di tengah pertumbuhan logika zaman hari ini.
Dalam kasus tradisi petungan weton itu sendiri, saya ingin mengatakan bahwa tradisi ini sedang mengalami apa yang saya sebut involusi. Dalam artian tradisi ini tidak mengalami pertumbuhan secara baik, tetapi sebaliknya, tradisi ini mengalami penurunan dalam arah gerak kejumudannya. Maka wajar ketika hari ini banyak orang dengan nalar modernitas dalam artian rasionya menggelinding sedemikian rupa, tradisi yang sebenarnya mempunyai akar jauh dalam jantung peradaban Jawa semakin dianggap tidak relevan, bahkan dikecam sebagai penghambat kemajuan.
Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di masyarakat akar rumput, di satu sisi banyak dari mereka belum mau meninggalkan khasanah pengetahuan ini, tetapi di sisi lain mereka juga sudah banyak kehilangan nalar keilmuannya. Bahkan yang saya temukan, misalnya Pak Lek saya sendiri atau mungkin banyak praktisi weton lainnya, biasanya hanya mewarisi pengetahuan itu dari orang tuanya. Mereka biasanya hanya tahu cara menggunakan kerangka keilmuan ini hanya berdasarkan pada hafalan saja. Namun secara nilai rujukan dan kemampuan yang didasarkan pada kualitas rohani yang saya uraikan di atas hampir banyak yang tidak terjelaskan. Hal ini sering kali membuat persoalan baru, ketika penentuan hubungan hanya didasarkan angka-angka matematis weton yang mungkin bisa jadi benar, tetapi jika diulik lebih jauh konstruksi keilmuannya bisa jadi sangat rapuh jika dihadapkan pada bangun keilmuan rasional hari ini.
Padahal setelah saya ulik lebih jauh, keilmuan weton bisa jadi hanyalah pandu bagi seorang pasangan. Bahwa setiap manusia mempunyai karakter yang berbeda termasuk seorang pasangan yang sudah saling mencintai. Perbedaan yang dibaca melalui sistem tanda yang melibatkan unsur-unsur alam melalui kelahiran seseorang tersebut, dalam kerangka keilmuan weton sebenarnya bertujuan agar kedua pasangan saling memahami dan mengerti karakter masing-masing. Nah ketika kedua pasangan saling bisa memahami, hal itu diharapkan bisa membuat hubungan pernikahan lebih harmonis dan terhindar dari malapetaka perpisahan atau perceraian. Terus bagaimana bila sejak awal hitungan weton-nya sudah tidak cocok? apakah kita bisa memaksakannya? Tenang saja, sebenarnya ada mekanisme ketika kejadian ketika sudah saling mencintai tetapi secara hitungan tidak cocok, yaitu dengan adanya syarat. Biasanya hal ini diwujudkan dalam bentuk sesajen, hal ini sebenarnya sebagai bentuk doa agar banyak ketidakcocokan itu bisa terhindarkan dari kedua pasangan. Jadi karena hanya hitungan, jangan sampai hasil prediksi dari hitungan itu kita mutlakkan. Kendati demikian,tidak ada kehendak yang lebih menentukan dari Tuhan bukan?
Tabik
Daftar Bacaan
M. C. Ricklefs. 2013. Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dari 1930 sampai sekarang. Jakarta: Serambi.
Irfan Afifi. 2018. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Nancy Florida. 2020. Jawa Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta: Buku Langgar.
Ny. Siti Woeryan Soemardiyah Noeradya. Tahun 1979. Kitab Primbon, Antassadhur Seri Adammakna, Jilid ke Tiga. Yogyakarta. Soemodidjojo Maha Dewa.
–––––––––––––– Tahun 2008. Kitab Primbon, Lukman Hakim Adammakna Seri Adammakna, Jilid ke Tiga. Yogyakarta. Soemodidjojo Maha Dewa.
Catatan Acara Pembukaan Presentasi Residensi Kecil Tani Jiwo
Siapa yang tidak mengenal dataran tinggi Dieng? Daerah yang terletak di perbatasan Wonosobo dan Bajarnegara tersebut, sering kali dikenal banyak menawarkan panorama keindahan alam dengan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sejumlah kolektif anak muda yang tergabung dalam Yayasan Desa Akar Karsa dan Tani Jiwo, melihat Dieng secara berbeda. Melalui program residensi yang dirancang, mereka ingin melihat Dieng dari segala kompleksitas persoalan seperti kerusakan lingkungan, sistem sosial, budaya, ekonomi yang tidak berimbang. Medium residensi mereka pilih, untuk mencoba mengakrabi dan belajar kembali pada alam Dieng yang mereka cintai.
***
Pagi saat langit Yogyakarta masih tampak sendu tertutup mendung (27/01/23), saya berangkat ke Dieng. Sebelum berangkat saya sempat melihat google map yang menunjukkan jarak tempuh dari Yogya sampai Dieng membutuhkan waktu 3 jam 20 menit. Pikir saya, itu waktu yang singkat saat di mana saya terbiasa naik motor 6 jam non stop. Tanpa pikir panjang––dan tentu tidak ada persiapan khusus kecuali jaket dan sarung untuk mengantisipasi cuaca dingin yang katanya tidak ketulungan––saya berangkat sambil membayangkan indahnya pemandangan alam yang akan saya lewati di sepanjang jalan.
Benar saja, baru satu jam perjalanan, kira-kira baru sampai Muntilan Magelang, motor yang saya kendarai tiba-tiba bermasalah. Entah kenapa, saya tidak benar-benar paham. Ada suara keras dari balik mesin pengikat roda belakang. Saya kemudian turun, melihat keseluruhan bagian motor masih utuh tidak hilang sedikitpun. Tetapi saat pedal gas saya putar, motor tetap tidak bisa berjalan. Dengan berat hati, akhirnya mau tidak mau saya mesti dorong motor hingga kira-kira 200 meter. Kebetulan ada orang yang berbaik hati, seorang tukang ojek online mendorong motor saya dan motor ke bengkel tujuan. Tidak begitu lama, 30 menit saya menunggu motor sudah selesai diperbaiki.
“Fanbel e pedot mas, dan reng lakernya remok. Piye arep diganti boten,” ucap Mas Bengkal.
“Gak popo mas, ganti mawon seng penting aman,” tegas saya, sambil melihat uang di dompet yang masih aman.
Selepas semuanya diganti dan motor selesai diperbaiki, perjalanan saya lanjutkan. Sepeda montor terasa lebih enteng dan meyakinkan untuk menembus kabut Dieng. Selepas daerah Temanggung melewati perkebunan teh daerah Tembi, saya mulai sadar peristiwa rusaknya montor saya barusan, bisa jadi bukan suatu yang patut untuk disesalkan. Bahkan dalam kasus yang satu ini, hal itu adalah keberkahan. Pasalnya, dengan medan yang menanjak ekstrem dengan jumlah kelokan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ditambah lebatnya hujan dan minimnya jarak penglihatan karena kabut yang sudah mulai turun, performa motor tampaknya menjadi hal yang utama. Karena tanpa motor yang sehat dan mumpuni, mungkin cerita perjalanan ini tidak akan sampai di hadapan pembaca.
