“Engkau mengirim surat kepada kami namun tak ada keterangan waktu di dalamnya,” Sayyidina Abu Musa Al-‘Asy’ari menulis kalimat itu dalam sepucuk surat kepada Sayyidina Umar ibn Khattab yang saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin.
Membaca surat balasan sahabat Rasulullah yang juga sahabatnya itu, Sayyidina Umar langsung mengumpulkan para sahabat yang lain. Mereka berembuk untuk merumuskan almanak guna melengkapi administasi kenegaraan dan mempermudah urusan waktu dalam ritual keagamaan. Singkat cerita, pada masa kekhalifahan sahabat bergelar Singa Padang Pasir inilah Kalender Hijriah resmi diterapkan di kalangan umat Islam.
Tahun Hijriah dimulai sejak hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah. Di Mekkah, Nabi mengajarkan dasar-dasar ketauhidan kepada kerabat dan sahabatnya. Setelah berpindah ke Madinah, Nabi mengajarkan ketauhidan itu diwujudkan dalam sistem-sistem sosial.
Pada periode Madinah, tauhid tidak hanya menjadi pemahaman yang membeku dalam diri, tapi menjadi gerakan sosial dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Di Madinah pula Nabi kemudian mengorganisasi masyarakat, menjaga teritorialnya, hingga terbentuklah satu kedaulatan yang hari ini kita istilahkan sebagai negara. Setelah negara terbentuk dan berdaulat, Nabi tidak hanya mengajarkan tata cara bersembahyang, tapi juga menyusun pertahanan militer, menerapkan hukum, serta menjaga stabilitas sosial dan ekonomi rakyatnya.
Suku dan klan-klan yang semula hidup sendiri berdasarkan geneologi kekerabatan, jaringan perdagangan, atau koneksi-koneksi kultural dirangkul dan disatukan oleh Nabi dalam satu panji kemanusiaan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Di Madinah, Islam kemudian menjadi pemersatu bagi apa dan siapa pun yang semula tercerai-berai karena stratifikasi sosial, konflik ekonomi-politik, maupun perbedaan iman. Di Madinah pula lahirlah konsensus, kanun, atau regulasi-regulasi yang disepakati bersama demi terbentuknya harmoni antarmanusia apa pun latar belakangnya.
Hijrah memang hanya terjadi di zaman Nabi, tapi Hijriah terjadi setiap saat. Apabila hijrah bermakna pindah, maka hijriah bermakna kepindahan atau perpindahan. Falsafah yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah adalah hijriah: suatu proses perpindahan dari fase kebaikan yang satu fase ke kebaikan yang lain. Dalam perpindahan ini, kita belajar dari strategi Nabi dan para sahabatnya dalam memproduksi kebaikan demi kebaikan untuk menciptakan keselarasan dan keindahan di muka bumi.
Memproduksi kebaikan, keselarasan, dan keindahan adalah tugas kemanusiaan dan kehambaan. Tiga nilai inilah yang mestinya kita perjuangkan kapan pun, di mana pun, melalui profesi apa pun. Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun, demikianAllah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an.“Sungguh tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” Ibadah, jangan dipahami hanya sembahyang di atas sajadah. Ibadah juga kebaikan, keselarasan, dan keindahan apa pun yang kita serap dari hadirat-Nya, lalu kita perjuangkan di lingkungan sosial masing-masing demi menjaga alam dan kehidupan.
Karena Alam dan kehidupan amanah Tuhan yang mesti kita jaga bersama, maka menjadi manusia-manusia hijriah sungguh keniscayaan. Sebagai manusia, kita bukanlah makhluk yang tercipta kebetulan. Kita bukan entitas yang diciptakan sebatas perangkat-perangkat materi demi mencari kepuasan materi belaka. Kita, ciptaan yang diciptakan dengan ruh, dengan jiwa, dengan spiritualitas, yang dengannya pula kita diminta membangun peradaban keindahan di dunia ini.
