Author Archives: Aji Ramadhan
Sanggar Lentera—sebuah komunitas perupa asal Gresik yang berdiri sejak tahun 1980—menyelenggarakan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Gresik pada 14-16 Mei 2025. Tajuk Lentera Bersinar Lagi mengesankan kehadiran kembali Sanggar Lentera yang lama tidak berpameran sejak terakhir kali menyelenggarakan Pameran Lukisan 3 Kota (Yogyakarta, Gresik, dan Surabaya) pada tahun 1994.
Para anggota Sanggar Lentera yang memamerkan lukisannya, yaitu: Kris Adji AW, M. Syarifuddin, Achmad Feri, M. Mas’udi Khoiri, Yayak Achmad Hidayat, Achmad Safi’i, Didik Hadi, Erfi Sulistyanto, Achmad Husaeni, dan Riyanto.
Meski tiga puluh satu tahun (dari tahun 1994 hingga tahun 2025) tidak menyelenggarakan pameran, para anggota Sanggar Lentera tetap eksis bekarya atas nama sendiri atau bergabung dengan komunitas lain. Akhirnya, tahun 2025, para anggota—setelah “bertualang”—kembali ke Sanggar Lentera lewat pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi.
Begitulah, aku membaca perihal para anggota Sanggar Lentera dalam tulisan Kris Adji AW dalam katalog Lentera Bersinar Lagi. Begini nukilan tulisannya: “Jika Sanggar Lentera pada tahun 2025 ini kembali mewarnai dunia seni rupa di Indonesia, sesungguhnya ini hanya atas nama komunitas saja. Toh selama ini para pribadinya tak pernah berhenti bekarya dan berpameran di pelbagai kota Indonesia. Bahkan bermukim di kota-kota luar Gresik”.

Sumber: Dok. Aji (2025)
Pilihan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik bikin aku merasa ganjil. Maksud rasa ganjil bukan hal negatif. Tapi, rasa ganjil tersebab kewajaranku pada tempat pameran lukisan—khususnya di Kabupaten Gresik—yang terbiasa diselenggarakan di kafe, mall, gedung serba guna milik perusahaan, atau gedung serba guna milik pemerintah daerah. Rasa ganjil memperluas pengetahuanku, bahwa penyelenggaraan pameran lukisan tidak membatasi tempat di mana saja, termasuk gedung DPRD Kabupaten Gresik sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi.
Lewat tulisan Muhammad Syahrul Munir (Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dalam katalog Lentera Bersinar Lagi, aku mengetahui alasan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Begini nukilan tulisannya: “Gedung DPRD sebagai rumah rakyat sudah sepatutnya menjadi ruang ekspresi dan dialog bagi semua elemen masyarakat, termasuk para seniman. Inilah bentuk keterbukaan kami dalam mendukung pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal secara inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas seni dan budaya, untuk terus mengawal dan memberi masukan terhadap kebijakan daerah, terutama dalam implementasi Peraturan Daerah no. 9 tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah….”
Pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak menampilkan tema khusus. Aku menikmati lukisan yang menampilkan interaksi antar manusia. Atau, aku menikmati lukisan yang menampilkan permainan unsur rupa (titik, garis, bidang, hingga warna) yang menghasilkan emosi. Atau, aku menikmati kecenderungan figur hewan (ayam jago, merpati, bebek, ikan tawar, ikan laut, penyu, kuda, dan naga) pada lukisan yang dipamerkan, seperti: Kris Adji AW (Jago 1 dan Jago 2), M. Syarifuddin (Harmoni Air dan Ksatria dan 9 Naga), Achmad Safi’I (Keluarga Kecil Bahagia dan Berangkat Lelang), hingga Erfi Sulistyanto (Momong dan Dunia Bawah Air).
Pengalaman Berkunjung
Gedung DPRD Kabupaten Gresik (selanjutnya aku tulis: rumah rakyat) adalah bangunan berarsitektur kolonial Belanda. Cirinya: beberapa pilar lingkaran di serambi, dinding bangunan yang tebal, serta desain yang simetri. Rumah rakyat tidak terlalu antik, justru megah. Kemegahannya terlihat pada penggunaan panel kayu dan cermin untuk menutup dinding, serta penggunaan bahan marmer untuk lantai. Lain itu, pada serambi dan lorong di rumah rakyat, terpajang potret-potret yang menghiasi dinding. Potret-potret itu berfungsi menambah suasana, serta mengingat sejarah rumah rakyat.
Di rumah rakyat, pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi menggunakan serambi dan lorong. Sebagai tempat berpameran, para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu dari dua ruang tersebut (serambi dan lorong). Ketidaksterilan dari potret-potret itu berakibat dua ruang tersebut mengalami polusi visual. Maksud polusi visual adalah wilayah yang tercemar oleh benda yang tidak diinginkan dan mengganggu keindahan selama berlangsungnya pameran. Secara tidak sadar, selama berlangsungnya pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, potret-potret itu menjadi polusi visual.
Barangkali para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu karena menggunakan alat penyanggah. Memang alat penyanggah menjadi solusi terbaik untuk mengganti pemajangan lukisan-lukisan pada dinding di dua ruang tersebut. Tapi, polusi visual menimbulkan masalah. Sebab, potret-potret itu—mau tidak mau—ikut terlibat sebagai bagian pameran. Jadi, di dua ruang tersebut, potret-potret itu sama nilainya dengan lukisan-lukisan itu. Bagi pengunjung yang sedang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, keberadaan potret-potret itu dapat mengecohkan pandangan.
Aku turut terpapar polusi visual pada pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi. Paparan polusi visual bikin mataku lebih dulu mengarah ke potret-potret itu daripada lukisan-lukisan itu. Meski begitu, berkat terpapar polusi visual, pada sebuah momen di serambi, aku tidak sengaja mendapatkan pengalaman baru, yaitu: dua potret yang ada dan dua lukisan yang dipajang saling berikatan. Aku tersadar tidak perlu membedakan potret-potret itu dengan lukisan-lukisan itu. Aku harus menganggap polusi visual tidak ada di dua ruang tersebut. Biarkan segala visual saling menyempal dan menyempil di mataku.
Serambi
Di serambi bagian kanan atas dinding, aku memandang potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Dua potret tersebut merupakan karya Syafiq Noer, juga termasuk potret-potret yang tidak disterilkan para anggota Sanggar Lentera. Pada potret Giri Kedaton Gresik, aku mengenal situs bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan Islam dan pesantren di Gresik. Aku pernah beberapa kali ke sana (Giri Kedaton) bersama kawan. Sedangkan, pada potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, aku mengetahui rekaman tempat di Kelurahan Lumpur. Aku mengetahui karena pernah tinggal di Kelurahan Lumpur pada masa kecil.
Di depan bawah potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, berdiri dua alat penyanggah yang masing-masingnya memajang lukisan Ksatria dan 9 Naga karya Muhammad Syarifuddin dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia karya Achmad Safi’i. Aku memandang dua lukisan tersebut. Lalu, aku tidak sengaja membagi pandangan terhadap dua lukisan dan dua potret tersebut. Lama-kelamaan, aku merasa dua potret dan dua lukisan tersebut saling berikatan. Benang merah ikatan itu hanyalah citra yang aku rasakan, seperti semangat perjuangan (potret Giri Kedaton Gresik terikat lukisan Ksatria dan 9 Naga) serta ingatan asal mula (potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik terikat lukisan Keluarga Kecil Bahagia).

Pada lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku lebih memperhatikan figur laki-laki berpakaian putih dan hijau, dengan tangan kanan mengangkat keris dan tangan kiri memegang tali kekang, sedang menunggangi kuda putih. Aku meyakini bahwa figur laki-laki yang berpakaian putih dan hijau adalah ksatria. Lalu, kuda yang mengangkat sepasang kaki depannya—meminjam simbol patung kuda—menandakan ksatria telah gugur di medan perang. Aku bertanya sendiri: “Medan perang macam apa yang membuat ksatria gugur?”
Kalau menengok di bawah kuda adalah kepulauan Indonesia, aku mengimajinasikan medan perang berada di daerah Giri (Gresik). Kemunculan imajinasiku perihal daerah Giri akibat memandang potret Giri Kedaton Gresik. Juga, kecocokan imajinasiku terhadap ciri berpakaian ksatria yang begitu mirip dengan model seorang tokoh di poster Walisongo. Setelah memandang lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku turut mengimajinasikan apa yang tampak pada potret Giri Kedaton Gresik sebagai situs medan perang.
Lalu, siapa musuhnya? Bisa sembilan naga—atau aku menganggap naga berkepala sembilan—yang mengitari ksatria. Aku beranggapan naga berkepala sembilan karena semua figur naga pada lukisan Ksatria dan 9 Naga tidak utuh memperlihatkan badannya. Jadi, aku menunjuk Hydra (naga berkepala banyak dalam mitologi Yunani) daripada Shenlong (dewa naga dalam mitologi Cina). Apalagi Hydra sangat destruktif karena memiliki racun yang mematikan. Sedangkan Shenlong berkemampuan mengontrol alam.
Meski masing-masing kepala naga terlihat garang dan hidup (tidak sekarat), aku menangkap suasana kemenangan. Tangkapan itu merupakan hasil tafsir bebas terhadap gambaran sinar matahari—membuat awan di sekelilingnya berkilauan—di bagian atas lukisan Ksatria dan 9 Naga. Padahal ksatria telah gugur di medan perang. Tersisa kepala-kepala Hydra yang mengeliling kepulauan Indonesia. Atau, aku menduga, Hydra masih harus hidup agar selalu memunculkan ksatria-ksatria baru meski gugur melulu.

Pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku memperhatikan figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia. Pertama, dunia laut dengan makhluk ikan, penyu, dan koral. Kedua, dunia darat dengan makhluk tiga manusia (sepasang suami dan istri yang menggendong anak). Ketiga, dunia langit dengan makhluk tiga merpati. Entah kenapa figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia selaras dengan penampakan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, yaitu: langit, laut, dan sepasang nelayan.
Citra yang aku tangkap pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia sangat religius, sangat tegak lurus di jalan Tuhan. Sebab, suami dan anak mengenakan peci dan istri mengenakan jilbab. Pakaian mereka (suami, ibu, dan anak) sangat sopan. Kemudian aku tersadar bahwa kaki anak berbentuk ekor ikan. Akhirnya, aku menduga anak yang digendong ibu bukanlah anak sebenarnya. Tapi, anak dalam pengertian harapan bagi suami dan istri. Harapan itu diperkuat oleh tiga merpati di atas mereka (suami dan istri) yang bisa menyimbolkan kesetiaan dan cinta.
Jadi, tafsir bebasku terhadap lukisan Keluarga Kecil Bahagia adalah kesabaran suami dan istri untuk mendapatkan anak. Aku menganggap suami dan istri begitu sabar, tanpa pernah goyah dan tetap enggan bersedih. Padahal suami dan istri berada di dasar laut. Atau, jangan-jangan, suami dan istri telah aman karena tirai misteri terbuka di kedalaman laut. Sebab itu, suami dan istri dikelilingi ikan, penyu, dan koral. Apalagi makhluk laut itu (ikan, penyu, dan koral) mengilaukan warnanya masing-masing.
Pada bagian atas lukisan Keluarga Kecil Bahagia, tampak pantulan cahaya di permukaan air. Aku menganggap pantulan cahaya di permukaan air adalah simbol perlindungan Tuhan. Simbol itu makin membulat setelah aku menelisik detail pandangan suami ke arah wajah ibu, lalu pandangan ibu mengarah ke arah wajah anak. Sedangkan anak membalas pandangan ke arah wajah ibu. Detail tersebut menyiratkan hubungan kasih sayang. Dan, aku menyukai mereka yang sama-sama tersenyum.

Setelah lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku kembali memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Tiba-tiba aku mengingat masa kecil di dekat tempat yang direkam. Waktu itu, siang di tepi pantai. Aku, sepupu, dan paman sama-sama duduk menghadap laut. Beberapa menit kemudian, paman mengeluarkan gunting kuku, lalu satu per satu memotong kuku jariku dan kuku jari sepupu. Pada bakda asar, kami (aku, sepupu, dan paman) sudah berada di teras rumah emak (ibunya ibuku).
Lalu, aku kembali lagi ke lukisan Keluarga Kecil Bahagia setelah memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Memang ingatan masa kecilku sangat berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia. Sebab, ingatan masa kecilku tetaplah sebatas masa lalu, sedangkan ayah dan ibu (figur dalam lukisan Keluarga Kecil Bahagia) mengharapkan anak dengan penuh kebahagiaan. Meski begitu, muncul sedikit kesamaannya, yaitu: kehangatan yang memendar di keluarga.
Lorong
Di lorong, potret-potret yang tidak disterilkan oleh para anggota Sanggar Lentera adalah potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik dari pelbagai periode. Potret-potret itu (potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dipajang di dinding bagian atas (warna dasar putih). Barangkali, potret-potret itu memang sengaja dipajang di lorong. Sebab, lorong menghubungkan ke ruang Ketua DPRD Kabupaten Gresik, beberapa Ruang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik, resepsionis, hingga ruang rapat.
Masing-masing alat penyanggah telah memajang lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Lentera di depan dinding lorong. Ketika masuk di lorong, aku menganggap pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak hanya lukisan-lukisan itu, juga termasuk potret-potret itu. Jadi, secara tidak langsung, aku menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi dengan dua cara pandang: pertama, pandangan sejajar ke arah lukisan-lukisan itu; kedua, pandangan mendongak ke potret-potret itu.