Siang sepanjang perjalanan melintasi pegunungan Sindoro menuju Dieng, saya disambut kabut putih dengan sedikit hujan tipis. Motor saya kendarai pelan, sambil mengamati lebih dekat jajaran gunung dan perbukitan yang dari kejauhan tampak indah, tetapi ketika saya semakin dekat gunung dan bukit itu seperti tidak bernyawa. Warna hijau pucat mungkin tepat untuk menggambarkan jajaran gunung yang tak lagi dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang menjadi jantungnya. Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.
Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.
Sesampainya di lokasi, acara pembukaan “Presentasi Akhir Residensi Kecil Tani Jiwo” acara ternyata sudah dimulai. Terdengar suara alunan musik gamelan yang mengalun halus nan syahdu dengan syair-syair bernuansa Jawa Islam, saat saya baru saja menginjakkan kaki di Hostel Tani Jiwo di daerah Dieng Kulon (Barat) masuk daerah Banjarnegara. Tetapi saya salah, alunan musik yang saya kira adalah alunan satu set gamelan ternyata tak terlihat di ruang terbuka di lantai tiga tersebut. Rasa penasaran saya semakin bertambah, ketika saya hanya melihat dua orang duduk bersila, satu orang terlihat membaca naskah tembang, satu lainnya tampak membelakangi penonton, entah apa yang dimainkan. Rasa penasaran membuat saya bertanya kepada peserta lainnya. “itu bundengan mas” tutur teman di sebelah saya.
Selepas acara pembukaan selesai, peserta menunggu diarahkan untuk mengikuti tour untuk melihat presentasi 10 karya dari 13 peserta residensi. Namun, tiga peserta diantaranya tidak menampilkan karya di pameran, tetapi mereka membuat acara-acara dalam rangkaian program . Sambil menunggu giliran, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan Said pemain bundengan yang sempat membuat saya penasaran tersebut. Said menceritakan bahwa bundengan adalah satu jenis alat musik traditional yang berasal dari Wonosobo. Biasanya musik ini dimainkan ketika berada di ladang di sela-sela mereka bertani. Elemen dan bentuk alat musik ini sangat menarik, terbuat dari bilah bambu yang di rakit melengkung hampir setengah lingkaran. Sekilas alat musik ini mirip seperti tudung atau penutup kepala petani di ladang. Anggapan tersebut tidaklah salah, menurut Said yang juga meneliti alat musik ini, ia menyatakan bahwa alat musik ini awalnya difungsikan sebagai tudung. Warga Diang biasanya menyebutnya kowangan, banyak petani biasa mengenakannya untuk melindungi kepala dari terik dan hujan. Alat musik ini dibuat dengan kerangka berbahan bambu, dan dilapisi pelepah bambu yang sudah kering atau biasa disebut clumpring. Di tengah bagian dalam kemudian ada beberapa senar raket dan beberapa bilah bambu kecil yang diselipkan disela-sela ruas anyaman. Melalui senar dan bilah bambu kecil itulah suara yang menyerupai gamelan ternyata bisa muncul menggema.
Seperti di utarakan Said musik bundengan ini sekarang sudah tidak begitu populer lagi di daerah Dieng. Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih bisa memainkan jenis kesenian ini. Dari hal itulah Said sebagai generasi muda yang mencintai kesenian ini, dan juga kebetulan berkesempatan kuliah di ISI Surakarta jurusan etnomusikologi, ia merasa seperti mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan berusaha mengilmui kembali kesenian ini agar tidak hilang.
Udara sore dengan hawa dingin Dieng semakin menusuk tulang. Selepas diskusi banyak dengan Said, giliran saya untuk mengikuti tour hasil residensi Tani Jiwa dimulai.
Di Balik Keindahan Alam Dieng
Sebelum mengikuti tour, saya berhenti sejenak. Mencoba membaca catatan kuratorial yang di tulis Rahma Azizah sebagai salah satu fasilitator dalam program residensi ini. Setelah membaca, saya baru bisa memahami bahwa acara pameran hasil residensi ini, ternayata bukanlah hasil yang sehari jadi. Program residensi yang sudah dimulai sejak tahun 2022 ini merupakan usaha dari teman-teman Yayasan Akar Karsa yang diseponsori oleh Tani Jiwo untuk menciptakan ruang dialog dan transfer pengetahuan sekaligus suatu usaha untuk mereproduksi pengetahuan tentang Dieng yang dilakukan oleh 13 residen yang terpilih. Seperti yang di ungkapkan Rahma dalam catatan kuratorialnya, bahwa program ini diperuntukkan untuk mengajak peserta untuk bersama belajar melihat suatu tempat tanpa perlu menggunakan oposisi biner, “the I and the others,” saya dan mereka. Karena kaca mata melihat sesuatu sebagai yang lian, justru menjadikan (masyarakat lokal) hanya menjadi obyek eksotisme belaka. Disebutkan juga bahwa memang selama ini Dieng yang terletak di kawasan dataran tinggi, sering kali dijadikan ruang eskapisme belaka. Dengan hawa sejuk dan pemandangan alam mempesona, tidak jarang menjebak seorang pada satu pemahaman pada “nature is healing.” Tentu pandangan tersebut tidak bisa benar-benar bisa dihindarkan. Sehingga dalam tulisan doni untuk memilah peserta residensi ia juga harus lebih selektif untuk mengantisipasi pandangan eksotisasidesa yang ia tidak harapkan dari program ini.
Doni juga menyebutkan bahwa melalui program residensi ini, diharapkan juga bisa menjadi praktik baru untuk membuka kemungkinan akses pengetahuan lokal yang telah menubuh dari masyarakat Dieng. Karena menurutnya selama ini seperti terbenam dalam hingar-bingar pembangunan pariwisata kawasan Dieng yang semakin pesat. Tidak hanya itu, melalui program ini, Tani Jiwo juga ingin mencoba masuk dalam arena seni kontemporer yang selama ini hanya bergaung di pusat-pusat kota.