Membangun peradaban keindahan bisa kita mulai dari institusi kebudayaan paling kecil tapi sekaligus paling utama: keluarga. Dari keluarga kemudian kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara serta antarnegara dan antarbangsa. Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.
Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.
Penamaan hijriah sebagai tahun tidak hanya menandai hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari Mekkah saja, tidak pula sebatas mengingat kemuliaan jiwa sahabat-sahabat Anshar di Madinah saat menerima mereka. Hijriah, proses yang tak kunjung usai dalam memperjuangkan kebaikan, keselarasan, dan keindahan. Hijriah adalah upaya terus-menerus untuk menata alam dan kehidupan dengan nilai-nilai profetik.
Sepanjang tahun Hijriah, selama rembulan masih mengitari alam raya, perpindahan-perpindahan menuju tatanan keindahan sepantasnya terus kita upayakan. Dari yang semula memperjuangkan kepentingan personal, berpindah memperjuangkan kepentingan sosial. Yang menjadi pejabat negara dengan niat memakmurkan diri dan keluarga, berpindah orientasinya demi memakmurkan rakyat dan menjaga negara dari rongrongan bandit dan mafia. Dengan begitu, hijriah tidak hanya beku sebagai nama bagi waktu, tapi menjelma gerakan kemuliaan dalam diri yang berdampak bagi seluruh makhluk di bentala ini.
Pemaknaan tentang hijrah dan hijriah semacam ini perlu kita sadari, kita jiwai, dan kita resapi, karena hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah bukan hanya transmigrasi melainkan transformasi. Dan manusia hijriah adalah manusia yang tak hanya bertransmigrasi dari keburukan ke kebaikan, tapi manusia yang terus bertransformasi dengan cara melakukan kebaikan dan terus menyebarkan kebaikan kepada apa dan siapa pun sebagaimana tuntunan Nabi.
Akhirnya, mengucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriah” penting, tapi menjadi manusia-manusia hijriah sungguh jauh lebih penting.
Ketika bangsa Indonesia menunggu datangnya Satrio Piningit dan Ratu Adil, yang tiba malah Suzzanna. Kembali menjelma sebagai sundel bolong, dia berhasil menyedot 3,3 juta orang ke bioskop untuk menonton aksi-aksi balas dendamnya. Meski gagal menarik saya ke gedung film, hantu gentayangan ini berhasil membawa saya untuk memelototinya di Netflix.
Rumah tangga Suzzanna (Luna Maya) dan Satria (Herjunot Ali) awalnya bahagia. Kebahagiaan itu memuncak ketika buah hati yang mereka idam-idamkan selama lima tahun akhirnya akan hadir ke tengah keluarga kecil pasangan muda nan kaya itu. Betapa gembira Satria mendengar penuturan sang istri tentang kehamilannya, ketika suatu pagi, Suzzanna memintanya pulang lebih cepat dari kantor. Suzzanna meminta Satria agar mengajaknya ke luar rumah untuk mencari udara segar. Keduanya pun bersepakat ke kantor tempat Satria bekerja. Ini salah satu kejanggalan yang saya temui di awal film ini. Cari udara segar, kok, ke kantor?
Meski kedatangan mereka ke kantor terkesan dipaksakan oleh sutradara, di sanalah konflik bermula. Jonal (Verdi Solaiman) dan Umar (Teuku Rifnu Wikana) sudah menunggu Satria. Setibanya di kantor dan meminta izin sejenak kepada Suzanna, Satria memanggil Jonal dan Umar ke ruangannya. Keduanya melapor bahwa para pekerja di pabrik meminta kenaikan gaji. Mendengar laporan mereka, Satria murka, karena gaji karyawan sudah dua kali dinaikkan dalam tiga bulan terakhir. Satria mengendus ini hanya akal bulus dua mandor itu.