Potret-potret itu memiliki nama masing-masing. Sayang, ukuran tulisan yang kecil dan pemajangan potret-potret itu terlalu tinggi membuat pandanganku kesusahan untuk membaca namanya. Jadi, aku lebih fokus memandang setiap wajah pada potret-potret itu. Aku sempat berpikir di ruang lorong, betapa banyak jumlah potret itu, yang bisa sebagai penanda betapa panjang jalan tugas DPRD Kabupaten Gresik. Apalagi tugas DPRD Kabupaten Gresik begitu penting, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aku merasa aneh, setelah memandang potret-potret itu, lalu berpindah pandangan ke beberapa lukisan yang menarasikan profesi. Keanehan akibat tercipta jarak ketika aku melakukan dua cara pandang terhadap lukisan-lukisan itu dan potret-potret itu. Jadi, potret-potret itu seolah tinggal di langit, sedangkan lukisan-lukisan itu seolah tinggal di bumi. Aku mengimajinasikan bahwa potret-potret itu menerima suara yang diterbangkan dari bumi. Tapi, aku tidak yakin apakah potret-potret itu mengenal siapa pemilik wajah yang menerbangkan suara.
Karena langit terlalu tinggi, potret-potret itu harus menengok ke bawah bumi. Kalau sudah menengok, potret-potret itu dapat mengenal dua perempuan sedang bekerja. Perempuan pertama, duduk menggarap songkok. Perempuan kedua, berkeliling membopong bakul rujak di kepalanya. Dan, dua perempuan itu diabadikan di lukisan Kampung Songkok Kemuteran karya Didik S. Hadi (perempuan pertama) dan lukisan Bok Tingen (Jual Rujak Keliling) karya Achmad Husaeni (perempuan kedua).
Berikutnya, dari bumi, potret-potret itu dapat mengetahui keberkahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng yang menggerakkan orang-orang untuk bertambak. Hasil tambak itu pun menjadi perayaan orang-orang untuk melelang ikan bandeng terbesar setiap akhir bulan Ramadan. Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang memakan olahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng diabadikan di lukisan Teko Buri (Usai Kerja Mirik Tambak) karya Achmad Husaeni dan lukisan Berangkat Lelang karya Achmad Safi’i.
Imajinasiku sebatas imajinasi. Sehingga potret-potret itu yang ditempatkan di atas dinding dan lukisan-lukisan itu yang ditempatkan di bawah bukanlah persoalan keberjarakan antara lembaga pemerintah (tidak hanya DPRD Kabupaten Gresik) dengan masyarakat. Toh, lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan kebijakan publik, serta mencapai tujuan negara. Juga, lewat masyarakat pula, terlahir para pemimpin untuk mengisi lembaga pemerintah.

Terakhir, aku memandang lukisan Damar Kurung 4.0 karya Yayak Achmad Hidayat. Aku menangkap figur orang-orang: melambaikan tangan, menyapa, duduk, naik vespa, naik skuter, berkumpul, hingga berbicara. Aku merasakan keguyuban. Seperti keguyuban para anggota Sanggar Lentera setelah lama tidak pameran bersama, keguyuban para pengunjung yang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, serta keguyuban rumah rakyat sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi. (*)
Di Kelurahan Lumpur (Gresik), atau lebih tepat di Gang Empat (Jalan Sindujoyo XII), hidup sebuah komunitas yang konon lahir sejak akhir tahun 70-an, yaitu: Draculla Boys Club (DBC). Sesuai arti kata “Boys” dalam namanya, merujuk bahasa Inggris, anggota DBC hanyalah laki-laki yang tinggal di sekitar Kelurahan Lumpur, terutama Gang Empat. Meski begitu, DBC bukan komunitas berstruktur. Jadi, tidak ada ketua atau jabatan lain, kecuali hanya ada anggota yang terus beregenerasi dari kakek, ke anak, dan cucu.
Kenapa memakai kata “Draculla”? Kata “Draculla” yang mengingatkanku pada tokoh fiktif dalam novel “Dracula” karya Bram Stoker (penulis Irlandia). Menurut Cak Anshor—salah satu anggota DBC—penamaan “Draculla” muncul akibat para anggota DBC (dewasa atau muda) memiliki kebiasaan melekan (begadang) dan cangkruk di amben (semacam bangunan bale tapi mirip pos kamling). Sehingga, bagi para anggota DBC, kata “Draculla”—memakai huruf “L” dobel—berkonotasi jarang tidur pada waktu malam.
Posisi amben itu berada di atas—atau menutup—kali (sungai kecil) dan berada di perempatan Gang Empat (terhubung ke Gang Tiga dan Gang Lima). Amben itu berbahan kayu, tidak disemen, jadi lebih mudah perbaikannya (reparasi). Kira-kira amben itu memiliki luas 5 meter x 6 meter. Dan, amben itu menjadi tempat penting karena melekan dan cangkruk yang dilakukan para anggota DBC telah membentuk wadah silaturahmi. Apalagi, ketika melekan dan cangkruk, kadang para anggota DBC melakukan liwetan.
Selain melekan dan cangkruk, sejak tahun 2010, amben itu selalu menjadi tempat bagi agenda DBC setiap akhir tahun. Agenda untuk mengadakan Haul KH. Abdurrahman Wachid dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur (selanjutnya ditulis Haul Gus Dur). Cak Anshor bercerita bahwa para anggota DBC sangat mengagumi Gus Dur (pecinta Gus Dur). Sebab itu, tujuan Haul Gus Dur, selain mendoakan, juga mengenang keteladanan Gus Dur dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur.
Haul Gus Dur bermula dari perasaan duka bagi para anggota DBC ketika Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. Sehingga, setelah mengadakan beberapa peringatan Gus Dur wafat (satu hingga tujuh hari; empat puluh hari; dan seratus hari), para anggota DBC sepakat mengadakan Haul Gus Dur setiap 30 Desember. Meski sempat terbatas untuk kalangan sendiri gara-gara pandemi Covid-19, Haul Gus Dur belum sekali absen. Pada tahun 2024, Haul Gus Dur sudah memasuki tahun ke-15.
Di Haul Ke-15 Gus Dur, selain kegiatan yasin dan tahlil, serta ishari (seni hadrah), juga DBC mengundang Dr. H. Muhammad Shodiq, M.Si (Wak Kaji Shodiq) untuk berceramah. Wak Kaji Shodiq adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan pendiri Pondok Pesantren Wak Kaji Shodiq. Dalam ceramah, Wak Kaji Shodiq berpesan kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur agar belajar bagaimana sosok Gus Dur. Sebab, “Gus Dur itu bapak pluralisme. Kita harus belajar dari Gus Dur. Menghargai perbedaan.”

Budaya Sambatan
Pada bakda isya di Gang Empat, sebagian anggota DBC menggelar tikar untuk para tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Lain itu, anak-anak kecil duduk di amben. Dan, alas amben itu tertutup beberapa karpet dan bagian dindingnya terpasang latar belakang yang berisi: Wajah Gus Dur; Tulisan “Haul KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur) dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur”; Tulisan “Keluarga Besar DBC” dan “Gresik, 30 Desember 2024”; serta puisi pendek karya Mardi Luhung yang bertulis “/Jika kita mau, hidup itu/ bisa sederhana penuh berkah//”.
Amben itu serupa panggung prosenium di hadapan tikar yang tergelar panjang. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat berlesehan di tikar—menghadap vertikal ke arah amben itu—dari tiga jalan gang (barat, timur, dan utara). Dan, para anggota DBC membagi dua kelompok pada tiga jalan gang: Kelompok pertama, jalan gang sisi barat untuk perempuan; Kelompok kedua, jalan gang sisi timur dan utara untuk laki-laki. Di depan amben itu—yang menghubungkan tiga jalan gang—menjadi tempat bagi kelompok ishari.

Aku memilih duduk di jalan gang sisi timur. Tapi, aku tidak duduk di tikar. Aku duduk di teras salah satu rumah warga—sekitar delapan meter dari tikar paling belakang yang digelar sebagian anggota DBC—bersama beberapa banser yang sedang berjaga. Dan, aku mulai memperhatikan satu per satu tamu Haul ke-15 Gus Dur yang berdatangan. Beberapa saat kemudian, Cak Anshor menghampiri aku. Lalu, aku menyalimi Cak Anshor, sekalian bertanya perihal semangat para anggota DBC yang mengadakan Haul Gus Dur setiap akhir tahun.
“Sak petok’e gowo barang. Onok nyumbang mie yo diterimo ae. Sambatan,” ucap Cak Anshor dalam dialek Jawa pesisir yang aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia begini: “Sekenanya membawa barang. Kalau ada yang menyumbang mie bisa diterima saja. Sambatan.” Dari ucapan Cak Anshor, aku memahami istilah “sambatan” sebagai budaya tolong-menolong di Kelurahan Lumpur ketika mengadakan kegiatan.[1] Budaya tolong-menolong tanpa berharap balasan dari ‘pemberi’ dan ‘penerima’.
Contoh budaya sambatan yang unik bagiku di Haul Ke-15 Gus Dur, yaitu: Para anggota DBC menerima donasi berupa uang dari para warga lalu membelanjakan degan untuk berkatan (semacam bingkisan). Sehingga, sebelum pulang, para anggota DBC membagikan satu butir degan kepada setiap tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Aku menilai bahwa apa yang diterima para anggota DBC dari para warga, lalu apa yang diberikan para anggota DBC kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur, adalah kebaikan budaya sambatan yang penuh keikhlasan dan kebersamaan.

Ternyata, buah sebagai berkatan, seolah tradisi di Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC. Cak Anshor mengingat sebagian buah sebagai berkatan sebelum Haul Ke-15 Gus Dur, antara lain: Haul Ke-7 Gus Dur berkatan kelengkeng; Haul Ke-8 Gus Dur berkatan anggur; Haul Ke-9 Gus Dur berkatan durian; Haul Ke-10 Gus Dur berkatan nangka; Haul Ke-11 Gus Dur berkatan semangka; Haul Ke-12 Gus Dur berkatan pisang tanduk; Haul Ke-13 Gus Dur berkatan nanas; dan Haul Ke-14 Gus Dur berkatan durian.
Cak Anshor menjelaskan beberapa buah sebagai berkatan didatangkan para anggota DBC dari luar Gresik, seperti: Berkatan degan pada Haul Ke-15 didatangkan dari Lumajang; Berkatan durian pada Haul Ke-9 dan Berkatan nanas pada Haul Ke-13 didatangkan dari Gunung Kelud; atau Berkatan durian pada Haul Ke-14 didatangkan dari Blitar (waktu itu, durian di Gunung Kelud belum musim). Bagiku, berkatan yang unik itu menampakkan kreativitas para anggota DBC. Kreativitas yang mengedepankan kesederhanaan dan tawaduk.
Budaya sambatan tidak hanya konsumsi. Bisa berupa jasa. Juga, bisa berupa karya seni, seperti Mardi Luhung (penyair) yang menerima permintaan para anggota DBC. Permintaan untuk menyumbangkan puisi pendek yang dapat menghiasi latar belakang, serta menghiasi kaos kegiatan. Dan, di Haul Ke-15 Gus Dur, aku baru mengetahui bagaimana puisi pendek karya Mardi Luhung untuk latar belakang bertahun 2022 dan 2023 setelah anggota DBC memasangkannya di jalan gang sisi utara.
Barangkali, para anggota DBC memasang dua latar belakang yang lama di jalan gang sisi utara agar para tamu Haul Ke-15 Gus Dur tidak menengok kali. Dan, aku mencatat dua puisi pendek karya Mardi Luhung di dua latar belakang itu, begini: “/Kami memercayai bahwa niat baik/ akan melahirkan kebaikan, dan cinta/ akan melahirkan ketulusan: ‘Bersamalah’//” (2022); dan “/Kami percaya pada jalan itu,/ kami percaya pada rumah yang menanti./ Kami percaya pada senyum sesama yang/ ada di pintu rumah itu./ Perkenanlah.//” (2023).
Lalu, Cak Anshor mengirimkan sebuah foto kepadaku. “Iki banner haul pertama onok puisine ayah pean,” ucap Cak Anshor yang dialek Jawa pesisirnya itu bisa aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Ini latar belakang Haul Ke-1 Gus Dur ada puisi ayahmu.” Lalu, aku mencatatnya, begini: “/Mari belajar pada laut, sebab/ laut tak pernah memilah./ Dan antara yang ada adalah seiringan./ Yang jatuh akan dibangunkan./ Yang belakang akan dinanti./ Ya, kita percaya, harapan tak pernah memilih./ Seperti ombak./ Seperti desir yang digenggam oleh laut.//”
Puisi pendek karya Mardi Luhung yang menghiasi latar belakang bertahun 2010, 2022, 2023, dan 2024. Empat puisi pendek karya Mardi Luhung yang baru aku baca di Haul Ke-15 Gus Dur menjadi contoh lain, bahwa budaya sambatan menumbuhkan sinergi yang berkesinambungan antara ‘pemberi’ dan ‘penerima’. Sinergi yang menumbuhkan kebaikan. Juga, sinergi yang mengikis kepamrihan. Keajegan dan keberhasilan Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC setiap akhir tahun pun tidak lepas dari budaya sambatan.