Masih dalam catatan Rahma, tema besar “Jiwo-Jiwo Ngendong” dipilih untuk menjadi pengikat narasi dari proses panjang yang dilakukan oleh para peserta residen yang dilakukan hampir selama satu tahun ini di Dieng. Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng. Tema ini kemudian menjadi metafora dari ke-13 residen yang telah datang dan tinggal di Dieng. Merekalah, ungkap Rahma, sebagai jiwa-jiwa yang dipertemukan oleh Dieng. Dari proses ngendong ini juga, pada akhirnya mereka (peserta residen) tidak hanya melihat Dieng hanya sebagai ruang stereotipikal yang selalu berkorelasi dengan eksotisasi sebagai kawasan wisata, tetapi lebih jauh dari itu Dieng dapat dilihat sebagai subjek utuh yang mengalami dinamika sosiokultural dan ekologis untuk terus dihidupi dan dimaknai ulang terus menerus. Melalui hal itu juga, dari hasil ngendong yang dilakukan oleh peserta mereka menyaksikan dan menemukan secara langsung persoalan-persoalan mendasar terkait kapitalisasi pertanian yang tidak berkeadilan, eksploitasi penggunaan lahan, dan komersialisasi pariwisata yang menggusur kearifan-kearifan lokal.
Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng.
Setelah membaca apa yang di tulis Rahma, kepala saya seperti penuh dengan rasa penasaran, tidak sabar untuk melihat satu persatu hasil dari karya teman-teman peserta residensi ini. Dari lantai tiga kami di ajak ke lantai dua, ada sekitar 6 orang yang tergabung dalam kelompok saya. Doni salah satu panitia dalam acara ini yang berperan sendiri untuk menghantarkan kami untuk melihat satu persatu karya dari peserta.
Ada 9 karya yang dipamerkan dari sembilan individu ataupun kelompok kolektif yang mengikuti residensi dalam presentasi ini. Mereka berasal dari banyak tempat seperti dari Yogyakarta, Bandung, Padang, Surabaya dan beberapa dari daerah sekitar seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut penuturan Rahma Azizah salah satu fasilitator dari program residensi ini, ketika program ini di buka awalnya ia tidak mengira ternyata yang mendaftar membludak hingga sampai 90 peserta. Hingga akhirnya, mengingat resource penyelenggara yang tidak besar hanya di pilih 13 peserta saja.
“Waktu pembukaan program ini, saya sempat kaget ternyata peminatnya luar biasa. Tetapi karena panitia dari tim Tani Jiwo kecil, akhirnya kami mengurasi hingga terpilihlah 13 peserta yang sampai tahap akhir di presentasi ini,” ucap perempuan yang berasal dari Solo tersebut.
Rahma juga menambahkan, bentuk program residensi ini merupakan program yang pertama dilakukan. Sebelumnya di tahun 2020, dengan bentuk yang agak berbeda, mereka membuka lokakarya dalam bentuk workshop kepenulisan yang berhasil mengeluarkan buku kompilasi dari beberapa anak muda di sana yang menuliskan kampung halamannya, Dieng Sebelum Matahari Terbit judul bukunya . Dari program itulah kemudian berkembang, mereka membuat Yayasan Desa Akar karsa yang akhirnya di tahun 2022 berkembang membuat program residensi ini.
Soal bagaimana karya 13 peserta tersebut, tentu tidak akan semuanya saya akan ulas dalam catatan pendek ini. Masih ditemani Doni yang dengan sabar menuntun kami menyelami satu persatu karya peserta. Saat tour berlangsung tiba-tiba fokus saya tertuju pada karya salah satu kolektif Bakar Tanah Leb yang menyuguhkan hasil riset mereka terkait tanah-tanah di dataran Dieng. Seperti yang saya pahami saat mereka menjelaskan, bahwa di daerah Dieng ada beberapa jenis tanah yang di dalamnya mempunyai fungsi dan latar historis yang beraneka ragam. Karakteristik jenis tanah tersebut bisa menunjukkan latar peradaban yang ada di Dieng sebelumnya.
Karya dari Gilang Mustofa juga tidak kalah menarik, selama program berlangsung Gilang dengan tekun berusaha mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan yang bisa di konsumsi atau yang biasa disebut ramban dari kawasan Dieng. Gilang menemukan banyak jenis tumbuhan yang selama ini pengetahuan atas jenis-jenis tumbuhan tersebut, sudah tidak banyak dimiliki oleh masyarakat setempat. Menariknya beberapa jenis tumbuhan kemudian dibuat sampel yang diawetkan dalam kaca yang di display indah. Selain itu juga disediakan beberapa jenis tumbuhan yang baru saja di petik. Dari berbagai jenis tumbuhan tersebut, kami kemudian dipersilakan untuk mencoba merasakan dengan memakannya.
Proyek Benggala dari Yogyakarta juga menampilkan karya yang tidak kalah atraktif, mereka berusaha menggambarkan fenomena ekologis dari karya instalasi yang mereka tampilkan. Melalui bentuk kendi tembikar yang di isi air, pengunjung dipersilahkan untuk menyiram salah satu wadah yang di sana ada tumbuhan. Menariknya, ketika kita menyiram tumbuhan tersebut kemudian akan muncul efek suara yang menyerupai suara angin dan kegaduhan. Melalui karya tersebut, tangkapan pendek saya, mereka ingin mengingatkan kita soal kekeringan air di daerah Sikunang dan sekaligus untuk merawat alam Dieng yang menurut mereka tidak sedang baik-baik saja.
Tidak terasa tour melihat karya 13 seniman yang terlibat di pameran ini selesai. Kami kemudian dipersilakan untuk naik lagi di lantai tiga. Saya mencoba untuk menyulut rokok barang sebatang, sambil memandang jalinan gunung yang memanjang. Belum genap setengah batang, hawa dingin sudah menembus jaket saya yang tidak terlalu tebal. Saya masuk ke dalam ruangan yang sudah berjajar banyak orang. Salah satu peserta resideni menggelar diskusi menarik menyoal tanaman kentang. Reza Maulana sebagai akademisi jebolan UGM menyatakan bahwa hampir sama seperti yang terjadi di Kabupaten Temanggung dengan persoalan tembakau yang tak kunjung membuat petani sejahtera. Dieng yang terkenal sebagai penghasil kentang terbaik se-pulau Jawa, juga mengalami nasib yang sama. Usaha dengan modal pertanian kentang dengan segala risikonya ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan petani di lapangan. Reza juga jelaskan bahwa alih fungsi lahan besar-besaran di Dieng yang awalnya untuk memacu produktivitas kentang ternyata tidak selaras dengan hasil yang di dapatkan petani. Harga jual kentang di pasaran semakin rendah, dan keuntungan terbanyak bukan di dapatkan oleh petani, tetapi para tengkulak yang sesuka hatinya memainkan harga. Kondisi tersebut memaksa generasi muda dari anak petani untuk beralih ke sektor pariwisata yang hari-hari ini di poles sedemikian rupa di Dieng. Munculnya homestay dan berbagai event pariwisata menjadi fase baru Dieng menuju laju pembangunan yang kencang.