Kesal karena merasa dikecewakan Satria, Jonal dan Umar kemudian menenggak bir bersama Dudun (Alex Abbad) dan Gino (Kiki Narendra), dua pekerja lain di pabrik. Sambil merutuki nasib dan beban ekonomi masing-masing, keempatnya berembuk akan merampok rumah Satria. Ketika Satria berangkat ke Jepang untuk tugas perusahaan dan rumahnya sepi karena Suzzanna sedang menonton layar tancap bersama tiga pembantunya, keempatnya pun beraksi.
Namun aksi jahat itu tak semulus yang mereka rencanakan. Belum tuntas mereka menggondol barang-barang berharga di rumah Satria, Suzzanna memergoki mereka. Suzzanna yang pulang tanpa para pembantunya akhirnya mati di tangan komplotan itu. Suzzanna menjelma arwah penasaran yang terus gentayangan di alam nyata demi menuntut balas atas kematian dirinya, kematian anak yang dikandungnya, serta kehancuran rumah tangganya.
Begitulah sutradara Anggy Umbara dan Rocky Soraya meramu Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, film yang diproduksi Soraya Intercine Films. Di awal film dinarasikan, film ini dibuat untuk mengenang Suzzanna Martha Frederika van Osch, legenda dalam film horor Indonesia yang meninggal dunia pada 15 Oktober 2008. Selain alasan itu, lahirnya film ini tentu saja karena tren film-film reinkarnasi sukses mendulang pundi-pundi rupiah beberapa tahun terakhir. Film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (Bagian 1, 2016), misalnya, yang berhasil meraih 6.858.616 penonton, atau 4.206.103 penonton untuk film Pengabdi Setan (2017).
Judul film inidiadaptasi dari dua film yang pernah dibintangi Suzzanna, Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971). Meski bukan pengulangan atau sekuel dari dua film tersebut, film ini tetap saja tidak bisa keluar dari simbol-simbol keduanya. Penampilan Suzzanna dengan rambut acak-acakan dan berbaju putih saat menjelma hantu, misalnya, atau adegan Suzzanna bermain piano, masih saja dipertahankan.
Dengan memakai wajah prostetik yang dibuat Tatiana Melkomova dan Peter Gorshenin dari Rusia, Luna Maya diusahakan semirip mungkin menjadi Suzzanna, baik dalam gerakan maupun ucapannya. Meskipun Luna tetap terlalu tinggi dan terlalu langsing untuk memerankan aktris horor legendaris itu. Herjunot Ali juga memaksimalkan diri berperan sebagai Satria walau masih tampak sebagai sosok Zainuddin dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013).
Dalam aspek sinematografis, plot film ini sudah bisa ditebak. Keluarga bahagia Suzzanna diusik komplotan penjahat, Suzzanna terbunuh saat hamil, kemudian dia menuntut balas atas kematiannnya, kematian bayi yang dikandungnya, juga kehancuran keluarganya. Pengadeganan juga sering tidak meyakinkan, misalnya saat Suzzanna terbunuh tanpa sengaja di tangan Dudun. Dengan dorongan pelan semacam itu, mustahil seruas bambu (atau kayu?) yang dipegang Dudun bisa menusuk perut Suzzanna hingga tembus. Meski tidak sekeras batu, tubuh manusia bukan puding yang mudah ditembus benda dengan tekanan tidak seberapa.
Tata kamera masih saja mengandalkan teknik mengagetkan (jump scare) sebagaimana film horor pada umumnya. Teknik semacam ini membosankan, kecuali saat kamera mengarah pada foto asli almarhum Suzanna Martha Frederika van Osch. Setiap kali kamera mengarah ke foto yang terpajang itu, saya cukup merinding. Mungkin karena di dunia nyata, legenda dalam sejarah film horor Indonesia itu memang benar-benar sudah tiada. Di bagian tata suara juga tidak ada yang baru. Permainan musik yang keras tiba-tiba dan cekikikan khas Suzzanna juga masih diandalkan untuk menghadirkan suasana mencekam. Dalam audio-visual, film ini tidak menawarkan kejutan.