Dalam budaya sambatan, posisi individu atau kelompok yang punya kegiatan tidak harus bermula sebagai ‘penerima’. Bisa juga bermula sebagai ‘pemberi’. Hal itu bisa terjadi momentum setiap mengadakan Haul Gus Dur. Seperti apa yang diungkapkan Cak Anshor: “Akeh uwong nitipno nyembelih wedos akikah pas DBC ngadakno Haul Gus Dur.” Atau bahasa Indonesia untuk terjemahan dialek Jawa pesisir dari Cak Anshor, begini: “Banyak orang menitipkan penyembelian kambing akikah saat DBC mengadakan Haul Gus Dur.”

Orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah sangat terbantu karena para anggota DBC dapat merawatnya, seperti pemotongan daging hingga pembersihan jeroan. Juga, orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah tidak perlu repot mengundang siapa pun, sebab menurut Cak Anshor, tamu yang datang di setiap Haul Gus Dur bisa berjumlah kurang lebih 700 orang. Tapi, Cak Anshor mengaku para anggota DBC hanya sanggup menyembelih lima ekor kambing akikah.
Para anggota DBC menyerahkan hasil pemotongan daging dan pembersihan jeroan kepada ibu-ibu agar dimasak sebagai hidangan. Ibu-ibu itu juga memasak hidangan bandeng dan udang (donasi dari seorang warga). Di Haul Ke-15 Gus Dur, semua hidangan, beserta nasi, diletakkan di tampah. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat menikmati semua hidangan secara bupungan (semua hidangan diletakkan di satu tampah lalu dimakan ramai-ramai oleh beberapa orang) setelah rangkaian kegiatan selesai.**
[1] Keterangan istilah sambatan di Kelurahan Lumpur bisa ditemukan pada Pengantar Penyusun: Kisah dari Sambatan Semacam Puisi yang ditulis oleh Mardi Luhung dalam buku puisi Sambatan Semacam Puisi (2023), yaitu: “Untuk kata (istilah) sambatan, ini saya pungut dari kosa kata kampung istri saya di pesisir utara Gresik (Kelurahan Lumpur). Artinya, semacam kerelaan bagi setiap nelayan untuk memberikan hasil tangkapan ikannya di hari itu pada seseorang yang sedang mempunyai gawe, perayaan, atau pembangunan tertentu di kampung. Semacam gotong royong yang tulus dan rela memberi. Gotong royong yang beritikad untuk saling meringankan beban yang ada.” (Hlm: ix-x).
Tampak api dari lampu teplok menghasilkan kepulan asap yang seolah naik perlahan secara spiral. Tampak kepulan asap membentuk empat figur, yaitu: petani, tentara kolonial, penguasa Jawa, dan putri Jawa. Sayang, pancar cahaya api dari lampu teplok tidak memberikan penerangan yang cukup sehingga sekeliling masih tampak gelap. Penampakan semua itu merupakan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita (2024) karya sepuluh peserta workshop program Mencari #7 (kelas menulis fiksi sejarah yang diampu oleh Yudhi Herwibowo dan digagas oleh Maysanie Foundation). Gambaran kover buku tersebut meletupkan kepenasaranku terhadap bagaimana sajian setiap api dari lampu teplok yang dimiliki sepuluh peserta.
Dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, aku mengutip penggalan pengantar pertama, Berbagi Sinau, Sinau Berbagi, dari Sanie B. Kuncoro (pendiri Maysanie Foundation), yaitu: “Materi dalam buku ini adalah cerita pendek bertema sejarah. Kiranya akan menjadi sebuah cara mengulik sejarah dengan beragam misterinya dan menghadirkannya sebagai cerita pendek yang menarik sekaligus menumbuhkan kenangan masa silam.”[1] Lalu, aku mengutip penggalan pengantar kedua, Memendam untuk Menulis Fiksi Sejarah, dari Yudhi Herwibowo, yaitu: “Sejarah yang kita tahu sangatlah luas. Tapi menjadi semakin mengerucut saat kita mulai menentukannya dalam tema yang akan digarap. Para peserta memang masih terpaku pada daerahnya, atau yang terkait dengan daerahnya…”[2]
Aku menghubungkan pembacaan kutipan penggalan pengantar Sanie B. Kuncoro dan Yudhi Herwibowo dengan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita. Penghubungan tersebut menarik diriku untuk mengibaratkan api dari lampu teplok sebagai cerpen bertema sejarah. Dan aku membayangkan api dari lampu teplok berbahan bakar fakta dan fiksi. Aku memahami bahwa fakta dan fiksi harus tepat diramu oleh setiap peserta agar cerpen bertema sejarah dapat selalu menyala di hadapanku. Juga, aku memahami bahwa fakta dan fiksi dapat memengaruhi pancaran cahaya cerpen bertema sejarah. Dua hal yang aku pahami itu berdasarkan kesadaran pembaca yang menyikapi ketegangan antara fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan.
Ketegangan antara fakta dan fiksi dalam cerpen bertema sejarah disebabkan kemungkinan aku yang berjarak terhadap peristiwa masa lalu. Apalagi terlalu kental fakta memungkinkan tidak ada kesempatan bagiku untuk urun mengimajinasikan fiksi. Atau, justru terlalu kental fiksi sehingga aku—selaku pembaca—merasa fakta yang disodorkan penciptanya terasa tidak berguna. Sebab itu, titik berat acuan dapat meluweskan diriku agar selalu sadar mana bagian fakta dan fiksi. Perihal titik berat acuan, aku mengingat tulisan Acuan (2) karya Sapardi Djoko Damono yang membahas empat larik puisi Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar: “//Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir//”. Berikut aku mengutip salah satu paragraf dari tulisan Acuan (2), yaitu:
Dengan demikian, pada hakikatnya dalam karya sastra fakta harus menyesuaikan diri pada dunianya yang baru, yakni fiksi—agar bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dalam penafsiran. Fakta harus sudah menjadi pengertian yang ditafsirkan kurang lebih sama oleh anggota masyarakat sehingga tidak merupakan “benda asing” dalam karya sastra. Jadi, acuan dalam Krawang—Bekasi itu sebenarnya tidak berbeda dari yang dipergunakan penyair yang sama dalam sajak-sajaknya yang lain; Eros, Ahasveros, Romeo dan Juliet, adalah mitos, yang fungsinya sama dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir. Dalam sastra, nama-nama itu hanya bisa ditafsirkan sebagai mitos; hanya dengan begitu ia bisa diacu dan dipahami.[3]
Kutipan paragraf dari tulisan Acuan (2) di atas telah menginformasikan bahwa nama-nama tokoh (Bung Karno; Bung Hatta; dan Bung Sjahrir) dalam puisi Krawang—Bekasi adalah fakta yang diketahui pembaca. Fakta yang mengandung latar belakang bagi pembaca agar tidak buta menelusuri puisi Krawang—Bekasi. Lalu pembaca menyadari nama-nama tokoh telah berada dalam dunia puisi sehingga mengalami perubahan dari fakta ke fiksi. Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.
Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.
Apa yang dibahas Sapardi Djoko Damono mengenai acuan pembacaan puisi Krawang—Bekasi bisa aku terapkan pada pembacaan cerpen bertema sejarah. Aku menganggap penerapan bisa terjadi karena cerpen bertema sejarah mengandung fakta dan fiksi. Sekarang, aku memasuki buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita dengan mengambil tiga cerpen dari sepuluh cerpen karya peserta. Tiga cerpen itu hanya perwakilan untuk membahas sinau acuan cerpen bertema sejarah. Aku ingin mengetahui bagaimana tiga cerpen itu menampilkan fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan. Tiga cerpen itu adalah cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi karya Angelina Enny; cerpen Seorang Penyair Bertandang karya Artie Ahmad; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati karya Puitri Hati Ningsih.
Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi
Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi menceritakan Diana Sari—seorang lady companion—yang berakhir mati dibunuh oleh prajurit ninja, anak buah bos perusahaan minyak, di ruang karaoke. Lalu, mayat Diana Sari dibuang prajurit ninja di bioskop yang keesokannya dibakar oleh kerusuhan pada era reformasi. Alasan Diana Sari dibunuh oleh prajurit ninja adalah dia dianggap wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion untuk memata-matai kegiatan nepotisme yang dilakukan bos perusahaan minyak. Padahal wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion adalah Dian Rani, kolega Diana Sari yang baru kerja beberapa minggu. Beruntung penyamaran Dian Rani tidak pernah terbongkar. Artinya, pembunuhan Diana Sari salah sasaran.
Sesuai judul cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi, tema sejarah yang diambil adalah era reformasi di Indonesia, atau tahun 1998. Beberapa isu pada era reformasi diceritakan, seperti isu nepotisme: “…Konon, susah sekali menembus kerja sama dengan perusahaan yang sudah dimonopoli oleh keluarga presiden….”[4] Atau, isu kebebasan pers: “Dian Rani bergidik ngeri. Dia mendengar selentingan kabar beberapa kawan wartawannya ditahan, ada pula yang tak pulang…”[5] Juga suasana pada era reformasi lewat diskripsi ini: “Layar televisi di ruang karaoke itu berganti menayangkan berita. Rupanya, si bos sudah bosan bernyanyi. Tertangkap oleh mata Diana yang lentik, beberapa kelompok masyarakat sudah ramai berdemonstrasi siang tadi. Reformasi bergaung di sana sini karena bapak presiden terpilih kembali.”[6]
Beberapa isu dan suasana pada era reformasi membuat cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi bukan sekadar pembunuhan salah sasaran yang diterima Diana Sari. Era reformasi sebagai fakta dalam cerpen tersebut menjadi bumbu yang berefek sensasi bagiku. Sensasi yang menebalkan rasa kasihan terhadap ketidakberuntungan Diana Sari, kesebalan terhadap kelakuan Dian Rani, kemarahan terhadap kejahatan bos perusahaan minyak, serta kengerian terhadap suasana di luar tokoh-tokoh (Diana Sari; Dian Rani; dan bos perusahaan minyak). Ketegangan antara fakta dan fiksi membikin aku bertanya: “Apakah tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut memang nyata pada era reformasi?” Entahlah. Tapi aku enggan mengetahui jawabannya agar tidak mengganggu imajinasi terhadap tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.
Cerpen Seorang Penyair Bertandang
Sebaris puisi bahasa Prancis membuka cerpen Seorang Penyair Bertandang. Di bawahnya, ada sebaris puisi bahasa Indonesia, hasil alihbahasa dari sebaris puisi bahasa Prancis, begini: “Ke negeri rempah-rempah pedas dan basah.…”[7] Dan, sebaris puisi (bahasa Prancis dan hasil alihbahasa ke bahasa Indonesia) memiliki catatan, yaitu: “Sebaris puisi milik Arthur Rimbaud, tertulis di plakat rumah dinas walikota Salatiga ditanda tangani oleh duta besar Prancis tertanggal 6 Mei 1997: ‘Arthur Rimbaud datang dan tinggal di Salatiga selama dua pekan, tertanggal 2 sampai 15 Agustus 1876.’”[8] Lewat catatan sebaris puisi, aku mengetahui sosok yang tersurat judul cerpen adalah Arthur Rimbaud. Setelah membaca cerpen tersebut, aku menangkap cerita utama bukan perihal Arthur Rimbaud di Salatiga, melainkan tokoh-aku.
Tokoh-aku, seorang pribumi, dalam cerpen Seorang Penyair Bertandang menginformasikan bagaimana kehidupan sebagai serdadu KNIL di barak, seperti: “…Di sini, kami memanglah membutuhkan asupan tenaga. Hutan-hutan kecil di sebelah selatan harus segera dibuka, gundukan-gundukan tanah harus digali dan diratakan untuk membuka jalan baru….”[9]; “…Sebagai seorang serdadu kami ditempa untuk kuat dan tegar dalam segala macam keadaan, tapi itu tak kulihat di wajah seorang serdadu muda…”[10]; “…Seorang serdadu muda yang baru datang meninggal dunia karena sakit setibanya di barak….”[11] hingga “Tak jauh dari tempat Isaac, aku membuka pintu sebuah bilik. Asap langsung menyapa wajahku. Walter, Hong, dan beberapa teman lainnya telah terlebih dahulu mengisap candu….”[12]
Aku mencatat bahwa tokoh-aku mengaku tidak begitu akrab dengan orang Prancis. Tapi, mungkin gara-gara perilaku Arthur Rimbaud yang terlihat tak bersemangat telah membuat tokoh-aku tertarik. Setelah bertanya kepada Walter, tokoh-aku mengetahui masa lalu Arthur Rimbaud yang seorang penyair. Lain itu, tokoh-aku mendapatkan informasi kepenyairan Arthur Rimbaud setelah berbincang dengan Louis Durant, orang Prancis yang mahir berbahasa Belanda dan sedikit Melayu. Pelarian diri yang dilakukan Arthur Rimbaud pada 15 Agustus 1876 seolah menginspirasi tokoh-aku untuk berbuat serupa. Pada akhirnya, tokoh-aku melarikan diri demi menemui Charlotte, perempuan yang dicintainya. Sayang, tokoh-aku gagal melarikan diri setelah pelor dari tembakan pengejar menghantam kepala belakang.
Cerpen Lukisan Merah Daun Jati
Gusti Saloka—salah satu putra Sinuhun dari garwa ampil—suka melukis lanskap taman. Ada satu tempat yang ingin dilukis oleh Gusti Saloka, yaitu: Keadaan di dalam taman Balekambang. Gusti Saloka tahu bahwa dirinya tidak bisa masuk karena keadaan di dalam taman Balekambang yang sangat tertutup dan terbatas untuk keluarga Mangkunegaran. Kesempatan memasuki taman Balekambang muncul ketika Gusti Saloka ikut Gati—abdi dalem—untuk mengantarkan buntalan kain. Sebelum masuk atau masih di gerbang taman Balekambang, Gusti Saloka meminjam alat lukis kepada Surya—teman sesama pelukis—yang entah kenapa berada di situ. Dan, setelah memasuki dalam taman Balekambang, Gusti Saloka meminta izin kepada Kabul—penjaga taman—untuk melukis.
Putri bertopi beludru sedang duduk di atas perahu dengan tukang pendayung dan mbok pengasuh, serta kijang di pinggir danau, juga sakura Jawa dan bunga flamboyan yang diwarnai merah dari pupus daun jati merupakan hasil lukisan Gusti Saloka. Keesokannya, Gusti Saloka terkejut mengetahui putri bertopi beludru menghilang dari lukisan itu. Gati menenangkan Gusti Saloka agar lukisan itu ditambahkan lagi putri bertopi beludru. Lalu, Gusti Saloka menambahkan lagi putri bertopi beludru di lukisan itu. Gati meminta Gusti Saloka untuk menyimpan lukisan itu di rumahnya. Tapi, Gusti Saloka terperangah mengetahui lukisan itu berada di dalem Kepanjen. Gusti Panji—pengrajin batik tulis—menerangkan bahwa lukisan itu karya pelukis Yogya yang telah dipesan oleh kerajaan Belanda.
Dalam cerpen Lukisan Merah Daun Jati, Gusti Saloka tidak pernah mengetahui lukisannya telah dilaporkan Gati kepada pengageng. Gusti Saloka tidak pernah mengetahui pesuruh dari Raden Mas Lahab—pedagang barang kuno dan kolektor lukisan yang bekerja sama dengan pengageng—mencuri lukisannya dan mengganti dengan lukisan duplikat tanpa putri bertopi beludru. Penduplikat lukisan itu dilakukan Surya. Juga, selain mencuri dan menduplikat, Surya bersama Jahal telah menjalankan tugas dari Raden Mas Lahab untuk plagiasi lukisan-lukisan karya Gusti Saloka. Semua lukisan (curian dan plagiasi) dijual oleh Raden Mas Lahab di pasar gelap. Jadi, aku memahami bahwa Gusti Saloka terlalu lugu untuk menyadari bakat lukisnya selama ini telah dimanfaatkan orang-orang terdekatnya.
Fakta Sejarah dan Cerita untuk Cerpen
Aku membaca esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi karya Aprinus Salam yang dimuat di rubrik Halte, Jawa Pos (Sabtu, 16 Maret 2024). Aku merangkum salah satu bagian esai itu, kurang lebih begini: “Sejarah—peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu—mengandung cerita dari sudut pandang atau kepentingan tertentu. Karena itu, cerita (narasi subjektif) tidak bisa menghindari kemungkinan fiksi (imajinasi subjektif). Tapi, fiksi memungkinkan ada cerita yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif. Juga, cerita dalam fiksi tetap berhenti sebagai cerita meski terkait fakta sejarah. Bagi penulis sejarah, fiksi pada cerita harus diminimalkan lewat teori dan metodologi agar peristiwa masa lalu bisa ‘dibakukan’.” Lalu, contoh yang diberikan Aprinus Salam dalam esai itu memudahkan aku untuk memahami di mana letak sejarah, cerita, dan fiksi, yaitu:
Sebagai misal, “Arya Penangsang adalah seorang sakti.” Arya Penangsang adalah sejarahnya. Sakti adalah ceritanya, secara sejarah masih bisa dilacak walaupun tidak perlu sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, jika “Arya Penangsang adalah seorang sakti yang tidak ada tandingannya.” Pernyataan “yang tak ada tandingannya” adalah fiksi karena tidak bisa diacu kecuali dalam pernyataan ceritanya itu sendiri.[13]