Kondisi seperti itu semakin memperumit persoalan sosial dan ekonomi yang ada di Dieng. Laju modal yang besar ternyata tidak sejalan dengan tumbuhnya pengetahuan atas pentingnya menjaga lingkungan. Sehingga ancaman terhadap krisis lingkungan mulai dari penggundulan hutan yang berakibat longsor dan hilangnya sumber mata air ke depan juga tidak bisa dihindarkan. Seketika perhatian saya tertuju pada bukit tinggi yang dapat saya lihat dari ruangan diskusi di balik jendela-jendela besar di ruangan itu. Saya melihat bukit yang tampak hijau ranum itu, tidak secuilpun ada pohon-pohon besar.
Setelah diskusi, pertunjukan Lengger di malam hari menjadi penutup acara pada hari itu. Pertunjukan yang diadakan di depan, seberang Hostel Tani Jiwo tersebut disambut meriah dan dipadati oleh antusias warga sekitar. Saya tampak khusuk dengan seni tradisi yang baru saya dapati pertama kali ini. Tari yang ditampilkan hampir tidak ada cerita yang menyambungkannya, setidaknya itu yang saya lihat. Hanya ada dua penari Lengger perempuan yang bergantian menari di kelilingi penari laki-laki, yang bahkan ada anak-anak yang silih berganti menari melingkari sang Langger. Terlepas berbagai tantangan dan ancaman material yang ada di Dieng. Melihat antusias warga sekitar atas kesenian tradisi ini, ada sisi lain yang membuat segala persoalan yang dihadapi masyarakat Dieng terasa paradok, atau malah sebaliknya tradisi dengan segala kearifan kolektifnya yang justru membuat mereka bertahan dari ancaman.
Sambil melihat gerak lenggak-lenggok para penari Lengger, kemudian saya merenung panjang bahwa apa yang dilakukan oleh Doni, Rahma, dan segenap tim di belakangnya ternyata tidak hanya sekedar inisiatif eventual belaka. Tetapi lebih dalam dari hal itu, upaya kecil yang mereka dengungkan ternyata adalah wujud kecintaan mereka terhadap alam Dieng dengan segala persoalan dan tantangannya. Dan melalui acara ini, mereka berhasil memantik keresahan untuk menyemai hal baik untuk Dieng ke depan. Semoga.
Ketika kita mendengar acara festival kita pasti akan membayangkan sebuah acara dengan gegab gempita keramaian serta rangkaian acara yang berlarat-larat dipenuhi banyak pagelaran seremonial. Tetapi beda halnya dengan acara festival Ili-Ili yang ada di Kecamatan Ngadirejo Temanggung Jawa Tengah (17-19/10/ 2022). Acara festival yang satu ini tidak hanya menyuguhkan seremoni seperti festival biasa, lebih dalam dari hal itu festival ini digunakan oleh kolektif anak muda di sana sebagai bentuk upaya konservasi mata air di tengah ancaman krisis lingkungan di lereng Gunung Sumbing.
****
Pagi itu saya berangkat ke Temanggung dengan banyak pertanyaan yang membayangi saya sepanjang jalan. Sebuah Pertanyaan penasaran akan seperti apa festival Ili-Ili dijalankan dan bagaimana format acara yang seperti apa yang akan dipresentasikan oleh panitia. Dengan mengangkat tagline yang menurut saya cukup dalam yaitu “mensyukuri nikmat dengan merawat” festival ini tampaknya ingin memberi makna lebih bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Benar saja sesampainya saya di sana, semua peserta yang sebagian besar dari luar kota kemudian diarahkan oleh panitia pada satu bangunan rumah tua yang tampak masih klasik. Ndalem Abdurahman nama rumah yang tampak masih berdiri kokoh tersebut. Bentuk rumahnya seperti perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina dan Arab yang bisa dilihat dari bangunan utama berbentuk limasan dengan pagar yang tinggi menjulang kemudian pintu masuk yang agak menjorok ke dalam, seperti yang kita dapati pada rumah-rumah di daerah kauman ataupun pecinan. Di rumah tersebut peserta melakukan registrasi kemudian diajak untuk melihat pembukaan pameran fotografi dan desain visual hasil lomba yang diadakan oleh panitia yang berkaitan dengan krisis lingkungan yang ada di daerah Temanggung.
Karya-karya fotografi dan desain visual dipresentasikan dengan rapi disertai tata letak layaknya di galeri profesional. Walaupun hanya sebuah rumah tua, yang menurut cerita panitia rumah tersebut sudah sekian lama tidak ditempati lalu dengan adanya festival rumah ini kemudian dijadikan ruang pemeran. Hal itu menunjukkan sebuah upaya pemanfaatan ruang secara lebih kreatif, sekaligus mengajak kembali peserta untuk menikmati suasana bangunan klasik yang mempunyai nilai sejarah dimana model arsitektur seperti rumah tersebut tidak banyak lagi digunakan oleh masyarakat sekitar saat ini.
Selepas acara pembukaan pameran selesai, peserta kemudian memasuki acara selanjutnya yaitu jelajah desa dengan tajuk “Desa Urban dan Ketahanan Pangannya.” Tidak jauh dari Ndalem Abdurahman, kira-kira hanya 200 meter peserta berjalan menyusuri jalan Desa Ngadirejo yang sudah padat penduduk. Peserta diajak untuk melihat laboratorium desa (Labdes) Ngadirejo. Lokasi Labdes ini sendiri dulunya adalah lahan mangkrak dengan tumpukan sampah yang menggunung, kemudian diaktivasi menjadi kebun kolektif yang asri bagi warga di tengah permukiman urban dusun Demangan.
M Anton Rifai sebagai kordinator Labdes dalam sarasehan madya menjelaskan bahwa laboratorium desa sendiri adalah ruang kolektif dari sekumpulan masyarakat yang ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di desa. Awal munculnya Lebdes dipicu karena ada kebutuhan karena selama ini tidak jarang realisasi pembangunan dan pemberdayaan yang diterapkan di desa masih jauh dari akar persoalan masyarakat. Anggota Labdes sendiri terdiri dari berbagai lapisan masyarakat terutama pemuda dan perangkat desa yang sadar akan pentingnya menjaga ekosistem yang sehat dan berdaya di desa.
“Keberadaan Lebdes ini diharapkan bisa menjadi titik temu untuk riset/laboratorium bagi pemikir dan pelaku dengan tujuan untuk melahirkan metode-metode baru untuk mewujudkan ruang hidup––khususnya di desa––yang lebih seimbang dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial dan kebudayaan” ujar Anton yang juga sebagai Sekertaris Desa Ngadirejo (Pak Carik).
Sesampainya di Labdes peserta kemudian disuguhkan dengan dua bangunan dengan desain arsitektur berbahan dasar bambu. Penggunaan bambu sebenarnya selaras dengan tipografi daerah Temanggung yang masih banyak ditemukan bambu jenis ori atau petung. Tidak hanya itu, dalam Labdes juga terdapat kebun kolektif pangan lokal. Di sana ditanami dengan berbagai tanaman, sayuran, empon-empon dan obat-obatan.