Mungkin karena di dunia nyata, legenda dalam sejarah film horor Indonesia itu memang benar-benar sudah tiada. Di bagian tata suara juga tidak ada yang baru. Permainan musik yang keras tiba-tiba dan cekikikan khas Suzzanna juga masih diandalkan untuk menghadirkan suasana mencekam. Dalam audio-visual, film ini tidak menawarkan kejutan.
Sedangkan dalam tata artistik, saya menemukan anakronisme di mana-mana. Menurut keterangan di awal film, kisah ini terjadi pada Mei 1989, 34 tahun lalu. Latar ini awalnya meyakinkan saya ketika kamera menampilkan Morris 1951, mobil milik Satria. Namun, setelah itu, imajinasi saya langsung ambyar ketika menyaksikan rambut para pemain. Gaya rambut Jonal dan Satria, misalnya, terlihat seperti gaya rambut cowok milenial tahun 2000-an ala kelompok penyanyi asal Taiwan atau Korea. Belum lagi model celana yang dipakai keduanya, juga tokoh laki-laki lainnya. Kalau tidak melihat keterangan tahun di awal film, penonton akan merasa kisah dalam film ini terjadi seminggu sebelum film ini ditayangkan di bioskop.
Film ini juga beberapa kali kehilangan logika cerita, salah satunya saat warga kampung membakar rumah Suzzana. Dari mana warga kampung tahu kalau Suzzanna menjelma hantu sundel bolong padahal mereka belum tahu bahwa Suzzanna sudah mati? Suzzanna pun tidak menghantui warga kampung. Sebelumnya juga tidak terlihat ada interaksi antara Umar dengan warga kampung, tapi kenapa tiba-tiba Umar bisa mengorganisasi dan memprovokasi warga kampung hingga mereka berduyun-duyun membakar rumah Suzzanna? Apakah karena Suzzanna tidak ikut sembahyang subuh berjamaah sebagaimana biasa lalu masyarakat di sekitarnya bisa langsung menyimpulkan Suzzanna mati dan jadi hantu? Sungguh tidak masuk akal!
Dalam film ini memang tidak ada lagi pemuka agama semacam kiai atau ustaz yang dikerdilkan peran sosialnya sebatas pengusir hantu sebagaimana sering kita lihat dalam film-film horor Indonesia pada umumnya. Namun, Suzzanna masih saja kepanasan saat mendengar Satria membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Sutradara sepertinya malas berpikir atau kebingungan mencari alternatif lain yang lebih cerdik, serta masuk akal, untuk meyakinkan Satria bahwa Suzzanna sudah mati dan menjelma arwah gentayangan. Akhirnya, sebagaimana selalu dipakai dalam film-film horor Indonesia, adegan Suzzanna mengerang saat mendengar lantunan kitab suci masih saja dijadikan pilihan utama untuk menggambarkan kehantuannya. Suzzanna menjerit berlari kepanasan hingga kaca jendela rumah mereka berantakan saat Satria melantunkan Surah Yasin di hadapannya. Terkesan dramatis, meskipun tidak kreatif serta kurang logis, dan lagi-lagi mimesis.
Sampai pada adegan ini, muncul pertanyaan di tempurung kepala saya. Kenapa dalam film-film Indonesia, khususnya genre horor, kitab suci hanya ditampilkan dan diperdengarkan untuk membuat hantu-hantu kepanasan? Tidak bisakah ayat-ayat itu ditampilkan dan diperdengarkan untuk menyadarkan tokoh-tokohnya yang berlaku keji dan mungkar, baik yang hantu maupun yang bukan? Bukankah kitab suci diturunkan oleh Tuhan ke dunia sebagai pedoman agar manusia menjadi manusia, namun mengapa dalam film-film Indonesia kitab suci hanya dijadikan sebagai penyiksa hantu atau pengusir setan?