Apa hubungan antara rangkuman salah satu bagian dan contoh yang diberikan Aprinus Salam pada esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi dengan tiga cerpen (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi; cerpen Seorang Penyair Bertandang; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati) dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita? Hubungan itu adalah ekspektasiku—sebelum membaca tiga cerpen tersebut—akan menghadapi fiksi yang kemungkinan ada pada cerita. Fiksi yang belum diminimalkan pada peristiwa yang hendak “dibakukan” demi kepentingan sejarah. Ternyata, ekspektasiku salah. Setelah membaca tiga cerpen tersebut, aku menemukan cerita dalam fiksi yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif dengan pengambilan fakta sejarah. Jadi, tema sejarah dalam tiga cerpen tersebut tetaplah berhenti sebagai cerita tanpa menyinggungnya sebagai sejarah.
Pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut seolah hanya berkepentingan membentuk latar. Sehingga, aku mengganggap tiga cerpen tersebut dapat berlatar yang sama-rasa-beda-bentuk apabila pengambilan fakta sejarah berganti, misal: era reformasi berganti revolusi Prancis; Arthur Rimbaud berganti Herman Willem Daendels; dan keadaan di dalam taman Balekambang berganti keadaan di dalam kebun binatang Sriwedari. Andai tanpa pengambilan fakta sejarah, latar tidak memengaruhi cerita pada tiga cerpen tersebut. Alasannya, aku masih dapat berimajinasi tanpa pengambilan fakta sejarah, bahwa pembunuhan Diana Sari tetap terjadi karena ketakutan bos perusahaan minyak; tokoh-aku yang hanya butuh alasan kuat untuk melarikan diri; dan penipuan terhadap Gusti Saloka tetap terjadi karena keluguannya.
Tapi, aku tidak menganggap pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut adalah sesuatu yang buruk. Meski hanya berkepentingan membentuk latar, pengambilan fakta sejarah justru bikin aku dapat menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut. Dramatisasi yang mengacu pembunuhan Diana Sari dengan mengetahui situasi era reformasi; keberanian tokoh-aku melarikan diri akibat mengenal Arthur Rimbaud dan situasi Hindia Belanda pada tahun 1876; dan keluguan Gusti Saloka dengan situasi Mangkunegaran sekitar tahun 1921-an. Dramatisasi semakin kental ketika tiga cerpen tersebut menyelipkan cerita, seperti: beberapa isu di era reformasi; kegiatan serdadu KNIL di Salatiga; dan taman Balekambang sebagai hadiah tanda cinta dari Gusti Mangkunegara VII kepada dua putrinya, yaitu: Partini dan Partinah.
Aku menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut bukan hanya gara-gara pengambilan fakta sejarah. Tapi, aku turut mengacu pengambilan fakta sejarah dengan keterkaitan latar belakang tokoh pada tiga cerpen tersebut. Memang, secara kebetulan, tiga cerpen tersebut sama-sama menarasikan latar belakang tokoh. Sehingga, aku mengetahui pengalaman buruk yang dialami Diana Sari sewaktu SMP yang pernah dilecehkan pacar dan guru olah raga; tokoh-aku yang patah hati setelah tidak direstui oleh orang tua kekasihnya karena perbedaan status sosial; dan alasan Gusti Saloka dapat lebih akrab dengan Gati daripada saudara-saudara sesama anak Sinuhun dari garwa ampil. Di bawah ini, aku mengutip narasi perihal latar belakang tokoh (Diana Sari; tokoh-aku; dan Gusti Saloka), yaitu:
“Pelan-pelan, dong, Sayang,” kata si bos minyak. Tangannya masih meremas bokong Diana yang sedang duduk di pangkuannya. Diana Sari tidak suka bokongnya diremas, mengingatkannya pada pacarnya yang kurang ajar di SMP dulu. Guru olah raganya, Pak Agus diam-diam juga ikut meremas bokong Diana yang tubuhnya sudah melebihi keranuman teman-teman seusianya. Diana remaja diam saja, apalagi nilai volinya selalu bagus dan jadi kebanggaan tersendiri di antara mata pelajaran lain di rapornya. (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi)[14]
…Aku sendiri tak begitu akrab dengan orang Prancis, selama ini aku lebih sering dekat dengan orang Belanda, Inggris atau seringnya dekat dengan kaum Indo-Eropa seperti Lottie Dekker. Perempuan nan manis itu, begitu baik perangainya, namun harus kutinggalkan lantaran hubungan kami tak bisa diteruskan. Orang Tua Lottie tak pernah menghendaki putri mereka bersuami seorang pribumi, meski ibunya dulu seorang gundik namun konon derajatnya telah diangkat selepas James Dekker menikahi gundiknya secara sah. Kutinggalkan Lottie seorang diri dan tenggelam di barak tentara, bagiku kisah dengan Lottie telah berakhir sore itu. (cerpen Seorang Penyair Bertandang)[15]
…Sal adalah salah satu putra dari banyaknya putra Sinuhun dari garwa ampil. Meski putra dalem Sinuhun tapi ia bisa akrab dengan semua abdi dalem termasuk Gati. Mungkin justru karena tidak bisa dekat dengan saudara-saudara lain ibu tersebut sehingga Sal lebih suka menyendiri di setiap acara, seperti pisowanan ageng atau jumenengan yang ramai saat semua keluarga keraton hadir. Gusti Sal ada tapi menepi. Lebih memilih menjadi pengamat dan mengambil yang menggoda hati untuk dipenjara pada kanvasnya. (cerpen Lukisan Merah Daun Jati)[16]
Barangkali bermain cerita dalam fiksi dengan pengambilan fakta sejarah dan penyelipan cerita pada tiga cerpen tersebut adalah materi yang diperoleh peserta workshop program Mencari #7. Materi yang diperoleh itu telah menyajikan tiga cerpen tersebut perihal dunia alternatif untuk melihat sejarah lewat simulasi meng-ada-kan tokoh. Dan, materi yang diperoleh itu turut menjadi pembelajaran bagiku—selaku pembaca—untuk menengok hal yang tidak dicatat oleh sejarah. Hal yang berasal dari manusia kalah (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi), manusia biasa (cerpen Seorang Penyair Bertandang), dan manusia pinggiran (cerpen Lukisan Merah Daun Jati). Begitulah, aku membaca tiga cerpen tersebut yang termaktub dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita.**
Daftar Pustaka
Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, Dkk (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation.
Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2). Hal: 349.
- [1] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 7.
- [2] Ibid. Hal: 9.
- [3] Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2), Hal: 349.
- [4] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 12.
- [5] Ibid. Hal: 16.
- [6] Ibid. Hal: 13.
- [7] Ibid. Hal: 29.
- [8] Ibid. Hal: 46-47.
- [9] Ibid. Hal: 29.
- [10] Ibid. Hal: 31.
- [11] Ibid. Hal: 32.
- [12] Ibid. Hal: 38.
- [13] Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
- [14] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 14.
- [15] Ibid. Hal: 32.
- [16] Ibid. Hal: 86-87.
…
ia lepaskan lendir penuh tuba. Lendir yang
merekatkan air dan malam, air dan karang-karang
kerakal. Sebuah sirkulasi mengalir dari kisah air dan
sihir. Ubur-ubur merah mengurai darah,
memperlihatkan jantung dan usus yang berdetak. Usus
dan jantung yang merekam gemuruh air dan
takdir. Berlarihlah ubur-ubur ke permukaan. Matahari
…
(Puisi Ubur-ubur Merah)
Penggalan puisi Ubur-ubur Merah di atas adalah karya Hidayat Raharja—penyair asal Madura kelahiran tahun 1966—yang dimuat buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017. Ketika membaca penggalan puisi Ubur-ubur Merah, aku menangkap keberadaan ubur-ubur yang penuh misteri dan dingin, seperti /…Lendir yang merekatkan air dan malam, air dan karang-karang/ kerakal…./ atau /…Usus dan jantung yang merekam gemuruh air dan/ takdir…/. Apalagi, dua kata kerja (merekatkan dan merekam) ditimbulkan ubur-ubur (lendir, usus, dan jantung) yang bereaksi antara air dengan malam, atau karang-karang kerakal, atau takdir.
Ubur-ubur yang dipuisikan Hidayat Raharja bukan sekadar tempelan belaka. Sebab, selain imajinasi, ada identifikasi dalam puisi Ubur-ubur Merah, misal mengetahui ubur-ubur mengeluarkan lendir. Identifikasi menandakan Hidayat Raharja begitu akrab mengenal ubur-ubur sebagai bahannya menulis puisi. Keakraban mengenal ubur-ubur dapat aku mafhumi dengan menengok latar belakang Hidayat Raharja sebagai guru biologi. Artinya, pengetahuan biologi menambah daya kreativitas bagi kepenyairannya.
Penyair dan guru biologi: dua bidang yang berbeda itu telah dikolaborasikan Hidayat Raharja. Tidak heran, setelah membaca utuh puisi Ubur-ubur Merah, aku menemukan penyebutan plankton, sarcodina, lili laut, bintang ular, dan bintang laut. Puisi Ubur-ubur Merah membuka penggambaran pernak-pernik biota laut di sekeliling kehidupan ubur-ubur. Kolaborasi yang dilakukan Hidayat Raharja seolah eksperimen terhadap dunia-yang-menjadi yang bebas memasukkan aneka makhluk tanpa menyebut aku-lirik.
Begitulah, aku menggaris Hidayat Raharja yang memanfaatkan dua bidangnya untuk menulis puisi Ubur-ubur Merah. Penggarisanku tersebut muncul demi mengaitkan hasil pembacaanku pada beberapa esai perihal pengalaman dan pengamatan Hidayat Raharja, selaku guru Biologi dan kepala sekolah SMA Negeri 4 Sampang, seperti permasalahan sekolah, metode pengajaran guru, hingga kegiatan peserta didik. Beberapa esai itu termaktub dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang aku layout (tata) menjadi buku.
Hidayat Raharja menulis bahwa SMA Negeri 4 Sampang bersama sekolah yang ada di sekitarnya saling bersaing mendapatkan peserta didik. Juga, persoalan lain dari SMA Negeri 4 Sampang, yaitu: keterbatasan fasilitas. Persaingan dan persoalan lain tersebut harus diminimalisir SMA Negeri 4 Sampang dengan kolaborasi. Hidayat Raharja—dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka—menulis: “…Di sinilah kerja kolaboratif berlangsung dan menjadikan belajar sebagai sebuah aktivitas menarik, ruang kelas lebih fleksibel serta pembelajaran lebih kondusif mengikuti kemauan siswa.
Lalu, apa kaitan antara Hidayat Raharja yang menulis puisi Ubur-ubur Merah dengan SMA Negeri 4 Sampang yang mencanangkan kolaborasi? Aku menganggap benang merah dari kaitan tersebut adalah kesadaran pemanfaatan sesuatu yang dekat. Berbeda dengan Hidayat Raharja yang sadar memanfaatkan dua bidangnya, para guru di SMA Negeri 4 Sampang harus mengetahui ketertarikan peserta didik. Sebab itu, Hidayat Raharja menganalisis apa kebutuhan peserta didik di SMA Negeri 4 Sampang.
Salah satu analisis Hidayat Raharja adalah mengetahui beberapa peserta didik begitu asing dengan buku ketika SMA Negeri 4 Sampang menerapkan program Jumat Literasi. Hidayat Raharja tidak menyalahkan beberapa peserta didik yang begitu asing dengan buku. Justru, Hidayat Raharja—dalam esai Jumat Literasi—menulis: “…Inilah anak-anak istimewa yang saya miliki, memendam potensi dan belum mampu kami ungkapkan…” Artinya, guru harus hadir sebagai kunci untuk membuka pintu wawasan peserta didik.
Upaya membuka pintu wawasan peserta didik telah dilakukan para guru SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Pohon Tanah Tandus, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran yang menghubungkan materi pengajaran dengan dunia nyata, seperti Bu Melli yang berangkat dari pengalaman peserta didik untuk memasuki permasalahan ekonomi secara luas, atau Bu Tika melakukan pendekatan personal karena peserta didik yang heterogen. Serta, lewat esai Ruang Kelas yang Luas dan Terbuka, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran tidak hanya dalam kelas, seperti Bu Purnamawati memberikan tugas resume kepada peserta didik terhadap kompetensi dasar fisika melalui aplikasi Tiktok, Bu Fauziyah Wahyuni—ketika suatu tatap muka terbatas di kelas—membawa tanaman Pterydophyta (paku-pakuan) demi menerangkan strutur tubuh tanaman secara kongkret kepada peserta didik, Bu Musdalifah—pengajar pelajaran pendidikan kewirausahaan—mengajak peserta didik untuk mengelola kebun mini, atau Bu Debby Eka Wulandari mengajak murid ke situs sejarah lokal sebagai sumber pengetahuan.
Dalam pengamatanku, pengajaran para guru tersebut—di paragraf atas—ternyata sama-sama memiliki satu tujuan, yaitu: Berharap peserta didik tidak lagi berjarak menerima pengajaran guru. Karena pengajaran bisa berada di luar kelas dan tidak lagi kaku, guru memanfaatkan sesuatu yang dekat bagi peserta didik. Dan, muncul kreativitas antar guru untuk kolaborasi pelajaran—juga kolaborasi dengan instansi atau praktisi dari luar sekolah—demi mengingatkan peserta didik, bahwa ilmu pengetahuan begitu lekat dengan kehidupan. Yang terpenting dalam pengajaran, peserta didik bukanlah obyek, melainkan subyek yang mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dan potensi.
Kolaborasi
Kolaborasi, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002), adalah (perbuatan) kerja sama (dengan musuh dan sebagainya). Entah kenapa pengertian tersebut mengandung “musuh” yang mencitrakan pertentangan. Meski begitu, aku menganggap maksud “musuh” sebagai beberapa bidang berlainan yang memiliki kesamaan tujuan. Sehingga, kerja sama antar beberapa bidang berlainan dapat membentuk lawan-duet, bukan lawan-adu. Dan, lawan-duet tidak menunjukkan kekontrasan, justru menghasilkan keharmonisan.
Dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja, kolaborasi seolah strategi pendidikan. Jadi, kolaborasi memungkinkan perbedaan pelajaran yang diajarkan setiap guru tidak lagi berdiri sendiri. Juga, kolaborasi menciptakan kreativitas bagi setiap guru untuk meletupkan potensi peserta didik, dan mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan bersinambungan dengan kehidupan. Sekarang, aku mengutip salah satu paragraf yang ditulis oleh Hidayat Raharja dalam esai Pembelajaran Kolaboratif, yaitu:
Pada kesempatan yang lain saya pernah menghubungkan antara pelajaran biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan. Sebuah irisan di antara ketiganya berangkat dari teknologi pangan, kewirausahaan dan pelajaran Bahasa Indonesia. Berangkat dari Kompetensi Dasar teknologi pengolahan pangan (Bioteknologi) saya mengambil topik mengenai fermentasi. Kami mengajak siswa untuk membuat fermentasi pisang kepok. Hasil fermentasi pisang itu harus mereka olah menjadi kue untuk mata pelajaran kewirausahaan. Dan, dari proses hingga hasil fermentasi pisang, juga pengolahannya, harus dijadikan laporan kegiatan mereka untuk dinilai dan didiskusikan saat pelajaran bahasa Indonesia.
Kutipan di atas bercerita pengalaman Hidayat Raharja perihal kolaborasi tiga pelajaran (biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan) di SMA Negeri 1 Sumenep (sebelum menjadi guru dan kepala sekolah di SMA Negeri 4 Sampang). Aku mengetahui kolaborasi tiga pelajaran terhubung ke beberapa proses kegiatan belajar, mulai dari fermentasi pisang kepok dan mengolahnya sebagai kue, lalu berakhir pada laporan yang didiskusikan peserta didik. Aku menangkap beberapa proses kegiatan belajar itu dapat memberikan gambaran kepada peserta didik perihal ilmu pengetahuan di kehidupan.
Lewat pisang kepok, aku menemukan kesinambungan antara ilmu pengetehuan dengan kehidupan. Tapi, aku menengok kolaborasi tiga pelajaran dilakukan peserta didik dari kelas IPA. Aku membayangkan peserta didik dari kelas IPS bisa terlibat dengan mengganti pelajaran biologi dengan ekonomi. Mirip Bu Melli yang mengajar pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mensimulasi berapa harga produksi, harga jual, serta keuntungan apabila menjual olahan pisang kepok di kantin atau warung terdekat. Aku menimbang cara kolaborasi dapat saling menyatukan antar pelajaran sesuai konteks ilmu pengetahuan yang disampaikan guru.
Dari pengalaman di SMA Negeri 1 Sumenep, Hidayat Raharja turut menceritakan kolaborasi di SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Mengembangkan Bakat Siswa SMA Negeri 4 Sampang Bersama DoubleK Batik, aku membaca kolaborasi tidak hanya pelajaran belaka. Ekstrakurikuler (kegiatan tambahan di luar jam pelajaran) dapat berkolaborasi dengan instansi atau praktisi di luar sekolah demi mengajarkan sesuatu apa yang tidak diperoleh di kelas, seperti Bu Dewi Wahyuni dan Bapak Abd. Wahid Hamidullah berkolaborasi dengan DoubleK Batik, home industry dari Sampang.