Tidak lama kemudian kami dipersilakan untuk makan bersama di selasar Labdes yang tampak artistik dan asri. Semua peserta makan barsama dengan cara kembulan (makan bersama-sama beralaskan dengan daun pisang) yang berlarat panjang. Seperti dijelaskan oleh panitia bagian konsumsi semua makanan yang disuguhkan merupakan hasil dari olahan ibu-ibu desa setempat. Ada tuju lauk yang bermakna pitulungan mulai dari ayam Ingkung, sayur kacang kentang, rempeyek dan sebagainya yang menemani santap siang kami saat itu.
Ekologi dan Air: Antara Krisis dan Upaya Pelestariannya
Setelah santap siang sarasehan pertama dimulai. Peserta diajak urun rembuk soal bagaimana melihat krisis air dan upaya pelestariannya. Sarasehan madya ini dilaksanakan di rumah pak Erda tak jauh dari Labdes. Dalam sesi ini panitia mendatangkan beberapa penggiat lingkungan mulai dari penggerak aktivis hingga akademisi. Pertama Ukke R Kosasih salah satu penggiat lingkungan dari Bandung, Diah Widuretno sekolah Pagesangan dari Gunung Kidul Yogyakarta, Feby H. Kaluara Akademisi yang fokus meneliti soal air di kota urban dari Depok, dan Dicky Senda penggiat lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di NTT. Dalam forum ini para pemateri memaparkan pengalaman dan perspektifnya melihat krisis lingkungan dan air.
Seperti diungkapkan oleh Feby dalam sarasehan bahwa ia menekankan di daerah hilir manajemen distribusi air yang sudah digunakan harus diperhatikan. Hal tersebut bertujuan agar penggunaan air bisa tepat guna dan tidak terbuang yang bisa jadi malah mencemari lingkungan.
“Di daerah urban ketersediaan air bersih ke depan akan menjadi persoalan serius. Maka dari hal itu ketersediaan mata air yang masih banyak bisa kita temukan di desa harus kita rawat dan jaga,” Ujar akademisi dan praktisi yang tinggal di Depok tersebut.
Tidak hanya itu Ukke R Kosasih juga menambahkan bahwa soal pengelolaan air sebenarnya ada di tangan setiap individu. Tanggung jawab tersebut tidak bisa hanya dilimpahkan pada orang-orang tertentu saja. Manusia seharusnya memiliki pilihan: apakah akan menjadi solusi atau justru menjadi polusi atas pengelolaan air. Karena pengelolaan air merupakan tanggung jawab bersama dari setiap kita manusia.
Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo. Padahal Munif yang juga warga setempat menceritakan bahwa ancaman krisis air bersih semakin nyata di daerah Ngadirejo. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin kecilnya debit air yang masuk ke rumah-rumah warga setiap jam produktif pagi hari. Hal ini dirasakan oleh sebagian besar warga Ngadirejo yang bertempat pada hilir Gunung Sumbing sebagai hulu resapan air bersih di bawahnya. Padahal selama ini masyarakat di hilir untuk kebutuhan air bersih warga di sana bergantung penuh pada PDAM yang mengambil sumber mata air dari hulu Gunung Sumbing.
Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo.
“Bahkan ada sebuah riset dari salah satu akademisi bahwa 10 tahun ke depan jika tidak ada pengelolaan air lebih baik, daerah Temanggung bisa kekurangan air. Itu baru soal air, belum bagaimana soal alih fungsi lahan dan persoalan lainnya. Dari hal itu melalui festival ini setidaknya ada upaya untuk membangun kesadaran bersama untuk menjaga lingkungan” tegas Munif yang juga menjadi pegawai di pemerintahan Desa Ngadirejo.
Adanya ancaman terhadap kesediaan air bersih inilah kemudian memunculkan keprihatinan sebagian pemuda desa yang terhimpun dalam Labdes. Sehingga Lebdes yang di desain sebagai episentrum pengetahuan untuk memecahkan persoalan-persoalan di desa memunculkan ide untuk diadakan semacam gerakan konservasi mata air yang ada di daerah hulu lereng Gunung Sumbing sebagai sumber penyedia air bersih yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Munculnya gagasan konservasi tentu tidak langsung disikapi dengan gegabah oleh pemuda yang ada di sana. Tetapi melalui berbagai dialog dan diskusi hampir selama setengah tahun seperti dikatakan Munif, kemudian dilakukan pemetaan masalah dan berupaya menginventarisir potensi yang ada di sana sehingga muncullah gagasan desain festival Ili-Ili ini.
Pemilihan bentuk festival sebagai medium konservasi bukan tanpa sebab. Karena bagaimanapun bentuk festival merupakan instrumen kebudayaan yang paling dekat dengan masyarakat. Sehingga diharapkan melalui berbagai konten acara dalam festival yang terhubung dengan tradisi yang sudah melekat dalam alam pikiran masyarakat di sana upaya transfer of kenowledge bisa tersampaikan secara lebih sublim dan mendasar.
Makna Ili-ili sendiri mengandung arti aliran air. Penggunaan kata Ili-ili dalam festival ini berangkat dari ungkapan bahasa Jawa yang dekat dengan kesadaran masyarakat di sana terkait air. Hal ini juga yang membedakan festival ini dengan bentuk festival lainnya, yang mana festival Ili-ili berusaha berangkat dari persoalan masyarakat dan berupaya menjawab persoalan tersebut menggunakan metode festival sebagai metrum kesadaran baru orang hari ini. Sehingga bentuk acara hingga konten-konten yang ada di dalamnya, mulai dari diskusi sarasehan, trip jelajah desa dan mata air, hingga pertunjukan seni semuanya berangkat dari apa yang ada di desa kemudian di kemas dengan sentuhan acara dalam bentuk festival yang lebih modern.
Selepas sarasehan madya selesai, peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Tidak lama kemudian beberapa angkutan desa (mobil angkudes) telah siap menjemput peserta. Di bawah langit sore Desa Ngadirejo yang mulai gelap, semua peserta di bawa naik ke atas menuju homestay di lereng Gunung Sumbing untuk menginap. Menariknya homestay yang akan peserta tempati bukan di homestay mewah layaknya di tempat wisata, tetapi peserta diajak untuk tinggal dibeberapa rumah warga setempat agar lebih bisa secara langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.