Kedangkalan film ini dalam menampilkan simbol agama juga tampak pada kesalehan Suzzanna dan Satria yang dicitrakan sebagai pasangan yang rajin sembahyang berjamaah dan tekun mengaji Qur’an. Di sini pula ketidakkonsistenan itu berada. Sebagai orang yang taat beragama, kalau pun harus mati dengan cara mengenaskan, mestinya Suzzanna tidak jadi arwah gentayangan, apalagi bangkit sebagai sundel bolong untuk balas dendam. Dalam khazanah eskatologi Islam (sebagaimana agama yang dianut Suzzanna dan Satria dalam film ini), tidak ada konsep manusia bereinkarnasi menjadi hantu, apalagi menjelma sundel bolong. Dan sebagaimana dalam ajaran agama apa pun, balas dendam juga dilarang dalam Islam. Tak hanya Suzzanna, warga kampung yang sebelumnya digambarkan rajin sembahyang berjamaah juga tiba-tiba kalap dan main hakim sendiri saat membakar rumah Suzzanna. Secuil pun, tak ada efekkah ibadah atau ritual keagamaan itu ke dalam kehidupan sosial mereka?
Kedangkalan film ini dalam menampilkan simbol agama juga tampak pada kesalehan Suzzanna dan Satria yang dicitrakan sebagai pasangan yang rajin sembahyang berjamaah dan tekun mengaji Qur’an. Di sini pula ketidakkonsistenan itu berada. Sebagai orang yang taat beragama, kalau pun harus mati dengan cara mengenaskan, mestinya Suzzanna tidak jadi arwah gentayangan, apalagi bangkit sebagai sundel bolong untuk balas dendam.
Dari sisi politik dan ekonomi, film ini mengerdilkan peran kaum buruh sekaligus mementahkan perjuangan mereka dalam menuntut haknya. Kaum buruh, melalui tokoh Jonal dan kawan-kawannya, dicitrakan sebagai sekelompok orang yang tamak. Padahal, dalam kehidupan nyata, justru pemilik dan elite perusahaanlah yang rakus dan semena-mena terhadap para pekerjanya. Buktinya, hingga hari ini, buruh di Indonesia belum sejahtera. Upah minimum regional di tiap daerah pas-pasan untuk menunjang beban hidup mereka dan keluarganya. Ketimpangan sosial dan ekonomi terus terjadi akibat regulasi-regulasi ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada buruh. Dalam hal ini, keluhan dan harapan Gino hingga dia ikut merampok rumah Satria untuk mencari uang demi kesembuhan sang ibu menemukan relevansinya.
Relasi kuasa yang timpang juga bisa kita lihat dalam pemilihan keluarga Satria yang merupakan elite perusahaan sebagai korban. Dalam kehidupan di luar film, kita justru sering menyaksikan sebaliknya. Buruh tidak hanya mendapatkan ketidakadilan dalam hal pengupahan dan jaminan keselamatan kerja, tapi juga mengalami teror, penganiayaan, hingga pembunuhan. Sampai di sini tiba-tiba saya teringat Marsinah, seorang buruh perempuan di satu pabrik arloji di Jawa Timur yang dibunuh secara sadis dan terencana 30 tahun silam.
Ah, andai pemilihan tokoh Suzzanna dalam film ini tidak dari kelas elite perusahaan tapi dari kelas pekerja pasti lebih menghunjam ceritanya. Andai sutradara film ini menjadikan buruh seperti Marsinah sebagai Suzzanna yang menuntut balas kepada para pembunuhnya tentu film ini akan lebih kontekstual dan lebih mencerdaskan. Setidaknya, penyiksaan dan dan pembunuhan Marsinah yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia menemukan “keadilan”-nya dalam film ketika keadilan itu tak didapatkan keluarga dan rekan-rekan seperjuangan Marsinah di dunia nyata.
Tidak hanya dangkal dalam menampilkan agama dan realitas ekonomi-politik, film ini juga dangkal dalam memahami budaya. Tradisi atau kearifan lokal masih saja dicitrakan sebagai sesuatu yang sesat dan menyesatkan. Ini bisa kita saksikan pada sosok Mbah Turu (Norman R. Akyuwen), seorang dukun yang sering tertidur saat “bertugas”, yang membantu niat jahat Jonal dan Umar untuk menghabisi hantu Suzzanna beserta Satria.