Keterangan: Siswa SMA Negeri 4 Sampang berlatih membatik di DoubleK BatikFoto: Hidayat Raharja |
Hidayat Raharja menulis tujuan kolaborasi DoubleK Batik adalah peserta didik SMA Negeri 4 Sampang mampu mengendalikan diri dan mengembangkan kreativitas. Peserta didik SMA Negeri 4 Sampang belajar membuat pola, memalam, dan mewarnai. Lain itu, peserta didik dapat belajar memahami makna tanggung jawab, seperti disiplin waktu. Bu Sri Krisna dan Pak Kikana Rahman (pemilik DoubleK Batik) turut membuka peluang bagi peserta didik SMA Negeri 4 Sampang yang antusias dapat langsung belajar di DoubleK Batik.
Aku juga membaca catatan Hidayat Raharja perihal SMA Negeri 4 Sampang menerima kolaborasi dari instansi atau praktisi dari luar sekolah, seperti Tanglok Art Forum yang mempresentasikan hasil riset Pangeran Trunojoyo berupa lecture performance, pertunjukan tari, dan pameran seni rupa. Aku mengetahui peserta didik SMA Negeri 4 Sampang (dan kehadiran peserta didik dari sekolah yang lain) dapat belajar mengenai sosok Pangeran Trunojoyo yang direpresentasikan hasil riset para seniman partisipan.
Dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka, Hidayat Raharja menulis salah satu manfaat peserta didik terhadap kehadiran Tanglok Art Forum: “…Ruang belajar yang memungkinkan untuk menghubungkan antar hal antara seni, estetika, sejarah, dan distribusi pengetahuan yang simpang siur di antara mereka…” Apa yang ditulis oleh Hidayat Raharja tersebut mengubah pengertian ruang, yaitu: bidang-bidang (alas, dinding, dan langit-langit) yang saling bersambung membentuk volume.