Kebetulan saya dan kelompok kecil saya ditempatkan di salah satu rumah warga bapak “Sulasyo”. Rumah sederhana, tetapi begitu hangat dengan sambutan dan rasa kekeluargaan yang disuguhkan mereka ketika menyambut kedatangan kami. Bapak Sulasyo sendiri hanya tinggal dengan istrinya dan satu cucunya yang masih kelas 3 SD. Ke dua anaknya sudah tinggal terpisah dengan dirinya. Dalam kehidupan di masa tuanya tersebut hari-harinya di isi dengan beribadah kemudian bekerja di kebun tembakau dan cabai di ladang yang ia miliki. Walaupun usianya sudah tidak muda lagi, rasa perhatiannya kepada tradisi dan budaya Jawa begitu kuat. Bisa dikatakan Sulasyo adalah seorang seniman kesenian di desanya. Ia adalah penggiat jaran kepang kesenian khas daerah di sana. Walaupun sekarang tidak menjadi pelaku seni yang aktif, tetapi rasa perhatiannya terhadap kesenian tidaklah luntur. Seperti yang ia ceritakan ia masih jadi kordinator untuk menghidupkan kesenian di sana. Hal ini bisa di lihat dari beberapa set gamelan yang ada di rumahnya untuk latihan kesenian.
Setelah istirahat sejenak dengan hawa dingin yang begitu menusuk tubuh. Kami kemudian di jemput masih dengan mobil angkudes untuk menonton pertunjukan sendratari Babad Alas Giripurno di lapangan Pringsewu desa Giripurno. Sesampainya kami di sana, lapangan sudah penuh dengan warga yang tampak antusias menonton pertunjukan malam itu. Gerimis tipis tidak menghalangi antusias warga yang datang. Sekitar jam 9 malam pertunjukan dimulai. Sendratari yang ditampilkan terlihat begitu megah dengan kostum dan tata rias yang ditampilkan oleh 9 penari. Tari tersebut menceritakan penaklukan pembukaan alas Giripurwo hingga bisa ditempati hingga sekarang––kira-kira itu yang saya pahami. Penampilan sendratari malam itu akhirnya menjadi menutup rangkaian acara pada hari pertama Festival Ili-ili hari pertama. Dengan tubuh lelah semua peserta kembali ke homestay dengan raut bahagia, menghayati keriuhan yang penuh makna dari desa yang jauh dari gemerlap kota tersebut.
Malam selepas acara pertunjukan kami tidak lantas tidur, masih dengan beberapa teman peserta kami sempat berdiskusi. Tak lama kemudian salah satu inisiator festival ili-ili ikut nimbrung di rumah tempat peristirahatan kami. Fransisca Kalista salah satu penggiat dalam pembangunan desa di Temanggung dan juga sebagai inisiator beberapa gerakan seperti pasar papringan, Kebon Jiwan dan Lebdes, menemani rasa penasaran kami dengan berdiskusi soal desain festival Ili-Ili.
Seperti diceritakan Siska panggilan akrabnya bahwa bisa dikatakan festival Ili-ili ini adalah hasil kerja kolaborasi lima desa melalui Lebdes yang dibentuk disetiap desa tersebut dengan berbagai komunitas–komunitas seni budaya yang ada di Temanggung. Berawal dari keprihatinan terhadap ancaman krisis lingkungan terutama air, festival ili-ili sebenarnya ingin mengajak kita semua untuk gugur gunung merawat sumber mata air. Dari hal itu festival Ili-ili ini bukanlah tujuan akhir tetapi awalan untuk upaya-upaya pelestarian alam Temanggung pada khususnya dan bumi pada umumnya. Ibarat sumber sumber mata air, Festival ili-ili ingin mengalirkan semangat untuk merawat alam dari hulu sampai hilir.
Siska menceritakan bahwa untuk sampai pada tahap ini, sebetulnya butuh proses yang panjang. Bahkan tidak mudah. Ia sendiri sudah hampir 7 tahun tinggal di Temanggung. Dari proses yang cukup panjang itulah ia belajar menyelami alam batin masyarakat Temanggung. Peran Siska selama ini seperti ia katakan sebagai fasilitator sekaligus desain program dalam beberapa gerakan desa termasuk di festival Ili-Ili ini. Ia berperan sebagai perajut sekaligus menjembatani lintas komunikasi dari banyaknya kolaborator yang terlibat dalam festival ini. Dan ia mengatakan suatu keberhasilan dalam semua program atau acara itu berangkat dari kesatuan visi dan makna apa yang ingin di cari. Dari hal itulah keinginan untuk tumbuh bersama dari setiap elemen masyarakat setempatlah yang sebenarnya menjadi energinya selama ini.
“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.
“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.
Menjaga Tradisi dan Seni Budaya sebagai wujud Konservasi
Hawa dingin dengan kabut putih menyelimuti pagi di hari ke dua festival Ili-ili. Sesuai susunan acara agenda pagi itu mengunjungi salah satu sumber mata air di hulu lereng Gunung Sumbing. Destinasi mata air yang akan kami kunjungi tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tempatnya di Giripurno kami turun ke bawah bersama rombongan menggunakan angkudes menuju lapangan desa di sana. Sesampainya di lapangan kami berjalan sekitar dua ratus meter dengan jalan curam ke bawah, masuk menyusuri bantaran sungai dengan pepohonan yang masih lebat menuju sumber mata air yang terselip dalam gelapnya gua. Dalam jelajah mata air ini kami diperlihatkan bagaimana sumber mata air dialirkan ke rumah-rumah warga dengan selang-selang yang tidak begitu rapi. Ada puluhan bahkan ratusan selang berbahan plastik dengan warna yang tidak seragam menjalar panjang mengaliri rumah-rumah warga sekitar.
Seperti diterangkan salah satu petugas penjaga aliran mata air disebut penjabat Ili-ili dari pihak desa, bahwa sumber mata air di sini kebanyakan dikelola secara mandiri oleh keluarga masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya selang yang terlihat tidak beraturan. Petugas bagian Ili-Iii di sini bertugas pertama menjaga keberlangsungan mata air kemudian yang ke dua adalah memastikan distribusi air bersih merata kepada seluruh masyarakat. Walaupun sebagian besar untuk urusan distribusi air masyarakat mengusahakan sendiri, tetapi menurut petugas Ili-ili sumber mata air ini juga diambil oleh PDAM untuk mengalirkan air bagi masyarakat di bawah yg lebih jauh dengan sistem mekanisme pembayaran yang sudah ditentukan. Hal ini dilihat dari penggunaan selang yang lebih besar yang digunakan PDAM dalam mengalirkan air.
Menurut penjelasan petugas, mata air di sini tidak pernah kekeringan walaupun di musim kemarau. Airnya tetap deras. Hal ini karena hutan alam di sana relatif masih terjaga. Tetapi kekawatiran akan ancaman krisis sumber mata air bukan tidak ada, mengingat pertumbuhan manusia yang semakin banyak secara otomatis kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Belum lagi soal alih fungsi lahan yang posisi berada lebih di atas sebagai ladang, otomatis hal tersebut akan mengurangi jumlah hutan yang sebenarnya sebagai penyangga utama sumber-sumber mata air itu agar bisa terus mengalirkan air. Status Gunung Sumbing sebagai hutan produksi bukan hutan lindung juga menjadi persoalan tersendiri ke depan, bukan tidak mungkin hal tersebut akan semakin menambah jumlah alih fungsi lahan secara besar-besaran yang artinya akan mengancam keberlangsungan mata air itu sendiri.