Dengan kemenyan, keris, juga kidung “Rumekso ing Wengi” gubahan Sunan Kalijaga (yang lagi-lagi membuat hantu Suzzanna menjerit histeris), Mbah Turu yang gondrong dan berpenampilan awut-awutan digambarkan sebagai penganut ilmu hitam yang kejam sekaligus mata duitan. Padahal kemenyan, keris, juga tembang tidak berkonotasi kepada hantu atau setan. Tiga produk budaya itu adalah medium yang dipakai manusia Nusantara untuk menyambungkan batin mereka kepada Tuhan sekaligus menjaga ikatan kosmologisnya dengan alam. Sebegitu picisankah film ini memaknai instrumen kebudayaan kita? Kenapa dukun harus digambarkan sebagai sosok jahat yang diperlawankan dengan apa atau siapa pun yang diidealkan sebagai kebaikan atau kebenaran?
Untuk mengesankan kisah cinta Suzzanna dan Satria abadi dan bahagia, sutradara film ini membuat Satria mati terbunuh di akhir cerita. Kenapa Satria harus mati? Hanya dalam atau dengan kematiankah manusia bisa meraih kebahagiaan? Tidak bisakah Satria dibiarkan tetap hidup lalu menjalani kebahagiaan tanpa harus ikut mati bersama Suzzanna? Kenapa mati menjadi solusi terakhir untuk bahagia? Sebegitu suramkah menjalani kehidupan di dunia hingga kematian Satria dipilih sebagai pamungkas cerita?
Film ini juga gagal menampilkan realitas sosial masyarakat kita. Absennya polisi, misalnya. Tidak hanya dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria, para penegak hukum itu juga tidak dihadirkan ketika Dudun dan Gino terbunuh, padahal keduanya tewas di pabrik dan di asrama pekerja. Dudun mati mengenaskan karena terlilit gulungan tali ketika lari dari bayang-bayang Suzzanna, sementara Gino tewas setelah Jonal menusuknya berkali-kali karena mengiranya hantu sundel bolong itu.
Sebegitu lalaikah polisi kita? Bukankah setiap pabrik memiliki personel satpam yang menjaganya 24 jam dan bisa menghubungi polisi kapan saja ketika terjadi kekacauan apalagi pembunuhan? Mengapa tidak ada seorang pekerja pun yang melapor ke polisi atas terbunuhnya Gino atau Dudun? Sebegitu naifkah warga kampung, hingga tidak ada satu orang pun yang waras, lalu mencegah agar warga lainnya tidak main hakim sendiri dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria?
Situs Filmindonesia.or.id mencatat, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur meraih 3.346.185 penonton. Film ini pun menjadi film Indonesia terlaris kedua pada tahun 2018. Gejala apa ini? Kenapa masyarakat kita suka menonton film berisi aksi-aksi balas dendam dengan adegan-adegan bertabur kekerasan dan kebiadaban?
Film ini dirilis pada 15 November 2018 di bioskop-bioskop se-Indonesia. Saat itu, situasi sosial-politik bangsa ini sedang panas-panasnya akibat hawa pemilihan presiden 2019. Dengan capaian penonton sebanyak itu, saya menduga, masyarakat kita sedang mencari hiburan untuk menghindari kisah horor di luar bioskop: politisasi agama dan politisasi identitas, rasisme, sumpah serapah cebong dan kampret yang mengotori harmoni sosial, penegakan hukum dan HAM yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, korupsi wakil rakyat dan pejabat negara yang tak sudah-sudah, juga dusta dan kepalsuan yang diumbar para elite politik dalam acara debat-debat di televisi.
Film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur menjadikan kekerasan sebagai komoditas, dan masyarakat kita pun membelinya, sebagai cara termurah untuk melarikan diri dari realitas politik dan ekonomi yang sarat banalitas.[]