Keterangan: Kegiatan diskusi Hari Ini Belajar Sejarah.Foto: Muhammad Azmil Ramadhan |
Pengertian ruang yang berubah telah memvisualisasikan ruang belajar bagi peserta didik bukan lagi menunjuk kelas yang berisi kursi, meja, atau papan tulis. Tapi, peserta didik masuk ke ruang belajar lain, yaitu: panggung pertunjukan dan ruang pameran. Aku membayangkan peserta didik dapat menyerap ilmu pengetahuan dari karya seni yang meletupkan impresi dan interpretasi. Dan, peserta didik menerima pantulan pengalaman intelektual lewat presentasi hasil riset dari Tanglok Art Forum.
Pembacaanku pada naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja menambah pemahamanku perihal ruang yang diinginkan penghuni. Mengetahui keistimewaan peserta didik SMA Negeri 4 Sampang, Hidayat Raharja mengabarkan bagaimana para guru ikut berperan merancang ruang belajar sesuai kebutuhan dan aktivitas. Ruang belajar itu diharapkan tidak mati. Justru, mendidihkan keingintahuan peserta didik. Kolaborasi adalah cara SMA Negeri 4 Sampang untuk menghidupkan ruang belajar.**
Catatan: Tulisan ini merupakan pembacaan pembuka untuk buku Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang segera terbit.
Daftar Pustaka
Hasan Alwi—Pimpinan Redaksi (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017
Sebuah pesan disampaikan Mira MM Astra—penyair asal Bali—kepadaku, kurang lebih begini: “Kamu harus belajar musik”. Bagiku, pesan itu terlalu pendek. Tapi, aku tidak bisa meminta penjelasan dari pesan itu setelah Mira MM Astra mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah penyampai pesan dari pembuat pesan. Aku terkejut mengetahui pembuat pesan adalah Umbu Landu Paranggi—penyair asal Bali. Entah kenapa, gara-gara mengetahui nama Umbu Landu Paranggi, aku menganggap pesan itu sebagai masukan untuk proses kepenyairan.
Aku lupa tahun berapa Mira MM Astra menyampaikan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Yang jelas, aku masih berstatus mahasiswa, barangkali antara tahun 2016 s.d. 2017. Dan, aku menyetujui pesan itu, meski tidak memahami belajar musik. Apalagi, aku tidak memiliki kemampuan bermusik, yaitu: menyanyikan lirik lagu dan memainkan alat musik. Perihal mendengarkan lagu, aku hanya menerima apa saja. Toh, aku tidak betul-betul menggandrungi lagu yang dibawakan penyanyi atau grup band tertentu.
Sial, memang, pesan dari Umbu Landu Paranggi terlalu “gelap” untuk aku amalkan. Sehingga, aku memahami musik sebatas terombang-ambing suasana akibat lagu yang disetel orang lain, misal mendengar lagu dangdut di kabin bis antar provinsi. Atau, aku terhanyut oleh lagu tema pada sebuah tontonan. Padahal, dalam terombang-ambing serta terhanyut, aku bisa saja menghapalkan lagu yang terdengar, atau menelisik unsur lagu yang menempel di telinga, tapi aku enggan menganggap hal tersebut sebagai belajar musik.
Pada 6 April 2021, Umbu Landu Paranggi meninggal di RSUD Bali Mandara. Dunia sastra Indonesia berduka. Para sastrawan berbelasungkawa di media sosial. Juga, beberapa sastrawan mengenang pribadi Umbu Landu Paranggi lewat kisah. Meski tidak pernah bertemu, aku turut mengenang Umbu Landu Paranggi sebagai pengamat yang mengharapkan potensi penyair. Contoh harapan potensi penyair adalah pesan dari Umbu Landu Paranggi yang disampaikan Mira MM Astra kepadaku.
Dua tahun kemudian—sejak Umbu Landu Paranggi meninggal—aku mendapatkan buku puisi Melodia (2023) yang diterbitkan Pustaka Ekspresi bekerja sama dengan Jatijagat Kehidupan Puisi. Buku puisi Melodia adalah kumpulan puisi karya Umbu Landu Paranggi yang disusun oleh Wayan Jengki Sunarta. Ketika aku membaca judulnya, aku merasa buku puisi Melodia berhubungan dengan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Hubungan yang menarik diriku secara tidak langsung ke penjelasan belajar musik.
Belajar Melodia
Wayan Jengki Sunarta—dalam Pengantar Penyusun—menerangkan bahwa pemilihan judul Melodia merujuk dari salah satu judul manuskrip kumpulan puisi karya Umbu Landu Paranggi; serta merujuk puisi Melodia yang menggambarkan sosok dan kehidupan Umbu Landu Paranggi.[1] Apa yang diterangkan Wayan Jengki Sunarta bikin aku lega. Sebab, aku menganggap belum mengamalkan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Jadi, buku puisi Melodia dapat menjadi pintu masukku menuju musik yang dimaksud oleh Umbu Landu Paranggi.
Sekarang, aku menilik baris tiga dan empat di bait pertama dalam puisi Melodia, yaitu: “/baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara/ dunia luar sana/”[2] Penilikan dua baris itu menyadarkan aku agar lebih mengenal suara sendiri ketika menjumpai aneka suara dari luar.
Tafsirku: korek suara sendiri yang mendengungkan realitas. Pengorekan suara sendiri dapat menandakan kesadaran penyair untuk mengendapkan “sesuatu” sebelum mengeluarkanya sebagai dunia-yang-menjadi pada hasil penciptaan puisi.
Perihal pengendapan imaji, aku mengingat pengantar Rantau, ‘Sparring Partner’, Silaturahmi yang ditulis oleh Raudal Tanjung Banua dalam buku puisi Gugusan Mata Ibu (2005). Pada pengantar itu, aku membaca salah satu pengalaman Raudal Tanjung Banua di Sanggar Minum Kopi, yaitu: Umbu Landu Paranggi yang kejam memuat satu puisi dari segepok puisi milik rekan penyair. Raudal Tanjung Banua menulis alasan keputusan Umbu Landu Paranggi: “…tingginya pengulangan dan keseragaman, atau kurangnya pengendapan….”[3]
Apa yang dinilai kejam oleh Raudal Tanjung Banua terhadap keputusan Umbu Landu Paranggi yang memuat satu puisi dari segepok puisi milik rekan penyair telah memberikan pelajaran penting bagiku. Pelajaran penting itu adalah keteledoran penyair yang terjebak menjadi mesin ala konfeksi. Sehingga, jika terjadi pengulangan dan keseragaman, tidak ada perbedaan antara puisi pertama dengan puisi kedua—juga puisi yang lain—di hadapan pembaca. Serta, pembaca tidak mendapat “gereget” pada puisi yang kurang pengendapan.
Pengalaman Raudal Tanjung Banua mengenai keputusan Umbu Landu Paranggi dalam pengantar Rantau, ‘Sparring Partner’, Silaturahmi turut memberikan pemahaman bagiku ketika membaca baris lima, enam, dan tujuh di bait ketiga dalam puisi Melodia, yaitu: “/begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh/ coretan/ selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam manja bujukan//”[4] Aku menangkap pembacaan tiga baris itu adalah penggambaran penyair yang memperlakukan puisi-puisinya selayak makhluk hidup.
Aku membayangkan bagaimana keintiman penyair yang memperlakukan puisi-puisinya selayak makhluk hidup. Keintiman lewat penentuan diksi yang tepat, penggubahan realitas ke imaji, hingga penyajian penuh kalkulasi. Seolah, penyair tidak akan melepas puisi-puisinya, hanya selalu bermesraan belaka, juga saling bertukar cakap dan kemauan. Apabila mampu berbekal dan kuat berpetualang, penyair bersuka cita mengantarkan puisi-puisinya ke lidah pembaca, membiarkan puisi-puisinya berganti tinggal dari penyair ke pembaca.
Lewat puisi Melodia, aku menakwil pesan dari Umbu Landu Paranggi sebagai simbol. Bukan musik yang menunjuk komposisi nada, menggaris alasan kemerduan, menyebut sumber bunyi, hingga mengukur gelombang bunyi. Tapi, keberadaan musik yang harus disadari penyair agar tahu kapan waktu menggetarkan pita suara, membunyikan bahasa, serta mengampukan tempo. Dan, keberadaan musik yang bikin penyair dapat menggubah setiap puisi dengan perbedaan corak yang beragam warna.
Etos Kerja Penyair
Bagiku, buku puisi Melodia bukan sekadar dokumentasi puisi-puisi karya Umbu Landu Paranggi. Justru, sangat penting, jika aku menengok Umbu Landu Paranggi yang misterius, seperti kesanku membaca keterangan Putu Fajar Arcana ketika mewawancarainya: “Umbu relatif tidak tercatat sebagai penyair dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karyanya tidak banyak dikenal karena memang ia jarang memublikasikannya. Tetapi, anehnya, semua seniman, setidaknya generasi 1960-an sampai 2000-an, mengaku pernah bersentuhan dengannya…”[5]
Lain itu, Umbu Landu Paranggi mengungkapkan kenapa pilihan kepenyairannya tidak seperti penyair yang disebut oleh Putu Fajar Arcana: “Semua punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa Indonesia bukan sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan orang-orang yang bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi mantra. Ia ibarat amarah suci sebuah angkatan… 17 tahun kemudian terbukti terjadi proklamasi.”[6]
Pilihan kepenyairan Umbu Landu Paranggi lebih sesuai disebut “kehidupan puisi”, sebuah idiom merujuk pengakuan Emha Ainun Nadjib dalan esai Presiden Malioboro untuk Umbu yang ditayangkan Kompas (16/12/2012).[7]
Dalam buku puisi Melodia, aku mencermati “kehidupan puisi” yang ditampakkan Umbu Landu Paranggi adalah etos kerja penyair ketika menciptakan puisi. Barangkali, Umbu Landu Paranggi berpendirian bahwa puisi-puisinya memiliki jalan berbeda sehingga tidak ada karya yang final meski telah dipublikasikan di media tertentu.
Jalan berbeda puisi-puisi karya Umbu Landu Paranggi bisa aku tengok pada empat puisi yang memiliki versi dalam buku puisi Melodia, antara lain: Percakapan Selat (tiga versi); Sajak Kemarau (tiga versi); Kuda Merah (dua versi); dan Kuda Putih (dua versi). Wayan Jengki Sunarta—pada Pengantar Penyusun—menerangkan bahwa empat puisi yang memiliki versi dalam buku puisi Melodia mengalami swasunting.[8] Sekarang, aku meraba etos kerja penyair yang dilakukan Umbu Landu Parangi lewat analisis tiga versi puisi Percakapan Selat, yaitu:

Keterangan: Tiga versi puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi dalam buku puisi Melodia.
Sumber: Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Percakapan Selat Versi 1, Hal: 43); (Percakapan Selat Versi 2, Hal: 45) dan (Percakapan Selat Versi 3, Hal: 60).
Setelah memerhatikan tiga versi puisi Percakapan Selat di atas, aku memberikan beberapa warna pada badan puisi. Berikut penjelasanku perihal arti beberapa warna: biru berari ada kesamaan diksi, frasa, dan baris pada versi 1, versi 2, dan versi 3; hitam berarti tidak ada kesamaan diksi, frasa, dan baris pada versi 1, versi 2, dan versi 3; merah berarti ada kesamaan diksi pada versi 1 dan versi 2; hijau berarti ada kesamaan diksi dan frasa pada versi 2 dan versi 3; serta oranye berarti ada kesamaan diksi versi 1 dan versi 3.
Kalau memperhatikan versi 1, pink bukanlah fokus analisis, sebab hanya menandakan kecurigaan perihal kata “burung” yang seharusnya tidak terpotong dengan baris “/namun membujuk jua langkah, pantai, mega lalu burung-/”. Meski begitu, pink seharusnya bewarna hitam karena tidak ada kata “burung” atau “burung-burung” dalam versi 2 dan versi 3. Aku sangat menyayangkan andai alasan penempatan kata “burung” adalah tipografi puisi Percakapan Selat versi 1 tidak dapat menyesuaikan lebar buku puisi Melodia.
Aku memperhatikan bentuk tipografi: Pada versi 1, bait pertama dan kedua sama-sama berisi empat baris dan sama-sama berpola rima /a-a-b-b/, sedangkan bait ketiga berisi tujuh baris yang berpola rima /a-a-b-b-a-c-a/; lalu pada versi 2 dan versi 3, tiga bait sama-sama berisi empat baris dan sama-sama berpola rima /a-a-b-b/. Juga, aku memperhatikan penggunakan huruf kapital, yaitu: Pada versi 1 dan versi 3, huruf kapital menjadi kata pertama pada baris pertama setiap bait; sedangkan, pada versi 2, huruf kapital ada pada baris pertama dan baris ketiga setiap bait.
Ada keanehan ketika aku memperhatikan perbedaan tarikh, yaitu: versi 1 dan versi 2 sama-sama bertarikh 1966 (tanpa menyebut tempat penciptaan); sedangkan versi 3 bertarikh 1968 (tempat penciptaan di Yogya). Aku tidak tahu kenapa ada perbedaan tarikh yang terpaut dua tahun. Apakah Umbu Landu Paranggi memaknai swasunting versi 3 sebagai kelahiran baru? Sangat sulit menjawab pertanyaan itu setelah aku mengetahui pemuatan muktahir justru versi 2 di Pusara, No. 43/3 (Maret 1974), bukan versi 3 di Sinar Harapan (9 Oktober 1972).
Setelah memperhatikan secara saksama, aku mulai menganalisis setiap versi puisi Percakapan Selat di atas. Lewat biru, aku mengamati setiap kata, frasa, dan baris tetap dipertahankan Umbu Landu Paranggi pada versi 1, versi 2, dan versi 3. Tapi, lewat hitam pula, aku menyadari ada kata, frasa, dan baris yang hanya dimunculkan Umbu Landu Paranggi pada versi 1, versi 2, dan versi 3. Sehinga, hitam pada versi 3 seolah akhir swasunting puisi Percakapan Selat lewat kabaruan kata, frasa, dan baris yang tidak ada pada versi 1 dan versi 2.
Aku tertarik mengamati merah, hijau, dan oranye. Sebab, lewat merah, kata “sampai” dan “menderu” dari versi 1 sempat dipertahankan Umbu Landu Paranggi pada versi 2, sebelum dihilangkannya pada versi 3. Atau, lewat hijau, banyak kata dan frasa dimunculkan Umbu Landu Paranggi pada versi 2, dan dipertahankannya pada versi 3 meski mengalami modifikasi susunan baris. Sedangkan, lewat oranye, Umbu Landu Paranggi kembali menyisipkan kata “resah” pada versi 3, padahal kata “resah” ada pada versi 1 dan dihilangkannya pada versi 2.
Apakah Umbu Landu Paranggi yang menyisipkan kata “resah” pada versi 3 adalah kebetulan? Pertanyaan itu muncul akibat pemungutan kata “resah” dari versi 1, padahal telah dihilangkan pada versi 2. Jawabanku: Barangkali tidak kebetulan. Atau, barangkali Umbu Landu Paranggi menyimpan puisi-puisi sebelum swasunting demi pertimbangan ke depan. Sebab, aku membaca puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi yang tayang di Bali Post (2/11/2014).[9] Di bawah ini, perhatikan puisi Percakapan Selat yang tayang di Bali Post, yaitu:

Keterangan: Puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi versi Bali Post dan penampakan buku puisi Melodia serta kliping puisi-puisi Umbu Landu Paranggi yang tayang di Bali Post.
Sumber: Bali Post (2 November 2014), rubrik Apresiasi, halaman 19.
Oh ya, dalam tulisan ini, aku menyebut Percakapan Selat yang tayang di Bali Post sebagai versi Bali Post, bukan versi 4. Sebab, versi Bali Post tidak masuk dalam buku puisi Melodia. Aku ingin menghindari kerancuan. Lalu, berbeda dengan versi 1, versi 2 dan versi 3, justru versi Bali Post memiliki tipografi tidak berbait atau kuatrin; huruf kapital pada awal kata di setiap baris, dan tidak memiliki tarikh. Dan, aku mencermati, ternyata isi puisi pada versi Bali Post hampir sama dengan versi 1, bukan versi 2 atau versi 3.
Perbedaan isi puisi antara versi Bali Post dengan versi 1 adalah penggunaan kata “selalu” pada baris kedua versi Bali Post; dan penggunaan kata “lalu” pada baris kedua versi 1. Sehingga, dalam versi Bali Post, aku membaca: “/Sepi yang selalu dingin gumam terbantun di buritan/”; sedangkan, dalam versi 1 (termasuk versi 2 dan versi 3), aku membaca: “/sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan/”. Lebih lanjut, tidak ada baris “/saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru//” pada versi Bali Post, padahal baris itu ada pada versi 1.
Versi Bali Post menunjukkan hasil swasunting versi 1. Seolah, versi 1 adalah batang; versi 2 dan versi Bali Post adalah cabang dari batang versi 1; dan versi 3 adalah ranting dari cabang versi 2. Tapi, Umbu Landu Paranggi tidak mengerjakan swasunting puisi secara kontinu. Maksud kontinu adalah puisi yang selalu diperbarui dengan menghilangkan bekas revisi. Sebab, versi 2 masih menjadi pilihan Umbu Landu Paranggi untuk memublikasikan ke media tertentu, padahal versi 3 sudah pernah tayang.
Aku membayangkan Umbu Landu Paranggi tetap selalu menyimpan puisi-yang-pertama sebagai embrio yang dapat ditumbuhkan ke versi terbaru, dari versi terbaru yang dapat ditumbuhkan ke versi terbaru lagi.
Tapi, versi terbaru atau versi terbaru lagi tetap kuat mempertahankan isi puisi-yang-pertama, meski mengalami perubahan struktur. Beragam versi puisi Percakapan Selat seolah merefleksikan jawaban Umbu Landu Paranggi ketika diwawancara oleh Putu Fajar Arcana: “…Seni itu sangkan paraning dumadi. Mempertanyakan kembali kedirian kita….”[10]
Kenapa harus mempertanyakan kedirian kita? Bukankah akan menghasilkan kesia-siaan, mirip ilustrasi perihal keraguan seorang “penulis hebat” yang tidak pernah lagi menerbitkan karyanya. Ilustrasi itu ada pada esai Menulis Sungguh-Sungguh dan Menulis Pura-Pura dalam buku Solilokui (1984) karya Budi Darma, yaitu: “…Karena itulah dia menyibukkan diri dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia dapat mengubah-ubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalau perlu sampai puluhan kali. Akhirnya dia tidak pernah menyelesaikan apa-apa.”[11]
Aku tidak boleh gegabah membandingkan jawaban Umbu Landu Paranggi ketika diwawancara oleh Putu Fajar Arcana dengan ilustrasi “penulis hebat” (mengacu tulisan Budi Darma). Sebab, latar belakang dari ilustrasi “penulis hebat” itu adalah bertindak dengan napsu, tapi ragu-ragu atas tindakannya. Sebaliknya, Umbu Landu Paranggi sering menggumamkan kata “tanam” dan “taman”, yang sama-sama memiliki kesan: “Dua patah kata filosofis yang mengandung kedalaman renungan. Dua patah kata yang menggetarkan jiwa.”[12]
Daftar Pustaka
Budi Darma (1984), Solilokui, Jakarta: Gramedia.
Raudal Tanjung Banua (2005), Gugusan Mata Ibu, Yogyakarta: Bentang.
Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi.
Emha Ainun Nadjib (Kompas, 16 Desember 2012), Presiden Malioboro untuk Umbu, hal: 20.
Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, hal: 23.
Umbu Landu Paranggi (2 November 2014), Percakapan Selat; Sajak Kecil; Solitude; Kata, Kata, Kata; Sabana; dan Ibunda Tercinta, Hal 19.
[1] Agar lebih memahami keterangan Wayan Jengki Sunarta, aku menulis ulang satu paragraf utuh pada Pengantar Penyusun dalam buku puisi Melodia karya Umbu Landu Paranggi: “Saya memilih judul Melodia untuk kumpulan puisi ini dengan merujuk pada judul salah satu manuskrip kumpulan puisi ULP. Selain itu, puisinya yang berjudul Melodia juga sangat legendaris dan sering dibacakan atau dijadikan mesikalisasi puisi oleh para pencinta sastra. Puisi itu juga mampu menggambarkan sosok ULP dan kehidupannya sebagai penyair. (Hal: ix).
[2] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 56).
[3] Raudal Tanjung Banua (2005), Gugusan Mata Ibu, Yogyakarta: Bentang. (Hal: viii).
[4] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 56).
[5] Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, Hal: 23.
[6] Ibid. Hal: 23.
[7] Dalam esai Presiden Malioboro untuk Umbu (Kompas, 16 Desember 2012), Emha Ainun Nadjib menulis: “…Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.” (hal: 20).
[8] Wayan Jengki Sunarta pada Pengantar Penyusun dalam buku puisi Melodia karya Umbu Landu Paranggi menulis: “Pada saat proses pengumpulan puisi, saya menemukan beberapa puisi ULP mengalami swasunting, dari revisi ringan hingga berat. Puisi-puisi tersebut dimuat di media yang berbeda. Dalam buku ini, saya tampilkan beberapa puisi yang mengalami swasunting dengan menambahkan kata “versi” pada judul puisinya….” (hal: vii-viii).
[9] Bali Post (2 November 2014), rubrik Apresiasi, halaman 19, menayangkan enam puisi karya Umbu Landu Paranggi, yaitu: Percakapan Selat; Sajak Kecil; Solitude; Kata, Kata, Kata; Sabana; dan Ibunda Tercinta.
[10] Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, Hal: 23.
[11] Budi Darma (1984), Solilokui, Jakarta: Gramedia. (Hal: 86).
[12] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 138).
1. Penciptaan
Kenapa seseorang ingin menjadi penyair? Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiranku. Tidak mudah aku jawab. Toh, aku tidak tahu alasan pasti perihal apa daya penyair yang segera menciptakan puisi. Aku hanya merasa penyair begitu bergairah ketika imajinasinya berkembang, lalu penyair mengkongkretkan imajinasinya ke bentuk tulisan (baca: puisi). Terakhir, penyair ingin menunjukkan puisi yang selesai diciptakannya kepada pembaca.
Kalau aku menengok beberapa proses kreatif penyair, puisi terlahir lewat penentuan diksi, pengaturan tipografi, penyelarasan bunyi, hingga pengocokan emosi. Aku menelisik proses kreatif penyair adalah pengkristalan hasil tangkapan pancaindera dan pengalaman. Sebab itu, penyair bersusah payah mendekati bahasa dari buku, lisan, peristiwa, hingga mitos. Atau, penyair berupaya merespon bahasa yang hidup di lingkungannya.
Pertanyaan pada awal tulisan ini pernah muncul lagi dalam pikiranku ketika Mardi Luhung mempertanyakan arti puisi pada pembuka buku puisinya, yaitu: Gerbang Bandar (2023). Aku membaca pembuka tersebut, lalu sempat berpikir: Penciptaan puisi bisa menimbulkan keraguan bagi seorang penyair demi keberlangsungan kepenyairannya. Seolah, penciptaan puisi bagi seorang penyair bukanlah kerja yang saklek, melainkan pencarian yang capek.
Selain itu, dalam pembuka buku puisi Gerbang Bandar, aku menangkap Mardi Luhung yang keheranan mengetahui puisi-puisinya dianggap tak masuk akal, semau gue, dan fantastis. Barangkali, anggapan tersebut sangat dihindari Mardi Luhung agar tidak terjebak pada “stempel”. Dan, Mardi Luhung menulis: “…Yang jelas, ketika kalimat pertama terpilih, maka karya sastra yang akan aku tulis, adalah cermin yang menegak di hadapanku…”[1]