Dari hal itulah selepas menyusuri jejak mata air selepas dhuhur di bawah kabut Gunung Sumbing yang mulai turun Sarasehan Madya Hulu digelar. Sarasehan kali ini mengangkat tema ”Nguri-nguri Tradisi dan Seni Budaya sebagai Wujud Konservasi Lingkungan.” Dalam sarasehan kali ini terdapat 4 pemateri, pertama Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari Temangung, Didi Nini Towok dan Farid Stevy sebagai seorang seniman, dan Titah Aw seorang Jurnalis.
Masing-masing narasumber mengutarakan pendapatnya dengan sangat menarik. Seperti disampaikan salah satu narasumber yaitu Didi Nini Towok yang juga seorang maestro tari yang sekarang tinggal di Yogyakarta. Ia menceritakan pengalamannya setelah sekian lama meneliti berbagai jenis tari-tari yang ada di Jawa bahkan seni tradisi lainnya, ia bisa memastikan bahwa semuanya mengandung makna ritual. Makna ritual ini secara sederhana bisa dilihat dari berbagai pagelaran kesenian kita tersebut zaman dahulu selalu di pentaskan di waktu-waktu tertentu, misalnya setelah panen raya dengan tujuan mengucap rasa syukur atas kelimpahan rezeki dari Tuhan. Hal itu menunjukkan bahwa rasa keterikatan leluhur kita dengan alam sebagai sumber penghidupan merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga dengan nalar yang seperti itu, kesenian sebenarnya mempunyai nilai tidak hanya sebagai pertunjukan tetapi juga tuntunan untuk mengenal alam sekitar lebih tinggi adalah Tuhan.
Sementara itu Farid Stevy yang sekarang juga aktif di komunitas Resan Gunungkidul (semacam komunitas konservasi mata air dan pohon) memberi pernyataan menarik bahwa jangan sampai modernisasi menghilangkan keluhuran budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita. Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya. Karena sebenarnya nilai-nilai yang mewujud menjadi mitologi yang sering kita dapati di desa-desa tersebut mempunyai tujuan pendidikan agar kita sebagai manusia tidak sembarangan merusak lingkungan. Dan kita kaya akan nilai-nilai seperti itu.
Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya.
Sedangkan Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari daerah Krecek Temanggung menyatakan bahwa menanam adalah bagian dari laku hidupnya sebagai upaya meneruskan pesan para leluhurnya dulu. Sehingga kegiatan konservasi tidak lagi hanya menjadi gerakan yang butuh disuarakan tetapi sudah menjadi kesadaran personal sehingga termanifestasikan dalam laku kesehariannya.
Tita Aw sebagai seorang jurnalis yang selama ini dikenal melalui tulisan-tulisannya yang berusaha menarasikan tradisi dengan segala mitologi dibelakangnya mengungkapkan bahwa dalam tradisi kita banyak cerita-cerita yang mempunyai nilai-nilai tentang ajaran terkait menjaga lingkungan. Dengan terus merawat cerita-cerita yang tumbuh banyak di dalam tradisi masyarakat itulah sebenarnya tradisi mempunyai fungsi konservasi.
Kabut putih turun lebat menjadi penanda berakhirnya sarasehan madya hulu pada sore itu. Peserta kemudian diarahkan untuk kembali ke homestay untuk berpamitan dengan keluarga asuh. Sore itu juga kami berpindah lokasi ke daerah wisata situs liyangan yang berada di lereng sebelah Timur Gunung Sindoro. Agar tidak terlalu malam kami bergegas berlarian dengan petang agar kami dapat mengunjungi situs Liyangan yang konon katanya menjadi titik awal peradaban pertama di daerah Kedu Temangung.
Benar, kami sampai situs Liyangan sudah menjalang petang. Berkaitan dengan jadwal acara yang cukup padat akhirnya kami tetap melanjutkan jelajah situs Liyangan dengan salah satu tour gate yang terlihat cakap menjelaskan bekas perkampungan yang umurnya diprediksi hampir seribu tahun ini.
Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2005 oleh salah seorang pekerja yang sedang menambang pasir di kedalaman 8 meter. Area ini kemudian dieskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan tujuan untuk observasi potensi temuan lebih lanjut. Wilayah penemuan ini kemudian semakin meluas. Seiring dengan perkembangan penelitiannya, situs ini diperkirakan merupakan pemukiman penduduk karena pada situs ini ditemukan gerabah, keramik cina, dan berbagai artefak lainnya.
Menariknya di Situs Liyangan ini ditemukan sebuah bekas lumbung yang terbakar. Hal ini dibuktikan dari adanya tumpukan artefak padi hitam yang masih bisa kita lihat sampai hari ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya tanam terutama padi pada zaman itu sudah berkembang sedemikian rupa di sana. Walaupun hari ini di daerah sekitar situs Liyangan saat ini tidak ada persawahan padi lagi. Hal lain misalnya juga ditemukan struktur irigasi tata kelola air yang juga menjadi bukti bahwa pada zaman dulu kesadaran atas ruang dan pengelolaan lingkungan menjadi hal yang utama dalam membangun sebuah pemukiman lebih luas peradaban.
Gema azan Magrib terdengar bersahutan menandakan jelajah situs Liyangan sore itu harus segera kami akhiri. Tidak jauh dari situs Liyangan kami diarahkan ke homestay yang tampaknya menjadi bagian dari daerah wisata situs Liyangan. Tempatnya cukup luas, ada sekitar 6 rumah panggung yang akan kami tempati malam itu. Dan akhirnya hari ke dua kami tutup dengan meditasi menghayati segala pengetahuan yang kami dapatkan hari itu. Melalui bersentuhan langsung dengan obyek pengetahuan yang selama ini terasa berjarak dengan kami, akhirnya kami sadar bahwa banyak warisan peninggalan pengetahuan dan kearifan yang mesti kita rawat hingga berbagai warisan tersebut menghantarkan hidup kita bisa sampai sejauh ini dengan air, tanah dan udara yang masih terjaga. Lalu dengan kondisi alam kita yang sudah diambang krisis ini apakah generasi kita saat ini mampu mewariskan keindahan alam ini untuk anak cucu kita nanti? Sebuah pertanyaan yang jawabannya coba kami endapkan pada sanubari masing-masing pada malam itu.