Kemudian, aku membaca catatan pendamping yang ditulis oleh A Muttaqin dalam buku puisi Gerbang Bandar. A Muttaqin mengungkapkan bahwa pembacaan puisi mirip menghitung angka “rajah” susunan Imam Ghazali yang selalu berjumlah lima belas.[2] Jadi, pelbagai pembacaan puisi yang dimulai dari arah mana saja, masing-masing pembaca akan berakhir mendapatkan ujung yang sama pada puisi yang dibacanya.
Apa yang diungkapkan A Muttaqin tiba-tiba mengingatkanku pada kisah Orang-Orang Buta dan Gajah dalam buku Kisah-Kisah Sufi (1984) yang dikumpulkan Idries Shah. Kisah itu membahas orang-orang buta yang menilai wujud gajah[3]. Sebab itu, wujud gajah mengalami penilaian yang berbeda dari sudut pandang setiap orang-orang buta. Dan, kisah itu mengandung hikmah perihal perberbedaan pendapat yang sebenarnya beresensi sama.
Aku merasa pembuka dari Mardi Luhung dengan catatan pendamping dari A Muttaqin (yang aku kutip di atas) sama-sama meluncurkan garis ke segumpal pemahaman, bahwa sejauh mana aneka makna yang dilayangkan pembaca tetap tidak dapat melepaskan puisi dari ikatan penciptanya (baca: penyair). Sehingga, jangan-jangan, anggapan tak masuk akal, semau gue, dan fantastis, merupakan tindakan jalan pintas dari pembacaan puisi yang tak utuh.
Dan, lewat ungkapan lain pada catatan pendamping dari A Muttaqin, aku mendapatkan perenungan, bahwa penyair menulis puisi tidak untuk saling mengalahkan satu sama lain.[4] Aku membayangkan penyair bersikeras menjaga ketenangan serta kerendahan hati demi berhasil menciptakan puisi. Aku jadi mengingat pertanyaan pada awal tulisan ini: “Kenapa seseorang ingin menjadi penyair?” Jawaban sementaraku: Usaha seseorang untuk mengalahkan dirinya sendiri.
2. Penataan
Mardi Luhung (Ayahku) memberikan sebuah naskah puisi berjudul Manuskrip Sumur Resapan kepadaku. “Tolong segera kamu layout (baca: tata) naskahku ke bentuk buku,” ucap Mardi Luhung. “Ukuran berapa bukunya, Yah. Apa aku sesuaikan ukuran buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya (salah satu karya Mardi Luhung), Yah?” balasku. Mardi Luhung hanya meng-iya-kan, dan memintaku untuk cepat menyelesaikan naskahnya ke bentuk buku.
Kenapa Mardi Luhung meminta cepat? Sebab, Mardi Luhung ingin mempersembahkan buku puisi sebagai kado pernikahan bagi anak perempuannya, atau adikku. “Aku tidak punya apa-apa selain naskah puisi. Aku berharap buku puisi dapat menandakan kebahagiaan yang diberikan penyair untuk keluarganya,” ucap Mardi Luhung. Meski terdengar heroik, aku turut setuju bahwa harta penyair hanyalah puisi.
Lalu, ada keasyikan ketika bertugas menata naskah ke bentuk buku. Keasyikan itu adalah aku turut membaca puisi-puisi Mardi Luhung dalam naskah Manuskrip Sumur Resapan. Aku menyadari puisi-puisi yang aku tata merupakan bagian dari kesibukan Mardi Luhung selaku Ketua RT. Sehingga, aku menangkap bahwa Mardi Luhung—lewat pancaindera dan pengalaman, juga mendekati dan merespon bahasa, yang ditulisnya selaku Ketua RT—mengaduk puisi-puisinya dengan menuangkan sejarah lokal, spiritual, dan kondisi sosial tempat tinggal kami.
Penuangan sejarah lokal yang kental bisa aku ketahui, misal pembacaan penggalan puisi yang berjudul Polaman berikut ini: “Dan bagaimana bisa aku lupa pada sebatang pohon sono. Yang di sebelahnya, sang guru utusan menggali sumur. Sumur jadi telaga. Telaga jadi tempat mencuci diri. Mencuci hati. Dan mencuci sajadah. Yang tergelar demikian panjang sampai pada tempat bendera berkibar.” Aku mengetahui judul puisi dan meraba penggalan puisi itu, bahwa Mard Luhung memasuki kisah sumber mata air sebagai cikal bakal Desa Suci (Kabupaten Gresik).
Kemudian, penuangan spiritual dalam puisi-puisi Mardi Luhung bisa aku mulai pada penggalan penutup puisi Kepada Umur: “…Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa apa-apa yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan telah, telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu sendiri.”; lalu pembuka puisi Sajak Umur 60 Tahun: “Bianto telah pergi. Usman telah pergi. Juga Agus, Rustam, dan beberapa teman lain juga telah pergi. Kini, mungkin tinggal Tomo. Tomo seperti aku bergigi ompong…”
Jika aku menelisik tarikh (puisi Kepada Umur bertarikh 2019 dan puisi Sajak Umur 60 Tahun bertarikh 2022), seolah sekuen yang mengarahkan Mardi Luhung ke kesadaran makna kehidupan. Aku mengira hasil kesadaran itu bisa dihubungkan pada penggalan puisi Kulit Bawang berikut ini: “Salah satu dari 40 hikmah yang kau baca itu berbunyi:
‘Segala apa yang telah diusahakan telah dibayar di depan. Karenanya tak tersisa. Dan tak ada yang bisa menolong penitian itu.’”
Terakhir, penuangan kondisi sosial tempat tinggal kami, bisa aku tengok pada puisi-puisi dalam subbab Program yang Berkelanjutan, yang memasukkan imaji kegiatan RT, sepert: kerja bakti, jaga kampung, kebersihan, penghijauan, penerangan, hingga PKK. Semua imaji itu mengikat manfaat yang ditulis Mardi Luhung pada penggalan penutup puisi Si Penulis Puisi Mengurus Soal-Soal Kampung: “Berbaik-baiklah pada genting rumah, sebab melindungi diri dari hujan dan panas. Berbaik-baiklah pada got, sebab melancarkan bekas cucian kampung ke sungai lepas.”
Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung bertanya: “Bagaimana menurutmu judul Manuskrip Sumur Resapan?” Aku menjawab kurang suka pemberian judul Manuskrip Sumur Resapan. Alasanku, terasa aneh andai pembaca mengetahui buku puisi yang dipegangnya masih terselip kata “manuskrip” pada bagian judul. Apalagi, sepengetahuanku, kata “manuskrip” merujuk tulisan atau ketikan yang bukan hasil cetakan.
Aku menyadari alasanku begitu lemah. Sebab, judul Manuskrip Sumur Resapan diambil oleh Mardi Luhung dari gabungan dua judul puisi yang termaktub dalam naskahnya, yaitu: puisi Manuskrip dan puisi Sumur Resapan. Kalau aku menengok puisi-puisi dalam naskah, judul Manuskrip Sumur Resapan bisa menjadi pintu terbuka bagi pembaca. Sehingga, di hadapan pembaca, puisi-puisi dalam naskah tidak berdiri sendiri.
“Bagaimana kalau judul Manuskrip Sumur Resapan berganti Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan?” tanya Mardi Luhung suatu hari. Mendengar pertanyaan Mardi Luhung tersebut, aku langsung kaget. “Bagus itu. Terasa arkais, tapi bisa masuk di masa sekarang, Yah,” ucapku. Lalu, atas permintaan Mardi Luhung, aku mengganti judul lama ke judul baru. Meski begitu, judul baru itu tidak benar-benar final.
Memang tidak benar-benar final. Apalagi, aku baru menyadari judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan terlalu panjang dan tidak cocok sebagai kado pernikahan. Setelah Mardi Luhung berdiskusi dengan A Muttaqin, judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan mengalami pengeditan. Pada akhirnya, penataan puisi-puisi Mardi Luhung berakhir dengan judul final: Gerbang Bandar.
Setelah penataan puisi-puisi Mardi Luhung, aku mulai menata beberapa lukisan Gupuh Priyanto (calon besan Mardi Luhung, sekaligus pelukis asal Gondanglegi, Kabupaten Malang) dan catatan pendamping dari A Muttaqin. Buku Puisi Gerbang Bandar benar-benar terlahir setelah salah satu lukisan Gupuh Priyanto selesai menjadi kover. Dalam rasa kebahagiaan menyelesaikan tugas, aku membaca halaman persembahan buku puisi Gerbang Bandar yang ditulis oleh Mardi Luhung: “Buat Jalan yang telah dipilih oleh Bening Siti Aisyah & Saleksa Srengenge semoga diberkahi Tuhan”.

Aku menelisik kata “Jalan“ yang dimiringkan dengan huruf “J” kapital. Artinya, kata “Jalan” yang ditulis oleh Mardi Luhung memiliki pengertian khusus. Sebab itu, aku mengangap buku puisi Gerbang Bandar sangat cocok sebagai kado pernikahan, minimal mengingatkan setiap kemana akan berlayar, bahtera rumah tangga tetap berakar, seperti penggalan pembuka puisi Tiga Puisi Nomor 58 berikut ini: “/1// Hidupmu adalah hidupmu. Seperti kuda belang atau kucing babon, itu pilihanmu. Yang pasti, bau lada, kunyit, dan jahe merah terus mengiringimu…”
3. Pertemuan
Di Manyar (Desa Suci, Kabupaten Gresik), Jumat, 7 Juli 2023, kira-kira pukul 07.30 WIB, orang-orang yang menghadiri ijab kabul telah sama-sama berucap sah, pertanda penghulu meresmikan Saleksa Srengenge dan Bening Siti Aisyah sebagai suami dan istri, sehingga keluarga Mardi Luhung berbesan dengan keluarga Gupuh Priyanto. Lalu, dari ijab kabul, acara pernikahan berlanjut ke walimah dan resepsi. Aku melihat para undangan disambut pengantin. Dan, aku merasa seharian rumah pengantin pihak perempuan memancarkan kebahagiaan meski hujan sempat lewat.
Dua hari kemudian (Minggu, 9 Juli 2023), acara pernikahan berpindah dari Manyar ke Gondanglegi (Kabupaten Malang). Kira-kira 11.30 WIB, keluarga Mardi Luhung bersilaturahmi ke Kopi Latar—rumah pihak laki-laki (keluarga Gupuh Priyanto). Lalu, setelah asar, keluarga Gupuh Priyanto dan keluarga Mardi Luhung didatangi teman-teman seniman yang tergabung dalam Komunitas Arepsego dan Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM). Kedatangan teman-teman seniman menjadi acara tersendiri dengan membuka diskusi.
Sebuah backdrop berukuran 3 x 2.5 meter terbentang. Dalam backdrop itu, aku membaca tajuk diskusi: Bincang Buku Gerbang Bandar Kumpulan Puisi. Di depan backdrop itu, Gupuh Priyanto dan Mardi Luhung duduk bersanding di sofa. Sebelum memulai diskusi, teman-teman seniman memperoleh suvenir berupa buku Gerbang Bandar. Mereka (teman-teman seniman) duduk secara acak di bangku sembari menikmati segelas kopi.
Marsam Hidayat, atau Cak Marsam, seniman macapat asal Kabupaten Malang, membuka diskusi dengan mengidungkan sebuah macapat (bentuk puisi Jawa tradisional). Setelah itu, Mardi Luhung bercerita perihal Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda (seniman tradisi macapat asal Gresik), bahwa seniman tradisi sebenarnya berpikiran modern. Lalu, Mardi Luhung menukil baris macapat yang dikidungkan Cak Marsam, “uwong ngesot ngideki jagat”. Terasa “ngeri” bagi Mardi Luhung yang mendengar “uwong ngesot ngideki jagat” dan menafsir sebagai kebaikan dan keburukan jadi satu.

Lewat Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda, Mardi Luhung membahas tidak ada kebetulan dalam kesenian, kecuali kebertemuan yang saling bertautan. Lalu, Mardi Luhung menghubungkan peristiwa pertama kali bertemu dengan Gupuh Priyanto di Kopi Latar. Akibat pertemuan itu, Mardi Luhung dapat menciptakan puisi—termaktub dalam buku puisi Gerbang Bandar—yang berjudul Gondanglegi.
Kemudian, Gupuh Priyanto mengisahkan bagaimana beberapa lukisannya menghiasi halaman di buku puisi Gerbang Bandar. Gupuh Priyanto mengaku baru mengetahui lukisan-yang-telah-jadi bisa sebagai ilustrasi. Padahal, Gupuh Priyanto membayangkan—ketika Mardi Luhung meminta lukisannya untuk buku puisi Gerbang Bandar—dirinya harus menciptakan lukisan baru. Lain itu, Gupuh Priyanto meminta kepada teman-teman seniman, setelah diskusi, dapat urun coretan di kanvas yang telah disiapkannya.
Pada seksi terakhir diskusi, Cak Marsam mengidungkan lagi beberapa macapat. “Kami ingin mengenalkan sebanyak-banyaknya tentang macapat Malangan,” ucap Cak Marsam yang sudah berpindah duduk di sebelah Mardi Luhung. Salah satu macapat yang dikidungkan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan.
Dan, aku mendengar: “//ayo bareng ayo dungo/ nyuwun seng nang kuasa/ ayo ayo bareng dungo/ menenteramkan nusantara//”.
Sebelum teman-teman seniman undur diri dari diskusi di Kopi Latar, sebingkai kanvas—kira-kira berukuran 60 x 60 centimeter dan telah tersapu warna oranye dan kuning—dihadirkan Gupuh Priyanto. Lalu, sesuai nama yang dipanggil oleh Gupuh Priyanto, satu per satu dari teman-teman seniman membumbuhi warna pada bagian kanvas. Hanya Mardi Luhung yang menuliskan sebuah tulisan buat Cak Marsam. Tulisan yang merespon baris “uwong ngesot ngideki jagat”, yaitu: “//orang lumpuh mengitari jagat/ cinta tak pernah sekarat//”.
Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung mengirimkan sebuah foto lukisan kepadaku. Lukisan itu adalah hasil final urun coretan setelah diskusi buku puisi Gerbang Bandar. Aku menelisik lukisan itu telah diselesaikan Gupuh Priyanto menjadi lukisan abstrak yang dinamis. Kedinamisan itu dapat aku rasakan dari beberapa goresan warna (merah, hitam, dan biru) yang membentuk garis diagonal. Dan, Gupuh Priyanto memberikan judul lukisan itu: Ikan-Ikan di dalam Angan.

Lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan membetot diriku untuk memahami lagi apa maksud kebertemuan yang diucapkan Mardi Luhung. Aku mengira lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan menjadi narasi lain, perihal pertemuan yang menggetarkan silang kreativitas, antara laut dan gunung, penyair dan pelukis, tradisi dan modern, hingga suami dan istri. Semua silang kreativitas itu adalah gerak dari pertemuan yang tak terduga. Pertemuan yang digariskan Tuhan. Sehingga, aku mengingat kembali kidungan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan, yang bahasa Indonesia utuhnya begini: “//ayo bersama ayo berdoa/ Minta Yang Maha Kuasa/ ayo ayo bersama berdoa/ menenteramkan nusantara//”.**
Daftar Pustaka
Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Yogyakarta: Basabasi.
Idries Shah (1984), Kisah-Kisah Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus
[1] Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Basabasi: Yogyakarta. (Hal: 10-11).
[2] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu: “Dalam beberapa hal, tatkala membaca puisi kita kerap dihadapkan pada perkara seperti menghadapi angka-angka susunan Imam Ghazali. Kita dapat membaca dan mendekati puisi itu dari mana saja, dengan teori yang kita ambil dari kanan dan kiri, menghubungkan dengan pengalaman ini dan itu yang kita pungut dari atas atau bawah, dari samping atau tengah, tapi kita tetap akan dihibungkan denga—dalam puisi Mardi Luhung “Kulit Bawang” disebut—semacam tali, yakni semacam susunan, bunyi, atau imaji yang kita gambar di kepala dan di sana kita akan mendapati sesuatu, semacam pola , urutan, atau susunan yang kita sebut makna, mendapatkan angka 15 yang menjadi milik kita masing-masing.” (Hal: 99-100).
[3] Dalam buku Kisah-Kisah Sufi, kisah Orang-Orang Buta dan Gajah terkenal dalam versi Rumi dan hakim Sanai, dan Idries Shah memberikan catatan: “Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.” (Hal: 70).
[4] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu“…Dalam dunia kepenulisan, lantaran ukurannya bukan menjadi yang terdepan, tapi nila-nilai yang sangat longgar untuk diperdebatkan, yang utama bukan mengalahkan penulis lain, tetapi bagaimana seorang penulis mencapai kesadaran bahwa karya yang sekarang harus lebih baik dari karya sebelumnya…” (Hal: 93)