Tradisi Sebagai Jangkar Penyelesaian Persoalan Ekologi
Hari ke tiga langit Temanggung tampak begitu cerah. Gunung Sindoro yang terpapar cahaya mentari juga begitu gagah. Hari terakhir festival Ili-ili ini akan diawali dengan sarasehan Ageng. Yang mana dalam sarasehan Ageng ini merupakan puncak rangkaian sarasehan yang digelar sejak hari pertama meliputi sarasehan alit, madya hilir dan hulu hingga puncaknya Muasyawarah Ageng. Penggunaan nama sarasehan ageng sebetulnya bukan tanpa sebab, pasalnya sarasehan kali ini bisa jadi poin terpenting dari adanya festival Ili-ili ini sebagai medium konservasi. Karena dalam sarasehan ageng kali ini semua stakeholder mulai dari pemerintah desa (kepala desa dari 20 desa di Ngadirejo), hingga pemangku kebijakan dari tingkat kabupaten dan kecamatan semua dipertemukan dalam sarasehan ini. Semuanya diajak berdialog bersama, bermusyawarah untuk merumuskan langkah-langkah apa yang harus ditindak lanjuti untuk menyelamatkan sumber mata air lebih luas keberlanjutan ekosistem lingkungan di daerah Temanggung.
Sebelum surat rokemendasi di tandangi oleh seluruh kepala desa yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Serasehan di buka dengan dialog yang dipantik oleh empat narasumber utama yaitu Fransisca Callisata, Totok Purwanto, Rara Sekar, dan Yoyo Yogasmana yang dipandu oleh Dicky Senda. Dalam sarasehan ini fokus perbincangan membahas terkait bagaimana pendekatan tradisi, seni budaya, dan Inklusi sosial mampu mengatasi krisis ekologi.
Beberapa poin penting disampaikan dalam sarasehan ini oleh narasumber misalnya seperti diutarakan oleh Yoyo Yogasmana dari Kasepuhan Ciptagelar yang menyatakan bahwa tradisi merupakan hukum utama untuk menjaga keberlangsungan ekosistem lingkungan di Ciptagelar. Sehingga sampai hari ini di sana kondisi alam bisa di jaga bahkan surplus kebutuhan pangan ditengah banyak wilayah lainnya dilanda kekawatiran krisis pangan dan lingkungan. Salah satu sebab utama kenapa hal itu bisa terjadi seperti ia ceritakan bahwa adanya tradisi yang masih mereka pengang kuat sampai hari ini. Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga.
Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga
Lain halnya seperti disampaikan oleh Rara Sekar sebagai seorang seniman dan aktivis lingkungan, ia menyatakan bahwa kita harus mampu memahami alasan dan tujuan di balik lahirnya suatu tradisi dan budaya. Dengan pemahaman tersebut sebenarnya akan membantu kita dalam melihat masyarakat secara lebih utuh. Dengan demikian kebijakan konservasi harusnya berpijak dari cara pandang masyarakat yang sampai hari ini masih melekat dengan tradisi.
Siska sebagai orang yang terlibat jauh dalam desain festival Ili-Ili juga menambahkan secara lebih subtantif. Bahwa memaknai segala sesuatu yang kita lihat dan lakukan menjadi sangat penting ketimbang hanya sekedar seremoni dan euforia semata. Kemampuan untuk memaknai sesuatu akan berguna bagi kita dalam memandang masyarakat secara lebih nyata dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Dan dalam tradisi masyarakat kitalah sebenarnya energi perubahan untuk harapan lebih baik itu ada.
Selepas diskusi PLT Camat Ngadirejo M. Setyo Nusantoro di dampingi kepala desa dan perwakilan kepala desa membacakan poin-poin komitmen bersama untuk melaksanakan konservasi air di kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temangung. Dua poin utama surat komitmen bersama adalah: bahwa air adalah aspek penting kehidupan yang perlu diupayakan kelestariannya. Selain itu harus adanya upaya memaknai nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam tradisi, budaya dan peristiwa masa lampau untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman hari ini, khususnya tentang pengelolaan dan konservasi air untuk difungsikan sebagai pijakan praktik rill konservasi.
Pendatangan surat komitment bersama tersebut menjadi penanda acara sarasehan dan musyawarah ageng siang itu selesai. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan melalui proses diskusi dan belajar bareng selama dua hari dalam festival Ili-Ili menghasilkan suatu yang setidaknya kemudian nantinya dapat menjadi acuan para pengambil kebijakan sampai pada level terbawah untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan yang selaras dengan visi konservasi air dan lingkungan di Kecamatan Ngadirejo.
Seperti yang disebutkan dalam paragraf awal tulisan ini, hal inilah yang sebenarnya membedakan Festival Ili-ili ini dengan jenis festival lainnya. Karena tujuan konservasi air yang menjadi tema besar dalam festival ini mampu dieksplorasi secara maksimal kemudian diwujudkan dalam konten-konten acara yang tidak hanya terjebak dalam seremoninya semata, tetapi mampu memberi satu jawaban atas persoalan yang ada di tengah masyarakat. Hal lain yang penting perlu dicatat juga adalah bagaimana unsur kebudayaan masyarakat meliputi kesenian dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dalam festival ini tidak hanya jadi obyek eksotisme yang selalu dilihat tidak sejajar. Tetapi melalui festival ini tradisi masyarakat yang berkembang di sana, desain acara dan jawaban atas persoalan krisis lingkungan dibayangkan, kemudian diangkat marwah nilai-nilai pengetahuan dialamnya untuk dijadikan pijakan.
Hal tersebut tercermin dalam ritual Tirta Mulya Adiraja yang dilaksanakan setelah acara Musyawarah Ageng yang mana dalam ritual ini dilakukan arak-arakan air yang sebelumnya diambil dari 20 tuk (mata air) keramat dari 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung. Air yang telah diarak kemudian disatukan dalam benjana. Kemudian setelah terkumpul air didoakan oleh para sesepuh desa dan seluruh masyarakat. Pembacaan doa ini dipimpin secara langsung oleh Salah satu tokoh agama/kepercayaan yaitu Mbah Kawat. Dari rangkaian itu kita bisa melihat bahwa dalam sebuah ritual yang sakral secara tidak langsung menjadi pengikat kesadaran manusia yang tidak bisa lepas dari dimensi spiritual. Agaknya jika kita berangkat dari banyaknya tradisi kita yang hampir semuanya mempunyai makna ritual dan spritual, festival Ili-ili tampil lebih elegan.
Akhirnya malam puncak Festival Ili-ili tiba, penampilan Rara Sekar dan Umar Hean dengan lagu-lagunya membawa pengunjung yang datang pada refleksi panjang tentang makna kehidupan. Ikhsan Sekuter juga menjadi penampil penutup malam itu. Dengan musik flok nya yang sarat akan kritik sosial, membuat orang yang datang satu lapangan larut dalam keheningan malam. Begitulah rangkaian Festival Ili-ili ini bagi saya sendiri membawa pada pengalaman untuk lebih memaknai ulang kehidupan.